You are on page 1of 12

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN

“SUHU TUBUH”

Disusun Oleh:
Nama : Annida Legi
NRM : 1304617032
Kelompok :2
Kelas : Pendidikan Biologi A
Dosen Pengampu : Dr. Rusdi, M.Biomed.
Asisten : Mia Tanti Annisa

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2019
I. Tujuan Praktikum
Praktikum ini dilaksanakan dengan tujuan agar mahasiswa mampu:
1. Mengetahui perbedaan termoregulasi antara manusia (homoiterm) dan hewan
poikiloterm
2. Mengetahui mekanisme termoregulasi pada manusia (homoiterm) dan hewan
poikiloterm
3. Mengetahui faktor yang memengaruhi keseimbangan suhu tubuh
4. Mengetahui pengaruh suhu lingkungan terhadap termoregulasi manusia dan hewan
poikiloterm
5. Mengetahui subjektivitas reseptor suhu
6. Mengetahui respon pembuluh darah terhadap suhu
7. Mengetahui penerapan asas black pada pengamatan termoregulasi manusia dan
hewan poikiloterm

II. KAJIAN PUSTAKA


Thermoregulation, by definition, is a mechanism by which mammals maintain
body temperature by tightly controlled self-regulation, no matter the temperature of
their surroundings. Temperature regulation is a type of homeostasis, which is a process
that biological systems use to preserve a stable internal state to survive. Ectotherms are
animals that depend on their external environment for their body heat, and endotherms
are animals that use thermoregulation to maintain a somewhat consistent internal body
temperature to survive, even when their external environment changes. Humans and
other mammals and birds are endotherms. Human beings have a normal core, or
internal, temperature of around 37 degrees Celsius, which is equivalent to around 98.6
degrees Fahrenheit. Core temperature is most accurately measured via rectal probe
thermometer. This is the temperature at which the human body’s systems work together
at their optimum, which is the reason the body has such tightly regulated mechanisms.
Thermoregulation is crucial to human life. Without thermoregulation, the human body
would not be able to adequately function and, inevitably, will expire (Lim, et al, 2008;
Charkoudian, 2010).
Slight changes in core body temperature occur every day, depending upon
variables such as circadian rhythm and menses; but otherwise, the temperature is tightly
controlled. When a person is unable to regulate his or her body temperature, various
pathologies may occur. The human body has four different methods for keeping itself
at its core temperature: vaporization, radiation, convection, and conduction. To keep
the body functioning, it must be at its ideal temperature, and for this to happen, physical
factors must be sufficient. This includes having enough intravascular volume and
cardiovascular function; the body must be able to transport the rising internal heat to its
surface for release. The reason that elderly people are at higher risk for disorders of
thermoregulation is that they, as a whole, have less intravascular volume and decreased
cardiac function (Díaz & Becker, 2010; Cheshire, 2016).
Thermoregulation has three mechanisms: afferent sensing, central control, and
efferent responses. There are receptors for both heat and cold throughout the human
body. Afferent sensing works through these receptors to determine if the body is
experiencing either too hot or too cold of a stimulus. Next, the hypothalamus is the
central controller of thermoregulation. Lastly, efferent responses are carried out
primarily by the body’s behavioral reactions to fluctuations in body temperature. For
example, if a person is feeling too warm, the normal response is to remove an outer
article of clothing. If a person is feeling too cold, they choose to wear more layers of
clothing. Efferent responses also consist of automatic responses by the body to protect
itself from extreme changes in temperature, such as sweating, vasodilation,
vasoconstriction, and shivering (Schieber & Ayrez, 2016; Boulant, 1981; Romanovsky,
2014).
Berdasarkan asal panas tubuhnya, hewan dibagi menjadi 2 yaitu endoterm dan
eksoterm. Panas tubuh hewan endoterm berasal dari panas dalam tubuh sebagai hasil
metabolisme sumber-sumber energi. Sedang hewan eksoterm panas tubuh bergantung
pada suplai panas dari lingkungannya. Panas hasil metabolisme mudah hilang ke
lingkungan. Suhu tubuh hewan vertebrata ada yang dapat beradaptasi mengikuti
perubahan suhu lingkungan (poikiloterm) yaitu kelas Pisces, Amphibia, dan Reptilia.
Sementara Aves dan Mammalia suhu tubuhnya dipertahankan tetap walaupun suhu
lingkungan berubah (homoioterm). Hewan homoioterm selalu bersifat endoterm. Ada
pula hewan yang dapat bersifat poikiloterm pada waktu tidak aktif (tidur) dan
homoioterm pada waktu aktif. Kelompok hewan ini disebut heteroterm. Hewan
heteroterm adalah hewan endoterm yang mempunyai rentang suhu tubuh yang begitu
luas (Campbell, 2004; Duke’s, 1985).
Pisces, Amphibia dan Reptilia termasuk poikiloterm, sebab saraf pengatur suhu
di hipotalamus belum berkembang. Hal ini menguntungkan hidupnya sebab dengan
begitu walaupun hidup di air, tetapi tidak pernah menggigil. Hal ini disebabkan begitu
lingkungan dingin, maka suhu tubuhnya dibiarkan mengikuti suhu lingkungan. Namun
tetap mempunyai titik suhu minimum, sebab di bawah suhu minimum enzim tidak
bekerja dan dapat menyebabkan organisme mati. Reptilia bersifat eksoterm, maka
untuk menaikan suhu tubuhnya, hewan ini harus berjemur.
Sementara onta termasuk hewan heteroterm. Hal ini sangat menguntungkan
hidupnya, sebab tubuh onta dapat menyerap panas pada siang hari dan melepaskan
panas tubuhnya pada saat malam hari. Hal ini merupakan mekanisme pengaturan suhu
tubuh hewan heteroterm yang mempunyai rentang suhu normal yang luas.
Manusia termasuk organisme yang homoioterm dengan suhu normal 37°C pada
orang dewasa, pada bayi 1°C lebih tinggi, dan pada orang lanjut usia 1°C lebih rendah.
Hal ini disebabkan bayi mempunyai laju metabolisme basal (BMR = Basal Metabolism
Rate) yang lebih tinggi, sedang pada manusia lanjut usia memiliki laju metabolism yang
lambat. Pada saat bayi, manusia dan Mamalia lain bersifat poikiloterm karena saraf
pengatur suhu tubuh belum berkembang.
Panas hewan endoterm diproduksi dari dalam tubuhnya sendiri melalui proses
oksidasi. Produk oksidasi ini adalah energi dalam bentuk ATP yang dapat disimpan
dalam bentuk kreatin fosfat dan sebagian energi lepas dalam bentuk panas. Panas inilah
yang digunakan untuk mengatur suhu tubuh. Pada saat setelah makan, suhu tubuh
biasanya lebih tinggi yang disebabkan oleh Specific Dynamic Action (SDA) yaitu
naiknya suhu setelah makan.
Pusat pengatur suhu tubuh hewan vertebrata adalah hipotalamus. Hipotalamus
inilah yang berfungsi sebagai termostat. Setting point suhu di hipotalamus tergantung
pada organisme. Pada mamalia umumnya suhu tubuh berkisar 36 - 37°C, sedang pada
Aves berkisar 39 - 40° C.
Suasana comfort zone adalah suasana yang paling nyaman bagi organisme. Hal
ini disebabkan pada suasana ini jumlah antara produksi panas dan panas yang hilang
relative sama. Pada saat ini mamalia tidak berkeringat dan juga tidak menggigil.
Bila suhu lingkungan lebih panas dari suhu tubuh, maka rangsang panas
diterima oleh reseptor di kulit. Energi panas merupakan rangsang yang adekuat untuk
free nerve ending di kulit, sehingga menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi yang
mencapai batas ambang letup (firing level) akan menimbulkan potensial reseptor
(potensial generator). Potensial reseptor menjadi potensial aksi dan dihantarkan sebagai
impuls.
Proses pengubahan energi panas menjadi energi listrik disebut transduksi
energi. Potensial aksi di neuron sensoris dihantarkan ke hipotalamus melalui jalur
spinothalamiko anterolateralis. Panas dari lingkungan juga memanaskan cairan tubuh
yaitu darah. Panas tubuh dibawa oleh darah merangsang hipotalamus bagian nucleus
preopticus (di anterior hipotalamus). Saraf ini akan meningkatkan kecepatan
pembuangan panas melalui dua cara yaitu:
1. Mengaktifkan saraf simpatis adrenergik untuk membuang panas secara evaporasi
dengan cara berkeringat.
2. Menghambat saraf parasimpatis di hipotalamus posterior. Hal ini menghilangkan
tonus vasokonstriksi normal di kulit, sehingga terjadi vasodilatasi dan panas dibuang
melalui permukaan kulit.
Agar organisme tidak kehilangan garam secara berlebih, maka aldosteron pun
meningkat bila terjadi pengeluaran keringat secara berlebih. Aldosteron, baik ginjal
maupun di kelenjar keringat, berfungsi untuk meningkatkan kecepatan reabsorbsi aktif
natrium. Aldosteron merupakan hormon derivat steroid yang diproduksi oleh korteks
kelenjar anak ginjal (glandula adrenal).
Bila suhu lingkungan lebih rendah dari suhu tubuh, maka hipotalamus bagian
nukleus paraventrikularis (di bagian posterior hipotalamus) akan mengeluarkan
Thyrotropin Releasing Hormone (TRH) atau sering disebut TSH-RH (Tryroid
Stimulating Hormone-Releasing Hormone). TRH kemudian merangsang hipofisis
bagian anterior untuk mengeluarkan TSH yang dikirimkan ke kelenjar thyroid untuk
memproduksi dan mensekresi tiroksin (triiodotironin dan tetraiodotironin) ke seluruh
tubuh untuk meningkatkan metabolisme sumber energi. Metabolisme berjalan cepat
hingga suhu tubuh normal.
Bila tubuh hewan homoioterm menurun, maka tubuh akan menggigil. Pada saat
ini, otot berkontraksi dan panas diproduksi. Untuk menghindari hilangnya panas tubuh
pada saat lingkungan dingin, maka pembuluh darah tepi mengalami vasokonstriksi
(penyempitan pembuluh darah). Cara adaptasi yang lain adalah piloereksi yaitu
berdirinya rambut pada Mamalia.
Penyetelan suhu (setting point) di hipotalamus dapat berubah oleh aktivitas
pirogen. Pirogen adalah zat yang bersifat toksik (dapat dihasilkan oleh bakteri) dan
mampu mengubah penyetelan suhu di hipotalamus. Bila penyetelan suhu meningkat
oleh aktivitas pirogen, maka mekanisme peningkatan suhu tubuh bekerja. Metabolisme
meningkat, suhu tubuh di jauh di atas suhu lingkungan dan tubuh akan menggigil. Jadi
bila ada pirogen maka walaupun suhu tubuh tinggi melebihi normal, namun pada saat
itu penderita menggigil.
Bila pirogen berhasil disingkirkan, maka setting point suhu di hipotalamus
kembali ke normal. Pada saat ini penderita mengalami flush (titik kritis). Pada Pisces
sampai reptilia, hewan yang tidak dapat meregulasi suhu tubuh seperti homoiterm,
hipotalamus berfungsi sebagai pusat perilaku pengatur suhu tubuh. Reptilia mempunyai
tingkah laku mencari sumber panas (heat-seeking) sebagai manifestasi termophilia
behaviour yang dikontrol oleh hipotalamus.
Metabolisme sangat sensitif terhadap perubahan suhu lingkungan internal
seekor hewan, seperti laju respirasi seluler meningkat seiring peningkatan suhu sampai
titik tertentu dan kemudian menurun ketika suhu itu sudah cukup tinggi sehingga mulai
mendenaturasi enzim. Sifat-sifat membran juga berubah seiring dengan perubahan
suhu. Meskipun spesies hewan yang berbeda telah diadaptasikan terhadap kisaran suhu
yang berbeda-beda, setiap hewan mempunyai kisaran suhu optimum. Banyak hewan
dapat mempertahankan suhu internal yang konstan meskipun suhu eksternalnya
berfluktuasi. Thermoregulasi adalah pemeliharaan suhu tubuh di dalam suatu kisaran
yang membuat sel-sel mampu berfungsi secara efisien (Campbell et al., 2004).
Thermoregulasi merupakan suatu proses homeostatis untuk menjaga agar suhu
tubuh suatu hewan tetap dalam keadaan stabil dengan cara mengatur dan mengontrol
keseimbangan antara banyak energi (panas) yang diproduksi dengan energi yang
dilepaskan. Thermogenesis yang terdapat pada hewan diperoleh dari hewan sendiri atau
dari absorbsi panas lingkungan (Suripto, 1998). Hewan diklasifikasikan menjadi dua
berdasarkan kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuh, yaitu poikiloterm dan
homoiterm. Hewan poikiloterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu berubah seiring
dengan berubahnya suhu lingkungan. Sementara hewan homoiterm yaitu hewan yang
suhu tubuhnya selalu konstan atau tidak berubah sekalipun suhu lingkungannya sangat
berubah (Isnaeni, 2006).
Hewan poikiloterm juga dapat disebut sebagai hewan ekoterm karena suhu
tubuhnya ditentukan dan dipengaruhi oleh suhu lingkungan eksternalnya. Sementara
homoiterm dapat disebut endoterm karena suhu tubuhnya diatur oleh produksi panas
yang terjadi dalam tubuh, tetapi kadang kita dapat menemukan beberapa kekecualian,
misalnya pada insekta. Insekta dikelompokkan sebagai hewan ekoterm, tetapi ternyata
ada beberapa insekta, misalnya lalat, yang dapat menghasilkan tambahan panas tubuh
dengan melakukan kontraksi otot (Isnaeni, 2006).
Hewan mengalami pertukaran panas dengan lingkungan sekitarnya, atau dapat
dikatakan berinteraksi panas. Interaksi tersebut dapat menguntungkan ataupun
merugikan. Hewan ternyata dapat memperoleh manfaat yang besar dari peristiwa
pertukaran panas ini. Interaksi panas tersebut ternyata dimanfaatkan oleh hewan
sebagai cara untuk mengatur suhu tubuh mereka, yaitu untuk meningkatkan dan
menurunkan pelepasan panas dari tubuh, atau sebaliknya untuk memperoleh panas.
Interaksi atau pertukaran panas antara hewan dan lingkungannya dapat terjadi melalui
empat cara, yaitu konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi (Bloom dan Fawcet, 2002).

III. METODOLOGI PRAKTIKUM

1. Alat dan Bahan


ALAT BAHAN
 Termometer,  Katak (Rana tigrina)
 Papan bedah  Es batu
kecil,  Air panas
 Gelas kimia,
 Tali,
 Balok kecil +/-
20 cm.

2. Cara Kerja

Kegiatan 1. Regulasi Suhu Tubuh Hewan Poikiloterm


1. Katak diletakkan terlentang di atas balok kecil kemudian diikat dengan tali di
bawah tungkai depan dan di tungkai belakang. Masukan termometer sampai
oesophagus selama kurang lebih 3 menit. Ulangi 3 kali (hitung rata-rata
suhunya).
2. Masukan katak ke dalam air es selama 3 menit dengan termometer yang telah
terpasang sampai oesophagus, baca suhu tubuhnya ulangi 3 kali (hitung rata-
rata suhunya).
3. Kemudian masukan katak ke dalam air panas dengan suhu sekitar 40 oC
(mengapa tidak lebih tinggi)? Dengan perlakuan yang sama dengan air es, amati
untuk beberapa kali percobaan, dan catat hasilnya. Analisis data yang diperoleh.

Kegiatan 2. Subjektivitas Reseptor Suhu


1. Siapkan 3 gelas kimia ukuran 500 mL. Kemudian masing-masing gelas kimia
diisi dengan air hangat (50°C), air ledeng (ukur suhunya), dan air es (5°C).
2. Masukkan tangan kanan (sampai pergelangan tangan) ke air hangat (50°C) dan
tangan kiri ke air es (5°C) selama 3 menit.
3. Setelah 3 menit kemudian kedua tangan diangkat secara bersama-sama dan
kedua tangan dicelupkan ke air kran (suhu ruangan).
4. Samakah sensasi yang dirasakan oleh kedua tangan di air kran (suhu ruangan)?
Tangan mana yang merasa lebih dingin dan mana yang merasakan lebih panas?
Mengapa demikian?
IV. HASIL PENGAMATAN

Kegiatan 1. Regulasi Suhu Tubuh Hewan Poikiloterm

Suhu Tubuh Suhu Tubuh Katak


sebelum Suhu Tubuh Katak Pada Suhu Tubuh Katak Pada Air Hangat
diberi Suhu Ruangan (250C) Pada Air Es (60C) (420C)
perlakuan

24 24 23 29

Kegiatan 2. Subjektivitas Reseptor Suhu


Sensasi Akhir
(setelah 3 menit
Sensasi Awal
Bagian tubuh yang di direndam air
(ketika dimasukkan ke dalam air
rendam panas/air dingin lalu
es/air panas)
dimasukkan dalam
air ledeng)
Ketika tangan kanan dimasukkan
ke dalam air es (suhu 11°C) selama
Tangan Kiri
3 menit, praktikan merasakan Praktikan merasakan
Air es (11°C)  Air
sensasi dingin yang sangat sensasi hangat pada
ledeng (29°C)
menusuk, kebas, dan lama- tangan kanannya
kelamaan tangan kanan mulai
terasa kaku (seperti kesemutan).

Ketika tangan kanan dimasukkan


ke dalam air panas (suhu 40°C)
Tangan Kanan Praktikan merasakan
selama 3 menit, praktikan
Air Panas (40°C)  Air sensasi dingin pada
merasakan sensasi hangat pada
Ledeng (29°C) tangan kirinya
tangannya dan lama-kelamaan
tangan terlihat memerah

V. PEMBAHASAN

Kegiatan 1. Regulasi Suhu Tubuh Hewan Poikiloterm


Termoregulasi merupakan suatu mekanisme pada makhluk hidup untuk
mempertahankan suhu internal agar berada di dalam kisaran yang dapat ditolerir
(Campbell, 2004). Dalam termoregulasi, hewan dibagi menjadi dua golongan, yakni
poikiloterm dan homoiterm berdasarkan pengaruh suhu lingkungan. Pada hewan
poikiloterm suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu lingkungan sehingga sering disebut
hewan berdarah dingin. Sedangkan hewan homoiterm disebut sebagai hewan berdarah
panas (Duke, 1995). Contoh hewan berdarah panas adalah kelas aves dan mamalia
sedangkan contoh hewan berdarah dingin adalah dari kelas pisces, amphibia, dan reptil
(Guyton, 1993).
Katak diberi 3 perlakuan berbeda yang representative terhadap 3 kondisi lingkungan
yang berbeda. Pertama katak diukur pada suhu normalnya pada lingkungan dengan
termometer, kedua meletakkan katak di dalam air dingin (es) yang bersuhu 5º C, ketiga
meletakkan katak di dalam air panas yang bersuhu 34° C - 45° C. Untuk perlakukan kedua
dan ketiga masing-masing dilakukan selama 9 menit kemudian diukur suhunya setiap 3
menit. Antara perlakuan kedua ke perlakuan ketiga diberikan waktu jeda untuk
mengembalikan suhu katak menjadi normal.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kegiatan 1 pada tabel suhu normal katak adalah
24 º C. Ketika katak dimasukan ke dalam air es (6° C) terjadi penurunan suhu dari suhu
normal 24 º C menjadi 23 º C. Terjadi penurunan drastis pada katak dengan selisih suhu 1
º C. Ketika katak dimasukkan ke dalam air panas (420C) terjadi kenaikan suhu katak dari
suhu normal 24 º C menjadi 29 º C, selisih suhunya yaitu 5 º C.
Dari hasil tersebut dapat terlihat bahwa suhu tubuh katak dapat berfluktuasi sesuai
dengan kondisi lingkungannya. Hal ini terjadi karena katak merupakan salah satu hewan
poikiloterm yang dapat mengubah suhu tubuhnya menyesuaikan dengan suhu lingkungan.
Pengaturan suhu untuk menyesuaikan terhadap suhu lingkungan yang rendah (ketika
berada di air es) dilakukan dengan cara memanfaatkan input radiasi sumber panas yang
ada di sekitarnya sehingga suhu tubuh di atas suhu lingkungan dan pengaturan untuk
menyesuaikan terhadap suhu lingkungan tinggi (ketika berada di air hangat) dengan
penguapan air melalui kulit dan organ-organ respiratori menekan suhu tubuh beberapa
derajat dibawah suhu lingkungan. Oleh karena itu, ketika suhu lingkungan turun,
suhu tubuh katak juga ikut turun menyesuaikan lingkungannya, demikian halnya
pada suhu lingkungan yang tinggi maka suhu tubuh katak juga akan semakin tinggi
(Puspita, 1999).
Pada regulasi tubuh katak, impuls akan dihantarkan sampai tingkat persepsi, lalu setting
point di hipotalamus akan mengubah suhu tubuh (akan beradaptasi dengan lingkungan,
hipotalamus berfungsi sebagai termostat). Pada hewan poikiloterm, saraf pengatur suhu
tubuh di hipotalamus belum berkembang. Hal inilah yang membuat katak tak pernah
menggigil namun katak tetap memiliki ambang batas toleransi suhu yang bisa diterima
tubuhnya. Adapun batas toleransi suhu tubuh katak yaitu 10-40° C. Jika suhu melewati
ambang toleransi tersebut akan terjadi kerusakan enzim dan dapat menyebabkan kematian
pada katak. Jika suhu melewati ambang batas suhu tertinggi akan terjadi denaturasi enzim
yaitu enzim akan sulit berkaitan dengan substratnya. Dari hasil pengamatan, dapat
disimpulkan bahwa katak termasuk hewan poikiloterm, dimana suhu tubuhnya ditentukan
oleh keseimbangannya dengan kondisi lingkungannya dan berubah-ubah menyesuaikan
dengan lingkungan.
Kegiatan 2. Subjektivitas Reseptor Suhu
Diberi 2 perlakuan pada tangan praktikan dengan menyelupkannya ke dalam air es
(5 C) dan air hangat (400C). Diperoleh hasil pengamatan Ketika tangan kiri dimasukkan
0

ke dalam air es, terjadi perpindahan panas dari tubuh ke lingkungan secara konduksi. Suhu
tangan menjadi menurun, peristiwa ini direspon oleh reseptor dingin atau krause pada kulit
yang mulai merespon pada suhu dibawah 20°C. Selain itu, suhu yang terlalu rendah
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan menyebabkan pembekuan sel-sel darah.
Hal ini yang menyebabkan tangan menjadi nyeri pada menit terakhir perlakuan. Ketika
tangan dimasukkan ke dalam air ledeng dengan suhu yang lebih tinggi, sensasi yang
dirasakan mati rasa karena reseptor harus beradapatasi dengan lingkungan baru. Kemudian
terasa seperti kesemutan yang menunjukkan aliran darah yang sempat terhambat akibat
vasokontriksi dan pembekuan sel darah. Setelah itu, praktikan merasakan rasa hangat yang
direspon oleh reseptor panas, yaitu ruffini. Reseptor ini mulai merespon suhu diatas 45°C.
Ketika tangan kanan praktikan dimasukkan kedalam air panas, terjadi perpindahan
panas dari lingkungan ke tangan praktikan, sehingga praktikan merasakan sensasi panas
yang berasal dari respon saraf ruffini. Suhu yang tinggi menyebakan vasodilatasi
pembuluh darah sehingga yang terlihat warna kulit berubah menjadi kemerahan. Ketika
dicelupkan kedalam air ledeng, tangan menjadi mati rasa akibat adaptasi saraf reseptor
pada kulit. Selanjutnya praktikan merasakan kesemutan, hal ini disebabkan karena aliran
darah yang terhambat karena suhu yang rendah menyebabkan vasokonstriksi . Sensasi
dingin di respon oleh saraf Krause akibat perubahan suhu yang lebih rendah dari semula.
Suhu tubuh diatur oleh pusat pengatur suhu tubuh yang berada di hipotalamus. Reseptor
panas atau dingin yang berada di kulit akan mengirimkan impuls saraf ke medulla spinalis
dan kemudian ke daerah hipotalamus otak untuk membantu mengatur suhu tubuh.
(Sherwood, 2001).
VI. KESIMPULAN
1. Katak termasuk hewan poikiloterm, dimana suhu tubuhnya ditentukan oleh
keseimbangannya dengan kondisi lingkungannya, dan berubah-ubah seperti
berubah-ubahnya kondisi suhu lingkungan. Artinya suhu tubuh katak sesuai atua
sama dengan suhu lingkungannya.
2. Hewan poikilotermik melakukan konformitas suhu. Laju kehilangan panas pada
hewan poikilotermik lebih tinggi dari pada laju produksi panas, sehingga suhu
tubuhnya lebih ditentukan oleh suhu lingkungan eksternalnya dari pada suhu
metabolisme internalnya.
3. Hewan berdarah panas adalah hewan yang dapat menjaga suhu tubuhnya, pada
suhu-suhu tertentu yang konstan biasanya lebih tinggi dibandingkan lingkungan
sekitarnya.
4. Manusia memiliki suhu tubuh yang cenderung konstan meskipun suhu di
lingkungan berubah-ubah, yaitu kisaran antara 35,7oC sampai 38oC, sehingga
manusia disebut sebagai homoiterm, sedangkan katak memiliki suhu tubuh yang
berubah-ubah sesuai dengan suhu di lingkungan sekitarnya, sehingga katak disebut
poikiloterm.
5. Terjadi perbedaan subjektivitas reseptor suhu disebabkan karena adanya
thermoreseptor, perbedaan suhu yang diterima oleh kedua tangan saat sebelum dan
sesudah perlakuan , dan kecepatan kulit dalam memperoleh atau melepas panas
serta tergantung pada besar serta arah gradien temperatur yang diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA

Boulant, J.A.(1981). Hypothalamic mechanisms in thermoregulation. Fed. Proc, 40(14).

Campbell, N. A., Reece, M. et al. (2004). Biologi:Jilid 3. Jakarta: Erlangga.

Charkoudian, N. (2010). Mechanisms and modifiers of reflex induced cutaneous vasodilation


and vasoconstriction in humans. Journal of Applied Physiology, 109(4), 1221-1228.

Díaz, M. & Becker, D.E. (2010). Thermoregulation: physiological and clinical considerations
during sedation and general anesthesia. Anesth Prog., 57(1), 25-32.

Cheshire, W.P. (2016). Thermoregulatory disorders and illness related to heat and cold
stress. Autonomic Neuroscience Journal, 196, 91-104.

Dukes, N. H. (1985). The Phisiology of Domestic Animal. New York: Comstock Pub.
Ganong, W. F. (2002). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Jakarta:EGC

Guyton, A.C., & Hall, J. E. (1993). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.

Isnaeni, W. (2006). Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius.

Lim, C. L., Byrne, C. & Lee, J. K. (2008). Human thermoregulation and measurement of body

temperature in exercise and clinical settings. Ann. Acad. Med. Singapore, 37(4), 347-

53.

Pearce E. C., 2011. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Puspita, I. (1999). Psikologi Faal. Depok: Universitas Gunadarma.

Romanovsky, A.A. (2014). Skin temperature: its role in thermoregulation. Acta Physiol (Oxf),

210(3), 498-507.

Schieber, A. M. & Ayres, J.S. (2016). Thermoregulation as a disease tolerance defense

strategy. Pathogens and Disease Journal, 74(9).

Sherwood. (2001). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC.
PERTANYAAN
Jelaskan mekanisme jalannya impuls dari reseptor panas sampai integrasi di korteks
somatosensoris tempat terbentuknya sensasi dan di area asosiasi tempat terbentuknya
persepsi pada saat telapak tangan merasakan panas.
Jawab :
Saat ada rangsangan berupa suhu panas 30 sampai 45℃ , rangsangan tersebut
diterima oleh reseptor panas. Serat aferen untuk suhu panas adalah serat C, yang akan
bersinaps dengan neuron di kornu dorsalis. Akson-akson neuron ini akan menyilang
garis tengah dan menuju ke atas dalam kuadran anterolateral medula spinalis untuk
membentuk sistem anterolateralis serat jarak asendens. Dalam perjalanannya keatas,
jarak yang lainnya berada lebih dorsal. Rangsangan suhu dihantarkan melalui traktus
spinotalamikus lateralis dan radiasi talamus menuju ke girus postsentralis. Sebagian
serat-serat sistem anterolateralis berakhir di nukleus relai spesifik talamus; sedangkan
yang lainnya menuju garis tengah dan intralaminer nukleus non spesifik. Impuls
dari sistem anterolateralis terutama dihantarkan ke formasio retikularis mesenfalon.
Impuls sensorik ini akan menggiatkan reticular activating system (RAS) yang
meningkatkan keadaan jaga (alert state) korteks serebri. Stimulasi di berbagai bagian
girus postsentralis menimbulkan sensasi yang diproyeksikan ke bagian-bagian tubuh
yang sesuai. Dengan elektroda yang cukup halus dapat dicetuskan sensasi yang relatif
murni untuk rasa panas. Sensasi ini timbul dari korteks serebri somatosensori bagian
1,2,3 dan akhirnya timbul persepsi panas pada korteks serebri persepsi bagian 5 dan
7.

You might also like