You are on page 1of 15

Buletin Psikologi ISSN: 0854-7108

2016, Vol. 24, No. 1, 49 – 63

Intervensi Psikologi di Layanan Kesehatan Primer


Anita Novianty1, Sofia Retnowati
Program Magister Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada

Abstract. The prevalence of mental disorder is growing up every year and highly
contributed on global mental health burden. Yet the people who got professional treatment
was below average. There was a gap between the high prevalence of mental disorder cases
and the number of people who got the proper treatment. Some literature reviews showed
that patients with psychiatric symptom were found out in primary health care, but mostly
the case was not recognized by health workers due to lack of knowledge and skills on mental
health issues, as well as the fear of stigma by the patients. The delay on detection of mental
disorder onset will affect the prognosis of patient’s mental health. It is indicated the real
emergency on detecting mental disorder symptoms and delivering the initial psychological
intervention at primary health care level. This paper highlighted the high prevalence of
mental disorder cases in primary health care, evidence based psychological interventions
that have been used to treat the mental disorder cases in primary health care, as well as the
challenges and the opportunities of psychological intervention in primary health care from
some literature reviews.
Keywords: mental disorder, psychological intervention, primary health care

Pengantar penanganan psikologis berbasis empiris


Salah satu tantangan yang saat ini dihadapi efektif, namun aksesnya terbatas.
oleh masyarakat global maupun pemangku Gangguan mental secara tidak
kepentingan terutama di bidang kesehatan langsung juga memengaruhi beban sosial
mental adalah prevalensi gangguan mental (Mueser & McGurk, 2004) dan beban
yang terus meningkat tiap tahunnya. Pada ekonomi nasional (Ngui, Khasakhala,
tahun 1990, gangguan mental dan Ndetei, & Roberts, 2010). Gangguan mental
neurologis berkontribusi sebesar 10% dari tidak hanya merupakan kondisi medis yang
total Disability-Adjusted Life Years (DALY), memiliki prevalensi tinggi, namun juga
kemudian pada tahun 2000 menjadi sebesar memiliki tingkat disabilitas yang tinggi
12%, dan diperkirakan terus akan terutama di negara-negara dengan pen-
meningkat hingga 15% pada tahun 2020 dapatan rendah (Burns, 2014; Patel, 2007).
(World Health Organization, 2001). Pada saat ini dari 450 ribu orang
Menurut Harvey dan Gumport (2015) diperkirakan terdapat satu orang yang
masalah global terkait kesehatan mental mengalami gangguan mental (McBain,
yang masih dihadapi saat ini yaitu Salhi, Morris, Salomon, & Betancourt, 2012).
prevalensi gangguan mental yang tinggi Prevalensi individu dengan gangguan
dan terus meningkat, mayoritas individu mental secara global sangat tinggi, namun
yang terdiagnosis gangguan mental tidak jumlah individu yang mendapatkan
mampu mengakses penanganan yang tepat, penanganan profesional kurang dari 10% di
dan walaupun terdapat bukti bahwa negara-negara dengan pendapatan
menengah ke bawah (McBain et al., 2012).

Buletin Psikologi 49
NOVIANTY & RETNOWATI

Tingginya angka beban tersebut salah yaitu dengan meningkatkan jumlah dan
satunya dikarenakan banyaknya individu mutu tenaga kesehatan mental profesional
tidak mendapatkan penanganan yang tepat di institusi pendidikan, integrasi pembia-
di layanan spesialis maupun layanan yaan pelayanan melalui asuransi kesehatan,
kesehatan secara umum (Kohn, Saxena, pemberdayaan masyarakat (Dinas
Levav, & Saraceno, 2004). Kesehatan DIY, 2015) dan integrasi layanan
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) kesehatan mental di aras primer (Dinas
menunjukkan prevalensi gangguan jiwa Kesehatan DIY, 2015; Retnowati, 2011).
berat nasional sebesar 1,7 per mil, yang Mclnnis dan Merajver (2011) mengemu-
artinya 1-2 orang dari 1000 penduduk kakan bahwa usaha lain untuk mengurangi
Indonesia mengalami gangguan jiwa. kesenjangan penanganan adalah dengan
Prevalensi penduduk yang mengalami melatih tenaga non-profesional berbasis
gangguan mental emosional secara nasional komunitas untuk mengenali dan mendapat-
pada tahun 2013 sebesar 6% (37.728 orang kan pengetahuan tentang kesehatan mental,
dari subjek yang dianalisis). Prevalensi serta ber-kolaborasi dengan para tenaga
tertinggi ada pada kelompok usia lebih dari pemberi bantuan informal di komunitas.
75 tahun dibandingkan kelompok usia Program kesehatan mental berbasis
lainnya, kelompok perempuan daripada komunitas yang telah dilakukan yaitu
laki-laki, dan kelompok tidak sekolah program Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) di
(Kementerian Kesehatan RI, 2013). Yogyakarta (Putri et al., 2013) dan di Aceh
(Widiyani, 2013).
Temuan tingginya prevalensi individu
dengan gangguan mental, dan minimnya Beberapa alasan mengapa perlu ada
individu yang memeroleh perawatan layanan psikoterapi di layanan kesehatan
formal mengindikasikan adanya ‘treatment primer yaitu (a) suatu situasi di mana yang
gap’ (kesenjangan penanganan). Ke- hanya dapat memberikan penanganan
senjangan penanganan merujuk pada adalah intervensi non-farmakologi (misal
prevalensi gangguan mental yang terjadi seperti dissociative disorder); (b) ketika tidak
dan proporsi individu yang tertangani, atau teramati adanya gangguan psikiatris,
dengan kata lain persentase individu yang namun pasien menunjukkan kesehatan
memerlukan perawatan, namun tidak mental yang rendah (misalnya, harga diri
menerima penanganan. Hambatan eksternal yang rendah); (c) tekanan yang berkaitan
dapat menjadi salah satu penyebab dengan gejala fisik atau meningkatkan
tingginya kesenjangan penanganan. Hal ini keluhan fisik (misal tekanan yang menye-
dapat ditinjau dari akses yang meliputi area babkan asma kambuh/semakin memper-
geografis, transportasi, dan biaya ke buruk asma pasien); (d) ketika adanya efek
layanan kesehatan mental tidak terdistribusi samping dari obat psikotropika sehingga
secara merata (Harvey & Gumport, 2015). diperlukan intervensi dampingan (semisal,
Di Indonesia, standar yang belum memadai psikoterapi diperlukan untuk mengurangi
antara jumlah tenaga profesional kesehatan gejala depresi); (e) ketika ada kecende-
mental (psikolog dan psikiater) dengan rungan untuk menyakiti diri sendiri
jumlah penduduk menjadi salah satu (penggunaan obat-obatan akan bahaya
penghambat akses layanan kesehatan karena dapat berdampak overdosis), dan (f)
mental (Kementerian Kesehatan RI, 2013). untuk meningkatkan kepatuhan akan
pengobatan (Russel, Russel, Kaur, Nair, &
Usaha yang dilakukan untuk
Darilin, 2012).
menjembatani kesenjangan penanganan

50 Buletin Psikologi
INTERVENSI PSIKOLOGI DI LAYANAN KESEHATAN PRIMER

Tulisan ini ingin mengetahui kasus itu gangguan alkohol sering terjadi pada
gangguan mental yang sering ditemui di laki-laki.
layanan kesehatan primer, intervensi Penelitian serupa juga dilakukan oleh
psikologi yang diberikan, serta tantangan Roca, Gili, Garcia-Garcia, Salva, Vives,
dan peluang intervensi psikologi di layanan Campayo, dan Comas (2009) yang mela-
kesehatan primer. Tulisan ini menyajikan kukan studi epidemiologi nasional untuk
penelitian terkini dan ide-ide yang mengetahui prevalensi gangguan mental
diusulkan dan dikembangkan di beberapa yang paling sering muncul di Spanyol. Data
negara terkait dengan penerapan intervensi dikumpulkan dari layanan kesehatan pri-
psikologi di layanan kesehatan primer. mer dalam skala nasional, dan ditemukan
Harapannya agar ide atau program yang hasil prevalensi gangguan mental pada
telah dikembangkan dan diteliti di negara wanita lebih tinggi dari pria, terkecuali
lain tersebut dapat dijadikan pembelajaran untuk gangguan alkohol. Gangguan mental
bersama bagi peneliti dan praktisi yang sering muncul yaitu depresi, non-
kesehatan mental di Indonesia. spesific somatoform disorder, dysthymia,
multisomatoform disorder, dan Generalized
Kasus Gangguan Mental di Layanan Kesehatan anxiety disorder. Dari beberapa hasil
Primer penelitian sebelumnya dapat dilihat bahwa
Ansseau, Dierick, Buntinkx, Cnockaert, De prevalensi gangguan mental yang sering
Smedt, Van Den Haute, dan Mijnsbrugge muncul atau dikeluhkan di layanan kese-
(2004) meneliti mengenai prevalansi hatan primer adalah depresi, kecemasan,
gangguan mental yang sering muncul di dan somatoform, dan juga prevalensi
layanan kesehatan primer di Belgia dengan gangguan mental pada wanita lebih tinggi
cara mengumpulkan data dari jawaban- dari pria (Ansseau et al., 2004; Grandes,
jawaban pasien dan diagnosis yang Montoya, Arietaleanizbeaskoa, Arce, &
dilakukan oleh dokter umum. Hasilnya Sanchez, 2011; Roca et al., 2009). Grandes et
menunjukkan bahwa prevalensi gangguan al. (2011) menambahkan bahwa pada usia
mental tertinggi terjadi pada wanita rata-rata 40 tahun ke atas prevalensi
dibandingkan pria. Seperti halnya yang gangguan mental yang sering terjadi adalah
terjadi di Indonesia, pasien datang ke ganguan mood, sementara pada usia rata-
layanan kesehatan primer pada awalnya rata 30 tahun adalah kecemasan. Data
disebabkan oleh keluhan-keluhan fisik. Ber- tersebut menunjukkan bahwa layanan
dasarkan hasil kajian ditemukan bahwa kesehatan primer tidak cukup hanya
prevalensi gangguan-gangguan psikologis memberikan layanan untuk kesehatan fisik
yang paling sering muncul yaitu gangguan saja, namun ada kebutuhan akan penyedia
depresi mayor (13.9%), Dysthymia (12,6%), layanan psikologi. Ansseau et al. (2004)
Multisomatoform disorder NOS (10,7 %), menyatakan meskipun hanya 5,4% pasien
Generalized anxiety disorder (10,3%) dan yang mengunjungi dokter umum untuk
gangguan alkohol (10.1%). Adapun perbe- kondisi-kondisi psikologis, namun pada
daan prevalensi ini juga didasari adanya kenyataannya didapatkan hampir 40%
perbedaan jender, seperti halnya depresi, pasien memenuhi kriteria gangguan psi-
kecemasan, somatoform dan gangguan kiatris. Adanya kesenjangan antara alasan
makan paling signifikan terjadi pada pasien datang ke dokter umum dan
perempuan daripada laki-laki, sementara diagnosis yang aktual kemungkinan
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu level

Buletin Psikologi 51
NOVIANTY & RETNOWATI

dokter umum yang memiliki waktu yang Intervensi Psikologi untuk Pasien dengan
terbatas untuk mewawancarai pasien, Gangguan Mental
pengetahuan yang belum memadai menge-
Menurut Hanlon, Fekadu, dan Patel, 2014),
nai prosedur diagnosis, sering men-
salah satu kesenjangan penanganan global
“somatisasi”-kan gangguan-gangguan
yang terjadi adalah kenihilan terapi untuk
mental, dan kurangnya empati pada pasien
menangani gangguan mental, neurologis,
dengan gangguan psikiatrik. Sementara di
penggunaan obat-obatan (atau biasanya
level pasien, adanya penolakan untuk
disebut MNS Disorders: Mental, Neurological,
mengkonsultasikan keadaan psikologis
and Substance Use), terutama yang berbasis
mereka akibat kekhawatiran dengan stigma.
bukti empiris. Penanganan untuk MNS
Adanya kesenjangan di kedua level ini
disorders sulit dan terlalu kompleks untuk
menyebabkan simtom-simtom gangguan
ditangani, terutama pada setting yang keku-
psikologis di atas tidak tertangani dengan
rangan sumber daya. Selain itu, sebagian
tepat.
besar masyarakat lebih memercayakan
Stigmatisasi terhadap individu dengan penanganan pada cara-cara tradisional,
gangguan kesehatan mental tidak hanya keagamaan ataupun budaya setempat yang
terjadi di masyarakat umum, akan tetapi masih kontroversial mengenai efektivitas-
juga terjadi di kalangan profesional kese- nya (Hanlon et al., 2014). Adapun yang
hatan. Penelitian Corrigan, Mittal, Reaves, termasuk dalam gangguan mental,
Haynes, Han, Morris, dan Sullivan (2014) neurologis, dan penggunaan obat-obatan
menunjukkan bahwa ada kecenderungan yaitu depresi, gangguan penggunaan
dari profesional kesehatan (perawat dan alkohol dan obat-obatan, bunuh diri dan
dokter) yang memiliki stigma pada pasien perilaku menyakiti diri sendiri, psikosis,
dengan gangguan mental mempunyai gangguan bipolar, epilepsi, dementia, dan
persepsi bahwa pasien tersebut tidak akan gangguan perkembangan dan perilaku
patuh dengan pengobatan mereka, dan anak-anak. Hanlon et al. (2014) memberikan
persepsi ketidakpatuhan ini nantinya akan gambaran mengenai prinsip-prinsip sebuah
berdampak pada keputusan layanan kese- intervensi bahwa penggunaan intervensi
hatan yang mereka berikan (merujuk pada terhadap kriteria gangguan mental apapun
spesialis atau memberikan obat medis). seharusnya memerhatikan efektivitas,
Ditemukan pula bahwa latar disiplin kemungkinan untuk diimplementasikan,
ilmu dari tenaga profesional kesehatan keadilan, berterima secara sosial dan
tersebut juga memengaruhi kenyamanan budaya, dan dapat terjangkau. Di bawah ini
dan pengenalan mereka terhadap gangguan merupakan salah satu intervensi yaitu
kesehatan mental. Implikasi penelitian ini intervensi psikologis yang digunakan untuk
bahwa pengetahuan mengenai kesehatan menangani MNS disorders secara umum
mental perlu diberikan pada profesional yang ditulis oleh Hanlon et al. (2014).
kesehatan lainnya di layanan kesehatan
primer sehingga mereka lebih dapat First-line Psychological Interventions
menerima pasien dengan gangguan mental, Intervensi psikologis ini dapat diberikan
mengerti bagaimana mengambil keputusan oleh non-spesialis dengan minimal memiliki
akan penanganan orang dengan gangguan pengalaman di bidang kesehatan mental.
mental, dan mengurangi stigma untuk Terdapat dua contoh jenis intervensi
mempromosikan kesehatan mental pada psikologis ini yaitu psychological first aid dan
masyarakat (Corrigan et al., 2014). psikoedukasi (Hanlon et al., 2014).

52 Buletin Psikologi
INTERVENSI PSIKOLOGI DI LAYANAN KESEHATAN PRIMER

Psychological First Aid meningkatkan kepatuhan pengobatan, yang


diasosiasikan dengan luaran yang lebih baik
Psychological first aid merupakan intervensi
(Hanlon et al., 2014).
yang ditujukan pada anggota masyarakat
Penelitian yang dilakukan oleh
untuk meningkatkan pengetahuan dan
Bossema, de Haar, Westerhuis, Beenackers,
pemahaman mereka tentang gangguan
Blom, Appels, dan van Oeveren (2011)
kesehatan mental, mengurangi stigmatisasi
menemukan bahwa psikoedukasi yang
dan membekali masyarakat dengan
diberikan pada pasien dengan gangguan
keterampilan-keterampilan sederhana
psikotik dapat meningkatkan pengetahuan
untuk menolong orang lain di sekitarnya
dan pengatasan masalah. Pasien dengan
yang mengalami gangguan mental
kriteria skor basal rendah, edukasi
(melakukan pengiraan resiko bunuh diri
menengah/tinggi, dan menggunakan
atau perilaku menyakiti diri sendiri,
pengobatan antipsikotik tipikal lebih
mendengarkan tanpa menghakimi, membe-
mendapat keuntungan dari psikoedukasi
rikan penguatan dan informasi, mendorong
dibandingkan pasien dengan skor basal
untuk mencari bantuan dari profesional dan
tinggi, edukasi rendah, dan menggunakan
menggunakan teknik menolong diri sendiri)
pengobatan antipsikotik atipikal (Bossema
(Hanlon et al., 2014).
et al., 2011).
Menurut Ruzek, Brymer, Jacobs, Layne, Walaupun selama ini psikoedukasi
Vernberg, dan Watson (2007), psychological dikritik tidak memberikan hasil yang
first aid terdiri dari suatu susunan sistematis efektif, akan tetapi kajian literatur sistematis
tindakan menolong yang bertujuan untuk yang dilakukan oleh Tursi, Baes, Camacho,
mengurangi tekanan pasca trauma awal dan Tofoli, dan Juruena (2013) menunjukkan
mendukung fungsi adaptif jangka pendek bahwa psikoedukasi sebagai penanganan
dan jangka panjang. Apabila psychological psikososial dapat meningkatkan penge-
first aid digunakan dalam desain awal tahuan mengenai depresi dan pe-
dalam menanggapi bencana/trauma, maka nanganannya yang berasosiasi dengan
psychological first aid dapat dikonstruksikan prognosis yang lebih baik dan pengurangan
ke dalam delapan aksi utama yaitu: kontak beban psikososial bagi keluarga (Tursi et al.,
dan keterlibatan, keamanan dan ke- 2013). Sejalan dengan itu, kajian meta-
nyamanan, stabilisasi, pengumpulan infor- analisis oleh Donker, Griffiths, Cuijpers, dan
masi, pendampingan, keterhubungan Christensen (2009) menunjukkan bahwa
dengan dukungan sosial, informasi terha- psikoedukasi sebagai intervensi tahap awal
dap dukungan pengatasan masalah, dan pada mereka yang mengalami tekanan
keterhubungan dengan layanan ko-laboratif psikologis atau depresi dapat mengurangi
(Ruzek, et al., 2007). gejala depresi. Intervensi ini dikatakan
mudah untuk diimplementasikan, dapat
Psikoedukasi diterapkan segera dan tidak mahal, maka
Psikoedukasi merupakan intervensi untuk dari itu cocok digunakan sebagai intervensi
pasien dan perawat pasien yang diberikan awal di layanan primer (Donker et al., 2009).
untuk meningkatkan pemahaman mereka
mengenai gangguan mental, penanganan- Structured, brief psychological therapies
nya, dan mengevaluasi orang yang dapat
Structured, brief psychological therapies
memengaruhi kesembuhan pasien secara
merupakan model penanganan yang
maksimal. Tujuannya adalah untuk meme-
berbatas waktu dan biasanya memiliki
ngaruhi perubahan perilaku, contohnya

Buletin Psikologi 53
NOVIANTY & RETNOWATI

manual untuk memastikan akurasinya. CBT dikatakan terbukti efektif mena-


Contohnya cognitive behavior therapy, ngani berbagai macam kasus gangguan
behavioral activation, interpersonal psycho- mental dari gangguan yang umum hingga
therapy, problem solving therapy, dan relaxation psikosis, bahkan diklaim lebih efektif
therapy. Kebanyakan terapi ini digunakan dibandingkan jenis psikoterapi lainnya atau
dalam manajemen gangguan depresi dan intervensi dengan menggunakan obat
kecemasan, tetapi juga efektif dalam terutama pada pasien depresi dan
menangani gangguan bipolar, mengurangi kecemasan (Tolin, 2010). Walaupun pada
beberapa gejala skizofrenia dan beberapa kasus, salah satunya klien
penyalahgunaan obat-obatan. Dibanding- minoritas, klien CBT seringkali mengalami
kan dengan first-line psychological inter- ‘drop out’ atau menghentikan proses terapi
vention lainnya, pendekatan ini lebih formal (Rathod, Kingdon, Smith, & Turkington,
dan dibangun atas dasar teori-teori psiko- 2005).
logi mengenai gangguan mental, memer-
lukan pelatihan terapis yang lebih, dan Interpersonal Psychotherapy (IPT)
biasanya diberikan oleh spesialis kesehatan Interpersonal Psychotherapy (IPT) berfokus
mental atau non-spesialis dengan supervisi pada konteks interpersonal depresi. Empat
spesialis di tingkat yang lebih tinggi tipe kesulitan interpersonal yang berkon-
(Hanlon et al., 2014). tribusi signifikan pada perkembangan
depresi: duka, ketidaksepakatan antar
Cognitive Behavior Therapy (CBT) pribadi, pergeseran peran (contoh: menjadi
Berdasarkan model gangguan mental di mana Ibu rumah tangga, pensiun), dan defisit
pikiran-pikiran negatif mengenai diri, dunia dan interpersonal (contohnya, isolasi sosial dan
masa depan, dan berasosiasi dengan perilaku kesepian). Terapi ini bertujuan untuk
yang maladaptif, dapat mengarahkan dan meningkatkan komunikasi interpersonal
menjaga tekanan emosional. Terapi ini dan pengambilan keputusan dalam kaitan-
membantu klien dengan mengidentifikasi di nya dengan masalah yang dihadapi dan
mana proses berpikir mereka yang salah, mengurangi gejala-gejala (Hanlon et al.,
menantang asumsi yang melandasi pikiran 2014).
negatif mereka dan mengubah perilaku mereka. Kajian meta-analisis yang dilakukan
Behavioral activation merupakan salah satu oleh Cuijpers, Geraedts, van Oppen,
komponen dari Cognitive Behavior Therapy Andersson, Markowitz, dan van Straten
(CBT) yang dapat juga dijadikan metode (2011) menemukan bahwa IPT baik secara
independen dalam terapi. Behavioral independen maupun kombinasi dengan
activation berfokus untuk mendorong klien farmakoterapi efektif dalam menangani
secara aktif mengatur waktunya, mengelola depresi. Bahkan penanganan kombinasi IPT
kembali aktivitas rutinnya yang selama ini dan farmakoterapi lebih efektif dalam
hilang, dan yang terpenting memaparkan pada mencegah relapse dibandingkan hanya
mereka pengalaman-pengalaman potensial yang penanganan farmakoterapi saja (Cuijpers et
menyenangkan. Beberapa studi mengindikasikan al., 2011).
bahwa Behavioral Activation seefektif CBT, dan
lebih lugas untuk disampaikan pada klien, Problem-solving Therapy
terutama yang memiliki sumber daya terbatas Dalam Problem-solving Therapy terdapat
(Hanlon et al., 2014). beberapa tahapan terstruktur yaitu
klarifikasi dan mendefinisikan permasa-

54 Buletin Psikologi
INTERVENSI PSIKOLOGI DI LAYANAN KESEHATAN PRIMER

lahan, pilihan akan tujuan yang dapat utama dalam menangani kesehatan mental
dicapai, berbagai pilihan solusi, solusi yang anak-anak dan remaja. Psikoterapi
dipilih, implementasi pilihan solusi, dan merupakan salah satu praktik medis maka
evaluasi. Tujuan terapi ini untuk membantu dari itu seperti halnya dengan prosedur
pasien meningkatkan keterampilan-kete- medis lainnya, layanan psikoterapi perlu
rampilan diri dan sumber daya untuk ada di layanan kesehatan primer yang
menghadapi sumber tekanan psikososial mudah terjangkau oleh masyarakat.
yang berkontribusi pada kondisi kesehatan Depresi merupakan salah satu gang-
mentalnya (Hanlon et al., 2014). guan mental yang umum terjadi, dan
ditangani dengan berbagai pendekatan
Relaxation Therapy psikoterapi di layanan kesehatan primer,
Teknik relaksasi termasuk pelatihan namun masih sedikit studi follow-up untuk
relaksasi otot progresif, relaksasi imajinasi, mengetahui efektivitas psikoterapi dalam
biofeedback, dan teknik-teknik dari meditasi menangani kasus depresi dalam kaitannya
dan yoga. Keuntungannya adalah apabila dengan jangka waktu munculnya kembali
sudah dipelajari dan menguasai maka dapat gejala-gelaja depresi tersebut (relapse rate).
digunakan tanpa adanya supervisi dari Steinert, Hofmann, Kruse, dan Leichsenring
profesional. Selain itu terapi relaksasi dapat (2014) melakukan studi analisis terhadap
diberikan oleh non-spesialis yang sudah penelitian mengenai depresi untuk menge-
terlatih, bahkan pekerja non-kesehatan tahui jangka waktu relapse pasien depresi
sekalipun (Hanlon et al., 2014). dan membandingkan antara psikoterapi
dan intervensi non-psikoterapi pada pasien
Sebuah studi yang meneliti mengenai
depresi. Dari hasil penelitian ini ditemukan
relaksasi (relaksasi otot, kesadaran indera,
bahwa sekitar 40% pasien yang sebelumnya
dan yoga) untuk mengurangi keluhan fisik
diberi penanganan berupa psikoterapi
dalam desain eksperimen menunjukkan
memiliki setidaknya satu kali kemunculan
bahwa walaupun hasil analisis statistik
gejala depresi pada follow-up jangka
tidak menemukan adanya perbedaan antara
panjang.
kelompok eksperimen dan kontrol dalam
hal ketegangan secara umum, namun Apabila dibandingkan dengan inter-
terlihat ada penurunan ketegangan vensi non-psikoterapeutik lainnya (farma-
kelompok kontrol lebih sedikit dari ke- kologi dan penanganan biasa) pasien yang
lompok eksperimen (yaitu pada kelompok mendapatkan psikoterapi lebih sedikit
relaksasi otot). Keuntungan teknik ini mengalami relapse dibandingkan yang tidak
adalah penggunaannya yang mudah dan mendapatkan psikoterapi. Hal ini mendu-
praktis. Sehingga relaksasi dapat di- kung kritikan dari Harvey dan Gumport
rekomendasikan untuk dapat mengurangi (2015) bahwa pengobatan medis biasanya
keluhan fisik, walaupun kurang efektif lebih berfokus pada penghilangan gejala-
dalam menurunkan ketegangan gejala, namun intervensi psikologis lebih
(Prawitasari, 2011). pada penguatan individu sehingga yang
memungkinkan menjadi salah satu faktor
Efikasi dan Efektivitas Psikoterapi di Layanan mengapa relapse pada pasien dengan psiko-
Kesehatan Primer terapi lebih rendah daripada intervensi
dengan obat dan penanganan biasa.
Russel et al. (2012) menuliskan bahwa
psikoterapi yang terdiri dari elemen science Wolf dan Hopko (2008) mengulas
dan art merupakan salah satu intervensi mengenai data hasil intervensi psikososial

Buletin Psikologi 55
NOVIANTY & RETNOWATI

dan farmakologi di layanan primer untuk dalam jangka waktu pendek dengan 1-2 kali
penanganan depresi. Berdasarkan kesim- pertemuan dan setiap pertemuan berkisar
pulan secara umum bahwa psikoterapi, 15 menit. Sehingga penggunaan brief
farmakoterapi, dan model perawatan kola- psychotherapy di layanan kesehatan primer
boratif lebih unggul dibandingkan meluas di berbagai negara. Psikoterapi
perawatan biasa. Dari 10 studi mengenai singkat ini dapat mencegah gejala-gejala
psikoterapi dan farmakoterapi, enam studi yang dialami pasien menjadi semakin parah
diantaranya menunjukkan hasil luaran yang atau menyebar menjadi gejala lainnya.
relatif sama antara psikoterapi dan farma- Russel et al. (2012) memberikan gambaran
koterapi. Tiga studi menunjukkan hasil mengenai adanya perbedaan penggunaan
farmakoterapi lebih menguntungkan, dan psikoterapi di setting sekunder dan tersier
satu studi menunjukkan psikoterapi yang dengan layanan kesehatan primer, seperti
lebih menguntungkan. yang dapat dilihat di Tabel 1.
Dalam penelitian ini terdapat beberapa
hal yang dapat disimpulkan mengenai Tantangan Intervensi Psikologi di Layanan
efikasi penanganan spesifik di layanan Kesehatan Primer
kesehatan primer yaitu problem solving Verdoux, Cortaredona, Dumesnil,
therapy dan interpersonal therapy dianggap Sebbah, dan Veryer (2014) meneliti opini
intervensi yang kemungkinan memiliki 2114 dokter umum terhadap psikoterapi,
efikasi terhadap depresi minor dan ditemukan jawaban bahwa kebanyakan
dysthymia. Sementara itu, cognitive behavior doker umum beropini psikoterapi efisien
therapy memiliki efikasi sebagai intervensi untuk digunakan sebagai penanganan
untuk menangani depresi mayor dan depresi dan menyetujui bahwa psikoterapi
depresi minor atau dysthymia. Psikoterapi dapat menjadi intervensi independen untuk
menunjukkan hasil seefektif farmakoterapi, menangani pasien depresi ringan hingga
bahkan diindikasikan rata-rata mengalami moderat. Kebanyakan dokter umum
relapse lebih rendah dibandingkan menyatakan bahwa psikoterapi lebih cocok
farmakoterapi (Wolf & Hopko, 2008; digunakan untuk pasien dengan level
Steinert et al., 2014). Efikasi psikoterapi pendidikan tinggi. Hampir setengah jumlah
kognitif-perilakuan (Cognitive Behavioral responden sangat setuju dengan pendapat
Psychotherapy) yang dilakukan sebanyak bahwa terjadi pemberian resep di luar batas
delapan kali tatap muka selama 60 menit untuk obat anti-depressant. Ditemukan juga
setiap sesinya diaplikasikan oleh psikolog kendala terkait akses psikoterapi, yang
di layanan kesehatan primer pada pasien hanya dapat diadministrasikan oleh psiko-
gangguan kecemasan-depresif menunjukan log atau psikoterapis swasta yang tidak
hasil pasien merasa lebih nyaman untuk dapat dibayarkan oleh asuransi/tidak
datang ke layanan kesehatan primer ditanggung negara. Selain itu juga terdapat
dibandingkan ke layanan kesehatan mental kesulitan dalam membedakan berbagai tipe
(Jauregui et al., 2015). intervensi psikoterapi, dan adanya keeng-
Kenyataannya di lapangan, perlu ganan dari pasien untuk menggunakan
teknik khusus yang dilakukan di layanan layanan psikoterapi yang kemungkinan
kesehatan primer. Hal ini dikarenakan besar diakibatkan oleh stigma (Verdoux et
pasien yang datang ke layanan kesehatan al., 2014).
primer biasanya menginginkan penanganan

56 Buletin Psikologi
INTERVENSI PSIKOLOGI DI LAYANAN KESEHATAN PRIMER

Tabel 1
Perbedaan-perbedaan antara psikoterapi di layanan primer dan setting yang lain
Setting Psikoterapi
Komponen
Secondary/Tertiary Care Primary Care
Model Restrukturisasi, re-edukasi Suportif, Problem Solving
Sesi Beragam 1 atau 2
Durasi Sesi 40-45 menit 22-25 menit
Jadwal Kunjungan Reguler Sesi terencanakan Tidak selalu harus direncanakan
Formulasi Kasus Berorientasi pada “insight” Berorientasi pada problem-coping
Model Pendekatan Psikodinamika, Kognitif, Perilaku
Bermain, Keluarga
Fokus pada Di sini dan Saat in Orientasi ‘insight’ masa lalu Gejala di sini dan saat ini
Membuat Koneksi Dianjurkan Dianjurkan
Mendorong Aktivitas Pasien Dianjurkan Dianjurkan
Memanipulasi Lingkungan Jarang dilakukan Sering dilakukan
Landasan Terapi Psikopatologi Kesehatan
Hubungan Terapeutik Hubungan Terapeutik Teknik Terapeutik
Intensitas Tinggi Rendah
Kecocokan Pasien-Terapis Penting Tidak terlalu penting
Mendengarkan Empatik Sangat reflektif Sangat reflektif
Ekspektasi Harus dieksplorasi Tidak selalu dieksplorasi
Komunikasi Efektif Dianjurkan Dianjurkan
Proses Perubahan Didiskusikan Didiskusikan
Pengaturan batas Ditegakkan secara ketat Ditegakkan tidak secara ketat
Sumber: Russel, S., Russel, P. S., Kaur, M. S. D., Nair, M. K. C., & Darilin, D. (2012). Priority mental
health disorders of children and adolescents in primary-care pediatric settings in India 3:
Psychotherapy and other non-pharmacological interventions. Indian Journal of Pediatrics, 79(1), p.S37.

Stigma tidak hanya terjadi pada tenaga profesional yang lain. Namun ada
masyarakat umum dikarenakan di beberapa perubahan yang terjadi yaitu penggunaan
tempat literasi kesehatan mental masih pendekatan berpusat pada klien di layanan
rendah, namun juga adanya stigma di kesehatan primer.
antara kalangan profesional kesehatan di
layanan kesehatan primer itu sendiri Penerapan Psikoterapi untuk Populasi Status
(Corrigan et al., 2014). Untuk itu perlu Ekonomi Rendah
adanya pelatihan untuk meningkatkan
Kemiskinan dan diskriminasi dapat
pengetahuan mengenai gangguan mental
menyebabkan gangguan mental seperti
dan penanganannya di kalangan profe-
depresi mayor (Krupnick & Melnikoff, 2012)
sional kesehatan. Goncalves et al. (2013)
dan meningkatnya angka bunuh diri
membuat model untuk memberikan
(Reifels, Bassilios, Nicholas, Fletcher, King,
pengenalan tentang gangguan mental dan
Ewen, & Pirkis, 2015). Namun populasi
kesesuaian rujukan ke spesialis pada dokter
tersebut justru jarang mendapatkan layanan
umum, perawat, pekerja sosial, psikolog
kesehatan mental yang disebabkan adanya
dan pikiater. Hasil dari pelatihan ini
beberapa hambatan yaitu; (a) Hambatan
berbeda-beda, misalnya terjadi peningkatan
praktis seperti biaya, transportasi (biaya
pada kemampuan pengenalan gangguan
yang dibutuhkan untuk tiba di tempat
mental pada perawat, namun tidak pada

Buletin Psikologi 57
NOVIANTY & RETNOWATI

terapi), waktu/ jam klinik terbatas (biasanya ras/etnik terapis-pasien, kurangnya


waktu layanan psikoterapi adalah hari kerja komunikasi dan pemahaman budaya,
di mana berbenturan dengan waktu kerja perbedaan status ekonomi, pengalaman
mereka), lokasi klinik yang jauh, dan kesu- diskriminasi di masa lalu di layanan
litan untuk mencari pengasuhan anak kesehatan, dan adanya kepercayaan terten-
selama mereka dalam sesi terapi; (b) tu bahwa gangguan mental disebabkan dari
Hambatan Psikologis seperti adanya stigma, garis keturunan keluarga (Krupnick &
kurangnya tenaga profesional kesehatan Melnikoff, 2012; Mohr, Howard, Julian,
lainnya untuk menanyakan keadaan emosi Vella, Catledge, & Feldman, 2006). Harvey
pasien dikarenakan keterbatasan waktu, dan Gumport (2015) menuliskan ringkasan
ketidaktahuan tenaga profesional kesehatan mengenai hambatan-hambatan yang dapat
lain mengenai jalur rujukan yang tepat bila diubah dan kemungkinan solusi untuk
menemukan indikasi gangguan mental penanganan psikologi berbasis bukti
pada pasien; dan (c) Hambatan budaya/ ras/ empiris untuk gangguan mental.
etnik seperti perbedaan bahasa, perbedaan

Tabel 2
Hambatan dan Solusi Alternatif Penanganan Psikologi Berbasis Bukti Empiris

Hambatan-Hambatan Solusi Alternatif


Level Pasien  Masalah-masalah seperti transpor-  Membangun dan menguji model
tasi, perawatan anak, perjanjian pada konseptual hambatan-hambatan
waktu dan tempat yang nyaman, pada level pasien untuk membantu
identifikasi terapis yang ahli, meng- riset khusus mengenai itu dan usaha
hadiri sesi-sesi tepat waktu, dan membangun penanganan yang tepat.
menghadapi stigma.  Melanjutkan untuk menerjemahkan
 Motivasi untuk menghadiri sesi-sesi penelitian pada motivasi ke dalam
dan mematuhi rekomendasi pena- intervensi.
nganan.  Mengutamakan monitor luaran dan
 Keyakinan bahwa penanganan tidak mempublikasikan data luaran ke pu-
membantu dan kurangnya kesadaran blik agar dapat diakses oleh pasien.
akan layanan psikologi berbasis  Melanjutkan usaha untuk meningkat-
bukti empiris. kan akurasi dan kecepatan diagnosis.
 Menerima diagnosis yang akurat.

Level Terapis  Keyakinan terapis bahwa layanan  Menyediakan pelatihan untuk bias-
psikologi berbasis bukti empiris bias kognitif.
terlalu terstruktur dan berfokus pada  Mengadakan penelitian mengenai
teknik, dan tidak selalu memberikan bagaimana menyediakan pelatihan
luaran yang lebih baik. seperti manual, workshop ahli, kur-
 Preferensi terapis pada pendekatan sus jangka panjang dengan supervisi,
ekletik yang lebih fleksibel dan program berbasis internet.
menggabungkan beberapa strategi  Mengadakan penelitian untuk mem-
dari berbagai orientasi teoritis. bangun seberapa banyak pelatihan
diperlukan untuk tipe-tipe layanan
psikologi berbasis bukti empiris yang
berbeda.

58 Buletin Psikologi
INTERVENSI PSIKOLOGI DI LAYANAN KESEHATAN PRIMER

Hambatan-Hambatan Solusi Alternatif


Level  Kesulitan identifikasi layanan  Membangun sumber definitif untuk
Penanganan psikologi berbasis bukti empiris yang identifikasi layanan psikologi berba-
sesuai. sis bukti empiris.
 Ruang untuk meningkatkan layanan  Melanjutkan untuk berinovasi.
psikologi berbasis bukti empiris saat  Transdiagnostic dan modularized
ini. treatment.

Level Organisasi  Skeptis bahwa penanganan baru  Meningkatkan iklim organisasi dan
akan membantu. mengurangi tekanan untuk penyedia
 Kurangnya dukungan administratif penanganan.
dan waktu staf.  Membangun pendekatan yang
 Lingkungan yang penuh tekanan. inovatif.

Level  Menyediakan biaya untuk gangguan  Para ahli layanan psikologi berbasis
Pemerintah mental dengan nilai yang sama bukti empiris terlibat dalam advokasi
dengan gangguan fisik. dan perkembangan kebijakan untuk
 Struktur dan kebijakan perawatan memastikan layanan psikologi berba-
kesehatan. sis bukti empiris sebagai penanganan
 Kurangnya penyedia layanan psiko- terdepan.
logi berbasis bukti empiris yang  Lebih banyak dokumen mengenai
terlatih. efektivitas biaya jangka pendek dan
jangka panjang layanan psikologi
berbasis bukti empiris.
Sumber: Harvey, A. G., & Gumport, N. B. (2015). Evidence-based psychological treatments for mental
disorders: Modifiable barriers to access and possible solutions. Behaviour Research and Therapy, 68, p.3.

Tele-mental Health Program dijangkau karena keterbatasan transportasi


dan stigma terhadap layanan kesehatan
Memanfaatkan teknologi merupakan salah
mental masih sangat tinggi. Sesi terdiri dari
satu langkah inovatif untuk meningkatkan
delapan kali pertemuan dan setiap sesi
layanan psikologi, seperti yang diteliti oleh
terdiri dari agenda dan edukasi khusus.
Mohr, Howard, Julian, Vella, Catledge, dan
Adapun pasien yang drop-out dikarenakan
Feldman (2006) bahwa hambatan praktis
adanya resistensi dan kesiapan pasien
dapat diatasi dengan tele-mental health
terhadap eksperimen pikiran dan perilaku,
program. Tutty, Ludman, dan Simon (2005)
terutama bagi mereka yang menghentikan
mengujicobakan layanan psikoterapi
pengobatan anti-depressant. Bahan yang
melalui telepon dengan program cognitive
diberikan pada pasien yaitu surat balikan
behavior therapy. Hasilnya 80% pasien tetap
secara personal, koordinasi perawatan, self
mengikuti layanan ini sementara sisanya
care plan, dan supervisi klinis.
drop-out. Layanan ini dianggap sangat
mudah diakses mengurangi waktu pasien Sheldon, Waxmonsky, Meir, Morris,
meninggalkan pekerjaannya, hambatan Finkekstein, Sosa, dan Brody (2014)
transportasi, dan biaya dibandingkan mengembangkan The Telephonic Assessment,
perawatan dengan cara konvensional (tatap Support, and Counseling Program (TACS)
muka). Intervensi ini diberikan dengan untuk pasien depresi di layanan kesehatan
prosedur yang telah ditetapkan. Terapi ini primer. Di Amerika penanganan depresi
dianggap cocok untuk wilayah yang sulit banyak dilakukan oleh Primary Care

Buletin Psikologi 59
NOVIANTY & RETNOWATI

Psychologist, dan rekognisi terhadap depresi Kepuasan pasien berasosiasi dengan


pun semakin meningkat, hanya saja kredibilitas penanganan, harapan akan
kepatuhan untuk minum obat anti- penanganan, dukungan sosial, dan adanya
depressant sangat rendah. Target dari perubahan dengan gejala depresi dan
program ini adalah warga di perkotaan kecemasan pasien pada keseluruhan
yang berstatus ekonomi di bawah rata-rata sampel, namun hanya kredibilitas pena-
dengan beragam populasi etnik. TASC nganan dan kepatuhan pasien yang mem-
terdiri dari tim multidisiplin yaitu psikolog, prediksi kepuasan pasien dalam kelompok
dokter umum, ahli farmasi, dan pekerja CBT. Pasien dewasa yang memiliki keya-
sosial. Program ini menggunakan behavioral kinan kuat akan tujuan dari penanganan
activation yang dinilai berbasis empiris dan dan mengikuti rekomendasi terapis mela-
dapat diberikan dalam waktu singkat. porkan kepuasan yang lebih besar pada saat
Adapun yang menjadi prosedur target yaitu akhir penanganan. Kepatuhan menjadi
edukasi mengenai depresi, kepatuhan mediator dalam hubungan antara kredibi-
pengobatan, dan strategi untuk mengajari litas penanganan dan kepuasan pasien
pasien untuk memonitor suasana hati dan dalam jangka waktu segera setelah pena-
kegiatan rutin mereka untuk meningkatkan nganan dan tiga hingga enam bulan
aktivitas kesehatan mereka. Selain itu juga kemudian (Hundt et al., 2013). Dengan kata
diberikan Motivational Interviewing untuk lain penanganan yang memiliki pengaruh
meningkatkan kepatuhan minum obat dan pada pasien akan memengaruhi persepsi
konseling depresi. Keuntungan dari pro- pasien dan meningkatkan kepatuhannya
gram ini adalah mampu menjangkau area untuk menjalankan rekomendasi terapis
geografis yang lebih luas dan juga dapat sehingga meningkatkan kepuasannya
memilih terapis yang berbahasa sama terhadap penanganan.
dengan pasien.
Penutup
Evaluasi Program
Salah satu komponen terpenting dari Ditemukannya indikator kasus gangguan
sebuah evaluasi program adalah kepuasan mental di layanan kesehatan primer adalah
pasien. Terdapat dua tipe harapan pada nyata adanya. Dapat dikatakan bahwa di
pasien mengenai penanganan kesehatan tingkat layanan kesehatan primer dasar
mental, yang pertama harapan mengenai dibutuhkan adanya layanan psikologi.
hasil dari penanganan, yang kedua adalah Namun demikian, layanan psikologi yang
apakah penanganan sesuai dengan apa diberikan di layanan kesehatan primer tidak
yang diharapkan pasien. Hundt, Armento, serta merta dapat diterima dengan mudah
Porter, Cully, Kunik, dan Stanley (2013) dan efektif, dikarenakan literasi kesehatan
meneliti tentang kepuasan pasien gangguan mental masyarakat yang masih rendah,
kecemasan menyeluruh yang diberikan stigma yang melekat terkait gangguan
penanganan CBT dan penanganan biasa. mental, dan juga perlunya penguatan
Hasilnya menunjukkan bahwa kepuasan penggunaan teknik-teknik layanan psiko-
pasien gangguan kecemasan menyeluruh logi yang cocok untuk dapat diterapkan di
dengan penanganan CBT lebih tinggi level dasar dan proses kerja di layanan
dibandingkan penanganan biasa dengan kesehatan primer. Maka dari itu, telah
menggunakan desain randomized controlled banyak artikel ilmiah dan penelitian-
trial (RCT). penelitian mengenai berbagai jenis layanan
psikologis yang dapat diterapkan di

60 Buletin Psikologi
INTERVENSI PSIKOLOGI DI LAYANAN KESEHATAN PRIMER

layanan kesehatan primer. Salah satu jenis (CPMH), Fakultas Psikologi Universitas
layanan psikologis yang dimaksud adalah Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
inovasi perawatan kolaboratif dan Donker, T., Griffiths, K. M., Cuijpers, P., &
pemanfaataan teknologi dalam layanan Christensen H. (2009). Psychoeducation
psikologi yang dapat menjangkau seluruh for depression, anxiety, and
lapisan masyarakat dan area geografis yang psychological distress: A meta-analysis.
lebih luas. Tentu saja masih banyak BMC Medicine, 7(79), 1-9.
pekerjaan rumah, yang mungkin secara
Goncalves, D. A., Fortes, S., Campos, M.,
teknis harus diselesaikan. Akan tetapi
Ballester, D., Portugal, F. B., Tofoli, L. F.,
penting bagi para praktisi kesehatan mental
Gask, L., Mari, J., & Bower, P. (2013).
dan pengambil kebijakan untuk mulai
Evaluation of a mental health training
berpikir ke depan mengenai layanan
intervention for multidisciplinary teams
psikologi di layanan kesehatan primer yang
in primary care in Brazil: A pre-and
dapat dijangkau dengan mudah, murah,
posttest study. General Hospital
preventif, dan ramah budaya.
Psychiatry, 35, 304-308.
Grandes, G., Montoya, I., Arietaleaniz-
Daftar Pustaka beaskoa, M. S., Arce V., & Sanchez, A.
Ansseau, M., Dierick, M., Buntinkx, F., (2011). The burden of mental diorders in
Cnockaert, P., De Smedt, J., Van Den primary care. European Psychiatry, 26,
Haute, M., & Mijnsbrugge, D. V. (2004). 428-435.
High prevalence of mental disorders in Hanlon, C., Fekadu, A., & Patel, V. (2014).
primary care. Journal of Affective Interventions for Medical Disorders in
Disorders, 78, 49-55. V. Patel, H. Minas, A. Cohen, & M. J.
Burns, J. K. (2014). The burden of untreated Prince (Eds.), Global mental health:
mental disorders in KwaZulu-Natal Principles and practice (pp. 401-424). New
Province-Mapping the treatment gap. York: Oxford University Press.
South African Journal of Psychology, 20(1), Harvey, A. G., & Gumport, N. B. (2015).
6-10. Evidence-based psychological treat-
Corrigan, P. W., Mittal, D., Reaves, C. M., ments for mental disorders: Modifiable
Haynes, T. F., Han, X., Morris, S., & barriers to access and possible solutions.
Sullivan, G. (2014). Mental health Behaviour Research and Therapy, 68, 1-12.
stigma and primary health care Hundt, N. E., Armento, M. E. A., Porter, B.,
decisions. Psychiatry Research, 218, 35-38. Cully, J. A., Kunik, M. E., & Stanley, M.
Cuijpers, P., Geraedts, A. S., van Oppen, P., (2013). Predictors of treatment satis-
Andersson, G., Markowitz, J. C., & van faction among older adults with anxiety
Straten, A. (2011). Interpersonal in a primary care psychology program.
psychotherapy for depression: A meta- Evaluation and Program Planning, 37, 58-
analysis. American Journal of Psychiatry, 63.
168(6), 581-592. Jauregui, A., Ponte, J., Salgueiro, M.,
Dinas Kesehatan DIY. (2015). Strategi Unanue, S., Donaire, C., Gomez, M. C.,
kesehatan jiwa peluang bagi psikolog. Burgos-Alonso, N., & Grandes, G.
Dipresentasikan pada Seminar Mental (2015). Efficacy of a cognitive and
Health Week yang diadakan oleh behavioural psychotherapy applied by
Center for Public Mental Health primary care psychologist in patients

Buletin Psikologi 61
NOVIANTY & RETNOWATI

with mixed anxiety-depressive disorder: Patel, V. (2007). Mental health in low-and


A research protocol. BMC Family middle-income countries. British Medical
Practice, 16, 39, 1-7. Bulletin, 81, 81-96.
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset Prawitasari, J. E. 2011. Psikologi klinis:
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Pengantar terapan mikro dan makro.
Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Jakarta: Erlangga.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengem- Putri, A. S., Martiningtyas, M. A. D., Sagala,
bangan Kesehatan. A. E. S. B., Erawan, G. N., Yana, I. P. A.,
Kohn, R., Saxena, S., Levav, I., & Saraceno, Martiningtyas, D., Matulu, S.,... &
B. (2004). The treatment gap in mnetal Subandi. (2013). Era baru kesehatan
health care. Bulletin of the World Health mental Indonesia: Sebuah kisah dari
Organization, 82(11), 858-866. desa siaga sehat jiwa (DSSJ). Jurnal
Krupnick, J. L., & Melnikoff, S. E. (2012). Psikologi, 40(2), 169-180.
Psychotherapy with low-income Rathod, S., Kingdon, D., Smith, P., &
patients: Lesson learned from treatment Turkington, D. (2005). Insight into
studies. Journal of Contemporary schizophrenia: The effects of cognitive
Psychotherapy, 42, 7-15. behavioural therapy on the components
McBain, R., Salhi, C., Morris, J. E., Salomon, of insight and association with
J. A., & Betancourt, T. S. (2012). Disease sociodemographics-data on a
burden and mental health system previously published randomised
capacity: WHO atlas study of 117-low- controlled trial. Schizophrenia Research,
and middle-income countries. The 74, 211-219.
British Journal of Psychiatry, 201, 444-450. Reifels, L., Bassilios, B., Nicholas, A.,
Mclnnis, M. G., & Merajver, S. D. (2011). Fletcher, J., King, K. Ewen, S., & Pirkis,
Global mental health: Global strengths J. (2015). Improving access to primary
and strategies task-shifting in a shifting mental healthcare for indigenous
health economy. Asian Journal of Australians. Australian & New Zealand
Psychiatry, 4, 165-171. Journal of Psychiatry, 49(2), 118-128.

Mohr, D. C., Howard, I., Julian, L., Vella, L., Retnowati, S. (2011). Psikolog PUSKESMAS:
Catledge, C., & Feldman, M. D. (2006). Kebutuhan dan Tantangan bagi Profesi
Barriers to psychotherapy among Psikologi Klinis Indonesia. Pidato
depressed and non-depressed primary Pengukuhan (tidak dipublikasikan). Yogya-
care patients. The Society of Behavioral karta: Fakultas Psikologi UGM.
Medicine, 32(3), 254-258. Roca, M., Gili, M., Garcia-Garcia, M., Salva,
Mueser, K. T., & McGurk, S. R. (2004). J., Vives, M., Campayo, G., & Comas, A.
Schizophrenia. Lancet, 363, 2063-2072. (2009). Prevalence and comorbidity of
common mental disorders in primary
Ngui, E. M., Khasakhala, L., Ndetei, D., &
care. Journal of Affective Disorders, 119,
Roberts, L. W. (2010). Mental disorders,
52-58.
health inequalities and ethics: A global
perspective. International Review of Russel, S., Russel, P. S., Kaur, M. S. D., Nair,
Psychiatry, 22(3), 235-244. M. K. C., & Darilin, D. (2012). Priority
mental health disorders of children and
adolescents in primary-care pediatric
settings in India 3: Psychotherapy and

62 Buletin Psikologi
INTERVENSI PSIKOLOGI DI LAYANAN KESEHATAN PRIMER

other non-pharmacological interven- phone psychotherapy program for


tions. Indian Journal of Pediatrics, 79(1), depressed adults treated in primary
S33-S38. care. General Hospital Psychiatry, 27, 400-
Sheldon, C., Waxmonsky, J. A., Meir, R., 410.
Morris, C., Finkekstein, L., Sosa, M., & Verdoux, H., Cortaredona, S., Dumesnil, H.,
Brody, D. (2014). Telephone assessment, Sebbah, K., & Veryer, P. (2014). Psycho-
support, and counseling for depression therapy for depression in primary care:
in primary care medical clinics. A panel survey of general practitioners’
Cognitive and Behavioral Practice, 21, 282- opinion and prescribing practice. Social
295. Psychiatry and Psychiatric Epidemiology,
Steinert, C., Hofmann, M., Kruse, J., & 49, 59-68.
Leichsenring, F. (2014). Relapse rates Widiyani, R. (2013, Juli 16). Pasien
after psychotherapy for depression – gangguan jiwa bisa dirawat di
stable long-term effects? A meta- lingkungan masyarakat. Kompas.
analysis. Journal of Affective Disorders, Diunduh dari
168, 107-118. http://health.kompas.com/read/2013/07/16/1
Tolin, D. F. (2010). Is cognitive behavioral 047559/Pasien.Gangguan.Jiwa.Bisa.Dirawa
therapy more effective than other t.di.Lingkungan.Masyarakat.
therapies? A meta-analytic review. Wolf, N. J., & Hopko, D. R. (2008).
Clinical Psychology Review, 30(6), 710- Psychosocial and pharmacological
720. interventions for depressed adults in
Tursi, M. F. S., Baes, C. W., Camacho, F. R. primary care: A critical review. Clinical
B., Tofoli, S. M. C., & Juruena, M. F. Psychology Review, 28, 131-161.
(2013). Effectiveness of psychoeducation World Health Organization. (2001). The
for depression: A systematic review. world health report 2001 – mental health:
Australian & New Zealand Journal of New understanding, new hope. Geneva:
Psychiatry, 47(11),1019-1031. WHO Library Cataloguing-in-
Tutty, S., Ludman, E. J., & Simon, G. (2005). Publication Data.
Feasibility and acceptability of a tele-

Buletin Psikologi 63

You might also like