You are on page 1of 16

KETAHANAN SOSIAL NELAYAN:

UPAYA MERUMUSKAN INDIKATOR KERENTANAN


(VULNERABILITY) TERKAIT DENGAN BENCANA
PERUBAHAN IKLIM
Ary Wahyono
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
E-mail: ary_wahyono@yahoo.com

Diterima: 19-10-2016 Direvisi: 14-11-2016 Disetujui: 22-12-2016

ABSTRACT
Studies on the impact of climate change on the vulnerability of fishermen communities are still rare. The
vulnerability studies highlight the physical dimensions whereas the social dimensions with climatic change
are rarely performed. This paper attempts to obtain an understanding about the issue of the vulnerability of
fishermen communities with climate change context. Vulnerability caused as a result of climate change is an
important component of any effort to determine the magnitude of the threat posed by its natural phenomenon.
Measuring the social vulnerability indicators starts from the understanding about social vulnerability refers to the
exposure that is an exposure acceptance of a danger or stress conditions in groups or individual level. The level
of social vulnerability is strongly influenced by access factor to natural resources and diversity of income sources.
Vulnerability changes all the time, both in short or long term, depending on how much adaptation changes, as in
the character threats, exposure to the threats, sensitivity, and capacity to response or recovery efforts that produce
results quicker. Vulnerability analysis is useful for determining the effective instrument to propose the corrective
actions with defensive strategies and facilitate the adaptation. One of the important things is vulnerability happens
when the fishermen do not have the anticipation capacity to make any adjustments or efforts to overcome the impact
of natural disasters due to weather anomalies or extreme weather. Reduced income plus the growing debt-ridden
life sustaining household is vulnerability characteristic. Meanwhile, there is no mechanism solutions to overcome
the marginalization of fishermen, there is no diversification of the fishing gear, and no other activities outside the
fishery. The social relations pattern on a patron-client fishing community does not help fishermen (workers) from
the slump caused by climate change. Collectivity do not provide an insurance for lower groups, while institutional
foundations are underprivileged to provide social durability to fishermen communities as a whole.

Keywords: fishing vulnerability, exposure, adaptive capacity, climate change

ABSTRAK
Studi tentang dampak perubahan iklim terhadap kerentanan masyarakat nelayan masih jarang dilakukan.
Studi tentang kerentanan lebih menyoroti dimensi kerentanan fisik, sedangkan dimensi sosial terkait dengan
perubahan iklim kurang sekali dilakukan. Tulisan ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman mengenai isu
kerentanan masyarakat nelayan yang kontekstual dengan perubahan iklim. Kerentanan yang ditimbulkan sebagai
dampak perubahan iklim merupakan komponen penting dari setiap upaya untuk menentukan besarnya ancaman
yang ditimbulkan oleh fenomena alam dari perubahan iklim. Upaya mengukur indikator kerentanan sosial (social
vulnerability) berangkat dari pemahaman bahwa kerentanan sosial merujuk pada keterpaparan, yaitu penerimaan
terhadap terpaan suatu bahaya atau terdapatnya kondisi stress di tingkat kelompok atau perorangan akibat terpaan
suatu bencana. Tingkat kerentanan masyarakat tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor akses terhadap sumber daya
alam dan diversitas sumber pendapatan. Kerentanan dapat berubah setiap saat, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang, tergantung seberapa besar perubahan adaptasi, seperti karakter ancaman, exposure to the threats,
sensitivitas, dan capacity to response atau usaha pemulihan yang menghasilkan hasil lebih cepat. Analisis kerentanan
sangat bermanfaat untuk menentukan instrumen apa yang efektif untuk mempromosikan tindakan perbaikan dengan
strategi bertahan dan memfasilitasi adaptasi yang dilakukan. Salah satu temuan penting adalah kerentanan terjadi
jika nelayan tidak memiliki kapasitas mengantisipasi dengan melakukan penyesuaian atau upaya mengatasi dampak
dari bencana alam akibat anomali cuaca atau cuaca ekstrem. Penghasilan yang berkurang ditambah dililit utang
yang semakin membesar untuk menopang kehidupan rumah tangga adalah karakteristik kerentanan. Sementara itu,

185 
tidak ada mekanisme solusi untuk mengatasi terjadinya marginalisasi nelayan, tidak ada diversivikasi alat tangkap,
dan tidak ada kegiatan mata pencaharian di luar perikanan. Pola relasi sosial patron-client pada komunitas nelayan
tidak menolong nelayan (buruh) dari keterpurukan akibat perubahan iklim. Kolektivitas yang ada tidak memberikan
asuransi bagi kelompok lapisan bawah, sementara pranata kelembagaan kurang mampu memberikan daya tahan
sosial masyarakat nelayan secara keseluruhan.

Kata kunci: kerentanan nelayan, keterpaparan, kapasitas adaptasi, perubahan iklim

PENDAHULUAN yang dihadapi adalah masih kurangnya kajian


Nelayan hidup dalam suatu lingkungan yang tidak pemahaman kerentanan sosial budaya masyara-
menentu (uncertainity). Ketidakmenentuan yang kat pesisir dan nelayan akibat dari perubahan
menjadi karakteristik kehidupan nelayan berakar iklim. Sebagaimana diketahui bahwa kerentanan
dari kondisi lingkungan fisik dan sosial tempat sosial berkembang dari adanya asumsi bahwa
kegiatan nelayan berlangsung. Laut adalah ling- kehidupan manusia berada dalam risiko besar
kungan fisik tempat nelayan mencari ikan atau jika terjadi bencana alam (Adger, 1998, 249).
biota laut lainnya yang tidak mudah ditangkap Risiko tersebut membuat banyak ilmuwan sosial
karena ikan berpindah-pindah atau melakukan mengembangkan berbagai kajian yang mempela-
migrasi sesuai dengan musimnya. Jumlah ikan jari proses interaksi dan adaptasi manusia dengan
dapat bertambah atau berkurang sehingga para lingkungan fisik di sekitarnya. Sementara itu,
ahli perikanan tidak mudah untuk memperkirakan kalangan ilmuwan masih lebih banyak melihat
berbagai kecenderungan yang terjadi (Acheson, risiko-risiko yang ada berkaitan dengan lokasi
1981, 272). Oleh sebab itu, nelayan yang hanya geografis tertentu. Kajian-kajian tersebut terus
dibekali kemampuan terbatas memerlukan per­ berkembang sehingga istilah ‘kerentanan’ sering
alatan atau teknologi tertentu untuk melakukan muncul dalam pembahasan risiko bencana dan
aktivitas di laut di lingkungan yang berbahaya akhirnya menjadi konsep yang lazim dipakai
dan bertahan hidup di atasnya. untuk menganalisis lingkungan.
Ketidakmenentuan tidak hanya terjadi di
Tujuan utama dari tulisan ini adalah melaku-
lautan, melainkan juga di daratan. Keberhasilan
kan identifikasi terhadap indikator-indikator
nelayan dalam melakukan penangkapan ikan
kerentanan sosial nelayan terkait dengan bencana
belum tentu bisa menjamin penghasilan yang
perubahan iklim. Tema kerentanan merupakan
memadai. Hal ini terjadi karena nelayan memiliki
komponen penting dari setiap upaya untuk me-
keterbatasan untuk bisa mengikuti mekanisme
nentukan besarnya ancaman yang ditimbulkan
pasar dan mereka secara fisik tidak selalu ada di
daratan. Di samping itu, faktor tingkat fluktuasi oleh bencana fenomena alam dari perubahan
harga ikan di pasar yang begitu tinggi dan sangat iklim. Analisis kerentanan sangat bermanfaat
sulit diramalkan sehingga semakin menambah untuk menentukan indikator efektif untuk mem-
ketidakpastian (Acheson, 1981, 281). Oleh promosikan tindakan perbaikan dengan strategi
karena usaha perikanan sangat bergantung pada bertahan dan memfasilitasi adaptasi yang dilaku-
musim, harga, dan pasar, sebagian besar karakter kan. Indikator adalah salah satu metode yang
masyarakat pesisir bergantung pada faktor-faktor dapat digunakan untuk menentukan kerentanan
tersebut yang menyebabkan mereka semakin akibat dari dampak perubahan iklim. Indikator
rentan ketika terjadi perubahan iklim. juga dapat digunakan untuk melakukan monitor-
ing perubahan-perubahan yang terjadi terutama
Berkaitan dengan hal tersebut, agar per­
untuk menentukan apakah intervensi dapat di-
ubahan iklim tidak semakin memperburuk
lakukan untuk mengurangi tingkat kerentanan
kehidupan masyarakat nelayan, diperlukan
atau tidak (King & MacGregor, 2000, 52).
upaya mengatasi kerentanan melalui strategi
adaptasi meskipun melakukan program aksi Kedua, adaptasi adalah topik kebijakan
strategi adaptasi menghadapi perubahan iklim yang sangat relevan dan perlu diperhatikan jika
di Indonesia itu tidak mudah. Salah satu kendala dikaitkan dengan bahaya atau kebencanaan dari
perubahan iklim dan upaya yang perlu dilakukan

186 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 No.2, Desember 2016 


dalam mengatasi dampak dari perubahan iklim. mempermudah masyarakat mengatasi kerentanan
Ketiga, banyak studi tentang kerentanan lebih atau kemiskinan yang dihadapi. Dengan kata
menyoroti dimensi kerentanan fisik, sedangkan lain, dengan tumbuhnya modal sosial, modal
dimensi sosial terkait dengan perubahan iklim kapital, modal sumber daya, dan modal sumber
jarang sekali dilakukan. Oleh sebab itu, hal yang daya manusia, masyarakat memiliki kapasitas
perlu dilakukan dalam setiap melakukan analisis adaptasi yang meningkat untuk menghadapi
kerentanan adalah mempertimbangkan apa yang bencana atau ancaman akibat perubahan iklim.
disebut ‘arsitektur hak’ (architecture of entitle- Dengan tumbuhnya berbagai modal sosial, capi-
ments); faktor-faktor sosial, ekonomi, dan kelem- tal, dan sebagainya akan mendorong masyarakat
bagaan yang mempengaruhi tingkat kerentanan bertindak mengatasi kerentanan yang tergambar
dalam masyarakat atau bangsa; mempromosikan dari adanya penganekaragaman mata pencaha­
atau membatasi pilihan untuk adaptasi (Kelly & rian, aksi peningkatan ketahanan pangan, dan
Adger, 2000, 348). Pendekatan dalam tulisan ini sebagainya (Macchi dkk., 2011, 4).
menggunakan sustainable livelihoods approach,
yakni pendekatan yang mencoba mendeskripsi-
KERENTANAN MASYARAKAT
kan aset-aset yang terdapat dalam sistem mata
pencaharian masyarakat nelayan, seperti sistem Pemahaman kerentanan masyarakat terkait dam-
permodalan, modal sumber daya alam, modal pak perubahan iklim dapat dibedakan menjadi
sosial, dan sumber daya manusia (Adger dkk., tiga model pemahaman, yakni (1) kajian keren-
2004, 2). Untuk mendeskripsikan kerentanan tanan sosial yang memfokuskan pada identifikasi
sosial, metode yang dilakukan melalui penafsiran kondisi kerentanan perorangan dan tempat akibat
tingkat pertama (the first order understanding) adanya kejadian alam yang ekstrem, (2) kajian
terhadap konsep kerentanan sosial berdasarkan kerentanan yang berangkat dari asumsi bahwa
perspektif para pelaku (actors) yang menjadi kerentanan adalah suatu kondisi sosial yang
subjek penelitian itu sendiri. Kemudian, hasil merupakan ukuran resistensi dan resiliensi so­
yang diperoleh dari penafsiran tingkat pertama sial terhadap suatu bencana, dan (3) kajian yang
menjadi “bahan baku” penafsiran tingkat kedua menjelaskan interaksi antara keterpaparan (ex-
(the second order understanding) yang berguna posure) yang potensial dan resiliensi sosial pada
untuk membantu analisis resiliensi sosial budaya tempat atau wilayah tertentu (Cutter dkk., 2003,
masyarakat pesisir akibat perubahan iklim (Gid- 242). Model pertama lebih menekankan pada
dens, 1984, 24). keterpaparan akibat perubahan iklim (exposure
climate change) dan perubahan sosio-ekonomi
Tulisan ini merupakan sintesis laporan
(socio economic change); risiko seperti apa yang
penelitian yang pernah dilakukan di empat lo-
dihadapi atau kemungkinan terjadi bencana yang
kasi penelitian, yaitu Jawa Timur (Probolinggo,
dapat membawa hasil yang tidak diinginkan.
Banyuwangi, dan Pacitan), Minahasa Utara,
Risiko adalah kerugian yang terjadi dalam sistem
Sulawesi Utara, dan Pulau Selayar, Sulawesi
mata pencaharian akibat kejadian bencana alam
Selatan. Adapun substansi yang dibahas terkait
tertentu. Contoh risiko dalam dunia perikanan,
dengan permasalahan kerentanan masyarakat
misalnya hilangnya sumber daya ikan, biaya
pesisir akibat perubahan iklim, yaitu seberapa
melaut yang semakin bertambah, dan lain-lain.
jauh keterpaparan (exposure to climate change),
Keterpaparan perubahan iklim menunjuk pada
sensitivitas, dan kapasitas adaptasi yang dialami
kehadiran bencana, perorangan, rumah tangga
masyarakat pesisir dalam menghadapi perubahan
atau kelompok sosial. Oleh sebab itu, kerentanan
iklim. Ketiga substansi kerentanan tersebut saling
sering diartikan sebagai a function of exposure to
berkaitan dan terintegrasi. Seberapa jauh tingkat
risk or as measure of coping capabilities (Tuller
kerentanan masyarakat tersebut ditentukan oleh dkk., 2008, 174).
kebijakan, kelembagaan, dan proses-proses
Dengan demikian, upaya mengukur indikator
intervensi yang dilakukan, baik oleh pemerintah
kerentanan sosial (social vulnerability) berangkat
maupun LSM atau lembaga swasta lainnya.
dari pemahaman bahwa kerentanan sosial merujuk
Kebijakan dan intervensi program tentunya
pada keterpaparan, yaitu penerimaan terhadap

Ary Wahyono | Ketahanan Sosial Nelayan ... | 187


keterpaan suatu bahaya atau terdapatnya kondisi dkk. dalam Gallopin (2006, 316) mendefinisikan
stres di tingkat kelompok atau perorangan akibat resiliensi sebagai kapasitas sebuah sistem sosial
terpaan suatu bencana. Tingkat kerentanan ma- untuk menyerap gangguan dan melakukan reor-
syarakat tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor ganisasi pada saat mengalami perubahan sehingga
akses terhadap sumber daya alam dan diversitas dapat mempertahankan fungsi, struktur, identitas,
sumber pendapatan. Kerentanan dapat berubah dan masukan- masukan atau dengan kata lain
setiap saat, baik dalam jangka pendek maupun tetap tidak berubah dalam dasar daya tarik.
jangka panjang, tergantung seberapa besar pe- Definisi lainnya menjelaskan resiliensi so­sial
rubahan adaptasi, karakter ancaman, exposure sebagai kemampuan dari kelompok-kelompok
to the threats, sensitivitas, dan usaha pemulihan atau komunitas untuk mengatasi tekanan dan
yang menghasilkan hasil cepat. gangguan eksternal yang muncul sebagai hasil
Model kedua, menjelaskan interaksi antara dari perubahan sosial, politik, dan lingkungan
keterpaparan yang potensial dan resiliensi sosial (Adger, 2000, 348).
pada tempat atau wilayah tertentu lebih tertuju Konsep pengertian resiliensi sering di-
pada sensitivitas. Sensitivitas merujuk pada de- hubungkan dengan konsep kapasitas adaptif
rajat di mana individu atau kelompok mengalami (adaptive capacity) dan kerentanan (vulnerabi­
kerugian ketika bencana menimpanya. Dengan lity). Gallopin (2006, 229) mengemukakan bahwa
demikian, sensitivitas berkaitan dengan frekue- pengertian resiliensi tidak dapat dipisahkan de­
nsi orang atau kelompok menghadapi bencana ngan konsep kapasitas adaptif dan kerentanan. Hal
tersebut. Seberapa besar individu atau kelompok tersebut sesuai dengan sebagaimana dikatakan
sosial memiliki sensitivitas dipengaruhi karakte­ oleh Seth Tuller bahwa resilience ability of social
ristik masyarakat. Pengertian sensivitas ini sering systems to recover from stresses or perturbations,
dihadapkan dengan resiliensi. Sebagai contoh including adaptation, coping, adaptive capacity,
dalam dunia perikanan, upaya untuk mening- and adjustment. Resilience arises from incidental
katkan kerentanan sering kali berakibat nelayan or purposeful responses that occur after experi-
tidak memiliki sensitivitas terhadap bencana yang ence of an exposure or in expectation of a future
kemungkinan dapat menyebabkan risiko kerugian exposure (Tuller dkk., 2008, 373).
(Tuller dkk., 2008, 174). Pendapat di atas cenderung melihat resiliensi
Model ketiga berikut ini dipilih penulis untuk bagian dari kerentanan. Sementara itu, Gallopin
menjelaskan kerentanan masyarakat pesisir akibat (2006, 293) mengajukan skema yang berbeda
perubahan iklim untuk membantu perumusan dalam melihat konsep-konsep tersebut. Baginya
indikator sosial. Model ketiga adalah resiliensi ada tiga variabel yang membentuk segi tiga hori-
(resilience) atau kelenturan terhadap bahaya yang zontal, yaitu kerentanan, resiliensi, dan kapasitas
dipicu oleh perubahan iklim. Resiliensi berasal adaptif. Kerentanan disusun oleh sensitivitas,
dari konsep disiplin ekologi (Denslow, 1985, kapasitas untuk merespons, dan keterpaparan.
376). Konsep resiliensi ini kemudian dipakai Sensitivitas menunjuk pada derajat perorangan
kalangan ilmuwan sosial untuk menjelaskan dam- atau kelompok kemungkinan mengalami bahaya
pak sosial perubahan iklim. Resiliensi memiliki ketika terkena ancaman. Sensitivitas sangat di-
banyak pengertian. Dalam konteks sosial, definisi pengaruhi oleh faktor terlalu sering menerima
resiliensi dijelaskan dengan memasukkan aspek keterpaparan, yaitu kehadiran bencana atau bahaya
kapasitas dari individu, komunitas, wilayah atau akibat perubahan iklim, baik bersifat musiman
negara (Conner, 2005, 12). Holling dalam Gallo- atau tidak, yang menimpa perorangan, rumah
pin (2006, 298) mendefinisikan resiliensi sebagai tangga, masyarakat, lokal dan regional. Sementara
pengukuran dari kegigihan sistem-sistem dan itu, kapasitas untuk merespons adalah salah satu
kemampuan suatu sistem sosial-kemasyarakatan bentuk resiliensi yang muncul secara tiba-tiba atau
untuk menyerap perubahan dan gangguan serta disengaja yang terjadi setelah mengalami bencana.
dapat mempertahankan semua hubungan yang Dengan demikian, resiliensi merupakan unsur
sama antara populasi dan variabel negara. Walker penyusun dari kerentanan.

188 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 No.2, Desember 2016 


Sementara itu, terkait dengan indikator, ada dampak anomali cuaca atau bahaya iklim ekstrem
dua kategori indikator yang diajukan oleh Adger lainnya (Kelly & Adger, 2000, 236). Mengapa di-
(1999, 252) untuk membaca resiliensi sosial, tekan pada bahaya jangka pendek? Dalam bahaya
yaitu indikator yang berkaitan erat dengan fak- jangka pendek, kejadian bencana selalu terjadi
tor ekonomi dan institusi serta indikator yang berulang-ulang (events on the seasonal) dan hal
berkait­an erat dengan perubahan demografi di ini dapat dirasakan atau dialami oleh manusia
wilayah. Pertama, salah satu faktor kunci dalam sehingga memungkinkan manusia melakukan
kategori indikator yang berkaitan erat dengan respons terhadap bencana itu. Menurut penulis,
faktor ekonomi dan institusi adalah pertumbuh­ penekanan pada bahaya atau bencana jangka
an ekonomi, tingkat stabilitas, dan distribusi pendek tersebut adalah untuk menghindari perde-
pendapatan penduduk. Faktor berikutnya adalah batan ada atau tidaknya fakta perubahan iklim
variabilitas lingkungan yang dapat dijadikan yang menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan
ukuran sejauh mana penduduk bergantung pada alam karena sebagian dari mereka berpendapat
sumber daya tertentu. Selain itu, faktor lainnya bahwa perubahan iklim itu sebenarnya hanya
yang juga penting diamati adalah stabilitas variabilitas iklim yang telah berlangsung ribuan
mata pencaharian dan variabel-variabel kultural atau terjadi dalam ratusan tahun. Variabilitas
(Adger, 1998, 9). iklim yang terjadi berabad-abad itu tidak dapat
dialami manusia yang hidup zaman sekarang.
Kategori indikator kedua berkaitan erat
Oleh karena itu, Kelly dan Adger (2000, 236)
dengan perubahan demografi di wilayah tersebut.
berpendapat bahwa skala waktu menjadi aspek
Mobilitas dan migrasi adalah rangkaian indika-
penting dalam studi dampak perubahan iklim.
tor yang berkaitan erat dengan resiliensi (Adger,
Kajian dampak perubahan iklim lebih difokuskan
2000, 357). Meskipun demikian, hubungan
pada bahaya jangka pendek dengan skala waktu
antarvariabel tersebut tidak dapat disederhanakan
yang menjadi aspek penting. Oleh karena itu,
dalam hubungan kausalitas karena setiap kasus
fenomena alam, seperti anomali cuaca, cuaca
dan wilayah memiliki pola hubungan resiliensi
ekstrem, dan bencana hidrometerologi lainnya
dan migrasi yang berbeda. Adger (2000, 349)
yang dibahas dalam tulisan ini terkait dengan
juga menekankan bahwa resiliensi masyarakat
upaya memahami ada atau tidaknya kerentanan
dapat dipelajari melalui sejumlah indikator
masyarakat nelayan.
empiris, tetapi tidak ada satu pun indikator yang
dapat menangkap keseluruhan resiliensi (Adger, Anomali cuaca atau cuaca ekstrem sering-
1999, 249), misalnya mengembangkan dua ranah kali menjadi bencana yang digunakan sebagai
masyarakat dalam melihat kerentanan sosial. salah satu variabel yang cukup signifikan dalam
Menurut Adger (1998, 5), pandangan kerentanan menentukan kerentanan masyarakat nelayan.
harus dibedakan dalam tingkat individu dan Anomali cuaca akan menjadi dampak langsung
tingkat kolektif. Lebih lanjut, ia mengemukakan jika bencana itu terjadi dengan frekuensi sangat
bahwa kerentanan pada tingkat individu dapat sering dan dalam bentuk bencana hidrometerologi
dilihat dari akses pada sumber daya, keragaman tertentu. Di Probolinggo, misalnya (Wahyono,
sumber pendapatan, dan status sosial dari individu 2013a), gelombang besar atau tinggi memiliki
pengaruh langsung pada nelayan bagan.1 Pada
atau rumah tangga dalam komunitas. Sementara
saat musim ombak, bukan hanya satu atau dua
itu, kerentanan pada tingkat kolektif dapat dilihat
bagan yang rusak, tetapi sebagian besar bagan
dari struktur institusi dan pasar.
mengalami kerusakan. Itu terjadi karena bagan

KETERPAPARAN (EXPOSURE) DAN 1


Bagan adalah salah satu jenis alat tangkap dalam
klasifikasi jaring angkat. Target ikan yang ditangkap
ANOMALI CUACA adalah jenis ikan pelajik kecil, seperti ikan teri. Bagan
Bahaya atau dampak perubahan iklim seharusnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bagan perahu dan
bagan tancap. Bagan biasanya dioperasikan tidak jauh
lebih ditekankan pada kerentanan akibat ba- dari pantai pada kedalaman laut sekitar 30 meter. Jadi
haya jangka pendek (short-term hazard), seperti dengan demikian, bagan termasuk alat tangkap di ping-
giran pantai (in-shore fishing).

Ary Wahyono | Ketahanan Sosial Nelayan ... | 189


roboh kemudian hanyut dan menerjang bagan musim hujan atau musim kemarau, namun juga
lainnya. Musim ombak biasanya terjadi pada masalah air pasang dari laut. Petambak garam
musim timur, apalagi dengan adanya angin se- merasakan peningkatan air pasang yang terjadi
lawung, yaitu angin besar yang sangat kuat sekali. dalam sepuluh tahun terakhir ini menyebabkan
Berbeda dengan nelayan bagan, nelayan tambak garam tergenang air laut yang berakibat
pancing tidak begitu terpengaruh oleh ombak pada gagal panen. Kondisi tersebut diperparah
besar. Mereka tetap bisa memancing ikan, baik dengan adanya abrasi pantai yang cenderung
pada musim ombak ataupun musim teduh. meluas. Adanya abrasi tersebut mengakibatkan
Sementara itu, nelayan slerek2 dapat dikatakan tambak garam tidak dapat digunakan lagi.
kurang terpengaruh oleh kondisi cuaca yang tidak Ketidakmampuan nelayan meramalkan musim
menentu. Hal itu karena armada yang mereka gelombang dialami nelayan di Pulau Gangga,
gunakan yang besar sehingga slerek tetap dapat Minahasa Utara (Wahyono, 2014, 31). Anomali
melaut dalam segala cuaca. Meskipun demikian, cuaca ditandai oleh ketidakmampuan nelayan
jika sedang ombak besar, nelayan slerek lebih pancing funai meramalkan datangnya musim
memilih untuk tidak beroperasi karena dianggap ombak dan musim teduh. Musim ombak bisa
berisiko pada keselamatan di laut. terjadi lebih lama dari biasanya dan musim teduh
Anomali cuaca sangat dirasakan pengaruh- menjadi lebih cepat dari biasanya atau sebaliknya.
nya pada usaha tambak garam (Wahyono, 2012, Menurut seorang nelayan funai, sering terjadi
154). Pembuatan garam hanya bisa dilakukan jika bahwa bulan itu seharusnya sudah masuk musim
musim panas karena mereka mereka tidak bisa utara yang berarti cuaca tenang, namun masih
membuat garam pada musim hujan. Untuk mem- ada angin selatan sehingga kondisi ombak di laut
buat garam, air yang sudah dialirkan ke tambak selalu tidak stabil. Hal itu karena pada musim
garam setiap harinya diawasi kadar garamnya un- selatan cuaca selalu berubah-ubah, misalnya pagi
tuk mengetahui tingkat “kematangannya”. Sejak angin utara, tetapi siang hari berubah menjadi
persiapan pertama kali sampai garam siap panen angin selatan dan begitu seterusnya sehingga
biasanya membutuhkan waktu antara 7–15 hari. menyulitkan nelayan untuk memancing ikan.
Kecepatan waktu untuk panen garam ini sangat Ketidakmenentuan musim barat juga dialami
dipengaruhi oleh panas matahari untuk menguap­ nelayan di Desa Grajagan, Banyuwangi bagian
kan air. Oleh karena itu, ketidakmampuan dalam selatan (Wahyono, 2013b, 69). Musim barat yang
membaca cuaca dapat mengakibatkan kerugian merupakan asal angin bertiup dari arah barat bagi
besar bagi pemilik tambak maupun buruh tambak. nelayan di Grajagan identik dengan musim om-
Jika pada musim kemarau tiba-tiba terjadi bak besar di mana nelayan tidak bisa melakukan
hujan turun, kadar garam dalam air akan menurun penangkapan ikan di laut. Pada waktu-waktu
karena air laut yang sudah siap menjadi garam sebelumnya, musim barat ini hanya terjadi sekitar
akan mencair kembali yang mengakibatkan gagal empat bulan, yaitu dari bulan November hingga
panen. Menurut istilah masyarakat, air tua tidak Februari. Musim ombak menyebabkan nelayan
terbentuk jika pada musim kemarau tiba-tiba turun slerek dan ijo-ijo tidak bisa melaut. Anomali
hujan dan yang sudah terbentuk pun akan kembali cuaca ini terjadi ketika musim barat mengalami
menjadi air muda. Ancaman bencana terhadap pergeseran dari empat bulan menjadi sepuluh
penambak garam bukan hanya ketidakmenentuan bulan.
Wahyono (2014) mengungkapkan bahwa
2
Slerek adalah nama salah satu jenis alat tangkap ja­ring
dalam klasifikasi purse seine. Istilah slerek dikenal munculnya angin puting beliung di Desa Sido-
meluas di kalangan nelayan di pesisir Jawa, khususnya mulyo, Pacitan, Jawa Timur memiliki efek yang
pesisir bagian selatan, seperti Banyuwangi, Trenggalek. sangat merusak, baik di laut maupun daratan.
Target ikan yang ditangkap adalah jenis ikan pelajik
sedang, seperti ikan sarden, tongkol, kembung. Unit Oleh karena itu, nelayan memandang peristiwa
armada perikanan yang menggunakan jaring slrek tidak ini sebagai kejadian luar biasa, meskipun frekuen­
termasuk klasifikasi small-scale fishery karena berbobot si kemunculannya amat jarang. Kemunculan
di atas 30GT. Wilayah operasi berada diperairan lepas
pantai (off shore fishing). angin puting beliung saat ini jauh lebih sering

190 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 No.2, Desember 2016 


dibandingkan masa lalu di mana itu dianggap pembacaan cuaca yang tepat. Dengan demikian,
sebagai masalah, namun tidak demikian halnya ketidakpastian periode penanaman berpengaruh
dengan masa paceklik yang hingga saat ini masih secara langsung pada pertanian yang merupakan
dilihat sebagai masalah yang serius. Pada kasus mata pencaharian sampingan penduduk setempat.
empat tahun lalu, nelayan begitu kesulitan untuk Mata pencaharian lain yang juga turut ter-
mendapatkan hasil sampai kesulitan membayar pengaruh oleh adanya pergeseran cuaca adalah
utang di bank. Macetnya kredit tersebut bahkan nelayan slerek. Sebelumnya telah disampaikan
membuat bank mengirim pegawainya untuk bahwa nelayan slerek tidak bisa melaut jika terjadi
datang ke Sidomulyo dan menagih utang para musim baratan karena pergeseran cuaca dapat
nelayan. Namun, begitu menemukan bahwa para mengganggu jadwal yang sudah mereka tetapkan
nelayan itu betul-betul tidak memiliki hasil, pihak sebelumnya. Ancaman bencana lainnya yang juga
bank membuat penangguhan pembayaran utang. tidak kalah penting dibahas adalah masalah tsu-
Situasi paceklik pada masa itu juga mendorong nami. Jika dilihat dari tingkat frekuensinya, jenis
kementerian di tingkat nasional untuk mem-
bencana ini dapat dikategorikan sangat jarang,
berikan bantuan berupa beras yang kemudian
namun dampak yang dimunculkannya sangat
disalurkan pada tingkat kabupaten. Program yang
besar. Seperti yang telah dikemukakan, jenis
sama juga diberikan oleh pemerintah pusat pada
bencana ini bahkan menghilangkan bagan se­
tahun 2013 karena nelayan Pacitan mengalami
bagai salah satu alat tangkap di Sidomulyo. Bagi
paceklik hasil selama empat bulan.
nelayan, tsunami jelas menjadi ancaman serius
Paceklik atau ketiadaan hasil ikan merupakan karena berpengaruh pada kegiatan penang­kapan
ancaman bencana paling serius di Pacitan karena ikan sampai rusaknya infrastruktur di daerah
berbeda dengan jenis bencana lainnya, paceklik pesisir. Salah seorang nelayan yang juga tokoh
adalah masalah sumber pendapatan utama ma- masyarakat sekaligus sebagai Kepala Dusun
syarakat pesisir. Akibatnya, hampir semua jenis Tamperan, Desa Sidomulyo Pacitan, bernama
mata pencaharian terkena dampak negatif. Selain Misni pernah membuat bagan yang tidak dapat
itu, frekuensi kemunculan paceklik lebih sering dikembangkan lebih lanjut karena terjadi keru-
dari ancaman bencana lainnya yang berpengaruh sakan akibat dampak gempa bumiyang pernah
pada tingkat resiliensi masyarakat Pacitan terha- terjadi di Yogyakarta. Oleh karena itu, dengan
dap perubahan iklim. persiapan yang lebih baik pun, Pak Misni sangat
Di antara ancaman bencana yang dialami berharap agar bencana tersebut tidak berulang.
masyarakat pesisir, pergeseran cuaca adalah salah Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dilihat
satu fenomena yang mendekati gejala perubahan bahwa pada tingkat persepsi masalah-masalah
iklim. Ketidakmampuan masyarakat membaca tersebut dianggap sebagai persoalan biasa.
pergeseran cuaca berpengaruh pada kehidupan Bencana dengan dampak besar seperti tsunami
sehari-hari dengan cara yang berbeda. Bagi memang dipersepsikan bahaya, namun karena
nelayan, ketidakmampuan membaca perubahan frekuensinya rendah jadi tidak begitu dikhawatir­
cuaca membuat mereka melaut dalam kondisi kan. Sebaliknya, gejala perubahan iklim seperti
yang tidak pasti. Akibatnya, kemungkinan me­ pergeseran cuaca hampir pasti terjadi, tetapi tidak
reka berhadapan dengan perubahan cuaca di dianggap sebagai masalah serius. Masalah yang
tengah laut selalu ada. Kondisi semacam ini dianggap penting adalah paceklik. Persepsi
dialami oleh nelayan dalam dua tahun terakhir. tersebut dikatakan cukup wajar karena frekuen­
Meskipun demikian, pergeseran cuaca semacam si maupun dampak yang muncul dari paceklik
ini tidak dianggap sebagai masalah yang terlalu cukup tinggi. Walaupun demikian, persoalan
penting oleh nelayan jukung dan daplang karena tersebut tetap dianggap sebagai fenomena alam
dianggap tidak memiliki keterkaitan dengan hasil yang hanya bisa diterima dan hampir tidak ada
ikan. Sebaliknya, bagi petani kondisi ini amatlah persepsi bahwa nelayan memiliki andil dalam
menyulitkan karena proses tanam dan panen yang fenomena tersebut.
menjadi dasar pertanian amat bergantung pada

Ary Wahyono | Ketahanan Sosial Nelayan ... | 191


Sumber: Adhuri dkk. (2015).
Grafik 1. Persepsi Terhadap Bencana Berdasarkan Desa

Dengan demikian, gelombang besar atau keterpaparan bencana, dan (3) persepsi terhadap
tinggi, musim hujan atau kemarau, dan abrasi air kehadiran bencana atau bahaya.
laut merupakan kejadian bencana yang dihadapi Kasus nelayan di Desa Grajagan, ­Banyuwangi,
nelayan. Kecenderungan ini tidak jauh beda dari dapat dijadikan contoh untuk memahami sensiti-
hasil survei yang dilakukan di Pulau Selayar, vitas nelayan. Sensitivitas nelayan tergantung dari
Sulawesi Selatan, bahwa gelombang besar dan jenis alat tangkap dan jenis ikan atau biota laut
cuaca ekstrem seperti angin putting beliung di- yang ditangkap. Jika melihat dari jenis armada
anggap sebagai bencana yang paling berbahaya penangkapan ikan di Grajagan (perahu slerek,
bagi nelayan. Artinya, gelombang besar, kadar ijo-ijo, dan jukung atau speed ), unit penangkapan
garam (salinitas), dan cuaca ekstrem merupakan
perahu slerek yang merupakan unit penangkapan
dampak potensial (potential impact) terjadinya
yang paling besar justru memiliki sensitivitas yang
kerentananan masyarakat nelayan.
besar dibandingkan ijo-ijo dan jukung atau speed.
Dengan ukuran perahu yang tergolong cukup be-
SENSITIVITAS NELAYAN sar, perahu slerek semestinya cukup tangguh dalam
Sensitivitas adalah kepekaan nelayan terhadap menghadapi gelombang laut besar dibandingkan
suatu ancaman bahaya. Menurut Tuller (2008, jenis kapal lainnya, yaitu ijo-ijo dan jukung. Ne-
172), sensitivitas menunjuk pada derajat indi- layan slerek diperkirakan tidak akan terkena imbas
vidu atau kelompok nelayan mengalami kerugian dari kondisi cuaca yang tidak bagus. Pada saat ter-
pada saat dilanda suatu bencana. Dalam dunia jadi gelombang besar pada musim barat, nelayan
kenelayanan misalnya, upaya untuk mengurangi kapal slerek dengan terpaksa memilih untuk tidak
tingkat kerentanan sering kali berakibat pada ne- melaut karena dapat membahayakan keselamatan
layan tidak memiliki sensivitas terhadap bencana di laut di Samudera Hindia. Celakanya, musim
yang kemungkinan dapat menyebabkan risiko barat ini berlangsung sekitar enam bulan secara
kerugian (Tuller dkk., 2008, 173). Kepekaan terus-menerus. Dengan kondisi demikian, nelayan
suatu masyarakat terhadap ancaman bahaya itu slerek akan kehilangan peluang untuk memperoleh
dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu (1) pengalaman pendapatan dari melaut. Sementara itu, unit pe­
terpapar dari bahaya atau ancaman yang terjadi, nangkapan perahu payang atau ijo-ijo memiliki
(2) faktor keseringan atau frekuensi menerima sensitivitas yang rendah dibandingkan dengan

192 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 No.2, Desember 2016 


perahu slerek karena wilayah pengoperasiannya beroperasi menangkap ikan. Hal ini terjadi karena
di tengah laut. Sebagaimana telah diketahui bahwa pemilik slerek juga seorang pemilik jukung yang
laut selatan pada musim barat akan terjadi ombak diberikan kepada nelayan lain dalam bentuk pin-
yang sangat besar sehingga nelayan ijo-ijo tidak jaman atau saham. Dengan strategi ini, pemilik
bisa melaut. Tidak beroperasinya nelayan payang slerek dapat menampung hasil tangkapan nelayan
ini sebagai upaya untuk menghindari terjadinya jukung dan berganti pekerjaan selama musim
kecelakaan di laut. barat gelombang besar sebagai pedagang ikan.
Jika nelayan slerek dan ijo-ijo sangat Jika pemilik slerek dapat bertahan hidup
terpengaruh oleh kondisi musim barat, namun di musim ombak besar, nelayan pekerja slerek
tidak pada nelayan jukung yang hanya diawaki mengalami nasib yang berbeda. Sistem bagi
1–2 nelayan. Unit penangkapan ikan berukuran hasil yang diterima nelayan pekerja kecil, yakni
kecil ini beroperasi di pinggir pantai dan oleh sekitar dua sampai empat persen dari bagi hasil
karena itu, mereka tidak terpengaruh oleh angin yang diterima pemilik slerek. Pendapatan yang
barat yang menimbulkan ombak besar. Pada diterima dari hasil laut pada saat musim ikan tidak
saat musim tenggara, yaitu saat banyak ombak cukup untuk ditabung guna memenuhi kebutuhan
di bagian pinggir laut, nelayan jukung juga tidak pada saat musim paceklik. Dengan kondisi seperti
begitu terpengaruh karena ombak tidak berlang- itu, saat tidak bisa melaut, para nelayan pekerja
sung terus-menerus sehingga mereka tetap bisa sulit untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya
melaut setiap harinya dengan memperhatikan dan terpaksa berutang pada pemilik slerek atau
kondisi cuaca saat itu. Dengan demikian, unit pa­yang. Jika musim paceklik ikan berlangsung
penangkapan yang berukuran kecil yang berope­ lama, akumulasi utang pun semakin besar. Na-
rasi di pinggir pantai (in-shore fishing) justru mun, hal ini tidak terjadi pada nelayan pekerja
lebih memiliki sensitivitas rendah dibandingkan yang memiliki ketrampilan, seperti nakhkoda
dengan unit penangkapan yang berukuran lebih slerek atau payang. Walaupun sama-sama disebut
besar yang memiliki wilayah tangkap di tengah sebagai nelayan pekerja, keduanya memiliki
laut (off-shore fishing). Nelayan slerek yang me- tingkat sensitivitas yang berbeda dalam mengha-
maksakan melaut ketika terjadi ombak besar akan dapi anomali cuaca. Hal itu terjadi karena sistem
mengalami kerugian sekitar Rp500.000,- sekali bagi hasil yang diperoleh nakhoda lebih besar,
beroperasi (fishing trip). Oleh karena itu, nelayan yaitu bisa mencapai lima bagian dibandingkan
slerek lebih memilih untuk istirahat (Wahyono, bagi hasil yang diterima nelayan pekerja biasa
2014, 73). dan dengan itu pula nahkoda memiliki kemam-
Walaupun unit penangkapan ikan j­aring puan yang lebih besar untuk menabung untuk
s­ lerek dan payang tersebut secara umum terpenga­ digunakan pada saat musim paceklik.
ruh oleh anomali cuaca, namun terdapat perbe- Dampak yang menimpa nelayan slerek
daan sensitivitas bagi nelayan pemilik (juragan dan nelayan payang itu berpengaruh terhadap
darat) dan nelayan pekerja (Anak Buah Kapal/ beberapa kegiatan yang secara tidak langsung
ABK). Perbedaan itu terjadi karena pemilik terkait dengan kegiatan penangkapan yang
mendapatkan bagi hasil yang cukup besar, yaitu dilakukan oleh kedua jenis perahu tersebut.
50% dari pendapatan bersih sehingga pemilik Misalnya penguras kapal, sebagai profesi yang
mempunyai pendapatan yang cukup besar untuk tugasnya menguras perahu pada saat slerek atau
bisa ditabung pada saat musim ikan. Pendapatan ijo-ijo sudah menurunkan seluruh muatannya,
dari bagi hasil itu masih ditambah lagi dengan mereka otomatis juga ikut menganggur pada
pendapatan dari berdagang ikan karena pemilik saat slerek atau ijo-ijo tidak bisa beroperasi.
slerek dan ijo-ijo umumnya juga merangkap jadi Begitu pula manol yang bertugas mengangkut
pengambek (pedagang ikan). Dengan pendapatan menurunkan ikan dari kapal slerek dan menaik-
seperti itu, pemilik masih tetap bisa memenuhi kannya ke mobil ikut terkena dampak kehilangan
kebutuhan hidup sehari-hari meskipun tidak ada pekerjaan karena tidak ada lagi ikan yang dapat
penghasilan pada saat musim barat karena tidak diangkut dari slerek. Risiko yang dialami oleh

Ary Wahyono | Ketahanan Sosial Nelayan ... | 193


ABK, tukang kuras, dan manol memang tidak menangkap ikan menggunakan slerek atau ijo-ijo
selalu sama karena ada di antara mereka yang dan kegiatan lain yang terkait dengan itu, seperti
masih memiliki pendapatan dari sektor lain, sebagai tukang kuras atau manol, mereka akan
seperti dari bertani padi di sawah. Bagi mereka merasakan dampak yang besar pada saat musim
yang masih memiliki mata pencaharian lain terse- barat. Jika mereka memiliki pendapatan dari sum-
but, hilangnya pendapatan dari sektor perikanan ber lain, dampaknya tidak sebesar yang dirasakan
memang menurunkan pendapatan mereka, tetapi oleh mereka yang hanya mengandalkan dari
tidak separah pada mereka yang tidak memiliki satu usaha kegiatan ekonomi walaupun sama-
pendapatan lain. sama terkena dampak tidak bisa melaut karena
Pekerjaan lain yang ikut terpengaruh oleh datangnya musim barat. Perbedaan sensitivitas
kondisi anomali cuaca adalah pembuat ikan terhadap anomali cuaca ini juga terjadi pada
asin. Walaupun tidak terlibat langsung dalam kegiatan tambak garam. Pada pemilik tambak
penangkapan ikan di laut, mereka ikut terkena tidak merasakan kerentanan akibat kerugian
dampak musim barat karena mereka kesulitan akibat musim hujan yang berlangsung lama dan
untuk memperoleh bahan baku ikan asin atau ikan dapat dikatakan lebih aman dalam jangka panjang
tepungan. Sebagaimana sudah dikemukakan se- karena memiliki stok garam dari hasil garam
belumnya, pembuat ikan asin atau ikan tepungan sebelumnya. Berbeda dengan buruh tambak yang
membeli bahan baku dari pedagang ikan, yang penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi
tidak lain adalah para juragan slerek atau ijo-ijo. kebutuhan sehari-hari, mereka tidak bisa lagi
Pada saat kegiatan slerek dan ijo-ijo itu berhenti, memenuhi kebutuhan hidupnya jika terjadi
berarti tidak ada lagi ikan yang dibeli dari me­ gagal panen sehingga terpaksa berutang kepada
reka sehingga pembuat ikan asin pun terpaksa pemilik tambak. Kerugian yang dialami usaha
harus berhenti dari kegiatannya. Dampaknya tambak garam bisa mencapai sepuluh ton garam
cukup jelas, yaitu mereka kehilangan sumber per hektarenya jika gagal panen (Wahyono, 2012,
pendapatan utamanya dari penjualan ikan asin 151). Dampaknya adalah buruh tambak tidak
atau ikan tepungan. Dengan demikian, dampak mendapatkan hasil panen sehingga tidak bisa
terjadinya musim barat tidak hanya menimpa membayar utang yang sudah dipinjam dari pe-
langsung pada nelayan slerek dan ijo-ijo, tetapi milik tambak padahal usaha tambak garam yang
juga menimpa pada mereka yang tidak berprofesi terdapat di Desa Randutatah merupakan salah
sebagai nelayan yang memiliki mata pencaharian satu mata pencaharian utama bagi penduduknya.
sangat bergantung pada beroperasinya slerek dan Wahyono (2014, 17) mengungkapkan bahwa di
ijo-ijo. Dampak itu dirasakan semakin berat pada Pulau Gangga, Sulawesi Utara, pengaruh anomali
jangka waktu terjadinya musim barat yang sema- cuaca juga menyebabkan penurunan hasil pan­
kin lama. Misalnya, penghasilan ijo-ijo sekitar cingan funai hingga mencapai 80%. Begitu pula
sepuluh tahun lalu dapat mencapai enam ton, dengan nelayan soma pajeko (Slerek di Banyu-
namun sekarang hasil satu ton sudah dianggap wangi) yang mengalami kerugian mencapai 30
cukup baik. Penurunan hasil tersebut juga meru- juta rupiah yang terjadi karena beberapa jangkar
pakan fenomena yang dialami jukung dan slerek. rakit (rumpon) bisa putus.
Sekitar sepuluh tahun lalu, slerek dikatakan dapat Di Pacitan, Jawa Timur, musim baratan
menampung hasil ikan dengan rata-rata sepuluh merupakan persoalan alam yang dialami oleh
sampai tiga puluh ton, namun hasil yang didapat- nelayan. Musim ini muncul setiap tahun dan
kan pada beberapa tahun terakhir tidak sampai diterima sebagai gejala alam yang normal.
sepuluh ton. Meskipun demikian, musim ini tetap memiliki
Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui pengaruh yang berbeda pada jenis unit penang-
bahwa diversifikasi usaha merupakan satu fak- kapan. Nelayan jukung atau daplang hampir tidak
tor yang ikut menentukan sensitivitas masyarakat terpengaruh musim baratan seperti yang terjadi
dalam menghadapi perubahan iklim. Bagi me­ di Banyuwangi sebab wilayah pencarian ikan
reka yang hanya mengandalkan pada kegiatan mereka tidak terlalu jauh dari pantai, yaitu sekitar

194 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 No.2, Desember 2016 


lima mil dari laut lepas. Wilayah ini tidak terlalu Di antara ancaman bencana yang dialami
terpengaruh angin besar dan ombak bahkan jika masyarakat pesisir, pergeseran cuaca adalah salah
cuaca menjadi lebih buruk karena jarak yang satu fenomena yang mendekati gejala perubahan
pendek membuat mereka mampu untuk segera iklim. Ketidakmampuan masyarakat membaca
mencapai pantai. Pengalaman yang berbeda pergeseran cuaca berpengaruh pada kehidupan
dialami oleh nelayan slerek di mana perjalanan sehari-hari dengan cara yang berbeda. Bagi
melaut yang mereka tempuh berkisar antara nelayan, ketidakmampuan membaca perubahan
50–100 mil ke laut lepas. Mereka menangkap cuaca membuat mereka melaut dalam kondisi
ikan yang sudah dikumpulkan dalam rumpon. yang tidak pasti yang memungkinkan mereka ber-
Lokasinya yang terletak di tengah ini menjadikan hadapan dengan perubahan cuaca di tengah laut.
kapal ataupun ombak mereka sangat terpengaruh Kondisi semacam ini dialami oleh nelayan dalam
angin pada musim baratan. Akibatnya, sebagian dua tahun terakhir. Meskipun demikian, perge-
besar nelayan slerek berhenti melaut dan pulang seran cuaca semacam ini tidak dianggap sebagai
ke kampung halamannya selam periode tersebut. masalah yang terlalu penting oleh nelayan jukung
Kemungkinan munculnya angin puting beliung di dan daplang karena dianggap tidak memiliki
musim baratan memiliki efek yang sangat meru- keterkaitan dengan hasil ikan. Sebaliknya, bagi
sak, baik di laut maupun daratan. Oleh karena petani, kondisi ini amatlah menyulitkan karena
itu, peristiwa ini dipandang sebagai kejadian luar proses tanam dan panen yang menjadi dasar per-
biasa bagi nelayan Pacitan. Meskipun demikian, tanian amat bergantung pada pembacaan cuaca
frekuensi kemunculannya amat jarang dan jauh yang tepat. Ketidakpastian periode penanam­an
lebih sering terjadi di masa lalu. berpengaruh secara langsung pada pertanian
yang merupakan mata pencaharian sampingan
Jika puting beliung dilihat sebagai masalah
penduduk setempat. Mata pencaharian lain yang
di masa lalu, tidak demikian halnya dengan masa
juga turut terpengaruh oleh adanya pergeseran
paceklik yang masih dianggap sebagai masalah
cuaca adalah nelayan slerek. Sebelumnya telah
serius. Empat tahun lalu, nelayan begitu kesulitan
disampaikan bahwa nelayan slerek tidak bisa
untuk mendapatkan hasil tangkapan sampai kesu-
melaut jika terjadi musim baratan. Oleh karena
litan membayar utang di bank. Macetnya kredit
itu, pergeseran cuaca dapat mengganggu jadwal
tersebut bahkan membuat bank mengirim pega-
yang sudah mereka tetapkan sebelumnya.
wainya untuk datang ke Sidomulyo dan menagih
utang para nelayan. Namun, begitu menemukan Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa
bahwa para nelayan itu betul-betul tidak memi- pada tingkat persepsi beberapa masalah tersebut
liki hasil, pihak bank membuat penangguhan dianggap sebagai persoalan biasa. Bencana
pembayaran utang. Situasi paceklik pada masa dengan dampak besar seperti tsunami memang di-
itu juga mendorong kementerian tingkat nasional persepsikan bahaya, namun karena frekuensinya
untuk memberikan bantuan berupa beras untuk rendah tidak begitu dikhawatirkan. Sebaliknya,
disalurkan pada tingkat kabupaten. Program yang gejala perubahan iklim seperti pergeseran cuaca
sama juga diberikan oleh pemerintah pusat pada hampir pasti terjadi, tetapi tidak dianggap sebagai
tahun 2013 karena nelayan Pacitan mengalami masalah serius, seperti paceklik. Persepsi itu
paceklik hasil selama empat bulan. Paceklik atau cukup wajar karena frekuensi maupun dampak
ketiadaan hasil ikan merupakan ancaman bencana yang muncul dari paceklik cukup tinggi. Meski-
paling serius di Pacitan karena paceklik adalah pun demikian, persoalan tersebut tetap dianggap
masalah sumber pendapatan utama masyarakat sebagai fenomena alam yang hanya bisa diterima.
pesisir. Akibatnya, hampir semua jenis mata Mata pencaharian berbasis perikanan laut dalam
pencaharian terkena dampak negatif. Selain itu, tampaknya memiliki sensitivitas yang berbeda
frekuensi kemunculan paceklik lebih sering dari dengan mata pencaharian di wilayah pesisir dan
ancaman bencana lainnya yang berpengaruh pada daratan. Tingkat kerugian akibat anomali cuaca
atau cuaca ekstrem lebih besar dihadapi pada
tingkat resiliensi masyarakat Pacitan terhadap
nelayan perikanan tangkap, seperti bagan hanyut
perubahan iklim.

Ary Wahyono | Ketahanan Sosial Nelayan ... | 195


yang diakibatkan ombak besar mengingat biaya gung bersama oleh nelayan pemilik dan nelayan
pembuatan bagan baru yang cukup tinggi. Pada buruh. Selain itu, unit penangkapan kecil akan
saat musim ombak, bukan hanya satu atau dua mengembangkan kombinasi alat tangkap yang
bagan yang rusak, tetapi sebagian besar bagan disesuaikan dengan kalender musim ikan atau
mengalami kerusakan, seperti roboh kemudian yang dapat dioperasikan sepanjang tahun untuk
hanyut dan menerjang bagan-bagan lainnya. Jika bisa bertahan hidup dalam berbagai musim.3
musim timur berlangsung lama, secara otomatis
Politik bisnis pemilik perahu juga terjadi
nelayan tidak bisa mengoperasikan bagan yang
pada penjualan ikan. Pemilik perahu hanya
berakibat pada penurunan pendapatan rumah
melakukan penjualan ikan ke pedagang ikan
tangga nelayan bagan. Berbeda dengan nelayan
(pengambek). Keharusan menjual hasil tangkapan
bagan, nelayan pancing tidak begitu terpengaruh
ini terjadi karena pedagang ikan memberikan
oleh ombak besar. Mereka tetap bisa memancing
saham kepada pemilik kapal (juragan darat).
ikan, baik pada musim ombak ataupun musim
Hubungan antara pemilik perahu dengan peda-
teduh. Nelayan pancing hanya mengalami penu-
gang penampung bersifat saling membutuhkan
runan hasil pada musim timur dan ombak besar.
dan ketergantungan, seperti halnya terjadi pada
pemilik perahu dan pekerja. Pemilik perahu harus
KAPASITAS ADAPTASI menjual semua hasil tangkapan kepada pedagang
Pengertian kapasitas adaptasi sering kali berha- penampung karena menanam saham atau modal
dapan dengan sensitivitas, artinya semakin besar usaha penangkapan ikan. Pedagang penampung
kemampuan kapasitas adaptasi menunjukkan sen- juga berkewajiban untuk memperbaiki peralatan
sitivitas yang rendah di dalam merespons perubah­ yang rusak. Hubungan ketergantungan terputus
an lingkungan yang terjadi. Walker dkk. dalam jika pedagang penampung tidak sanggup lagi
Gallopin (2006, 301) mendefinisikan kapasitas memberikan bantuan perbaikan peralatan yang
adaptasi sebagai kapasitas sebuah sistem untuk rusak. Jika pedagang penampung mengelak
menyerap gangguan dan melakukan reorganisasi memperbaiki peralatan payang yang dianggap
pada saat mengalami perubahan sehingga dapat sebagai indikasi putus hubungan kerja sama di
mempertahankan fungsi, struktur, identitas, antara mereka, pemilik payang bisa menawarkan
dan masukan atau dengan kata lain tetap tidak ke pedagang penampung lain. Dengan demikian,
berubah dalam dasar daya tarik. saham yang ditanamkan pedagang penampung
Kapasitas adaptasi berbeda dengan respons tidak bisa diambil kembali.
untuk adaptasi. Kapasitas adaptasi adalah penye- Pola kerja sama antara pemilik perahu ju-
suaian dalam jangka panjang, sedangkan respons kung perikanan tersebut dengan pedagang pada
adaptasi adalah coping behaviour atau perilaku akhirnya adalah bentuk solusi mengatasi akses
penyesuaian dalam jangka pendek (Gallopin, permodalan ke bank formal yang memerlukan
2006, 300). Secara institusional, kapasitas adap- persyaratan tertentu yang tidak dapat dipenuhi
tasi lebih dapat terlihat pada komunitas daripada oleh para nelayan. Dalam posisi ini, pedagang
individu karena hal itu berkaitan erat dengan ikan adalah anggota masyarakat yang memiliki
aset sistem mata pencaharian, seperti modal kapasitas adaptasi tinggi dibandingkan dengan
sosial, modal alam, modal manusia, dan modal warga masyarakat yang bekerja di laut. Kapasitas
fisik, baik dari komunitas maupun masyarakat. adaptasi yang tinggi pada nelayan perahu jukung
Pranata sistem bagi hasil yang cenderung kerugian pada dasarnya juga didukung dengan etika bisnis
ditanggung secara kolektif menunjukkan modal antara pengutang dan pedagang. Keterikatan
sosial masyarakat nelayan yang rendah. Jumlah pengutang dengan pedagang ikan pada perahu
fishing trip yang tidak membawa hasil tangkap­
an meningkat sejalan dengan lamanya musim 3
Selain terkait dengan kalender musim, pilihan alat tang-
barat misalnya akan terjadi akumulasi kerugian. kap juga terkait dengan jenis komoditi yang dihasilkan.
Ada jenis ikan yang ditangkap untuk kebutuhan makan,
Biaya operasional melaut yang dikeluarkan
ada alat tangkap yang digunakan menangkap ikan untuk
tidak dibebankan kepada pemilik, tetapi ditang- memenuhi kebutuhan pasar.

196 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 No.2, Desember 2016 


Tabel 1. Resiliensi Individu Berdasarkan Mata Pencaharian
Akses Ragam Kedudukan Akses
Jenis Mata Tingkat Risiko Tingkat
Sumber Sumber di pada
Pencaharian Pendapatan Kerugian Resiliensi
Daya Pendapatan Masyarakat Jaringan
Pengambek Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
Nahkoda Rendah Rendah Tinggi Tinggi Rendah Rendah Tinggi
ABK Rendah Menengah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
Penguras Rendah Rendah Menengah Menengah Rendah Rendah Menengah
Buruh Angkut Rendah Rendah Rendah Menengah Rendah Rendah Rendah
Buruh Setet Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
Sumber: Wahyono dkk. (2014b)

jukung dapat berhenti setidaknya oleh dua peris- ikan tidak terjadi pada kedua unit usaha perikanan
tiwa, yaitu (1) pengutang mampu membayar sebelumnya, di mana status saham atau pinjaman
lunas utangnya pada pedagang ikan dan (2) jika tidak jelas berakhirnya. Berikut ini perbedaan
pemilik jukung mengalami kerusakan alat atau tingkat resiliensi nelayan dalam unit penangkapan
kapal, namun pengambek tidak mau memberi ikan jaring slerek.
uang untuk memperbaiki. Jika demikian, maka Hal ini berbeda dengan petambak garam
pemilik jukung berhak mencari pedagang ikan yang tidak terpengaruh pada kerentanan meskipun
lain yang mau memberinya uang untuk perbaikan terjadi anomali cuaca. Petani tambak mampu me­
tersebut. Pola hubungan pengutang dan pedagang ngatasi pengaruh tekanan perubahan lingkungan

Sensitivity:
• Tidak ada biaya operasi untuk fishing trip
• Terjadi akumulasi hutang yang tidak ter­
Keterpaparan (Exposure): bayarkan
• Gelombang Besar • Fishing trip yang berhasil menurun
• Salinitas air laut
• Cuaca ekstrim (Angin Ribut)

Kapasitas merespons (Adaptive Capacity):


• Aset fisik (peralatan teknologi penangkap­
Potential Impact: an, armada perahu perikanan)
• Fishing ground rusak/tidak • Modal finansial (modal, tabungan, ja­
bisa diakses ringan perbankan);
• Jumlah tangkapan menurun • Aset alam (posisi fishing ground yang
• Peralatan tangkap rusak/ aman dari musim bencana)
tidak bisa dioperasikan • Aset sosial (jaminan sosial, distribusi
resiko kerugiaan melaut, sistem bagi
hasil tangkapan, ketimpangan distribusi
pemilikan sarana penangkapan)
• Aset Manusia (ketrampilan, ketergan­
tungan melaut, dan status sosial dalam
unit usaha penangkapan ikan)

Tingkat Kerentanan
(Vulnerability) Nelayan

Gambar 1. Skema Kerentanan Masyarakat Nelayan Dilihat dari Indikator Exposure, Sensitivitas, dan Kapasitas
Adaptasi

Ary Wahyono | Ketahanan Sosial Nelayan ... | 197


dengan sistem patron-client (penyokong-klien) PENUTUP
antara pemilik dan petambak garam. Kerugian Kerentanan rendah lebih ditunjukkan oleh keti-
akibat bencana perubahan iklim tidak ditanggung dakmampuan nelayan mempertahankan aktivitas
kolektif melainkan dibebankan kepada pemilik mata pencaharian di laut karena faktor akumu-
tambak. lasi kerugian dan utang serta pola kelembagaan
Berikut ini rumusan beberapa contoh indika- sistem bagi hasil yang semakin membenahi
tor pokok yang dapat digunakan untuk memahami mereka ketika musim paceklik berlangsung lama.
kerentanan sosial nelayan akibat perubahan iklim. Kemiskin­an nelayan dilihat sebagai aspek pen­
Dari uraian tersebut, maka beberapa indika- ting untuk memahami kerentanan karena lebih
tor kerentanan masyarakat nelayan secara tentatif berkaitan dengan akses terhadap sumber daya
dapat dirumuskan sebagai berikut. alam. Akses terhadap sumber alam merujuk pada
kemampuan nelayan, baik sebagai individu mau-
Indikator tersebut diturunkan dari sebuah pun kelompok, untuk memanfaatkan sumber daya
kriteria yang merupakan definisi konseptual dan perikanan dan kelautan yang secara langsung
diambil dari temuan empiris di penelitian lapang­ dapat menjamin kehidupannya.
an. Kesepuluh indikator pada elemen kerentanan
Kerentanan juga dapat ditandai dengan
sebagaimana terlihat pada tabel di atas, yakni ke­
peralihan profesi di sektor kehidupan nonperikan­
terpaparan (eksposure), sensitivitas, dan capacity
an meskipun berpenghasilan lebih buruk dari
to response atas pada dasarnya merupakan ruang
sebelumnya. Kerentanan terjadi jika nelayan
lingkup monitoring atau pemantauan kerentanan
tidak memiliki kapasitas mengantisipasi dengan
masyarakat nelayan yang perlu diidentifikasi
melakukan penyesuaian atau upaya mengatasi
untuk perencanaan strategi adaptasi dan mitigasi
dampak dari bencana alam akibat anomali cuaca
bencana sosial akibat perubahan iklim.
atau cuaca ekstrem. Penghasilan yang berkurang

Tabel 2. Rumusan Indikator Kerentanan Sosial Nelayan Akibat Perubahan Iklim

Perspektif Kriteria Indikator


Exposure dipandang se­ Sistem sosial (komunitas, rumah • Intensitas kehadiran bencana PI
bagai salah satu elemen tangga. Individual) mengalami • Lamanya durasi keterpaparan
dasar untuk melihat suatu keterpaparan yang besar (derajat • Pengaruh langsung dampak bencana
dalam kerentanan sosial. dan durasi) akibat langsung bencana PI
perubahan iklim

Sensitivity tidak bisa Tingkat sistem sosial dapat meneri- • Pengalaman terpapar dari bahaya/an-
dipisahkan dari exposure. ma (absorb) dampak perubahan iklim caman yang terjadi,
Sensitivity merujuk pada tanpa mengalami goncangan sosial • Frekuensi menerima exposure (keter-
seberapa besar sistem jangka panjang resisten terhadap paparan bencana), dan
sosial dan sistem alam akan gangguan bencana PI, dan memiliki • Persepsi terhadap kehadiran bencana/
merespons gangguan luar daya tahan sosial bahaya
dan sebuah konsep yang
menunjukan adanya keta­
hanan sosial

Capacity to response dapat Kemampuan sistem sosial mem- • Masih kuatnya distribusi resiko keru-
dijelaskan dari pengertian berikan solusi jalan keluar mengatasi gian bersama (pemilik dan pekerja/
kemampuan komunitas dampak bencana perubahan iklim ABK unit penangkapan)
sosial melakukan coping • Terjadi akumulasi utang yang tidak
untuk mengatasi bencana dapat dibayarkan selama musim ikan
perubahan iklim atau kapa- • Hilangnya sumber pendapatan dari
sitas merespons (capacity of melaut selama kurun waktu satu tahun
response) terhadap bencana dan lebih
perubahan iklim • Akses terhadap permodalan

198 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 No.2, Desember 2016 


ditambah dililit utang yang semakin membesar Gallopin, G. C. (2006). Lingkage between vulnarebal-
untuk menopang kehidupan rumah tangga adalah ity, recilience, and adaptive capacity. Dalam
karakteristik kerentanan. Sementara itu, tidak Global Environmental Change, 16, 293–303.
ada mekanisme solusi mengatasi terjadinya Giddens, A. (1984). The constitution of society: Out-
line of the theory of structuration. Cambridge:
marginalisasi nelayan, tidak ada diversifikasi alat Polity Press.
tangkap, dan tidak ada kegiatan mata pencaharian
Kelly, P. M. & Adger, W. N. (2000). Theory and
di luar perikanan. Pola relasi sosial patron-client practice in assessing vulnerability to climate
(penyokong-klien) pada komunitas nelayan tidak change and facilitating adaptation. Climatic
menolong nelayan (buruh) dari keterpurukan Change, 47, 325–352.
akibat perubahan iklim. Kolektivitas yang ada King, D. & MacGregor, C. (2000). Using social
tidak memberikan asuransi bagi kelompok indicators to measure community vulnerability
lapisan bawah, sementara pranata kelembagaan to natural hazards. Australia Journal of Emer-
gency Management, 15(3). pp. 52–57.
kurang mampu memberikan daya tahan sosial
Macchi, M. G., Hoermann, A. M., Choudhury, D.
masyarakat nelayan secara keseluruhan.
B. (2011). Climate variability and change in
the Himalayas community perceptions and
PUSTAKA ACUAN responses. Nepal: International Centre for
Integrated Mountain Development.
Acheson, J. M. (1981). Anthropology of fishing. Dalam
Tuller, S. A., Da Silva, J. P., LoRusso, K. P. R., & Kay,
Annual Review of Anthropology (275–307).
R. (2008). Assessing vulnerabilities: Integrat-
Annual Review Inc.
ing information about driving forces that affect
Adger, W. N. (1998). Indicators of sosial and economic risks and resilience in fishing communities.
vulnerability to climate change in Vietnam. Human Ecology Review, 15(2),
London: University College London.
Wahyono, A., Imron, M., & Nadzir, I. (2012).
Adger, W. N. (1999). Social vulnerability to climate Kerentanan petambak garam akibat perubahan
change and extremes in coastal Vietnam. musim hujan di Desa Randutatah, Kabupaten
World Development, 27(2), 249-269. Adger, Probolinggo. Dalam Prosiding Seminar Nasi-
W. N. (2000). Social and ecological resilience onal Riset dan Kebijakan Sosial Ekonomi
are they related. Dalam Progress in human Kelautan dan Perikanan 2012 dan Pertemuan
geography, 24(3), 347-364. Ke-IV IMFISERN, 137–160. Jakarta: PT. Gad-
Adger, W.N., Brooks, N. K., Bentham, M., Agnew, ing Inti Prima.
M. G., & Eriksen, S. (2004). New indicators of Wahyono, A., Imron, M., & Nadzir, I. (2013a).
vulnerability and adaptive capacity. (Technical Laporan penelitian studi penyusunan indikator
Report, Tyndall Centre). kerentanan sosial budaya masyarakat pesisir
Adhuri, D.S., Laksmi, R., Wahyono, A. (2015). Survei akibat perubahan iklim: Identifikasi kerentanan
membangun adaptasi perubahan iklim pada sosial-budaya masyarakat pesisir. Jakarta:
nelayan/masyarakat pulau-pulau kecil di lokasi Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI.
coremap. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanologi Wahyono, A., Imron, M., & Nadzir, I. (2013b).
LIPI Studi kerentanan masyarakat pesisir akibat
Conner, T.A. (2005). Social vulnerability and adaptive perubahan iklim: Kasus perikanan tangkap di
capacity to climate change, impacts indentif- Kabupaten Banyuwangi. Jakarta: PT. Gading
fying atrributes in two remote coastal com- Inti Prima.
munities on Haida Gwaii, British Columbia. Wahyono, A., Imron, M., & Nadzir, I. (2014a). Indi-
Saanich: University of Victoria. kator kerentanan sosial budaya masyarakat
Cutter, S. L., Bryan, J. B., & Shieley, W. L. (2003). pesisir akibat perubahan iklim: Sintesa empat
Social vulnerability to environmental hazards. daerah Kabupaten Probolinggo, Minahasa
Social Science Quarterly, 84(2). Utara, Banyuwangi, dan Pacitan. Jakarta: PT
Gading Prima.
Denslow, J. S. (1985). Implication of patch dynamics
for the organization of communities and the Wahyono, A., Imron, M., & Nadzir, I. (2014b).
functioning of ecosystems. Dalam S. T. A. Studi kerentanan masyarakat pesisir akibat
Pickett dan P. S. White (Eds.), The ecology perubahan iklim: Kasus nelayan di Kabupaten
of natural distubance and patch dynamic. Pacitan. Jakarta: PT Gading Inti Prima.
Flrorida: Academic Press.

Ary Wahyono | Ketahanan Sosial Nelayan ... | 199


200 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 No.2, Desember 2016 

You might also like