You are on page 1of 7

Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(3): 127-133, Agustus 2015 Putri Handayani et al.

TINGKAT INFESTASI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI BALI DI


KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

Infestation Rate of The Digestive Fluke on Bali Cattle in Sukoharjo Sub-district Pringsewu
District Lampung Province

Putri Handayania, Purnama Edy Santosab dan Siswantob

a
The Student of Department of Animal Husbandry Faculty of Agriculture Lampung University
b
The Lecture of Department of Animal Husbandry Faculty of Agriculture Lampung University
Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture Lampung University
Soemantri Brojonegoro No.1 Gedung Meneng Bandar Lampung 35145
Telp (0721) 701583. e-mail: kajur-jptfp@unila.ac.id. Fax (0721)770347

ABSTRACT

Research on infestation rate of the digestive fluke on Bali cattle in the Sukoharjo Sub-district ,
Pringsewu District, Lampung Province held in December 2014 and January 2015. The purpose of this
research was to determine the infestation rate of the digestive fluke in Sukoharjo sub-district, Pringsewu
District, Lampung Province. The method used is a survey with proportional random sampling, the stool
samples obtained 131 Bali cattle. Analysis of the data used in the study is descriptive. The parameters
observed were gastrointestinal worm eggs that Paramphistomum sp., Haemonchus sp., Oesophagustomum
sp., Mecistocirrus sp., Cooperia sp., Ascaris sp., Trichostrongylus sp., and Nematodirus sp .. The results of
this study showed that the prevalence of Bali Cattle that infected Paramphistomum sp. is 74.05%,
Haemonchus sp. is 4.58%, Oesophagustomum sp. is 18.32%, Mecistocirrus sp. is 2.29%, Cooperia sp. is
0.76%, Ascaris sp. is 0.76%, Trichostrongylus sp. is 1.53%, and Nematodirus sp. is 0.76%.

(Keywords : Infestation rate, Bali cattle, gastrointestinal worm).

PENDAHULUAN Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu.


Tidak adanya data tersebut menjadi dasar perlu
Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 dilakukannya penelitian ini, sehingga dapat
yakni 9.665.117,07 sedangkan tahun 2013 yakni dilakukan langkah lebih lanjut untuk mengatasi
9.798.899,43 (BPSa, 2014). Konsumsi protein dan mencegah infestasi cacing saluran
hewani asal daging tahun 2011 sebesar pencernaan Sapi Bali di Kecamatan Sukoharjo
2,75gram/kapita, sedangkan tahun 2012 sebesar Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung.
3,41gram/kapita (BPSb, 2014). Dalam memenuhi
kebutuhan daging pemerintah berupaya
meningkatkan produksi daging sapi, salah satunya MATERI DAN METODE
dengan mengatasi masalah penyakit cacingan
pada sapi. Metode penelitian yang digunakan adalah
Sapi Bali telah tersebar hampir di seluruh metode survei. Pengambilan sampel ternak
provinsi di Indonesia dan berkembang cukup pesat dilakukan secara proporsional. Penyamplingan
di daerah karena memiliki beberapa keunggulan pada ternak dilakukan dengan cara setiap 100
(Guntoro, 2002). Kendala yang banyak ekor Sapi Bali diwakili oleh satu peternak pada
dihadapkan oleh peternak dalam pemeliharaan Sapi masing-masing desa yang ada di Kecamatan
Bali adalah infeksi penyakit. Sukoharjo Kabupaten Pringsewu Provinsi
Kehadiran fauna parasit terutama cacing Lampung. Total seluruh desa terpilih sampel
pada hewan di peternakan merupakan salah satu peternak sebanyak 27 orang. Selanjutnya, untuk
permasalahan yang sering dihadapi peternak. mengoreksi sampling tahapan berganda baik
Pola pemberian pakan, faktor-faktor lingkungan pada sampel ternak dan peternak maka jumlah
(suhu, kelembaban, dan curah hujan) serta sanitasi peternak dan ternak dilipatkan empat (Martin
yang kurang baik dapat mempengaruhi dkk., 1987), sehingga jumlah sampel ternak
berkembangnya parasit khususnya cacing sebanyak 131 ekor Sapi Bali dan 108 peternak.
gastrointestinal pada hewan ternak (Dwinata, Feses yang sudah diperoleh dikirim ke
2004). Laboraturium Balai Veteriner Lampung dalam
Saat ini belum diketahui tingkat infestasi rantai dingin untuk dilakukan pemeriksaan
cacing saluran pencernaan pada Sapi Bali di dengan metode Sedimentasi dan Mc. Master.

127
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(3): 127-133, Agustus 2015 Putri Handayani et al.

HASIL DAN PEMBAHASAN Tingginya infestasi Paramphistomum sp.


pada Desa Pandan Sari Selatan kemungkinan
A. Kondisi Peternak dan Sapi Bali di dikarenakan pemberian obat cacing yang kurang
Kecamatan Sukoharjo baik. Dari seluruh sampel, 75% Sapi Bali dari
desa tersebut diberikan obat cacing 2 tahun yang
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di 7 lalu. Menurut Anonim (2004), program
desa yang ada di wilayah Kecamatan Sukoharjo pemberian anthelminthika sebaiknya dilakukan
Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung pada sejak sapi baru berumur 7 hari dan diulang
108 peternak dengan jumlah Sapi Bali sebanyak secara berkala setiap 3—4 bulan sekali guna
131 ekor, diperoleh hasil sistem pemeliharaan membasmi cacing secara tuntas.
dikandangkan dipilih oleh 47 peternak (43,52%), Infestasi terendah terdapat di Desa
sedangkan pemeliharaan dikandangkan dan Keputran diduga karena keadaan desa ini yang
digembalakan dipilh 61 peternak (56,48%). tidak banyak area persawahan dan populasi Sapi
Menurut pendapat peternak bahwa ciri-ciri Bali.
Sapi Bali yang terinfeksi cacing yakni mencret, Desa Keputran cenderung sedikit
mengeluarkan air mata, dan bulu dibagian dibandingkan desa lainnya di Kecamatan
punggung rontok. Sapi Bali yang terinfestasi Sukoharjo. Minimnya area persawahan dapat
penyakit cacingan menurut pendapat peternak mengurangi peluang berkembangnya siput
yaitu 49 ekor (37,40%), sedangkan Sapi Bali yang Planarbis sebagai inang perantara sehingga
tidak/tidak diketahui terserang cacingan 82 ekor menekan siklus hidup Paramphistomum sp. yang
(63,60%). Pengobatan obat cacing pernah memerlukan inang perantara. Menurut Sugama
dilakukan pada 98 ekor (74,81%), sedangkan 33 dan Suyasa (2011), Infestasi Paramphistomum sp.
ekor (25,19%) tidak. disebabkan oleh pengambilan sampling yang
dilakukan pada daerah basah atau pakan yang
B. Hasil Uji Sedimentasi terhadap telur berasal dari lahan persawahan sehingga
Paramphistomum sp. pada feses Sapi Bali di memungkinkan perkembangan cacing ini yang
Kecamatan Sukoharjo memerlukan hospes perantara (siput air).

Hasil uji sedimentasi telur C. Hasil Uji Mc. Master terhadap telur
Paramphistomum sp. pada feses Sapi Bali di Haemonchus sp. pada feses Sapi Bali di
Kecamatan Sukoharjo menunjukkan semua desa Kecamatan Sukoharjo
terpilih di Kecamatan Sukoharjo positif
terinfestasi Paramphistomum sp. seperti yang Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa
terlihat pada Tabel 1. 3 desa terinfestasi Haemonchus sp. yakni Desa
Sukoharjo II, Pandan Sari Selatan, dan Panggung
Tabel 1. Prevalensi Sapi Bali yang positif Rejo. Desa yang tidak terinfestasi Haemonchus
terinfestasi Paramphistomum sp. di sp. yakni Sukoharjo I, Sukoharjo IV, Keputran,
Kecamatan Sukoharjo dan Panggung Rejo Utara.

Jumlah
Positif Prevalensi
Tabel 2. Prevalensi Sapi Bali yang positif
Nama Desa Sampel terinfestasi Haemonchus sp. pada setiap
(ekor) (%)
(ekor) desa terpilih di Kecamatan Sukoharjo
Sukoharjo I 5 4 80,00
Jumlah
Sukoharjo II 45 29 64,44 Positif Prevalensi
Nama Desa Sampel
(ekor) (%)
Sukoharjo IV 5 4 80,00 (ekor)
P. Sari Selatan 12 11 91,67 Sukoharjo I 5 0 0,00
Keputran 6 1 16,67 Sukoharjo II 45 2 4,44
P. Rejo 54 46 85,19 Sukoharjo IV 5 0 0,00
P. Rejo Utara 4 2 50,00 P. Sari Selatan 12 1 8,33
Kecamatan
Keputran 6 0 0,00
Sukoharjo 131 97 74,05
P. Rejo 54 3 5,56
Tabel 1 dapat diketahui bahwa Sapi Bali P. Rejo Utara 4 0 0,00
yang positif terinfestasi Paramphistomum sp. yakni Kecamatan
97 dari 131 ekor yang diteliti. Sapi Baliyang Sukoharjo 131 6 4,58
positif terinfestasi Paramphistomum sp. di
Kecamatan Sukoharjo sebesar 74,05% dan Sapi Infestasi Haemonchus sp. tertinggi
Bali yang negatif terinfestasi Paramphistomum sp. terdapat pada Desa Pandan Sari Selatan. Hal ini
sebesar 25,95%. diduga karena 75% dari sampel Sapi Bali yang
diambil fesesnya, diberikan obat cacing 2 tahun

128
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(3): 127-133, Agustus 2015 Putri Handayani et al.

yang lalu. Pemberian obat cacing yang kurang dikemukakan Larsen (2000), program pencegahan
rutin ini dapat mengakibatkan adanya infestasi dan pengendalian nematodiasis pada ternak perlu
Haemonchus sp. dilakukan demi meningkatkan kesehatan dan
Infestasi Haemonchus sp. terendah produktivitas ternak, salah cara dengan pemberian
terdapat pada Desa Sukoharjo I, Sukoharjo IV, obat cacing/anthelmethika. Obat cacing
Keputran, dan Panggung Rejo Utara. Hal ini digunakan untuk membasmi atau mengurangi
diduga karena populasi di desa tersebut yang cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh.
cenderung rendah, yang memungkinkan
rendahnya populasi di area penggembalaan.
Pernyataan tersebut berkaitan dengan populasi E. Hasil Uji Mc. Master terhadap telur
sapi Bali di area penggembalaan, semakin tinggi Mecistocirrus sp. pada feses Sapi Bali di
populasi di area penggembalaan maka semakin Kecamatan Sukoharjo
tinggi peluang untuk terinfestasi cacing saluran
pencernaan. Seperti yang dikatakan oleh Hasil uji Mc. Master menunjukkan hanya 3
Purwanta (2012), salah satu hal yang dapat desa di Kecamatan Sukoharjo yang positif
memungkinkan Sapi Bali terserang cacing saluran terinfestasi telur Mecistocirrus sp. yakni
pencernaan adalah populasi Sapi Bali meningkat Sukoharjo I, Pandan Sari Selatan, dan Panggung
dalam satu area penggembalaan. Rejo. Desa yang tidak terinfestasi cacing
Mecistocirrus sp. yaitu Sukoharjo I, Sukoharjo
D. Hasil Uji Mc. Master terhadap telur IV, Keputran, dan Panggung Rejo Utara
Oesophagustomum sp. pada feses Sapi Bali
di Kecamatan Sukoharjo Tabel 4. Prevalensi Sapi Bali yang positif
terinfestasi Mecistocirrus sp. pada setiap
Sapi Bali yang terinfestasi desa terpilih di Kecamatan Sukoharjo
Oesophagustomum sp. hampir terdapat pada
semua desa di Kecamatan Sukoharjo, terkecuali Jumlah
Positif Prevalensi
pada Desa Sukoharjo I. Sampel Sapi Bali yang Nama Desa Sampel
(ekor) (%)
positif terinfestasi Oesophagustomum sp. 24 ekor (ekor)
dari 131 ekor yang diteliti seperti yang terlihat Sukoharjo I 5 0 0,00
pada Tabel 3.
Sukoharjo II 45 1 2,22
Tabel 3. Prevalensi Sapi Bali yang positif Sukoharjo IV 5 0 0,00
terinfestasi Oesophagustomum sp. pada P. Sari Selatan 12 1 8,33
setiap desa terpilih di Kecamatan
Keputran 6 0 0,00
Sukoharjo
P. Rejo 54 1 1,85
Jumlah P. Rejo Utara 4 0 0,00
Positif Prevalensi
Nama Desa Sampel Kecamatan
(ekor) (%)
(ekor) Sukoharjo 131 3 2,29
Sukoharjo I 5 0 0,00
Infestasi Mecistocirrus sp. pada Sapi Bali
Sukoharjo II 45 9 20,00
tertinggi terdapat pada Desa Pandan Sari Selatan.
Sukoharjo IV 5 1 20,00 Hal ini diduga karena tindakan pemberantasan
P. Sari Selatan 12 1 8,33 penyakit cacingan yang kurang baik di Desa
Keputran 6 1 16,67 Pandan Sari Selatan. Sapi Bal Infestasi
Mecistocirrus sp. pada Sapi Bali tertinggi terdapat
P. Rejo 54 10 18,52 pada Desa Pandan Sari Selatan. Hal ini diduga
P. Rejo Utara 4 2 50,00 karena tindakan pemberantasan penyakit cacingan
Kecamatan yang kurang baik di Desa Pandan Sari Selatan.
Sukoharjo 131 24 18,32 Sapi Bali yang berada pada Desa Pandan Sari
Selatan 75% diberikan obat cacing 2 tahun yang
Tingginya infestasi di Desa Panggung Rejo lalu.
Utara kemungkinan karena Sapi Bali di desa Infestasi terendah terdapat pada Desa
tersebut tidak pernah diberikan obat cacing. Sukoharjo I, Sukoharjo IV, Keputran, dan
Pemberiaan obat cacing berguna sebagai Panggung Rejo Utara yakni dengan tidak adanya
pemberantasan cacing tidak dilakukan, ditunjang Sapi Bali yang terinfestasi Mecistocirrus sp. Hal
dengan tidak adanya tindakan pencegahan ini diduga karena populasi di desa tersebut yang
(Mustika dan Riza, 2004). cenderung rendah, yang memungkinkan
Rendahnya prevalensi terdapat pada Desa rendahnya populasi di area penggembalaan.
Sukoharjo I diduga karena Sapi Bali di desa ini Pernyataan tersebut berkaitan dengan populasi
telah diberikan obat cacing 3 bulan yang lalu Sapi Bali di area penggembalaan, semakin tinggi
sebagai tindakan pengendalian. Seperti yang populasi di area penggembalaan maka semakin

129
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(3): 127-133, Agustus 2015 Putri Handayani et al.

tinggi peluang untuk terinfestasi cacing saluran Tabel 6. Prevalensi Sapi Bali yang positif
pencernaan. terinfestasi Ascaris sp. pada setiap desa
terpilih di Kecamatan Sukoharjo
F. Hasil Uji Mc. Master terhadap telur
Cooperia sp. pada feses Sapi Bali di Jumlah
Positif Prevalensi
Kecamatan Sukoharjo Nama Desa Sampel
(ekor) (%)
(ekor)
Sapi Bali yang terinfestasi Cooperia sp. di Sukoharjo I 5 0 0,00
Kecamatan Sukoharjo yakni 1 ekor dari 131 ekor
Sukoharjo II 45 1 2,22
yang diuji. Desa Sukoharjo II merupakan desa
yang terinfestasi Cooperia sp. seperti yang terlihat Sukoharjo IV 5 0 0,00
pada Tabel 5. P. Sari Selatan 12 0 0,00
Keputran 6 0 0,00
Tabel 5. Prevalensi Sapi Bali yang positif
terinfestasi Cooperia sp. pada setiap desa P. Rejo 54 0 0,00
terpilih di Kecamatan Sukoharjo P. Rejo Utara 4 0 0,00
Kecamatan
Jumlah Sukoharjo 131 1 0,76
Positif Prevalensi
Nama Desa Sampel
(ekor) (%)
(ekor)
Sukoharjo I 5 0 0,00 H. Hasil Uji Mc. Master terhadap telur
Sukoharjo II 45 1 2,22 Trichostrongylus sp. pada feses Sapi Bali di
Kecamatan Sukoharjo
Sukoharjo IV 5 0 0,00
P. Sari Selatan 12 0 0,00 Sapi Bali di Kecamatan Sukoharjo yang
Keputran 6 0 0,00 positif terinfestasi Trichotrongylus sp. serbanyak
2 ekor dari 131 ekor yang diteliti yang terdapat di
P. Rejo 54 0 0,00 Desa Sukoharjo II dan Panggung Rejo seperti
P. Rejo Utara 4 0 0,00 yang terlihat pada Tabel 7.
Kecamatan
Sukoharjo 131 1 0,76 Tabel 7. Prevalensi Sapi Bali yang positif
terinfestasi Trichotrongylus sp. pada
Sapi Bali yang terinfestasi Cooperia sp. setiap desa terpilih di Kecamatan
memiliki umur 8 bulan yang dapat diartikan Sukoharjo
bahwa sapi belum mencapai dewasa tubuh
sehingga rentan terhadap larva Cooperia sp. yang Jumlah
Positif Prevalensi
masuk ke dalam tubuh sapi. Hal ini sesuai yang Nama Desa Sampel
(ekor) (%)
diungkapkan Soulsby (1986), pedet akan lebih (ekor)
rentan terhadap infestasi cacing dibanding Sukoharjo I 5 0 0,00
dengan sapi dewasa hal ini berkaitan dengan
Sukoharjo II 45 1 2,22
belum meningkatnya sel - sel goblet dalam usus
yang menghambat pertumbuhan larva inektif Sukoharjo IV 5 0 0,00
parasit nematoda. P. Sari Selatan 12 0 0,00
Keputran 6 0 0,00
G. Hasil Uji Mc. Master terhadap telur Ascaris
sp. pada feses Sapi Bali di Kecamatan P. Rejo 54 1 1,85
Sukoharjo P. Rejo Utara 4 0 0,00
Kecamatan
Desa Sukoharjo II merupakan desa yang Sukoharjo 131 2 1,53
terinfestasi Ascaris sp. seperti yang terlihat pada
Tabel 6. Telur Ascaris sp. sanggup hidup di luar Infestasi Trichotrongylus sp. tertinggi
sampai 5 tahun, namun hanya 1 Sapi Bali yang terdapat pada Desa Sukoharjo II sebanyak 1 ekor
terinfestasi telur cacing ini. Hal ini diduga karena dari 45 ekor yang diteliti. Trichostrongylus sp.
Sapi Bali yang terinfestasi merupakan pedet yang tergolong cacing gilig atau nematoda sehingga
masih berumur 3 bulan sehingga daya tahan tubuh disebut nematoda gastrointestinal (Anon, 1990).
yang dimiliki belum kuat untuk melawan telur Lebih spesifik lagi cacing ini digolongkan cacing
Ascaris sp. yang masuk ke dalam tubuh pedet. rambut karena ukurannya yang kecil.
Levine (1990) menjelaskan anak sapi lebih peka Patogenitas pada hewan muda lebih hebat dari
terhadap infeksi parasit dari pada sapi dewasa pada hewan dewasa (Noble dan Noble,1989). Hal
ini diduga menjadi penyebab adanya infestasi di
desa Sukoharjo II. Seperti yang dibuktikan
dengan kuisioner bahwa Sapi Bali yang terinfeksi

130
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(3): 127-133, Agustus 2015 Putri Handayani et al.

berumur 6 bulan, dalam hal ini sapi tergolong J. Kondisi Umum Tingkat Infestasi Cacing
ternak muda. Saluran Pencernaan di Kecamatan
Menurut Kadarsih dan Sawitri (2004), Sukoharjo
proses nematodiasis gastrointestinal juga sangat
dipengaruhi oleh faktor umur terutama pada Hijauan yang diberikan pada
ternak lebih muda. Pedet lebih rentan terhadap pemeliharaan secara dikandangkan maupun
nematodiasis dibanding dengan sapi dewasa hal dikandangkan dan digembalakan berasal dari
ini berkaitan dengan belum meningkatnya sel-sel kebun maupun areal sekitar sawah. Sapi Bali
goblet dalam usus yang menghambat sebagian besar digembalakan di sawah, namun
pertumbuhan larva infektif parasit nematoda. dikarenakan saat pengambilan data sedang musim
hujan dan musim tanam menyebabkan sapi
I. Hasil Uji Mc. Master terhadap telur dipelihara secara dikandangkan dan hanya
Nematodirus sp. pada feses Sapi Bali di beberapa sapi yang digembalakan di kebun dan
Kecamatan Sukoharjo lapangan. Penggembalaan di sawah, kebun, dan
lapangan sangatlah rentan terjadinya infeksi. Jika
Kecamatan Sukoharjo terdapat infestasi diantara sapi yang digembalakan ada yang positif
Nematodirus sp. sebanyak 1 ekor dari 131 ekor terinfeksi cacing, maka keadaan lahan
yang diteliti seperti yang terlihat pada Tabel 8. penggembalaan tersebut akan menjadi tempat
yang baik bagi berkembangnya berbagai jenis
Tabel 8. Prevalensi Sapi Bali yang positif cacing. Keadaan yang demikian dimanfaatkan
terinfestasi Nematodirus sp. pada setiap oleh telur-telur cacing untuk tumbuh menjadi
desa terpilih di Kecamatan Sukoharjo metasercaria dan akhirnya menjadi larva yang
infektif. Levine (1990) menjelaskan bahwa
Jumlah
Positif Prevalensi
populasi nematoda pada ternak dapat disebabkan
Nama Desa Sampel oleh berbagai faktor, diantaranya adalah
(ekor) (%)
(ekor) kelembaban dan vegetasi.
Sukoharjo I 5 0 0,00 Hijauan yang diberikan pada Sapi Bali
Sukoharjo II 45 0 0,00
100% adalah hijauan segar tanpa proses
pelayuan. Hijauan segar yang diberikan menjadi
Sukoharjo IV 5 0 0,00 salah satu faktor penyebab tingginya infestasi
P. Sari Selatan 12 0 0,00 cacing saluran pencernaan pada Sapi Bali akibat
Keputran 6 0 0,00 pencemaran larva pada hijauan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Subronto dan Tjahajati (2001)
P. Rejo 54 1 1,85 menyebutkan bahwa kebanyakan jenis parasit
P. Rejo Utara 4 0 0,00 gastrointestinal masuk ke dalam tubuh hospes
Kecamatan definitif melalui mulut dari pakan yang tercemar
Sukoharjo 131 1 0,76 larva.
Musim hujan juga diduga menjadi
Desa Panggung Rejo positif terinfestasi penyebab infestasi cacing saluran pencernaan
Nematodirus sp. (Tabel 8) sebanyak 1 ekor Sapi pada Sapi Bali dikarenakan keadaan lingkungan
Bali. Adanya infestasi di desa Panggung Rejo yang semakin lembab sehingga menunjang
diduga dikarenakan terdapat banyak tempat perkembangan cacing saluran pencernan di
penggembalaan mengakibatkan berkembangnya Kecamatan Sukoharjo. Hal ini sesuai dengan
telur Nematodirus sp. Sesuai dengan pernyataan pendapat Jumaldi dan Wijayanti (2010), bahwa
Williamson dan Payne (1993) bahwa vegetasi musim hujan, kelembaban udara yang tinggi, dan
yang menjadi makanan dan tempat berlindung temperatur yang rendah adalah kondisi yang
induk semang, baik efinitive atau intermediet disukai oleh cacing parasit untuk berkembang.
berpengaruh besar pada populasi parasit, Menurut Egido dkk. (2001) dan Levine
termasuk air. (1990) prevalensi parasit pada ternak dapat
Jenis-jenis telur cacing yang ditemukan disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain letak
(Tabel 9) prevalensi yang tertinggi yakni geografis, kondisi lingkungan, kualitas kandang,
Paramphistomum sp. (74,05%) sesuai dengan sanitasi dan higiene, kepadatan kandang,
pendapat Widjajanti (2004) Paramphistomum sp. temperatur, humiditas, dan vegetasi. Sanitasi
adalah spesies trematoda yang umum ditemukan yang dilakukan peternak di Kecamatan Sukoharjo
di Indonesia. Banyaknya cacing nematoda yang 95,37% dilakukan satu kali sehari, sedangkan
ditemukan dikarenakan siklus hidup nematoda 3,7% dilakukan satu kali seminggu, dan 0,93%
pada ruminansia bersifat langsung tanpa tidak pernah melakukan sanitasi kandang.
membutuhkan hospes intermediet sehingga Sebagian besar sanitasi yang dilakukan peternak
intensitas nematoda pada sapi cukup tinggi di Kecamatan Sukoharjo kurang baik dikarenakan
(Bowman dan Georgi, 2009). feses yang dibersihkan dari kandang dibuang di
area sekitar kandang sehingga menyebabkan
keadaan kandang menjadi lembab. Ditunjang

131
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(3): 127-133, Agustus 2015 Putri Handayani et al.

dengan lingkungan kandang yang sebagian besar mempercepat perkembangan cacing saluran
terletak di dekat sawah maupun kebun sehingga pencernaan.

Tabel 9. Prevalensi Sapi Bali yang positif terinfestasi cacing saluran pencernaan di Kecamatan Sukoharjo

Nama Desa PRM OPG COO TCT HMC MEC ASS NMT
Sukoharjo I 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Sukoharjo II 20,00 2,22 2,22 4,44 2,22 2,22 0,00 20,00
Sukoharjo IV 20,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 20,00
Pandan Sari Selatan 8,33 0,00 0,00 8,33 8,33 0,00 0,00 8,33
Keputran 16,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 16,67
Panggung Rejo 18,52 0,00 1,85 5,56 1,85 0,00 1,85 18,52
Panggung Rejo Utara 50,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 50,00
Kecamatan Sukoharjo 74,05 18,32 0,76 1,53 4,58 2,29 0,76 0,76
Keterangan : PRPS: Paramphistomum sp.
HMC : Haemunchus sp.
OPG : Oesophagustomum sp.
MEC : Mecistocirrus sp.
COO : Cooperia sp.
ASS : Ascaris sp.
TCT : Trichostrongylus sp.
NMT : Nematodirus sp.

Sapi Bali yang berada di Kecamatan Desa Pandan Sari Selatan dengan prevalensi
Sukoharjo yang mengikuti pengobatan yang 100%.
diadakan oleh Dinas Peternakan Kabupaten
Pringsewu sebesar 74,81%, sedangkan 25,19% SARAN
tidak mengikuti. Waktu pengobatan yang
dilakukan berbeda-beda pada setiap desa yakni 2 Saran yang ingin disampaikan peneliti
tahun yang lalu, 6 bulan yang lalu dan 4 bulan kepada peternak adalah untuk melakukan
yang lalu. Pengobatan yang dilakukan tidaklah pemberian obat cacing secara rutin sesuai dengan
rutin sehingga pengendalian infeksi cacingan petunjuk dokter hewan; dan kepada pihak yang
pada Sapi Bali kurang efektif. Menurut Anonim berwenang (Dinas Peternakan dan Perikanan
(2004), pemberantasan cacingan dapat dilakukan Kabupaten Pringsewu) diharapkan dapat
dengan menggunakan anthelminthika, program melakukan penyuluhan tentang cara
pemberian anthelminthika sebaiknya dilakukan pemeliharaan sapi yang baik.
sejak sapi baru berumur 7 hari dan diulang
secara berkala setiap 3—4 bulan sekali guna
membasmi cacing secara tuntas. DAFTAR PUSTAKA
Pendidikan peternak di Kecamatan
Sukoharjo sebagian besar berijazah SMP Ahmad R.Z. 2008. Beberapa Penyakit Parasitik
56,48%. Hal ini diduga menjadi salah satu dan Mikotik pada Sapi Perah yang Harus
penyebab tingginya infestasi di Kecamatan Diwaspadai. Semiloka Nasional Prospek
Sukoharjo. Pendidikan mempengaruhi Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan
pemahaman dalam menerima informasi dalam Bebas 2020. Balai Besar Penelitian
beternak sapi yang baik. Seperti yang dikatakan Veteriner. Bogor
oleh SDKI (1997), tingkat pendidikan Anon. 1990. Beberapa Penyakit Penting Pada
mempengaruhi persepsi seseorang untuk ternak. Seri Peternakan .Proyek
menerima ide dan teknologi baru. Pengembangan Penyuluhan Pertanian
Pusat / NAEP. Balai Informasi Pertanian
Daerah Istimewa Aceh. Departemen
SIMPULAN Pertanian
Anonim, 2013.Penyakit Cacingan pada Sapi.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat http:info//medion.co.id/index.php/artik
disimpulkan bahwa Sapi Bali di Kecamatan el/hewan-besar/penyakit/cacingan-pada
Sukoharjo yang terinfestasi cacing saluran sapi. Diakses 24 Januari 2015
pencernaan baik tunggal maupun campuran Anonim. 2004. Ivermectin.http://cal.vet.upenn.
sebesar 83,97%, sedangkan yang tidak terinfestasi ed u/dxendopar/drug%20pages/fenben
sebesar 16,03%. Infestasi tertinggi terdapat di dazole.htm. Diakses 24 Januari 2015
Badan Pusat Statistikaa. 2014. Produk Domestik

132
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(3): 127-133, Agustus 2015 Putri Handayani et al.

Bruto. http://bps.go.id. Diakses pada 28 Edisi Kelima, Terjemahan Parasitology


Oktober 2014 The Biology Of Animal Parasites Second
Badan Pusat Statistikb. 2014. Rata-rata Konsumsi Edition Oleh Wardianto. Gadjah Mada
Protein (gram) per Kapita. Universitas Press. Yogyakarta
http://www.bps.go.id/. Diakses pada 23 Purwanta. 2012. Penyakit Cacing Saluran
Desember 2014 Pencernaan pada Sapi Bali. Unit Penelitian
Bowman, D.D. and J.R. Georgi. 2009. Georgi’s dan Pengabdian pada Masyarakat (UPPM).
Parasitology for Veterinarians. Elsevier Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian
Health Sciences. United Kingdom (STTP). Gowa, 5(1):1858:4330
Dwinata, M.I. 2004. Prevalensi Cacing Nematoda SDKI. 1997. Pengaruh Kondisi Lingkungan
pada Rusa yang Ditangkarkan. Jurnal terhadap Kematian Anak. Tesis :
Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan Program Studi Kajian Kependudukan
Universitas Udayana. Bali dan Ketenagakerjaan. Program
Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Potong. Pascasarjana Universitas Indonesia
Kanisius. Yogyakarta Soulsby, E.J.L. 1986. Helminths, Arthopods and
Jumaldi dan A. Wijayanti. 2010. Prevalensi dan Protozoa of Domesticated Animal. Ed
Jenis Telur Cacing Gastrointertinal pada ke-7. Bailliere Tidall. London
Rusa Sambar di Penangkaran Rusa Desa Subronto dan I. Tjahajati, 2004. Ilmu Penyakit
Api-Api Kabupaten Penajam Paser Utara. Ternak (Mamalia) II, Gadjah Mada
Jurusan Biologi FMIPA. Universitas University Press. Yogyakarta
Mulawarman Sugama, I. N. dan I.N. Suyasa. 2011. Keragaan
Kadarsih dan Siwitri. 2004. Performans Sapi Bali Infeksi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi
berdasarkan ketinggian tempat di daerah Bali Model Kandang Simantri. Balai
transmigrasi Bengkulu: Jurnal ilmu-ilmu Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
pertanian Indonesia vol. 6 Urquhart, G.M., J. Armour, J.L. Duncan, A.M.
Larsen, M. 2000. Prospect for controlling animal Dunn, and F. W. Jennings 1996.
parasitic nematodes by predacious micro Veterinary Parasitology 2nd Edition.
fungi. Parasitology. 120: S121-S131 ELBS. England
Levine, N.D. 1990. Parasitologi Veteriner. Widjajanti, S. 2004. Fasciolosis pada manusia:
Gadjah Mada University Press. mungkinkah terjadi di Indonesia. Buletin
Yogyakarta Ilmu Peternakan Indonesia. 14(2): 65-72
Mustika, I dan Z. A. Riza. 2004. Peluang Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993.
pemanfaatan jamur Nematofagus untuk Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
mengendalikan Nematoda parasit pada Gadjah Mada University Press
tanaman dan ternak. Jurnal Litbang (diterjemahkan oleh Darmadja SGND).
Pertanian, 23(4): 115 Yogyakarta
Noble, E.R. and G.A. Noble. 1989.
Parasitology Biology Parasit Hewan

133

You might also like