Professional Documents
Culture Documents
Abstract
Existentialism was a label for many philosophical thoughts developed in the World War I and II. It becomes a
break-through against the traditional ways of thinking, namely essentialism considering empirism and
rationalism and the ontology of rationalistic being as the only ways of thinking. The traditional thinkers has
agreed to dismish any possibility to change the answer to the question of being. The existentialist thinker made
a revolt against that traditional philosopher of essentialism which had developed since the era of Plato and
Aristoteles as a deterministic philosophy. Jean-Paul Sartre, well-known French philosopher was one of
existentialist thinker who discusses human as an existential subject. According to him, existentialism was also a
philosophy of being, but he resists rationalizing it. In his thought, existentialism is the personal experience of
human as a subject. He calls ‘etre-en soi’ for human conciousness object and etre pour-soi for human
consciousness. The purpose of human existensialist, according to him, is to be etre-ensoi-etre pour soi’ or the
fully consciousness in the self. Subjectivism of human being was becoming the focus of thinking creating a new
scientific mainstream called psychology.
Keywords: Existentialism, Anti-deterministic, World War, Psichology and Subjectifism, Being And Nothingnes
( L’Etre et Neant.)
Abstrak
Eksistensialisme merupakan sebuah label yang diberikan terhadap banyak pemikiran filsafat yang berkembang
pada Perang Dunia I dan II. Aliran ini mendobrak aliran pemikiran tradisional sebelumnya yaitu Esensialisme
yang hanya menganggap empirisme dan rasionalisme serta ontologi rasional tentang ‘ada’ sebagai hakikat
pemikiran. Pemikir-pemikir tradisional telah menyepakati untuk menghilangkan setiap kemungkinan yang
mengubah pertanyaan tentang ‘ada’. Pemikir-pemikir Eksistensialis melakukan revolusi terhadap para Filsuf
Esensialis yang telah berkembang selama berabad-abad sejak zaman Plato dan Aristoteles sebagai suatu bentuk
filsafat yang deterministik. Jean-Paul Sartre, filsuf Perancis yang terkenal adalah salah satu pemikir
Eksistensialis yang membicarakan manusia sebagai subjek yang eksistensial. Menurutnya, Eksistensialisme juga
merupakan filsafat tentang ‘ada’, tetapi dia menolak untuk membakukannya menjadi satu-satunya hakikat
pemikiran. Ia menganggap bahwa Eksistensialisme merupakan pengalaman personal manusia sebagai subjek.
Dia menyebut ‘etre-en soi’ terhadap objek kesadaran manusia dan ‘etre-pour soi’ terhadap kesadaran manusia
itu sendiri. Tujuan kesadaran manusia menurut Sartre adalah menjadi ‘etre-en soi- etre-pour soi’ atau
‘kesadaran yang penuh pada dirinya.’ Subjektivitas manusia menjadi fokus pemikiran yang melahirkan aliran
ilmu pengetahuan terbaru yaitu Psikologi.
Kata kunci: Eksistensialisme, Anti Deterministik, Perang Dunia, Psikologi, Subjektivisme, Ada dan tiada
(L’Etre et le Neant).
3. Etre-en Soi- Etre- pour Soi (Tujuan Akhir 5. Kebebasan yang Menghukum
Manusia)
Etre pour soi merupakan dunia
Sartre berpendapat bahwa tujuan akhir kesadaran manusia yang dapat menyangkal
manusia adalah Etre-en soi-etre pour soi yang (mengadakan neantisation) keberadaan Etre-en
penuh dan sadar, dimana ia menjadi sebab atau soi (ujud benda-benda). Dengan kesadarannya,
dasar bagi diri sendiri yang tidak perlu bertanya manusia sebagai Etre pour-soi memiliki
lagi. Manusia hendak menjadi ‘Tuhan’ atas kebebasan (la liberte) untuk membedakan antara
dirinya. Cita-cita itu akhirnya merupakan kegagalan benda yang satu dengan benda yang lain dan
belaka yang tak kunjung sampai dijangkau oleh juga membedakan antara benda-benda itu
manusia karena kesadarannya yang selalu dengan dirinya sendiri. Kebebasan yang dimiliki
meniadakan dengan bebas. Di sinilah, terlihat Etre pour-soi itu dihasilkan manusia karena
konsep pesimisme pada pemikiran Sartre. Pada kemampuannya mencari kemungkinan-kemungkinan
awalnya Sartre mulai dengan konsep kebebasannya dan menidakkan atau menyangkal segala sesuatu
yang memukau. Namun pada akhirnya dia yang berbeda satu dengan yang lain dengan
pesimis dengan pencapaian kebebasan itu. menggunakan kesadarannya. Dengan bebas
Semoga ini tidak terjadi pada kita sebagai bangsa eksistensi bisa berkata bahwa, arang yang
yang berpancasila, yang menganut KeTuhanan diamat-amatinya sekarang tidak lagi kayu yang
Yang Maha, yang menganggap kita sebagai digunakan untuk membuat arang itu. Manusia
manusia bukan Tuhan atas diri kita, bahkan kita juga bebas untuk membedakan dirinya masa
bisa berharap pada Tuhan Yang Maha Kuasa. kini dengan dirinya di masa lampau atau
Konsep manusia menjadi Tuhan atas dirinya dari mengatakan bahwa dirinya masa kini tidaklah
pemikiran Eksistensialisme Sartre tidak perlu sama dengan dirinya pada saat masa lampau.
kita terima sebagai bangsa Indonesia. Manusia tidak pernah identik dengan dirinya
sendiri karena kemungkinan-kemungkinan yang
Penggabungan antara Etre-en soi- dan
berubah setiap saat. ’Eksistensi mendahului
Etre pour soi atau antara Thingness dan Nothingness;
essensi’ (L'existence précède l'essence) yang
atau antara ketidaksadaran dan kesadaran atau
artinya “manusia akan memiliki esensi jika ia
Beingness and Nothingness, merupakan arah
telah eksis terlebih dahulu. Esensinya itu, akan
pemikiran Sartre sebagaimana judul bukunya
muncul ketika manusia mati. Dengan kata lain,
yang terkenal l’Etre et le Neant atau Being and
manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan
Nothingness atau Ada dan Tiada.
dan selama hidupnya, ia tidak lebih hasil
kalkulasi dari komitmen-komitmennya pada
4. Atheisme Sartre
masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya,
Sartre merupakan seorang Filsuf satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan
Eksistensialis yang atheis. Ia menolak eksistensi manusia (L'homme est condamné à être libre).”
Tuhan dengan meniadakan Tuhan itu. Menurutnya, Makna lainnya dari pandangan tersebut yaitu
adanya Tuhan yang menyoroti manusia sebagai manusia tercipta di dunia tanpa ada tujuan hidup.
subjek yang sadar akan diri dan mempunyai Manusia berada di dunia terlebih dahulu
kemudian ia mencari makna dalam hidupnya. Ia
mencari dengan berpetualang ke berbagai tempat
7
Akan terlihat jelas pada penjelasan yang untuk menjumpai peristiwa yang terjadi dalam
berjudul: Etre Pour –Autrui sebagai ‘intersubjektivitas masyarakat.
yang gagal’ pada bagian 6.