You are on page 1of 19

Jurnal Psikologi

Volume 43, Nomor 2, 2016: 135 – 153

Perundungan Reaktif di Sekolah Dasar dan Intervensi


Berbasis Nuansa Sekolah
Arina Mufrihah1
Prodi Bimbingan dan Konseling, STKIP PGRI Sumenep

Abstract. Parents and teachers have not known much that actually behavior of naughty
children in elementary school is included violence behavior or known as bullying.
Prevalence of the violence behavior which has happened, lack of attention and
professional handling for violence behavior in elementary school were important reason
to do this study purposely for: (1) indentifying who bullies, who gets bullied, and the
content of the violence behavior; (2) explaining the differentiation of violence behavior
beetwen two of gender student and beetwen higher class and lower class of elementary
school student; (3) finding the risk factors are strong predictors of school environment
violence; and (4) how does the teacher intervention to stop bullying. This research was
worked by mixed method with explanatory design (quantitative → qualitative) and took
142 students as sample were gotten by using cluster sampling technique. Research finding
showed as many as 62. 761% students have ever acted violence behavior and there were
difference violence act beetwen both of gender students (P value 0.930 > 0.05) and also
difference violence beetwen high class and lower class students (P value 0.930 > 0.05). The
risk factors of violence behavior at elementary school student were not merely family and
school factor, but psychological factor also.
Keywords: bullying in elementary school, intervention of bullying, violence behavior

Abstrak. Orang tua dan guru belum banyak menyadari bahwa “perilaku nakal” anak usia
sekolah dasar sebenarnya juga merupakan perilaku perundungan. Melihat hal tersebut
masih terjadi dan kurang mendapatkan perhatian atau penanganan serius terhadap
perilaku kekerasan di sekolah dasar, maka penelitian ini dilakukan untuk mengidenti-
fikasi pelaku, korban, dan bentuk kekerasan, menjelaskan perbedaan perilaku kekerasan
antara siswa laki-laki dan siswa perempuan; antara siswa kelas rendah dan siswa kelas
tinggi; menemukan faktor penyebabnya; dan bagaimana peran guru secara preventif dan
kuratif terhadap perilaku kekerasan. Penelitian dilakukan dengan desain mixed-method
berurutan (kuantitatif→kualitatif), jumlah sampel 142 siswa yang didapatkan dengan
cluster sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 62.761% siswa pernah
melakukan tindak kekerasan dan terdapat perbedaan perilaku kekerasan antara siswa
kelas rendah dengan siswa kelas tinggi (P value 0.930 > 0.05), juga perbedaan antara siswa
laki-laki dengan siswa perempuan (P value 0.930 > 0.05). Faktor penyebab perilaku
kekerasan bukan hanya keluarga dan lingkungan sekolah, namun juga diri sendiri, di
mana para guru sudah melakukan upaya preventif dan kuratif terhadap perundungan
berbasis nuansa sekolah.
Kata kunci: perundungan di sekolah dasar, penanganan perundungan, perilaku kekerasan

1 Korespondensi mengenai isi artikel ini dapat dilakukan melalui: arinamufrihah@gmail.com

135 JURNAL PSIKOLOGI


MUFRIHAH

Sekolah dasar merupakan lembaga yang buruk, ejekan/celaan, olokan,


sosialisasi terkuat dalam perkembangan ancaman, menyebarkan rumor yang tidak
manusia. Entah baik atau buruk, sebagian menyenangkan), keduanya merupakan
besar masyarakat secara simultan mem- bentuk dari perundungan secara lang-
bawa momen-momen penting sekolah sung. Sedangkan bentuk perundungan
dasar selama rentang kehidupannya tidak langsung berupa menunjukkan sikap
(Gibson & Mitchell, 2010). Sekolah Dasar yang tidak bersahabat, menunjukkan raut
di lain sisi menjadi lingkungan tempat muka bermusuhan, atau menjauhkan
terjadinya aksi kekerasan. Karena perilaku korban dari kelompoknya (Sciarra, 2004).
terbentuk berdasarkan modeling yang Dalam kajian kesehatan mental, perilaku
didapatkan dari lingkungan, baik sosial menyakiti orang lain tidak bisa dianggap
maupun non-sosial (Taylor, 2006), tidak remeh karena perilaku tersebut termasuk
terkecuali perilaku yang tidak sesuai. bagian dari conduct disorder (Morcillo, dkk.,
Terlebih periode SD adalah masa krusial 2014; Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
bagi anak untuk berpartisipasi dalam Perundungan dan peer-victimization
kelompok teman sebaya (Veenstra, dkk., sebagai tindak kekerasan merupakan
2013). Sementara itu, krusialitas kelompok masalah yang banyak terjadi di SD dan
teman sebaya semakin banyak mendapat telah menjadi public and mental health
perhatian karena merupakan salah satu concern dan safeguarding issue (Beattie,
sumber terjadinya peer victimization. 2015; Hong & Espelage, 2012;
Kekerasan di sekolah merupakan Golmaryami, dkk., 2016), bahkan
segala bentuk perilaku agresif untuk fenomena ini semakin meluas dan
menyakiti orang lain seperti perundungan, bertambah (Majcherova, dkk., 2014).
kekerasan seksual, penyalahgunaan Hampir setengah dari siswa pernah
aktivitas seksual, dan berbagai perilaku mengalami perundungan selama masa
siswa yang mengacu pada sikap sekolah; setidaknya 81% siswa laki dan
bermusuhan pada sesama siswa dalam 72% siswa perempuan dilaporkan meng-
lingkungan sekolah (Sciarra, 2004). alami perundungan di sekolah (McAdams
Kemudian Beattie (2015) menerangkan & Schmidt, 2007). Dalam hal perundungan
bahwa perundungan merupakan siber pun, didapati bahwa laki-laki lebih
penyalahgunaan kekuatan secara sistema- banyak melakukan perundungan diban-
tis dan dikategorikan sebagai perilaku dingkan perempuan (Ramdhani, 2016).
agresif yang dilakukan oleh teman sebaya Hal ini menjadi perhatian para pendidik,
yang melakukannya secara berulang dan profesional, dan bahkan dunia karena
ditandai dengan adanya kekuatan yang hasil studi membuktikan bahwa perun-
tidak seimbang/setara (korban memiliki dungan berhubungan dengan outcome
kelemahan dalam membela diri). Jadi negatif pada anak sekolah dasar seperti
perundungan di sekolah adalah bentuk masalah kesehatan personal distress,
dari perilaku agresif yang dilakukan rendahnya prestasi akademik, rendahnya
secara berulang untuk menyalahgunakan self-esteem, depresi, kecemasan, dan
kekuatan oleh teman sebaya di lingkungan masalah kesehatan mental serius lainnya
sekolah. (Juvonen & Graham, 2014; Olweus &
Perilaku perundungan dapat berupa Breivik, 2014; Morrow, dkk., 2014; Puhl &
fisik (pukulan, tendangan, gigitan, King, 2013; Beattie, 2015; Golmaryami,
dorongan, cekikan) atau verbal (penamaan dkk., 2016).

136 JURNAL PSIKOLOGI


PERUNDUNGAN REAKTIF DAN INTERVENSI

Korban perundungan umumnya perundungan. Korban-pelaku merupakan


merupakan siswa yang dianggap lebih istilah yang digunakan bagi siswa yang
lemah dalam pembelaan diri dan kurang melakukan perundungan terhadap siswa
mendapatkan dukungan sosial dari lain dan mendapatkan perundungan dari
teman-temannya. Siswa korban perun- siswa lain. Siswa SD lebih banyak
dungan memiliki sedikit teman sebaya melakukan kekerasan fisik dan verbal;
dan mendapat lebih banyak reactive korban-pelaku lebih sering menjadi target
agression (Healy, dkk., 2015). Empat perilaku kekerasan dari dibandingkan
karakteristik dari siswa yang beresiko pure-victims dan berkontribusi terhadap
menjadi korban penganiayaan ialah siswa faktor tingginya perilaku maladjustment
yang tidak memiliki keterampilan perta- (Yang & Salmivalli, 2013). Korban-pelaku
hanan diri, terlihat tidak dapat membela dan pure victim secara konsisten berhu-
dirinya sendiri, memiliki peran yang bungan dengan sejumlah masalah kese-
lemah dalam aturan main kelompok hatan mental yang serius, berimplikasi
teman sebaya, dan sekolah yang seper- pada personal distress, dan berlawanan
tinya menyediakan tempat yang kondusif dengan emotional well-being. Atas dasar itu
untuk melakukan aksi kekerasan dan perundungan harus segera mendapatkan
penganiayaan. penanganan oleh berbagai pihak dan
Umumnya, apa yang terjadi antar pentingnya mengembangkan mekanisme
siswa hanya dianggap sebagai kenakalan penanganan kekerasan penganiayaan dari
biasa yang sewajarnya dilakukan oleh permasalahan kekerasan yang telah terjadi
anak-anak. Menjadi korban kekerasan (Olweus & Breivik, 2014).
masih dipandang sebagai hal yang wajar, Korban-pelaku ditandai dengan
padahal faktor resiko juga dapat terpapar buruknya regulasi diri dalam fungsi
pada korban seperti terganggunya kese- kognitif dan behavioral, sementara yang
hatan mental dan fisik dan juga menjadi korban saja menunjukkan agresi
berdampak pada penyesuaian diri ketika yang berkaitan dengan bias dalam proses
dewasa (Beattie, 2015). Pengalaman sosial-kognitif namun tidak mengalami
traumatis di masa kanak-kanak terprediksi masalah penyesuaian diri, dan passive
menjadi penyebab masalah yang akan victim ditandai dengan perilaku yang tidak
datang. Sejumlah 3.692 anak-anak usia 7- asertif dan memiliki keterampilan sosial
10 tahun dilaporkan telah menjadi korban yang rendah (Toblin, dkk., 2005). Baik
penganiayaan dan mereka menunjukkan perundungan cyber maupun perundungan
masalah di awal usia remaja (11-14 tahun) tradisional, korban-pelaku secara signifi-
berupa simptom masalah emosional dan kan memiliki agresi yang reaktif dan
depresi (Zwierzynska, dkk., 2013). Hasil proaktif dibandingkan dengan pelaku saja
penelitian mengindikasikan bahwa baik (Burton, dkk., 2013).
pelaku maupun korban secara tersendiri Korban, pelaku, dan korban-pelaku di
berhubungan dengan timbulnya masalah SD adalah siswa laki-laki dan juga siswa
perilaku dan lemahnya kontrol emosi perempuan (Sciarra, 2004). Sejumlah 179
(Golmaryami, dkk., 2016). siswa kelas 5 baik laki-laki maupun
Dalam fenomena perundungan tidak perempuan secara berulang setiap hari
hanya terdapat korban saja (pure victim) melakukan kekerasan terhadap teman
dan pelaku saja (pure violence subject), sebaya dan mengakibatkan dampak nega-
namun juga terdapat korban-pelaku tif terutama terhadap prestasi akademik.

JURNAL PSIKOLOGI 137


MUFRIHAH

Terdapat lima bentuk kekerasan yang Perundungan di antara teman sebaya


dilakukan, yaitu: kekerasan fisik, verbal, juga menjadi masalah serius di sekolah-
manipulasi sosial, perusakan benda, dan sekolah di Tiongkok. Tiongkok yang
penolakan sosial (Morrow, dkk., 2014). memerlukan strategi pencegahan dan
Dari total 113 siswa SD berusia 6 hingga 10 intervensi yang efektif. Studi menunjuk-
tahun di Italia ditemukan bahwa sifat-sifat kan bahwa peran orang tua, teman sebaya,
maskulin diprediksi berhubungan dengan dan guru dapat membantu atau mengu-
perilaku perundungan aktif (Gini & rangi perundungan dan peer victimization
Pozzoli, 2006). di kalangan anak-anak SD (Huang, dkk.,
Studi yang dilakukan Veenstra, dkk. 2013). Terdapat cyclical process antara
(2013) terhadap 2.135 siswa di tingkat 1 faktor resiko dan victimization sehingga
dan 2 SD menunjukkan siswa laki-laki intervensi pada kekerasan penganiayaan
lebih banyak melakukan kekerasan baik perlu mencakup penanganan stigma
terhadap teman perempuan maupun laki- sosial, mengawali protective factor,
laki dibandingkan pelaku yang berasal mendesain pendekatan berbasis nuansa
dari siswa perempuan. Pelaku kekerasan sekolah (Juvonen & Graham, 2014), dan
selalu memilih target teman sebaya yang diperlukan pemahaman terhadap ekologi
dipandang memiliki potensi untuk dian- sosial (Hong & Espelage, 2012). Healy, et,
cam dan pelaku selalu memilih korban all. (2015) menyajikan data bahwa sampai
yang secara sosial ditolak oleh teman saat ini hanya terdapat model reduksi
sebaya. Siswa laki-laki lebih sering kekerasan di sekolah, namun tidak
melakukan kekerasan dibandingkan siswa melibatkan peran orang tua yang memiliki
perempuan dan siswa laki-laki juga lebih peran penting dalam perilaku pengasuhan
stabil dibandingkan siswa perempuan anak karena berdampak pada perkem-
dalam posisi korban kekerasan bangan kompetensi sosial.
(Camodeca, dkk., 2002). Dedousis-Wallace, et, all. (2014)
Selain lingkungan sekolah, keluarga menyarankan agar dalam penanganan
juga memiliki peran utama, maka perma- kasus perundungan di sekolah guru lebih
salahan perundungan oleh siswa adalah fokus pada perasaan korban sehingga
juga akibat dari rendahnya keberadaan mendapatkan solusi yang efektif. Peran
anggota keluarga, mengabaikan penga- konselor atau pembimbing di sekolah
suhan dan pendidikan yang sepantasnya, sangat vital untuk membantu mengatasi
penggunaan waktu luang yang tidak permasalahan siswa sebagai korban dan
tepat, pelemahan lingkungan keluarga pelaku sehingga terbentuk perilaku positif
yang tidak mendukung pendidikan moral siswa SD yang diharapkan (Goodman-
dan emosional bagi anak (Majcherova, Scott, et, all., 2013).
dkk., 2014). Penelitian terhadap 1.271 anak Masih terdapat ruang yang belum
Puerto Rico berusia 10 tahun, menyum- dijelaskan dalam hasil studi terdahulu,
bang data bahwa perundungan di sekolah yaitu: persentase antara korban dan
bukan hanya faktor lingkungan sekolah pelaku, perbedaan perilaku kekerasan
namun juga disebabkan faktor kontekstual antara siswa berdasarkan jenis kelamin
seperti keluarga, sosial, dan kultural yang dan tingkatan kelas, tidak ada penjelasan
seharusnya menjadi sasaran program bagaimana korban-pelaku terbentuk,
intervensi (Morcillo, dkk., 2014). belum ada pembahasan mengenai faktor
internal penyebab perilaku kekerasan, dan

138 JURNAL PSIKOLOGI


PERUNDUNGAN REAKTIF DAN INTERVENSI

tidak ada rumusan tentang intervensi kuantitatif dan kualitatif secara berurutan;
berbasis nuansa sekolah (school-based penelitian kuantitatif diselesaikan terlebih
climate intervention). Maka tujuan dari dahulu, setelah mendapatkan hasilnya
penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi ditindaklanjuti dengan penelitian kuali-
siswa yang memiliki perilaku kekerasan, tatif. Rancangan penelitian dapat dilihat
bentuk-bentuk perilaku kekerasan siswa, pada gambar 1 (Creswell, 2006).
dan korban perilaku kekerasan; (2) men- Desain mixed method berurutan atau
jelaskan perbedaan perilaku kekerasan disebut juga explanatory design merupakan
antara siswa kelas rendah dengan siswa penelitian yang memiliki dua fase
kelas tinggi; dan antara siswa laki-laki pengumpulan dan analisa data (Creswell,
dengan perempuan; (3) menemukan faktor 2006). Desain ini diawali dengan
internal (diri pribadi) penyebab terben- pengumpulan dan analisa data kuantitatif
tuknya perilaku kekerasan siswa; dan (4) sebagai fase pertama, kemudian fase
mengetahui peran guru SD dalam pertama diikuti oleh pengumpulan dan
mengatasi perilaku kekerasan siswa yang analisa lanjutan berupa data kualitatif.
berbasis nuansa sekolah. Dengan hasil Metode kualitatif sebagai fase kedua
penelitian ini guru akan mengetahui dalam desain penelitian masih berhu-
berapa banyak siswa yang melakukan bungan dengan hasil analisa data pada
tindak kekerasan, apa saja tindak fase pertama. Karena penelitian ini diawali
kekerasan yang dilakukan siswa, tindak dengan metode kuantitatif maka peneli-
kekerasan mana yang memiliki efek tian kualitatif sebagai fase runtutan di
terkecil hingga yang paling serius bagi tahap kedua hanya bisa dilakukan setelah
korbannya untuk kemudian dapat menyelesaikan seluruh kegiatan metode
mengatasi masalah perundungan di kuantitatif karena metode kualitatif
sekolah baik pada pelaku maupun pada digunakan untuk menjelaskan lebih dalam
korbannya dan melakukan pencegahan mengenai hasil penelitian kuantitatif.
yang lebih komprehensif dengan menge-
tahui faktor-faktor resiko pada korban dan Partisipan Penelitian
pelaku.
Partisipan penelitian adalah siswa kelas
rendah dan siswa kelas tinggi dari SDN
Metode lenteng Timur. Teknik penentuan sample
penelitian kuantitatif menggunakan
Penelitian ini dilaksanakan di SDN
cluster sampling, maka didapatkan 6
Lenteng Timur, Kecamatan Lenteng,
kelompok sampel: kelas IB, IIA, dan IIIC
Kabupaten Sumenep dengan menggu-
(kelas rendah) dan IVA, VB, dan VIA
nakan jenis penelitian mixed-method desain
(kelas tinggi) yang kesemuanya berjumlah
berurutan (kuantitatif→kualitatif). Dengan
142 siswa.
desain ini peneliti melakukan studi

Interpretation base on
QUANTITATIVE qualitative QUAN qual
 results

Gambar 1. Explanatory Design

JURNAL PSIKOLOGI 139


MUFRIHAH

Responden dalam penelitan kualitatif kekerasan antara siswa kelas rendah dan
ditentukan setelah peneliti mendapatkan siswa kelas tinggi.
hasil asesmen perilaku kekerasan siswa.
Berdasarkan data identitas perilaku Fase Kedua
kekerasan terpilih 6 siswa masing-masing Saat peneliti melakukan kegiatan
dari kelas yang menjadi bagian dari penelitian fase kedua menggunakan meto-
kelompok sampel. Kemudian wali kelas de kualitatif, hasil analisa data kuantitatif
dan kepala sekolah juga digunakan seba- sudah diperoleh, yaitu: (1) teridentifikasi
gai partisipan agar diperoleh data kulitatif jumlah siswa yang pernah menjadi pelaku
yang lebih komprehensif. Sementara objek kekerasan; (2) diketahui terdapat 15
penelitiannya ialah perilaku kekerasan bentuk kekerasan yang dilakukan siswa;
siswa yang ditunjukkan di sekolah. (3) diperoleh juga jumlah siswa yang
menjadi korban kekerasan di sekolah; (4)
Prosedur Penelitian terdapat perbedaan perilaku kekerasan
Fase Pertama antara siswa kelas rendah dan siswa kelas
tinggi; dan (5) terdapat perbedaan peri-
Penelitian dilakukan berdasarkan laku kekerasan antara siswa laki-laki dan
desain yang telah ditentukan, yaitu siswa perempuan. Dari hasil tersebut
mengacu pada two-phase of explanatory belum diketahui faktor penyebab perilaku
design. Langkah pertama ialah melakukan kekerasan, maka untuk menemukan faktor
penelitian dengan metode kuantitatif penyebab terbentuknya perilaku keke-
untuk dapat mengindentifikasi perilaku rasan dilaksanakanlah prosedur penelitian
kekerasan siswa beserta bentuk perilaku- kualitatif dengan metode pengumpulan
nya dan siapa korban kekerasan tersebut. data wawancara terhadap siswa, wali
Dan juga untuk menjelaskan perbedaan kelas, dan kepala sekolah.
perilaku kekerasan antar siswa yang
Selain itu, studi mengenai kekerasan
dibedakan atas perbedaan jenis kelamin
reaktif di sekolah tempat penelitian ini
dan tingkatan kelas rendah (1-3) dan kelas
dilangsungkan, perlu diketahui pula
tinggi (4-6) yang ada di sekolah. Data yang
bagaimana peran guru dalam upaya
berhubungan dengan identifikasi perilaku
pencegahan dan tindak pengentasan
kekerasan dan perbedaan perilaku keke-
masalah perundungan. Karena itu sekali
rasan diperoleh melalui pengisian angket
lagi wawancara dilakukan dengan wali
perilaku kekerasan berupa “the National
kelas dan kepala sekolah SDN Lenteng
School Safety Centeris (NSSC’s) Checklist”
Timur. Sebagai penguat data hasil
yang telah disahkan oleh American
wawancara kemudian metode observasi
Department of Education dan American
digunakan untuk memahami salah satu
Department of Justice (Sciarra, 2004).
faktor penyebab perilaku kekerasan, yaitu
Hasil penelitian mengenai identitas lingkungan sekolah.
siswa pelaku kekerasan, siswa korban
perilaku kekerasan, dan bentuk-bentuk Teknik Pengumpulan dan Analisa Data
perilaku kekerasan diperoleh melalui
analisa data deskriptif kuantitatif. Untuk Data kuantitatif diperoleh dengan
analisa data perbedaan perilaku kekerasan penggunaan angket perilaku kekerasan
antara siswa laki-laki dan perempuan yang disusun berdasarkan kategori peri-
menggunakan independent sample t-test, laku kekerasan dalam NSSC’s Checklist.
begitu pula dengan perbedaan perilaku Instrumen tersebut diisi oleh kelompok

140 JURNAL PSIKOLOGI


PERUNDUNGAN REAKTIF DAN INTERVENSI

sampel di dalam kelas masing-masing. Hasil


Khusus untuk kelompok sampel dari kelas
rendah pengisian angket dipandu oleh Identitas Perilaku Kekerasan Siswa
wali kelas dan penulis agar tidak terjadi Dari 142 siswa, terdeteksi 62.761%
kekeliruan dalam memahami kalimat dan siswa pernah melakukan tindak kekerasan
cara mengisi angket. Analisa data kuan- dan 37.323% yang tidak melakukan
titatif dilakukan dengan bantuan SPSS 16.0 kekerasan. Persentase tersebut diklasifi-
for Windows. Selanjutnya hasil pengisian kasikan berdasarkan kelas rendah, kelas
dan analisis angket dijadikan data untuk tinggi, siswa perempuan (kelas rendah
melakukan penelitian kualitatif. dan kelas tinggi), dan siswa laki-laki (kelas
Data kualitatif didapatkan dengan rendah dan kelas tinggi).
metode observasi dan wawancara. Persentase pada gambar 2 tidak
Wawancara dilakukan pada responden, berarti bahwa para siswa memiliki atau
teman dari responden, dan wali kelas. melakukan semua bentuk tindak keke-
Sementara kegiatan observasi meliputi rasan. Pada tabel 1 berikut dapat dilihat
kegiatan pembimbingan wali kelas pada bentuk-bentuk perilaku kekerasan siswa,
siswa dan siswi asuhnya dan penulusuran baik ucapan maupun tindakan.
lokasi-lokasi sekolah dan sekitarnya yang
rawan dijadikan lokasi tindak kekerasan.
Analisa data kualitatif menggunakan
42.8%
analisis model Miles dan Huberman.

Gambar 2. Persentase siswa pelaku kekerasan

Tabel 1
Bentuk Perilaku Kekerasan Siswa

Bentuk Perilaku Kekerasan Jenis Perilaku


Suka mengamuk dan memiliki emosional tak terkendali saat marah Kekerasan Fisik
Mengolok-olok, mencaci-maki, dan menggunakan bahasa kasar Kekerasan Verbal
Menyakiti teman saat marah Kekerasan Fisik
Pelanggaran disiplin sekolah Kekerasan Sikap
Mencoba mengonsumsi rokok Kekerasan Sikap
Senang pada senjata tajam, bahan peledak, dan bahan berbahaya lainnya Kekerasan Sikap
Membolos Kekerasan Sikap
Sering dikeluarkan dari kelas Kekerasan Sikap
Menyiksa binatang Kekerasan Fisik
Menindas teman (mengancam, meminta uang, mengucilkan, diskriminatif) Kekerasan Fisik
Melimpahkan kesalahan pada teman Kekerasan Verbal
Meniru adegan kekerasan di televisi Kekerasan Fisik
Mengekspresikan kemarahan dalam bentuk tulisan/ coretan di buku/ tembok Kekerasan Sikap
Bergabung dengan anggota gang sekolah Kekerasan Fisik
Memiliki mood swings (tempramental) yang signifikan Kekerasan Fisik

JURNAL PSIKOLOGI 141


MUFRIHAH

Pada gambar 3 terdapat data jumlah t-test, berikut pada Tabel 2 adalah output
siswa (dalam bentuk persentase) yang hasil analisis datanya.
menjadi korban kekerasan: Tabel 2 ini menunjukkan nilai signifi-
kansi perilaku kekerasan 0.000 dan nilai
signifikansi kelas (rendah dan tinggi)
Siswa Kelas rendah 0.000. Kedua nilai tersebut lebih kecil dari
Siswa Kelas Tinggi 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa
datanya berdsitribusi tidak normal.
Siswa Laki-laki
Dari tabel 3 dapat diketahui bahwa
Siswa Perempuan
signifikansi sebesar 0.004. Karena signi-
fikansi kurang 0.05 maka kesimpulannya
adalah dua kelompok data perilaku
Gambar 3. Korban Perilaku Kekerasan
kekerasan berdasar kelas rendah dan
Bentuk-bentuk tindak kekerasan yang tinggi mempunyai varian yang berbeda,
diterima oleh korban berupa: 1) Dijauhi/ atau dengan kata lain kelompok data tidak
dimusuhi/tidak diajak bicara/tidak dilibat- homogen. Perbedaan perilaku kekerasan
kan dalam kelompok oleh teman, 2) berdasarkan kelas rendah dan tinggi
Diganggu/dipukul/diolok-olok/dicaci/ menggunakan non-parametric test.
dimintai uang secara paksa/dicubit/ digigit Hipotesis yang diajukan yaitu, H0:
oleh teman atau kakak kelas, 3) Diancam Tidak ada perbedaan perilaku kekerasan
oleh teman antara siswa kelas rendah dengan siswa
kelas tinggi, dan Ha: Ada perbedaan
Perbedaan Perilaku Kekerasan Siswa Kelas perilaku kekerasan antara siswa kelas
Rendah dengan Kelas Tinggi rendah dengan siswa kelas tinggi. Oleh
Hasil pengisian angket oleh siswa karena nilai P value (0.000 < 0.05) maka H0
diolah dengan SPSS 16.0, perolehan nilai ditolak. Jadi diperoleh hasil bahwa ada
angket antara kelas tinggi dan kelas perbedaan perilaku kekerasan antara
rendah dinalisis dengan independent sample siswa kelas tinggi dengan siswa kelas
rendah.

Tabel. 2
Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
PerilakuKekerasan .182 142 .000 .938 142 .000
Kelas .362 142 .000 .634 142 .000

Tabel. 3
Test of Homogeneity of Variances
PerilakuKekerasan-Siswa
Levene Statistic df1 df2 Sig.
8.634 1 140 .004

142 JURNAL PSIKOLOGI


PERUNDUNGAN REAKTIF DAN INTERVENSI

Tabel 4.
Test Statisticsa
Perilaku Kekerasan-Siswa
Most Extreme Differences Absolute .556
Positive .556
Negative .000
Kolmogorov-Smirnov Z 3.299
Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Perbedaan Perilaku Kekerasan Siswa Perempuan dan Siswa Laki-laki


Tabel 5
Independent Samples Test
P.Kekerasan-Siswa
Equal variances assumed
Levene's Test for Equality F 2.225
of Variances Sig. .138
t-test for Equality of Means t -.088
df 140
Sig. (2-tailed)
.930

Uji F dilakukan melalui perbandingan bilitas H0 diterima jika P value > 0,05 dan
probabilitas/signifikansi ialah nilai P value H0 ditolak jika P value < 0,05. Oleh karena
(0.138 > 0.05) maka H0 diterima (kedua nilai -t hitung < -t tabel (- (-0.088) < -1.977)
varian sama) maka uji t menggunakan dan P value (0.930 > 0.05) maka H0 ditolak.
equal variances assumed. Maka diperoleh hasil bahwa ada perbe-
daan perilaku kekerasan antara siswa laki-
Independent Sample t Test laki dengan siswa perempuan.
H0: Tidak ada perbedaan perilaku
kekerasan antara siswa laki-laki dengan Diskusi
siswa perempuan, dan Ha: Ada perbedaan
perilaku kekerasan antara siswa laki=laki Identitas Perilaku Kekerasan Siswa
dengan siswa perempuan. Melalui tabel 5
Selama ini masih banyak pihak yang
didapat nilai t hitung (equal variance
beranggapan bahwa perilaku kekerasan
assumed) adalah -0.088. Kemudian tabel
adalah perilaku yang membuat korbannya
distribusi t dicari pada α = 5% : 2 = 2.5%
sakit ataupun terluka secara fisik. Padahal
(uji 2 sisi) dengan derajat kebebasan (df) n-
siswa sebagai manusia merupakan sosok
2 atau 142-2 = 140. Dengan pengujian 2 sisi
yang terdiri dari dimensi fisik dan psikis,
(signifikansi = 0.025) hasil diperoleh untuk
yang keduanya dapat tersakiti dan
t tabel sebesar 1.977.
mengalami trauma. Baik itu reaksi fisik
Kriteria Pengujian: H0 diterima jika -t maupun rangkaian ucapan jika dilakukan
tabel < t hitung < t tabel dan H0 ditolak untuk merendahkan, menghina, dan
jika -t hitung < -t tabel. Berdasar proba- mendiskriminasi orang lain, maka

JURNAL PSIKOLOGI 143


MUFRIHAH

dampaknya adalah rasa sakit; sakit fisik perilaku yang mengacu pada perilaku
jika mendapatkan pukulan dan sakit psikis kekerasan, dan berbagai perilaku anti-
jika diejek melalui kalimat-kalimat kasar sosial merupakan pertanda adanya
dan penuh ancaman. kekerasan pada anak-anak.
Sebanyak 62.761% siswa SDN Lenteng
Timur pernah melakukan perundungan di Perbedaan Perilaku Kekerasan Antar Siswa
sekolah, baik kelas rendah maupun kelas Siswa kelas tinggi dan siswa kelas
tinggi, baik siswa laki-laki maupun perem- rendah memang memiliki karakterisktik
puan. Penulis mendapatkan keterangan yang berbeda, persentasenya 86.153%
bahwa bentuk kekerasan yang pernah (kelas tinggi) dan 42.857% (kelas rendah)
dilakukan berupa memukul, mencubit, yang melakukan perundungan. Dari kelas
menendang, merusak atau melemparkan rendah, siswa kelas 1 tidak ada yang
benda dilakukan oleh pelaku baik kepada pernah melakukan perundungan pada
teman maupun adik kelas di lingkungan teman, berbeda dengan kelas 2 dan kelas 3
sekolah dan juga dilakukan pada binatang yang mulai menjadi pelaku kekerasan di
yang mengancam maupun tidak mengan- lingkungan sekolah. Sedangkan pada
cam keberadaan siswa. Terdapat siswa siswa kelas tinggi baik kelas 3, 4, dan 5
yang suka mengikat (dibuat mainan) semakin banyak siswa yang melakukan
binatang sampai mati, atau langsung kekerasan verbal maupun fisik. Inilah
membunuhnya walaupun binatang terse- yang dimaksud oleh Majcherova, dkk.
but tidak mengganggu. Sedangkan (2014) bahwa praktik kekerasan di sekolah
kekerasan verbal berupa ejekan (sering semakin bertambah dan meluas, fenomena
kali mengejek nama orang tua), sindiran, ini merupakan awal dari terbentuknya
menggunakan bahasa kasar dan berteriak pure victim menjadi korban-pelaku, karena
pada teman. Dan bentuk penindasan terdapat cyclical process antara faktor resiko
seperti meminta uang dan mengancam dengan terbentuknya pure victim dan
korban agar tidak melapor pada guru. korban-pelaku (Juvonen & Graham, 2014;
Fenomena ini, bagi pihak tertentu Veenstra, dkk., 2013).
masih dinilai sebagai tindakan anak-anak Siswa kelas rendah belum banyak
(siswa) yang wajar dan tidak melewati yang memiliki keinginan untuk memben-
batas. Padahal jika pada masa kanak- tuk kelompok/gang, belum banyak
kanak atau remaja kerap melakukan terpengaruh oleh perilaku teman sebaya,
tindak kekerasan maka pada saat dewasa masih membawa atmosfir TK-nya dalam
mereka menjadi pelaku tindak kriminal tahap adaptasi di SD (terutama kelas 1),
bahkan kekerasan seksual (Sciarra, 2004; dan lebih berfokus pada pengembangan
Gibson & Mitchell, 2010; Zwierzynska, cara belajar di SD seperti belajar menulis
dkk., 2013; Morcillo, dkk., 2014; Beattie, dengan rapi, melatih kelancaran membaca,
2015). Dan yang lebih pedih adalah apa mengasah pemahaman terhadap kalimat,
yang dirasakan oleh korban, karena mengasah kemampuan dasar-dasar
selama masa SD selalu mendapatkan menghitung, dan lainnya. Sedangkan pada
perlakuan dan ucapan kasar, maka sampai siswa kelas tinggi, para siswa sudah
usia dewasa cenderung menjadi pribadi menyadari keterlibatan diri sebagai
yang tertutup, tidak percaya diri, dan anggota dari lingkungan sekolahnya,
merasa tidak memiliki kelebihan apapun. mengembangkan kemampuan belajar dari
Hiperaktif, perilaku agresi, perilaku- kemampuan dasar yang telah dikuasai,

144 JURNAL PSIKOLOGI


PERUNDUNGAN REAKTIF DAN INTERVENSI

merasa dapat berbuat banyak hal bersama lebih banyak melakukan kekerasan fisik
teman dan pada adik kelas, merasa siswa dibandingkan dengan siswa perempuan.
senior yang ditakuti adik kelas ataupun Sedangkan siswa perempuan lebih banyak
teman yang dinilai lemah, dan terpenting sebagai pelaku kekerasan verbal, karena
adalah siswa kelas tinggi (terlebih kelas 5 perempuan cenderung mengungkapkan
dan 6) berada pada tahap usia kanak- kekecewaan, kemarahan, atau kesalahan
kanak akhir yang akan segera beralih pada secara lisan, dan juga karena adanya
masa remaja awal, sehingga banyak siswa penilaian yang melekat pada perempuan
perempuan yang mengalami menstruasi bahwa mereka tidak pantas melakukan
dan siswa laki-laki yang mulai berubah kegiatan fisik yang kasar, terlebih
suaranya, serta diikuti oleh beberapa memukul ataupun menendang.
perubahan fisik lainnnya. Cook, Williams,
Guerra, Kim, & Sadek (2010) menjelaskan Pelaku dan Korban Perilaku Kekerasan
bahwa perubahan drastis fungsi sosial dan
Siswa laki-laki dan perempuan, siswa
biologis terjadi saat individu berada pada
dari kelas rendah dan kelas tinggi, pernah
masa transisi dari anak-anak menuju
melakukan kekerasan fisik maupun
remaja. Akibat dari beberapa perubahan
verbal, pernah menjadi korban kekerasan
fisik itu, siswa kelas tinggi sudah mulai
fisik maupun verbal, bahkan ada yang
memperhatikan penampilan; bahkan
selalu melakukan perundungan dan ada
merubah gaya berpakaian, semakin terta-
yang selalu menjadi korban perundungan.
rik untuk bergabung dalam kelompok dan
Tidak hanya siswa laki-laki, namun siswa
menjalankan aturan-aturan kelompok, dan
perempuan juga merupakan pelaku,
dapat selalu membangkang jika dihadapi
namun dengan bentuk yang berbeda. Dan
dengan cara yang kasar oleh guru.
di sini tidak selamanya siswa hanya
Antara siswa perempuan dan siswa menjadi pelaku, atau dalam posisi sebagai
laki-laki, terdapat perbedaan bentuk korban saja. Terdapat juga siswa yang
perundungan antara keduanya. Hasil menjadi pelaku dan juga menjadi korban,
penelitian ini sejalan dengan penelitian atau ada yang awalnya menjadi korban,
yang dilakukan oleh Nansel dkk., 2001 namun membuat perlawanan/pembalasan
dalam (Milsom & Gallo, 2006) yang dengan menjadi pelaku, secara langsung,
menyatakan bahwa terdapat perbedaan maupun berproses.
perilaku perundungan yang ditunjukkan
Bila penelitian sebelumnya hanya
oleh siswa laki-laki dan siswa perempuan
menjelaskan tentang pelaku dan korban
Sekolah Dasar. Siswa laki-laki lebih lebih
kekerasan antara siswa laki-laki dan
tertarik pada kegiatan fisik dan tertantang
perempuan dan rentang usia (Camodeca,
untuk menunjukkan agresivitasnya
dkk., 2002; Sciarra, 2004; Gini & Pozzoli,
dengan asumsi maskulinitas (Gini &
2006; McAdams & Schmidt, 2007;
Pozzoli, 2006).
Veenstra, dkk., 2013; Zwierzynska, dkk.,
Hasil studi ini melengkapi studi yang 2013), maka dalam studi ini, selain juga
telah dilakukan Veenstra, dkk. (2013) yang mengangkat tentang perbedaan bentuk
menyatakan siswa laki-laki lebih banyak perundungan berdasarkan jenis kelamin,
melakukan kekerasan dibandingkan siswa juga berfokus pada pelaku dan korban
perempuan, yang kemudian dalam peneli- dengan klasifikasi kelas rendah dan kelas
tian ini dilengkapi dengan jenis perilaku tinggi di SD, yang mana siswa kelas tinggi
antara keduanya, bahwa siswa laki-laki lebih banyak menjadi korban perun-

JURNAL PSIKOLOGI 145


MUFRIHAH

dungan dari teman sebaya maupun dari waktu juga dapat menjadi pelaku sebagai
kakak kelas. bentuk perlawanan atau pertahanan diri.
Berdasarkan jenis kelamin siswa Begitu pula dengan pelaku, dalam waktu
perempuan lebih banyak menjadi korban tertentu dapat dalam posisi sebagai kor-
dibandingkan siswa laki-laki. Tidak hanya ban. Proses yang demikian mengakibatkan
siswa laki-laki yang menjadi korban dari semakin banyak pelaku serta semakin
kekerasan fisik, namun siswa perempuan banyak pula korbannya, dengan kata lain
juga dilempar benda, mendapat pukulan, terjadi siklus kekerasan. Milsom & Gallo
tendangan, cubitan dari siswa laki-laki. (2006) menjelaskan tentang tentang perun-
Namun siswa perempuan juga dapat dungan reaktif, bahwa seseorang pelaku
membalas hal yang serupa pada siswa kekerasan, pada awalnya merupakan kor-
laki-laki, hal ini kerap terjadi antara ban, kemudian mereka membuat respon
teman. Pada kekerasan verbal lebih dengan melakukan tindakan kekerasan
banyak dilontarkan oleh siswa perempuan juga. Jadi, yang perlu lebih diwaspadai
pada siswa laki-laki. adalah pelaku kekerasan, korban keke-
rasan, dan siswa yang pada awalnya
Tindak perundungan ini tidak hanya
sebagai korban namun pada akhirnya juga
terjadi antar individu/siswa, namun juga
menjadi pelaku perundungan.
kerap terjadi antar kelompok/gang.
Berdasarkan wawancara, hal yang sering
Fakor-faktor Diri Pribadi yang Memengaruhi
memicu pertengakaran dan perundungan
Perilaku Kekerasan Siswa
antara kelompok adalah saling mengejek
nama orang tua dan mengejek kondisi Sebagian besar pelaku kekerasan
fisik, seperti pendek, hitam, dan penam- seperti perundungan memiliki karak-
pilan. Selain itu, biasanya antar kelompok teristik psikologis khusus. Dan yang
ini menganggap bahwa kelompoknya menjadi masalah serius ialah toleransi
lebih baik (keren) dari kelompok lain, sekolah terhadap perilaku perundungan
sehingga saat bertemu, terutama saat yang dilakukan siswa. Namun, pengaruh
istirahat para siswa akan saling mengung- dari lingkungan keluarga juga tidak dapat
gulkan kelompoknya masing-masing dan dianggap remeh. Artinya, pelaku berasal
saling mencibir kelompok lain. Bergabung dari sebuah rumah yang menerapkan
dalam kelompok dianggap penting oleh perlakukan kasar, atau dengan kata lain,
sebagian siswa, karena siswa merasa anak-anak mendapatkan perlakukan kasar
diakui eksistensinya. Pada beberapa hal, dari anggota keluarganya, pengasuhan
kelompok menjadi wadah siswa untuk dan pendidikan yang tidak sepantasnya,
ikut-ikutan mengejek, mengancam, atau dan rendahnya peran keluarga (Cook
memukul siswa dari kelompok lain atau dkk., 2010; Majcherova, dkk., 2014).
siswa yang bukan merupakan anggota Sementara Hong dkk. (2014) menemukan
kelompok manapun. bahwa setting lingkungan sekolah dapat
dijadikan kesempatan bagi pelaku keke-
Dalam kaitannya dengan pelaku atau
rasan untuk menyakiti korbannya, karena
korban dan antara pelaku dan korban
itu banyak penelitian tentang kekerasan
perundungan di SD, didapatkan kenya-
anak di lingkungan sekolah. Jadi studi
taan bahwa tidak semua korban akan
terdahulu juga membuktikan bahwa
selalu menjadi korban. Artinya, korban
perilaku kekerasan antar siswa di sekolah
juga merupakan pelaku, atau yang pada
disebabkan oleh “negative school climate”
awalnya korban, seiring berjalannya

146 JURNAL PSIKOLOGI


PERUNDUNGAN REAKTIF DAN INTERVENSI

yang dapat meningkatkan kemungkinan Kepala sekolah selaku pemimpin dan


terbentuknya keterlibatan perundungan. sosok utama di lingkungan sekolah dalam
Dari penjelasan mengenai faktor prosesi upacara pagi selalu menyampai-
keluarga dan sekolah (termasuk teman kan secara lisan bahwa sikap-sikap terpuji
sebaya), studi ini memberi tambahan seperti berkata jujur, perilaku disiplin,
penjelasan bahwa dari sisi siswa pribadi saling menolong, dan toleransi adalah
juga dapat membentuk perilaku keke- nilai yang tidak kalah pentingnya dengan
rasan. Aksi intimidasi dan perlawanan nilai raport. Selain itu kepala sekolah juga
merupakan bentuk atau cara siswa memberi contoh melalui tindakan seperti
menghadapi tantangan hidup. Dengan tidak berkata kasar pada siswa, datang
melakukan kekerasan pada teman sebaya tepat waktu ke sekolah, dan berkomitmen
atau adik kelasnya, siswa merasa telah agar sekolah yang dipimpinnya menjadi
melakukan pertahanan diri. contoh bagi sekolah lain dalam mene-
rapkan K-13. Berkaitan dengan nilai sikap
Kondisi fisik yang kuat, keadaan eko-
dan moral kepala sekolah memiliki prinsip
nomi yang berkecukupan, dan siswa yang
untuk tidak memanipulasi data apa pun
manja/diperlakukan over special akibat pola
tentang sekolah dan tidak mau memberi
asuh orang tua, sering kali membuat siswa
sogok pada orang tua calon siswa agar
merasa dirinya dapat berkuasa, memiliki
mendaftarkan calon siswa ke SDN
kendali terhadap teman-temannya, dan
Lenteng Timur. Kepala sekolah juga
ingin dituruti segala perintahnya; perasa-
memiliki fokus pada pengembangan kete-
an dan kesadaran ini terbentuk dalam diri
rampilan guru yang selain akan memberi
siswa yang kemudian terjadi penyalahgu-
kontribusi positif pada pengajaran, juga
naan kekuatan (Beattie, 2015) pada teman
menambah keterampilan guru dalam
sebaya. Para siswa yang merasa dapat
membimbing para siswa.
mengendalikan teman-temannya akan
membentuk sebuah kelompok, dalam Oleh karena K-13 ini memiliki
kelompok siswa tersebut tidak hanya beberapa perbedaan dengan Kurikulum
untuk mencari teman, namun juga untuk Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006
mencari “pembantu” yang bisa disuruh yang pada awal pembelajaran, wali kelas
untuk melakukan berbagai hal sesuai sebagai pembimbing menyampaikan bah-
kehendaknya. Selain itu, sifat-sifat siswa wa aspek sikap akan lebih diperhatikan
seperti pemarah, memiliki ego yang tinggi, dan dinilai lebih serius oleh wali kelas.
sering berbohong, ingin mendapatkan Selain itu, wali kelas membuat beberapa
perhatian menjadi penyebab mengapa kesepakatan dalam pembelajaran dengan
siswa mudah melakukan perundungan di siswa, seperti konsekuensi yang akan
sekolah. diterima siswa bila tidak mengerjakan PR,
bila melanggar disiplin, dan bila berkata
Model Intervensi Perundungan Berbasis bohong. Dengan membuat kesepakatan
Nuansa Sekolah (School-based Climate itu, wali kelas mengajak siswa agar memi-
Intervention) liki komitmen, membangun kedisiplinan,
dan berani bertanggung jawab atas
Usaha Preventif Kepala Sekolah dan Wali perilakunya.
Kelas
Dalam K-13 pembahasan materi
Salah satu hal yang ditonjolkan dalam tematik didesain secara berkelompok, jadi
pembelajaran kurikulum 2013 (K-13) siswa akan berdiskusi dalam kelompok
adalah pembinaan dan penilaian sikap.

JURNAL PSIKOLOGI 147


MUFRIHAH

dan dengan anggota kelompoknya. Salah Konseling oleh Wali Kelas


satu manfaat dari desain pembelajaran Banyak dari korban perundungan
kelompok ini ialah agar siswa lebih berani berada pada posisi terancam sehingga
mengungkapkan pendapat, siswa mampu tidak berani untuk melaporkan tindakan
bersosialisasi dengan seluruh teman pelaku pada wali kelas atau guru lainnya,
kelasnya (karena kelompok tidak tetap), maka wali kelas melakukan layanan
dan agar siswa yang pendiam dapat konseling terbatas pada siswa yang
diterima oleh kelompok/teman kelasnya. terlihat sedang bertengkar (fisik maupun
Mayoritas SD yang ada di Indonesia verbal). Dalam menangani masalah antar
belum bekerja sama dengan psikolog atau siswa, khususnya terkait perilaku keke-
konselor sekolah, termasuk SDN Lenteng rasan, wali kelas berusaha mendekatkan
Timur, walaupun sebenarnya peran diri pada kedua pihak (pelaku maupun
konselor sekolah dapat memberikan korban) dengan pertimbangan tidak ingin
dampak signifikan dalam penanganan memihak pada siapapun sehingga siswa
perundungan dan membentuk perilaku dapat menilai bahwa wali kelas tidak
positif di kalangan siswa SD (Goodman- menyudutkan pelaku dan dapat melin-
Scott, et, all., 2013). Oleh karena itu, wali dungi korban dari ancaman berikutnya,
kelas bertanggung jawab atas pengajaran wali kelas juga berusaha untuk tidak
dan bimbingan pada para siswanya. menggunakan kekerasan pada siswa dan
Dalam setiap kesempatan wali kelas selalu melakukan pendekatan secara personal
mengingatkan siswa pentingnya disiplin dengan menjalin komunikasi bersama
dan berkata jujur. Dan kepala sekolah siswa karena cara tersebut dinilai efektif;
sendiri, misalkan saat upacara sekolah dapat merubah cara berpikir dan pola
selalu menekankan tentang sikap terpuji, perilaku siswa.
disiplin, tekun belajar, mandiri, dan
menjadi insan yang jujur.

Kurikulum 13/ K-13


(Kurikulum
pendidikan nasional)

Pembelajaran klassikal: Pelaksana: Kepala


(1) tematik; dan (2) Kurikulum sekolah
sekolah, wali kelas, dan
small-group learning berbasis K-13
guru

Perundungan
Prevention di lingkungan Collaborative
sekolah

Pembelajaran tematik Orang tua


untuk pembinaan sikap sebagai
dan internalisasipositive stakeholder
values

Gambar 4. Model Intervensi Kekerasan Berbasis Nuansa Sekolah

148 JURNAL PSIKOLOGI


PERUNDUNGAN REAKTIF DAN INTERVENSI

Selain itu, sebelum menentukan kedua orang tua yang bekerja, membuat
bentuk pendekatan pada para siswanya, siswa mencari perhatian di sekolah
wali kelas terlebih dahulu memahami dengan cara melakukan perundungan.
karakteristik siswa berdasarkan usia, Wali kelas, sesuai kapasitasnya, telah
kelas, jenis kelamin, latar belakang berupaya agar orang tua atau keluarga
keluarga, serta pola perilaku siswa selama siswa mau diajak bekerjasama dalam
belajar di sekolah. Aspek-aspek tersebut membentuk perilaku yang baik.
akan sangat memengaruhi hubungan wali
kelas dengan siswa dalam layanan kon- Kerjasama Wali Kelas dan Guru
seling, karena jika wali kelas menyamakan
Wali kelas tidak bekerja sendiri,
pendekatakan antara siswa kelas rendah
namun bimbingan dan layanan konseling
dengan siswa kelas tinggi, antara siswa
juga terlaksana dengan adanya kerja sama
perempuan dengan siswa laki-laki justru
(collaborative handling) antar guru (among
akan berakibat siswa tidak dapat mandiri,
teachers). Wali kelas sering kali melakukan
enggan mengakui kesalahan serta
kerjasama dengan guru Agama, PPKN,
bertanggung jawab, merasa disalahkan
dan Olah Raga. Menurut salah satu wali
oleh wali kelas, bahkan dapat semakin
kelas perempuan, siswa lebih segan jika
menjauh dari wali kelas.
berhadapan dengan guru laki-laki seperti
Pendekatan yang dilakukan oleh wali guru Olah Raga atau guru Agama, jadi jika
disesuaikan dengan kondisi siswa, hal wali kelas merasa siswa belum dapat
tersebut dianjurkan dalam pelaksanaan merubah perilakunya, maka wali kelas
layanan konseling, yaitu mengenal diri meminta guru Agama atau Olah Raga
siswa melihat latar belakang usia, peri- agar dapat ikut mengarahkan siswa pada
laku, tahap perkembangan, jenjang kelas, perubahan perilaku yang lebih baik. Wali
dan sebagainya. Jika telah mengenal kelas juga meminta informasi dari wali
karakteristik siswa maka tentunya wali kelas lainnya yang pernah membimbing
kelas dapat menyesuaikan bentuk pende- siswa di kelasnya, misalkan wali kelas 4
katan yang diprediksikan efektif dalam meminta keterangan dari wali kelas 3
mengatasi perilaku kekerasan siswa di mengenai perilaku siswa pada saat berada
sekolah. di kelas 3. Karena wali kelas sebelumnya
Wali kelas juga membicarakan masa- memiliki data mengenai kondisi siswa.
lah siswa pada orang tuanya (collaborative Para wali kelas berbagi pengalaman dalam
handling beetwen school and parent), karena membimbing serta menangani berbagai
pengawasan wali kelas sebagai guru perilaku siswa yang tidak adaptif, terma-
hanya terbatas di lingkungan sekolah saja, suk perilaku kekerasan, wali kelas
selebihnya kembali pada perhatian orang meminta masukan dari wali kelas lainnya
tua terhadap anaknya di lingkungan dan berbagi solusi yang pernah diberikan
keluarga. Peran dan tanggung jawab pada siswa-siswanya.
orang tua juga menjadi bagian dari proses
intervensi untuk membantu mengurangi Kelemahan Penelitian
perundungan (Huang, dkk., 2013; Hasil penelitian menunjukkan jumlah
Morcillo, dkk., 2014) karena salah satu pelaku dan jumlah korban kekerasan.
penyebab perilaku kekerasan juga berasal Namun dalam penelitian ini tidak dikla-
dari lingkungan keluarga, misalnya siswa sifikasikan jumlah pelaku untuk masing-
kurang mendapatkan perhatian dari masing kekerasan fisik, verbal, dan sikap.

JURNAL PSIKOLOGI 149


MUFRIHAH

Begitu pun bagi korban, siapa yang hanya melakukan perundungan secara verbal
menerima satu bentuk kekerasan atau sementara siswa laki-laki dominan dalam
lebih. perundungan secara fisik. Berdasarkan
Antara siswa kelas rendah dan siswa jenjang kelas teridentifikasi bahwa jumlah
kelas tinggi terdapat perbedaan perilaku pelaku perundungan yang berasal dari
kekerasan, namun independent sample t-test siswa kelas tinggi jauh lebih banyak
yang digunakan adalah statistik non dibandingkan dengan siswa kelas rendah.
parametrik karena data terdistribusi tidak Siswa kelas rendah hanya melakukan
normal dan varian data tidak homogen. perundung pada teman sebayanya,
Hal ini terjadi karena saat pengisian sementara siswa kelas tinggi melakukan
checklist, siswa kelas rendah memiliki perundungan baik pada teman sebaya
pemahaman yang belum memadai diban- maupun pada adik kelasnya. Korban
dingkan siswa kelas tinggi. Walaupun perundungan adalah mereka yang diang-
butir-butir checklist telah dibacakan dan gap lemah, lebih muda, takut untuk
dijelaskan (dengan bantuan Bahasa memberi tahu pada guru dan tidak
Madura) oleh peneliti dan wali kelas mampu membela diri. Kekerasan fisik,
namun masih banyak siswa kelas rendah verbal, maupun sikap sama-sama diterima
yang belum lancar membaca, belum oleh korban; siswa perempuan lebih sering
sepenuhnya memahami maksud dari mendapatkan perundungan secara verbal
redaksi butir-butir checklist, belum sementara siswa laki-laki lebih banyak
terampil menuliskan identitas diri seperti menerima perundungan secara fisik.
usia, nama, kelas, dan jenis kelamin. Siswa yang merasa memiliki kekuatan
Terutama siswa kelas 1 SD yang sulit fisik, merasa pantas untuk mendapatkan
dikondisikan saat pengisian checklist. perlakukan istimewa, merasa harus
Keluarga merupakan salah satu faktor mendapatkan pelayanan dari orang lain,
pembentuk perilaku kekerasan pada ditambah lagi dengan sifat manja dan
siswa, namun peneliti tidak melakukan pemarah merupakan faktor penyebab
wawancara pada orang tua atau keluarga perilaku kekerasan yang berasal dari diri
siswa pelaku kekerasan dan juga tidak pribadi. Di sekolah siswa dapat menjadi
melakukan observasi di lingkungan pelaku perundungan karena pengaruh
keluarga. Karena itu penelitian ini tidak dari kelompoknya atas dasar mengikuti
memiliki penjelasan mengenai apa yang aturan kelompok atau mereka yang
terjadi dalam kehidupan keluarga siswa awalnya merupakan korban kemudian
pelaku kekerasan dan bagaimana proses belakangan menjadi pelaku perundungan,
pembentukan perilaku kekerasan siswa inilah yang disebut dengan perundungan
yang dipengaruhi oleh interaksi kekerasan reaktif.
dalam keluarga. Upaya preventif, kuratif, dan penga-
wasan telah dilakukan oleh masing-
masing pihak dengan cara kolaboratif
Kesimpulan
antara kepala sekolah dengan wali kelas,
Identitas siswa pelaku berdasarkan wali kelas dengan guru mata pelajaran,
jumlahnya siswa laki-laki lebih banyak wali kelas dengan orang tua, dan seterus-
yang menjadi pelaku perundungan namun nya. Bentuk bimbingan yang diberikan
hanya terpaut 1.3% dengan siswa pada siswa disesuaikan dengan kebutuhan
perempuan. Siswa perempuan cenderung siswa sekaligus dikaitkan dengan materi

150 JURNAL PSIKOLOGI


PERUNDUNGAN REAKTIF DAN INTERVENSI

pelajaran dan kurikulum sekolah, melalui Perundungan tidak hanya mengenai


strategi tersebut secara bertahap siswa perbedaan kondisi antara korban dan
dapat memahami bagaimana agar diri pelaku saja, namun juga ada proses yang
siswa dapat mengarahkan dirinya sendiri lebih berbahaya yaitu terjadinya perun-
untuk berbuat baik pada sesama teman, dungan reaktif di lingkungan sekolah dari
selain itu para siswa pun menunjukkan waktu ke waktu sehingga tindak keke-
kemauan bekerja sama dengan wali rasan di sekolah sulit untuk terputus. Oleh
kelasnya saat mereka mengetahui ada karenanya selain telah mengupayakan
temannya yang melakukan tindak keke- layanan preventif melalui pembelajaran di
rasan, hal ini membantu guru dan wali ruang kelas dan pembimbingan di luar
kelas untuk memberikan layanan bim- ruang kelas, guru, wali kelas, dan kepala
bingan dan konseling lebih lanjut pada sekolah seyogyanya memaksimalkan
pelaku dan juga pada korban perun- layanan yang bersifat kuratif pada korban
dungan. dan pelaku sekaligus untuk memutus
simpul-simpul perundungan reaktif di
sekolah karena beberapa siswa pelaku
Saran
kekerasan awalnya adalah korban keke-
Perundungan di sekolah bukan fakta rasan yang “merasa berhak” melakukan
atau pun fenomena baru, namun pembalasan fisik dan menyalurkan emosi
permasalahan ini masih relevan untuk akibat luka psikis dengan cara mengulang
mendapat perhatian dan mendapatkan dan meniru tindakan kekerasan yang
penanganan. Faktanya kekerasan terjadi pernah diterimanya saat menjadi korban.
bukan hanya di kalangan remaja, namun Juga, antara posisi korban dan posisi
juga di kalangan anak usia sekolah dasar. pelaku bisa terjadi dalam waktu yang
Untuk itu dengan berlandaskan pada hasil bersamaan atau beruntun seperti saling
penelitian ini peneliti memberi saran melakukan kekerasan antara ke dua belah
dalam tatanan praktis bagi segenap guru, pihak.
wali kelas dan kepala sekolah untuk Tidak semua faktor resiko kekerasan
semakin peka terhadap tindakan dan dapat diatasi seutuhnya, namun sekurang-
perilaku perundungan di kalangan siswa- kurangnya guru, wali kelas, dan kepala
siswi asuhnya. Bahwa kekerasan bukan sekolah seyogyanya dapat memantau dan
hanya pukulan dan tendangan yang menyediakan solusi bagi faktor resiko
berdampak trauma fisik, melainkan sikap terdekat, yaitu lingkungan sekolah karena
seperti memusuhi, menjauhi, mengasing- masih ada beberapa titik yang siswa nilai
kan, dan mendiamkan teman juga aman dari pengawasan guru seperti
merupakan perilaku kekerasan sikap. Dan halaman sekolah, area sekitar warung
perkataan yang ditujukan untuk meng- makanan, bahkan ruang kelas itu sendiri.
ejek, mempermalukan, mengolok-ngolok Maka kemudian lokasi tersebut menjadi
dan menghina kondisi fisik, kemampuan lokasi pilihan untuk melakukan perun-
intelektual, atau nama orang tua dari dungan kesekian kalinya.
teman-temannya adalah bagian dari
kekerasan verbal. Di mana kekerasan
Kepustakaan
sikap dan kekerasan verbal ini cenderung
memunculkan dampak psikis. Beattie, R.M. (2015). Long-term effects of
bullying. Archieve of Disease in

JURNAL PSIKOLOGI 151


MUFRIHAH

Childood, 100(9i). DOI: 10.1136/ based sample. Journal of Abnormal Child


archdischild-2015-309491. Psychology, 44(2), 381-391. DOI:
Burton, K.A., Florell, D., & Gore, J.S. 10.1007/s10802-015-9994-x.
(2013). Differences in proactive and Goodman-Scott, E., Doyle, B., & Brott, P.
reactive aggression in traditional (2013). An action research project to
bullies and cyberbullies. Journal of determine the utility of bully
Aggression, Maltreatment & Trauma, prevention in positive behavior
22(3), 316-328. DOI: 10.1080/ support for elementary school
10926771.2013.743938. bullying prevention. Professional School
Camodeca, M., Goossens, F.A., Terwogt, Counseling, 17(1) 120-129. DOI:
M.M., & Schuengel, C. (2002). Bullying 10.5330/prsc.17.153346473u5052044.
and victimization among school-age Healy, K.L., Sanders, M.R., & Lyer, A.
children: stability and links to (2015). Parenting practices, children's
proactive and reactive aggression. peer relationships and being bullied at
Social Development, 11(3), 332-345. DOI: school. Journal of Child and Family
10.1111/1467-9507-00203. Studies, 24(1), 127-140. DOI: 10.1007/
Cook, C.R., Williams, K.R., Guerra, N.G., s10826-013-9820-4.
Kim, T.E., & Sadek, S. (2010). Hong, J.S., & Espelage, D.L., (2012). A
Predictors of bullying and victimi- review of research on bullying and
zation in childhood and adolescence: peer victimization in school: An
A meta-analytic investigation. School ecological system analysis. Aggression
Psychology Quarterly, 25(2), 65. and Violent Behavior, 17(4), 311-322.
Creswell, J. (2006). Choosing a mixed method DOI: 10.1016/j.avb.2012.03.003.
design. Sage: Thousand Oaks. Hong, J.S., Peguero, A. A., Choi, S.,
Dedousis-Wallace, A., Shute, R., Varlow, Lanesskog, D., Espelage, D.L., & Lee,
M., Murrihy, R., & Kidman, T. (2014). N.Y. (2014). Social ecology of bullying
Predictor of teacher intervention in and peer victimization of Latino and
indirect bullying at school and Asian youth in the United States: a
outcome of a professional develop- review of the literature. Journal of
ment presentation for teachers. School Violence, 13(3), 315–338.
Educational Psychology, 34(7), 862-875. Huang, H., Hong, J.S., & Espelage, D.L.
DOI: 10.1080/01443410.785385. (2013). Understanding factors
Gibson, R.L., & Mitchell, M.H. (2010). associated with bullying and peer
Bimbingan dan konseling. Yogyakarta: victimazation in chinese schools
Pustaka Pelajar. within ecological contexts. Journal of
Child and Family Studies, 22(7), 881-892.
Gini, G., & Pozzoli, T. (2006). The role of
DOI: 10.1007/s10826-012-9647-4.
maculinity in children's bullying. Sex
Roles, 54(7), 585-588. DOI: 10.1007/ Juvonen, J., & Graham, S. (2014). Bullying
s11199-006-9015-1. in School: The Power of Bullies and
the Plight of Victims. Annual Review of
Golmaryami, F.N., Frick, P.J., Hemphill,
Psychology, 65, 159-185. DOI: 10.1146/
S.A., Kahn, R.E., Crapanzano, A.M., &
annurev-psych-010213-115030.
Terranova, A.M. (2016). The Social,
behavioral, and emotional correlates of Majcherova, K., Hajduova, Z., &
bullying and victimization in a school- Andrejkovic, M. (2014). The role of the

152 JURNAL PSIKOLOGI


PERUNDUNGAN REAKTIF DAN INTERVENSI

school in handling the problem of nology & Metabolism, 27(2), 117-127.


bullying. Aggression and Violent DOI: 10.1016/j.beem.2012.12.002.
Behavior, 19(5), 463-465. DOI: 10.1016/ Ramdhani, Neila. (2016). Emosi moral dan
j.avb.2014.06.003. empati pada pelaku perundungan
McAdams, C.R., & Schmidt, C.D. (2007). siber. Jurnal Psikologi, 43(1), 66-80. DOI:
How to help a bully; recommendation 10.22146/jpsi.12955.
for counseling the proactive aggressor. Sciarra, D.T. (2004). School counseling;
ASCA Professional School Counseling, foundations and contemporary issues.
11:2, Desember, 120-128. USA: Thompson Learning, Inch.
Milsom, A., & Gallo, L.L. (2006). Bullying Toblin, R.L., Schawartz, D., Gorman, A.H.,
in middle schools: Prevention and & Abou-ezzeddine, T. (2005). Social-
intervention. Middle School Journal (J1), cognitive and behavioral attributes of
37(3), 12–19. aggressive victims of bullying. Journal
Morcillo, C., Ramos-Olazagasti, M.A., of Applied Developmental Psychology,
Blanco, C., Sala, R., Canino, G., Bird, 26(3), 329-346.
H., & Duarte, Cristiane S. (2015). Taylor, S.E. (2006). Health psychology. New
Socio-cultural context and bullying York: McGraw-Hill.
others in childood. Journal of Child and
Veenstra, R., Verlinden, M., Huitsing, G.,
Family Studies, 24(8), 2241-2249. DOI:
Verhulst, F. C., & Tiemeier, H. (2013).
10.1007/s10826-014-0026-1.
Behind bullying and defending: same-
Morrow, M.T., Hubbard, J. A., & Swift, L. sex and other-sex relations and their
E. (2014). Relations among multiple associations with acceptance and
types of peer victimization, reactivity rejection. Aggressive Behavior, 39(6),
to peer victimization, and academic 462-471. DOI: 10.1002/ab.21495.
achievement in fifth-grade boys and
Yang, A., & Salmivalli, C. (2013). Different
girls. Merill-Palmer Quarterly, 60(3),
forms of bullying and victimization:
302-327.
Bully-victims versus bullies and
Notosoedirdjo, M., & Latipun. (2007). victims. European Journal of
Kesehatan mental; konsep dan penerapan. Developmental Psychology, 10(6), 723-
Malang: UMM Press. 738. DOI: 10.1080/
Olweus, D., & Breivik, K. (2014). Plight of 17405629.2013.793596.
victims of school bullying: the Zwierzynska, K., Wolke, D., & Lereya, T.S.
opposite of well-being. Handbook of (2013). Peer victimization in childood
Child Well-Being, 15, 2593-2616. DOI: and internalizing problems in
10.1007/978-90-481-9063-8-100. adolescence: a prospective longitu-
Puhl, R.M., & King, K.M. (2013). Weight dinal study. Journal of Abnormal Child
discrimination and bullying. Best Psychology, 41(2), 309-323. DOI:
Practice & Research Clinical Endocri- 10.1007/s10802-012-9678-8.

JURNAL PSIKOLOGI 153

You might also like