Professional Documents
Culture Documents
Abstract. Parents and teachers have not known much that actually behavior of naughty
children in elementary school is included violence behavior or known as bullying.
Prevalence of the violence behavior which has happened, lack of attention and
professional handling for violence behavior in elementary school were important reason
to do this study purposely for: (1) indentifying who bullies, who gets bullied, and the
content of the violence behavior; (2) explaining the differentiation of violence behavior
beetwen two of gender student and beetwen higher class and lower class of elementary
school student; (3) finding the risk factors are strong predictors of school environment
violence; and (4) how does the teacher intervention to stop bullying. This research was
worked by mixed method with explanatory design (quantitative → qualitative) and took
142 students as sample were gotten by using cluster sampling technique. Research finding
showed as many as 62. 761% students have ever acted violence behavior and there were
difference violence act beetwen both of gender students (P value 0.930 > 0.05) and also
difference violence beetwen high class and lower class students (P value 0.930 > 0.05). The
risk factors of violence behavior at elementary school student were not merely family and
school factor, but psychological factor also.
Keywords: bullying in elementary school, intervention of bullying, violence behavior
Abstrak. Orang tua dan guru belum banyak menyadari bahwa “perilaku nakal” anak usia
sekolah dasar sebenarnya juga merupakan perilaku perundungan. Melihat hal tersebut
masih terjadi dan kurang mendapatkan perhatian atau penanganan serius terhadap
perilaku kekerasan di sekolah dasar, maka penelitian ini dilakukan untuk mengidenti-
fikasi pelaku, korban, dan bentuk kekerasan, menjelaskan perbedaan perilaku kekerasan
antara siswa laki-laki dan siswa perempuan; antara siswa kelas rendah dan siswa kelas
tinggi; menemukan faktor penyebabnya; dan bagaimana peran guru secara preventif dan
kuratif terhadap perilaku kekerasan. Penelitian dilakukan dengan desain mixed-method
berurutan (kuantitatif→kualitatif), jumlah sampel 142 siswa yang didapatkan dengan
cluster sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 62.761% siswa pernah
melakukan tindak kekerasan dan terdapat perbedaan perilaku kekerasan antara siswa
kelas rendah dengan siswa kelas tinggi (P value 0.930 > 0.05), juga perbedaan antara siswa
laki-laki dengan siswa perempuan (P value 0.930 > 0.05). Faktor penyebab perilaku
kekerasan bukan hanya keluarga dan lingkungan sekolah, namun juga diri sendiri, di
mana para guru sudah melakukan upaya preventif dan kuratif terhadap perundungan
berbasis nuansa sekolah.
Kata kunci: perundungan di sekolah dasar, penanganan perundungan, perilaku kekerasan
tidak ada rumusan tentang intervensi kuantitatif dan kualitatif secara berurutan;
berbasis nuansa sekolah (school-based penelitian kuantitatif diselesaikan terlebih
climate intervention). Maka tujuan dari dahulu, setelah mendapatkan hasilnya
penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi ditindaklanjuti dengan penelitian kuali-
siswa yang memiliki perilaku kekerasan, tatif. Rancangan penelitian dapat dilihat
bentuk-bentuk perilaku kekerasan siswa, pada gambar 1 (Creswell, 2006).
dan korban perilaku kekerasan; (2) men- Desain mixed method berurutan atau
jelaskan perbedaan perilaku kekerasan disebut juga explanatory design merupakan
antara siswa kelas rendah dengan siswa penelitian yang memiliki dua fase
kelas tinggi; dan antara siswa laki-laki pengumpulan dan analisa data (Creswell,
dengan perempuan; (3) menemukan faktor 2006). Desain ini diawali dengan
internal (diri pribadi) penyebab terben- pengumpulan dan analisa data kuantitatif
tuknya perilaku kekerasan siswa; dan (4) sebagai fase pertama, kemudian fase
mengetahui peran guru SD dalam pertama diikuti oleh pengumpulan dan
mengatasi perilaku kekerasan siswa yang analisa lanjutan berupa data kualitatif.
berbasis nuansa sekolah. Dengan hasil Metode kualitatif sebagai fase kedua
penelitian ini guru akan mengetahui dalam desain penelitian masih berhu-
berapa banyak siswa yang melakukan bungan dengan hasil analisa data pada
tindak kekerasan, apa saja tindak fase pertama. Karena penelitian ini diawali
kekerasan yang dilakukan siswa, tindak dengan metode kuantitatif maka peneli-
kekerasan mana yang memiliki efek tian kualitatif sebagai fase runtutan di
terkecil hingga yang paling serius bagi tahap kedua hanya bisa dilakukan setelah
korbannya untuk kemudian dapat menyelesaikan seluruh kegiatan metode
mengatasi masalah perundungan di kuantitatif karena metode kualitatif
sekolah baik pada pelaku maupun pada digunakan untuk menjelaskan lebih dalam
korbannya dan melakukan pencegahan mengenai hasil penelitian kuantitatif.
yang lebih komprehensif dengan menge-
tahui faktor-faktor resiko pada korban dan Partisipan Penelitian
pelaku.
Partisipan penelitian adalah siswa kelas
rendah dan siswa kelas tinggi dari SDN
Metode lenteng Timur. Teknik penentuan sample
penelitian kuantitatif menggunakan
Penelitian ini dilaksanakan di SDN
cluster sampling, maka didapatkan 6
Lenteng Timur, Kecamatan Lenteng,
kelompok sampel: kelas IB, IIA, dan IIIC
Kabupaten Sumenep dengan menggu-
(kelas rendah) dan IVA, VB, dan VIA
nakan jenis penelitian mixed-method desain
(kelas tinggi) yang kesemuanya berjumlah
berurutan (kuantitatif→kualitatif). Dengan
142 siswa.
desain ini peneliti melakukan studi
Interpretation base on
QUANTITATIVE qualitative QUAN qual
results
Responden dalam penelitan kualitatif kekerasan antara siswa kelas rendah dan
ditentukan setelah peneliti mendapatkan siswa kelas tinggi.
hasil asesmen perilaku kekerasan siswa.
Berdasarkan data identitas perilaku Fase Kedua
kekerasan terpilih 6 siswa masing-masing Saat peneliti melakukan kegiatan
dari kelas yang menjadi bagian dari penelitian fase kedua menggunakan meto-
kelompok sampel. Kemudian wali kelas de kualitatif, hasil analisa data kuantitatif
dan kepala sekolah juga digunakan seba- sudah diperoleh, yaitu: (1) teridentifikasi
gai partisipan agar diperoleh data kulitatif jumlah siswa yang pernah menjadi pelaku
yang lebih komprehensif. Sementara objek kekerasan; (2) diketahui terdapat 15
penelitiannya ialah perilaku kekerasan bentuk kekerasan yang dilakukan siswa;
siswa yang ditunjukkan di sekolah. (3) diperoleh juga jumlah siswa yang
menjadi korban kekerasan di sekolah; (4)
Prosedur Penelitian terdapat perbedaan perilaku kekerasan
Fase Pertama antara siswa kelas rendah dan siswa kelas
tinggi; dan (5) terdapat perbedaan peri-
Penelitian dilakukan berdasarkan laku kekerasan antara siswa laki-laki dan
desain yang telah ditentukan, yaitu siswa perempuan. Dari hasil tersebut
mengacu pada two-phase of explanatory belum diketahui faktor penyebab perilaku
design. Langkah pertama ialah melakukan kekerasan, maka untuk menemukan faktor
penelitian dengan metode kuantitatif penyebab terbentuknya perilaku keke-
untuk dapat mengindentifikasi perilaku rasan dilaksanakanlah prosedur penelitian
kekerasan siswa beserta bentuk perilaku- kualitatif dengan metode pengumpulan
nya dan siapa korban kekerasan tersebut. data wawancara terhadap siswa, wali
Dan juga untuk menjelaskan perbedaan kelas, dan kepala sekolah.
perilaku kekerasan antar siswa yang
Selain itu, studi mengenai kekerasan
dibedakan atas perbedaan jenis kelamin
reaktif di sekolah tempat penelitian ini
dan tingkatan kelas rendah (1-3) dan kelas
dilangsungkan, perlu diketahui pula
tinggi (4-6) yang ada di sekolah. Data yang
bagaimana peran guru dalam upaya
berhubungan dengan identifikasi perilaku
pencegahan dan tindak pengentasan
kekerasan dan perbedaan perilaku keke-
masalah perundungan. Karena itu sekali
rasan diperoleh melalui pengisian angket
lagi wawancara dilakukan dengan wali
perilaku kekerasan berupa “the National
kelas dan kepala sekolah SDN Lenteng
School Safety Centeris (NSSC’s) Checklist”
Timur. Sebagai penguat data hasil
yang telah disahkan oleh American
wawancara kemudian metode observasi
Department of Education dan American
digunakan untuk memahami salah satu
Department of Justice (Sciarra, 2004).
faktor penyebab perilaku kekerasan, yaitu
Hasil penelitian mengenai identitas lingkungan sekolah.
siswa pelaku kekerasan, siswa korban
perilaku kekerasan, dan bentuk-bentuk Teknik Pengumpulan dan Analisa Data
perilaku kekerasan diperoleh melalui
analisa data deskriptif kuantitatif. Untuk Data kuantitatif diperoleh dengan
analisa data perbedaan perilaku kekerasan penggunaan angket perilaku kekerasan
antara siswa laki-laki dan perempuan yang disusun berdasarkan kategori peri-
menggunakan independent sample t-test, laku kekerasan dalam NSSC’s Checklist.
begitu pula dengan perbedaan perilaku Instrumen tersebut diisi oleh kelompok
Tabel 1
Bentuk Perilaku Kekerasan Siswa
Pada gambar 3 terdapat data jumlah t-test, berikut pada Tabel 2 adalah output
siswa (dalam bentuk persentase) yang hasil analisis datanya.
menjadi korban kekerasan: Tabel 2 ini menunjukkan nilai signifi-
kansi perilaku kekerasan 0.000 dan nilai
signifikansi kelas (rendah dan tinggi)
Siswa Kelas rendah 0.000. Kedua nilai tersebut lebih kecil dari
Siswa Kelas Tinggi 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa
datanya berdsitribusi tidak normal.
Siswa Laki-laki
Dari tabel 3 dapat diketahui bahwa
Siswa Perempuan
signifikansi sebesar 0.004. Karena signi-
fikansi kurang 0.05 maka kesimpulannya
adalah dua kelompok data perilaku
Gambar 3. Korban Perilaku Kekerasan
kekerasan berdasar kelas rendah dan
Bentuk-bentuk tindak kekerasan yang tinggi mempunyai varian yang berbeda,
diterima oleh korban berupa: 1) Dijauhi/ atau dengan kata lain kelompok data tidak
dimusuhi/tidak diajak bicara/tidak dilibat- homogen. Perbedaan perilaku kekerasan
kan dalam kelompok oleh teman, 2) berdasarkan kelas rendah dan tinggi
Diganggu/dipukul/diolok-olok/dicaci/ menggunakan non-parametric test.
dimintai uang secara paksa/dicubit/ digigit Hipotesis yang diajukan yaitu, H0:
oleh teman atau kakak kelas, 3) Diancam Tidak ada perbedaan perilaku kekerasan
oleh teman antara siswa kelas rendah dengan siswa
kelas tinggi, dan Ha: Ada perbedaan
Perbedaan Perilaku Kekerasan Siswa Kelas perilaku kekerasan antara siswa kelas
Rendah dengan Kelas Tinggi rendah dengan siswa kelas tinggi. Oleh
Hasil pengisian angket oleh siswa karena nilai P value (0.000 < 0.05) maka H0
diolah dengan SPSS 16.0, perolehan nilai ditolak. Jadi diperoleh hasil bahwa ada
angket antara kelas tinggi dan kelas perbedaan perilaku kekerasan antara
rendah dinalisis dengan independent sample siswa kelas tinggi dengan siswa kelas
rendah.
Tabel. 2
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
PerilakuKekerasan .182 142 .000 .938 142 .000
Kelas .362 142 .000 .634 142 .000
Tabel. 3
Test of Homogeneity of Variances
PerilakuKekerasan-Siswa
Levene Statistic df1 df2 Sig.
8.634 1 140 .004
Tabel 4.
Test Statisticsa
Perilaku Kekerasan-Siswa
Most Extreme Differences Absolute .556
Positive .556
Negative .000
Kolmogorov-Smirnov Z 3.299
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
Uji F dilakukan melalui perbandingan bilitas H0 diterima jika P value > 0,05 dan
probabilitas/signifikansi ialah nilai P value H0 ditolak jika P value < 0,05. Oleh karena
(0.138 > 0.05) maka H0 diterima (kedua nilai -t hitung < -t tabel (- (-0.088) < -1.977)
varian sama) maka uji t menggunakan dan P value (0.930 > 0.05) maka H0 ditolak.
equal variances assumed. Maka diperoleh hasil bahwa ada perbe-
daan perilaku kekerasan antara siswa laki-
Independent Sample t Test laki dengan siswa perempuan.
H0: Tidak ada perbedaan perilaku
kekerasan antara siswa laki-laki dengan Diskusi
siswa perempuan, dan Ha: Ada perbedaan
perilaku kekerasan antara siswa laki=laki Identitas Perilaku Kekerasan Siswa
dengan siswa perempuan. Melalui tabel 5
Selama ini masih banyak pihak yang
didapat nilai t hitung (equal variance
beranggapan bahwa perilaku kekerasan
assumed) adalah -0.088. Kemudian tabel
adalah perilaku yang membuat korbannya
distribusi t dicari pada α = 5% : 2 = 2.5%
sakit ataupun terluka secara fisik. Padahal
(uji 2 sisi) dengan derajat kebebasan (df) n-
siswa sebagai manusia merupakan sosok
2 atau 142-2 = 140. Dengan pengujian 2 sisi
yang terdiri dari dimensi fisik dan psikis,
(signifikansi = 0.025) hasil diperoleh untuk
yang keduanya dapat tersakiti dan
t tabel sebesar 1.977.
mengalami trauma. Baik itu reaksi fisik
Kriteria Pengujian: H0 diterima jika -t maupun rangkaian ucapan jika dilakukan
tabel < t hitung < t tabel dan H0 ditolak untuk merendahkan, menghina, dan
jika -t hitung < -t tabel. Berdasar proba- mendiskriminasi orang lain, maka
dampaknya adalah rasa sakit; sakit fisik perilaku yang mengacu pada perilaku
jika mendapatkan pukulan dan sakit psikis kekerasan, dan berbagai perilaku anti-
jika diejek melalui kalimat-kalimat kasar sosial merupakan pertanda adanya
dan penuh ancaman. kekerasan pada anak-anak.
Sebanyak 62.761% siswa SDN Lenteng
Timur pernah melakukan perundungan di Perbedaan Perilaku Kekerasan Antar Siswa
sekolah, baik kelas rendah maupun kelas Siswa kelas tinggi dan siswa kelas
tinggi, baik siswa laki-laki maupun perem- rendah memang memiliki karakterisktik
puan. Penulis mendapatkan keterangan yang berbeda, persentasenya 86.153%
bahwa bentuk kekerasan yang pernah (kelas tinggi) dan 42.857% (kelas rendah)
dilakukan berupa memukul, mencubit, yang melakukan perundungan. Dari kelas
menendang, merusak atau melemparkan rendah, siswa kelas 1 tidak ada yang
benda dilakukan oleh pelaku baik kepada pernah melakukan perundungan pada
teman maupun adik kelas di lingkungan teman, berbeda dengan kelas 2 dan kelas 3
sekolah dan juga dilakukan pada binatang yang mulai menjadi pelaku kekerasan di
yang mengancam maupun tidak mengan- lingkungan sekolah. Sedangkan pada
cam keberadaan siswa. Terdapat siswa siswa kelas tinggi baik kelas 3, 4, dan 5
yang suka mengikat (dibuat mainan) semakin banyak siswa yang melakukan
binatang sampai mati, atau langsung kekerasan verbal maupun fisik. Inilah
membunuhnya walaupun binatang terse- yang dimaksud oleh Majcherova, dkk.
but tidak mengganggu. Sedangkan (2014) bahwa praktik kekerasan di sekolah
kekerasan verbal berupa ejekan (sering semakin bertambah dan meluas, fenomena
kali mengejek nama orang tua), sindiran, ini merupakan awal dari terbentuknya
menggunakan bahasa kasar dan berteriak pure victim menjadi korban-pelaku, karena
pada teman. Dan bentuk penindasan terdapat cyclical process antara faktor resiko
seperti meminta uang dan mengancam dengan terbentuknya pure victim dan
korban agar tidak melapor pada guru. korban-pelaku (Juvonen & Graham, 2014;
Fenomena ini, bagi pihak tertentu Veenstra, dkk., 2013).
masih dinilai sebagai tindakan anak-anak Siswa kelas rendah belum banyak
(siswa) yang wajar dan tidak melewati yang memiliki keinginan untuk memben-
batas. Padahal jika pada masa kanak- tuk kelompok/gang, belum banyak
kanak atau remaja kerap melakukan terpengaruh oleh perilaku teman sebaya,
tindak kekerasan maka pada saat dewasa masih membawa atmosfir TK-nya dalam
mereka menjadi pelaku tindak kriminal tahap adaptasi di SD (terutama kelas 1),
bahkan kekerasan seksual (Sciarra, 2004; dan lebih berfokus pada pengembangan
Gibson & Mitchell, 2010; Zwierzynska, cara belajar di SD seperti belajar menulis
dkk., 2013; Morcillo, dkk., 2014; Beattie, dengan rapi, melatih kelancaran membaca,
2015). Dan yang lebih pedih adalah apa mengasah pemahaman terhadap kalimat,
yang dirasakan oleh korban, karena mengasah kemampuan dasar-dasar
selama masa SD selalu mendapatkan menghitung, dan lainnya. Sedangkan pada
perlakuan dan ucapan kasar, maka sampai siswa kelas tinggi, para siswa sudah
usia dewasa cenderung menjadi pribadi menyadari keterlibatan diri sebagai
yang tertutup, tidak percaya diri, dan anggota dari lingkungan sekolahnya,
merasa tidak memiliki kelebihan apapun. mengembangkan kemampuan belajar dari
Hiperaktif, perilaku agresi, perilaku- kemampuan dasar yang telah dikuasai,
merasa dapat berbuat banyak hal bersama lebih banyak melakukan kekerasan fisik
teman dan pada adik kelas, merasa siswa dibandingkan dengan siswa perempuan.
senior yang ditakuti adik kelas ataupun Sedangkan siswa perempuan lebih banyak
teman yang dinilai lemah, dan terpenting sebagai pelaku kekerasan verbal, karena
adalah siswa kelas tinggi (terlebih kelas 5 perempuan cenderung mengungkapkan
dan 6) berada pada tahap usia kanak- kekecewaan, kemarahan, atau kesalahan
kanak akhir yang akan segera beralih pada secara lisan, dan juga karena adanya
masa remaja awal, sehingga banyak siswa penilaian yang melekat pada perempuan
perempuan yang mengalami menstruasi bahwa mereka tidak pantas melakukan
dan siswa laki-laki yang mulai berubah kegiatan fisik yang kasar, terlebih
suaranya, serta diikuti oleh beberapa memukul ataupun menendang.
perubahan fisik lainnnya. Cook, Williams,
Guerra, Kim, & Sadek (2010) menjelaskan Pelaku dan Korban Perilaku Kekerasan
bahwa perubahan drastis fungsi sosial dan
Siswa laki-laki dan perempuan, siswa
biologis terjadi saat individu berada pada
dari kelas rendah dan kelas tinggi, pernah
masa transisi dari anak-anak menuju
melakukan kekerasan fisik maupun
remaja. Akibat dari beberapa perubahan
verbal, pernah menjadi korban kekerasan
fisik itu, siswa kelas tinggi sudah mulai
fisik maupun verbal, bahkan ada yang
memperhatikan penampilan; bahkan
selalu melakukan perundungan dan ada
merubah gaya berpakaian, semakin terta-
yang selalu menjadi korban perundungan.
rik untuk bergabung dalam kelompok dan
Tidak hanya siswa laki-laki, namun siswa
menjalankan aturan-aturan kelompok, dan
perempuan juga merupakan pelaku,
dapat selalu membangkang jika dihadapi
namun dengan bentuk yang berbeda. Dan
dengan cara yang kasar oleh guru.
di sini tidak selamanya siswa hanya
Antara siswa perempuan dan siswa menjadi pelaku, atau dalam posisi sebagai
laki-laki, terdapat perbedaan bentuk korban saja. Terdapat juga siswa yang
perundungan antara keduanya. Hasil menjadi pelaku dan juga menjadi korban,
penelitian ini sejalan dengan penelitian atau ada yang awalnya menjadi korban,
yang dilakukan oleh Nansel dkk., 2001 namun membuat perlawanan/pembalasan
dalam (Milsom & Gallo, 2006) yang dengan menjadi pelaku, secara langsung,
menyatakan bahwa terdapat perbedaan maupun berproses.
perilaku perundungan yang ditunjukkan
Bila penelitian sebelumnya hanya
oleh siswa laki-laki dan siswa perempuan
menjelaskan tentang pelaku dan korban
Sekolah Dasar. Siswa laki-laki lebih lebih
kekerasan antara siswa laki-laki dan
tertarik pada kegiatan fisik dan tertantang
perempuan dan rentang usia (Camodeca,
untuk menunjukkan agresivitasnya
dkk., 2002; Sciarra, 2004; Gini & Pozzoli,
dengan asumsi maskulinitas (Gini &
2006; McAdams & Schmidt, 2007;
Pozzoli, 2006).
Veenstra, dkk., 2013; Zwierzynska, dkk.,
Hasil studi ini melengkapi studi yang 2013), maka dalam studi ini, selain juga
telah dilakukan Veenstra, dkk. (2013) yang mengangkat tentang perbedaan bentuk
menyatakan siswa laki-laki lebih banyak perundungan berdasarkan jenis kelamin,
melakukan kekerasan dibandingkan siswa juga berfokus pada pelaku dan korban
perempuan, yang kemudian dalam peneli- dengan klasifikasi kelas rendah dan kelas
tian ini dilengkapi dengan jenis perilaku tinggi di SD, yang mana siswa kelas tinggi
antara keduanya, bahwa siswa laki-laki lebih banyak menjadi korban perun-
dungan dari teman sebaya maupun dari waktu juga dapat menjadi pelaku sebagai
kakak kelas. bentuk perlawanan atau pertahanan diri.
Berdasarkan jenis kelamin siswa Begitu pula dengan pelaku, dalam waktu
perempuan lebih banyak menjadi korban tertentu dapat dalam posisi sebagai kor-
dibandingkan siswa laki-laki. Tidak hanya ban. Proses yang demikian mengakibatkan
siswa laki-laki yang menjadi korban dari semakin banyak pelaku serta semakin
kekerasan fisik, namun siswa perempuan banyak pula korbannya, dengan kata lain
juga dilempar benda, mendapat pukulan, terjadi siklus kekerasan. Milsom & Gallo
tendangan, cubitan dari siswa laki-laki. (2006) menjelaskan tentang tentang perun-
Namun siswa perempuan juga dapat dungan reaktif, bahwa seseorang pelaku
membalas hal yang serupa pada siswa kekerasan, pada awalnya merupakan kor-
laki-laki, hal ini kerap terjadi antara ban, kemudian mereka membuat respon
teman. Pada kekerasan verbal lebih dengan melakukan tindakan kekerasan
banyak dilontarkan oleh siswa perempuan juga. Jadi, yang perlu lebih diwaspadai
pada siswa laki-laki. adalah pelaku kekerasan, korban keke-
rasan, dan siswa yang pada awalnya
Tindak perundungan ini tidak hanya
sebagai korban namun pada akhirnya juga
terjadi antar individu/siswa, namun juga
menjadi pelaku perundungan.
kerap terjadi antar kelompok/gang.
Berdasarkan wawancara, hal yang sering
Fakor-faktor Diri Pribadi yang Memengaruhi
memicu pertengakaran dan perundungan
Perilaku Kekerasan Siswa
antara kelompok adalah saling mengejek
nama orang tua dan mengejek kondisi Sebagian besar pelaku kekerasan
fisik, seperti pendek, hitam, dan penam- seperti perundungan memiliki karak-
pilan. Selain itu, biasanya antar kelompok teristik psikologis khusus. Dan yang
ini menganggap bahwa kelompoknya menjadi masalah serius ialah toleransi
lebih baik (keren) dari kelompok lain, sekolah terhadap perilaku perundungan
sehingga saat bertemu, terutama saat yang dilakukan siswa. Namun, pengaruh
istirahat para siswa akan saling mengung- dari lingkungan keluarga juga tidak dapat
gulkan kelompoknya masing-masing dan dianggap remeh. Artinya, pelaku berasal
saling mencibir kelompok lain. Bergabung dari sebuah rumah yang menerapkan
dalam kelompok dianggap penting oleh perlakukan kasar, atau dengan kata lain,
sebagian siswa, karena siswa merasa anak-anak mendapatkan perlakukan kasar
diakui eksistensinya. Pada beberapa hal, dari anggota keluarganya, pengasuhan
kelompok menjadi wadah siswa untuk dan pendidikan yang tidak sepantasnya,
ikut-ikutan mengejek, mengancam, atau dan rendahnya peran keluarga (Cook
memukul siswa dari kelompok lain atau dkk., 2010; Majcherova, dkk., 2014).
siswa yang bukan merupakan anggota Sementara Hong dkk. (2014) menemukan
kelompok manapun. bahwa setting lingkungan sekolah dapat
dijadikan kesempatan bagi pelaku keke-
Dalam kaitannya dengan pelaku atau
rasan untuk menyakiti korbannya, karena
korban dan antara pelaku dan korban
itu banyak penelitian tentang kekerasan
perundungan di SD, didapatkan kenya-
anak di lingkungan sekolah. Jadi studi
taan bahwa tidak semua korban akan
terdahulu juga membuktikan bahwa
selalu menjadi korban. Artinya, korban
perilaku kekerasan antar siswa di sekolah
juga merupakan pelaku, atau yang pada
disebabkan oleh “negative school climate”
awalnya korban, seiring berjalannya
Perundungan
Prevention di lingkungan Collaborative
sekolah
Selain itu, sebelum menentukan kedua orang tua yang bekerja, membuat
bentuk pendekatan pada para siswanya, siswa mencari perhatian di sekolah
wali kelas terlebih dahulu memahami dengan cara melakukan perundungan.
karakteristik siswa berdasarkan usia, Wali kelas, sesuai kapasitasnya, telah
kelas, jenis kelamin, latar belakang berupaya agar orang tua atau keluarga
keluarga, serta pola perilaku siswa selama siswa mau diajak bekerjasama dalam
belajar di sekolah. Aspek-aspek tersebut membentuk perilaku yang baik.
akan sangat memengaruhi hubungan wali
kelas dengan siswa dalam layanan kon- Kerjasama Wali Kelas dan Guru
seling, karena jika wali kelas menyamakan
Wali kelas tidak bekerja sendiri,
pendekatakan antara siswa kelas rendah
namun bimbingan dan layanan konseling
dengan siswa kelas tinggi, antara siswa
juga terlaksana dengan adanya kerja sama
perempuan dengan siswa laki-laki justru
(collaborative handling) antar guru (among
akan berakibat siswa tidak dapat mandiri,
teachers). Wali kelas sering kali melakukan
enggan mengakui kesalahan serta
kerjasama dengan guru Agama, PPKN,
bertanggung jawab, merasa disalahkan
dan Olah Raga. Menurut salah satu wali
oleh wali kelas, bahkan dapat semakin
kelas perempuan, siswa lebih segan jika
menjauh dari wali kelas.
berhadapan dengan guru laki-laki seperti
Pendekatan yang dilakukan oleh wali guru Olah Raga atau guru Agama, jadi jika
disesuaikan dengan kondisi siswa, hal wali kelas merasa siswa belum dapat
tersebut dianjurkan dalam pelaksanaan merubah perilakunya, maka wali kelas
layanan konseling, yaitu mengenal diri meminta guru Agama atau Olah Raga
siswa melihat latar belakang usia, peri- agar dapat ikut mengarahkan siswa pada
laku, tahap perkembangan, jenjang kelas, perubahan perilaku yang lebih baik. Wali
dan sebagainya. Jika telah mengenal kelas juga meminta informasi dari wali
karakteristik siswa maka tentunya wali kelas lainnya yang pernah membimbing
kelas dapat menyesuaikan bentuk pende- siswa di kelasnya, misalkan wali kelas 4
katan yang diprediksikan efektif dalam meminta keterangan dari wali kelas 3
mengatasi perilaku kekerasan siswa di mengenai perilaku siswa pada saat berada
sekolah. di kelas 3. Karena wali kelas sebelumnya
Wali kelas juga membicarakan masa- memiliki data mengenai kondisi siswa.
lah siswa pada orang tuanya (collaborative Para wali kelas berbagi pengalaman dalam
handling beetwen school and parent), karena membimbing serta menangani berbagai
pengawasan wali kelas sebagai guru perilaku siswa yang tidak adaptif, terma-
hanya terbatas di lingkungan sekolah saja, suk perilaku kekerasan, wali kelas
selebihnya kembali pada perhatian orang meminta masukan dari wali kelas lainnya
tua terhadap anaknya di lingkungan dan berbagi solusi yang pernah diberikan
keluarga. Peran dan tanggung jawab pada siswa-siswanya.
orang tua juga menjadi bagian dari proses
intervensi untuk membantu mengurangi Kelemahan Penelitian
perundungan (Huang, dkk., 2013; Hasil penelitian menunjukkan jumlah
Morcillo, dkk., 2014) karena salah satu pelaku dan jumlah korban kekerasan.
penyebab perilaku kekerasan juga berasal Namun dalam penelitian ini tidak dikla-
dari lingkungan keluarga, misalnya siswa sifikasikan jumlah pelaku untuk masing-
kurang mendapatkan perhatian dari masing kekerasan fisik, verbal, dan sikap.
Begitu pun bagi korban, siapa yang hanya melakukan perundungan secara verbal
menerima satu bentuk kekerasan atau sementara siswa laki-laki dominan dalam
lebih. perundungan secara fisik. Berdasarkan
Antara siswa kelas rendah dan siswa jenjang kelas teridentifikasi bahwa jumlah
kelas tinggi terdapat perbedaan perilaku pelaku perundungan yang berasal dari
kekerasan, namun independent sample t-test siswa kelas tinggi jauh lebih banyak
yang digunakan adalah statistik non dibandingkan dengan siswa kelas rendah.
parametrik karena data terdistribusi tidak Siswa kelas rendah hanya melakukan
normal dan varian data tidak homogen. perundung pada teman sebayanya,
Hal ini terjadi karena saat pengisian sementara siswa kelas tinggi melakukan
checklist, siswa kelas rendah memiliki perundungan baik pada teman sebaya
pemahaman yang belum memadai diban- maupun pada adik kelasnya. Korban
dingkan siswa kelas tinggi. Walaupun perundungan adalah mereka yang diang-
butir-butir checklist telah dibacakan dan gap lemah, lebih muda, takut untuk
dijelaskan (dengan bantuan Bahasa memberi tahu pada guru dan tidak
Madura) oleh peneliti dan wali kelas mampu membela diri. Kekerasan fisik,
namun masih banyak siswa kelas rendah verbal, maupun sikap sama-sama diterima
yang belum lancar membaca, belum oleh korban; siswa perempuan lebih sering
sepenuhnya memahami maksud dari mendapatkan perundungan secara verbal
redaksi butir-butir checklist, belum sementara siswa laki-laki lebih banyak
terampil menuliskan identitas diri seperti menerima perundungan secara fisik.
usia, nama, kelas, dan jenis kelamin. Siswa yang merasa memiliki kekuatan
Terutama siswa kelas 1 SD yang sulit fisik, merasa pantas untuk mendapatkan
dikondisikan saat pengisian checklist. perlakukan istimewa, merasa harus
Keluarga merupakan salah satu faktor mendapatkan pelayanan dari orang lain,
pembentuk perilaku kekerasan pada ditambah lagi dengan sifat manja dan
siswa, namun peneliti tidak melakukan pemarah merupakan faktor penyebab
wawancara pada orang tua atau keluarga perilaku kekerasan yang berasal dari diri
siswa pelaku kekerasan dan juga tidak pribadi. Di sekolah siswa dapat menjadi
melakukan observasi di lingkungan pelaku perundungan karena pengaruh
keluarga. Karena itu penelitian ini tidak dari kelompoknya atas dasar mengikuti
memiliki penjelasan mengenai apa yang aturan kelompok atau mereka yang
terjadi dalam kehidupan keluarga siswa awalnya merupakan korban kemudian
pelaku kekerasan dan bagaimana proses belakangan menjadi pelaku perundungan,
pembentukan perilaku kekerasan siswa inilah yang disebut dengan perundungan
yang dipengaruhi oleh interaksi kekerasan reaktif.
dalam keluarga. Upaya preventif, kuratif, dan penga-
wasan telah dilakukan oleh masing-
masing pihak dengan cara kolaboratif
Kesimpulan
antara kepala sekolah dengan wali kelas,
Identitas siswa pelaku berdasarkan wali kelas dengan guru mata pelajaran,
jumlahnya siswa laki-laki lebih banyak wali kelas dengan orang tua, dan seterus-
yang menjadi pelaku perundungan namun nya. Bentuk bimbingan yang diberikan
hanya terpaut 1.3% dengan siswa pada siswa disesuaikan dengan kebutuhan
perempuan. Siswa perempuan cenderung siswa sekaligus dikaitkan dengan materi