You are on page 1of 12

http://journal.trunojoyo.ac.

id/jurnalkelautan Jurnal Kelautan


Volume 10, No. 1, 2017
ISSN: 1907-9931 (print), 2476-9991 (online)

POLA SEBARAN SEDIMEN DASAR BERDASARKAN KARAKTERISTIK


MORFOLOGI DAN HIDRO-OSEANOGRAFI MENGGUNAKAN MODEL
INTERPOLASI DAN SIMULASI NUMERIK DI PERAIRAN UTARA PULAU
SIMEULUECUT

DISTRIBUTION PATTERNS OF BOTTOM SEDIMENT BASED FROM MORPHOLOGICAL AND


HYDRO-OCEANOGRAPHY CHARACTERISTICS USING INTERPOLATION AND NUMERICAL
SIMULATION MODEL IN SIMEULUECUT ISLAND NORTHERN WATERS

Ulung Jantama Wisha*, Wisnu Arya Gemilang, Guntur Adhi Rahmawan, Gunardi Kusumah

Loka Penelitian Sumber Daya Kerentanan Pesisir, Balitbang KP, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, JL. Raya Padang-Painan km 16, Bungus, Padang 25245
*Corresponding author email: ulungjantama@gmail.com

Submitted: 3 Agustus 2016 / Revised: 31 Maret 2017 / Accepted: 25 April 2017

http://doi.org/10.21107/jk.v10i1.1618

ABSTRACT

Simeuluecut Island is a conservation area which will be directed as Marine Protected Areas and
Wildlife Marine Tourism, it needs to manage the plan of Regional Marine Conservation Area. The
purpose of this study was to determine the distribution of bed sediment in the Simeuluecut coastal
area based on the study of the bathymetry and the tidal current condition. The method employed is
case study method to determine the depth, the distribution pattern of the seabed sediment and
physical oceanographic conditions in the Simeuluecut waters qualitatively. The sounding results of
bathymetry survey are analyzed spatially, the hydrodynamic condition is simulated by using flow
model fm and tide data is analyzed by admiralty method. The depth of the water ranged from 0-26
meters and slope ranged from 10%-15%, obtained three units of surface bed sediment, that are
coarse sand, medium sand, and silty sand. Current velocity ranged from 0 to 0,02 m.s-1 at low tide
towards the high tide condition and ranged from 0-0,006 m.s-1 at high tide towards low tide condition,
the longshore current velocity ranged from 0.006-0,027 m.s-1 at the high tide and ranged from 0,001-
0,006 m.s-1 at low tide condition, the MSL value obtained 12,53 m and the tidal range reach 2,2 m,
oceanographic conditions has an influence on the bed sediment distribution in the nearshore area
and directly affect to the morphology change occurrence in the Simeuluecut waters.

Keywords: Bathymetry, hydrodynamic, Sediment, Simeuluecut, Spatial analysis

ABSTRAK

Pulau Simeuluecut merupakan kawasan Konservasi yang nantinya akan diarahkan untuk Daerah
Perlindungan Laut (DPL) dan Taman Wisata Bahari (TWB), sehingga diperlukan Managemen Plan
Kawasan Konservasi Laut Daerah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran
sedimen dasar di pesisir Pulau Simeuluecut berdasarkan kajian batimetri dan arus pasang
surut.Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus untuk mengetahui kedalaman,
pola sebaran sedimen permukaan dasar laut dan kondisi oseanografi fisika di perairan Simeuluecut
secara kualitatif. Hasil pemeruman dianalisis secara spasial, kondisi hidrodinamika dimodelkan
dengan menggunakan simulasi flow model fm dan pengolahan data pasang surut dengan metode
admiralty. Kedalaman perairan berkisar antara 0 - 26 meter dan kelerengan berkisar antara 10% -
15%, diperoleh tiga satuan sedimen permukaan dasar yaitu pasir kasar, satuan pasir sedang dan
satuan pasir halus lanauan (silty sand). Kecepatan arus berkisar antara 0 - 0,02 m.s-1pada saat
surut menuju pasang dan berkisar antara 0-0,006 m.s-1 pada saat pasang menuju surut, untuk
kecepatan sepanjang pantai berkisar antara 0,006-0,027 m.s-1 pada kondisi surut menuju pasang
dan berkisar antara 0,001-0,006 m.s-1 pada kondisi pasang menuju surut, nilai mean sea level

29
Jurnal Kelautan, 10(1), 29-40 (2017)

(MSL) sebesar 12,53 meter dan tidal range sebesar 2,2 meter, Kondisi oseanografi mempengaruhi
distribusi sedimendasar di bibir pantai dan secara langsung berpengaruh terhadap perubahan
morfologi di perairan Simeuluecut.

Kata Kunci: Batimetri, hidrodinamika, sedimen, Simeuluecut, spatial analisis

PENDAHULUAN Bahari. Berdasarkan hal-hal diatas


dipandang perlu untuk menyusun
Kebijakan pengelolaan yang tertuang dalam Managemen Plan Kawasan Konservasi Laut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Daerah guna menginventarisasi berbagai
1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah fenomena yang sedang dan telah terjadi di
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil kawasan laut dalam bentuk data spasial dan
mengisyaratkan akan peluang pengelolaan atribut, salah satunya adalah kajian terhadap
kawasan pesisir yang lebih besar kepada pola sebaran sedimentasi berdasarkan
pemerintah daerah. Hal ini diindikasikan oleh kedalaman batimetri dan pergerakan arus di
kesiapan daerah untuk mengidentifikasi serta Simeuluecut dengan harapan dapat
menginventarisasi peluang sumberdaya memberikan informasi yang berguna dan
potensial yang dapat dikembangkan untuk referensi bagi pengambil kebijakan
kemakmuran rakyat. Kondisi ini juga akan pembangunan dalam melaksanakan
menuntut partisipasi serta keseriusan dari program rehabilitasi dan rekontruksi. Tujuan
daerah untuk menentukan arah dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pembangunan di wilayah pesisir dan lautan sebaran sedimen di sekitar Pulau
(Monecke et al., 2015) Simeuluecut berdasarkan kajian batimetri
dan arus pasang surut.
Langkah awal yang strategis serta antipatif
terhadap pengelolaan tersebut adalah MATERI DAN METODE
dengan menginventarisasi sumberdaya
pesisir dengan menggunakan serta Materi utama dalam penelitian ini meliputi
merancang data spasial dan atribut data primer dan sekunder. Data primer
menggunakan sistim informasi geografis berupa data kedalaman dan posisinya,
yang hasil akhirnya diharapkan berupa peta sampel sedimen, data pasang-surut,
sebaran sumberdaya dan kondisi aktual gelombang (tinggi dan periode), dan arus
wilayah pesisir dan lautan. Kabupaten (kecepatan dan arah). Sedangkan data
Simeulue dengan Ibu Kotanya Sinabang sekunder berupa Peta RBI (Rupa Bumi
merupakan gugus kepulauan yang terdiri dari Indonesia).Metode penelitian yang
41 buah pulau-pulau besar dan kecil digunakan adalah metode studi kasus. Studi
disekitarnya. Secara geografis Simeulue kasus dalam penelitian ini adalah
membentang dari Barat ke Timur yang mengetahui kedalaman, pola sebaran
dibatasi/dikelilingi Samudera Hindia serta sedimen permukaan dasar laut dan kondisi
berbatasan langsung dengan perairan oseanografi fisika di perairan Simeuluecut.
Internasional dengan luas perairan 9.851,796
km2 dan garis pantai 502.732,22 km (DKP, Sebelum pengumpulan data posisi
2006). Kondisi ini menyebabkan Kabupaten dilaksanakan, terlebih dahulu dilaksanakan
Simeulue berpotensi mempunyai penentuan posisi. Penentuan posisi yang
sumberdaya pesisir dan laut yang bernilai dilaksanakan adalah untuk menentukan
ekonomis tinggi. posisi kapal pada saat melakukan
pengukuran kedalaman perairan
Simeuluecut merupakan salah satu pulau (pemeruman) agar kapal tidak keluar dari
kecil yang ada di Pulau Simeulue, dalam jalur yang telah ditentukan. Penentuan posisi
rangka upaya pengelolaan sumberdaya ini menggunakan sistem navigasi satelit,
pesisir dan lautan yang berkelanjutan maka yaitu GPS (Global Positioning System). Data
dengan melalui S.K Bupati Simeulue Nomor yang dihasilkan oleh alat ini bersifat digital
523.1/SK/2006 telah menetapkan Kawasan dan dapat dikirim ke perangkat komputer.
Konservasi Laut Daerah salah satunya Pemeruman (sounding) dimaksudkan untuk
adalah Simeuluecut dimana kawasan ini mengukur dan mengetahui kedalaman dasar
nantinya akan diarahkan untuk Daerah perairan daerah penelitian berikut pola
Perlindungan Laut dan Taman Wisata morfologi dasar perairan tersebut. Kegiatan

30
Wisha et al., Pola Sebaran Sedimen Dasar

ini menggunakan alat perum gema dari persamaan perairan dangkal 2 dimensi,
(Echosounder) Singlebeam yang bekerja dimana kedalaman di integrasi dan tidak
dengan prinsip pengiriman pulsa energi dapat di perkecil dengan bilangan Reynold
gelombang suara melalui transmiter dari rata-rata persamaan Navier-Stokes.
transducer menuju ke dasar perairan, Untuk shallow water equation pada koordinat
kemudian ketika gelombang tadi menyentuh kartesius, digunakan persamaan CFL
dasar perairan akan dipantulkan dan diterima (courant-friendrich-levy) yang di definisikan
oleh receiver transducer. Pengambilan data sebagai:
𝛥𝑡 𝛥𝑡
kedalaman menggunakan pola sejajar CFLHD = (√𝑔ℎ + |𝑈|) + (√𝑔ℎ + |𝑉|) )
𝛥𝑥 𝛥𝑦
paralel, yaitu pola dimana arah sounding
tegak lurus dan cenderung sejajar dengan
Dimana h adalah total dari kedalaman, u dan
garis longitudinal (Gambar 1) atau sesuai
v adalah komponen kecepatan pada arah x
dengan pola sounding paralel (Soeprapto,
dan y, g adalah percepatan gravitasi, Δx dan
2001).
Δy adalah skala karakteristik panjang pada
Posisi pengambilan sampel sedimen dasar arah x dan y untuk sebuah elemen dan Δt
dapat dilihat pada Gambar 2. Pengambilan adalah interval tahapan waktu. Skala
sample sedimen dasar menggunakan satu karakteristik panjang, Δx dan Δy, di berikan
unit Sedimen Grab. Sedimen Grab diatur oleh rata-rata panjang minimum untuk setiap
sedemikian rupa sehingga dengan kondisi elemen dan kedalaman perairan dan
terbuka diturunkan dengan mengulur tali komponen kecepatan di evaluasi pada pusat
hingga membentur tanah dasar laut. Saat tali elemen.
ditarik kembali, secara otomatis mulut
Analisa harmonik pasang surut dilakukan
sedimen grab akan menggaruk material
dengan metode admiralty dengan tujuan
dibawahnya hingga tertutup. Sedimen grab
untuk mendapatkan konstanta harmonic
yang telah memuat material dasar ditarik
pasang surut yang meliputi Amplitudo (A),
keatas. Sampel material dasar tersebut M2, S2, K1, O1, N2, K2, P1, M4, MS4, nilai
dimasukkan ke dalam wadah plastik yang
fase (g, dalam derajat) dan Tipe Pasang
telah diberi tanda untuk di analisa di
Surut (Ongkosongo dan Suyarso, 1989).
laboratorium Universitas Andalas, Padang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran arus dan pasang surut dilakukan
di Perairan sebelah Timur Pulau Simeuluecut Peta posisi titik fiks perum menunjukkan
pada koordinat 95°56'9.40"E dan bahwa jarak antar titik-titik fiks perum pada
2°33'20.11"N dengan menggunakan alat suatu lajur pemeruman lebih rapat dari
ADCP Northek Aquadop Profiler. interval lajur perum, kerapatan antar titik- titik
Pengukuran dilaksanakan pada tanggal 13- fiks perum dan interval lajur perum memang
24 Oktober 2015, dengan kedalaman telah diperhitungkan jaraknya sehingga
maksimal 13 m, didapatkan besar dan arah diharapkan mampu menghasilkan data
arus total dan juga pasang surut perairan kedalaman yang baik, sesuai dengan
Simeuluecut. Besar dan arah arus tersebut pendapat Poerbandono dan Djunarsjah,
diuraikan berdasarkan komponen kecepatan (2005) bahwa jarak antara titik-titik fiks perum
arus dalam arah U dan V, dan nilai dari pada suatu lajur pemeruman setidak-
komponen kecepatan arus tersebut tidaknya sama dengan atau lebih rapat dari
diskritisasimenggunakan rumus (Thurman interval lajur perum.
dan Alan, 2004) sebagai berikut:
𝐷𝑖𝑟 𝜋
Hasil pengukuran kedalaman (kedalaman
U = Vtotal sin ( 180 )……………………… (1) terbaca dan yang telah terkoreksi transducer)
𝐷𝑖𝑟 𝜋 adalah kedalaman terhadap air laut saat
V = Vtotal cos ( 180 )………………………. (2)
pengukuran, sedangkan garis kontur
Dengan nilai 𝜋 adalah 3,14 dan Dir kedalaman dalam peta batimetri adalah
merupakan arah arus yang terukur. Hasil kedalaman dengan bidang acuan muka air
perhitungan Besar kecepatan dan arah arus laut rata-rata atau Duduk Tengah (DT) atau
digunakan untuk melakukan verifikasi dalam bahasa Inggris adalah Mean Sea
permodelan arus pasang surut. Permodelan Level (MSL). Untuk menggambarkan garis
dilakukan dengan menggunakan simulasi kontur dengan acuan MSL maka perlu
Flow Model Hydrodynamics. Modul dihitung nilai MSL terlebih dahulu.
hidrodinamika berdasar pada solusi numerik

31
Jurnal Kelautan, 10(1), 29-40 (2017)

Gambar 1.Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2. Peta Titik Fiks Perum Perairan Pulau Simeuluecut

Pada penelitian ini nilai MSL yang didapat ketinggian pasut saat pengambilan data
yaitu 129,3 cm dari nol palem (Gambar 9). dikurangi MSL dan kedalaman muka surutan
Nilai MSL yang didapat tersebut selanjutnya di bawah MSL (Zo).
digunakan sebagai koreksi pasang surut.
Pada penelitian ini data kedalaman laut Pada Gambar 2 menunjukkan titik fiks perum
sebenarnya atau data kedalaman terkoreksi terlihat kurang begitu rapi dikarenakan dalam
pasut diperoleh dari perhitungan kedalaman pengambilan titik sampling pemeruman
yang dihasilkan alat perum gema dikurangi mengalami berbagai kendala antara lain
dengan koreksi pasut, koreksi pasut yaitu wahana apung (kapal) yang digunakan

32
Wisha et al., Pola Sebaran Sedimen Dasar

memiliki kemampuan gerak dan kestabilan Gambar 4, 5, 6, dan 7 merupakan gambar


yang terbatas, sehingga laju yang dilalui profil kedalaman perairan Pulau
kurang sesuai dengan bentuk jalur Simeuluecut, untuk mengetahui kisaran
pemeruman yang telah di rancang (yang kemiringan lereng pantai terhadap morfologi
direncanakan). Kedalaman batimetri bawah laut. Berdasarkan profil kedalaman
(Gambar 3) memperlihatkan kedalaman dari yang diambil dari garis tegak lurus pantai
perairan Pulau Simeuluecut pada batas terhadap laut sebanyak 4 lintasan
wilayah studi penelitian (medan pemeruman) menunjukkan bahwa kelerengan berkisar
berkisar antara 0 – 26 meter. Analisis spasial antara 10% - 15%, dapat diartikan kemiringan
digunakan untuk menampilkan hasil tersebut masuk dalam kelas landai hingga
pemeruman (survey batimetri) (Permana dan cukup curam (Syah dan Hariyanto, 2013)
Handayani, 2010), sehingga dapat lebih (Gambar 8).
mempermudah dalam interpretasi kondisi
batimetri terkini perairan Simeuluecut.

Gambar 3. Peta Batimetri Perairan Pulau Simeuluecut

Gambar 4. Profil Kedalaman (P1)

Gambar 5. Profil Kedalaman (P2)

33
Jurnal Kelautan, 10(1), 29-40 (2017)

Gambar 6. Profil Kedalaman (P3)

Gambar 7. Profil Kedalaman (P4)

Gambar 8. Topografi dasar perairan Simeuluecut

Gambar 9. Litologi penyusun Pulau Simeuluecut

34
Wisha et al., Pola Sebaran Sedimen Dasar

Hasil analisis sedimen permukaan dasar di angin yang kemudian terendapkan (Henstock
perairan Simeuluecut, diperoleh tiga satuan et al., 2011). Sebaran litologi wilayah
sedimen yaitu pasir kasar, satuan pasir Simeuluecut bagian depan yang berhadapan
sedang dan satuan pasir halus-lanauan (silty dengan Pulau Simeulue tersusun atas
sand). Berdasarkan pada peta geologi endapan alluvium berupa lumpur, pasir serta
lembar Sinabang (Endharto M dan Sukido, pecahan cangkang. Sedangkan bagian tepi
1994) wilayah pulau Simeuluecut terbagi atas Simeuluecut yang berhadapan langsung
tiga kelompok batuan penyusun yaitu Qa dengan samudera hindia tersusun atas
(Aluvium) yang tersusun atas litologi berupa material batugamping terumbu (Vina-Finzi
lumpur, pasir, lempung, kerikil dan kerakal dan Situmorang, 1989).
yang belum terkompakkan, litologi kedua
yaitu Qps (batugamping terumbu) yang terdiri Sebaran jenis sedimen pada lokasi penelitian
dari batugamping koral, kalkarenit dan relative bervariasi, hal ini dapat diketahui dari
kalsilutit. gambar peta sebaran sedimen permukaan
laut (Gambar 9). Di daerah pantai didominasi
Bagian dari tengah pulau Simeuluecut oleh sedimen pasir yang bercampur dengan
tersusun oleh Tmpd (Formasi Dihit) yang pecahan terumbu karang maupun cangkang
terdiri dari arenit berlapis dengan sisipan organisme, hal ini dimungkinkan karena
batulanau dan batugamping. Proses besarnya ukuran butir sedimen di daerah
sedimentasi merupakan proses tersebut cenderung resisten terhadap
pembentukan sedimen atau batuan sedimen gerakan arus sehingga tidak terangkut
yang diakibatkan oleh pengendapan dari mengikuti kecepatan dan arah arus. Sesuai
material pembentuk atau asalnya pada suatu dengan pendapat Poerbandono dan
tempat yang disebut dengan lingkungan Djunarsjah (2005) yang menyatakan bahwa
pengendapan berupa sungai, muara, danau, sedimen yang berukuran besar (misalnya:
delta, estuaria, laut dangkal sampai laut pasir kasar dan kerikil maupun pecahan
dalam (Pettijohn, 1975). karang atau cangkang) cenderung resisten
terhadap gerakan arus. Jika kekuatan arus
Proses sebaran substrat sedimen yang ada cukup besar, sedimen tersebut cenderung
dilingkungan perairan Simeuluecut tidak terangkut dengan kontak yang kontinu
terlepas dari hasil rombakan atau pelapukan (menggelinding, meluncur atau melompat-
litologi penyusun pulau Simeuluecut yang melompat) dengan dasar perairan.
tertransport baik oleh media air maupun

Gambar 10. Peta Sebaran Sedimen Perairan Simeuluecut

35
Jurnal Kelautan, 10(1), 29-40 (2017)

Transport sedimen sepanjang pantai partikel yang lain telah tersingkir oleh
merupakan gerakan sedimen di daerah kekuatan mekanis yang dalam hal ini berupa
pantai yang disebabkan oleh gelombang dan ombak dan arus. Hal tersebut terbukti
arus yang dibangkitkan (Komar, 1993). sebaran sedimen pada bagian tengah hingga
Transport sedimen ini terjadi antara tepian perairan Simeuluecut didominasi oleh
gelombang pecah dan garis pantai akibat substrat sedimen pasir halus hingga lanau
sedimen yang dibawanya (Ladage et al., dengan ukuran butir relative seragam.
2006). Hal tersebut dimungkinkan juga Sebaliknya sedimen yang kurang mengalami
karena pengaruh gelombang dari laut. Hal ini sortasi (poorly sorted sediment) terdiri dari
menyebabkan terjadinya turbulensi yang berbagai ukuran partikel yang menunjukkan
membawa material dari dasar pantai (Wisha kecilnya pengaruh tenaga mekanis yang
et al., 2014), sehingga erosi daerah pantai dikenakan untuk mensortir berbagai ukuran
akan lebih aktif akibat gelombang. Kondisi itu partikel.
menyebabkan pada daerah pantai
Simeuluecut terendapkan substrat sedimen Hasil pengolahan data arus dengan
yang berukuran tidak seragam didominasi menggunakan permodelan diverifikasi
oleh endapan pasir berukuran kasar hingga dengan data arus hasil pengukuran
sedang yang bercampur dengan pecahan dilapangan dan di dapatkan nilai RMSE
terumbu dan cangkang. sebesar 11,7 %. Dari hasil perhitungan error
dan verifikasi hasil model terlihat bahwa
Sedimen yang berukuran lebih kecil dan lebih grafik kecepatan arus hasil model dan data
halus dibandingkan dengan bagian tepi lapangan memiliki fluktuasi kecepatan arus
pantai misalnya pasir halus hingga pasir yang hamper sama (Gambar 10) dan fasa
lanau cenderung terangkut sebagai suspensi pasang surut antara hasil permodelan
dengan kecepatan dan arah yang mengikuti dengan data lapangan hampir sama namun
kecepatan arah dan arus. Hal ini disebabkan pada akhir simulasi terdapat anomaly fasa
karena pengaruh kondisi arus yang tenang pasang surut dan cenderung lebih fluktuatif
dan akan mulai mengendapkan ketika tunggang pasang surutnya, hal tersebut
kecepatan aliran mulai merendah.Menurut diakibatkan oleh pembentukan pasang surut
Wibisono (2005) apabila sedimen terdiri dari dan gelombang yang terjadi secara
partikel dengan ukuran seragam, dikatakan bersamaan (Gambar 11), menurut Wisha et
sedimen tersebut dalam kondisi sangat al. (2015) pasang surut terjadi bersamaan
tersortir (well sorted). Jadi sedimen yang dengan gelombang dan menyebabkan muka
sangat tersortir adalah sedimen yang terdiri air laut yang terjadi akan relative tidak
dari partikel-partikel dengan kisaran ukuran konstan.
yang sangat terbatas, sedangkan ukuran

Gambar 10. Verifikasi hasil model dengan data arus

Gambar 11. Verifikasi Hasil model dengan data pasang surut


Gambar 11. Fasa pasang surut antara hasil permodelan dengan data lapangan

36
Wisha et al., Pola Sebaran Sedimen Dasar

Pada kondisi pasang menuju surut (Gambar Di bagian Timur laut Pulau Simeuluecut arus
12) dinamika arus bererak dominan dari terlihat sangat lemah bila dibandingkan
Samudera Hindia yang masuk melalui celah sekitarnya, hal ini desebabkan oleh adanya
perairan diantara daratan Pulau Simeulue pengurangan energi yang diakibatkan oleh
dan Pulau Simeuluecut, arus bergerak meningkatnya gesekan dasar saat arus dari
menuju ke darat dengan kecepatan berkisar Samudera Hindia menabrak Pulau
antara 0-0,006 m/s. pada Pulau Simeulue Simeuluecut dan terdifraksi dan energinya
bagian utara, Barat dan tenggara merupakan melemah pada bagian Timur laut sehingga
kecepatan arus yang paling tinggi, akibat angkutan sedimen sangat rendah dibagian
adanya proses deformasi gelombang yang tersebut, hal tersebut sesuai dengan kondisi
terjadi Karena posisi Pulau Simeulue yang perairan pada saat dilakukan survei
langsung berbatasan dengan Samudera penelitian, terlihat bahwa bagian Timur Laut
Hindia. Pulau Simeuluecut lebih jernih dan sedikit
terjadi transport sedimen.
Pada kondisi menuju surut ini arus bergerak
menyusur pantai dan pada prosesnya arus Berbeda dengan dinamika arus pasang surut
bergerak membawa massa air yang pada kondisi surut menuju pasang (Gambar
didalamnya juga terangkut sedimen dan 13), arah arus bergerak menjauhi daratan
material-material lain yang ada di sekitar dengan kecepatan berkisar antara 0-0,02
perairan tersebut. Di wilayah yang m/s, dinamika massa air yang bergerak
berkepatan arus tinggi, mekanisme transport bolak-balik menyebabkan transport bahan
juga tinggi sehingga cenderung terjadi abrasi organik maupun sedimen menjadi lebih baik,
diwilayah tersebut, sedangkan wilayah yang dan di beberapa wilayah yang dilewati arus
berkecepatan arus lemah sedimen lemah akan terjadi penupukan sedimen dan
tersuspensi akan mudah mengendap, karena bahan organik tersebut. Hal tersebut sesuai
kurangnya energi transport oleh arus dan dengan hasil penelitian oleh Hertanti (2014)
pasang surut (Wisha dan Aida, 2016). yang menyatakan bahwa distribusi bahan
organik bergantung pada karakteristik
hidrodinamika di suatu peraran.

Gambar 12. Hidrodinamika Perairan Simeuluecut pada saat Pasang menuju Surut

37
Jurnal Kelautan, 10(1), 29-40 (2017)

Gambar 13. Hidrodinamika perairan Simeuluecut pada saat surut menuju pasang
Pengukuran pasut di perairan Simeuluecut MSL yang diperoleh selanjutnya digunakan
digunakan untuk mengetahui nilai sebagai koreksi terhadap nilai kedalaman
komponen-komponen harmonik yang dapat hasil pemeruman batimetri (Mihardja dan
digunanakan untuk menentukan tipe pasang Setiadi, 1989). Menurut Miharja dan Setiadi
surut (Tabel 3), menghitung nilai MHHWS, (1989) datum referensi pasut yang digunakan
MLHWN, MLLWN, MLLWS berdasarkan ada 3 macam, yaitu nilai duduk tengah, muka
analisis Indian Spring Low Water (Gambar surutan dan air tertinggi rata-rata. Tunggang
12), serta menghitung nilai MSL (s0). Nilai pasut hasil analisa sebesar 2,84 meter, range
MSL yang didapat yaitu 12,53 meter dari nol pasut tersebut tidak terlalu besar (Pietrzak et
kedalaman alat ADCP yang berarti bahwa al., 2007), dan bergerak fluktuatif 2 kali
ketinggian rata-rata permukaan laut dalam 12 pasang dan 2 kali surut.
hari pengamatan adalah 12,53 meter. Nilai

Tabel 3. Nilai konstituen pasang surut

Konstituen Amplitudo Beda fasa


M2 0.62 92.85
S2 2.62 220.89
N2 0.32 1.19
K2 2.31 119.45
K1 1.42 133.58
O1 0.1 102.65
P1 1.49 -60.85
M4 0.01 60.56
MS4 0.01 200.92
SO 12.53 MSL
Campuran Condong
Tipe Pasut (F) 0.469135802 Harian Ganda

38
Wisha et al., Pola Sebaran Sedimen Dasar

Gambar 14. Grafik perubahan pasang surut perairan Simeuluecut

KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan Endharto, M., & Sukido (1994). Peta Geologi
bahwa kedalaman di perairan Simeluecut Lembar Sinabang, Sumatra. Pusat
antara 0-26 meter dengan kategori Penelitian dan Pengembangan
kemiringan landai hingga cukup terjal, Geologi, Bandung.
sebaran sedimen di Simeluecut terdiri dari 3 Henstock, T., Ladage, S., Hirata, K.,
jenis yaitu pasir kasar, pasir sedang, dan Fujiwara, T., & Hananto, N. D. (2011).
pasir lanau. Endapan pasir kasar berada Struktur geologi busur muka aceh:
pada kedalaman rata-rata 10 meter, kajian batimetri dan seismik kawasan
sedangkan pasir sedang berada sampai lepas pantai aceh sumatra indonesia.
kedalaman 20 m, dan pasir lanau rata-rata In proceedings Joint Convention
pada kedalaman 25 m. Di wilayah dengan HAGI-IAGI 2011, Makassar, 26-29
kecepatan arus tinggi, mekanisme transport September 2011.
juga tinggi sehingga cenderung terjadi abrasi Hertanti, D. P., Yusuf, M., Maslukah, L.
diwilayah tersebut, sedangkan wilayah yang (2014). Sebaran Kandungan Bahan
berkecepatan arus lemah, sedimen yang Organik Total di Perairan Muara
teraduk akan mudah mengendap. Pola arus Sungai Porong Kabupaten Sidoarjo.
pasang surut memengaruhi mekanisme Jurnal Oseanografi, 3(4),610-617.
transport dan pengadukan sedimen dasar, Komar, P. D. (1998). Beach processes and
transportasi sedimen yang terjadi disetiap sedimentation. Second Edition.
perubahan pasang surut menyebabakan Printice Hall. New Jersey, 539 pp.
perubahan morfologi dasar perairan. Ladage, S., Gaedicke, C., Barckhausen, U.,
Heyde, I., Weinrebe, W., Flueh, E. R.,
UCAPAN TERIMA KASIH & Djajadihardja, Y. (2006). Bathymetric
survey images structure off Sumatra.
Ucapan terima kasih kepada Loka Penelitian Eos, Transactions American
Sumber daya dan Kerentanan Pesisir Geophysical Union, 87(17), 165-168.
(LPSDKP) dan P3SDLP atas DIPA anggaran Doi: 10.1029/2006EO17000.
APBNP 2015, serta semua pihak yang Mihardja, D. K., & Setiadi, R. (1989). Analisis
memebantu daqlam pelaksanaan penelitian Pasang Surut di Daerah Cilacap dan
di Pulau Simeulue Oktober 2015. Surabaya. Pasang-surut. ASEAN-
Australia cooperative programs on
marine science (Project I: Tides and
tidal phenomena), Puslitbang
Oseanologi-LIP}, Jakarta, 201-230.

39
Jurnal Kelautan, 10(1), 29-40 (2017)

Monecke, K., Templeton, C. K., Finger, W., Syah, M. W., & Haryanto, T. (2013).
Houston, B., Luthi, S., McAdoo, B. G., Klasifikasi kemiringan lereng dengan
& Hood, N. (2015). Beach ridge menggunakan pengembangan sistem
patterns in West Aceh, Indonesia, and informasi geografis sebagai evaluasi
their response to large earthquakes kesesuaian landasan pemukiman
along the northern Sunda trench. berdasarkan undang-undang tata
Quaternary Science Reviews, 113, ruang dan metode fuzzy. Teknik
159-170. Pomits, 10(10), 1-6.
Doi: 10.1016/j.quascirev.2014.10.014. Thurman, H. V., & Alan P. T. (2004).
Permana, H., & Handayani, L. (2010). Studi Intoductory Oceanography, 10ed,
awal pola struktur busur muka aceh, Pearson Education, inc. New Jersey
Sumatra bagian utara (Indonesia): 188pp.
Penafsiran dan Analisis Peta Batimetri. Triadmodjo, B. (2014). Perencanaan
Jurnal Geologi Kelautan, 8(3), 105- Bangunan Pantai. Beta Offset,
118. Yogyakarta.
Pettijohn, F. J. (1975). Sedimentary Rock: Vita-Finzi, C., & Situmorang, B. (1989).
Harper & Row Publishers, New York- Holocene coastal deformation in
Evanston-San Fransisco-London. Simeulue and Nias, Indonesia. Marine
Pietrzak, J., Socquet, A., Ham, D., Simons, Geology, 89(1-2), 153-161. Doi:
W., Vigny, C., Labeur, R. J., & Vatvani, 10.1016/0025-3227(89)90031-5.
D. (2007). Defining the source region Wibisono, M. S. (2005). Pengantar Ilmu
of the Indian Ocean Tsunami from Kelautan. Grasindo. Jakarta. 226 hlm.
GPS, altimeters, tide gauges and Wisha, U. J., Yusuf, M., & Maslukah, L.
tsunami models. Earth and Planetary (2014). Sebaran Muatan Padatan
Science Letters, 261(1), 49-64. Doi: Tersuspensi dan Kelimpahan
10.1016/j.epsl.2007.06.002. fitoplankton di Perairan Muara Sungai
Poerbandono & Djunarsjah, E. (2005). Survei Porong, Kab. Sidoarjo. Jurnal
Hidrografi. Refika Aditama. Bandung. oseanografi, 3(3),454-461.
166pp. Wisha, U. J., Semeidi, H., & Joko, P. (2015).
Satriadi, A. (2012). Studi Batimetri dan Jenis Hydrodynamics of Banten Bay During
Sedimen Dasar Laut di Perairan Transitional Seasons (August-
Marina Semarang, Jawa September). Ilmu Kelautan, 20(2),
Tengah.Buletin Oseanografi Marina, 101-112.
1(1), 53-62. Doi: 10.14710/ik.ijms.20.2.101-112.
Surinati, D. (2009). Kondisi oseanografi fisika Wisha, U. J., & Aida, H. (2016). Analysis of
perairan barat sumatera (pulau Tidal Range and Its Effect on
simeulue dan sekitarnya) pada bulan Distribution of Total Suspended Solid
agustus 2007 pasca tsunami (TSS) in the Pare Bay Waters. Jurnal
desember 2004. Makara Sains, 13(1), Kelautan, 9(1). 23-31.
17-22.

40

You might also like