You are on page 1of 12

COASTAL AND OCEAN JOURNAL Vol.

1 (2) Desember 2017 : 1-12

Coastal and Ocean Journal


e-ISSN: 2549-8223
Journal home page: http://coj.pksplipb.or.id/;
email: journal@pksplipb.or.id

EFEKTIFITAS SUB ZONA PERLINDUNGAN SETASEA DI KAWASAN KONSERVASI


PERAIRAN TNP LAUT SAWU, NUSA TENGGARA TIMUR

EFFECTIVENESS OF SUB ZONE CETACEAN PROTECTION IN MARINE PROTECTED


AREAS SAVU SEA NATIONAL MARINE PARK, EAST NUSA TENGGARA

Mujiyanto Mujiyantoa*, Riswanto Riswantoa dan Adriani Sri Nastitia


a Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan
Jl. Cilalawi No. 1 Jatiluhur Purwakarta Jawa Barat
*E-mail: antomj18@gmail.com

ABSTRACT

The zonation review and evaluation took into account habitat protection areas and categorised migration
routes. In addition, the sustainability of fishery resources is maintained, as people in Savu Sea depend on fishery
resources. The objectives of this research are to analyse the effectiveness of sub-zone cetacean protection for
Savu Sea National Marien Park. The research stations were watering inside and outside in Savu Sea National
Marine Park. The sampling of the research was conducted on 2015 and 2016, collecting data using a zig-zag
transect by observation method of collecting data sighting cetacean with single observer platform. The results
of sub-zone cetacean protection against Southwest Sumba waters, West Sumba and East Timor Land need to
be reviewed if referring the current zoning area. Sub-zone for areas to protect sustainability cetacean need to
be adjusted addition and alteration of fishery zone, the area of Southwest Sumba, West Sumba and Central
Sumba is ± 445,567.44 ha and ± 239,307.52 ha to around East Timor Land waters. Extensive re-evaluation of
existing protection sub-zones is requiring. A review of extent to efectiveness water areas attend the conflict of
interest in needs of fisherman to catch and migration route of cetacean.

Keyword: zone, cetacean, dolphin, whale, savu sea

ABSTRAK

Peninjauan dan evaluasi zonasi harus memperhatikan wilayah perlindungan habitat dan jalur migrasi
setasea. Disamping itu, keberlanjutan sumberdaya perikanannya tetap terjaga, karena sebagian besar
masyarakat di sekitar wilayah Laut Sawu bergantung terhadap sumberdaya perikanan yang ada. Penelitian
bertujuan menganalisis efektivitas sub zona perlindungan setasea di Taman Nasional Perairan Laut Sawu.
Lokasi penelitian meliputi perairan di dalam dan luar Taman Nasional Perairan Laut Sawu. Penelitian
dilakukan tahun 2015 dan 2016, alur pengumpulan data dilakukan secara zig-zag transect dengan metode
pengamatan satu kelompok pengamat. Hasil yang ditemukan adalah pada sub zona perlindungan setasea
di perairan sekitar Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Daratan Timor perlu ditinjau ulang
jika mengacu pada luasan zonasi saat ini. Luasan sub zona untuk melindungai keberlanjutan setasea
disesuaikan dengan penambahan dan perubahan dari zona perikanan yang ada, luasan di Sumba Barat
Daya, Sumba Barat dan Sumba Tengah ± 445.567,44 ha dan Daratan Timor ± 239.307,52 ha. Diperlukan
peninjauan ulang luasan pada sub zona perlindungan yang ada saat ini. Peninjaun ulang luasan
dimaksudkan untuk keefektifitasan wilayah perairan guna menghindari terjadinya konflik kepentingan
antara kebutuhan nelayan akan hasil tangkapan dengan keberlanjutan setasea.

Kata kunci: zonasi, setasea, lumba-lumba, paus, laut sawu

Diterima : September 2017 Direview : Oktober 2017 Disetujui : November 2017


2 Mujiyanto et al. 2017 / Efektifitas Sub Zona Perlindungan Setasea Di Kawasan...

1. PENDAHULUAN Konservasi Perairan TNP Laut Sawu dapat


ditinjau sekurang-kurangnya 5 (lima)
Laut Sawu merupakan bagian tahun sekali sesuai dengan Keputusan
perairan Indonesia yang secara langsung Menteri Nomor 6/KEPMEN-KP/2014).
berbatasan dengan Samudera Hindia, Keseimbangan antara keberlanjutan
dengan keunikan perairan yang dinamik migrasi setasea dengan kebutuhan
yaitu memiliki perubahan suhu dan masyarakat terhadap sumber daya
salinitas permukaan yang signifikan pada kelautan dan perikanan berdampak
musim angin muson tenggara. Dinamika terhadap persinggungan antara wilayah
perairan tersebut terjadi di lapisan tangkap dengan area perlindungan dan
permukaan yang dipengaruhi pola tiupan migrasi setasea. Kondisi tersebut terlihat
angin muson. Kondisi tersebut, berakibat pada zonasi di wilayah sekitar Daratan
terhadap terjadinya upwelling di perairan Pulau Sumba dan Daratan Timor. Wilayah
Laut Sawu. Proses taikan air (upwelling) di yang dijadikan sebagai zona perikanan
perairan akan mempengaruhi kondisi berkelanjutan sebagian besar merupakan
kehidupan fitoplankton, hidrologi dan jalur migrasi setasea (paus dan lumba-
pengkayaan nutrisi di perairan tersebut lumba). Kondisi tersebut jika dibiarkan
(Sediadi, 2004; Packard et al., 2015). Salah berlarut-larut akan berdampak terhadap
satu dampak upwelling yang cukup perubahan perilaku setasea yang ada.
signifikan adalah meningkatnya kesuburan Gangguan terhadap populasi setasea dan
(kelimpahan plankton sebagai pakan predator utama lainnya menyebabkan
alami) serta peningkatan suhu air laut pergeseran dominasi predator utama yang
(hangat), sehingga memberikan pada akhirnya menyebabkan
kenyamanan bagi sekumpulan setasea terganggunya rantai makanan (Beum and
tinggal dan bermigrasi di perairan Laut Worm, 2009).
Sawu. Penelitian ini bertujuan untuk
Keberadaan setasea, jalur migrasi mengetahui tingkat efektifitas luasan sub
dan wilayah perlindungan paus serta zona setasea di kawasan konservasi
lumba-lumba merupakan salah satu perairan TNP Laut Sawu. Efektititas yang
keunikan di perairan di Laut Sawu (YPPL- dimaksud adalah menyeimbangkan antara
TNC, 2011). Dijelaskan dalam Dokumen kebutuhan stake holder akan sumberdaya
Rencana Aksi Nasional (RAN) konservasi perikanan yang ada dengan keberlanjutan
setasea di Indonesia periode 2016-2020 dari keberadaan setasea di Laut Sawu.
bahwa penetapan Kawasan Konservasi Secara tidak langsung tergambarkan
Perairan Nasional (KKPN) di Laut Sawu bahwa sehatnya setasea juga
salah satunya ditujukan sebagai wilayah mencerminkan sehatnya lautan (Trumble
perlindungan setasea yaitu habitat dan et al., 2013). Hasil yang diharapkan adalah
jalur migrasi paus, area perlindungan terhindarnya konflik kepentingan antara
lumba-lumba yang secara rutin melakukan kebutuhan stake holder dengan
ruaya di Laut Sawu (KKHL, 2015). Tahun keberlangsungan hidup setasea di Laut
2014 melalui Keputusan Menteri Nomor Sawu.
5/KEPMEN-KP/2014 ditetapkan sebagai
Taman Nasional Perairan Laut Sawu yang 2. METODOLOGI PENELITIAN
kemudian disebut sebagai TNP Laut Sawu. 2.1. Waktu dan lokasi penelitian
Tindak lanjut dari penetapan tersebut, Survey penelitian ini dilaksanakan
melalui Rencana Pengelolaan dan Zonasi selama 3 kali pengamatan (November
yang dalam hal ini adalah Kawasan 2015, Maret – April 2016 dan September –

@COASTAL AND OCEAN JOURNAL (COJ) 2017


PUSAT KAJIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN – IPB (PKSPL-IPB)
Mujiyanto et al. 2017 / Efektifitas Sub Zona Perlindungan Setasea Di Kawasan... 3

zig-zag transect jalur pengamatan zig-zag transect jalur pengamatan


November 2015 Maret-April dan September-Oktober
2016
Gambar 1. Lokasi penelitian dan jalur pengamatan kemunculan setasea

Oktober 2016). Lokasi penelitian meliputi Oktober 2016 pengamatan dilakukan di


perairan Kabupaten Kupang, Rote Ndao, dalam dan diluar kawasan TNP Laut Sawu
Timor Tengah Selatan, Sabu Raijua, Sumba (Gambar 1).
Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat,
Sumba Barat Daya, Manggarai dan 2.3. Metode pengumpulan data
Kabupaten Manggarai Barat (Gambar 1). Pengumpulan data primer
Pembagian waktu tersebut dilakukan kemunculan (sighting) spesies setasea
berdasarkan pada kondisi lingkungan dengan pengambilan data menggunakan
perairan (Faizah et al., 2006), pemilihan transek zig-zag serta dengan metode
waktu survey juga dilakukan berdasarkan pengamatan satu kelompok pengamat
kekosongan data time series dari hasil-hasil (single observer platform) (Thomas et al,
penelitian sebelumnya. 2007). Kapal bergerak sepanjang daerah
pengamatan dengan kecepatan rata-rata
2.2. Waktu dan lokasi penelitian 7-8 knot. Waktu pengamatan dimulai pada
Survey penelitian dilaksanakan pagi hari pukul 06.00 WITA sampai sore
selama 3 kali pengamatan (November hari pukul 18.00 WITA (Kahn, 2005; Kahn,
2015, Maret-April 2016 dan September- 2013). Metode zig-zag transect bertujuan
Oktober 2016). Lokasi penelitian meliputi untuk memperoleh estimasi jumlah jenis
perairan Kabupaten Kupang, Rote Ndao, setasea serta menghindari glare (cahaya
Timor Tengah Selatan, Sabu Raijua, Sumba yang menyilaukan) dari sinar matahari
Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, (Gambar 2).
Sumba Barat Daya, Manggarai dan Penentuan jumlah mamalia laut
Kabupaten Manggarai Barat (Gambar 1). dengan tepat sangatlah sulit, karena hewan
Pembagian waktu tersebut dilakukan tersebut menghabiskan lebih banyak
berdasarkan pada kondisi lingkungan waktunya hidup di dalam air, sehingga
perairan (Faizah et al., 2006), pemilihan digunakan metode estimasi untuk
waktu survey juga dilakukan berdasarkan melakukan perhitungan jumlah setasea
kekosongan data time series dari hasil-hasil yang ditemukan (Hammond et al., 2002).
penelitian sebelumnya. Identifikasi visual kenampakan setasea
Survey bulan November 2015 merujuk pada Carwardine (2002) dan
pengamatan dilakukan di dalam kawasan Jefferson et al., (1993). Detail identifikasi
TNP Laut Sawu, sedangkan survey pada setasea merujuk pada Carwadine (1995);
perode bulan Maret-April dan September- Siahainenia (2008) dengan 12 (dua belas)

@COASTAL AND OCEAN JOURNAL (COJ) 2017


PUSAT KAJIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN – IPB (PKSPL-IPB)
4 Mujiyanto et al. 2017 / Efektifitas Sub Zona Perlindungan Setasea Di Kawasan...

Gambar 2. Posisi pengamat pada metode single observer platform

point kunci identifikasi sebagai berikut: 1) Keempat personel pengamat berganti


Estimasi ukuran tubuh; 2) Tanda-tanda posisi setiap satu jam.
yang biasa pada tubuh setasea; 3) Bentuk,
warna, posisi dan tinggi sirip dorsal (dorsal 2.4. Analisa data
fin); 4) Bentuk tubuh dan bentuk kepala; 5)  Analisis untuk mendeterminasi
Warna dan tanda pada tubuh; 6) Bentuk sebaran karakteristik setasea antar
semburan (khusus pada spesies besar); 7) cakupan wilayah per kabupaten di Laut
Bentuk dan tanda pada ekor (fluk); 8) Sawu menggunakan analisis statistik
Tingkah laku di permukaan air; 9) multivariable yang didasarkan pada
Breaching dan tingkah laku lainnya; 10) Analisis Komponen Utama Principal
Estimasi jumlah setasea yang diamati; 11) Componen Analysis (Legendre dan
Habitat setasea; dan 12) Posisi geografis legendre, 1983; Bengen et al., 1992;
lokasi. Selain data primer kemunculan Dodi et al., 2000). Analisis PCA
setasea, dilakukan juga pengumpulan data menggunakan perangkat lunak
sekunder untuk menjawab tujuan program XLSTAT 2014.
penelitian, dengan melakukan desk study  Analisis data hasil pengamatan
(Johnston, 2014) dari hasil-hasil penelitian langsung dan data sekunder hasil-hasil
sebelumnya di perairan Laut sawu. penelitian dikompilasi dan dioverlay
Metode pengamatan yang menggunakan perangkat lunak GIS.
dimodifikasi dengan menggunakan
kelompok pengamat terdiri atas 4 orang 3. HASIL DAN DISKUSI
(3 pengamat dan 1 pencatat) (Gambar 2).
Posisi pertama berada di depan pada Hasil pengamatan yang dilakukan
daerah yang lebih tinggi (tengah-tengah selama penelitian ditemukan 11 lumba-
haluan), menggunakan teropong lumba dan 8 paus (Lampiran 1). Komposisi
binokuler untuk mengamati daerah dari jenis lumba-lumba yang ditemukan
depan dengan batas pandangan 180°; adalah Common bottlenose dolphin
posisi kedua dan ketiga menggunakan (Tursiops trancatus), Dwarf spinner
batas pandangan 90° pada wilayah dolphin (Stenella longirostris roseiventris),
pengamatan lebih rendah dari posisi Fraser's dolphin (Lagenodelphis hosei),
pertama (di belakang pengamat pertama) Indo-pasific bottlenose dolphin (Tursiops
menggunakan teropong binokuler, posisi aduncus), Striped dolphin (Stenella
pengamat keempat sebagai pencatat data coeruleoalba), Pantropical spotted dolphin
atau notulen berada di bagian belakang, (Stenella attenuata), Spinner dolphin
sehingga akan mengetahui bila ada (Stenella longirostris longirostris), Rough-
pengamatan yang dilakukan itu sama. toothed dolphin (Steno bredanensis), Long

@COASTAL AND OCEAN JOURNAL (COJ) 2017


PUSAT KAJIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN – IPB (PKSPL-IPB)
Mujiyanto et al. 2017 / Efektifitas Sub Zona Perlindungan Setasea Di Kawasan... 5

beaked common dolphin (Delphinus (Balaenoptera musculus), paus sperma


capensis), Short beaked common dolphin (Physeter macrochepalus) dan humpback
(Delphinus delphis) dan Risso's dolphin whlae (Megaptera novaeangliae).
(Grampus griseus) (Gambar 3). Hasil Dalam dokumen Rencana Aksi
analisis dari frekuensi kemunculan jenis Nasional juga dijelaskan bahwa Indonesia
lumba-lumba tertinggi adalah Spinner memiliki setidaknya 33 spesies setasea
dolphin (Gambar 3). Lumba-lumba jenis atau lebih dari sepertiga jumlah spesies
Spinner dolphin memang terdapat hampir setasea di seluruh dunia (KKHL, 2015).
di seluruh perairan laut, terutama Laut Pergerakan dan jalur migrasi setasea di
Jawa, Sumatera, Pulau Lembata, perairan Indonesia menurut Klinowska,
Halmahera, Selat Sunda, Maluku dan Papua (1991); Faizah et al., (2006) bergerak dari
(Priyono, 2001). Hasil penelitian D’Lima et Samudra Pasifik dan Samudera Hindia
al., (2013) dijelaskan secara sosial yang terjadi melalui terusan sunda kecil
ekonomi, lumba-lumba terlihat secara sepanjang 900 km, menjadikan terusan
tidak langsung berhubungan dengan tersebut sebagai tempat pergerakan lokal
aktifitas nalayan tangkap, dimana gerakan dan migrasi jarak jauh.
dan tingkah laku lumba-lumba dapat Wilayah perairan dengan lokasi
membantu nelayan menggiring ikan ke kemunculan lumba-lumba dan paus
jaring nelayan. Komposisi setasea di dunia tertinggi yaitu di wilayah perairan sekitar
berdasarkan beberapa hasil penelitian Kabupaten Kupang dan Sumba Barat Daya.
ditemukan sekitar 86 jenis setasea Lokasi kemunculan Spinner dolphin juga
termasuk beberapa jenis yang ditemukan cukup tinggi di perairan sekitar
dikategorikan langka dan terancam punah Kabupaten Sumba Timur sebanyak 17
(Klinowska, 1991; Barnes, 1996; Rudolph lokasi. Kemunculan jenis Pantropical
et al., 1997; Kahn, 2003; Setiawan, 2004; spotted dolphin di perairan Kabupaten
Fauziah et al., 2006). Jumlah spesies Sumba Barat Daya juga tergolong tinggi
lumba-lumba dan paus di perairan sebanyak 12 lokasi. Hasil penelitian Forney
Indonesia menurut Rudolph et al., (1997); (2000) di perairan California dihasilkan
Kahn, (2003) dan Mustika et al., (2009) bahwa lokasi kemunculan (sighting)
sekitar 12 spesies lumba-lumba dan 18 lumba-lumba berhubungan erat dengan
spesies paus, termasuk paus biru beberapa parameter lingkungan perairan,

Gambar 3. Persentase kemunculan (sighting) lumba-lumba (dolphin) selama penelitian


di Kawasan konservasi perairan TNP Laut Sawu

@COASTAL AND OCEAN JOURNAL (COJ) 2017


PUSAT KAJIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN – IPB (PKSPL-IPB)
6 Mujiyanto et al. 2017 / Efektifitas Sub Zona Perlindungan Setasea Di Kawasan...

Gambar 4. Persentase kemunculan (sighting) paus (whale) selama penelitian di Kawasan


konservasi perairan TNP Laut Sawu

variabel dari parameter lingkungan yang lumba-lumba paruh panjang (Spinner


memiliki hubungan erat adalah sea surface dolphin), lumba-lumba totol (Pan-tropical
temperature, sea survace salinity dan spotted dolphin), lumba-lumba gigi kasar
beaufort sea state. (Rough-toothed dolphin), lumba-lumba abu-
Persentase jumlah paus yang abu (Risso’sdolphin) dan lumba-lumba
ditemukan ditemukan sebanyak 8 spesies, Fraser (Fraser’s dolphin) (Salim, 2011).
yaitu Dwarf sperm whale (Kogia sima), Sebaran lokasi kemunculan (sighting)
False killer whale (Pseudorca crassidens), lumba-lumba tertinggi terbagi menjadi 3
Melon headed whale (Peponocephala kelompok, yaitu di Kabupaten Sumba
electra), Pygmy killer whale (Feresa Timur, Kupang dan Sumba Barat Daya.
attenuata), Pygmy sperm whale (Kogia Kondisi tersebut ditunjukkan oleh arah
breviceps), Short-finned pilot whale sumbu terkuat mengarah pada ketiga
(Globicephala macrorhynchus); Sperm wilayah perairan di sekitar Kabupaten
whale (Physeter macrocephalus) (data Sumba Barat Daya, Kupang dan Sumba
primer) (Gambar 4), desk studi yang Timur (Gambar 5.a). Beberapa perairan
dilakukan juga ditemukan Paus Biru (data lainnya dengan kemunculan tinggi, akan
sekunder hasil penelitian Kahn, 2013). tetapi tidak menunjukkan ulangan
Wilayah perairan dengan lokasi kemunculan yang signifikan adalah
kemunculan sebanyak lokasi (Kupang, Kabupaten Rote Ndao, Manggari Barat dan
Rote Ndao, Sabu Raijua, Sumba Timur, Sumba Tengah. Keeratan nilai dan arah
Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba sumbu yang mengarah pada Kabupaten
Barat Daya). Spesies tertinggi selama Sumba Barat Daya dan Kabupaten Kupang,
periode penelitian dan hasil desk studi menunjukkan bahwa di perairan tersebut
yaitu Pygmy killer whale (Feresa menjadi lintasan lumba-lumba setiap saat.
attenuate) (Gambar 4). Hasil Hasil analisis sebaran lokasi paus
pengamatannya dari tahun 2001 hingga ditemukan 3 wilayah perairan yang
2005 memperlihatkan bahwa beberapa jenis memiliki lokasi kemunculan tertinggi,
setasea telah ”menetap” di Laut Sawu, antara yaitu Kabupaten Kupang, Kabupaten
lain : paus sperma (Sperm whale), paus Sumba Timur dan Kabupaten Sumba Barat
pembunuh kerdil (Pigmy killer whale), paus Daya. Beberapa wilayah perairan lainnya
kepala semangka (Melon headed whale), dengan lokasi ada kemunculan yang cukup

@COASTAL AND OCEAN JOURNAL (COJ) 2017


PUSAT KAJIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN – IPB (PKSPL-IPB)
Mujiyanto et al. 2017 / Efektifitas Sub Zona Perlindungan Setasea Di Kawasan... 7

a) Lumba-lumba (dolphin) b) Paus (whale)

Gambar 5. Distribusi kelompok dari sebaran lokasi kemunculan (sighting) lumba-lumba


(dolphin) (a) dan paus (whale) (b) di masing-masing wilayah perairan pada
cakupan wilayah antar kabupaten di perairan TNP Laut Sawu, NTT.

signifikan, akan tetapi selama penelitian lumba dan paus. Beberapa tahun terakhir
frekuensi kemunculannya lemah adalah ini, lumba-lumba sudah menjadi hewan
Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten buruan untuk dijadikan bahan konsumsi
Sumba Barat, Kabupaten Rote Ndao dan dan lainnya, perburuan setasea secara
Kabupaten Sabu Raijua (Gambar 5.b). terus menerus dapat mengakibatkan
Lokasi kemunculan (sighting) setasea berkurangnya populasi lumba-lumba dan
dengan jumlah tertinggi yaitu di wilayah paus di alam, meskipun dilakukan secara
perairan Sumba Timur (17 lokasi tradisional (Wiadnyana et al., 2005).
kemunculan), Kabupaten Sumba Barat Keberadaan setasea di wilayah perairan
Daya (16 lokasi kemunculan) dan wilayah sebelah selatan Kabupaten Sumba Barat
perairan di Kabupaten Kupang sebanyak Daya serta utara Kabupaten Sumba Barat
15 lokasi kemunculan. Beberapa lokasi dan Kabupaten Sumba Tengah dan
yang ada selama penelitian dan dari Perairan sebelah utara Kabupaten Kupang
beberapa data hasil-hasil penelian (Pulau Semau sampai dengan daerah
sebelumnya, lokasi yang terdeteksi Soliu) menjadi wilayah dengan perhatian
menjadi lokasi kemunculan merupakan khusus bagi upaya perlindungan setasea.
lokasi yang saat ini menjadi sub zona Berdasarkan hasil analisis, perlu
perikanan berkelanjutan. Di beberapa disesuaikan antar zona dengan
lokasi tersebut, selama penelitian terlihat penambahan dan merubah dari sub zona
bahwa bukan nelayan tradisional yang perikanan berkelanjutan umum yang ada
memanfaatkan periaran tersebut sebagai saat ini menjadi sub zona perlindungan
lokasi penangkapan ikan. setasea.
Hasil analisis dari kemuculan, gerombolan, Kemunculan dan pergerakan paus
tingkah laku serta migrasi lumba-lumba yang ditemukan selama penelitian di
dan paus selama penelitian, beberapa zona wilayah sekitar perairan Daratan Kupang
yang ada saat ini memerlukan perhatian pada pagi hari sekitar pukul 06.00 – 10.00
bagi keberlanjutan keberadaan paus dan WITA bergerak dari WS kearah NE,
lumba-lumba di perairan Laut Sawu serta sedangkan pada siang hari sekitar pukul
dari hasil-hasil penelitian sebelumnya 11.00 – 13.00 WITA terlihat paus sperma
tidak ditemukan kemunculan lumba- logging dengan arah pergerakan bolak –

@COASTAL AND OCEAN JOURNAL (COJ) 2017


PUSAT KAJIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN – IPB (PKSPL-IPB)
8 Mujiyanto et al. 2017 / Efektifitas Sub Zona Perlindungan Setasea Di Kawasan...

Gambar 6. Sub Zona Perlindungan Setasea berdasarkan hasil evaluasi efektitivitas


kawasan konservasi TNP Laut Sawu (Sumber zonasi awal : Kepmen. No.
5/KEPMEN-KP/2014 dan dimodifikasi berdasarkan hasil analiasis)

balik dari N ke S dan ke arah N. Pergerakan Konservasi Sumberdaya Ikan tahun 2015
paus yang terlihat di sekitar daratan timur dan 2016 yang dioverlay dengan
terdominasi dari arah WS ke NE. pendekatan GIS dan direduksi masing-
Kemunculan lumba-lumba di Kabupaten masing data dan informasi yang
Kupang selama penelitian terdominasi didapatkan dengan principal komponen
pada pukul 06.00-10.00 WITA pagi hari analisis), beberapa zonasi yang ada
(33.8 %), kemudian akan muncul pada memerlukan perhatian bagi keberlanjutan
pukul 15.00-18.00 WITA (54.4 %). keberadaan paus dan lumba-lumba di
Pergerakan dan pergerakan yang terlihat perairan Laut Sawu, seperti : Luasan
diwilayah perairan sekitar kurang terlihat wilayah perairan yang dicalonkan sebagai
pada pagi hari hari pergeraran dari arah perubahan atas sub zona dari perikanan
NE kearah WS, akan tetapi sebagian berkelanjutan umum menjadi sub zona
pergerakan lumba-lumba juga ditemukan perlindungan setasea untuk wilayah
dari arah N kearah S pada pagi hari. Perairan Kabupaten Sumba Barat Daya,
Berbeda dengan sore hari, kecenderungan Kabupaten Sumba Barat dan Kabupaten
pergerakan dari WS kearah NE dengan Sumba Tengah seluas ± 445.567,4 Ha,
sebagain kecil lumba-lumba yang sedangkan wilayah Perairan sebelah utara
ditemukan bergerak kearah E. Kupang (Pulau Semau sampai dengan
Berdasarkan data dari kemuculan, Desa Soliu) seluas ± 239.307,5 Ha
gerombolan, tingkah laku serta migrasi (Gambar 6 dan Tabel 1).
lumba-lumba dan paus selama penelitian
(hasil penelitian Pusat Riset Perikanan 4. KESIMPULAN
Tangkap pada tahun 2005, APEX dan The
Nature Conservancy tahun 2013 serta Distribusi setasea (lumba – lumba
Balai Penelitian Pemulihan dan dan paus) di wilayah TNP Laut Sawu yaitu

@COASTAL AND OCEAN JOURNAL (COJ) 2017


PUSAT KAJIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN – IPB (PKSPL-IPB)
Mujiyanto et al. 2017 / Efektifitas Sub Zona Perlindungan Setasea Di Kawasan... 9

Tabel 1. Luasan, wilayah perairan dan desa sub zona yang disarankan sebagai sub zona
perlindungan setasea selain sub zona perlindungan setasea yang ditetapkan
dalam Kep Men No. 5/KEPMEN-KP/2014 di wilayah TNP Laut Sawu

Sub Zona Kabupaten Luasan (ha) Bujur Timur Lintang Selatan


Sub Zona Daratan Pulau 445.567,44 119.089717 -9.804069
Perlindungan Sumba: 118.699220 -9.804996
Setasea  Sumba Barat 118.699894 -9.037620
Daya 119.820271 -9.039122
 Sumba Barat 119.766228 -9.179229
 Sumba Tengah 119.633223 -9.220330
119.496895 -9.241327
119.404457 -9.260983
119.205277 -9.236482
118.975796 -9.298811
118.927964 -9.429286
118.872068 -9.609026
Sub Zona Daratan Pulau Timor: 239.307,52 122.781656 -9.953424
Perlindungan  Kupang 123.586856 -9.474540
Setasea 123.664344 -9.564393
123.530249 -9.696382
123.475651 -9.799382
123.183237 -10.075495

tersebar merata dengan jumlah dan luasan antara sub zoba bagi keberlanjutan
frekuensi kemunculan tertinggi dari jenis setasea dengan zona perikanan
lumba-lumba adalah Spinner dolphin berkelanjutan umum yang ada saat ini.
sedangkan jenis paus adalah Short-finned Luasan zonasi yang dimaksud yaitu luasan
pilot whale. Lokasi dengan frekuensi zonasi di Kabupaten Sumba Barat Daya,
kemunculan tertinggi yaitu perairan Sumba Barat dan Sumba Tengah seluas ±
Kabupaten Kupang, Sumba Barat Daya, 445.567,44 ha dan Daratan Timor seluas ±
Sumba Barat dan Sumba Tengah. 239.307,52 ha menjadi sub zona
Berdasarkan pada distribusi dari perlindungan setasea.
komposisi kemunculan setasea, terlihat
bahwa zonasi yang ada saat ini terdapat UCAPAN TERIMA KASIH
ketumpang-tindihan antara zona
perikanan berkelanjutan dengan zona Karya Tulis Ilmiah ini merupakan
perlindungan setasea. Ketumpang- kontribusi dari hasil kegiatan penelitian
tindihan tersebut ditemukan di sekitar dan Pengembangan dengan judul
Kabupaten Sumba Barat daya, Sumba ”Penelitian Kesesuaian Zonasi di Taman
Barat dan Sumba Tengah. Dampak yang Nasional Perairan Laut Sawu sebagai
terjadi adalah sering ditemukannya luka di Kawasan Konservasi Perairan”. Penelitian
tubuh lumba-lumba, seperti goresan jaring ini dibiayai dari dana APBN Satuan Kerja
pada bagian tubuh dan luka di mulut Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi
lumba-lumba. Upaya untuk menghindari Sumber Daya Ikan (BP2KSI) Tahun
dampak tersebut, diperlukan penyesuaian Anggaran 2015 dan 2016. Penulis juga

@COASTAL AND OCEAN JOURNAL (COJ) 2017


PUSAT KAJIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN – IPB (PKSPL-IPB)
10 Mujiyanto et al. 2017 / Efektifitas Sub Zona Perlindungan Setasea Di Kawasan...

mengucapkan terima kasih kepada Kepala dengan karakteristik habitat di


BKKPN Kupang, TNC Savu Sea Project, rataan terumbu Teluk Kotania,
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Seram Barat Maluku. Jurnal Ilmi-
Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Sabu Ilmu Perairan dan Perikanan
Raijua, Timor Tengah Selatan, Sumba Indonesia. Vol. VII (2) MSP FPIK-IPB
Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, Bogor. Hal : 19-31.
Sumba Barat Daya dan Kabupaten Fauziah, R., Dharmadi & F.S. Punomo. 2006.
Manggarai atas ijin yang diberikanan Distribusi dan kepadatan lumba-
untuk melakukan kegiatan penelitian di lumba Stenella longirostris di Laut
dalam dan luar Kawasan Konservasi Sawu, Nusa Tenggara Timur. Jurnal
Perairan Taman Nasional Perairan Laut Penelitian Perikanan Indonesia. Vo.
Sawu. 12 (3). 175-181 pp.
Forney, K. A. 2000. Environmental Models
Daftar Pustaka of Cetacean Abundance: Reducing
Uncertainty in Population Trends.
Baum, J. K. & Worm, B. 2009. Cascading Conservation Biology. Vol. 14, No. 5,
top-down effects of changing ocean October. 1271-1286 p.
predator abundance. Journal of Hammond, P.S., Berggren,P., Bunke.H.,
Animal Ecology, 78, 699-714 pp. Borchers., D. 2002. Abundance of
Bengen, D., Belaud, A. & Lim, P. 1992. Habour Porpoise and Other
Structure et typologie ichtyenne de Cetaceas in the North Sea and
trois bras morts de la Garonne. Adjecent Waters. Journal of Applied
Annales de Limnologie 28: 35–56 p. Ecology 2002. British Ecological
Carwardine, M. 1995. Smithsonian Society:361376.
handbooks: Whales, dolphins, and Jefferson T. A., S. Leatherwood, dan M. A.
porpoises. Dorling Kindersley Webber. 1992. FAO species
Publishing, Inc. New York, NY. 256 identification guide: Marine
p. mammals of the world. Food and
Agriculture Organization of the
Carwardine, M. 2002. Whales, Dolphins United Nations. Rome, Italy.
and Porpoises. Fog City Press. vii+320 p.
(2002). Copyright 1995-2002 by Johnston, M. P. 2014. Secondary Data
Dorling Kindersley Limited. London. Analysis: A Method of which the
288 p. Time Has Come. Qualitative and
D’lima, C., Marsh, H., Haman, M., Sinha, A. & Quantitative Methods in Libraries
Arthur, R. 2013. Positive (QQML). 3: 619-626 pp.
interactions between Irrawaddy Kahn, B. 2003. Solor-Alor Visual and
dolphins and artisanal fisheries in Acoustic Cetacean Surveys. Solor-
the Chilika Lagoon of Eastern India Alor: The Nature Conservancy SE
are Driven by Ecology, Asia Center for Marine Protected
Socioeconomics and Culture. Ambio, Areas and The Apec environment.
DOI 10.1007/s13280-013-0440-4, Kahn, B. 2005. Indonesia Oceanic Cetacean
1-11 pp. Program Activity Report : January-
Dodi, S. M. Eidman, Dietriech G. Bengen dan February 2005. APEX
S. Wouthuyzen. 2000. Distribusi Environmental-The Nature
spasial kerang darah (Anadara Conservancy SE Asia Center for
maculosa) dan iunteraksinya

@COASTAL AND OCEAN JOURNAL (COJ) 2017


PUSAT KAJIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN – IPB (PKSPL-IPB)
Marine Protected Areas Bali, Indonesia. Environ. Model. V. 3. Elsevier. Hal.
Kahn, B. 2013. Rapid Ecolological 510-512.
Asessment (REA) for Cetaceans and Mustika, P. L. K., Hutasoit, P., Madusari, S.
Seavirds in the Savu Sea National C., Purnomo, F. S., Setaiawan, A.,
Park: Intern Report on Field Tjandra, K., & Prabowo, W. E. 2009.
Activities in 2013. APEX. Whake strandings in Indonesia.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Including the first record of a
Hidup Republik Indonesia. (2004). humpback whale (Megaptera
Surat Keputusan Menteri Negara noveangliae) in the archipelago. The
Lingkungan Hidup Nomor: 51 Raffles Bulletin of Zoology. National
Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air University of Singapure. 57 (1).
Laut untuk Biota Laut. Jakarta. 199-206 pp.
Keputusan Menteri Kelautan dan Packard, T., N. Osma, I. Fernández-
Perikanan Republik Indonesia. Urruzola, L. A. Codispoti, J. P.
2014. Surat Keputusan Menteri Christensen, and M. Gómez. 2015.
Kelautan dan Perikanan Republik Peruvian upwelling plankton
Indonesia Nomor: 5/KEPMEN- respiration: calculations of carbon
KP/2014 tentang Kawasan flux, nutrient retention efficiency,
Konservasi Perairan Nasional Laut and heterotrophic energy
Sawu dan Sekitarnya di Provinsi production. Biogeosciences. (12),
Nusa Tenggara Timur. Jakarta 2641–2654 pp.
Keputusan Menteri Kelautan dan Priyono, A. 2001. Lumba-lumba di
Perikanan Republik Indonesia. Indonesia. Fakultas Kehutanan
2014. Surat Keputusan Menteri Institut Pertanian Bogor. [Tesis].
Kelautan dan Perikanan Republik The Gibbon Foundation. Jakarta.
Indonesia Nomor: 6/KEPMEN- PILI NGO Movement. Bogor. 26 p.
KP/2014 tentang Rencana PRPT (Pusat Riset Perikanan Tangkap).
Pengelolaan dan Zonasi Taman 2005. Laporan Hasil Penelitian dan
Nasional Perairan Laut Sawu dan Pengembangan oleh Wiadnyana
Sekitarnya di Provinsi Nusa N.N., dkk. 2005 dengan judul
Tenggara Timur Tahun 2014-2034. Biodiversitas dan Distribusi
Jakarta Cetacean di Laut Sawu Nusa
Klinowska, M., 1991. Dolphins, purpoises Tenggara Timur. Laporan Akhir
and whales of the world.The IUCN Kegiatan Penelitian dan
Red Data Pengembangan. Pusat Riset
Book.IUCN.Gland.Switzterland.350 Perikanan Tangkap.
p. Salim, D. 2011. Konservasi mamalia laut
KKHL. 2015. Rencana Aksi Nasional (RAN) (cetacea) di perairan Laut Sawu,
Konservasi ceatcea Indonesia: Nusa Tenggara Timur. Jurnal
Periode 1: 2016-2020. Direktorat Kelautan Vol. 4 No. 1. Hal 24-41.
Konservasi dan Keanekaragaman Rudolp, P., Smeenk, C. & Leatherwood, S.
Hayati Laut. Direktorat Jenderal 1997. Preliminary checklist of
Pengelolaan Ruang Laut. KKP. 76 cetacean in the Indonesia
hal. Archipelago and adjacent waters.
Legendre, L., and P. Legendre. 1983. Zoologische Verhandelingen, 312, 2-
Numerical ecology. Develop. 48 pp.

@COASTAL AND OCEAN JOURNAL (COJ) 2017


PUSAT KAJIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN – IPB (PKSPL-IPB)
12 Mujiyanto et al. 2017 / Efektifitas Sub Zona Perlindungan Setasea Di Kawasan...

Sediadi, A. 2004. Effek Upwelling Terhadap reveals lifetime contaminant


Kelimpahan Dan Distribusi exposure and hormone profile.
Fitoplankton Di Perairan Laut Proceedings of National Academic of
Banda Dan Sekitarnya. Makara, Science, DOI
Sains, Vol. 8, No. 2, Agustus 2004: 10.1073/pnas.1311418110.
43-51 pp. Wiadnyana, Ngurah N., Purnomo,
Siahainenia, S.R. 2008. Kajian tingkah laku, Februanty S., Faizah, Ria, Mustika,
distribusi dan karakter suara P.Liza K., Oktaviani, D. & Wahyono,
lumba-lumba di perairan Pantai Maria. 2004. Aquatic mammals
Lovina Bali dan Teluk Kiluan assessment in Indonesia water.
Lampung. Tesis. Sekolah Proceeding of International
Pascasarjana. Institut Pertanian Symposium on SEASTAR 2000 and
Bogor. Bogor. 96 p. Biologing Science, Bangkok. 16-20
Thomas, L.E.N. Williams, R. And pp.
Sandilands, D. 2007. Designing line YPPL-TNC. 2011. Pemetaan Partifipatif
transect surveys for complex Taman Nasional Perairan Laut
survey regions. Journal Cetacean Sawu. Laporan Akhir (tidak
Res. Manage. 9 (1):1-13 pp. dipublikasi). Yayasan
Trumble, S. J., roninson, E. M., Berman- Pengembangan Pesisir dan Laut
Kowalewski, M., Potter, C. W. & bekerjasama dengan The Nature
Usenko, S. 2013. Blue whale earplug Conservancy. 111 p.

@COASTAL AND OCEAN JOURNAL (COJ) 2017


PUSAT KAJIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN – IPB (PKSPL-IPB)

You might also like