You are on page 1of 11

DEBIT LIMPASAN AIR SUNGAI DAN KAPASITAS SALURAN

SUNGAI PADA TATA GUNA LAHAN YANG DIKONVERSI DI


SUB DAS KARANG MUMUS

Puspitahati
Fakultas Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang.

ABSTRACT. Streamflow Discharge and River Channel Capacity on


Converted Land Use in Karang Mumus Sub Watershed. The objectives of
this research were to study and to make maps of the changes of land use using the
approach of geographical information system (GIS) to predict run off coefficient
value and the stream flow discharge as well as to study the suitability between
prediction results of stream flow discharge and river channel capacity. Analysis
was done using geographical information system (GIS) in order to create maps of
land use changes in 2002 and 2006. The prediction of water surface stream flow
discharge coefficient value (C) at Karang Mumus Watersheds was according to
the equation of Anonim (2001). Deriving from C, discharge of designed flood (Q
max) could be predicted by approaching the Nakayasu Synthetic Unit
Hydrograph, while river channel capacity was calculated with Mid Section
Method and Mean Section Method by measuring the width of river channel and
water level in site. The main results of this research revealed that the changes of
land use in 2002 and 2006, mostly occured in settlements reached 9.01 %,
uncoverage area was 5% and farming was 4%. In 2002, Karang Mumus Ulu Sub-
sub Watershed had the lowest value of Run Off Coefficient, i.e. 64.17%. Karang
Mumus Ilir Sub-sub Watershed had the highest value of Run Off Coefficient i.e.
69.38%. The highest water discharge was at Karang Mumus Ilir Sub-sub
Watershed, i.e. 264.784 m3/sec and the lowest was 72.845 m3/sec occured at
Lantung Sub-sub Watershed. In 2006, Karang Mumus Ulu and Betapus Sub-sub
Watersheds had the lowest Run Off Coefficient Value, i.e. 66.02% and the
highest was 71.02% at Karang Mumus Ilir. The highest discharge occured at
Karang Mumus Ilir, i.e. 274.667 m3/sec while the lowest was 72.845m3/sec at
Lantung Sub-sub Watershed. The prediction of total river channel capacity was
18,949,861 m3. Total volume yielded by maximum discharge value in 2002 was
100,889,194 m3, in 2006 was 102,809,952 m3.
Kata kunci: penutupan lahan, koefisien limpasan, limpasan air, Karang Mumus

Perubahan lahan yang dilakukan sering tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW). Pada saat sekarang areal pertanian, perkebunan dan semak
belukar dialihfungsikan menjadi pemukiman. Perambahan hutan, penambangan,
serta ladang atau sawah yang terbengkalai menjadikan semakin luasnya lahan-lahan
terbuka. Bila tidak memperhatikan daya dukung lingkungan akan berdampak negatif
terutama menurunnya tingkat keseimbangan alam dan terganggunya siklus
hidrologi. Hal ini mengakibatkan Nilai Koefisien Limpasan di Sub DAS Karang
Mumus setiap tahun meningkat. Koefisien Limpasan dapat dipengaruhi oleh
intensitas dan jumlah curah hujan, tipe tanah, geologi, topografi, luas daerah aliran
dan penutupan lahan (Arsyad, 1989). Bila Koefisien Limpasan meningkat, maka

81
82 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009

debit limpasan air sungai (DLAS) meningkat yang akan menimbulkan banjir. Banjir
dipengaruhi oleh faktor alam yang meliputi curah hujan, fisiografi sungai dan lahan,
erosi dan sedimentasi, kapasitas sungai dan drainase serta pengaruh pasang surut air
sungai dan laut, sedangkan yang diakibatkan oleh perilaku manusia antara lain
perubahan tata guna lahan, berkembangnya kawasan pemukiman, produksi sampah
meningkat, kesalahan perencanaan pembangunan alur sungai, kesalahan
perencanaan tata wilayah, kesalahan pembangunan sarana dan prasarana,
pengendapan dan pendangkalan sungai (Kodoatie dkk., 2002 dalam La Sarido,
2007).
Telah banyak dilakukan penelitian pada Sub DAS Karang Mumus ini. Seperti
yang dilakukan oleh Mallisa (1999) yang menghitung erosi, Kurniawan (2003)
menghitung debit limpasan dan sedimen dan Handayani (2002) melihat pola
penggunaan lahan tahun 2002 dengan model karakteristik hidrologi Sub DAS
Karang Mumus. Metode-metode yang dilakukan tersebut membutuhkan waktu,
biaya dan tenaga yang besar. Selain itu tidak memfokuskan pada Nilai Koefisien
Limpasan yang merupakan faktor penting dalam peningkatan debit banjir. Dengan
demikian, penulis melakukan kajian perubahan tata guna lahan yang mempengaruhi
Nilai Koefisien Limpasan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG),
sehingga dapat memprediksi debit banjir untuk beberapa tahun yang akan datang
dan menghitung kapasitas tampung saluran pada Sub DAS Karang Mumus.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan memetakan perubahan tata
guna lahan dengan menggunakan pendekatan SIG di Sub DAS Karang Mumus,
menduga Nilai Koefisien Limpasan dan debit limpasan air yang dipengaruhi oleh
perubahan tata guna lahan pada setiap Sub-sub DAS di Sub DAS Karang Mumus,
mengkaji kesesuaian antara hasil pendugaan debit limpasan air dan kapasitas
saluran/tampungan air di Sub DAS Karang Mumus.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah terciptanya peta perubahan tata
guna lahan yang terdapat pada Sub DAS Karang Mumus, diperoleh hasil pendugaan
Nilai Koefisien Limpasan dan debit limpasan air yang dipengaruhi oleh perubahan
tata guna lahan pada setiap Sub-sub DAS di Sub DAS Karang Mumus, didapatkan
hasil penyesuaian antara hasil pendugaan debut limpasan air dan kapasitas
saluran/tampungan air di Sub DAS Karang Mumus dapat digunakan sebagai salah
satu bahan rujukan dalam perencanaan pengendalian banjir di wilayah Samarinda.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada Sub DAS Karang Mumus, DAS Mahakam di
wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Waktu yang diperlukan dalam penelitian ini
selama 6 bulan dari bulan April sampai November 2007 yang didahului dengan
orientasi lapangan disertai dengan pengambilan data dan sampel kemudian
dilanjutkan dengan analisis di laboratorium.
Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peta
wilayah Kalimantan Timur RBI tahun 1991 (skala 1:150.000) dan peta Sub DAS
Karang Mumus, peta penutupan lahan tahun 2002 (interpretasi sebelumnya oleh
Wuri Handayani, 2002), Citra Landsat TM Band 7 tanggal 8 November 2006, peta
geologi Sub DAS Karang Mumus, peta jaringan hidrologi pada Sub DAS Karang
Puspitahati (2009). Debit Limpasan Air Sungai 83

Mumus; peta kelerengan dari data citra radar pada Sub DAS Karang Mumus, peta
tanah Sub DAS Karang Mumus, peta curah hujan dan data curah hujan tahun 2002
sampai 2007 yang didapatkan dari Badan Meteorologi dan Geofisika Temindung
Samarinda, peta sistem lahan pada Sub DAS Karang Mumus, peta status kawasan
Sub DAS Karang Mumus, peta Rupa Bumi Bakorsurtanal (Badan Koordinasi Survei
dan Pemetaan Nasional) edisi tahun 1991, skala 1:150.000, data tinggi muka air,
lebar dan ketinggian sungai.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: komputer
yang dilengkapi dengan perangkat lunak Arcview GIS versi 3,3 (produk ESRI-
Enviromental System Research Institute), Image Analysis (ERDAS-license ESRI), 3
dimensi (ESRI), Spatial Analysis (ESRI), WMS versi 7,0 (Watershed Management
System) dan Global Mapper versi 8,0, satu unit Global Positioning System (GPS)
tipe Garmin Vista etrex untuk menentukan koordinat di lapangan, peralatan
lapangan seperti kompas, kamera, kendaraan dan speedboat.
Analisis data dilakukan dengan 2 tahap yaitu: analisis perubahan lahan berupa
data yang dikumpulkan diformulasikan ke dalam bentuk tabel dan peta, sehingga
uraian secara deskriptif, korelasi dan klasifikasi diperoleh gambaran tentang letak
dan luas masing-masing penutupan lahan, kelerengan, wilayah curah hujan, jaringan
sungai, jenis tanah dan geologi.
a. Prediksi Koefisien Run Off (koefisien limpasan air) pada suatu daerah
dipengaruhi kondisi karakteristik, yaitu kondisi hujan, luas dan bentuk daerah
pengaliran, kemiringan daerah aliran dan kemiringan dasar sungai, daya
infiltrasi dan perkolasi tanah, kebasahan tanah, suhu udara, angin dan evaporasi
serta tata guna lahan. Untuk memprediksi dan menganalisis Nilai Koefisien
Limpasan (C) yang terjadi pada masing-masing Sub-sub DAS Karang Mumus
menggunakan pendekatan persamaan menurut Anonim (2001) sebagai berikut:
C = (120,4 x K + 6,9) x fslope + FLM
yang mana:
C = Koefisien limpasan air permukaan (%)
K = Erodibilitas tanah
f slope = Faktor kemiringan
FLM = Faktor penggunaan/pengelolaan tanaman

b. Prediksi Debit Banjir Rancangan. Untuk menentukan hidrograf pada setiap Sub-
sub DAS di Sub DAS Karang Mumus dicoba dengan menggunakan pendekatan
hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu yang tahapan perhitungannya dapat
diuraikan sebagai berikut:
Persamaan debit puncak banjir adalah: Qp = C.A.Ro / 3,6 (0,3Tp + T0,3)
yang mana:
Qp = debit puncak banjir (m3/dt)
C = Koefisien aliran permukaan
A = luas daerah pengaliran (km2)
Ro = curah hujan satuan (mm)
Tp = tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)
T0,3 = waktu yang diperlukan pada penurunan debit puncak sampai ke debit
sebesar 30% dari debit puncak (jam)
84 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009

Untuk menentukan kapasitas dan volume saluran/waduk diasumsikan bahwa


faktor sedimentasi diabaikan dan untuk lebar saluran dari anak-anak sungai dapat
disamakan. Kapasitas dan volume saluran/waduk ditentukan dengan cara Mid
Section Method dan Mean Section Method.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Secara keseluruhan luas wilayah Sub DAS Karang Mumus berdasarkan peta
RBI tahun 1991 skala 1:200.000 melalui pengolahan dengan SIG didapatkan sebesar
29.344,54 ha. Hampir mendekati 31.475,00 ha yang merupakan hasil analisis dari
penelitian Mallisa (1999) dan Kurniawan (2003), sedangkan berdasarkan penelitian
Handayani (2002), luas Sub DAS Karang Mumus adalah 27.171,08 ha. Luas DAS
Karang Mumus dibagi menjadi 8 Sub DAS. Perubahan pola penggunaan lahan dapat
dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perubahan Pola Penggunaan Lahan DAS Karang Mumus Tahun 20022006
Tahun 2002 Tahun 2006 Perubahan (%)
Tipe lahan
Luas (ha) % Luas (ha) %
Belukar 7275,26 24,79 4649,67 15,85 -8,95
Hutan 206,75 0,70 206,75 0,70 0,00
Kebun 543,76 1,85 1716,42 5,85 4,00
Kebun campuran 4798,14 16,35 2196,43 7,48 -8,87
Ladang 220,12 0,75 511,09 1,74 0,99
Lahan terbuka 0 0,00 1466,74 5,00 5,00
Pemukiman 2240,45 7,63 4883,03 16,64 9,01
Rawa 898,24 3,06 847,07 2,89 -0,17
Rencana bandara 75,14 0,26 75,14 0,26 0,00
Sawah 778,43 2,65 1188,13 4,05 1,40
Semak 12308,25 41,94 11604,07 39,54 -2,40
Jumlah 29344,54 100,00 29344,54 100,00 0

Perluasan pemukiman disebabkan berbagai faktor, di antaranya yaitu semakin


banyaknya kebutuhan penduduk untuk menggunakan lahan sebagai pemukiman.
Seiring dengan meningkatnya pemukiman, maka meningkat pula perkebunan di
sekitar pemukiman penduduk tersebut. Peralihan fungsi lahan sawah, ladang dan
kebun campuran yang terbengkalai juga dapat mengakibatkan beralih fungsi
menjadi pemukiman dan juga perluasan pembangunan kota dari semak, belukar dan
penimbunan rawa yang dijadikan areal pemukiman.
Selain beralih fungsi menjadi pemukiman, perubahan fungsi lahan pada lahan
belukar, kebun campuran, rawa dan semak terjadi karena banyaknya perambahan
pohon sehingga belukar menjadi lahan terbuka. Belukar masih banyak dijumpai
pada Sub-sub DAS Pampang bagian hulu dan pada Sub-sub DAS Karang Mumus
Hulu, sedangkan pada semak yang banyak dijumpai pada kanan kiri sungai
mengalami perubahan menjadi perkebunan dan lahan terbuka. Perubahan pada
kebun campuran terjadi karena pengolahan perkebunan sangat minim, perkebunan
banyak ditelantarkan sehingga produktivitasnya rendah dan terjadinya pembukaan
lahan. Perubahan rawa selain beralih fungsi menjadi pemukiman juga cenderung
Puspitahati (2009). Debit Limpasan Air Sungai 85

menjadi lahan sawah dan ladang.


Pertambahan lahan terbuka dapat terjadi karena sawah, kebun dan ladang yang
terbengkalai. Seperti halnya ladang sebagian besar dibiarkan terlantar agar secara
alami kesuburannya pulih kembali dan dapat digunakan untuk rotasi perladangan
berikutnya. Selain itu juga banyaknya tebangan liar, pembukaan areal petambangan
dan terjadinya kebakaran hutan sera lahan di semak belukar yang diakibatkan
kekeringan. Masalah ini dapat mengakibatkan perluasan lahan yang terbuka atau
sebaliknya pengurangan luasan penutupan lahan (land covering), sehingga tanah
tidak mampu menyerap air lebih banyak. Hal ini dapat meningkatkan laju limpasan
air permukaan (surface runoff) semakin tinggi dan bila kondisi suatu daerah
pengaliran terdapat areal terbuka, maka akan mempercepat laju aliran permukaan
menuju sungai (Kodoatie dkk., 2002 dalam La Sarido, 2007).

Koefisien Aliran Permukaan (Run Off Coefficient)


Nilai prediksi Koefisien Limpasan Air (C) diperoleh dari perhitungan dengan
persamaan yang menggunakan faktor erodibilitas tanah yaitu dilihat dari jenis tanah
masing-masing Sub-sub DAS pada Sub DAS Karang Mumus, kemiringan lahan
yang dilihat di peta kelerengan pada Sub DAS Karang Mumus dan faktor
penggunaan lahan yang berupa tipe penutupan lahan. Maka dihasilkan Nilai
Koefisien Limpasan seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Perubahan Nilai Koefisien Limpasan Air (%) pada DAS Karang Mumus

Tahun 2002 Tahun 2006 Perubahan


Sub DAS
Nilai C (%) Nilai C (%) (%)
Karang Mumus Hilir 69,38 71,02 1,64
Jayamulya 67,52 68,97 1,45
Siring 68,45 70,15 1,70
Lantung 68,89 69,47 0,58
Karang Mumus Hulu 64,17 66,02 1,85
Betapus 65,12 66,02 0,90
Muang 66,65 68,17 1,52
Pampang 67,63 68,99 1,36

Sub-sub DAS Karang Mumus Hilir memiliki Nilai Koefisien yang paling tinggi
yaitu pada tahun 2002 sebesar 69,38% dan tahun 2006 mencapai 71,02%.
Peningkatannya sebesar 1,64%. Hal ini menunjukkan tingginya persentase peralihan
fungsi lahan pertanian dan perkebunan yang berubah menjadi areal pemukiman dan
lahan terbuka. Sub DAS Karang Mumus Hilir adalah paling luas pada areal
permukiman di antara sub DAS lainnya. Begitu juga dengan Karang Mumus Hulu
yang dulunya belum terdapat permukiman namun pada tahun 2006 telah ditemukan
penyebaran lahan terbuka dan pemukiman sehingga peningkatan Nilai Koefisiennya
paling besar yaitu 1,85%.
Selain faktor perubahan lahan tersebut, Nilai Koefisien Limpasan dapat
dipengaruhi oleh erodibilitas tanah dan faktor kemiringan lahan. Semakin tinggi
nilai erodibilitas tanah dan semakin curam kemiringan lahan, maka Nilai Koefisien
Limpasan air makin tinggi.
86 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa Sub-sub DAS Karang Mumus Hilir
memiliki Nilai Koefisien Limpasan yang paling tinggi, hal ini karena luas lahan
terbuka dan pemukiman pada Sub-sub DAS tersebut relatif tinggi. Pada tahun 2006,
Sub-sub DAS Karang Mumus Hulu dan Betapus memiliki Nilai Koefisien Limpasan
sebesar 66,02%. Terlihat bahwa perubahan tata guna lahan menjadi pemukiman dan
lahan terbuka relatif rendah dan masih banyaknya areal semak dan belukar pada
Sub-sub DAS ini. Namun lain halnya pada Sub-sub DAS Lantung memiliki
Koefisien Limpasan 69,47% dengan luas lahan terbuka dan pemukiman sebesar
46,13 ha. Koefisien Limpasan pada Lantung cukup besar, meskipun persentase
lahan terbuka dan pemukiman lebih kecil dibandingkan Karang Mumus Hulu dan
Betapus. Hal ini menunjukkan, bahwa tidak hanya faktor penutupan lahan saja yang
mempengaruhi C, namun faktor kemiringan lahan, jenis tanah dan luas dari Sub-sub
DAS juga dapat mempengaruhi besarnya C dan Q. Demikian halnya dengan Sub-
sub DAS Siring, pada tahun 2006 memiliki Nilai Koefisien Limpasan (70,15%)
lebih besar dibandingkan Sub-sub DAS Lantung (69,47%). Sementara luas lahan
terbuka dan pemukiman masing-masing sebesar 292,42 ha dan 145,61 ha dan
didukung dengan faktor kemiringan lahan yang curam seluas 13,33%.

Debit Limpasan Air Sungai


Perhitungan debit banjir rancangan Nakayasu diperoleh dari persamaan-
persamaan pada metode penelitian dan memasukkan Nilai Koefisien Limpasan,
distribusi curah hujan maksimum, luas dari tiap Sub-sub DAS Karang Mumus dan
panjang sungai utama pada setiap Sub-sub DAS. Untuk panjang sungai utama (L)
dan luas Sub-sub DAS didapatkan dari pengolahan peta jaringan sungai dan peta
luas Sub-sub DAS Karang Mumus yang merupakan hasil digitasi dengan
menggunakan Arcview GIS 3,3. Hasil perhitungan debit banjir rancangan Nakayasu
dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Analisis Debit Banjir Rancangan Nakayasu Tahun 2002 dan 2006

Sub DAS Q banjir tahun 2002 (m³/dt) Q banjir tahun 2006 (m³/dt)
Pampang 233,308 236,139
Karang Mumus Hulu 222,086 227,753
Lantung 72,845 72,845
Siring 87,415 88,787
Jayamulya 93,937 94,718
Betapus 100,007 100,919
Muang 93,317 94,102
Karang Mumus Hilir 264,784 274,667

Hasil dari perhitungan terlihat adanya peningkatan debit banjir setiap tahunnya.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh perubahan pola penggunaan lahan terhadap
Koefisien Limpasan permukaan yang menjadikan Q maksimum (debit maksimum)
semakin besar. Dari perubahan pola penggunaan lahan dihasilkan prediksi debit
banjir (Q maksimum) dari tahun 2002 sampai 2006 mengalami peningkatan. Bila
suatu DAS mengalami perubahan debit dari tahun ke tahun semakin besar, maka
Puspitahati (2009). Debit Limpasan Air Sungai 87

merupakan indikasi bahwa kondisi DAS tersebut terganggu (Asdak, 1995).


Disimpulkan bahwa pada Sub-sub DAS Karang Mumus memiliki nilai C tinggi,
luas lahan yang besar dan jaringan sungai yang lebih panjang, maka terjadi Q
banjir yang lebih besar dan sebaliknya. Pada tahun 2002 dan 2006 di Sub-sub DAS
Karang Mumus Hilir terjadi Q banjir paling tinggi di antara Sub-sub DAS yang lain.
Q banjir (2 tahun) Sub-sub DAS Karang Mumus Hilir mengalami perubahan sebesar
9,883 m³/detik, di Karang Mumus Hulu juga mengalami peningkatan yang cukup
besar yaitu 5,667 m³/detik dari tahun 2002 sampai tahun 2006.
Sementara Q banjir pada Sub-sub DAS Lantung merupakan nilai Q banjir
terkecil dibandingkan dengan lainnya yang disebabkan oleh pengaruh luas lahan
yang lebih kecil, jaringan sungai yang lebih pendek dan nilai C yang dipengaruhi
penutupan lahan di Sub-sub DAS tersebut. Kondisi penutupan lahan pada Lantung
masih banyaknya keberadaan semak. Bila air hujan jatuh akan terinfiltrasi dan
diserap oleh semak sehingga nilai C di Sub-sub DAS ini lebih kecil.

Kapasitas Tampung Saluran dan Waduk


Untuk menduga kesesuaian hasil prediksi Q maksimum (Q banjir) dengan
kapasitas tampung saluran sungai pada Sub DAS Karang Mumus digunakan asumsi-
asumsi. Di antaranya yaitu diasumsikan bahwa air yang mengalir dari Q inlet ke Q
outlet bersifat mengalir secara tetap (steady flow). Diasumsikan dengan curah hujan
maksimum dan intensitas sedang selama 1 hari. Pada tahun 2002 diketahui jumlah
debit banjir rancangan (2 tahun) pada Sub DAS Karang Mumus sebesar 1167,699
m3/detik. Q banjir ini dihitung 60 detik x 60 menit x 24 jam. Maka dalam 1 hari
volume yang dihasilkan sebesar 100.889.194 m3. Sementara pada tahun 2006
diketahui jumlah debit banjir rancangan (2 tahun) di Sub DAS Karang Mumus
sebesar 1189,93 m3/detik. Q banjir ini dihitung 60 detik x 60 menit x 24 jam. Maka
dalam 1 hari volume yang dihasilkan sebesar 102.809.952 m3, sedangkan kapasitas
tampung saluran pada Sub DAS Karang Mumus sebesar 18.949.861 m3, sehingga
dari perhitungan di atas maka dapat dihasilkan kelebihan volume air yang terjadi
pada tahun 2002 sebesar 81.939.332 m3 dan pada tahun 2006 meningkat sebesar
83.860.091 m3 yang harus ditampung saluran sungai dan waduk. Gambaran
perbandingan antara volume air dalam saluran dan kapasitas tampungan sungai
disajikan pada Gambar 1.
Dari hasil prediksi di atas, diketahui bahwa volume air yang tidak dapat
ditampung tersebut disebabkan beberapa faktor, di antaranya lama dan intensitas
hujan tinggi, permeabilitas tanah rendah, sehingga infiltrasi yang terjadi rendah,
meluapnya air sungai karena kemiringan dasar saluran kecil dan kapasitas aliran
sungai tidak memadai. Hal ini dikarenakan sedimentasi, penyempitan dan
pendangkalan alur sungai, sehingga menyebabkan aliran air terganggu yang
berakibat pada naiknya muka air di hulu, sehingga daerah di sekitarnya termasuk
dalam klasifikasi daerah rawan banjir.
88 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009

Gambar 1. Perbandingan Antara Volume Air Dalam Saluran dan Kapasitas Tampungan Sungai
pada Tahun 2007

Upaya-upaya Pengendalian dan Penanggulangan Banjir di Sub DAS


Karang Mumus
Berdasarkan permasalahan banjir di Kota Samarinda, maka sebagai alternatif
untuk mengatasinya antara lain sebagai berikut:
a. Pembersihan parit dan saluran-saluran sungai dengan mengangkat sampah dan
sedimentasi yang ada, untuk parit kecil di belakang rumah dilakukan dengan
gotong royong. Untuk Sungai Karang Mumus dilakukan normalisasi sungai.
b. Memindahkan tiang listrik, tiang telepon dan pipa-pipa PDAM yang berada di
dalam saluran air.
c. Membuat perencanaan Master Plan Drainase Kota dan perencanaan-
perencanaan lainnya.
d. Mengurangi dan mengatur debit air yang masuk ke dalam Sub DAS dengan cara
menampung sementara laju air menggunakan sistem polder, retarding basin dan
peningkatan kapasitas waduk yang sudah ada.
e. Membuat perencanaan kolam-kolam penampungan untuk mengatasi banjir
kiriman.
f. Membuat perencanaan pintu air, pompa stations untuk mengatasi pengaruh
pasang surut.
g. Penertiban tata guna lahan yang sesuai dengan tata ruang.
h. Penegakan hukum melalui unit pengaman daerah aliran sungai yang konsisten
terhadap RTRW.
Puspitahati (2009). Debit Limpasan Air Sungai 89

Hal-hal yang perlu dipertahankan:


a. Perlu adanya kebijakan tentang peruntukan dan fungsi Sungai Karang Mumus.
b. Perlunya peninjauan secara menyeluruh terhadap DPS Karang Mumus untuk
keperluan konservasi dan penanggulangan banjir khususnya untuk Kota
Samarinda.
c. Perlunya melihat kembali RTRW Kota Samarinda, untuk mengantisipasi
pesatnya Kota Samarinda.
d. Perlunya inventarisasi dan penataan sistem drainase kota.
e. Peran serta dan keterlibatan masyarakat untuk masalah yang sedang dan sering
melanda Kota Samarinda khususnya banjir.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Perubahan tata guna lahan di Sub DAS Karang Mumus pada tahun 2002 dan
2006 menunjukkan bahwa lahan belukar, kebun campuran, rawa dan semak
mengalami penurunan luas lahan sebesar 8,95%, 8,87%, 0,17% dan 2,40%.
Perubahan yang paling besar terjadi pada pemukiman yaitu mencapai 9,01 %, lahan
terbuka 5% dan kebun 4%.
Pada tahun 2002 menunjukkan bahwa Sub-sub DAS Karang Mumus Hulu
memiliki Nilai Koefisien Limpasan yang paling rendah yaitu 64,17% dan pada tahun
2006 menunjukkan Sub-sub DAS Karang Mumus Hulu dan Sub-sub DAS Betapus
memiliki Nilai Koefisien Limpasan paling rendah yaitu 66,02%. Hal ini disebabkan
oleh keberadaan semak dan belukar yang masih mendominasi pada Sub-sub DAS
ini.
Pada tahun 2002 menunjukkan bahwa Sub-sub DAS Karang Mumus Hilir
memiliki Nilai Koefisien Limpasan yang paling tinggi yaitu 69,38% di antara Sub-
sub DAS yang lain dan pada tahun 2006 Nilai Koefisien Limpasan Sub-sub DAS
Karang Mumus Hilir sebesar 71,02%. Hal ini disebabkan oleh perluasan areal
pemukiman dan lahan terbuka, sehingga Sub-sub DAS ini yang paling beresiko
terkena bencana banjir.
Hasil perhitungan dengan hidrograf Nakayasu didapatkan nilai debit banjir
rancangan (2 tahun) pada tahun 2002 yang paling tinggi adalah pada Sub-sub DAS
Karang Mumus Hilir sebesar 264,784 m3/detik dan paling rendah pada Sub-sub
DAS Lantung sebesar 72,845 m3/detik, sedangkan pada tahun 2006 nilai debit yang
paling tinggi pada Sub-sub DAS Karang Mumus Hilir sebesar 274,667 m3/detik dan
paling rendah pada Sub-sub DAS Lantung sebesar 72,845 m3/detik.
Hasil prediksi nilai total kapasitas saluran sungai sebesar 18.949.861 m3. Total
volume yang dihasilkan oleh debit maksimum pada tahun 2002 sebesar 100.889.194
m3 dan pada tahun 2006 sebesar 102.809.952 m3. Kelebihan volume air yang terjadi
pada tahun 2002 sebesar 81.939.332 m3 dan pada tahun 2006 meningkat sebesar
83.860.091 m3 yang harus ditampung saluran sungai dan waduk.

Saran
Perlu pengaturan dan pengendalian penggunaan lahan di Sub DAS Karang
Mumus untuk mengendalikan perluasan lahan terbuka. Perlu dilakukan normalisasi
90 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009

alur sungai-sungai dengan menata ulang kawasan di sepanjang bantaran sungai,


sehingga diharapkan dapat menampung kemungkinan terjadinya debit limpasan
maksimum dan kemungkinan terjadinya banjir.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan/acuan bagi instansi-instansi
terkait dalam penanggulangan banjir pada Sub DAS Karang Mumus.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kajian kesesuaian debit limpasan
air sungai dengan kapasitas tampung saluran air pada Sub DAS Karang Mumus.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001. Pedoman Perencanaan Sumberdaya Air Wilayah Sungai. Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah. Direktorat Jenderal Sumberdaya Air.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Handayani, W. 2002. Model Karakteristik Hidrologi dan Simulasi Pola Penggunaan Lahan
pada Sub DAS Karang Mumus Samarinda Kalimantan Timur. Tesis Magister Program
Studi Ilmu Kehutanan, Program Pascasarjana Unmul, Samarinda.
Kurniawan. 2003. Perubahan Spasial Debit Limpasan Air Sungai dan Sedimen dari
Bendungan Benanga s/d Jembatan I di Sungai Karang Mumus, Kota Samarinda. Skripsi
Sarjana Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda.
La Sarido. 2007. Studi tentang Debit Banjir, Rancangan dan Kawasan Genangan pada DAS
Sengata di Wilayah Kabupaten Kutai Timur. Tesis Magister Program Studi Ilmu
Kehutanan, Program Pascasarjana Unmul, Samarinda.
Mallisa, R.B. 1999. Studi tentang Kondisi Daur Hidrologi dan Tingkat Bahaya Erosi di
Wilayah Sub DAS Karang Mumus. Skripsi Sarjana Fakultas Kehutanan Unmul,
Samarinda.

You might also like