You are on page 1of 12

Penelitian Hasil Hutan Vol. 33 No.

1, Maret 2015: 69-80


ISSN: 0216-4329 Terakreditasi
No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012

PENGARUH PERLAKUAN DELIGNIFIKASI TERHADAP HIDROLISIS


SELULOSA DAN PRODUKSI ETANOL DARI LIMBAH
BERLIGNOSELULOSA
(The Effects of Delignification Treatments on Cellulose Hydrolysis and Ethanol
Production from Lignocellulosic Wastes)
1 1
Luciasih Agustini & Lisna Efiyanti
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Jl. Gunung Batu 5 Po Box 165; Telp. 0251-8633234, 7520067; Fax. 0251-8638111
e-mail: luci_agustini@forda-mof.org, luciagustini@yahoo.com, lisnaefiyanti@yahoo.com
Diterima 2 Desember 2013, Disetujui 16 Februari 2015

ABSTRACT
Delignification signifies as the crucial stages in converting lignocelluloses into ethanol. It affects further hydrolysis and
fermentation processes. This paper looks into the effects of three different delignification processes (physical-, chemical-, and
biological- treatments) of lignocellulosic biomass (i.e sawdusts of sengon and oil-palm petioles) on cellulose hydrolysis and
fermentation. Physically, biomass was pressurized in autoclave which has been set for 121°C, 1 atm for 30 minutes.
Chemically, 1% H2SO4 was added during pressurized process. Biologically, pressurized biomass was inoculated using
microorganism MD-14 FB.1 obtained from INTROF-CC collection For the control, biomass stuffs without chemical,
physical, and biological treatments, sustained the hydrolysis/fermentat ion process as well. Delignification properties with
regard to a-cellulose, lignin, hemicellulose contents in the treated as well as control biomass were examined according to the
ASTM procedures. The amount of glucose exhibited from cellulose hydrolysis was determined by 3,5-dinitrosalicylic acid
method, while the ethanol content was determined by potassium dichromate method. Results show that in general, chemical
delignification is more effective than physical and biological treatments. It shows greater yield of lignin decomposition and
sugar liberation in hydrolysis. Chemical delignification treatment produced about 0.0022 - 0.4046% ethanol from the
substrate fermentation. The enzyme produced from the isolationhas not significantly optimized the ethanol fermentation.
Further research is needed in finding the compatibility between lignocellulose biomass and enzymes which were developed
from microbe isolates.
Keywords: Bioconversion, bioethanol, delignification, enzymes, fermentation

ABSTRAK
Delignifikasi merupakan salah satu perlakuan yang berpengaruh terhadap biokonversi biomasa
berlignoselulosa menjadi etanol, karena delignifikasi berpengaruh terhadap proses hidrolisis dan
fermentasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan delignifikasi secara fisika,
kimia dan biologi dari limbah kayu sengon dan pelepah daun kelapa sawit terhadap proses hidrolisis
dan fermentasi. Secara fisis, proses delignifikasi dilakukan dengan memasukkan biomasa ke dalam
autoklaf dengan suhu 121°C, tekanan 1 atm selama 30 minutes. Secara kimia, larutan H2SO4 1%
ditambahkan selama proses di dalam autoklaf. Secara biologi, biomass yang telah diperlakukan
dalam autoklaf diinokulasi dengan mikroorganisma MD-14 FB.1 yang diperoleh dari koleksi INTROF-
CC. Pengujian komposisi lignin, α-selulosa, dan hemiselulosa dilakukan berdasarkan standar pengujian
yang telah ditetapkan oleh ASTM. Kadar glukosa yang terbentuk dari hidrolisis selulosa dengan
ditentukan dengan metode asam 3,5-dinitrosalisilat. Kadar etanol pada akhir proses fermentasi
ditentukan dengan metode potassium dikromat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas
delignifikasi dan hidrolisis sampel dengan perlakuan kimiawi lebih optimal dibandingkan perlakuan
69
Penelitian Hasil Hutan Vol. 33 No. 1, Maret 2015: 69-80

lainnya, dan menghasilkan kadar etanol antara 0,0022 - 0,4046 % (v/v), dengan kadar tertinggi
dihasilkan dari sampel yang menggunakan enzim hidrolisis komersial. Enzim yang dihasilkan oleh
isolat-isolat yang digunakan pada percobaan ini belum dapat mengoptimalkan proses fermentasi etanol
dari lignoselulosa sengon dan pelepah daun kelapa sawit. Penelitian untuk mencari isolat yang lebih
potensial dan optimasi proses produksi bioethanol masih perlu dilanjutkan.
Kata kunci: Biokonversi, bioetanol, delignifikasi, enzim, fermentasi

I. PENDAHULUAN senyawa polisakarida (selulosa dan hemiselulosa)


yang dapat diuraikan menjadi senyawa gula dan
Di tengah isu dampak perubahan iklim karena dapat difermentasi menjadi etanol. Namun,
meningkatnya efek gas rumah kaca, serta semakin mengingat senyawa polisakarida pada biomasa ini
terbatasnya pasokan bahan bakar fosil, upaya tercampur dengan senyawa lignin, maka
untuk mencari sumber energi alternatif dan delignifikasi (proses penguraian lignin)
terbarukan menjadi program yang gencar merupakan proses yang penting dalam proses
dilaksanakan oleh beberapa negara sejak beberapa pengubahan biomasa berlignoselulosa menjadi
dekade terakhir. Salah satu sumber tersebut adalah etanol.Proses ini berperan dalam meningkatkan
bahan berkarbon untuk produksi bioetanol. aksesibilitas enzim selulase dan hemiselulase
Penggunaan etanol sebagai campuran bahan dalam menghidrolisis komponen selulosa dan
bakar kendaraan bermotor dapat mengurangi hemiselulosa (Rosgaard et al., 2007; Wan dan Li,
konsumsi bahan bakar fosil dan menurunkan 2012).
emisi gas rumah kaca (Sun dan Cheng, 2002). Pe n e l i t i a n y a n g m e n j a j a k i b i o m a s a
Penggunaan bioetanol sebagai sumber energi berlignoselulosa sebagai bahan baku bioetanol
alternatif telah mulai diterapkan di beberapa telah banyak dilakukan (Kim dan Dale, 2004; Wati
negara, seperti: Amerika Serikat, Canada, Brasil, et al., 2007; Buaban et al., 2010; Erdei et al., 2010),
Kolombia, Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, namun studi yang menelaah peran delignifikasi
Belanda, Belgia, Tiongkok, India, Thailand, dalam biokonversi limbah berlignoselulosa
Malaysia, dan Philipina (Walter et al., 2008). menjadi etanol masih terbatas. Oleh karena itu,
Amerika Serikat, yang terutama menggunakan sebagai kontribusi terhadap kemungkinan dan
bahan biomassa berupa jagung, dan Brasil, yang peluang pemanfaatan limbah lignoselulosa
menggunakan tebu, sebagai bahan baku untuk sebagai sumber energi alternatif, penelitian ini
produksi etanol, pada tahun 2007 dapat berupaya untuk mengetahui peran delignifikasi
memproduksi 49,6% dan 38,3% dari total terhadap proses hidrolisis dan fermentasi sebagai
produksi bio-etanol dunia (Li et al., 2009). suatu rangkaian proses dalam menghasilkan
Penggunaan biomasa jagung, tebu, ataupun bioetanol dari limbah biomasa berlignoselulosa.
komoditi lain yang mengandung gula atau pati Jenis limbah lignoselulosa yang digunakan
sebagai bahan baku etanol (bioetanol generasi I) pada penelitian ini adalah serbuk gergaji kayu
menjadi dilema, mengingat jenis-jenis tersebut sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) dan
merupakan komoditi pangan. Kompetisi pelepah daun kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.).
penggunaan bahan baku untuk keperluan pangan Kedua jenis biomasa ini dipilih terkait dengan
dan produksi etanol ini dapat menyebabkan kelimpahan dan kemudahan untuk
tingginya biaya produksi bioetanol dan memperolehnya. Sengon merupakan jenis
kelangkaan sumber pangan. Oleh karena itu, tanaman primadona yang ditanam di areal hutan
penggunaan bahan biomasa lain berupa limbah rakyat karena termasuk pohon yang cepat tumbuh
biomasa berlignoselulosa dari kegiatan produksi dan banyak digunakan oleh industri pengolahan
atau industri kehutanan, pertanian dan kayu terutama di pulau Jawa (Munawar, 2010).
perkebunan sebagai bahan baku produksi Pemanfaatannya pun beragam, seperti untuk
bioetanol menjadi fokus pengembangan bahan konstruksi ringan, kemasan, bahan baku
teknologi produksi bioetanol generasi II, karena triplex, kayu lapis, papan partikel, papan blok, alat
pada biomasa berlignoselulosa ini terdapat musik, korek api, dll. (Krisnawati et al., 2011).

70
Pengaruh Perlakuan Delignifikasi Terhadap Hidrolisis Selulosa dan Produksi Etanol dari Limbah Berlignoselulosa
(Luciasih Agustini & Lisna Efiyanti)

Usaha pemanfaatan kayu HTI sengon melibatkan CMC (carboxymethylcellulose sodium salt), xylan,
penebangan, penggergajian dan pemotongan KNaC4H4O6.4H2O (Na-K tartarate), fenol, asam
sehingga dihasilkan limbah dalam jumlah besar, sitrat monohidrat, buffer asetat, buffer fosfat, 3,5-
diantaranya adalah serbuk gergaji. Selanjutnya, dinitrosalicyclic acid (DNS), glukosa, xylosa, ethanol
pelepah daun sawit yang juga sebagai sumber absolute , aquades, dan potassium dichromate .
lignoselulosa, merupakan hasil samping, bahkan Peralatan yang digunakan adalah: tabung reaksi,
seringkali dianggap sebagai sampah/limbah dari tabung Falcon, cawan petri, centrifuge, cuvet, labu
proses pemeliharaan dam pemanenan pohon Erlenmeyer, gelas ukur, gelas beaker, timbangan
kelapa sawit (Intara dan Dyah, 2012). Dikaitkan analitik, autoclave, laminar air flow cabinet, syringe filter
dengan luasan perkebunan kelapa sawit Indonesia dengan ukuran pori-pori 0,20 μm, pipet & tips
yang begitu luas, maka pelepah sawit sangat nya, shaker rotator serta UV-Vis spektrofotometer
potensial digunakan sebagai bahan baku SHIMADZU.
pembuatan bioetanol generasi II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui B. Metode Penelitian
pengaruh perlakuan delignifikasi secara fisika,
kimia dan biologi dari limbah kayu sengon dan Dua macam substrat lignoselulosa itu, adalah:
pelepah daun kelapa sawit terhadap proses (1) serbuk gergaji kayu sengon, dan (2) pelepah
hidrolisis dan fermentasi dengan memanfaatkan daun kelapa sawit. Empat macam perlakuan
beberapa isolat mikroorganisme lignoselulolitik delignifikasi, yaitu: (K0) Kontrol; (P1) delignifikasi
koleksi INTROFCC (Indonesian Tropical Forest secara fisis; (P2) delignifikasi secara kimia; dan (P3)
Culture Collection) Puslitbang Konservasi & delignifikasi secara biologismenggunakan isolat
Rehabilitasi di Bogor. Kadar glukosa yang fungi MD-14 FB.1. Sesudah delignifikasi
dihasilkan pada tahap hidrolisis dan kadar etanol dilakukan proses proses hidrolisis selulosa dan
yang dihasilkan pada akhir tahap fermentasi hemiselulosa menjadi gula sederhana. Sebagai
menjadi faktor penentu dalam membandingkan sumber enzim untuk hidrolisis tersebut adalah
pengaruh ketiga macam perlakuan delignifikasi supernatan dari kultur cair isolat bakteri (E1) LR-
tersebut. 15 T.8 dan (E 2 ) TG-02 S.9, yang akan
dibandingkan dengan (E3) enzim selulase dan
hemiselulase komplek C2605 dan H2125 (Sigma-
II. BAHAN DAN METODE Aldrich) yang berasal dari Aspergillus sp. Kultur
yeast CT26A.1 koleksi INTROF-CC, yang
A. Bahan dan Alat Penelitian menunjukkan kemampuan dapat mengubah
glukosa menjadi etanol sebagai agen fermentasi,
Sampel biomasa berlignoselulosa yang ditambahkan pada setiap perlakuan (sesudah
digunakan pada penelitian ini adalah limbah tahapan delignifikasi dan hidrolisis). Isolat-isolat
serbuk gergaji kayu sengon (Paraserianthes falcataria mikroorganisme tersebut yang digunakan pada
L. Nielsen) dan pelepah daun kelapa sawit (Elaeis penelitian ini telah terkarakterisasi potensinya
guineensis Jacq.) yang diperoleh dari penggergajian untuk digunakan pada tahap delignifikasi (MD-14
kayu dan perkebunan kelapa sawit milik FB.1), hidrolisis (LR-15 T.8 dan TG-02 S.9) dan
masyarakat di sekitar Kecamatan Jasinga, fer mentasi (CT26A.1) berdasarkan uji
Kabupaten Bogor. Isolat mikroorganisme yang pendahuluan (data tidak dipublikasikan).
digunakan dalam penelitian ini adalah
m i k r o o r g a n i s m e ko l e k s i I N T RO F - C C 1. Uji delignifikasi
diantaranya isolat fungi MD14 FB.1 yang Delignifikasi adalah suatu proses mengubah
digunakan pada tahap delignifikasi secara biologis, struktur kimia biomasa berlignoselulosa dengan
bakteri LR-18 T.8 dan TG-02 S.9 yang menjadi tujuan mendegradasi lignin secara selektif
sumber enzim hidrolisis dan isolate yeast CT26A.1 sehingga menguraikan ikatan kimianya baik secara
yang berfungsi sebagai agen fermentasi.Adapun ikatan kovalen, ikatan hidrogen maupun ikatan
bahan-bahan kimia yang diperlukan, yaitu: media van der waalls, dengan komponen kimia lain pada
NB (Nutrient Broth), yeast ekstrak, enzim selulase bahan berlignoselulosa (selulosa dan
C2605 dan hemiselulase H2125 (Sigma-Aldrich), hemiselulosa), dan diusahakan komponen lain

71
Penelitian Hasil Hutan Vol. 33 No. 1, Maret 2015: 69-80

tersebut tetap utuh. Proses delignifikasi bisa hidrolisis tersebut berlangsung dengan bantuan
dilakukan secara panas (thermal), kimia dan katalis kimia (asam mineral) atau biokatalis (enzim
biologis. Dengan demikian, substrat selulosa dan selulosa).
hemiselulosa yang tersisa akan lebih mudah Lima gram biomassa sengon dan pelepah daun
diakses oleh enzim pengurai termasuk enzim kelapa sawit (yang masing-masing sudah diketahui
hidrolisis (Sun dan Cheng, 2012; Rosgaard et al., berat kering ovennya), baik yang telah diberi
2009). perlakuan delignifikasi (P1, P2, P3) maupun control
Serbuk gergaji kayu sengon dan pelepah daun (K0), masing-masing disuspensikan ke dalam 100
kelapa sawit masing-masing dicuci dan ml larutan penyangga (buffer) asetat pH 4 dalam
dikeringkan, jika hasilnya masih berukuran besar, labu Erlenmeyer 500ml. Lalu ditambahkan 50 ml
dicacah dan digiling terlebih dahulu, kemudian supernatan kultur bakteri LR-15 T.8 (E1) atau TG-
diayak dengan ukuran mesh 40/60 (lolos 40 mesh, 02 S.9 (E2) atau 10% larutan enzim selulase
tertahan di 60 mesh). Biomassa tersebut disiapkan kompleks Sigma-aldrich C2605 (E3), kemudian
untuk tiga macam perlakuan delignifikasi (P1, P2 diinkubasi 1 minggu pada suhu ruang di atas shaker
dan P3) dan satu control (K0). Untuk kontrol (K0): rotator dengan kecepatan 125 rpm, agar proses
spesimen biomassa tanpa perlakuan apapun; hidrolisis berlangsung terlebih dahulu. Untuk
sedangkan perlakuan pertama (P1): spesimen menentukan adanya aktivitas hidrolisis selulosa
didelignifikasi secara Fisis , yaitu biomasa menjadi glukosa, 5 ml supernatan dari kultur set
disterilkan 121°C, 1 Atm, 30 menit dalam autoclave; percobaan diambil, lalu direaksikan dengan 5 ml
pada perlakuan ke-2 (P2) biomasa didelignifikasi larutan DNS kemudian dipanaskan dalam air
secara Kimia, yaitu biomasa disterilkan dalam mendidih selama lima menit. Setelah didinginkan
autoclave dengan penambahan 1% H2SO4 (Mutreja dan mencapai suhu ruangan, 1 ml larutan
et al. 2011); dan perlakuan ke-3 (P3) delignifikasi KNaC4H4O6.4H2O (potassium sodium tartate) 40%
Biologis , biomasa setelah disterilkan dan ditambahkan untuk menstabilkan warna.
didinginkan, lalu diinokulasi dengan isolat MD-14 Selanjutnya, larutan supernatant tersebut diukur
FB.1 dan diinkubasi selama 2 minggu. Seluruh absorbansinya pada 540 nm (Sangkharak et al.,
hasil perlakuan delignifikasi dan kontrol kemudian 2011). Kurva standar glukosa dibuat dengan
dipisahkan untuk analisa komposisinya yaitu mengukur absorbasi larutan glukosa (konsentrasi
kadar lignin, selulosa dan hemiselulosa; dan berkisar 0-1,5 mg/ml; dengan interval konsentrasi
dilakukan uji coba produksi etanol. Sebelum 0,125 mg/ml) yang diperlakukan sama sesuai
dianalisa, spesimen hasil perlakuan P1, P2 dan P3 dengan metode di atas. Jumlah gula tereduksi
perlu dikeringkan dalam oven 50°C selama 2-3 dihitung dengan mengacu pada kurva standar
hari karena menjadi sedikit basah setelah yang diperoleh.
perlakuan. Kadar lignin ditentukan dengan b. Proses fermentasi
metode TAPPI T13m-45 ASTM; selulosa Fermentasi untuk kaitan ini adalah suatu proses
ditentukan dengan metode ASTM 1103-60 tahun mendegradasi senyawa glukosa atau heksosa lain
1977. Hemiselulosa ditentukan dengan (C6H12O6) dalam keadaan tanpa oksigen (O2) atau
menganalisa kadar holoselulosa terlebih dahulu. oksigen terbatas menjadi senyawa lebih sederhana
Holoselulosa dianalisa dengan metode ASTM yaitu alkohol (C2H5OH) dan CO2. Proses tersebut
1104-56 tahun 1978. Kadar hemiselulosa berlangsung dengan bantuan organisme seperti
diperoleh dari pengurangan kadar holoselulosa ragi atau agen fermentasi lain yaitu pada
oleh kadar selulosa. percobaan ini adalah isolat CT26A.1.
2. Produksi etanol dengan metode simultaneous Sebelum digunakan sebagai agen fermentasi
saccharification and fermentation (SSF) termodifikasi pada perangkat percobaan (P1, P2, P3, K0), isolat
a. Proses hidrolisis Candida fermentati CT26A.1 ditumbuhkan pada
Proses hidrolisis untuk kasus ini adalah medium pengayaan, yaitu: medium GYE (glukosa
mendepolimerisasi selulosa, pati dan hemiselulosa + yeast ekstrak) selama 48 jam pada suhu ruang
melalui reaksi dengan air (H2O) menjadi senyawa di atas shaker rotator dengan kecepatan 125 rpm.
sederhana (glukosa dan monomer lain). Proses Proses fermentasi diinisiasi dengan memasukkan
50 ml suspensi yeast ini dimasukkan ke dalam labu

72
Pengaruh Perlakuan Delignifikasi Terhadap Hidrolisis Selulosa dan Produksi Etanol dari Limbah Berlignoselulosa
(Luciasih Agustini & Lisna Efiyanti)

Erlenmeyer yang masing-masing telah berisi (2x4x3) dilakukan ulangan sebanyak 3 kali. Jika
suspensi campuran biomassa (hasil delignifikasi) pengaruh faktor tersebut nyata baik secara
+ E1, campuran biomasa+ E2 dan campuran tunggal atau secara interaksi, telaahan lebih lanjut
biomasa + E3 secara terpisah. Perangkat dilakukan dengan uji Tukey. Penerapan RAL dan
percobaan ini masing-masing diinkubasi pada uji Tukey dibantu dengan software ASSISTAT 7.6
suhu ruang dan dikocok di atas shaker rotator Beta ® 2011.
dengan kecepatan 125 rpm, selama 10 hari (sesuai
dengan data seleksi dan optimasi tahap fermentasi
pada uji pendahuluan data tidak dipublikasikan). III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Lalu kultur disentrifugasi dengan kecepatan
3600g, 30 menit, kemudian supernatan disaring A. Delignifikasi dan Pengaruhnya terhadap
dengan menggunakan syringe filter dengan ukuran Proses Hidrolisis Selulosa
pori-pori 0,2 μm. Dalam penelitian ini, perlakuan delignifikasi,
Kadar etanol diestimasi dengan mengambil baik pada limbah serbuk kayu sengon maupun
8 ml supernatan kultur hasil fermentasi ke dalam pelepah daun kelapa sawit, telah menurunkan
tabung Falcon 15 ml, lalu ditambah dengan 4 ml kadar lignin sekitar 5 - 35% dibandingkan dengan
larutan potassium dichromate, dan dipanaskan selama kontrol (Gambar 1 dan 2). Perlakuan secara kimia
10 menit dalam waterbath berisi air mendidih. (menggunakan H2SO4 1%, Mutreja et al., 2011)
Selama proses pemanasan, etanol bereaksi dengan menunjukkan penurunan kadar lignin yang paling
potassium dichromate menjadi senyawa asam, yang banyak, yaitu 35,1% pada biomasa serbuk kayu
menyebabkan perubahan warna dari oranye sengon dan 29,3% pada biomasa serbuk pelepah
manjadi hijau kebiru-biruan. Perubahan warna ini sawit.
diukur dengan spektrofotometer pada panjang Delignifikasi secara fisis dan biologis
gelombang (λ) 600 nM. Nilai absorbansi menurunkan kadar lignin pada serbuk kayu
dikonversi menjadi konsentrasi etanol dengan sengon sekitar 17 - 21% dan pada pelepah daun
mengacu pada kurva standar. Kurva standar kelapa sawit sekitar 5 - 6,5%. Adapun kadar
yang merupakan hubungan antara konsentrasi selulosa pada serbuk kayu sengon cenderung naik
etanol dengan nila absorbansi dibuat pada kisaran (2,4 - 23,9%) sedangkan pada pelepah daun kelapa
konsentrasi 0 - 25 % dengan interval 2,5% (Soe sawit delignifikasi fisis menyebabkan kadar
et al., 2009). selulosa turun 1,7% dibandingkan kontrol. Kadar
hemiselulosa turun pada semua perlakuan
C. Rancangan Percobaan dan Analisa Data pretreatment sekitar 8,3 - 52,7% dibandingkan
Untuk uji aktivitas enzim hidrolisis dan seleksi dengan kontrol (Gambar 1 dan 2).
yeast , konversi nilai absorbansi menjadi Meskipun sama-sama dapat menurunkan
konsentrasi glukosa tereduksi dan kadar etanol kadar lignin, perlakuan delignifikasi fisis dan
ditentukan dengan mengacu pada kurva standar biologis belum seefektif perlakuan kimia. Belum
terkait. Persamaan kurva standar untuk optimalnya perlakuan delignifikasi fisis
mengkonversi data absorbansi hasil percobaan menunjukkan bahwa pengkondisian sifat-sifat
menjadi konsentrasi glukosa atau ethanol dengan fisika, yaitu: pemanasan sampai 121°C pada
memplot pada persamaan-persamaan regresi tekanan 1 atmosfer selama 30 menit, bukan
linier tersebut dhitung dengan bantuan paket kondisi yang optimal untuk proses delignifikasi.
program Microsoft Excel ® 2007. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi
Penelaahan data produksi gula perduksi dan optimal untuk delignifikasi dengan memanipulasi
etanol menggunakan rancang acak lengkap (RAL) faktor fisika adalah pada temperatur 160 - 260°C
faktorial. Sebagai faktor-faktor masing-masing pada tekanan 0,69 - 4,83 MPa, yang setara dengan
adalah 2 macam biomasa lignoselulosa (yaitu 6,8 - 47,7 atm (Grous et al., 1986); 270°C selama
serbuk gergaji dan pelepah daun kelapa sawit), 4 1 menit atau 190°C selama 10 menit (Duff dan
macam perlakuan delignifikasi awal (P1, P2, P3, K0) Murray, 1996). Dengan demikian, dapat difahami
dan 3 macam sumber hidrolisis fermentasi (E1, E2, bahwa pengkondisian yang diterapkan dalam
E 3). Tiap taraf kombinasi ketiga faktor tersebut penelitian ini masih di bawah kondisi optimum.

73
Penelitian Hasil Hutan Vol. 33 No. 1, Maret 2015: 69-80

Lignin (Lignin) Selulosa (Cellulose) Hemiselulosa


(Hemicellulose)
Kontrol (Control) Perlakuan fisis (Physical treatment)
Perlakuan kimia (Chemical treatment) Perlakuan biologis (Biological treatment)

Gambar 1. Komponen kimia serbuk kayu sengon hasil perlakuan delignifikasi secara fisis,
1)
kimia dan biologis, dibandingkan dengan kontrol.
Figure 1. Chemical contents in Paraserianthes falcataria sawdust after physical-, chemical-
and biological-delignification, compared to those of the control.1)

Lignin (Lignin) Selulosa (Cellulose) Hemiselulosa


(Hemicellulose)

Kontrol (Control) Perlakuan fisis (Physical treatment)


Perlakuan kimia (Chemical treatment) Perlakuan biologis (Biological treatment)

Gambar 2. Komponen kimia serbuk pelepah sawit hasil perlakuan delignifikasi secara fisika,
2)
kimia dan biologi, dibandingkan dengan kontrol.
Figure 2. Chemical contents in oil palm petiole after physical-, chemical- and biological-
delignification, compared to those of the control.2)

1) Dalam 15 g berat kering kontrol serbuk kayu sengon mengandung 4,94 g lignin; 5,51 g selulosa; dan 3,85 g hemiselulosa
(inside 15 g of oven-dry sengon-wood sawdust were contained lignin, cellulose, and hemicellulose as much as 4.94, 5.51, and 3.85 g
respectively).
2) Dalam 15 g berat kering kontrol serbuk pelepah sawit mengandung 3,11g lignin; 6,10g selulosa; dan 4,57 g hemiselulosa
(inside 15 g of oven-dry oil palm petiole sawdust were contained lignin, cellulose, and hemicellulose as much as 3.11, 6.10 and 4.57 g
respectively).

74
Pengaruh Perlakuan Delignifikasi Terhadap Hidrolisis Selulosa dan Produksi Etanol dari Limbah Berlignoselulosa
(Luciasih Agustini & Lisna Efiyanti)

Penggunaan mikroorganisme, terutama jamur 2011). Ini disebabkan hemiselulosa merupakan


lapuk putih (white-rot fungi) untuk menguraikan senyawa karbohidrat penyusun sel bahan
lignin pada limbah berlignoselulosa telah banyak berlignoselulosa tetapi dengan derajat polimerisa-
dilaporkan (Schurz, 1978; Zimmermann, 1990). si yang lebih rendah daripada selulosa. Akibatnya
Fungi Pleurotus ostreatus digunakan untuk hemiselulosa sangat rentan terhadap suhu tinggi,
menguraikan lignin pada jerami gandum dengan asam dan basa dibandingkan selulosa. Lebih lanjut
waktu inkubasi 5 minggu (Hatakka, 1983) hemiselulosa merupakan polimer karbohidrat
sedangkan Akin et al. (1995) menggunakan fungi yang tersusun dari monomer heksosa (C6H12O)
Ceriperiopsis subvermispora dan Cyathus stercoreus dan monomr pentosa (C5H12O5). Degradasi heksosa
dengan waktu inkubasi 6 minggu. Proses (termasuk glukosa) tanpa oksigen meghasilkan
biodegradasi lignoselulosa dengan fungi-fungi ini etanol (produk utama) sedangkan hal serupa untuk
telah meningkatkan proses biodegradasi sekitar pentosa menghasilkan furfural (Prentti, 2006).
29 - 77 % (Akin et al., 1995). Dengan demikian, Perlakuan delignifikasi biomasa sengon, jika
kurang optimalnya proses biodegradasi lignin dihubungkan dengan proses hidrolisis, secara
dengan menggunakan isolat fungi MD-14 FB.1 - umum menyebabkan peningkatan kadar gula
yang hanya meningkatkan biodegradasi lignin tereduksi dibandingkan dengan kontrol (Gambar
17,7 % pada serbuk kayu sengon dan 5,1% pada 3). Biomasa sengon hasil perlakuan kimiawi,
serbuk pelapah sawit - dapat disebabkan oleh meskipun mengalami penurunan kadar selulosa
singkatnya waktu inkubasi (2 minggu), sehingga sejumlah 22,3% namun justru menghasilkan
jumlah lignin yang terurai belum optimal. kadar gula tereduksi paling tinggi untuk ketiga
Adapun perlakuan delignifikasi kimia, macam enzim hidrolisis (E1, E2 dan E3), yaitu
meskipun menunjukkan penurunan kadar lignin berkisar 1,65 - 2,45 mg/ml. kadar gula tereduksi
paling banyak, namun perlakuan ini tidak pada biomasa sengon hasil perlakuan delignifikasi
disarankan untuk diaplikasikan pada skala yang fisis dan biologis, relatif lebih rendah
lebih besar. Selain karena bersifat toksik dan dibandingkan perlakuan delignifikasi kimiawi,
korosif sehingga memerlukan desain reaktor dari meskipun relatif lebih tinggi daripada kontrol
material yang khusus, penggunaan larutan asam (Gambar 3).
yang disertai pemanasan dapat menginduksi Pengaruh perlakuan delignifikasi biomasa
terbentuknya senyawa inhibitor, seperti: furfural pelepah sawit terhadap proses hidrolisis lebih
(derivate dari xylosa), 5-hydroxymethyl furfural ber variasi. Delignifikasi secara kimia
(derivate senyawa C6) dan senyawa fenolik (derivate menghasilkan kadar gula tereduksi yang lebih
dari lignin) yang dapat menghambat kerja enzim rendah daripada kontrol, baik pada proses
selulase dan efektivitas fermentasi (Rosgaard et al., hidrolisis yang dikatalis oleh enzim E1, E2,
2007; Chaturvedi dan Verma, 2013). maupun E3. Delignifikasi fisis menghasilkan kadar
Pada penelitian ini, perlakuan delignifikasi gula tereduksi yang lebih tinggi daripada kontrol
cenderung berpengaruh terhadap peningkatan hanya diperoleh dari proses hidrolisis yang
kadar selulosa, kecuali untuk delignifikasi kimia dikatalis oleh enzim E2 dan E3. Delignifikasi
kayu sengon dan delignifikasi fisis pelepah sawit. biologis, hanya menunjukkan aktivitas hidrolisis
Kadar hemiselulosa cenderung menurun pada yang paling optimal pada proses yang dikatalis
semua perlakuan (Gambar 1 dan Gambar 2). Hal oleh E3 (Gambar 4).
ini menjadi indikasi bahwa perlakuan delignifikasi Fenomena yang menarik untuk dicermati lebih
pada dasarnya menyebabkan selulosa, yang lanjut tampak pada sampel biomasa pelepah daun
merupakan target utama proses hidrolisis menjadi kelapa sawit. Meskipun perlakuan delignifikasi
lebih mudah diakses (Harmsen et al. 2010). secara kimiawi dapat menguraikan lignin relatif
Adapun penurunan kadar hemiselulosa setelah lebih optimal dan menghasilkan selulosa lebih
perlakuan delignifikasi mengindikasikan bahwa banyak (Gambar 2), tetapi kadar glukosa yang
perlakuan delignifikasi yang diterapkan pada dihasilkan dari proses hidrolisis selulosa tersebut
biomasa sengon dan pelepah sawit ini, tidak hanya justru paling sedikit dibandingkan perlakuan
menyebabkan deg radasi lignin, tetapi lainnya (Gambar 4). Hal ini menjadi indikasi
depolimerisasi hemiselulosa juga (Saha et al., 2005; bahwa delignifikasi serbuk pelepah sawit secara
Taherzadeh dan Karimi, 2008; Brodeur et al.

75
Penelitian Hasil Hutan Vol. 33 No. 1, Maret 2015: 69-80

kimia diduga dapat menghasilkan senyawa seluruh potensi selulosa dapat diuraikan menjadi
inhibitor yang dapat menghambat kerja enzim glukosa. Namun peran senyawa inhibitor ini tidak
hidrolisis (Rosgaard et al., 2007), sehingga tidak dikaji dalam penelitian ini.

Kontrol (Control) Perlakuan fisis (Physical treatment)


Perlakuan kimia (Chemical treatment) Perlakuan biologis (Biological treatment)

3)
Gambar 3. Kadar glukosa hasil hidrolisis serbuk kayu sengon menggunakan filtrat kasar
enzim LR-18 T.8 (E1), TG-2 S.9 (E2) dan enzim selulase dan hemiselulase
komersial C2605 dan H2125, inkubasi 7 hari.
3)
Figure 3. Glucose contents in Paraserianthes sawdust after 7-day hydrolysis using crude
filtrated enzymes of LR-18 T.8 (E1), TG-2 S.9 (E2) and commercial enzymes complex
of C2605 and H2125.

Kontrol (Control) Perlakuan fisis (Physical treatment)


Perlakuan kimia (Chemical treatment) Perlakuan biologis (Biological treatment)

3)
Gambar 4. Kadar glukosa hasil hidrolisis serbuk pelepah sawit menggunakan filtrat kasar
enzim LR-18 T.8 (E1), TG-2 S.9 (E2) dan enzim selulase dan hemiselulase
komersial C2605 dan H2125, inkubasi 7 hari.
3)
Figure 4. Glucose contents of oil palm petiole after 7-day hydrolysis using crude filtrated
enzymes of LR-18 T.8 (E1), TG-2 S.9 (E2) and commercial enzymes complex of
C2605 and H2125.

1) Kadar glukosa diukur dari 100ml aliquot hasil hidrolisis 5g sampel biomasa. Glucose content was measured from 100ml aliquot of
5gr hydrolised biomass.

76
Pengaruh Perlakuan Delignifikasi Terhadap Hidrolisis Selulosa dan Produksi Etanol dari Limbah Berlignoselulosa
(Luciasih Agustini & Lisna Efiyanti)

Dengan membandingkan efektivitas kerja B. Pengaruh Delignifikasi dan Hidrolisis


ketiga enzim hidrolisis pada dua sampel biomasa terhadap Produksi Etanol
yang berbeda (Gambar 3 dan Gambar 4) terlihat
bahwa aktivitas penguraian selulosa menjadi Ujicoba produksi etanol dari serbuk kayu
glukosa ditentukan oleh kecocokan antara jenis sengon dan pelepah sawit dengan menggunakan
biomasa dan enzim hidrolisisnya. Pada serbuk beberapa isolat koleksi FORDA-CC (bakteri LR-
kayu sengon, E1 dan E2 yang dihasilkan dari isolat 15 T.8 atau TG-2 S.9; dan yeast CT 26A.1)
dilakukan dalam kondisi optimum pH 4 dan
LR-15 T.8 dan TG-2 S.9 tampak lebih efektif
waktu inkubasi 10 hari, berdasarkan hasil uji
dalam menguraikan selulosa menjadi glukosa jika
pendahuluan, yang menunjukkan bahwa pH 4
dibandingkan dengan enzim selulase komersial,
optimum bagi aktivitas filtrat kasar enzim E1 dan
untuk semua perlakuan delignifikasi. Hal yang
sebaliknya terjadi pada proses hidrolisis biomasa E2 dibandingkan dengan aktivitas pada level pH 5
serbuk pelepah daun sawit. Enzim filtrat kasar E1 sampai dengan 10 (data tidak ditampilkan di sini).
yang dihasilkan oleh isolat bakteri LR-15 T.8 Namun, kadar etanol yang dihasilkan masih
cenderung kurang optimal dibandingkan dengan sangat rendah, yaitu berkisar antara 0,0022 -
E2 dan enzim selulase komersial (Gambar 4). 0,4046% v/v (Tabel 1), yang setara dengan 0,079
- 3,23 g/L etanol.

(oil palm petiole)

(oil palm petiole)

(oil palm petiole)

4)
Gambar 5. Kadar etanol hasil fermentasi serbuk kayu sengon dan pelepah sawit dengan
variasi perlakuan delignifikasi dan enzim hidrolisis E1 (A); E2 (B) dan E3 (C).
4)
Figure 5. Ethanol contents that resulted in the fermented sawdust from sengon wood and oil-
palm petiole using four varying delignification treatments, each with three
different hydrolytic enzymes designated as E1 (A); E2 (B) and E3 (C) respectively.

77
Penelitian Hasil Hutan Vol. 33 No. 1, Maret 2015: 69-80

Proses konversi biomasa berlignoselulosa difermentasi menjadi etanol.


menjadi etanol memang masih belum Rendahnya kadar etanol ini pun dipengaruhi
menunjukkan hasil yang optimal. Srivinas et al. oleh efektivitas isolat yeast Candida fermentati ICT
(1995) yang mencoba mengkonversi material 26A.1 yang berdasarkan uji pendahuluan dalam
berselulosa dengan menggunakan mikro- kegiatan ini menunjukkan bahwa isolat ini
organisme hasil fusi (penggabungan) protoplast berpotensi sebagai agen fermentasi namun
Trichoderma reesei dan Saccharomyces cerevisae, melalui ternyata kadar etanol yang dihasilkan masih sangat
teknik single stage direct bioconversion hanya rendah (< 0,5%). Oleh karena itu, eksplorasi dan
memperoleh kadar etanol 0,17 g/L. Irawati et al., skrining yeast untuk keperluan fermentasi etanol
(2009) yang menggunakan limbah serbuk gergaji ini perlu terus dilakukan. Metode skrining pun
kayu jati, meranti dan sengon sebagai bahan baku, perlu terus dioptimalkan agar isolat yang terseleksi
dan fungi Phanerochaete chrysosporium sebagai agen memiliki potensi yang optimum dalam mengubah
biodelignifikasi, serta teknik hidrolisis dan glukosa kayu menjadi etanol.
fermentasi yang simultan, menghasilkan kadar
etanol 0,311 g/L dari serbuk gergaji kayu jati;
0,364 g/L dari serbuk kayu meranti; dan 0,448 g/L IV. KESIMPULAN DAN SARAN
dari serbuk kayu sengon. Hasil yang lebih baik
ditunjukkan oleh Samsuri et al., (2009), yang A. Kesimpulan
memperoleh etanol dengan konsentrasi 6,94 g/L
Sebagai awal dari suatu rangkaian proses
dari limbah tebu (bagasse) yang dihidrolisis dengan
biokonversi limbah biomasa berlignoselulosa
campuran enzim selulase dan selubiose serta agen
menjadi etanol, delignifikasi berpengaruh
fermentasi Saccharomyces cerevisae. Mengacu pada
terhadap efektivitas reaksi-reaksi selanjutnya,
hasil-hasil penelitian ini, tergambar bahwa untuk
yaitu reaksi hidrolisis dan fermentasi. Pada
dapat diproduksi secara masal dan memenuhi
penelitian ini, delignifikasi secara kimiawi, yaitu
nilai-nilai komersil, maka serangkaian penelitian
dengan H2SO4 1% menunjukkan efektivitas
yang lebih intensif masih perlu dilakukan, agar
proses biokonversi limbah berlignoselulosa degradasi lignin yang paling tinggi dibandingkan
menjadi etanol lebih efektif. dengan perlakuan delignifikasi lainnya, sehingga
Uji statistik menunjukkan bahwa variansi kadar kadar etanol yang dihasilkan pada akhir
etanol ini ditentukan oleh interaksi antara jenis fermentasi berbeda nyata, baik pada sampel yang
biomassa, perlakuan delignifikasi dan enzim dihidrolisis dengan enzim filtrat kasar (E1 atau E2),
hidrolisis yang berbeda-beda (Fhitung>Ftabel = maupun enzim komersial (E3).
406,2966 >3,2049 ; p<0,001). Secara umum, Selain kelimpahan substrat selulosa,
bahan baku berupa serbuk gergaji kayu sengon kompatibilitas antara enzim hidrolisis dan jenis
menghasilkan kadar etanol yang lebih tinggi sampel lignoselulosa merupakan faktor yang
daripada serbuk pelepah daun kelapa sawit mempengaruhi efektivitas reaksi hidrolisis. Pada
(Gambar 5), kecuali untuk sampel biomasa yang percobaan ini, sampel serbuk pelepah daun kelapa
tidak diberi perlakuan delignifikasi (kontrol) dan sawit menghasilkan kadar etanol yang lebih
perlakuan fisika yang dihidrolisis dengan enzim rendahakan tetapi tidak berbeda nyata dari serbuk
filtrat kasar E1 (Gambar. 5A). Pelepah daun kelapa kayu sengon, meskipun kadar holoselulosa
sawit meskipun memiliki kandungan lignin yang pelepah sawit lebih banyak dari kayu sengon. Hal
lebih rendah dengan kadar selulosa dan ini menunjukkan bahwa baik E1, E2 maupun E3
hemiselulosa yang relatif lebih banyak, tetapi bukanlah enzim hidrolisis yang paling optimal
kadar etanol yang dihasilkan pada akhir proses untuk mengurai komponen selulosa pelepah daun
biokonversi ini justru lebih rendah dari serbuk sawit menjadi glukosa.
sengon (Gambar 5A,B,C). Hal ini sejalan dengan Isolat Candida fermentati CT 26A.1 yang
rendahnya kadar glukosa yang diperoleh pada digunakan dalam ujicoba ini berpotensi sebagai
proses hidrolisis selulosa, sebagai tahapan proses agen fermentasi namun ternyata kadar etanol
yang menghasilkan substrat gula yang akan yang dihasilkan masih sangat rendah (< 0,5%
v/v).

78
Pengaruh Perlakuan Delignifikasi Terhadap Hidrolisis Selulosa dan Produksi Etanol dari Limbah Berlignoselulosa
(Luciasih Agustini & Lisna Efiyanti)

B. Saran cellulosics to fuel ethanol: a review.


Bioresource Technology, 55, 1 33.
Untuk meningkatkan kadar etanol dari proses
biosintesis yang melibatkan mikroorganisme, Erdei, B., Z. Barta, B. Sipos, K. Reczey, M. Galbe,
pemilihan mikroorganisme yang potensial & G. Zacchi. (2010). Ethanol Production
merupakan hal penting. Oleh karena itu, optimasi from Mixtures of Wheat Straw and Wheat
metode seleksi isolat-isolat potensial dan optimasi Meal. Biotechnology for Biofuel, 3, 16.
reaksinya, baik untuk tahap delignifikasi,
Grous, W.R., Converse, A.O. & H.F. Grethlein.
hidrolisis, maupun fermentasi mutlak diperlukan
(1986). Effect of steam explosion
agar teknologi produksi bioetanol generasi II yang
pretreatment on pore size and enzymatic
lebih optimal dan ramah lingkungan dapat
hydrolysis of poplar. Enzyme Microbiol.
dikembangkan di Indonesia, dalam skala yang
Technol., 8, 274 - 280.
lebih besar di masa yang akan datang.
Harmsen, P.F.H., Huijgen, W.J.J. Lopez, L.M.B. &
Bakker, R.R.C. (2010). Literature review of
DAFTAR PUSTAKA physical and chemical pretretament
processes for lignocellulosic biomass.
Akin, D.E., L.L. Rigsby, Sethuraman, A. W.H.-III Energ y Research Centre of the
Morrison, Gamble, G.R. & Eriksson, Netherlands.pp.1-49.
K.E.L. (1995). Alterations in structure,
Hatakka, A.I. (1983). Pretreatment of wheat straw
chemistry, and biodegradability of grass
by white-rot fungi for enzymatic
lignocelluloses treated with white rot fungi
saccharification of cellulose. Appl.
Ceriporiopsis subvermispora and Cyathus
Microbiol. Biotechnol., 19,361 - 363.
stercoreus. Appl. Environ. Microbiol., 61,
1591 - 1598. Irawati, D., Azwar, N.R. Syafii, W. & Artika, I.M.
(2009). Pemanfaatan Serbuk Kayu untuk
American Standard Testing Material (ASTM)
Produksi Etanol dengan Perlakuan
(1995). Annual book of ASTM Standards.
Pendahuluan Delignifikasi Menggunakan
Volume 04.10 Wood. Section 4. Philadelpia:
Jamur Phanerochaete chrysosporium. Jurnal Ilmu
ASTM
Kehutanan, III (1), 13 - 22.
Brodeur, G., Yau, E. Badal, K. Collier, J.
Intara, Y.I., dan Dyah, B.P. (2012). Studi sifat fisik
Ramachandran, K.B. Ramakrihsnan, S.
dan mekanik parenkim pelepah daun kelapa
(2011). Chemical and physicochemical
sawit untuk pemanfaatan sebagai bahan
pretreatment of lignocellulosic biomass: a
anyaman. AGROINTEK, 6(1), 36 -44.
review. Enzyme Research, 2011: 1-17.
[doi:10.4061/2011/787532]. Kim, S., & B.E. Dale. (2004). Global potential
bioethanol production from waste crops
Buaban, B., H. Inoue, S. Yano, S. Tanapongpipat,
and crop residues. Biomass & Bioenergy, 26,
V. Ruanglek, & V. Champreda.(2010).
361 - 375.
BIoethanol Production from Ball Milled
Bagasse Using On-Site Produced Fungal Krisnawati, H., E. Varis, M. Kallio, M., &
Enzyme Coctail and Xylose-Fermenting Kanninen, M. (2011). Paraserianthes falcataria
Pichia stipitis. Journal of Bioscience & (L) Nielsen - Ekologi, Silvikultur dan
Bioengineering, 110(1):18-25. Produktivitas. Bogor - Indonesia: CIFOR.
Chaturvedi, V. & Verma, P. (2013). An overview Li, X.H., H.J.Yang, B. Roy, D. Wang, W.F. Yue, L.J.
of key pretreatment processes employed Jiang, E.Y. Park, & Y.G. Miao. (2009). The
for bioconversion of lignocellulosic most stirring technology in the future:
biomass into biofuels and value added cellulase enzyme and biomass utilization.
products. 3. Biotech, 3, 415 - 431. African Journal of Biotechnology, 8, 2418-2422.
Duff, S.J.B & W.D. Murray.(1996). Bioconversion Munawar, A. (2010). Analisa Nilai Tambah dan
of forest products industry waste Pemasaran Kayu Sengon Gergajian Studi Kasus

79
Penelitian Hasil Hutan Vol. 33 No. 1, Maret 2015: 69-80

di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor. Dept. using solvent extraction and dichromate
Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan oxidation and its application to bioethanol
Manajemen, Institut Pertanian Bogor. production process. Journal of Industrial
[skripsi]. Microbiology and Biotechnology, 36, 285 - 292.
Mutreja, R., Das, D. Goyal, D. & Goyal, A. (2011). Srivinas, D., Rao, K.J. Theodore, K. & Panda, T.
Bioconversion of agricultural waste to (1995). Direct conversion of cellulosic
ethanol by SSF using recombinant cellulase material to ethanol by the intergeneric
from Clostridium thermocellum . Enzyme fusant Trichoderma reesei Qm9414/
Research. [DOI:10.4061/2011/ 340279]. Saccharomyces cereviceae NCIM 38288.
Enzyme & Microbial Technology , 17,
Prentti, O. (2006). Wood structure and properties.
418 - 423.
New York-London-Toronto: Trans
Technical Publication. Sun Y., and J. Cheng. (2002). Hydrolysis of
lignocellulosic materials for ethanol
Rosgaard, L., S. Pedesen, & A.S. Meyer. (2007).
production: a review. Bioresources Technology,
Comparison of Different Pretreatment
83, 1-11.
Strategies for Enzymatic Hydrolysis of
Wheat and Barley Straw. Appl. Biochem. Taherzadeh, M.J. and K. Karimi. (2008).
Biotechnol., 143,284 - 296. Pretreatment of lignocellusic waste to
improve ethanol and biogas production: a
Saha, B.C., L.B. Hen, M.A. Cotta & Y.V. Wu.
review. Int. J. Mol. Sci., 9, 1621 - 1651.
(2005). Dilute acid pretreatment, enzymatic
saccharification and fermentation of rice Technical Association of the Pulp and Paper
hulls to ethanol. Biotechnology Progress, 21(3), Industr y (TAPPI) (1993). T he
816 - 822. Technological Association of the Pulp and
Paper Industry Methods. Atlanta Georgia:
Sangkharak, K., P. Vangsirikul, & S. Janthachat.
TAPPI.
(2011). Isolation of novel cellulase from
agricultural soil and application for ethanol Walter, A., F. Rosillo-Calle, P. Dolzan, E. Pracente,
production. International Journal of Advance and K.B. da Cunha. (2008). Perspective on
Biotechnology and Research, 2(2), 230-239. Fuel Ethanol Consumption and Trade.
Biomass and Bioenergy, 32, 730-748.
Samsuri, M., M. Gozan, B. Prasetya, & M. Nasikin.
(2009). Enzymatic hydrolysis of Wan, C. and Y. Li. (2012). Fungal pretreatment
lignocellulosic bagasse for bioethanol of lignocellulosic biomass. Biotechnol. Adv.,
production. Journal of Biotechnology Research 30(6), 1447- 1457.
in Tropical Region, 2(2), 1-5.
Wati, L., Kumari, S. and Kundu, B.S. (2007).
Schurz, J. (1978). Bioconversion of cellulosic Paddy Straw as Substrate for Ethanol
substances into enegy. In Ghose, T.K.: Production. Indian Journal of Microbiology, 47,
Chemicals and Microbial Protein Symposium 26 - 29.
Proceedings, Eds. New Delhi: IIT
Zimmermann, W. (1990). Degradationof lignin
Soe H.B., Kim, H.J. & Jung, H.K. (2009). by bacteria. J. Biotechnol., 13; 119-130.
Measurement of ethanol concentration

80

You might also like