You are on page 1of 41

KEPADA YTH : dr. Maya Nuriya W, Sp.

Rad(K)

DIAJUKAN TANGGAL : 27 Mei 2020

KASUS GASTROINTESTINAL

LIMFOMA INTESTINAL PADA SEORANG


WANITA USIA 53 TAHUN

Oleh:

dr. Arif Rahman Wardhani

Pembimbing:

dr. Maya Nuriya W, Sp.Rad(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
DAFTAR ISI

JUDUL....................................................................................................................i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

ABSTRACT ........................................................................................................ iii

ABSTRAK............................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

BAB II LAPORAN KASUS................................................................................. 2

II.1 Identitas............................................................................................ 2

II.2 Anamnesis ........................................................................................ 2

II.3 Pemeriksaan Fisik ........................................................................... 3

II.4 Pemeriksaan Penunjang .................................................................3

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 8

III.1 Definisi ............................................................................................ 8

III.2 Epidemiologi ................................................................................ 10

III.3 Anatomi ........................................................................................ 11

III.4 Patogenesis ................................................................................... 15

III.5 Diagnosis....................................................................................... 21

III.6 Pemeriksaan Penunjang ............................................................. 21

III.7 Diagnosis Banding ....................................................................... 30

BAB IV KESIMPULAN .................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 36

ii
INTESTINAL LYMPHOMA: A CASE REPORT
W Arif rahman1, W Maya Nuriya2
1. Radiology Resident. Radiology Department of Medical Faculty Diponegoro University,
Semarang
2. Gastrointestinal Imaging Consultant. Radiology Department of Medical Faculty
Diponegoro University, Semarang

ABSTRACT
INTRODUCTION
Gastrointestinal tract is the most common extranodal site involved by lymphoma
with the majority being non-Hodgkin type. Gastrointestinal lymphoma most
commonly involves the stomach but can involve any part of the gastrointestinal
tract from the esophagus to the rectum. Intestinal lymphoma is usually secondary
to the widespread nodal diseases and primary intestinal tract lymphoma is relatively
rare. Although some radiological features such as bulky lymph nodes and
maintenance of fat plane are more suggestive of lymphoma, they are not specific,
thus mandating histopathological analysis for its definitive diagnosis.
CASE REPORT
This case reported a 53-years-old woman with a history of episodes of abdominal
pain associated with vomiting, fever and, occasional diarrhea stools that resolved
in 24 to 48 hours. She had undergone colonoscopy and conventional radiology
imaging previously but without establishing the cause. Computed tomography (CT)
of the abdomen was propoposed in which showed multiple masses in the intestinal
loops along with multiple others intra-abdominal adenomegaly.
DISCUSSIONS
In almost all cases, the intestinal lymphoma is a non-Hodgkin's lymphoma (NHL).
Although gastrointestinal lymphoma has a wide variety of imaging appearances and
definitive diagnosis relies on histopathologic analysis, certain findings (eg, a bulky
mass or diffuse infiltration with preservation of fat planes and no obstruction,
multiple site involvement, associated bulky lymphadenopathy) can strongly suggest
the diagnosis. Imaging also plays an important role in the detection of complications
such as perforation, obstruction, and fistulization. The most commonly used
imaging modalities are barium examination and computed tomography (CT).
CONCLUSIONS
Intestinal lymphoma is rare as a primary malignancy but relatively common as a
secondary deposit. Whilst radiology is useful for staging the extent of disease, a
histopathology sample is essential for definitive diagnosis. CT is the primary
staging investigation, but some findings may be shown with ultrasound or barium
studies.

Keywords : intestinal lymphoma, non-Hodgkin’s lymphoma, computed


tomography

iii
LIMFOMA USUS
W Arif rahman1, W Maya Nuriya2
1. Residen radiologi. Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang
2. Konsultan Radiologi Gastrointestinal. Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro, Semarang

ABSTRAK
PENDAHULUAN
Saluran pencernaan merupakan lokasi tersering dari limfoma ekstranodal dimana
kebanyakan termasuk tipe non-Hodgkin. Limfoma saluran pencernaan pada
umumnya terdapat pada lambung, namun dapat pula melibatkan semua bagian
saluran pencernaan dari esofagus hingga rektum. Limfoma non-Hodgkin primer
pada usus tanpa keterlibatan sistemik sangatlah jarang. Meskipun gambaran
radiologis seperti pembesaran kelenjar limfa disertai jaringan lemak di sekitarnya
sudah merupakan kecenderungan suatu limfoma, namun gambaran tersebut
tidaklah spesifik, sehingga tetap membutuhkan analisa histopatologis untuk
diagnosa definitif.
LAPORAN KASUS
Laporan kasus ini mempresentasikan seorang wanita usia 53 tahun dengan riwayat
nyeri perut yang yang hilang timbul disertai rasa mual, muntah, demam dan diare
intermiten yang sembuh sendiri dalam 24-48 jam. Sebelumnya pasien telah
menjalani operasi daerah perut di RS Brebes, kemudian menjalani colonoscopi dan
pemeriksaan radiologi konvensional tanpa memperoleh hasil yang konklusif.
Kemudian dilakukan pemeriksaan CT-scan abdomen yang menunjukkan gambaran
massa multipel intraluminal sepanjang jejunum, ileum, coecum, dan colon
ascendens tanpa adanya pembesaran kelenjar limfa retroperitoneal.
DISKUSI
Pada kebanyakan kasus limfoma usus merupakan tipe non-Hodgkin’s. Meskipun
limfoma usus memiliki gambaran imaging dengan variasi yang sangat luas dan
diagnosis definitif bergantung pada analisis histopatologis, namun beberapa temuan
(seperti; massa besar ataupun infiltrasi difus dengan jaringan lemak di sekitarnya
dan tanpa adanya sumbatan pada usus, lokasi yang multipel, serta limfadenopati
pada lokasi lain) dapat mengarahkan kecenderungan terhadap diagnosis limfoma.
Radiologi juga memegang peranan penting untuk mendeteksi komplikasi yang
mungkin terjai, seperti perforasi, obstruksi, dan fistula. Modalitas radiologi yang
paling sering digunakanan adalah CT scan abdomen dan pemeriksaan barium.
KESIMPULAN
Limfoma usus sangat jarang ditemukan sebagai suatu keganasan primer namun
cukup banyak ditemukan sebagai perluasan sekunder. Sementara itu radiologi
merupakan pemeriksaan yang cukup bergunan untuk menilai perkemabangan tahap
penyakit ini, dan pemeriksaan histopatologis sangat penting dalam menegakkan
diagnosis definitif. CT scan abdomen merupakan modalitas pilihan utama, namun
dapat pula digunakan pemeriksaan ultrasonografi ataupun pemeriksaan barium.

Kata kunci : limfoma usus, limfoma non-Hodgkin, CT scan abdomen

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Limfoma adalah istilah yang umum digunakan pada kelompok


keganasan yang berasal dari sistem limfatik. Limfoma tipe Hodgkin maupun non
Hodgkin lymphoma (NHL) memiliki prevalensi sekitar 5- 6% dari seluruh jenis
keganasan. Limfoma sering melibatkan struktur nodal maupun ekstranodal pada
regio abdomen dan pelvis. Limfoma ekstranodal terjadi pada sekitar 40% pasien
dan bisa terdapat pada hampir setiap organ dan jaringan. Urutan kejadian
limfoma ekstranodal berdasarkan frekuensi terbanyak yaitu limpa, hati, saluran
pencernaan, pankreas, dinding perut, saluran urogenital, adrenal, rongga
peritoneum, dan saluran empedu.1
Limfoma saluran pencernaan sendiri terjadi pada sekitar 5-20% dari
keseluruhan kejadian limfoma ekstranodal, dimana lambung adalah lokasi
tersering, kemudian usus halus {ileum (60-65%), jejunum (20-25%), dan
duodenum (6-8%)}, diikuti limfoma colorectal (6-12%).2 Etiologi limfoma usus
secara jelas belum diketahui, namun faktor resiko paling sering pada tipoe non
Hodgkin antara lain infeksi helicobacter pylori, human immunodefficiency virus
(HIV), campylobacter jejuni, Epstein-Barr virus, hepatitis-B virus, human T-
cell lymphotropic virus-1, dan beberapa kondisi peradangan seperti pada celiac
disease, inflammatory bowel disease, maupun infeksi parasit.3 Gejala klinis
biasanya kurang spesifik dan dapat mengakibatkan hambatan dalam penegakan
diagnosis definitif. Gejala yang paling umum adalah nyeri abdomen, penurunan
berat badan, anorexia, mual, muntah, perdarahan saluran cerna juga kadang
ditemui bersamaan dengan massa abdomen dan perforasi usus.4
Imejing radiologi memiliki peran penting untuk penegakan diagnosis
awal dan mendeteksi komplikasi yang mungkin terjadi, seperti perforasi,
obstruksi, maupun fistula.5

1
BAB II

LAPORAN KASUS

II.1 Identitas

NAMA : Ny. A
UMUR : 53 Th
No. CM : C805033
ALAMAT : Brebes

II.2 Anamnesis

Pasien mengeluhkan nyeri perut selama kurang lebih 1 tahun

sebelum berobat di RS Kariadi, teraba benjolan di daerah perut, demam,

disertai mual muntah. Nyeri perut dirasakan pada kedua sisi perut.

Sebelumnya pasien telah menjalani operasi di RS Brebes pada bulan

November 2019 (kemungkinan hemicolectomy) dan dilakukan pemeriksaan

histopatologis. Pasien kemudian dirujuk ke RS Kariadi pada bulan Februari

2020. Pasien lalu menjalani colonoscopy dan pemeriksaan CT abdomen

dengan kontras di RS Kariadi.

Pasien tidak memiliki riwayat keganasan sebelumnya, maupun

riwayat keganasan di keluarga. Pasien juga tidak memiliki riwayat infeksi

helicobacter pylori, celiac disease, kelainan imunologi, dan irritable bowel

disease.

2
3

II.3 Pemeriksaan Fisik

Tanda Vital :
Tensi :110/80 mmHg
Nadi : 80 x/mnt
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,5 0 C
Mata : konjungtiva anemis (-/-)
Thorak : Cor : Bunyi jantung I/II normal, Bising (-), Gallop(-)
Pulmo : SD vasikuler (+/+), Whzeeng (-), Ronkhi (-)
Abdomen : supel, hepar/lien tak teraba, teraba massa pada
hemiabdomen kanan kiri
Ekstremitas : akral hangat, tak tampak edema

II.4 Pemeriksaan Penunjang

Dilakukan operasi hemicolectomy di RSUD Brebes tanggal 25 November


2019, dilanjutkan pemeriksaan biopsy patologi anatomi (PA) dengan hasil
Diffuse Non Hodgkin Lymphoma DD/ MALT lymphoma, Intestinal T-
cell lymphoma, B-cell Non Hodgkin lymphoma

Pemeriksaan Laboratorium (13 Februari 2020)


Hematologi paket
Hb : 9.4 gr/dL
Hematokrit : 30.2 %
Eritrosit : 3.80 106/L
MCH : 24.7 pg
MCV : 79.5 fL
MCHC : 31.1 g/dL
Leukosit : 8.0 103/L
Trombosit : 512 103/L
RDW : 16.2 %
MPV : 8.6 fL

Kimia Klinik
GDS : 91 mg/dL
Ureum : 13 mg/dL
Kreatinin : 0.8 mg/dL
4

Elektrolit
Natrium : 140 mmol/L
Kalium : 3.8 mmol/L
Chlorida : 100 mmol/L
Immunologi
CEA : 0.39 ng/mL
Koagulasi
Plasma Prothrombin Time
PT : 10.0 detik
PPT Kontrol : 11.5 detik
Partial Thromboplastin Time (PTTK)
TT : 32.7 detik
APTTK : 33.1 detik

Pemeriksaan X-foto Thoraks (15 Februari 2020)

KESAN:
▪ Cor tak membesar
▪ Tak tampak gambaran metastasis maupun kelainan lain
pada pulmo dan tulang yang tervisualisasi
5

Pemeriksaan MSCT Abdomen dengan kontras (19 Februari 2020)…(1)


6

Pemeriksaan MSCT Abdomen dengan kontras (19 Februari 2020)…(2)


7

Pemeriksaan MSCT Abdomen dengan kontras (19 Februari 2020)…(3)


KESAN :
▪ Massa intraluminal multipel pada caecum, colon ascendens,
ileum, dan jejunum (tebal maksimal  2 cm, sepanjang 4.8
cm, pada caecum hingga colon ascendens)
▪ Limfadenopati multipel pada regio interaortocaval,
paraaorta, mesenterial, paramesenterica superior et
inferior dan inguinal kanan kiri (ukuran terbesar  3.6 x 1.7
cm pada paramesenterica superior)
▪ Lesi kistik multipel pada segmen 2,3,5, dan 7 (ukuran
terbesar  0.8 x 0.6 cm pada segmen 7) → DD/ nodul kistik,
kista hepar
▪ Splenomegali, tak tampak nodul
▪ Cholesistolithiasis (ukuran  0.3 x 0.2 cm)
▪ Spondilosis thoracolumbalis

Pemeriksaan Colonoscopy (13 Maret 2020)

KESIMPULAN : Polip ileum curiga lymphoma


Post laparatomy lymphoma colon
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Definisi

Limfoma adalah istilah yang umum digunakan pada kelompok

keganasan yang berasal dari sistem limfatik. Sebagian besar limfoma pada

gastrointestinal adalah limfoma non-Hodgkin (LNH) yang berasal dari sel

B.6 Permukaan mukosa saluran pencernaan berfungsi sebagai barrier yang

permeabel, selain fungsi utamanya untuk proses sekresi dan absorpsi

sepanjang permukaan usus. Fungsi-fungsi tersebut juga didukung oleh

susunan anatomi dan mikro struktur lapisan dinding usus (villi dan

mikrovilli).7 Struktur mikro tersebut memfasilitasi akses terhadap produk-

produk pencernaan bersamaan juga dengan substansi antigen dari

mikroorganisme maupun benda-benda asing yang mungkin ikut tertelan do

dalam lumen usus. Lapisan mukus pada permukaan mukosa, bersama-sama

dengan epithelium (barrier usus), berperan sebagai lapisan pertama

pertahanan melawan patogen dan benda-benda asing berbahaya lainnya.8

Secara lebih spesifik mekanisme respons imunologi pada saluran

pencernaan diinisiasi oleh lapisan mukosa usus yang dikenal dengan

Gut/Mucosa-Associated Lymphoid Tissue (GALT/MALT) yang terletak

pada epithelium dan lamina propria.9 Sel-sel limfoid tersebut diproduksi di

dalam sumsum tulang dan timus yang bermigrasi ke dalam usus yang

membentuk sekumpulan sel-sel imun terbesar di dalam tubuh. MALT,

8
9

melalui karakteristik imunofisiologis yang unik, berperan mempertahankan

homeostasis imun di dalam usus. Kumpulan jaringan limfoid terbanyak dan

paling mudah ditemukan di saluran gastrointestinal terletak pada “Peyer’s

patches” di ileum bagian terminal; sisanya tersebar diffus membentuk

kumpulan folikel-folikel limfoid di sepanjang saluran pencernaan.10

Inflamasi berulang dan stimulasi antigen yang berhubungan

dengan autoimun ataupun infeksi kronik dapat mengakibatkan proliferasi

monoklonal dan berkembangnya limfoma ekstranodal di saluran

pencernaan seiring waktu. Sebagai contoh, infeksi Helicobacter pylori pada

mukosa lambung dapat mengakibatkan proliferasi sel limfoid. Transformasi

maligna pada jaringan MALT lambung dapat menumbuhkan limfoma

MALT yang sebenarnya dapat diterapi dengan penanganan tepat terhadap

infeksi kronis yang menjadi penyebab awal. Para penderita celiac disease

yang memiliki hipersensitivitas bawaan terhadap gluten, sel-sel antigen

peptida gluten dapat merangsang respon imun yang mengakibatkan

kerusakan epithelium usus oleh sel limfosit T-intraepithelial. Transformasi

maligna dari sel-sel tersebut dapat menimbulkan Enteropathy-Associated T-

cell Lymphoma (EATL) pada usus halus. Kelainan autoimun seperti lupus

eritematosus sistemik yang menggunakan terapi immunosupresan juga

meningkatkan resiko terjadinya limfoma saluran pencernaan. Selain itu

penderita Acquired Immuno-Defficiency Syndrome (AIDS) dan sindrom

kongenital juga merupakan predisposis terhadap kejadian limfoma.

Thiopurine dan terapi-terapi faktor anti-nekrosis tumor, yang biasanya


10

diberikan pada pasien-pasien dengan Inflammatory Bowel Disease (IBD),

juga meningkatkan resiko terjadinya limfoma.4

III.2 Epidemiologi

Badan Kesehatan Dunia (WHO) secara luas telah

mengklasifikasikan neoplasma limfoid menjadi beberapa tipe : neoplasma

prekursor limfoid, neoplasma B-cells, neoplasma T-cells dan neoplasma

NK-cells (Natural-Killer cells), serta limfoma Hodgkin. Limfoma

ekstranodal tipe Hodgkin sangat jarang ditemui. Limfoma ekstranodal tipe

B-cells lebih sering ditemukan (sekitar 80 % dari keseluruhan limfoma

ekstranodal) dibandingkan tipe T-cells, dan lebih responsif terhadap

kemoterapi serta memiliki prognosis yang lebih baik. Kebanyakan limfoma

menunjukkan gambaran struktur histologis yang cukup khas dan kelainan

sitogenik yang spesifik sehingga sangat membantu dalam penegakan

diagnosis patologi anatomi.11

Limfoma gastrointestinal memiliki angka kejadian sekitar 1%-

4% dari keseluruhan keganasan pada gastrointestinal, dimana 10%-15%

dari angka kejadian limfoma non-Hodgkin merupakan limfoma

gastrointestinal serta 30%-40% insidensi limfoma ekstranodal merupakan

limfoma saluran pencernaan, sehingga saluran pencernaan merupakan

lokasi paling sering untuk kejadian limfoma ekstranodal. Apabila dilihat

secara spesifik dari letak anatomisnya, maka lambung adalah lokasi paling

sering (74.8 %), kemudian diikuti usus halus (8.6 %), ileocaecum (7 %),
11

colorectal (6 %), esophagus dan lokasi-lokasi lainnya sepanjang saluran

gastrointestinal ( 3 %). 10

Secara histologis beberapa jenis limfoma memiliki lokasi


predileksi relatif, seperti limfoma Mucosa-Associated Lymphoid Tissue
(MALT) yang banyak terdapat pada lambung, limfoma Mantle Cell (MCL)
pada ileum, jejunum, dan colon, limfoma Enteropathy-Associated T-cell
(EATL) pada jejunum, serta limfoma follicular pada duodenum. Pada
kebanyakan lokasi jenis limfoma gastrointestinal paling banyak adalah
limfoma MALT dan follicular. 12

III.3 Anatomi

III.3.1 Anatomi Usus Halus

Usus halus merupakan saluran pencernaan yang terletak di antara

lambung dan usus besar. Usus halus erdiri dari duodenum, jejunum, dan

ileum (gambar 1). Usus halus diameter lumennya lebih kecil dari usus besar

yaitu sekitar 2,5 cm, meski panjangnya lebih panjang daripada usus besar

kira-kira 3 m. Bagian pertama, yaitu duodenum, akan berlanjut ke jejunum

di persimpangan duodenojejunal atau flexura, yang terletak kira-kira di

sebelah kiri vertebra L2 dan terfiksasi pada retroperitoneum oleh

ligamentum suspensori Treitz. Vena mesenterika inferior (IMV) terletak di

sebelah kiri persimpangan duodenojejunal. Ada beberapa fossa peritoneum

di sekitar flexura duodenojejunal, yang mungkin dapat merupakan tempat

herniasi internal usus kecil. Usus halus merupakan suatu tabung berbelit 4-

6 m yang menempati bagian tengah perut dan panggul, dikelilingi oleh usus

besar pada 2 sisinya dan bagian atas. Ileum berlanjut ke usus besar (sekum)
12

di persimpangan ileosekal. Usus halus memiliki luas permukaan yang dapat

diperbesar untuk proses pencernaan dan penyerapan karena adanya villi dan

mikrovilli. (gambar 2)

Pada lumen usus halus banyak terdapat mikroorganisme patogen

sehingga adanya sistem imun yang baik pada tepi mukosa sangatlah

diperlukan, lapisan sistem imun tersebut terdiri dari banyak sekali limfosit,

makrofag, dan sel-sel lainnya yang berperan dalam respons imun. Jaringan

limfoid pada saluran gastrointestinal secara keseluruhan dinamakan Gut-

Associated Lymphoid Tissue (GALT) atau Mucosa-Associated Lymphoid

Tissue (MALT). Jumlah limfosit di dalam GALT setara dengan jumlah

limfosit di dalam lien dan menurut lokasinya sel-sel ini terletak pada :

1. Peyer’s patches : folikel-folikel limfoid ini serupa dengan limfonodi

pada umumnya. Peyer’s patches terletak di dalam mukosa usus,

terutama pada usus halus dan meluas ke dalam submukosa. Pada

manusia dewasa, limfosit B dominan berada di dalam Peyer’s patches.

Nodul-nodul lymphoid yang serupa dengan Peyer’s patches namun

lebih kecil dapat ditemukan tersebar di seluruh saluran pencernaan. Pada

gambar 3 di bawah ini terlihat tiga buah folikel limfoid Peyer’s patches.

Jaringan otot terlihat di kiri atas dan mukosa epithelium terlihat di kiri

bawah.12

2. Limfosit lamina propria : Limfosit-limfosit ini tersebar di dalama

lamina propria dari mukosa saluran pencernaan. Mayoritas sel-sel ini

merupakan IgA-secreting B cells.


13

3. Limfosit intraepithelial : Limfosit ini terletak di dalam basolateral

space di antara sel-sel epithel intra luminaldi bawah celah-celah yang

rapat (terletak “di dalam” epithelium, tetapi bukan di dalam sel-sel

intraepithelial)13

Gambar 1. Anatomi usus halus Gambar 2. Lapisan dinding usus halus

Gambar 3. Lapisan dinding lumen ileum

III.3.2 Anatomi Usus Besar

Usus besar dimulai dari sekum, colon dan terus sampai ke anus.

Usus besar berbeda dengan usus halus dari anatomi dan fungsi keduanya.

Ketebalan dinding usus besar < 4 mm pada keadaan distensi normal.

Memiliki empat lapisan dinding dasar seperti organ gastrointestinal lainya,

lapisan-lapisan tersebut ialah lapisan mukosa, submukosa, muskularis, dan

lapisan serosa.

Bagian pertama colon yaitu colon asendens berada retroperitoneal

mulai setinggi katup ileosekal sampai lobus kanan hepar. Ukurannya sedikit

lebih sempit dibandingkan dengan sekum dan colon ini dilapisi oleh
14

peritoneum dari anterior dan lateral, dengan regio paracolic gutter berada

pada sisi lateralnya.

Gambar 4. Anatomi usus besar

Sekum merupakan bagian yang berada di inferior dari katup

ileosekal. Colon transversum berada intraperitoneal, dimulai dari ujung

terminal colon asendens di flexura hepatis dan berakhir di flexura lienalis

dan berlanjut ke kaudal menjadi colon desendens yang berada

retroperitoneal dengan regio paracolic gutter kiri berada pada sisi lateralnya.

Organ berikutnya yang berbentuk ‘S’ merupakan colon sigmoid, mulai dari

fossa iliaca sampai ligamentum sacralis ketiga (S3) dimana sigmoid

menyatu dengan rectum. Sigmoid memiliki mesenterium yang panjang

berkontribusi dalam mobilitas dari sigmoid.

Rectum merupakan kelanjutan dari sigmoid pada setinggi

vertebrae S3. Bertranformasi pada canalis anal di fleksura anorektal, lekukan

sebesar 80 derajat dipertahankan oleh m.puborektalis. Ujung terminal


15

rectum yang berdilatasi adalah ampula rektum, berfungsi menahan feses

pada saat persiapan proses defekasi. Fleksura dan ampula, di pertahankan

oleh m.levator ani. Peritoneum melapisi dinding anterolateral rectum dan

dinding anteromedial. Rectum pada laki-laki dipisahkan dari vesica urinaria

oleh refleksi peritoneum, membentuk kantong rectovesical. Pada wanita

vagina berada diantara vesica urinaria dan rectum, dan refleksi peritoneum

yang sama membentuk kantong Douglas.

Kaliber lumen colon lebih besar daripada caliber lumen usus halus.

Usus halus mempunyai peran besar dalam fungsi resorpsi bahan-bahan

nutrisi, sedangkan colon untuk resorpsi cairan. Pembuluh vascular yang

memperdarahi colon berasal dari cabang arteri mesenterika superior dan

arteri mesenterika inferior.

Respons imun pada usus besar hampir sama dengan usus halus

dimana usus besar mempunyai organ serupa dengan Peyer’s patches yang

banyak pada usus halus dan disebut dengan caecal patches (banyak

ditemukan pada katup ileocaecal) dan colonic patches di sepanjang colon

dan rectum, dimana baik Peyer’s patches maupun caecal patches dan

colonic patches terletak pada lapisan submukosa usus.14

III.4 Patogenesis

Limfoma adalah tumor padat dari sistem kekebalan tubuh.

Limfoma non-hodgkin mencakup kelompok kanker yang heterogen, 85-

90% dari kanker ini berasal dari limfosit B; sisanya berasal dari limfosit T

atau limfosit NK. Kelompok keganasan yang beragam ini biasanya


16

berkembang di limfonodi, namun dapat terjadi pada hampir semua jaringan,

berkisar dari limfoma folikuler indolen hingga limfoma sel-B besar dan

limfoma Burkitt yang lebih agresif. Beberapa sistem klasifikasi yang

berbeda telah diusulkan untuk mengelompokkan keganasan ini sesuai

dengan karakteristik histologis mereka.

Sistem terbaru adalah edisi keempat klasifikasi WHO untuk tumor

dari jaringan hematopoietik dan limfoid, yang diterbitkan pada tahun 2008

(Tabel 1). Klasifikasi ini dibuat berdasarkan edisi ketiga di tahun 2001 dan

menggunakan temuan baru dari penelitian klinis dan laboratorium untuk

memberikan panduan tentang bagaimana mengenali lesi awal atau in-situ

dengan penilaian ekspansi klonal sel-B dan yang lebih jarang, ekspansi sel-T,

yang tampaknya memiliki penurunan potensi untuk kejadian transformasi

maligna; memperhitungkan usia pasien sebagai ciri dari beberapa subtipe

(misalnya, limfoma folikel dan nodal zona-marginal memiliki varian yang

hampir secara eksklusif terdapat pada anak-anak dan secara klinis dan

biologis berbeda dari yang mempengaruhi orang dewasa); dan mengakui

kategori perbatasan yang memiliki fitur morfologi dan imunofenotip yang

sama dengan subtipe lain dari limfoma - misalnya, limfoma sel B besar

mediastinal primer memiliki fitur yang sama dengan limfoma Hodgkin klasik

nodular sklerosis pada mediastinum.13-14

Untuk memahami mekanisme bagaimana terjadinya limfoma,

peristiwa yang terjadi selama pematangan sel-B yang normal harus

diperhatikan. Selama pengembangan sel-B normal, sel-sel muncul dari


17

jaringan limfoid sentral (sumsum tulang dan timus), di mana gen

rekombinasi hasil segmen gen dalam perakitan imunoglobulin rantai-berat dan

rantai- ringan, diaktifkan oleh enzim yang menyebabkan putusnya DNA

rantai ganda. Pada sel normal, proses perbaikan DNA diaktifkan, tapi

pecahan rantai ini dapat berkontribusi untuk translokasi kromosom pada

limfoma. Translokasi tersebut biasanya mengakibatkan aktivasi proto-onkogen.

Setelah limfosit B telah matur, mereka bermigrasi ke dalam jaringan limfoid

perifer (darah, limpa, limfonodi, dan mukosa). Aktivasi sel-B yang normal

terjadi di pusat germinal limfonodi ketika antigen yang berkaitan dengan

sinyal dari limfosit T mengaktifkan sel B matur. Pusat germinal diduga

menjadi sumber berbagai jenis limfoma, termasuk limfoma sel-B besar difus,
9,10
limfoma folikular, dan limfoma Burkitt. Selama reaksi pusat germinal,

sentroblas (sel-B yang membelah dengan cepat dengan inti non- cleaved) di

zona gelap pusat germinal berkembang cepat dalam menanggapi antigen

spesifik sel-T di sekitarnya dan sel dendritik folikular yang membawa

antigen. Sentroblas secara berkala memasuki zona cahaya pusat germinal

mana mereka menjadi sentrosit (sel-B yang tidak membelah dengan inti

cleaved), yang mengambil antigen dari sel dendritik folikular dan

menyampaikannya kepada sel-T. Sentrosit dapat kembali ke sentroblas, atau

berdiferensiasi menjadi sel-B memori atau sel plasma.


18

Selama reaksi pusat germinal ini, sel mengalami dua modifikasi yang

berbeda terhadap DNA mereka: rekombinasi class-switch, dimana kelas

imunoglobulin rantai berat mungkin berubah dari IgM ke IgG, IgA, atau IgE;

dan hipermutasi somatik, dimana imunoglobulin variabel (IgV) rantai ringan

bermutasi, sehingga memodifikasi afinitas dari populasi sel-B untuk antigen

tertentu. Modifikasi genetik yang normal ini adalah mekanisme kerusakan

DNA yang dapat menyebabkan limfoma, dan juga memungkinkan subtipe

limfoma dibagi menjadi limfoma non-hodgkin dengan dan tanpa mutasi IgV.

Dua kategori utama limfoma :

1) Limfoma Hodgkin, atau HL


19

2) Limfoma non-Hodgkin, atau NHL yang menyumbang hampir

90 persen dari semua limfoma, terdiri dari berbagai tipe yang

jauh lebih banyak daripada limfoma Hodgkin.

Diagnosis limfoma didasarkan pada histologi patologis.

Pemeriksaan konvensional pada awalnya, membedakan secara morfologi

antara limfoma Hodgkin (HL), yang ditandai dengan adanya sel Reed-

Sternberg (40% limfoma), dengan limfoma non-Hodgkin (NHL) (60%),

yang diklasifikasikan sesuai kriteria arsitekturnya (folikular atau diffuse)

dan morfologinya (sel kecil atau besar). Pemeriksaan immunophenotypic

juga harus digunakan untuk menentukan apakah berasal dari sel B (85%

kasus) atau sel T (15%), bersamaan dengan pemeriksaan sitogenetik dan

biomolekuler untuk mencari anomali translokasi karakteristik yang didapat

dari berbagai tipe (misalnya t (14; 18) (q32; q21) NHLs folikular).13-14

Menurut klasifikasi WHO tahun 2008, limfoma menghasilkan 43

kondisi yang berbeda yang terbagi dalam empat kelompok utama yaitu sel

B matur, sel T matur dan neoplasia sel NK, limfoma Hodgkin, dan kelainan

limfoproliferasi pasca transplantasi. Beberapa tipe yang paling sering

ditemukan pada limfoma gastrointestinal :

- Limfoma-B MALT pada zona majinal ekstra nodal

- Limfoma-T intestinal yang berhubungan dengan enteropathy

- Immunoproliferative small intestinal disease (IPSID) termasuk di

dalamnya alpha heavy chain disease dan limfoma Mediterranian

- Limfoma yang berhubungan dengan imunosupresi.


20

Beberapa subtipe histologis memiliki lokasi predileksi tersering,

seperti :

• Limfoma MALT pada lambung

• Limfoma mantle cell pada ileum terminal, jejunum, dan colon

• Limfoma sel-T yang berhubungan dengan enteropathy pada jejunum

• Limfoma folikular pada duodenum

Seperti telah dibahas sebelumnya, usus halus memiliki mukosa

jaringan limfoid baik tipe sel-B ataupun sel-T dan limfoma dari kedua tipe

sel tersebut dapat terjadi pada usus halus. Limfoma usus halus yang sering

terjadi pada orang dewasa adalah Diffuse Large B-Cells Lymphoma

(DLBCL) tetapi pada anak jenis yang paling sering adalah limfoma Burkitt.

Pada usus besar, hampir semua kasus limfoma colorectal

merupakan limfoma tipe sel-B, sedangkan limfoma tipe sel-T sangat jarang

ditemui. Sama seperti pada usus halus, DLBCL merupakan tipe limfoma

sel-B yang paling sering ditemukan di usus besar, akan tetapi beberapa

subtipe limfoma sel-B lainnya juga dapat ditemukan termasuk seperti

mantle cell lymphoma (MCL), limfoma MALT (relatif sangat jarang), dan

limfoma folikular.

Pada regio anorectal, limfoma yang sering ditemui kebanyakan

berasal dari pasien-pasien immunodefisiensi, khususnya penderita

HIV/AIDS. Beberapa varian limfoma sel-B besar yang jarang ditemui dapat

dijumpai pada kasus-kasus limfoma di anorectal.


21

Tabel 2. Frekuensi kejadian limfoma gastrointestinal15

III.5 Diagnosis

Manifestasi klinis dari limfoma usus cukup luas dan tidak terlalu

spesifik. Pasien dengan limfoma usus dapat memperlihatkan gejala seperti

demam, nyeri perut, diare, hematochezia, dan penurunan berat badan.

Pemeriksaan CT abdomen dapat menunjukkan adanya penebalan dinding

usus, obstruksi, ataupun ulserasi mukosa.15 Endoskopi kapsul dan

colonoskopi dapat digunakan untuk mendeteksi limfoma yang dapat terlihat

lesi ulkus ataupun penebalan mukosa yang diffus dengan gambaran coarse

atau granula halus.

III.6 Pemeriksaan Penunjang

III.6.1 Limfoma Usus Halus

Limfoma usus halus biasanya dilakukan pemeriksaan

colonoskopi dan radiologi sebagai pemeriksaan penunjang. Endoskopi

video kapsul merupakan tehnik pencitraan yang dipilih untuk melihat


22

abnormalitas mukosa pada pasien dengan perdarahan saluran cerna, ketika

gastroskopi dan colonoskopi memberikan hasil negatif, namun prosedur ini

tidak dapat selalu diandalkan untuk mengidentifikasi sumber perdarahan

dan merupakan kontraindikasi untuk kecurigaan stenosis atau obstruksi

dikarenakan resiko retensi kapsul video.12

Tehnik imejing radiologi konvensional, seperti enterografi atau

enteroclysis dapat memudahkan untuk mendiagnosa adanya abnormalitas

mukosa, adanya massa, dan/atau invaginasi, akan tetapi hanya menyediakan

informasi tidak langsung tentang keadaan dinding usus serta struktur di

sekitarnya, bahkan tehnik pemeriksaan ini dianggap sudah terlalu kuno. CT

enteroclysis dan MR enteroclysis maupun CT enterografi dan MR

enterografi memiliki peran yang semakin menentukan dalam pemeriksaan

tumor usus halus. Berkat resolusi high spatial nya memungkinkan

radiologis dapat dengan mudah melihat dinding usus (mengevaluasi

anomali lumen) serta struktur disekitarnya (mesenterica, jaringan adiposa di

sekitarnya, limfonodi, dan ruang peritoneal).

Pemeriksaan MRI, berkat proyeksi multiplanarnya memiliki

resolusi kontras yang nyaris sempurna, tidak memiliki radiasi pengion, dan

menyediakan informasi anatomis dan fungsional tentang struktur usus, yang

memungkinkan untuk membedakan stenosis organik dengan gelombang

peristaltik normal.

Pemeriksaan CT scan, pada umumnya digunakan untuk

menentukan staging dan follow-up setelah operasi ataupun terapi


23

kemoradiasi. Saat ini, CT scan abdomen memungkinkan untuk

mengevaluasi ketebalan dinding lumen usus, vaskularisasi mesenterika, dan

temuan-temuan ekstramural yang berhubungan. CT scan usus halus, atau

entero-CT memiliki kelebihan dengan adanya gambaran panoramic yang

memungkinkan untuk evaluasi ketebalan dinding usus, derajat distensi usus,

dan lipatan-lipatan sirkular. Bahkan loop-loop ileum, maupun loop usus

yang tersembunyi di daerah pelvis, mesenteri, jaringan adiposa di

sekitarnya, dan bahkan organ-organ abdomen lainnya juga dapat

dievaluasi.12 (Gambar 5)

Gambar 5. CT abdomen seorang laki-laki 46 tahun dengan celiac disease yang


menunjukkan gambaran limfoma ileum. (a) Fase precontrast dan
(b,c,d) fase postcontrast menunjukkan penebalan dinding usus
segmental difus (panjang : 8 cm, tebal : 1,5 cm) dengan penyangatan
kontras ringan pada loop ileum (panah). Limfonodi subsentimeter
multipel terlihat pada lemak mesenterika di sekelililing loop usus
tersebut.5

CT enterografi makin sering digunakan menggantikan

pemeriksaan konvesional enteroclysis kontras ganda. Pemeriksaan ini


24

dilakukan dengan memposisikan pasien dalam posisi prone/supine, dan

dengan posisi scan craniocaudal setelah pemberian larutan isotonis secara

oral, untuk memperoleh distensi dinding usus halus yang adekuat. Kontras

media netral biasa digunakan untuk pemeriksaan dinding usus khususnya

setelah injeksi media kontras intra vena karena densitas air dalam larutan

berlawanan dengan dinding usus yang tampak penyangatan pada vase

vaskular, terutama pada penyakit inflamasi.14-15

MRI merupakan modalitas pilihan berikutnya setelah CT scan,

hal ini dikarenakan panjangnya waktu yang diperlukan serta artefak

pergerakan yang mungkin timbul. Akan tetapi perkembangan cepat innovasi

tekhnologi, pengenalan terhadap alat-alat baru, dan gradient lapangan

magnet yang lebih tinggi telah memungkinkan penggunaan sekuens T1 dan

T2 yang lebih cepat, single-shot fast spin echo (SSFSE), atau gradient echo,

yang diperoleh selama fase apneu tunggal, telah mjemungkinkan suatu

protokol pemeriksaan MRI untuk pemeriksaan usus halus menggunakan

media kontras intraluminal (MR-enterografi). Tanpa adanya radiasi pengion

membuat pemeriksaan ini sesuai untuk follow-up. Pada pemeriksaan MRI,

diagnosis limfoma usus halus diperlihatkan dengan adanya lesi infiltratif

dengan lumen usus yang paten atau suatu massa non stenosis, keterlibatan

mesenterial dengan adanya pembesaran limfonodi, splenomegali, serta

limfadenopati mesenterial dan retroperitoneal.(Gambar 6) Penegakan

diagnosis radiologi terhadap limfoma usus halus tetap didasarkan pada

pemeriksaan CT-enterografi.5,12,15
25

Gambaran pola umum yang ditemui pada kasus limfoma usus

halus dengan pemeriksaan CT/MRI yaitu :

• Polipoid/nodular

• Pola infiltratif

• Pola aneurismal

• Massa eksofitik

• Massa stenosis (sangat jarang)

Gambar 6. MRI abdomen dari pasien yang sama pada gambar 5. MR-enterografi
menunjukkan adanya penebalan sirkumferensial pada loop ileum
(panah) dengan potongan coronal (a), sagital (b), dan aksial (c dan d),
26

sebelum injeksi media kontras. Dibandingkan fase prekontras coronal


(e), penebalan ini ditunjukkan oleh penyangatan ringan kontras pada
fase arterial (f) dan fase vena porta (g) (kepala panah).

Pola polipoid ditunjukkan dengan adanya nodul solid dengan

densitas/intesitas sinyal yang homogen, yang timbul pada submukosa dan

menonjol ke dalam lumen dan terlihat sebagai massa polipoid. Tak tampak

penebalan dinding ataupun limfadenopati, dan mukosa tetap intact. Pola

massa ini dapat menyebabkan intussusepsi.5,15

Pola infiltratif ditnjukkan oleh adanya lesi infiltratif simetris atau

asimetris segmental dengan diameter medium berkisar 1,5 cm hingga 2 cm

dengan penebalan sirkumferensial ringan dinding usus halus. Biasanya, lesi

infiltratif memiliki batas yang kurang tegas dan penyangatan kontras

homogen; penyangatan inhomogen dapat terjadi dikarenakan adanya area

hipodens/hipointense akibat timbulnya jaringan nekrotik ataupun iskemik

pada lesi. Lesi ini dapat meluas pada semua lapisan ketebalan usus, mulai

dari mukosa endoluminal hingga tunica serosa. Panjang segmen usus yang

mengalami penebalan sangat bervariasi.5

Pola aneurisma (diameter dilatasi lumen usus melebihi 4 cm),

yang pertama kali didiagnosa oleh Cupps et al pada tahun 1969, mencakup

31 % dari keseluruhan limfoma usus halus. (Gambar 7) Pola ini biasanya

terlihat bersamaan dengan pola infiltratif. Beberapa faktor yang dapat

menyebabkan pola aneurisma timbul bersamaan dengan perkembangan

infiltratif lesi neoplastik, antara lain kerusakan progresif plexus myenteric,

kerusakan lapisan otot disertai peregangan serabut otot, dan hilangnya sel-
27

sel kontraktil; sebaliknya, infiltrasi pembuluh arteri dan saluran limfatik

menyebabkan anoksia dan nekrosis di dalam lesi.Nekrosis dari tumor ini

dapat menyebabkan timbulnya kavitas dan menyebabkan dilatasi

aneurismal.5

Gambar 7. Limfoma jejunum aneurismal pada seorang wanita. Fase pre contrast
dan post contrast pada CT scan potongan aksial (a,b,c) menunjukkan
penebalan sirkumferensial dinding usus (tebal 17 mm) yang tampak
hiperdens inhomogen setelah injeksi media kontras pada loop jejunum
ileum (sepanjang 20 cm) terletak pada sisi kiri dan kuadran kiri atas
(lingkaran merah). Terlihat pula adanya dilatasi endoluminal dan
gambaran air-fluid level di dalamnya serta pembesaran limfonodi dan
lemak mesenterial di sekitarnya (kepala panah). Infiltrasi dinding
colon kiri (d) dan sigmoid (panah). Penebalan dinding usus terjadi
28

bersamaan dengan pembentukan massa limfoma pada dinding


abdomen kiri yang menginfiltrasi dinding otot abdomen kiri dan tepi
superior musculus iliaca kiri.

Bentuk stenosis jarang ditemui pada kebanyakan kasus limfoma

usus. Pola ini biasanya terlihat pada tipe limfoma Hodgkin. Perkembangan

tumor mengakibatkan stenosis fibrotik konsentrik pada loop usus yang

terkena dan mengakibatkan dislokasi loop usus yang berdekatan.

Berdasarkan penelitian, pola ini berhubungan dengan komponen fibrotik

yang lebih besar. Dibandingkan dengan kejadian stenosis pada keganasan

lain, stenosis pada limfoma biasanya minimal terutama jika ada pelebaran

segmen usus bagian atas, dan hal ini diakibatkan hilangnya reaksi

desmoplastic.15

Pola mesenterik ditandai perkembangan dengan jaringan limfoid

diluar dinding usus melewati adventisia, meluas hingga struktur organ di

sekitarnya, terutama daerah mesenterial. Pada pola ini, limfoma

memperlihatkan gamnbaran massa eksofitik besar (gambaran bulky) dengan

keterlibatan sekunder jaringan disekitarnya. Diameter tumor ini 70 %

berkisar di atas 5 cm. Pada massa yang lebih besar, komplikasi ulseratif yang

lebih luas, nekrosis jaringan, perforasi, dan pembentukan fistula

enteroenteric jarang ditemukan.5,11

III.6.1 Limfoma Usus Besar

Insidensi limfoma usus besar sekitar 0,4 % dari angka kejadian

tumor pada colon dan limfoma colorectal memiliki insidensi 6-12 % dari
29

keselruhan limfoma gastrointestinal. Caecum dan rectum merupakan lokasi

tersering terkena limfoma dibandingkan lokasi lain di usus besar.

Limfoma usus besar dapat terlihat sebagai massa ekstraluminal

yang besar dan terlokalisir atau tipe carcinoma yang constricting simulating

annular dengan pola-pola gambaran radiologis yang berbeda-beda

menyerupai gambaran tumor usus besar lainnya ataupun gambaran

inflamasi usus, sehingga cukup mempersulit dalam penegakan differential

diagnosis. Pola-pola tersebut mencakup massa polipoid yang bulky, tumor

infiltratif fokal, dan pelebaran aneurismal.

Pada pemeriksaan barium dan CT scan gambaran pola paling

sering adalah polipoid; ukuran polip dapat bervariasi mulai dari beberapa

milimeter hingga 20 cm dan paling sering terletak pada katup ileocaecal.

Biasanya massa limfoma polipoid dan bulky ini lebih besar dibandingkan

yang sering terlihat pada adenocarcinoma colorectal dan dapat meluas

hingga dinding usus, dan tampak seperti massa peritoneal yang sangat besar

yang dapat membentuk kavitas.12,15

Limfoma colorectal juga dapat terlihat sebagai penebalan

sirkumferensial konsentris pada dinding usus (dengan ataupun tanpa

ulserasi) ataupun sebagai tumor eksofitik, nodul mukosa, maupun penabalan

lipatan usus. (Gambar 8) Bahkan lebih jauh lagi, dapat terlihat sebagai

striktur fokal, dilatasi aneurismal, ataupun bentuk ulseratif dengan

pembentukan fistula. Namun beberapa gambaran seperti batas yang jelas

dengan jaringan lemak di sekitarnya, tidak adanya keterlibatan struktur lain


30

di sekitarnya, dan perforasi tanpa adanya respons desmoplastic dapat

membantu menegakkan diagnosis banding limfoma dibandingkan

adenocarcinoma.5,14-15

Gambar 8. CT scan abdomen pada pasien laki-laki 78 tahun dengan limfoma


sigmoid dan ileum. CT scan potongan aksial pada fase portovenous
menunjukkan suatu gambaran limfoma non-Hodgkin yang terlihat
sebagai penebalan sirkumferensial lumen colon sigmoid ((a) panah)
dan loop ileum terminal ((b) dan (c) kepala panah). Gambaran
penyangatan pada loop usus halus yang limfomatous memberikan
gambaran menyerupai bagian roti sandwich (b), yang melingkupi
pembuluh darah di tengahnya menyerupai gambaran “isi sandwich”.
Pasien ini menjalani kemoterapi yang menunjukkan pengurangan
ketebalan dinding usus yang signifikan pada follow up CT scan
berikutnya.5

Limfoma colon biasanya menunjukkan gambaran lesi yang lebih

besar dan melibatkan segmen yang lebih panjang dibandingkan

adenocarcinoma; lebih jauh lagi, limfoma colon biasanya terletak dekat

katup ileocaecal dan meluas masuk ke ileum terminal, tanpa menginvasi

maupun mengobstruksi viscera yang berdekatan di sekitarnya.5

III.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding limfoma usus termasuk semua inflamasi, lesi

metastasis, dan lesi neoplastik pada usus. Karsinoma primer, metastasis

(terutama yang berasal dari melanoma dan kanker ginjal), dan

leiomyosarcoma intestinal dicirikan oleh adanya cavitas nekrotik besar.

Pada beberapa kasus yang jarang, kondisi-kondisi inflamatorik seperti pada


31

Crohn’s disease dan tuberkulosis intestinal harus dipertimbangkan sebagai

diagnosis banding: penebalan dinding usus yang signifikan (lebih dari 2

cm), adanya nodul lymphomatous, dan adanya limfonodi multiple

perivisceral pada gambaran CT merupakan suatu kecenderungan adanya

proses limfoproliferatif. Sebaliknya, penebalan sirkumferential segmental

yang terlokalisir (ketebalan berkisar 0,5 – 2 cm) dengan penyangatan

kontras yang simetris dan sirkumferensial, mukosa hiperdens, suatu halo

submucosa yang hipodens (halo sign), dan lapisan luar yang hiperdens,

menunjukkan gambaran penyakit inflamasi.


BAB IV

KESIMPULAN

Secara spesifik tidak ada gambaran patognomonik yang khas

untuk limfoma. Limfoma gastrointestinal memiliki variasi morfologi

imejing radiologi baik konvensional maupun cross-sectional yang sangat

luas. Tujuan radiolog ketika menemukan kecurigaan klinis ke arah limfoma

gastrointestinal adalah memberikan diagnosis sesuai dengan klasifkasi

WHO untuk membantu terapi optimal pada pasien. Endoskopi serabut optik

pada saluran gastrointestinal masih memegang peranan penting dalam

mengevaluasi limfoma yang timbul pada esofagus maupun gaster; namun

kurang dapat diandalkan untuk lokasi lain pada saluran pencernaan,

sedangkan CT scan masih cukup dapat diandalkan.

Pada pasien dengan perdarahan yang cukup jelas namun dengan

hasil gastroscopy dan colonoscopy yang negatif, endoskopi kapsul biasanya

digunakan untuk mendeteksi abnormalitas mukosa; akan tetapi penggunaan

endoskopi kapsul merupakan kontra indikasi apabila terdapat kecurigaan

stenosis maupun obstruksi, sementara CT scan tetap boleh dilakukan pada

pada pasien-pasien dengan stenosis maupun obstruksi.

Gambaran utama imejing limfoma usus dapat disipulkan sebagai

berikut :

1. Bentuk infiltratif yang difus, yang dicirikan oleh adanya penebalan

sirkumferensial pada dinding usus yang terlibat, mengakibatkan

32
33

destruksi muskularis propria, dan pleksus otonom serta dilatasi segmen

usus yang terlibat.

2. Keterlibatan fokal saluran gastrointestinal, yang nampak sebagai nodul

yang soliter maupun multipel.

3. Bentuk ulseratif

Dengan teknik pemeriksaan CT abdomen tidak hanya

dimungkinkan untuk mengevaluasi saluran gastrointestinal menggunakan

teknik enterografi, akan tetapi limfonodi yang terletak jauh ataupun dekat,

serta organ-organ thorakal dan abdominal lainnya yang mungkin

dipengaruhi oleh penyakit ini, sehingga memudahkan untuk membuat

staging berdasarkan klasifikasi Lugano.

Peran CT juga sangat penting dipertimbangkan dalam

mengevaluasi komplikasi limfoma, seperti perforasi, fistula, dan obstruksi,

juga dalam menegakkan diagnosis banding dengan kelainan-kelainan

neoplastik maupun inflamasi lainnya yang mungkin timbul bersamaan

dengan limfoma.

CT juga dapat dipertimbangkan sebagai tehnik pilihan untuk

mengevaluasi respons terapi ketika pengobatan dengan target terapi tertentu

diperlukan.

Namun CT juga masih memiliki banyak keterbatasan untuk

staging, re-staging, dan respons terhadap evaluasi terapi limfoma. Baru-

baru ini, 2-[fluorine-18]fluoro-2-deoxy-d-glucose (FDG) positron emission

tomography (PET) menjadi modalitas imejing pilihan untuk staging dan


34

follow up limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin. Secara spesifik untuk

limfoma gastrointestinal, uptake FDG berbeda-beda pada masing-masing

lokasi.

Tehnik pemeriksaan MRI menyuguhkan gambaran evaluasi yang

lebih baik pada dinding usus serta infiltrasi lokal yang terjadi. MRI whole-

body dengan diffusion-weighted imaging terbukti sangat berguna dalam

mengevaluasi staging limfoma nodal dan sumsum tulang. Pada kasus

limfoma gastrointestinal, diffusion-weighted imaging (DWI) terbukti sangat

berguna dalam mendeteksi limfoma gaster, karena memberikan gambaran

khas berupa peningkatan sinyal pada sekuens DWI dan intensitas sinyal

yang berkurang pada sekuens apparent diffusion coefficient maps (ADC),

serta sebagai diagnosis banding dengan adenocarcinoma dimana

adenocarcinoma memiliki nilai ADC yang lebih rendah dibandingkan

limfoma. Pemeriksaan MRI secara umum menitikberatkan pada evaluasi

saluran gastrointestinal, namun tidak mendukung untuk evaluasi akurat

terhadap organ-organ abdomen dan thoraks.

Akan tetapi, meskipun berbagai tehnik pemeriksaan radiologi

dapat mengarahkan pada kecurigaan limfoma, biopsi jaringan selalu

diperlukan untuk diagnosis spesifik. Modalitas pemeriksaan radiologi yang

umum dilakukan untuk kecurigaan limfoma gastrointestinal yaitu

pemeriksaan barium dan CT scan yang digunakan berdasarkan

pertimbangan kondisi dan ketersediaan. CT scan tetap menjadi modalitas


35

pilihan utama karena evaluasi keseluruhan pada staging limfoma lebih baik

dibandingkan pemeriksaan barium.


36

DAFTAR PUSTAKA

1. Manzella A, Borba-Filho P, D’Ippolito G, Farias M. Abdominal


Manifestations of Lymphoma: Spectrum of Imaging Features. ISRN Radiol.
2013;2013(Figure 6):1-11. doi:10.5402/2013/483069
2. Ghai S, Pattison J, Ghai S, O’Malley ME, Khalili K, Stephens M. Primary
gastrointestinal lymphoma: Spectrum of imaging findings with pathologic
correlation. Radiographics. 2007;27(5):1371-1388.
doi:10.1148/rg.275065151
3. Masselli G, Polettini E, Casciani E, Bertini L, Vecchioli A, Gualdi G.
Small-bowel neoplasms: Prospective evaluation of MR enteroclysis.
Radiology. 2009;251(3):743-750. doi:10.1148/radiol.2513081819
4. Ghimire P, Wu GY, Zhu L. Primary gastrointestinal lymphoma. World J
Gastroenterol. 2011;17(6):697-707. doi:10.3748/wjg.v17.i6.697
5. Lo Re G, Federica V, Midiri F, et al. Radiological Features of
Gastrointestinal Lymphoma. Gastroenterol Res Pract. 2016;2016.
doi:10.1155/2016/2498143
6. Matasar MJ, Zelenetz AD. Overview of Lymphoma Diagnostic and
Management. Radiol Clin N Am. 2008; 46 : 175–198
7. Rademaker MJ. Hodgkins’s and Non-Hodgkin’s Lymphomas. Radiol Clin
N Am. 2007; 45 : 69 – 83
8. Gore RM, Levine MS, Laufer I. Textbook of gastrointestinal radiology.
Philadelphia: Saunders, 1994: 619 - 677
9. Laissue JA, Chappuis BB, Müller C, Reubi JC, Gebbers JO. The intestinal
immune system and its relation to disease. Dig Dis. 1993;11(4-5):298-312.
doi:10.1159/000171421
10. Thomas AS, Schwartz M, Quigley E. Gastrointestinal lymphoma: The New
mimic. BMJ Open Gastroenterol. 2019;6(1). doi:10.1136/bmjgast-2019-
000320
11. Frampas E. Lymphomas: Basic points that radiologists should know. Diagn
Interv Imaging. 2013;94(2):131-144. doi:10.1016/j.diii.2012.11.006
12. Navia HF, Manrique A ME. Linfoma primario del intestino delgado:
Reporte de un caso y revisión de la literatura. Rev Colomb Gastroenterol.
2017;32(1):65-71. doi:10.22516/25007440.132
13. Lewis RB, Mehrotra AK, Rodríguez P, Manning MA, Levine MS. From
the radiologic pathology archives: Gastrointestinal lymphoma: Radiologic
and pathologic findings. Radiographics. 2014;34(7):1934-1953.
doi:10.1148/rg.347140148
14. Cardona DM, Layne A, Lagoo AS. Lymphomas of the gastro-intestinal
tract - Pathophysiology, pathology, and differential diagnosis. Indian J
Pathol Microbiol 2012;55:1-16
15. Lewis RB, Mehrotra AK, Rodríguez P, Manning MA, Levine MS. From
the radiologic pathology archives: Gastrointestinal lymphoma: Radiologic
and pathologic findings. Radiographics. 2014;34(7):1934-1953.
doi:10.1148/rg.347140148
37

6. Matasar MJ, Zelenetz AD. Overview of Lymphoma Diagnostic and


Management. Radiol Clin N Am. 2008; 46 : 175–198
7. Rademaker MJ. Hodgkins’s and Non-Hodgkin’s Lymphomas. Radiol Clin
N Am. 2007; 45 : 69 – 83
8. Gore RM, Levine MS, Laufer I. Textbook of gastrointestinal radiology.
Philadelphia: Saunders, 1994: 619 - 677
12. Cardona DM, Layne A, Lagoo AS. Lymphomas of the gastro-intestinal
tract - Pathophysiology, pathology, and differential diagnosis. Indian J
Pathol Microbiol 2012;55:1-16

You might also like