You are on page 1of 30

Scanned with CamScanner

Scanned with CamScanner


Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
J. vet. Pharmacol. Therap. 27, 441–453, 2004. REVIEW

Volumes of distribution
P. L. TOUTAIN & Toutain, P. L., Bousquet-Mélou, A. Volumes of distribution. J. vet. Pharmacol.
A. BOUSQUET-MÉLOU Therap. 27, 441–453.
Volumes of distribution are proportionality constants between total amount of
UMR 181 Physiopathologie et
Toxicologie Expérimentales INRA/ENVT,
drug in the body and plasma concentrations. As snapshot plasma drug
Ecole Nationale Vétérinaire de Toulouse, concentrations may be measured in different conditions (at equilibrium, under
Toulouse cedex 03, France pseudo-equilibrium condition,…), several volumes of distribution have been
defined. The two most relevant are the volume of distribution at equilibrium
(Vss), and the volume of distribution during pseudo-equilibrium (Varea).
Volumes of distribution are used to compute a loading dose (Vss) or the
residual amount of drug in the body knowing plasma concentrations (Varea).
Volume of distribution may be interpreted in terms of drug distribution having
recourse to physiological models involving drug binding to plasma and tissues.
Volumes of distribution should be determined early in drug development
programmes and those having a large volume of distribution may be selected to
obtain a long terminal half-life even for drugs having a relatively high
clearance.

P. L. Toutain, UMR 181 Physiopathologie et Toxicologie Expérimentales INRA/


ENVT, Ecole Nationale Vétérinaire de Toulouse, 23, chemin des Capelles, 31076
Toulouse cedex 03, France. E-mail: pl.toutain@envt.fr

INTRODUCTION VOLUME OF DISTRIBUTION: A GENERAL DEFINITION

Three volumes of distribution (Vd) are classically reported in All the volumes of distribution correspond to the ratio of an
the scientific literature: the volume of the central compartment amount (A) of drug in the body at a given time (At), and plasma
(Vc), the volume of distribution calculated by the area (blood) concentration at that time (Eqn 1):
method (Varea) and the steady-state volume of distribution
(Vss). Amount of drug in the body at time t ðAt Þ
Vd ¼ ð1Þ
Vd is the parameter used to assess the amount of drug in Cplasma at time t
the body from the measurement of a snapshot plasma
concentration. The main clinical application of Vd is to By definition a Vd should only be regarded as a propor-
compute a loading dose (e.g. the first dose of a multiple tionality constant (parameter) between a plasma concentration
dosage regimen) in order to immediately reach the target and the corresponding amount of drug in the body. This
therapeutic plasma concentration. Frequently, and often proportionality constant having a volume for dimension
incorrectly, the numerical value of a Vd is advocated to has been termed volume of distribution. Figure 2 gives a
support claims on the extent of drug distribution. It should be pictorial view of the concept of Vd using a flask analogy to the
stressed that Vd was not primarily designed to evaluate drug body.
distribution in the different physiological spaces, and that a Vd
can be much higher than the total body water space (Fig. 1).
Nevertheless, a physiological interpretation of Vd is possible DRUG DISTRIBUTION AND VOLUME OF DISTRIBUTION
but this requires having recourse to models involving drug
binding to plasma and tissues. The evaluation of drug distribution (with its different determi-
This review defines each volume of distribution, how to nants) and that of volume of distribution are two different issues.
compute them (with particular attention to the most frequent They should be carefully distinguished, even if relationships
incorrect computations) and how to interpret and use appropri- between them exist, as expressed by different physiological
ately the different Vd. models (vide infra). Figure 3 depicts the principles of drug

 2004 Blackwell Publishing Ltd 441


IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN KADAR RHODAMIN B PADA JAJANAN
KUE BERWARNA MERAH MUDA YANG BEREDAR DI KOTA MANADO

Paulina V. Y. Yamlean1)
1)
Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Sam Ratulangi Manado, 95115
Email:olan_0506@yahoo.co.id

ABSTRAK
Rhodamin B adalah pewarna terlarang yang sering ditemukan pada makanan, terutama makanan
jajanan. Rhodamin B, yaitu zat pewarna berupa serbuk kristal berwarna hijau atau ungu
kemerahan, tidak berbau, serta mudah larut dalam larutan warna merah terang berfluoresan
sebagai bahan pewarna tekstil atau pakaian. Jenis jajanan yang banyak dijumpai dan dicampuri
dengan Rhodamin B, antara lain bubur delima, cendol, kolang-kaling, cincau dan kue-kue lainnya.
Setelah dicampuri bahan ini makanan tersebut menjadi berwarna merah muda terang. Hasil
penelitian yang diperoleh membuktikan bahwa sampel-sampel kue berwarna merah muda yang
beredar di kota Manado ada yang positif menggunakan Rhodamin B.
Kata kunci: kue berwarna merah muda, rhodamin B

IDENTIFICATION AND DETERMINATION LEVEL OF RHODAMIN B ON


STREET FOOD PINC CAKE THAT CIRCULATION TO MANADO CITY

ABSTRACT
Rhodamin B is the illegal dyes that is often found in food, especially street foods. Rhodamin B,
which is a dye form crystalline powder colored green or reddish purple, odorless, easily soluble in
bright red fluoroscence solution as dye of textiles or apparel. Types of street food that are often
found and mixed with Rhodamin B, amon pomegranate porridge, cendol, fro, grass jelly and other
pastries. After mix with Rhodamon B, all that food becomes light pink. The results of research has
obtained prove that the samples pink cake that circulated in Manado citythere are positive use of
Rhodamin B.
Keywords: pink cake, rhodamin B

PENDAHULUAN dihasilkan oleh industri kecil atau rumah


tangga (Anonim, 2005).
Latar Belakang Makanan jajanan (street food) sudah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
Makanan merupakan salah satu
kehidupan masyarakat, baik dari perkotaan
kebutuhan dasar manusia yang terpenting dan
maupun pedesaan. Keunggulan dari makanan
juga merupakan faktor yang sangat esensial
jajanan adalah murah dan mudah didapat,
bagi pertumbuhan dan perkembangan
serta cita rasanya yang cocok dengan selera
manusia. Tetapi betapapun menariknya
kebanyakan masyarakat. Meskipun makanan
penampilan, lezat rasanya dan tinggi nilai
jajanan memiliki keunggulan-keunggulan
gizinya, apabila tidak aman dikonsumsi,
tersebut, ternyata makanan jajanan juga
maka makanan tersebut tidak ada nilainya
beresiko terhadap kesehatan karena
sama sekali (Winarno dan Rahayu, 1994).
penanganannya sering tidak higienis, yang
Salah satu masalah pangan yang
memungkinkan makanan jajanan
masih memerlukan pemecahan yaitu
terkontaminasi oleh mikroba beracun maupun
penggunaan bahan tambahan pangan untuk
penggunaan bahan tambahan pangan (BTP)
berbagai keperluan. Penggunaan bahan
yang tidak diizinkan (Anonim, 2005).
tambahan pangan dilakukan pada industri
Rhodamin B adalah pewarna
pengolahan pangan, maupun dalam
terlarang yang sering ditemukan pada
pembuatan makanan jajanan, yang umumnya
makanan, terutama makanan jajanan.
290 Jurnal Ilmiah Sains Vol. 11 No. 2, Oktober 2011

Rhodamin B, yaitu zat pewarna berupa Variabel yang Diamati


serbuk kristal berwarna hijau atau ungu
A1: kue ku dari pasar Karombasan pada
kemerahan, tidak berbau, serta mudah larut
penjual I
dalam larutan warna merah terang
A2: kue bolu kukus dari pasar Karombasan
berfluoresan sebagai bahan pewarna tekstil
pada penjual I
atau pakaian. Jenis jajanan yang banyak
B1: kue ku dari pasar Karombasan pada
dijumpai dan dicampuri dengan Rhodamin B,
penjual II
antara lain bubur delima, cendol, kolang-
B2: kue bolu kukus dari pasar Karombasan
kaling, cincau dan kue-kue lainnya. Setelah
pada penjual II
dicampuri bahan ini makanan tersebut
C1: kue ku dari pasar Bahu pada penjual I
menjadi berwarna merah muda terang
C2: kue bolu kukus dari pasar Bahu pada
(Anonim, 2008; Anonima, 2006).
penjual I
Penggunaan Rhodamin B pada
D1: kue ku dari pasar Bahu pada penjual II
makanan dalam waktu yang lama akan dapat
D2: kue bolu kukus dari pasar Bahu pada
mengakibatkan gangguan fungsi hati maupun
penjual II
kanker. Namun demikian, bila terpapar
E1: kue ku dari paar Bersehati pada penjual I
Rhodamin B dalam jumlah besar maka dalam
E2: kue bolu kukus dari pasar Bersehati pada
waktu singkat akan terjadi gejala akut
penjual I
keracunan Rhodamin B (Yuliarti, 2007).
F1: kue ku dari pasar Bersehati pada penjual
Berdasarkan permasalahan di atas
II
maka perlu dilakukan penelitian untuk
F2: kue bolu kukus dari pasar Bersehati pada
mengidentifikasi Rhodamin B pada jajanan
penjual II
kue berwarna merah muda yang beredar di
G1: kue ku dari pasar Tuminting pada
kota Manado.
penjual I
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1)
G2: kue bolu kukus dari pasar Tuminting
Untuk mengetahui ada tidaknya pewarna
pada penjual I
Rhodamin B pada jajanan kue berwarna
H1: kue ku dari pasar Tuminting pada
merah muda yang beredar di kota Manado; 2)
penjual II
Untuk mengetahui seberapa besar kadar zat
H2: kue bolu kukus dari pasar Tuminting
warna Rhodamin B pada jajanan kue
pada penjual II
berwarna merah muda yang beredar di kota
Manado.
Identifikasi Zat Warna
METODOLOGI PENELITIAN Prinsip kerja dalam identifikasi zat
warna Rhodamin B pada jajanan kue akan
Alat menggunakan identifikasi secara
Alat yang digunakan dalam spektrofotometer UV-Vis setelah diekstraksi
penelitian ini adalah: Erlenmeyer, Hot plate, dan dimurnikan.
Timbangan, Corong pisah, Spektrofotometer
UV-Vis Milton Roy 501, Labu takar, Gelas Prosedur Kerja
arloji, Gelas ukur, Pipet, Spatula, Batang Pengambilan dan Penyiapan Sampel
pengaduk, Kertas saring Whatman No. 42.
Sampel kue ku dan bolu kukus
Bahan diambil pada dua penjual jajanan kue di
empat pasar yang ada di kota Manado yaitu
Bahan-bahan yang digunakan adalah: pasar Karombasan, pasar Bahu, pasar
Kue ku dan kue bolu kukus, Dietil eter, Bersehati dan pasar Tuminting, pada tanggal
Aquades, Larutan natrium hidroksida 10%, 1 November 2008. Sampel kue ku diambil
Larutan natrium hidroksida 0,5%, Larutan sebanyak 2 buah dan sampel kue bolu kukus
asam klorida 0,1 N, Larutan ammonia 2% diambil sebanyak 8 buah pada tiap-tiap
dalam etanol 70%. penjual kemudian sampel dimasukkan ke
dalam wadah plastik dan selanjutnya dibawa
ke laboratorium Kimia Lanjut FMIPA
UNSRAT.
Majalah Teknologi Agro Industri (Tegi)
Volume 10 No. 2 Desember 2018

VALIDASI METODE ANALISIS PIPERIN DALAM LADA HITAM SECARA


SPEKTROFOTOMETRI

Validation Of Piperin Analyzing Method By Spectrofotometry

Shintawati1), Oktaf Rina2), Iskandar Zulkarnain3)


1),2),3)
Politeknik Negeri Lampung, Jalan Soekarno Hatta No 10, Bandar Lampung-35144, Indonesia
Email : shintawatisatria@gmail.com

ABSTRAK. Lada hitam asal Provinsi Lampung dikenal sejak zaman penjajahan Belanda karena
kepedasannya. Zat aktif pemberi rasa pedas tersebut adalah piperin. Salah satu metoda analisa piperin
adalah menggunakan spektrofotometri UV Vis. Upaya modifikasi terhadap metode analisa standar
dilaksanakan dengan mengefektifkan jumlah penggunaan bahan kimia namun tetap menghasilkan data
pengujian yang valid dan tak terbantahkan. Penelitian ini bertujuan untuk memvalidasi metode pengujian
piperin yang dimodifikasi dari metoda standar melalui penilaian parameter presisi, akurasi,linieritas, serta
penetapan nilai LOD dan LOQ. Hasil penelitian menunjukkan seluruh parameter validasi memenuhi
persyaratan keberterimaan validasi. Diperoleh nilai simpangan baku relatif (%RSD) sebesar 0,10123
dengan nilai CV Horwitz 3.05145, nilai perolehan kembali 98,88-101,87% dan koefisien determinasi kurva
linieritas sebesar 0,999. Nilai LOD dan LOQ masing-masing sebesar 0,002116 dan 0,007054 ppm
Kata Kunci : lada hitam, piperin dan validasi.

ABSTRAC. Black pepper from Lampung Province is known since the Dutch colonial era because of its
spiciness. The spicy flavor active substance is piperine. One method of piperine analysis is using UV Vis
spectrophotometer. Modification efforts on standard analysis methods are carried out by streamlining the
amount of chemical use but still producing valid and undisputable test data. This study aims to validate the
modified piperine testing methods from standard methods through the assessment of parameters of precision,
accuracy, linearity, and determination of LOD and LOQ values. The results of the study show that all
parameters meet the requirements for accepting validation. Obtained relative standard deviation value (%
RSD) is 0.10123 with the value of CV Horwitz 3.05145, recovery value 98.88-101.87% and the coefficient of
determination of the linearity curve 0.999. The LOD and LOQ values are 0.002116 and 0.007054 ppm,
respectively.
Key words : black pepper, pipperin and validation.

hitam adalah SNI 005 : 2013 Lada Hitam. Prinsip


1. PENDAHULUAN
analisis piperin dalam SNI 005:2013 adalah
Lada Hitam merupakan salah satu ekstraksi termal dengan pelarut etanol pro
komoditi ekspor unggulan Provinsi Lampung, analisis (pa) dilanjutkan dengan pembacaan
dengan volume ekspor 13.922 ton pada tahun absorbansi menggunakan spektrofotometer UV
2017 (Lampung Directory, Dinas Perdagangan Vis pada panjang gelombang 343 nm. Menurut
Provinsi Lampung, 2018). Lada hitam asal Gupta Vishvnath, 2011, piperin memiliki serapan
Provinsi Lampung terkenal dengan kepedasannya maksimum pada panjang gelombang 342,5 nm
yang dicirikan oleh parameter piperin. Kadar dalam pelarut metanol. Selain sifat kimia yang
piperin dalam lada hitam bervariasi 2-7,4% (Leila dimiliki senyawa, spektrum absorbansi juga
Gorgani, 2017). Analisa kadar piperin dapat dipengaruhi oleh pelarut (Underwood, 1988).
menggunakan Spektrofotometer UV Vis, HPLC, Menurut Nerdy, 2017, asam mefenamat yang
dan GC. Pengujian piperin menggunakan memiliki serapan maksimum pada panjang
spektrofotometer relatif lebih murah dengan gelombang 279 nm sampai 350 nm dapat
selektifitas yang tinggi. Salah satu metode ditetapkan kadarnya menggunakan
standar untuk analisis kadar piperin dalam lada spektrofotometer ultraviolet. Berdasarkan

53
Majalah Teknologi Agro Industri (Tegi)
Volume 10 No. 2 Desember 2018

instrumen yang digunakan. Nilai koefisien dapat digunakan sebagaimana peruntukkannya


determinasi kurva linieritas adalah sebesar 0,999, yaitu untuk pengujian piperin dalam lada hitam.
hal ini memenuhi syarat keberterimaan validasi
yaitu >0,99 (Cipac, 2003 dan Riyanto, 2014).
DAFTAR PUSTAKA
Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi Leila Gorgani, MaedehMohamadi, Ghasem D
Penentuan nilai batas deteksi yang Najafpour, (2017), Piperin-The Bioactive
dilakukan merupakan penentuan batas deteksi Compound of Black Pepper : From Isolation
instrumen, yang mencakup batas deteksi (LOD) to Medical Formulations, Comprehensive
dan batas kunatitasi (LOQ). Penentuan LOD dan Reviews in Food Science and Food Safety,
LOQ dilaksanakan berdasarkan data kurva Vol. 16.
linieritas piperin (Riyanto, 2014). Data Gupta Vishvnath, Jain U.K.,( 2011), Quantitative
perhitungan LOD dan LOQ tertera pada Tabel 4. Analysis of Piperin in Ayuverdic
Formulaation by UV Spectrophotometry,
Tabel 4. Penentuan Nilai LOQ dan LOD International Journal of Pharma Science and
Piperin Research, Vol. 2.
(ppm) Abs yc yi-yc (yi-yc)2 Anwar Hadi (2018), Persyaratan Umum
0 0 -0.014 0.014 0.000196 Kompetensi Laboratorium Pengujian dan
1 0.083 0.074 0.009 8.1E-05 Laboratorium Kalibrasi ISO/IEC 17025 :
2 0.158 0.162 -0.004 1.6E-05 2017, Gramedia.
4 0.329 0.338 -0.009 8.1E-05 Nining Sugihartini, Achmad Fudholi,
6 0.519 0.514 0.005 0.000025 SuwidjiyoPramono, Sismindari (2014),
Validasi Metode Analisa Penetapan Kadar
8 0.685 0.69 -0.005 2.5E-05
Epigalokatekin Galat dengan Kromatografi
10 0.874 0.866 0.008 6.4E-05 Cair Kinerja Tinggi, Pharmaciana, Vol. 4,
6.20745E- Nomor 2.
SD RESIDUAL 05
Anonim, How to Meet ISO 17025 Requirements
LOD 0.002116 for Method Verification. from
LOQ 0.007054 http://www.aoac.org/al acc_guide_2008.pdf
Guidelines on Method Validation to be Performed
Hasil perhitungan menunjukkan nilai in Support of Analytical Methods for
LOD dan LOQ masing-masing 0,002116 dan Agrochemical Formulations, 2003,
0,007054 ppm. Nilai LOD bermakna konsentrasi Cipac.org.
piperin terendah yang masih dapat terdeteksi Riyanto Ph.D (2014), Validasi dan Verifikasi
adalah 0,002116 ppm. Nilai LOQ sebesar Metode Uji Sesuai dengan ISO/IEC 17025
0,007054 ppm bermakna nilai tersebut merupakan Laboratorium Pengujian dan Kalibasi ,
konsentrasi terendah yang masih dapat terdeteksi Deepublish, 2014.
oleh spektrofotometer dengan tingkat presisi dan
akurasi yang dapat diterima (Riyanto, 2014). Ambarwati, Novida Ariyani, Maria Fatima Palupi
(2013), Validasi Metoda Spektrofotometri
KESIMPULAN pada Uji Kadar Sediaan Injeksi Obat Hewan
Validasi terhadap metode analisis piperin Enrofloksasin, Sain Veteriner 31(2).
berdasarkan SNI lada hitam tahun 2013 yang Lampung Directory, Dinas Perdagangan Provinsi
dimodifikasi, memiliki nilai % RSD, CV Horwitz, Lampung, 2018
rentang nilai perolehan kembali dan koefisien Nerdy, 2017, Validation of Ultraviolet
determinasi kurva linieritas masing-masing Spectrophotometry Met hod For
sebesar 0,10123; 3,05 ; 98,88-101,87% dan Determination of Mefenamic Acid Level in
0,999. Nilai LOD dan LOQ yang diperoleh Suspension Dosage Forms, Jurnal Natural,
masing-masing sebesar 0,002116 dan 0,007054 Volume 17(1).
ppm. Nilai parameter validasi yaitu presisi, Ridho Asra, Harrizul Rivai, Widya Astuti,
akurasi dan linieritas memenuhi batas Pengembangan dan Validasi Metode Analisis
keberterimaan analisis kimia kuantitatif, sehingga Betametason Tablet dengan Metode
metode analisis piperin yang dimodifikasi ini
57
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 5, Nomor 4, Oktober 2016
Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Faizurrahman Andi Kusuma, Endang Sri Sunarsih, Eva Annisaa

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH TERHADAP PROFIL


FARMAKOKINETIK PARASETAMOL PADA TIKUS WISTAR
Faizurrahman Andi Kusuma1, Endang Sri Sunarsih2, Eva Annisaa3
1
Mahasiswa Program Pendidikan S-1 Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro
2
Staf Pengajar Ilmu Farmasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro
3
Staf Pengajar Ilmu Farmakologi dan Terapi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro
Jl. Prof. H. Soedarto, SH.,Tembalang-Semarang 50275, Telp. 024-76928010

ABSTRAK
Latar Belakang : Penggunaan minyak goreng yang telah dipanaskan berulangkali banyak
dilakukan di masyarakat untuk menekan pengeluaran biaya dalam memasak. Minyak goreng
yang dipanaskan dan digunakan berulang akan membentuk suatu radikal bebas yang dapat
menjenuhkan antioksidan endogen, yaitu gluthation. Parasetamol mempunyai efek analgesik
dan antipiretik yang banyak digunakan masyarakat. Dalam metabolisme parasetamol,
gluthation mempunyai peran yang penting.
Tujuan : Mengetahui pengaruh minyak jelantah terhadap profil farmakokinetik parasetamol
dalam darah tikus wistar
Metode : True experimental dengan post test only control group design. Setelah diadaptasi
dengan diet standar selama 7 hari, 14 ekor tikus wistar jantan dibagi menjadi 2 kelompok.
Kelompok K sebagai kelompok kontrol, dan kelompok P sebagai kelompok perlakuan.
Kelompok K diberi diet standar dan kelompok P diberi diet minyak jelantah ad libitum selama
56 hari. Pada hari ke-57 semua tikus diberi parasetamol oral 12,5 mg/200gramBB.
Pengambilan cuplikan darah dilakukan dari vena retroorbita pada menit ke-3, 5, 10, 20, 30,
40, 60, 90, 120, 180, 240, 300, dan 360. Kadar parasetamol dalam plasma diukur dengan
spektrofotometer UV pada panjang gelombang 242 nm.
Hasil : Uji statistik dengan uji t tidak berpasangan menunjukkan perbedaan bermakna pada
parameter Cl, Kel, t1/2e, Cmaks, AUC (p<0,05) dan menunjukkan perbedaan tidak bermakna
pada parameter Ka,Vd, tmaks (p>0,05).
Simpulan : Minyak jelantah dapat mempengaruhi profil farmakokinetik parasetamol dengan
meningkatkan parameter t1/2e, Cmaks, AUC dan menurunkan parameter Cl, dan Kel.
Kata Kunci : Minyak jelantah, parasetamol, parameter farmakokinetik

ABSTRACT
EFFECT OF REPEATEDLY HEATED OIL TO PHARMACOKINETICS OF
PARACETAMOL IN WISTAR RATS
Background : The use of cooking oil that has been heated repeatedly are excessively done in
the society to suppress expenses in cooking. Cooking oil that heated and used repeatedly
could form a free radical that could saturate an endogenous antioxidant, namely glutathione.
Paracetamol has analgesic and antipyretic effects which are widely used by the people. In the
metabolism of paracetamol, glutathione have an important role.
Objectives : To determine the effect of repeatedly heated oil on paracetamol pharmacokinetic
in the Wistar rats’ blood.
Methods : A true-experimental with post-test only control group design study using wistar as
animal model. After adaptation, samples were randomly devided into two groups (n=7
pergroup). K (negative control), P was given repeatedly heated oli diet ad libitum for 56 days.
779
JKD, Vol. 5, No. 4, Oktober 2016 : 779 - 790
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 5, Nomor 4, Oktober 2016
Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Faizurrahman Andi Kusuma, Endang Sri Sunarsih, Eva Annisaa

Konsentrasi plasma puncak menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam plasma


setelah pemberian secara oral14. Konsentrasi plasma puncak (C maks) berbanding lurus dengan
dosis yang diberikan (Dev) serta nilai bioavailabilitas (F) dari obat tersebut, namun berbanding
terbalik dengan nilai Kel11. Semakin tinggi D ev dan semakin rendah Kel mengakibatkan Cmaks
semakin tinggi. Pada hasil penelitian menunjukkan Cmaks kelompok perlakuan lebih tinggi
dibanding kelompok kontrol. Pada pengukuran berat badan tikus, tikus kelompok perlakuan
menunjukkan rerata berat badan yang lebih besar daripada tikus kelompok kontrol, sehingga
Dev tikus kelompok perlakuan juga lebih besar, namun nilai Kel tikus kelompok perlakuan
lebih kecil dibandingkan dengan tikus kelompok kontrol. Sehingga nilai C maks kelompok
perlakuan menjadi lebih besar.
AUC merupakan parameter yang mencerminkan jumlah total obat aktif yang
mencapai siklus sistemik. Nilai AUC berbanding lurus dengan D ev dan F namun berbanding
terbalik dengan Kel dan Vd11. Pada hasil percobaan, nilai AUC kelompok perlakuan lebih
tinggi dibanding kelompok kontrol. Hal tersebut dikarenakan nilai D ev kelompok perlakuan
lebih besar dari kelompok kontrol, namun Kel kelompok perlakuan lebih kecil dari kelompok
kontrol. Sehingga nilai AUC kelompok perlakuan lebih besar dibanding kelompok kontrol.
Hal ini didukung oleh penelitian Pradana DA dkk. tentang efek kurkumin dan madu
terhadap farmakokinetik parasetamol pada tikus Wistar. Pada penelitian tersebut dikatakan
kurkumin menurunkan parameter klirens dan menurunkan Kel, sehingga meningkatkan
parameter turunan AUC0-inf16.
Nilai Ka menjelaskan kinetika absorpsi dari parasetamol11. Laju absorbsi tergantung
pada pengosongan gaster. Absorbsi parasetamol dapat tertunda oleh adanya makanan,
propantheline, petidin, dan diamorfin15.
Pada penelitian oleh Pinondang Simaremare dkk. tentang pengaruh jus durian terhadap
profil farmakokinetik parasetamol pada darah tikus, absorbsi parasetamol terganggu akibat
adanya karbohidrat dalam lambung tikus perlakuan. Sedangkan pada penelitian ini, semua
tikus dipuasakan 18 jam sebelum diberi parasetamol, sehingga tidak ada makanan di dalam
lambung yang mengganggu proses penyerapan. Akibatnya nilai Ka tidak berbeda antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Volume distribusi (Vd) dapat dianggap sebagai volume dimana obat terlarut. Nilai Vd
berbanding lurus dengan F dan D ev, namun berbanding terbalik dengan Kel dan AUC11. Pada
788

JKD, Vol. 5, No. 4, Oktober 2016 : 779 - 790


Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 85-89, 2015 Eka Kumalasari

IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN KADAR RHODAMIN B DALAM


KERUPUK BERWARNA MERAH YANG BEREDAR DI PASAR ANTASARI
KOTA BANJARMASIN

Submitted : 20 April 2015


Edited : 10 Mei 2015
Accepted : 20 Mei 2015

Eka Kumalasari

Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin


E-mail : ekakumalasari260989@gmail.com

ABSTRACT
Crackers are made from tapioca flour batter mixed with flavorings and colorings, still many
outstanding crackers that contain ingredients banned dye Rhodamine B. Rhodamine B is a chemical used for
red dye in the textile industry and plastic. Rhodamine B can cause cancer, poisoning, lung irritation, sore
eyes, and sore throat. This study aims to identify and determination the levels of Rhodamine B in circulating
red crackers Antasari market Banjarmasin.
The population is that sold in the red crackers that sold in Antasari market Banjarmasin.. The
sampling is technique incidental sampling , that is based on chance, so any population by chance met with
researchers can be used as a sample. Identification of Rhodamine B was done by Thin Layer
Chromatography (TLC) by using the stationary phase silica GF 254 and mobile phase is elution solvent is n-
butanol, ethyl acetate, ammonia (10:4:5). Then detected with a UV lamp 254 nm and 366 nm. While for the
determination of levels using Vis spectrophotometry at a wavelength of 544 nm.
The results showed that the samples of 6 found one sample containing Rhodamine B, namely
samples 5 (cassava crackers matches) and obtained values of 7,25 ± 3,8640 levels mg / kg. Based on these
results, Rhodamine B still found in crackers that sold in the market Antasari Banjarmasin.

K eywords : crackers, Rhodamine B, Thin Layer Chromatography, and UV-Vis spectrophotometry

PENDAHULUAN
Kerupuk adalah makanan ringan yang pewarna alami dikarenakan produsen ingin
dibuat dari adonan tepung tapioka dicampur mendapatkan untung yang lebih banyak.
bahan perasa. Cara membuatnya sangat gampang, Menurut Peraturan Menteri Kesehatan
bahan bakunya pun melimpah ruah. Kerupuk Nomor 33 Tahun 20122, menyatakan bahwa
sangat garing dan cocok dijadikan pelengkap Bahan Tambahan Pangan (BTP) merupakan
sajian masakan indonesia, selain itu kerupuk juga bahan yang ditambahkan kedalam pangan untuk
dapat dinikmati sebagai cemilan ketika nonton mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Banyak
televisi1. Salah satu pasar yang banyak menjual produsen kerupuk yang menambahkan bahan
kerupuk berwarna merah adalah pasar Antasari tambahan pangan yang aman, tidak jarang juga
Kota Banjarmasin. ada bahan tambahan yang dilarang misalnya zat
Kerupuk juga tidak lepas dari masalah pewarna Rhodamin B. Pemakaian zat pewarna
keamanan makanan jajanan. Adanya produsen berbahaya untuk bahan pangan telah ditetapkan
yang masih menggunakan Rhodamin B pada dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 33 Tahun
produknya disebabkan oleh pengetahuan yang 20122 tentang bahan tambahan pangan, bahwa
tidak memadai mengenai bahaya penggunaan Rhodamin B merupakan bahan tambahan pangan
bahan kimia tersebut pada kesehatan dan juga (BTP) yang dilarang penggunaannya dalam
karena tingkat kesadaran masyarakat yang masih makanan.
rendah. Selain itu, Rhodamin B sering digunakan Rhodamin B merupakan zat warna
sebagai pewarna karena harganya relatif lebih sintetik umum yang digunakan sebagai pewarna
murah, warna yang dihasilkan lebih menarik dan tekstil. Rhodamin B merupakan zat warna
tingkat stabilitas warnanya lebih baik dari pada tambahan yang dilarang penggunaannya dalam

Akademi Farmasi Samarinda 85


Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 85-89, 2015 Eka Kumalasari

Sampel yang dinyatakan positif konsentrasi 10 ppm dengan rentang panjang


selanjutnya dilakukan penetapan kadar dengan gelombang 400-800 nm dan diperoleh λ
metode spektrofometri UV-Vis karena hasilnya maksimum 544 nm. Hal ini dilakukan karena
lebih akurat dan lebih cepat. Penetapan kadar larutan Rhodamin B merupakan larutan
Rhodamin B diawali dengan pembuatan Larutan berwarna.
Stok Rhodamin B 2000 ppm dengan pelarut Selanjutnya Pembuatan kurva baku
etanol. Dari larutan ini ambil sebanyak 250 larutan Rhodamin B dilakukan dengan membuat
µmasukkan kedalam labu ukur 25 ml dilarutkan larutan dengan berbagai konsentrasi pengukuran
hingga batas dengan menggunakan etanol, didapat yaitu: 10, 15, 20, 25, 30, dan 35 ppm, kemudian
larutan Rhodamin B dengan konsentrasi 20 ppm. diukur serapannya pada panjang gelombang 544
Larutan ini akan digunakan untuk penentuan OT nm. Hasil perhitungan persamaan regresi kurva
(Operating Time) dan penentuan panjang larutan baku diperoleh persamaan garis y=
gelombang maksimal. Kemudian untuk penentuan 0,0232x + (-0,0352) dengan koefisien korelasi (r)
kurva baku maka dibuatlah larutan Rhodamin B sebesar 0,9981. Dari hasil tersebut dapat
sebanyak 6 konsentrasi yaitu 10 ppm, 15 ppm, 20 dikatakan bahwa terdapat korelasi yang positif
ppm, 25 ppm, 30 ppm, 35 ppm. Selanjutnya antara kadar dan serapan. Artinya, dengan
dilakukan penetapan kadar pada sampel yang meningkatnya konsentrasi maka absorbansi juga
telah diidentifikasi positif mengandung Rhodamin akan meningkat. Hal ini berarti terdapat 99,18 %
B. data yang memiliki hubungan linier.
Pada penentuan Operating Time baku Penetapan kadar Rhodamin B dilakukan
Rhodamin B diperoleh waktu pengukuran yang dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis.
stabil dimulai dari menit ke-19 sampai menit ke- Dari 6 sampel yang dianalisis ternyata terdapat
21. Penentuan operating time tujuannya ialah satu sampel yang teridentifikasi adanya zat
untuk mengetahui waktu pengukuran yang stabil Rhodamin B yaitu sampel ke 5 dengan replikasi
dan memiliki daya serap absorbansi yang sebanyak 3 kali. Setelah dibaca dengan alat
maksimal. Operating time ditentukan dengan spektrofotometri UV-Vis didapat nilai
mengukur hubungan antara waktu pengukuran absorbansinya sebesar 0.066, 0.030, dan 0.051
dengan absorbansi larutan9. pada panjang gelombang 544 nm.
Pada Penentuan panjang gelombang
maksimum larutan Rhodamin B dilakukan pada

Tabel 2. Nilai Absorbansi Sampel


Kode Sampel Replikasi λ maks Absorbansi
1 544 0,066
Sampel 5 2 544 0,030
3 544 0,051

Tabel 3. Kadar Rhodamin B pada Sampel


Kadar rata-rata ±
Sampel Replikasi Kadar (mg/kg) SD (mg/kg)
1 8,72 mg/kg
Sampel 5 2 5,62 mg/kg 7,25 ± 3,8640 mg/kg
3 7,42 mg/kg

Hasil penetapan kadar pada sampel yang Rhodamin B yang secara sengaja
positif mengandung Rhodamin B setelah dibaca ditambahkan pada kerupuk menambah kualitas
pada alat spektrofotometri UV Vis dengan pewarna agar lebih menarik sehingga konsumen
replikasi sebanyak 3 kali setiap sampelnya yaitu lebih tertarik untuk membelinya, selain itu banyak
dengan jumlah sampel 10 gr yang akan penjual masih menggunakan Rhodamin B yang
dipreparasi kemudian didapat hasil kadar rata-rata praktis digunakan dan harganya relatif murah
sebanyak 7,25 ± 3,8640 mg/kg kerupuk serta tersedia dalam kemasan kecil di pasaran
mengandung Rhodamin B. Berdasarkan sehingga memungkinkan masyarakat umum untuk
perhitungan replikasi sampel menurut Federer dari membelinya. Jadi diharapkan bagi konsumen agar
6 sampel didapat sebanyak 3 replikasi. lebih hati-hati dalam mengkonsumsi kerupuk
yang beredar di pasar Antasari Kota Banjarmasin.

88 Akademi Farmasi Samarinda

You might also like