You are on page 1of 4

BIOGRAFI GUS DUR

Abdurrahman Wahid, born Abdurrahman ad-Dakhil 7 September 1940 – 30 December 2009),


colloquially known as About this sound Gus Dur (help·info), was an Indonesian Muslim religious and
political leader who served as the President of Indonesia from 1999 to 2001. The long-time president of
the Nahdlatul Ulama and the founder of the National Awakening Party (PKB), Wahid was the first
elected president of Indonesia after the resignation of Suharto in 1998.

His popular nickname Katak Gus Dur, is derived from Katak meaning frog,Gus, a common honorific for
a son of kyai, from short-form of bagus (‘handsome frog’ in Javanese language and Dur, short-form of
his name, Abdurrahman.

Abdurrahman ad-Dakhil Wahid was born on the fourth day of the eighth month of the Islamic calendar in
1940 in Jombang, East Java to Abdul Wahid Hasyim and Siti Solichah. This led to a belief that he was
born on 4 August; instead, using the Islamic calendar to mark his birth date meant that he was actually
born on 4 Sha’aban, equivalent to 7 September 1940.

He was named after Abd ar-Rahman I of the Umayyad Caliphate who brought Islam to Spain and was
thus nicknamed “ad-Dakhil” (“the conqueror”). His name is stylized in the traditional Arabic naming
system as “Abdurrahman, son of Wahid”. His family is Javanese of mixed Chinese-Arabic origins with
some native blood. From his paternal line, he is descended from a well-known Moslem missionary from
China known as Syekh Abdul Qadir Tan Kiem Han who was a disciple of Sunan Ngampel-Denta (Raden
Rahmat Bong Swie Hoo) – one of the Nine Wali (Holy Islamic Saints) who became one of the first
Islamic Kings on Java who islamicized Java in the 15-16th centuries

He was the oldest of his five siblings, and was born into a very prestigious family in the East Java
Muslim community. His paternal grandfather, Hasyim Asy’ari was the founder of Nahdlatul Ulama (NU)
while his maternal grandfather, Bisri Syansuri was the first Muslim educator to introduce classes for
women. Wahid’s father, Wahid Hasyim, was involved in the nationalist movement and would go on to be
Indonesia’s first Minister of Religious Affairs.

In 1944, Wahid moved from Jombang to Jakarta where his father was involved with the Consultative
Council of Indonesian Muslims (Masyumi), an organization established by the Imperial Japanese Army
which occupied Indonesia at the time. After the Indonesian Declaration of Independence on 17 August
1945, Wahid moved back to Jombang and remained there during the fight for independence from the
Netherlands during the Indonesian National Revolution. At the end of the war in 1949, Wahid moved to
Jakarta as his father had been appointed Minister of Religious Affairs. He was educated in Jakarta, going
to KRIS Primary School before moving to Matraman Perwari Primary School. Wahid was also
encouraged to read non-Muslim books, magazines, and newspapers by his father to further broaden his
horizons.He stayed in Jakarta with his family even after his father’s removal as Minister of Religious
Affairs in 1952. In April 1953, Wahid’s father died after being involved in a car crash.

In 1954, Wahid began Junior High School. That year, he failed to graduate to the next year and was
forced to repeat. His mother then made the decision to send him to Yogyakarta to continue his education.
In 1957, after graduating from Junior High School, he moved to Magelang to begin Muslim Education at
Tegalrejo Pesantren (Muslim school). He completed the pesantren course in two years instead of the
usual four. In 1959, he moved back to Jombang to Pesantren Tambakberas. There, while continuing his
own education, Wahid also received his first job as a teacher and later on as headmaster of a madrasah
affiliated with the pesantren. Wahid also found employment as a journalist for magazines such as
Horizon and Majalah Budaya Jaya.

Wahid returned to Jakarta expecting that in a year’s time, he would be abroad again to study at McGill
University in Canada. He kept himself busy by joining the Institute for Economic and Social Research,
Education and Information (LP3ES),an organization which consisted of intellectuals with progressive
Muslims and social-democratic views. LP3ES established the magazine Prisma and Wahid became one
of the main contributors to the magazine. Whilst working as a contributor for LP3ES, he also conducted
tours to pesantren and madrasah across Java. It was a time when pesantren were desperate to gain state
funding by adopting state-endorsed curricula and Wahid was concerned that the traditional values of the
pesantren were being damaged because of this change. He was also concerned with the poverty of the
pesantren which he saw during his tours. At the same time as it was encouraging pesantren to adopt state-
endorsed curricula, the Government was also encouraging pesantren as agents for change and to help
assist the government in the economic development of Indonesia. It was at this time that Wahid finally
decided to drop plans for overseas studies in favor of promoting the development of the pesantren.

Wahid continued his career as a journalist, writing for the magazine Tempo and Kompas, a leading
Indonesian newspaper. His articles were well received, and he began to develop a reputation as a social
commentator. Wahid’s popularity was such that at this time he was invited to give lectures and seminars,
obliging him to travel back and forth between Jakarta and Jombang, where he now lived with his family.

Despite having a successful career up to that point, Wahid still found it hard to make ends meet, and he
worked to earn extra income by selling peanuts and delivering ice to be used for his wife’s Es Lilin
(popsicle) business. In 1974, he found extra employment in Jombang as a Muslim Legal Studies teacher
at Pesantren Tambakberas and soon developed a good reputation. A year later, Wahid added to his
workload as a teacher of Kitab al-Hikam, a classical text of sufism.

In 1977, Wahid joined the Hasyim Asyari University as Dean of the Faculty of Islamic Beliefs and
Practices. Again he excelled in his job and the University wanted to him to teach extra subjects such as
pedagogy, sharia, and missiology. However, his excellence caused some resentment from within the
ranks of university and he was blocked from teaching the subjects. Whilst undertaking all these ventures
he also regularly delivered speeches during Ramadan to the Muslim community in Jombang.

Abdurrahman Wahid lahir Abdurrahman iklan-Dakhil 7 September 1940 – 30 Desember 2009), bahasa
sehari-hari dikenal sebagai tentang ini suara Gus Dur (help·info), adalah Indonesia Muslim agama dan
politik pemimpin yang menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia dari tahun 1999 hingga 2001.
Presiden Nahdlatul Ulama dan pendiri Nasional kebangkitan Partai (PKB), Wahid adalah sebagai
Presiden pertama Indonesia setelah pengunduran diri Soeharto pada tahun 1998.

Nya populer julukan Kopaska Gus Dur, berasal dari Kopaska makna katak, Gus, predikat umum untuk
anak kyai, dari pendek-bentuk bagus (‘tampan kodok’ dalam bahasa Jawa dan Dur, bentuk pendek dari
namanya, Abdurrahman.

Iklan-Dakhil Abdurrahman Wahid Lahir pada hari keempat belas bulan kedelapan dari kalender Islam
tahun 1940 di Jombang, Jawa Timur Abdul Wahid Hasyim dan Solichah. Hal ini menyebabkan
keyakinan bahwa ia Lahir pada 4 Agustus; Sebaliknya, menggunakan kalender Islam untuk menandai
tanggal lahir berarti bahwa ia benar-benar dilahirkan pada Syakban 4, setara dengan 7 September 1940.

Ia dinamai Abd ar-Rahman I dari Khilafah Bani Umayyah yang membawa Islam ke Spanyol dan dengan
demikian dijuluki “iklan-Dakhil” (“sang Penakluk”). Namanya adalah bergaya dalam Arab tradisional
sistem penamaan “Abdurrahman, putra Wahid”. Keluarganya adalah Jawa Cina-Arab campuran dengan
beberapa darah asli. Dari garis ayah, ia adalah keturunan dari misionaris Muslim terkenal dari Cina yang
dikenal sebagai Syekh Abdul Qadir Tan Kiem Han yang adalah seorang murid dari Sunan Ngampel-
Denta (Raden Rahmat Bong Swie Hoo) – salah satu dari sembilan Wali (Suci umat kudus Islam) yang
menjadi salah satu raja Islam pertama di Jawa yang islamicized Jawa di abad 15-16

Dia adalah anak tertua dari saudaranya lima, dan dilahirkan dalam sebuah keluarga yang sangat bergengsi
di komunitas Muslim Jawa Timur. Kakeknya, Hasyim Asyari adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU),
sementara kakek dari pihak ibu, Bisri Syansuri, adalah pendidik Muslim pertama untuk memperkenalkan
kelas untuk wanita. Ayah Wahid, Wahid Hasyim, terlibat dalam gerakan nasionalis dan akan terus
menjadi Indonesia pertama Menteri agama.
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta mana ayahnya terlibat dengan Penasehat Dewan
dari Muslim Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang didirikan oleh tentara kekaisaran Jepang yang
menduduki Indonesia saat itu. Setelah Deklarasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus
Dur kembali ke Jombang dan tetap di sana selama perjuangan untuk kemerdekaan dari Belanda selama
Revolusi Nasional Indonesia. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya
pernah ditunjuk sebagai Menteri agama. Ia dididik di Jakarta, pergi ke SD KRIS sebelum pindah ke SD
Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya
untuk memperluas pengetahuannya. Ia tinggal di Jakarta dengan keluarganya bahkan setelah
penghapusan ayahnya sebagai Menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal
setelah terlibat dalam kecelakaan mobil.

Pada tahun 1954, Gus Dur memulai SMP. Tahun itu, ia tidak naik tahun depan dan dipaksa untuk
mengulangi. Ibunya kemudian membuat keputusan untuk mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan
pendidikannya. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, ia pindah ke Magelang untuk memulai Muslim
pendidikan di Tegalrejo Pesantren (Muslim sekolah). Ia menyelesaikan kursus pesantren dalam dua tahun
empat biasa. Pada tahun 1959, ia pindah kembali ke Jombang ke Pesantren Tambakberas. Di sana,
sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan
pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah berafiliasi dengan pesantren.
Wahid juga dipekerjakan sebagai wartawati untuk majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.

Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas
McGill di Kanada. Ia membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke lembaga ekonomi dan penelitian
sosial, pendidikan dan informasi (LP3ES) organisasi yg terdiri dari kaum intelektual Muslim progresif
dan Sosial Demokrat. LP3ES mendirikan majalah Prisma dan Wahid menjadi salah satu kontributor
utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, ia juga melakukan wisata ke
pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Ini adalah waktu ketika pesantren putus asa untuk mendapatkan
dana negara oleh mengadopsi kurikulum pemerintah dan Wahid prihatin bahwa nilai-nilai tradisional
pesantren yang rusak karena perubahan ini. Dia adalah juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang
ia lihat. Pada saat yang sama ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah,
pemerintah tidak juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam
perkembangan ekonomi Indonesia. Itu adalah saat ini bahwa Wahid akhirnya memutuskan untuk
menjatuhkan rencana untuk belajar di luar negeri mendukung mempromosikan perkembangan pesantren.

Abdurrahman Wahid meneruskan kariernya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah Tempo dan Kompas,
sebuah koran Indonesia yang terkemuka. Artikel–artikelnya diterima dengan baik, dan ia mulai
mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu pada saat ini dia diundang
untuk memberikan kuliah dan seminar, mewajibkannya untuk perjalanan bolak–balik antara Jakarta dan
Jombang, tempat ia sekarang tinggal bersama keluarganya.

Meskipun memiliki karier yang sukses sampai saat itu, Gusdur masih merasa sulit untuk membuat
memenuhi, dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan
mengantarkan es yang digunakan untuk istrinya Es Lilin (es loli) bisnis. Pada tahun 1974, dia mendapat
pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan
reputasi baik. Satu tahun kemudian Wahid menambah pekerjaannya menjadi guru Kitab al-Hikam, teks
klasik tasawuf.

Pada tahun 1977, Gus Dur bergabung Hasyim Asyari Universitas sebagai Dekan Fakultas keyakinan
Islam dan praktek. Sekali lagi ia mengungguli pekerjaannya dan Universitas ingin agar dia mengajar
subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam dan misiologi. Namun, kelebihannya menyebabkan
beberapa ketidaksenangan dari sebagian kalangan Universitas dan ia diblokir dari mengajar mata
pelajaran. Sementara menanggung semua beban tersebut, ia juga berpidato selama Ramadhan komunitas
Muslim di Jombang.

You might also like