Professional Documents
Culture Documents
net/publication/324136005
Sikap dan Etika Pengguna Media Sosial dalam Isu Kebebasan Berekspresi
CITATIONS READS
0 2,282
2 authors:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Komunikasi Media Online Pengusaha Milenial dalam Membangun Personal Branding di Era Digital View project
All content following this page was uploaded by Lestari Nurhajati on 01 April 2018.
Abstract
The use of social media in Indonesia are categorized quite massive. Recorded by
wearesocial.com, the number of active internet users in Indonesia until early 2016,
approximately 88.1 million people with 79 million are active users of social media. So no
wonder the speed of dissemination of information through social media becomes very
remarkably rapid and significant impact. But unfortunately, this condition is not coupled
with an attitude and ethics of social media users are wise.
Not wise users of social media, for example upload a picture of an accident or
natural disaster victims. Likewise, the circulation of photographs of two junior high school
students (male and female) who were in bed without wearing a complete outfit. Looking at
the situation as it raises a problem that is; how exactly the attitude and ethics of social
media users in the issue of freedom of expression?
Attitude in the theory proposed by Newcomb, is indispensable to the motive.
Motive can be defined as an attitude that has become action. So when it is about to
measure the attitude, then one of them can be done by measuring the motive. This study
uses a quantitative methodology with questionnaires on the active users of social media to
see how attitude and ethical use of social media, with no limit of age, gender, and social
status. The results of this study addressing the relatively normative ethical attitudes and
even tend to be cautious and keep the feeling of others in the use of social media. But
unfortunately the average social media user will be neglected if there are other parties that
violate social ethics of media.
Keywords: Attitude, Ethics, Social Media, Freedom of Expression
Abstrak
Pendahuluan
Perubahan teknologi internet secara langsung dan tak langsung membawa dampak atas
perubahan prilaku dan sikap manusia sebagai penggunanya. Termasuk pada masyarakat di
Indonesia. Penggunaan media sosial di Indonesia dikategorikan cukup masif. Tercatat
menurut wearesocial.com, jumlah pengguna aktif internet di Indonesia sampai awal tahun
2016 sekitar 88,1 juta orang dengan 79 juta di antaranya adalah pengguna aktif media
sosial. Sehingga tidak heran kecepatan penyebaran informasi melalui media sosial menjadi
sangat luar biasa cepat dan memberikan dampak yang cukup signifikan. Namun sayangnya
kondisi ini tidak dibarengi dengan sikap dan etika pengguna media sosial yang bijak.
Tidak bijaknya para pengguna media sosial ini sudah banyak diekspose media massa,
misalnya saja: penggunaan media sosial sebagai sarana konsolidasi kelompok
teroris/radikal, kemudian ketika pejabat pejabat publik menggunakan media sosial sebagai
sarana untuk saling menyindir dan menjelekan koleganya, hingga terjadinya peristiwa
tabrakan maut di Surabaya, yang terekspose secara cepat dan viral melalui beragam
platform media sosial yang ada. Dalam kasus tabrakan maut di Surabaya, tidak bijaknya
pengguna media sosial itu tampak ketika video yang tersebar tersebut menunjukan adegan
saat mobil mewah menabrak warung dan mengakibatkan korban luka dan meninggal,
ditampilkan apa adanya. Demikian juga dengan banyak beredarnya foto dua anak SMP (laki-
laki dan perempuan) yang sedang di ranjang tanpa mengenakan pakaian lengkap, tersebar
di berbagai media sosial. Penggunggah video dan juga foto peristiwa tersebut, serta para
penyebarnya seolah tidak memahami bagaimana etika atas penayangan adegan yang tidak
etis tersebut.
Dalam berbagai forum diskusi kemudian memunculkan perdebatan panjang tentang sikap
dan motif para pengguna media sosial yang seolah abai dengan etika yang ada. Pelanggaran
etika yang sedemikian rupa ini kemudian sering dihubungkan dengan konsep kebebasan
berekspresi. Melihat situasi seperti itu memunculkan sebuah pertanyaan permasalahan
yakni; bagaimana sesungguhnya sikap dan etika pengguna media sosial dalam isu kebebasan
berekspresi?
Sikap (attitude) dalam teori yang dikemukakan oleh Newcomb (Walgito, 2003), tidak bisa
dipisahkan dengan motif. Motif bisa diartikan sebagai sikap yang sudah menjadi tindakan.
Sehingga apabila hendak mengukur sikap, maka salah satunya bisa dilakukan dengan
mengukur motifnya. Lebih lanjut menurut Krech & Crutchfield (Walgito, 2003) menyatakan
bahwa sikap merupakan keadaan dalam diri manusia yang berhubungan dengan proses
motif, emosi, persepsi dan kognisi. Posisi Motif sangatlah signifikan dalam proses prilaku
seseorang. Demikian juga dalam tindakan prilaku komunikasi seseorang melalui media
sosial.
Elliot (2008) kemudian membagi 4 tipe motivasi atas sikap yang terwujud dalam prilaku
yakni pendekatan positif (positive approach), pendekatan negatif (negative approach),
penghindaran positif (positive avoidance), dan penghindaran negative (negative
avoidance). Lebih lanjut pendekatan itu bisa dijelaskan bahwa pendekatan positif terjadi bila
seseorang menyenangi obyek sikap yang bersangkutan, sedangkan pendekatan negatif
terjadi bila seseorang tidak menyenangi obyek tersebut dan bertindak negatif terhadapnya.
Misalnya, masa bodoh, merusak, mengabaikan, menyerang, dan sebagainya. Sedangkan
penghindaran negatif terjadi bila seseorang menjauhi obyek dengan rasa benci, takut, atau
menolaknya mentah-mentah. Penghindaran positif bila seseorang menjauhi suatu obyek
atau situasi tertentu dengan cara yang baik-baik.
Sikap dan motif ini apabila dikaitkan dengan penggunaan media sosial, sebagai media yang
relatif baru di Indonesia, akan menarik untuk dikaji. McLuhan dalam bukunya The Medium is
The Message, secara tepat memprediksi akan adanya tantangan pada jaman yang makin
maju. Tantangan bagaimana seharusnya manusia mampu menjalankan sikap etis dalam
prilaku penggunaan media online.
Etika dalam Media Online
Fortner and Fackler (2011) menjabarkan bahwa studi mengenai etika secara umum dibagi ke
dalam 3 bagian, yaitu : meta-etika, etika normatif dan etika deskriptif. Etika deskriptif
membahas mengenai kebiasaan moral yang dilakukan oleh orang atau kelompok tertentu
dan mempelajari tentang bagaimana etika dari penetapan keputusan berfungsi secara de
facto (langsung dan efektif).
Meta-etika menempatkan isu pada teori-teori normatif dan menguji secara filosofis,
diantaranya yaitu, apa itu kebaikan dan hal-hal baik, masalah kejahatan dan kebenaran dari
teori-teori etika. Etika normatif itu menggabungkan moralitas yang sebenarnya dengan
dasarnya, berfokus pada adil atau tidak adilnya keadaan masyarakat dan sebuah institusi.
Yang terpenting dari etika normatif yaitu sangat berpusat pada cara yang terbaik bagi para
professional untuk mengarahkan melalui prinsip-prinsip supaya dapat dipromosikan. Etika
normatif adalah cara yang digunakan untuk mengembangkan norma-norma dan pedoman,
tidak hanya untuk menggambarkan detil atau kesepakatan dengan abstraksi.
Kategori normatif telah menerima perhatian ilmiah yang luar biasa dalam etika media, jadi
lima dari 8 isu zaman dulu yang mewakili : keadilan sosial, kebenaran, keramahan, harga
diri manusia dan privasi.
Carrie (2014) melihat ada dua hal utama yang harus diperhatikan dengan pendekatan etika
ketika seseorang menggunakan media online. Pertama, peran dan tanggung jawab
pemikiran melibatkan kesadaran akan kewajiban seseorang ketika mempertimbangkan
setiap tindakan yang mereka akan lakukan di web. Kedua, perspektif yang rumit termasuk
upaya untuk mempertimbangkan bagaimana seharusnya tindakan seseorang secara online
yang dapat menimbulkan banyak pengaruh bagi banyak pihak. Akhirnya, masyarakat peduli
tentang keuntungan yang mungkin dapat ditimbulkan atau justru malah sebaliknya hal yang
mungkin dapat mempengaruhi masyarakat dalam jumlah besar sebagai akibat dari satu
tindakan secara online.
Sebagai contoh, bayangkan jika sebuah pemikiran etis di Youtube mungkin akan melibatkan
penonton yang kita tidak kenal yang mungkin akan menanggapi, menafsirkan atau bahkan
salah menafsirkan sebuah video bahkan sebelum mempostingnya. Atau itu bisa juga
diartikan tentang betapa berbedanya setiap pengguna dari Wikipedia (contoh. Lebih tua dan
lebih muda, berpendidikan atau kurang berpendidikan) yang mungkin mendapat manfaat
dari informasi baru atau malah dirugikan oleh kesalahan informasi yang ditampilkan secara
kolektif oleh ensiklopedia online.
Moral dalam bertetangga atau moralitas dalam skal kecil, seperti yang disampaikan oleh
James rest dan rekannya, adalah panduan yang berguna dalam interaksi yang sifatnya relasi
langsung. Namun itu berlangsung singkat atau dengan kata lain hanya relevan di jangka
waktu yang terbatas yaitu hanya ketika satu orang berhubungan dengan grup yang lebih
besar, masyarakat atau public atau mungkin sebuah dunia yang terdiri dari beberapa
individu ataupun tidak – dengan kata lain, tidak dapat dipastikan – diketahui secara
personal. Disinilah moral dalam arti yang lebih besar, sikap yang abstrak, atau disposisi etika
memang diperlukan. Pemikiran etis melibatkan pertimbangan efek dari tindakan seseorang
pada seberapa tinggi jabatan yang diembannya dan integritas dari komunitas yang lebih
besar.
Carrie (2014) lebih lanjut melihat bahwa pemikiran-pemikiran yang dimiliki anak muda
tentang situasi yang terjadi secara online dimana sebagian besar berfokus pada dirinya
sendiri, minim tentang isu-isu moral atau pemahaman mengenai masalah moral dalam skala
luas. Memang, tiga target yang berbeda tersirat dalam kategori-kategori ini – diri sendiri,
diketahui orang lain dan hubungan satu sama lain dalam komunitas yang lebih besar –
adalah dasar dari kerangka cara berpikir yang kita gunakan untuk menganalisis cara berpikir
anak muda tentang bagaimana itu kehidupan online.
Metode Penelitian
Jenis Kelamin
23,30%
Laki-laki
Perempuan
76,70%
Melalui grafik 1 di atas dapat terlihat bahwa sebagian besar responden dalam survey
ini adalah perempuan yaitu sekitar 76,7 % dibandingkan dengan laki-laki yang hanya sebesar
23,3 %.
Tabel 1. Usia
Frequency Percent
15 – 25 tahun 50 48,5
26 – 35 tahun 38 36,9
36 – 45 tahun 11 10,7
> 46 tahun 4 3,9
Total 103 100,0
Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui bahwa kebanyakan responden dalam survey
adalah mereka yang berusia 15 – 25 tahun yaitu sebanyak 48,5% diikuti oleh responden
yang berusia 26 – 35 tahun sebanyak 36,9%. Responden yang berusia 36-45 tahun sebanyak
10,7%, sedangkan responden yang berusia lebih dari 45 tahun hanya sebanyak 3,9%.
Deskripsi Variabel Sikap dan etika Pengguna Media Sosial dalam Isu Kebebasan
Berekspresi
Bagian berikut akan memaparkan mengenai variabel Tentang Sikap dan pengguna
media sosial dalam isu kebebasan berekspresi. Pemaparan yang ada akan disajikan melalui
beberpa grafik dan tabel yang berisi mengenai indikator dari variabel seperti yang
disebutkan.
Grafik 2. Saat menggunakan media sosial, saya ikut bertanggung jawab atas pesan yang saya
bagikan
70,00% 61,20%
60,00%
50,00%
40,00%
30,10%
30,00%
20,00%
10,00% 4,90% 3,90%
0,00%
Sangat Tidak Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju
Setuju
Dalam grafik 2 di atas dapat terlihat bahwa bagi pengguna media sosial kebanyakan
setuju bahwa mereka bertenggungjawab akan pesan yang mereka bagikan (61,2 %
menyatakan sangat setuju dan 30,1 % menyatakan bahwa mereka setuju). Namun masih
ada yang merasa kalau mereka tidak bertanggung jawab akan pesan yang mereka bagikan
yaitu hanya sebesar 4,9%. Dari grafik 2 juga dapat terlihat bahwa ada yang masih ragu
bahwa mereka bertanggung jawab akan pesan yang dibagikan yaitu hanya sebesar 3,9 %.
Pada bagian ini jelas, bahwa secara signifikan responden memahami konsekuensi dan
tanggung jawab ketika menggunakan media sosial. Pada poin ini prinsip pemahaman etika
tampak jelas dipahami dengan baik.
Grafik 3. Saya sangat berhati-hati berkomentar di media sosial karena itu bisa melukai pihak lain
70,00% 59,20%
60,00%
50,00%
40,00% 28,20%
30,00%
20,00% 4,90% 6,80%
10,00% 1%
0,00%
Berdasarkan grafik 3 dapat diketahui bahwa sebagian besar penggguna media sosial
merasa yakin bahwa mereka sangat berhati-hati dalam berkomentar di media sosial karena
komentarnya dapat melukai pihak lain (yaitu sebanyak 59,2%). Sedangkan yang mereka
yang setuju dengan pernyataan yang sama berjumlah 28,2 %. Adapun yang tidak
mendukung pernyataan yang sama berjumlah 4,9 % dan 1 %. Pengguna media sosial yang
masih ragu akan pernyataan yang sama berjumlah 6,8%. Pada bagian ini semakin kuat
pemahaman dari responden, yakni ketika mereka sadara dan bertanggung jawab atas
penggunaan media sosial, maka mereka akan sangat berhati-hati menggunakannya, karena
tidak ingin melukai pihak lain.
100%
80% 37,9 24,3 13,6
60% 35,9 20,4
40% 37,9
20% 13,6
3,9 25,2 37,9 Sangat Setuju
0% 6,8 7,8
5,8 20,4
7,8
Media sosial Setuju
adalah sarana Media sosial Media sosial
untuk kebebasan adalah sarana adalah sarana
Ragu-ragu
berekspresi untuk
menyampaikan untuk menuntut
Tidak Setuju
kebenaran keadilan sosial
Tabel 3. Saya tidak mengenal semua orang dalam diskusi melalui media sosial
Frequency Percent
Sangat Tidak Setuju 9 8,7
Tidak Setuju 12 11,7
Ragu-ragu 26 25,2
Setuju 38 36,9
Sangat Setuju 18 17,5
Total 103 100,0
Dengan melihat tabel 3 dapat dikatakan bahwa kebanyakan pengguna media sosial
yang menjadi responden dalam survey ini setuju bahwa mereka tidak mengenal semua
orang dalam diskusi melalui media sosial (yaitu sebanyak 36,9%). Pengguna media sosial
yang masih ragu apakah mereka mengenal atau tidak mengenal semua orang dalam diskusi
melalui media sosial tercatat sebesar 25,2 %. Sebanyak 17, 5 % pengguna media sosial
menyatakan sangat setuju bahwa mereka tidak mengenal semua orang dalam diskusi
melalui media sosial. Sedangkan hanya sebesar 11,7 % dan 8,7 % yang menyatakan bahwa
mereka tidak setuju dan sangat tidak setuju dengan pernyataan bahwa mereka tidak
mengenal semua orang dalam diskusi melalui media sosial. Pada poin ini tampak bahwa
kondisi pengguna media sosial memiliki kecenderungan bahwa mereka tidak ekslusif dalam
berteman di media sosial, hanya 20,4% pengguna yang memilih pertemanan di media sosial
secara eksklusif.
Bagian berikut akan memaparkan mengenai sikap pengguna media sosial dalam isu
kebebasan berekspresi. Pemaparan yang ada akan disajikan melalui beberpa grafik dan
tabel yang berisi mengenai indikator dari variabel utama seperti yang disebutkan.
Saya menghindari diskusi melalui media sosial 15,5 29,1 23,3 23,3 8,7
Saya menolak diskusi melalui media sosial 21,4 36,9 16,5 13,6 Sangat Tidak
11,7
Saya takut berdiskusi melalui media sosial 23,3 35,9 23,3 10,7 6,8 Setuju
Saya benci berdiskusi melalui media sosial 19,4 33 21,4 14,6 Tidak Setuju
11,7
Saya mengabaikan diskusi melalui media sosial 10,7 32 29,1 21,4 6,8
Saya senang berdiskusi melalui media sosial 11,7 23,3 37,9 20,4 6,8
4,9 Sangat
Saya sangat berhati-hati dalam Tidak
memfoward pesan melalui media 3,9 35 51,5
Setuju
sosial 4,9 Tidak
Setuju
Saya senang memfoward pesan 8,7 20,4 30,1 33 7,8
melalui media sosial Ragu-ragu
8,7
Saya senang menciptakan pesan 2,9 23,3 48,5 16,5
melalui media sosial
Kesimpulan
3. Pada poin tentang diskusi melalui media sosial tampak bahwa secara umum mereka
tidak takut, tidak benci untuk berdiskusi, tidak juga menolak (penghindaran negatif),
namun rata-rata mereka agak mengabaikan (penghindaran positif) apabila diajak
berdiskusi melalui media sosial, meskipun jumlahnya hampir sama dengan yang
senang berdiskusi. Pemahaman atas etika berdiskusi di media sosial juga ditandai
dengan pernyataan bahwa rata-rata mereka mengakui adanya perbedaan pendapat
dalam diskusi melalui media sosial.
4. Pada poin tentang tidak mengenal semua orang di platform media sosial mereka,
tampak bahwa pengguna media sosial memiliki kecenderungan tidak ekslusif dalam
berteman di media sosial, hanya 20,4% pengguna yang memilih pertemanan di
media sosial secara eksklusif (benar-benar mengenal teman media sosial mereka).
5. Responden sebagai reprenstasi pengguna media sosial di Indonesia tampaklah
sangat kreatif, yakni terbukti hampir 68% senang menciptakan pesan. Di sisi lain
yang lebih menonjol adalah mereka sangat berhati-hati dalam memfoward pesan,
lebih 50% menunjukan komitmen ini, meskipun ada 30% lebih yang menyatakan
sangat senang memfoward pesan.
6. Berkaitan tentang tema selebritis, kriminalitas, dan pornografi, yang ada di media
sosial, rata-rata sekitar 30% pengguna media sosial menyatakan menyukainya. Hal
ini cukup menarik karena ini sejalan dengan kondisi media secara umum bahwa isu
selebriti, kriminalitas dan pornografi memang masih menjadi favorit konsumsi di
berbagai media massa.
7. Pendekatan negatif (negative approach) yakni tidak menyenangi visual tentang dua
anak SMP yang setengah telanjang menjadi gambaran umum dari pengguna media
sosial yang menjadi responden. Sehingga menunjukkan kondisi yang menarik, yakni
meskipun 30% masih menyukai mengkonsumsi pornografi, namun mereka
menyatakan menyatakan tidak suka dan juga menolak (penghindaran negatif)
tampak jelas rata-rata lebih dari 50% dinyatakan oleh responden. Hal ini berbeda
ketika berkaitan dengan isu visual korban bencana yang tidak etis, sikap responden
rata-rata justru tidak secara tegas apakah melakukan pendekatan ataupun
penghindaran.
8. Sementara itu responden justru cenderung melakukan penghindaran positif, yakni
mereka akan mengabaikan pihak lain yang jelas-jelas melakukan pelanggaran etika di
media sosial. Padahal sikap lebih asertif dan mengingatkan sesama pengguna media
sosial untuk saling menjaga etika, justru sangatlah diperlukan dalam konteks
penggunaan media sosial yang lebih sehat di Indonesia.
Daftar Pusaka
D, John., T, Catherine., & James., Carrie. (2014). Disconnected: Youth, New Media and the Ethics Gap.
Cambridge : The MIT Press.
Drushel, Bruce., & German, Kathleen. (2011). The Ethics of Emerging Media: Information, Social
Norms, and New Media Technology. New Zealand: Pindar NZ.
Elliot, Andrew J. (2008). Handbook of approach and avoidance motivation. New York: Psychology
Press Taylor & Francis Group
Fortner, Robert S., Fackler, P. Mark. (2011). The Handbook of Global Communication and
Media Ethics. UK : Wiley Blackwell.
Walgito, Bimo. (2003). Psikologi Sosial (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Andi Offset
Ward, Stephen J.A. (2011). Ethics and The media. Cambridge : Cambridge University Press.
http://wearesocial.com/sg/special-reports/digital-2016