You are on page 1of 10

Bulletin of Scientific Contribution, Volume 14, No.

2, Agustus 2016 : 117 – 126

OPTIMALISASI PEMANFAATAN SISTEM AGROFORESTRI SEBAGAI BENTUK ADAPTASI DAN


MITIGASI TANAH LONGSOR
Pradnya P. Raditya Rendra, Nana Sulaksana, Boy Yoseph C.S.S.S. Alam
Fakultas Teknik Geologi, Jalan Raya Bandung-Sumedang Km 21, Indonesia
radityarendra90@gmail.com

ABSTRACT
Landslide is a natural disaster that often occur in Indonesia and cause a significant impact. Landslide
may occur due to static factor (slope) and dynamic factor (land use). Landslide mitigation can be done to
prevent the negative impact of landslide. Landslide mitigation through slope stabilization can be done
with vegetative technique. Vegetative technique as a landslide mitigation with sustainable land
production is also known as agroforestry. Agroforestry is a land use systems made by various
technologies through the utilization of annual crops, perennial crops, and/or livestock , either alternately
or at the same time in a certain period to form ecological, social, and economic interactions.
Agroforestry system has more advantages than other land use systems. One of the advantage of this
system is can be used on steep slope area. Multistory agroforestry system can prevent landslide by
forming soil organic material, improving soil structure, and making soil more stable. Utilization of
multistory agroforestry system with various types of storied canopy trees considered as appropiate
landslide mitigation because the closure of canopy tress are tightly and stratified, their root system is
excellent, and the soil cover such as grasses and shrubs is important to prevent landslide. Furthermore,
agroforestry system can also be used to produce food crops, fodder, honey, building materials, and
medicinal materials.

Keyword : Agroforestry, mitigation, slope, landslide.

ABSTRAK
Tanah longsor merupakan bencana alam yang sering terjadi di Indonesia dan menimbulkan dampak cukup
besar. Tanah longsor dapat terjadi akibat faktor statis (kemiringan lereng) dan faktor dinamis (tata guna
lahan). Mitigasi tanah longsor dilakukan untuk mencegah dampak negatif tanah longsor. Mitigasi tanah
longsor melalui stabilisasi lereng dapat dilakukan dengan rekayasa vegetatif. Rekayasa vegetatif sebagai
mitigasi tanah longsor dengan produksi lahan berkelanjutan tersebut disebut juga sebagai sistem
agroforestri. Agroforestri merupakan sistem penggunaan lahan yang dilakukan dengan berbagai teknologi
melalui pemanfaatan tanaman semusim, tanaman tahunan, dan/atau ternak dalam waktu bersamaan atau
bergiliran pada periode tertentu sehingga terbentuk interaksi ekologi, sosial, dan ekonomi. Sistem
agroforestri memiliki lebih banyak kelebihan dibandingkan sistem penggunaan lahan lain. Salah satu
kelebihan sistem ini adalah dapat digunakan pada lahan berlereng curam. Sistem agroforestri multistrata
dapat mencegah tanah longsor dengan membentuk bahan organik tanah, memperbaiki struktur tanah,
dan membuat tanah menjadi lebih stabil. Pemanfaatan sistem agroforestri multistrata dengan berbagai
jenis tanaman tajuk bertingkat dinilai sebagai langkah tepat mitigasi tanah longsor karena adanya
penutupan tajuk pepohonan yang rapat dan bertingkat, sistem perakaran yang sangat baik, serta penutup
tanah berupa rerumputan dan semak belukar yang sangat penting untuk menghindari tanah longsor.
Selain itu, sistem agroforestri juga dapat dimanfaatkan sebagai penghasil bahan pangan, pakan ternak,
madu, bahan bangunan, dan bahan obat.

Kata kunci :Agroforestri, mitigasi, lereng, longsor.

PENDAHULUAN telah terjadi sebanyak 1.815 kali dan


Indonesia merupakan negara beriklim menyebabkan 1.762 orang menjadi
tropis dengan kondisi geologi yang korban. Beberapa daerah rawan longsor
kompleks. Kondisi tersebut tercermin di Indonesia antara lain Jawa Barat, Jawa
dari pertemuan tiga lempeng tektonik, Tengah, Sumatra Barat, sebagian
yaitu Lempeng Pasifik, Eurasia, dan Lampung, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Indo-Australia. Kondisi geologi kompleks Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan
menjadikan Indonesia memiliki potensi sebagian Papua (Anonim, 2012). Dari
bencana yang tinggi. Salah satu bencana beberapa daerah rawan longsor tersebut,
yang sering terjadi adalah tanah longsor. 274 kabupaten dan kota berada di
Sejak tahun 1815 – 2012, tanah longsor daerah rawan longsor. Tidak kurang dari

117
Bulletin of Scientific Contribution, Volume 14, No.2, Agustus 2016 : 117 – 126

40,9 juta jiwa (17,2% penduduk mengalami longsor. Hal ini tentu bukan
Indonesia) juga terpapar langsung hal baik bagi kondisi lereng di daerah
bahaya longsor sedang - tinggi (Anonim, tersebut. Oleh karena itu, sistem
2014). pengelolaan lahan dan konservasi tanah
Tanah longsor merupakan salah satu berupa agroforestri diharapkan mampu
bencana alam yang sering terjadi dan mengatasi masalah pemanfaatan lahan
menimbulkan kerugian material dan non yang tidak tepat (Hairiah dkk., 2003).
material cukup besar. Bencana alam
tersebut terjadi karena berbagai macam TANAH LONGSOR
faktor, baik oleh kondisi geologi maupun Tanah longsor merupakan fenomena
campur tangan manusia. Sebagai alam yang terjadi melalui perpindahan
contoh, misalnya penelitian yang massa tanah atau batuan pada arah
dilakukan oleh Imran dkk. (2012; Arsyad tegak, mendatar, atau miring dari
dkk., 2014) menunjukkan bahwa kondisi kedudukan semula. Perpindahan
geologi berupa batuan vulkanik muda tersebut melibatkan lepasnya material
belum terkompaksi sempurna dan batuan dari puncak lereng ke kaki lereng
terlapukkan kuat dapat mengakibatkan akibat ketidakstabilan lereng dan
tanah longsor. Adapun penelitian yang gravitasi (Sharma, 2010). Tanah longsor
dilakukan oleh Suranto (2008) dapat diartikan sebagai pergerakan
menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan sejumlah massa batuan, tanah, atau
yang tidak sesuai peruntukkannya bahan rombakan material lain akibat
seperti pemukiman, pengolahan sawah, gravitasi (Cruden, 1991; dalam British
dan budidaya ikan akan memicu Geological Survey, 2012). Adapun
terjadinya tanah longsor. Highland dan Bobrowsky (2008)
Pertumbuhan masyarakat yang semakin mendefinisikan tanah longsor sebagai
tinggi menyebabkan perubahan alih suatu peristiwa pergerakan tanah,
fungsi lahan atau tata guna lahan yang batuan, dan material organik yang
semakin cepat. Alih fungsi lahan ini cepat bergerak menuruni lereng akibat
atau lambat akan mendorong gravitasi dan bentuklahan. Hungr dkk.
masyarakat untuk memanfaatkan (2014) mengklasifikasikan tanah longsor
daerah berlereng curam yang rawan menjadi beberapa tipe (Tabel 1).

Tabel 1. Tipe longsor (Hungr dkk., 2014)


Type of Movement Rock Soil
Fall 1. Rock/ice falla 2. Boulder/debris/silt falla
3. Rock block topplea 5. Gravel/sand/silt topplea
Topple
4. Rock flexural topple
6. Rock rotational slide 11. Clay/silt rotational slide
7. Rock planar slidea 12. Clay/silt planar slide
Slide 8. Rock wedge slidea 13. Gravel/sand/debris slidea
9. Rock compound slide 14. Clay/silt compound slide
10. Rock irregular slidea
15. Rock slope spread 16. Sand/silt liquefaction spreada
Spread
17. Sensitive clay spreada
18. Rock/ice avalanchea 19. Sand/silt debris dry flow
20. Sand/silt debris dry flowslidea
21. Sensitive clay flowslidea
22. Debris flowa
Flow 23. Mud flowa
24. Debris flood
25. Debris avalanchea
26. Earthflow
27. Peat flow
28. Mountain slope deformation 30. Soil slope deformation
Slope deformation 29. Rock Slope deformation 31. Soil creep
32. Solifluction
a dapat terjadi sangat cepat (extremely rapid)

Tanah longsor terjadi akibat berbagai mempengaruhi kondisi suatu daerah,


faktor yang saling berkaitan dan baik yang bersifat statis maupun

118
Bulletin of Scientific Contribution, Volume 14, No.2, Agustus 2016 : 117 – 126

dinamis. Aspek statis berupa kemiringan dukung justru berakibat pada tingginya
lereng menjadi salah satu faktor potensi bahaya tanah longsor.
penyebab terjadinya tanah longsor
(Rasyid dkk., 2012). Selain itu, aspek MITIGASI TANAH LONGSOR
dinamis berupa campur tangan manusia, Mitigasi tanah longsor dilakukan sebagai
misalnya perubahan tata guna lahan salah satu upaya pencegahan dan
juga berperan dalam terjadinya tanah penanggulangan dalam menghadapi
longsor (Surono, 2003; dalam Effendi, dampak yang ditimbulkan akibat tanah
2008; Suranto, 2008). longsor. Mitigasi tidak sepenuhnya
Kondisi topografi atau bentuk suatu menghilangkan kerugian ataupun
wilayah dapat menentukan kecepatan air dampak yang ditimbulkan tanah longsor.
yang mengangkut partikel-partikel tanah Namun demikian, mitigasi diharapkan
pada permukaan tanah (Kartasapoetra mampu untuk mengurangi atau
dkk., 2005). Secara umum, kemiringan meminimalisasi dampak yang
lereng yang tinggi antara 20o – 40o dapat ditimbulkan bagi masyarakat maupun
memicu terjadinya tanah longsor pada lingkungan (Paimin dkk., 2009).
material berupa tanah residual, endapan Mitigasi tanah longsor dilakukan dengan
koluvial, dan batuan vulkanik yang lapuk memperhatikan keberlangsungan
(Karnawati, 2005; dalam Cahyo dkk., kondisi tanah pada suatu lereng. Oleh
2013). Hal ini dapat terjadi karena karena itu, perlakuan khusus melalui
kemiringan lereng yang tinggi akan ikut upaya konservasi tanah menjadi suatu
memicu kecepatan aliran permukaan hal yang penting. Upaya konservasi
menjadi tinggi dan meningkatkan daya tanah sangat membantu dalam
angkut terhadap material tanah. Tiga menstabilkan tanah, terutama untuk
tipologi lereng yang rentan mengalami membuat lereng stabil (Erfandi, 2013).
pergerakan atau longsor (Karnawati, Konservasi tanah erat kaitannya dengan
2001; dalam Priyono dkk., 2006), yaitu: kondisi lereng tempat terjadinya longsor.
1. Lereng yang tersusun oleh Perlu diperhatikan bahwa dalam
tumpukan tanah gembur dialasi oleh menghadapi tanah longsor, kondisi
batuan atau tanah yang lebih lereng perlu mendapat perlakuan
kompak. khusus. Stabilisasi lereng umumnya
2. Lereng yang tersusun oleh pelapisan dilakukan di bagian lereng pada suatu
batuan miring searah lereng. lahan menggunakan rekayasa vegetatif
3. Lereng yang tersusun oleh blok-blok (Santoso dkk., 2004; Paimin dkk.,
batuan. 2009).
Selain faktor kemiringan lereng, pola Arsyad (2006) menyatakan bahwa
penggunaan lahan juga sangat rekayasa vegetatif merupakan teknik
berpengaruh terhadap kondisi kestabilan penggunaan tumbuhan dan sisa-sisa
lereng (Suranto, 2008; Nugroho dkk., tumbuhan untuk mengurangi daya rusak
2013). Sebagai contoh, adanya akibat hujan yang jatuh, mengurangi
perubahan atau konversi lahan (dari jumlah dan daya rusak aliran permukaan
hutan ke non-hutan), serta pemotongan serta erosi. Teknik ini menjadi salah satu
tebing untuk jalan dan atau perumahan teknik pencegahan tanah longsor yang
pada daerah berlereng curam juga efektif dan efisien bagi kondisi lereng
meningkatkan resiko terjadinya tanah karena mampu memperbaiki kapasitas
longsor (Paimin dkk., 2009). Hal ini infiltrasi lereng dengan biaya yang relatif
disebabkan karena pemanfaatan lahan lebih murah dan menambah keindahan
atau penggunaan lahan yang tidak bentang alam (Santoso dkk., 2004).
sesuai dengan kemampuan dan daya

119
Bulletin of Scientific Contribution, Volume 14, No.2, Agustus 2016 : 117 – 126

Gambar 1. Akar pohon mencengkeram tebing sungai untuk mempertahankan


stabilitas tebing dan mengurangi longsor (Hairiah dkk., 2008)

Melalui rekayasa vegetatif, akar tanaman SISTEM AGROFORESTRI


akan berfungsi untuk mencegah Agroforestri merupakan suatu sistem
terjadinya longsor (Gambar 1), yaitu penggarapan tanah atau penggunaan
dengan cara mencengkeram tanah di lahan di mana kegiatan kehutanan,
lapisan permukaan (0 - 5 cm) oleh akar pertanian, dan peternakan
pohon yang menyebar horizontal dan dikombinasikan secara bersama-sama
menopang tegaknya batang (sebagai (Hairiah dkk., 2003). Agroforestri atau
jangkar) sehingga tidak mudah tumbang dikenal juga sebagai suatu sistem
oleh dorongan massa tanah (Abe dan usahatani atau pertanian hutan
Ziemer, 1991; dalam Hairiah dkk., merupakan suatu sistem penggunaan
2008). lahan secara spasial yang dilakukan oleh
Rekayasa vegetatif yang digunakan manusia dengan menerapkan berbagai
untuk teknik pencegahan tanah longsor teknologi yang ada melalui pemanfaatan
dan konservasi tanah memerlukan jenis tanaman semusim, tanaman tahunan
tanaman berakar dalam dan mencapai (perdu, palem, bambu, dan sebagainya)
batuan dasar, perakaran rapat dan dan/atau ternak dalam waktu bersamaan
mampu mengikat agregat tanah, serta atau bergiliran pada suatu periode
biomassanya ringan (Santoso dkk., tertentu sehingga terbentuk interaksi
2004; Paimin dkk., 2009; Erfandi, 2013). ekologi, sosial, dan ekonomi di dalamnya
Pada lereng yang berpotensi longsor, (Hairiah dkk., 2003; Latumahina dan
perlu diperhatikan jarak atau kerapatan Sahureka, 2006). Menurut Santoso dkk.
tanaman antara di bagian kaki, tengah, (2003), agroforestri memiliki beberapa
dan puncak lereng. Di bagian kaki lereng, ciri khas dibandingkan sistem
vegetasi ditanam dengan kondisi paling penggunaan lahan lain, yaitu:
rapat. Di bagian tengah lereng, vegetasi 1. Adanya interaksi kuat antara
ditanam dengan kondisi agak jarang. komponen pepohonan dan bukan
Adapun di bagian puncak lereng, pepohonan.
vegetasi ditanam dengan kondisi jarang. 2. Integrasi dua atau lebih jenis
Kekosongan antar vegetasi tadi tanaman (salah satunya tanaman
kemudian diisi dengan tanaman penutup berkayu).
tanah (cover crop) atau rumput yang 3. Memberikan dua atau lebih hasil dari
didukung kondisi drainase baik. penggunaan sistem agroforestri.
Rekayasa vegetatif sekaligus sebagai 4. Siklusnya lebih dari satu tahun.
bentuk adaptasi dan mitigasi tanah 5. Dapat digunakan pada lahan
longsor melalui peningkatan produksi berlereng curam, berbatu, berawa,
lahan yang berkelanjutan dikenal ataupun tanah marginal di mana
sebagai sistem agroforestri (Paimin dkk., sistem penggunaan lahan lain
2009; Hairiah dkk., 2003; Nugroho dkk., kurang cocok.
2013).

120
Bulletin of Scientific Contribution, Volume 14, No.2, Agustus 2016 : 117 – 126

Sistem agroforestri yang dapat sistem agroforestri dengan penanaman


digunakan pada lahan berlereng curam rumput-rumputan dengan semak dan
menjadi suatu nilai lebih dibandingkan pepohonan diterapkan untuk
sistem penggunaan lahan lain sehingga mengurangi erosi dan aliran permukaan
sistem ini dinilai dapat terus serta memelihara kesuburan tanah
berkembang. Sistem agroforestri (Santoso dkk., 2004).
merupakan suatu teknik pemanfaatan Salah satu sistem penggunaan lahan
lahan yang berkembang mengikuti dengan agroforestri, yaitu sistem
perkembangan ilmu dan teknologi baru agroforestri multistrata (Gambar 2).
(Hairiah dkk., 2003). Pemanfaatan

Gambar 2. Agroforestri sebagai salah satu sistem penggunaan lahan (Hairiah dkk.,
2003)

Sistem agroforestri dinilai tepat sebagai mencegah terjadinya tanah longsor,


salah satu upaya mengurangi terjadinya yaitu mampu membentuk bahan organik
longsor (Hairiah dkk., 2006; dalam tanah, memperbaiki struktur tanah, dan
Hairiah dan Ashari, 2013; Nugroho dkk., membuat tanah menjadi lebih stabil
2013). Pengembangan sistem (Schroth dkk., 2001 dan Thakur dkk.,
agroforestri melalui stratifikasi vegetasi 2005; dalam Erfandi, 2013).
(multistrata) merupakan sistem paling Hairiah dkk., (2003) menyatakan bahwa
ideal dalam konservasi tanah dan air sistem agroforestri multistrata
(Fiqa dan Laksono, 2013; Silaya dan merupakan salah satu sistem
Tjoa, 2013). Konservasi tanah dan air penggunaan lahan dengan tanaman
pada akhirnya diharapkan mampu tajuk bertingkat, biasanya terdiri dari 3
menjaga kestabilan lereng. Sistem ini sampai 5 tingkat (Gambar 3).
memiliki berbagai kelebihan dalam

121
Bulletin of Scientific Contribution, Volume 14, No.2, Agustus 2016 : 117 – 126

Gambar 3. Contoh sistem penanaman strata/bertingkat (sumber gambar: Erfandi,


2013)

Secara umum, strata/tingkat tersebut (Pennisetum purpureum). Pengelolaan


terdiri dari strata semak (sayuran, cabai, sistem agroforestri ini perlu dilakukan
umbi-umbian), perdu (pisang, pepaya, secara khusus agar antara satu tanaman
tanaman hias), dan strata pohon yang dengan tanaman lainnya tidak saling
tingginya lebih dari 35 meter (damar, merugikan (Santoso dkk., 2004).
durian, duku). Menurut Fiqa dan Laksono Pemanfaatan sistem agroforestri
(2013), beberapa jenis tanaman pada multistrata dengan berbagai jenis
sistem agroforestri yang dapat tanaman tajuk bertingkat dinilai sebagai
digunakan di strata tertinggi adalah suatu langkah tepat dalam mitigasi tanah
durian (Durio zibethinus), strata tengah longsor sekaligus konservasi tanah
adalah melinjo (Gnetum gnemon), dan (Gambar 4).
strata terendah adalah rumput gajah

Gambar 4. Sistem agroforestri sebagai bentuk adaptasi dan mitigasi tanah longsor
dengan peningkatan produksi lahan (sumber gambar: http://www.fao.org/ag/agp/
agpc/doc/publicat/gutt-shel/x5556e15.gif)

Michon dkk. (2000) menyatakan bahwa Pemanfaatan Agroforestri Sebagai


hal tersebut disebabkan adanya Penghasil Bahan Pangan
penutupan tajuk pepohonan yang rapat Keberhasilan sistem agroforestri yang
dan bertingkat, sistem perakaran yang berlandaskan dari sistem pertanian-
beraneka ragam, serta penutup tanah kehutanan dapat dilihat dari adanya
berupa rerumputan dan semak belukar keuntungan yang dapat dihitung
yang sangat penting untuk menghindari langsung melalui peningkatan produksi
tanah longsor. Abe dan Ziemer (1991; bahan pangan (Suhardi dkk., 2005) dan
dalam Erfandi, 2013) menyatakan bahwa ketahanan pangan (Ardhana dan
perakaran tanaman dapat membantu Susanti, 2013; Pujiono dkk., 2013). Hal
menjaga stabilitas lereng bukit melalui tersebut tentu dapat terwujud dengan
peningkatan kuat geser tanah (soil shear pemilihan komoditas yang tepat. Jenis
strength). Sebagai salah satu upaya tanaman pada sistem agroforestri yang
mitigasi tanah longsor, sistem bisa dimanfaatkan sebagai bahan
agroforestri juga dapat dimanfaatkan pangan antara lain padi gogo, jagung,
sebagai penghasil bahan pangan, pakan kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu, dan
ternak, produksi madu, bahan sebagainya (Hairiah, 2003).Pemanfaatan
bangunan, dan bahan obat. Agroforestri Sebagai Penghasil Pakan
Ternak
Sistem agroforestri multistrata juga
dapat memberikan manfaat terutama

122
Bulletin of Scientific Contribution, Volume 14, No.2, Agustus 2016 : 117 – 126

bagi masyarakat yang memiliki hewan (Xanthophylum sp.), mahabulan


ternak. Kebutuhan pakan ternak tentu (Ptesoperma javanicum), meranti
menjadi suatu hal yang sangat (Shorea sp.), dan tahantang
diperlukan bagi masyarakat yang (Camnosperma auriculatum) dapat
memelihara dan mengembangkan usaha digunakan sebagai kayu pertukangan
peternakan. Menurut Fiqa dan Laksono atau bahan bangunan. Selain itu,
(2013), salah satu tanaman dari sistem tanaman kayu seperti alabasia juga
agroforestri multistrata yang dapat dianggap cocok sebagai bahan bangunan
dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang banyak dibutuhkan oleh
adalah rumput gajah (Pennisetum masyarakat (Widyaningsih dan Achmad,
purpureum). Rumput gajah sebagai 2013). Seluruh jenis tanaman ini
tanaman strata terbawah dapat merupakan bagian tidak terpisahkan dari
membantu mencukupi pakan ternak bagi sistem agroforestri yang
peternakan sapi. Selain itu, rumput pemanfaatannya dapat langsung
gajah akan tumbuh lebih baik jika dirasakan oleh masyarakat.
didampingi oleh tanaman yang lebih
tinggi (strata menengah dan atas) pada Pemanfaatan Agroforestri Sebagai
sistem agroforestri multistrata. Hal ini Penghasil Obat Herbal
tentu seiring sejalan dengan pola tanam Tidak dipungkiri lagi Indonesia dikenal
sistem agroforestri yang memadukan sebagai penghasil berbagai jenis obat
antara tanaman strata bawah dengan herbal. Obat herbal tersebut berasal dari
strata menengah dan strata atas. tanaman obat yang sebagian besar
ditanam melalui sistem agroforestri.
Pemanfaatan Agroforestri Sebagai Pada sistem agroforestri, pola tumpang
Penghasil Produksi Madu sari dapat dilakukan pada tanaman obat
Pemanfaatan sistem agroforestri tidak berupa pohon seperti mahoni yang
saja berdampak langsung bagi ditanam dengan tanaman jagung,
masyarakat tetapi juga bagi singkong, dan padi (Ekasari, 2003;
produktivitas lebah madu. Teknik dalam Suharti dkk., 2013), tanaman
penanaman Sorghum spp. secara obat berupa tanaman sela seperti jahe,
agroforestri pada areal hutan Acacia kunyit, temulawak, kencur, dan laos
crassicarpa mampu meningkatkan yang ditanam pada hutan jati
produktivitas lebah madu (Pribadi dan (Subagyono dkk., 2003; dalam Suharti
Purnomo, 2013). Hal ini dibuktikan dkk., 2013), serta tanaman obat berupa
dengan produksi madu yang mulanya perdu seperti lempuyang, temu ireng,
sebesar 183,33 cc/30 hari meningkat serai wangi, kunir putih, kunyit,
menjadi 453,3 cc/30 hari. Tentu saja hal mengkudu, dan temulawak yang
ini perlu dimanfaatkan sebaik mungkin ditanam dengan tanaman hutan yang
oleh masyarakat yang berprofesi sebagai berfungsi sebagai tanaman obat seperti
peternak lebah di Indonesia untuk dapat pulai dan suren (Suharti dkk., 2013).
meningkatkan hasil produksi madu. Dengan berbagai jenis tanaman obat
Adanya interaksi yang baik di dalam yang mampu dihasilkan melalui sistem
sistem ini tentu menjadi nilai tambah agroforestri, masyarakat Indonesia tentu
bagi keberlangsungan seluruh makhluk tidak perlu khawatir kekurangan bahan
hidup yang terlibat. pembuatan obat herbal.

Pemanfaatan Agroforestri Sebagai DAFTAR PUSTAKA


Penghasil Bahan Bangunan Anonim. 2012. Inilah Sembilan Daerah
Pertumbuhan wilayah pemukiman, baik Rawan Banjir dan Longsor di Tanah
di daerah perkotaan maupun daerah Air, Suara Pembaruan (Online), 13
pedesaan sangat membutuhkan bahan November 2012. Available at Error!
bangunan yang memadai. Bahan Hyperlink reference not valid.
bangunan tersebut sebagian besar dapat (diakses Juni 2016).
dipenuhi melalui hasil hutan sistem Anonim. 2014. 'Tidak mudah' pindahkan
agroforestri. Penelitian yang dilakukan warga dari daerah rawan longsor, BBC
oleh Rotinsulu dkk. (2013) menunjukkan (Online), 16 Desember 2014.
beberapa tanaman seperti jarak Available online at

123
Bulletin of Scientific Contribution, Volume 14, No.2, Agustus 2016 : 117 – 126

http://www.bbc.com/ Longsor dan Emisi Gas Rumah Kaca?.


indonesia/berita_indonesia/2014/12/ Prosiding Seminar INAFE 2008,
141215_relokasi_warga_longsor Surakarta.
(diakses Juni 2016). Hairiah, K., Ashari, S. 2013. Pertanian
Ardhana, A., Susanti, P.D. 2013. Masa Depan: Agroforestri, Manfaat,
Corporate Social Responsibility dan Layanan Lingkungan. Prosiding
Sebagai Alternatif Pembiayaan Seminar Nasional Agroforestri 2013.
Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Highland, L.M., and Bobrowsky, P. 2008.
untuk Mendukung Sistem Agroforestri The Landslide Handbook - A Guide to
dan Ketahanan Pangan. Prosiding Understanding Landslides. Virginia:
Seminar Nasional Agroforestri 2013. U.S. Geological Survey Circular 1325.
Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Hungr, O., Leroueil, S., Picarelli, L. 2014.
Air. Bandung: IPB Press. Varnes Classification of Landslide
Arsyad, A., Hamid, W., Yusmin, A., Types, An Update. Landslides, Vol. 11:
Ibrahim, F. 2014. Analisa Kegagalan 167 – 194. Springer-Verlag Berlin
Lereng Batuan Vulkanik pada Jalan Heidelberg.
Malino-Sinjai dengan Menggunakan Imran, A.M., Azikin, B., Sultan. 2012.
Pemodelan Elemen Hingga. Peranan Aspek Geologi sebagai
Konferensi Regional Teknik Jalan ke- Penyebab Terjadinya Longsoran pada
13. Ruas Jalan Poros Malino-Sinjai.
British Geological Survey. 2012. UK Buletin Geologi Tata Lingkungan,
Geohazard Note: Landslide. Inggris: Vol.22, No.3, Desember 2012: 185-
NERC. 196.
Cahyo, H.T., Nugroho, U., dan Purnomo, Kartasapoetra, G., Kartasapoetra, A.G.,
M. 2013. Prediksi Kedalaman dan Sutedjo, M.M. 2005. Teknologi
Bentuk Bidang Longsoran pada Lereng Konservasi Tanah dan Air. Jakarta:
Jalan Raya Sekaran Gunungpati Rineka Cipta.
Semarang Berdasarkan Pengujian Latumahina, F., Sahureka, M. 2006.
Sondir (147G). Konferensi Nasional Agroforestri; Alternatif Pembangunan
Teknik Sipil 7, hal G - 109, UNS, Pertanian dan Kehutanan
Surakarta, 24 - 26 Oktober 2013. Berkelanjutan di Maluku. Jurnal
Effendi, A.D. 2008. Identifikasi Kejadian Agroforestri, Vol.1, No.3, Desember
Tanah Longsor dan Penentuan Faktor- 2006.
Faktor Utama Penyebabnya di Michon, G., Mary, F., Bompard, J. 2000.
Kecamatan Babakan Madang Kebun Pepohonan Campuran di
Kabupaten Bogor. Skripsi. Bogor: Maninjau, Sumatra Barat. Dalam De
tidak diterbitkan. Foresta, H, A Kusworo, G Michon dan
Erfandi, D. 2013. Sistem Vegetasi dalam WA Djatmiko. 2000. Ketika Kebun
Penanganan Lahan Rawan Longsor Berupa Hutan: Agroforest Khas
pada Areal Pertanian. Prosiding Indonesia, sebuah sumbangan
Seminar Nasional Pertanian Ramah masyarakat. International Centre for
Lingkungan 2013, hal. 319 - 328. Research in Agroforestry (ICRAF),
Fiqa, A.P., Laksono, R.A. 2013. Bogor, Indonesia, Institut de
Pengembangan Sistem Agroforestri Recherhe pour le Developpement,
Berbasis Indigenous Spesies dan France dan Ford Foundation, Jakarta
Kesesuaian Lahan di Wilayah Indonesia.
Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Nugroho, P., Soedjoko, S.A.,
Prosiding Seminar Nasional Kusumandari, A., Marhaento, H.
Agroforestri 2013. 2013. Adaptasi dan Mitigasi Bencana
Hairiah, K., Sardjono, M.A., Sabarnurdin, Tanah Longsor Melalui Penguatan
S. 2003. Pengantar Agroforestri. Kapasitas Masyarakat dan
Bogor: World Agroforestry Centre Peningkatan Produktivitas Lahan
(ICRAF). Melalui Sistem Agroforestri. Prosiding
Hairiah, K., Widianto, Suprayogo, D. Seminar Nasional Agroforestri 2013.
2008. Adaptasi dan Mitigasi Paimin, Sukresno, Pramono, I.B. 2009.
Pemanasan Global: Bisakah Teknik Mitigasi Banjir dan Longsor.
Agroforestri Mengurangi Resiko

124
Bulletin of Scientific Contribution, Volume 14, No.2, Agustus 2016 : 117 – 126

Balikpapan: Tropenbos International Konservasi Tanah Vegetatif. Dalam


Indonesia Programme. Kurnia, U., Rachman, A., Dariah, A.
Pribadi, A., Purnomo. 2013. Agroforestry (Eds.). 2004. Teknologi Konservasi
Sorghum (Sorghum spp.) pada HTI Tanah pada Lahan Pertanian
Acacia crassicarpa Sebagai Sumber Berlereng. Puslitbangtanak, Bogor: 74
Pakan Lebah Apis cerana di Provinsi – 106.
Riau untuk Mendukung Budidaya Silaya, T.M., Tjoa, M. 2013. Kajian Aspek
Lebah Madu. Prosiding Seminar Sosial Pola Agroforestri Tradisional
Nasional Agroforestri 2013. (Dusung) di Pulau Ambon. Prosiding
Priyono, K.D., Priyana, Y., dan Priyono. Seminar Nasional Agroforestri 2013.
2006. Analisis Tingkat Bahaya Suhardi, Sudjoko, S.A., Minarningsih,
Longsor Tanah di Kecamatan Sabarnurdin, S., Dwidjono, H.D.,
Banjarmangu Kabupaten Widodo, A. 2006. Hutan dan Kebun
Banjarnegara. Forum Geografi, Vol. Sebagai Sumber Pangan Nasional.
20, No. 2, Desember 2006: hal. 175 - Yogyakarta: Kanisius.
189. Suharti, T., Bramasto, Y., Yuniarti, N.
Pujiono, E., Raharjo, S.A.S., Njurumana, 2013. Kajian Pengembangan
G., Prasetyo, B.D., Rianawati, H. Tanaman Obat dalam Sistem
2013. Kajian Aspek Ekologi, Ekonomi, Agroforestri. Prosiding Seminar
dan Sosial Model-Model Agroforestri di Nasional Agroforestri 2013.
Nusat Tenggara Timur. Prosiding Suranto, J.P. 2008. Kajian Pemanfaatan
Seminar Nasional Agroforestri 2013. Lahan Pada Daerah Rawan Bencana
Rasyid, A.R., Sastrawati, I., Syam, S., Tanah Longsor di Gununglurah,
Jaya, F.S. 2012. Mitigasi Daerah Cilongok, Banyumas. Tesis.
Rentan Gerakan Tanah di Kabupaten Semarang: tidak diterbitkan.
Enrekang. Grup Teknik Arsitektur, Widyaningsih, T.S., Achmad, B. 2013.
Vol. 6, Desember 2012. Praktik Agroforestri di Lahan Negara:
Rotinsulu, J.M., Suprayogo, D., Guritno, Kasus di Lahan Eks HGU PT. Teja
B., Hairiah, K. 2013. Keanekaragaman Mukti Utama, Kabupaten Majalengka,
Jenis Pohon Panjat dan Manfaatnya di Provinsi Jawa Barat. Prosiding
Agroforestri Rotan Kabupaten Seminar Nasional Agroforestri 2013.
Katingan. Prosiding Seminar Nasional
Agroforestri 2013.
Santoso, D., Purnomo, J., Wigena,
I.G.P., Tuherkih, E. 2004. Teknologi

125
Bulletin of Scientific Contribution, Volume 14, No.2, Agustus 2016 : 117 – 126

126

You might also like