You are on page 1of 18

TIPOLOGI KONFLIK PENGGUNAAN RUANG TEPI JALAN SEBAGAI

INSTRUMEN PENGENDALIAN PENGGUNAAN RUANG TEPI JALAN


(STUDI KASUS SURABAYA, SURAKARTA, BANDUNG DAN JAKARTA)

STREET-SIDE USAGE CONFLICT TIPOLOGY


AS A STREET-SIDE USAGE CONTROLLING INSTRUMENTS (STUDY CASE
SURABAYA, SURAKARTA, BANDUNG AND JAKARTA)
Joyce Martha Widjaya1, Bambang Soemardiono2, Happy Ratna S 3, Eko Budi Santoso4
1Program Pascasarjana Arsitektur, Fakultas Arsitektur Desain dan Perencanaan, ITS
2,3Program Pascasarjana Arsitektur, Fakultas Arsitektur Desain dan Perencanaan, ITS
4Departemen Perencanaan Wialayah Kota, Fakultas Arsitektur Desain dan Perencanaan, ITS
1joyce.widjaya@gmail.com, 2bamsoem03@yahoo.com, 3happysumartinah@gmail.com,
4ekobudis@hotmail.com

Tanggal diterima : 21 Agustus 2018 ; Tanggal disetujui : 30 November 2018

ABSTRACT
The use of street-side space in several major cities has occurred many conflicts. That impacts accidents, smooth
disruption and/or disruption of comfort for street users and landowners in urban areas. The conflict needs to be
understood in order to help simplify the process of making and implementing land use policies and traffic
management optimally. However, conflicts in the use of street-side space are complex entities, so that it is necessary
to group the types of conflicts in the form of typologies. This study is a study of the typology of street-side space use
conflicts in several cities in Indonesia as a tool for measuring conflict severity as well as intervention in the use of
street-side space. A deductive-inductive approach with a qualitative and mono method case study strategy was
carried out during this study, using a qualitative rationalistic paradigm. The main data sources are content analysis
of print, radio and television media reports and case searches in the field regarding conflicts over street-side use in
the cities of Surabaya, Surakarta, Bandung and Jakarta in the period 2013 to 2017. Units of information related to
this conflict issue are sought, analyzed and sorted out. The results showed nine key indicators of the four variables
as the basis for the preparation of conflict typologies for urban use of street-side space, to be used as a conflict control
system for street-side use in urban areas, namely: occupational level and history of informal activity conflicts as well
as indications of physical conditions representing variables severity of conflict; disruption of smooth traffic, accident
risk and user reactions representing traffic conflict variables; comfort disturbances and user expressions represent
social conflict variables; readiness and expectations of street users represent behavioral variables / handling
strategies.

Keywords: Conflict Stages, Street-Side, Prevention, Typology.

ABSTRAK
Penggunaan ruang tepi jalan di beberapa kota besar telah terjadi, sehingga menimbulkan konflik dan
berdampak terhadap terjadinya kecelakaan, gangguan kelancaran dan/atau gangguan kenyamanan bagi
para pengguna jalan dan pemilik lahan di perkotaan. Konflik tersebut perlu dipahami agar membantu
mempermudah proses pembuatan dan penerapan kebijakan penggunaan lahan dan manajemen lalu lintas
secara optimal. Namun demikian, konflik penggunaan ruang tepi jalan merupakan entitas yang kompleks,
sehingga diperlukan pengelompokan tipe konflik dalam bentuk tipologi.
Studi ini adalah penelitian tentang tipologi konflik penggunaan ruang tepi jalan di beberapa perkotaan di
Indonesia sebagai alat pengukuran tingkat keparahan konflik sekaligus intervensi penggunaan ruang tepi
jalan. Pendekatan deduktif – induktif dengan strategi studi kasus kualitatif dan mono method dilakukan
selama penelitian ini, dengan menggunakan paradigma rasionalistik kualitatif. Sumber data utama adalah
analisis isi dari laporan media cetak, radio dan televisi dan penelusuran kasus di lapangan tentang konflik
penggunaan ruang tepi jalan di Kota Surabaya, Surakarta, Bandung dan Jakarta pada periode tahun 2013
hingga 2017. Unit informasi terkait isu konflik ini dicari, dianalisis dan dipilah. Hasil penelitian
menunjukkan sembilan indikator kunci dari empat variabel sebagai dasar penyusunan tipologi konflik

152
penggunaan ruang tepi jalan di perkotaan, untuk dijadikan instrumen sistim kontrol konflik penggunaan
ruang tepi jalan di perkotaan, yaitu: tingkat okupansi dan sejarah konflik kegiatan informal serta indikasi
kondisi fisik yang mewakili variabel tingkat keparahan konflik; gangguan kelancaran lalu lintas, risiko
kecelakaan dan reaksi pengguna mewakili variabel konflik lalu lintas; gangguan kenyamanan dan ekspresi
pengguna mewakili variabel konflik sosial; kesiapan dan harapan pengguna jalan mewakili variabel
perilaku/strategi penanganan.

Kata Kunci: Tipologi, Tahapan Konflik, Tepi Jalan.

PENDAHULUAN secara insidentil, tidak berkesinambungan


(Widjaya dan Nugraini, 2012), sementara Todaro,
Latar Belakang Permasalahan (2005) menyatakan bahwa sektor informal di
Ruang Tepi Jalan (street-side) merupakan negara berkembang diintervensi langsung, tidak
salah satu elemen jalan yang terdiri atas jalur mengandalkan proses penurunan alami, supaya
pedestrian, jalur sepeda, dan ruang penyangga tidak membutuhkan waktu terlalu banyak. Dengan
(Nabors et al, 2012). Berdasarkan sketsa tipikal metode perbaikan bertahap, dalam artian sedikit
penampang melintang jalan perkotaan dalam PP demi sedikit atau bagian demi bagian, diharapkan
No.34 tahun 2006 tentang Jalan, Ruang Tepi Jalan konflik akan lebih mudah dikendalikan sesuai
terdiri dari bahu jalan, saluran tepi jalan dan jalur tingkat keparahannya, tidak menunggu sampai
pejalan kaki, dihitung dari batas luar badan jalan konflik tersebut berkembang menjadi masif.
sampai batas pagar persil. Jalan-jalan di Kota Surabaya, Surakarta,
Ruang tepi jalan termasuk pelengkap jalan, Bandung dan Jakarta, berturut-turut merupakan
belum banyak diperhatikan oleh para contoh keberhasilan dan kegagalan, bagaimana
penyelenggara jalan, baik pemerintah pusat, Pemerintah menangani berbagai masalah dalam
pemerintah daerah dan pengembang. Manifestasi upaya pemanfaatan dan pemeliharaan jalur
bentuk fisik ruang tepi jalan perkotaan di Indonesia pedestrian. Upaya penanganan dinyatakan berhasil
banyak yang tidak dilengkapi dengan jalur jika situasi konflik setelah penertiban menjadi
pedestrian dan drainase jalan, dan apabila ada, jalur berkurang, bahkan tidak lagi terjadi sesuai yang
pedestrian dan drainase tidak berfungsi diharapkan, tetapi jika setelah penertiban, situasi
sebagaimana mestinya, karena terokupansi oleh konflik kembali terjadi seperti sebelumnya, maka
aktivitas penjual kaki lima (PKL), parkir kendaraan, upaya yang dilakukan dinyatakan gagal. Seandainya
kegiatan usaha dan lain-lain. Dengan kondisi yang tahapan penertiban dilakukan secara
seperti itu, pejalan kaki terpaksa berjalan di tepi berkesinambungan dan bertahap sesuai tahapan
badan jalan, yang berpotensi rawan kecelakaan dan dalam tipologi yang dibangun, maka situasi konflik
menyebabkan kemacetan lalu lintas (Widjaya, dapat diminimalisir.
2011). Tipologi adalah pendekatan umum untuk
Sebagian besar arahan desain jalur memahami entitas yang kompleks dengan
pedestrian, terfokus pada pertimbangan kebutuhan mengelompokkannya ke dalam sejumlah kelompok
pedestrian yang dianggap statis, tanpa tipe tertentu (Casakin & Dai, 2002). Dengan
memperhatikan adanya dinamika kegiatan manusia ditemukan tipologi konflik penggunaan ruang sisi
di sekitarnya, dan pada akhirnya mengurangi jalan, maka tindakan penanganan konflik dapat
kapasitas rencananya. dilakukan sedini mungkin, tidak menunggu sampai
Ruang tepi jalan termasuk jalur pejalan kaki berkembang secara masif. Diharapkan dengan
di Indonesia, telah menjadi shared use street, karena penerapan tipologi tahapan konflik ini, keamanan,
pada umumnya telah dimanfaatkan oleh berbagai kenyamanan dan keteraturan ruang tepi jalan di
kegiatan di luar fungsi dan aturannya, seperti PKL, kota-kota besar di Indonesia dapat ditingkatkan.
bangunan & parkir liar, kegiatan usaha. Tetapi Solusi penelitian ini difokuskan pada konflik sosial
karena belum dilakukan pengaturan, terpaksa dan konflik transportasi akibat penggunaan
pejalan kaki berjalan di pinggir badan jalan, yang kegiatan sektor informal di tepi jalan dan
rawan kecelakaan dan menyebabkan kemacetan manifestasi fisik ruang tepi jalan.
lalu lintas. Dibutuhkan alat untuk mengevaluasi Penelitian ini bermaksud untuk
konflik yang terjadi di tepi jalan. mengidentifikasi berbagai konflik penggunaan
Penertiban penggunaan ruang tepi jalan ruang tepi jalan dan mentipologikannya
terutama pada perkembangan sektor informal, berdasarkan tingkat episode konflik yang
hanya dilakukan bila sudah sangat mengganggu, diidentifikasi berdasarkan penampakan konflik,
atau hanya pada jalan-jalan protokol dan dilakukan bagaimana reaksi dan ekspresi pengguna dalam

153
menghadapi konflik, jenis gangguan konflik (konflik Konsensus (Rahim, 2001, 2002, Day, 2003; Seeds
sosial dan atau konflik transportasi), dampak dan for Change, 2013, dan Teori Coping Behavior
tindakan penanggulangan konflik tersebut. (Schwarzer & Knoll, 2008), mengikuti kerangka
Adapun kebaruan dari penelitian ini adalah pikir pada Gambar 1 sebagai berikut:
tipologi konflik penggunaan ruang tepi jalan
memperhitungkan kriteria objektif/ fisik, kriteria
subjektif /sosial, seperti ekspresi ketidaksetujuan
antar aktor kelompok yang berbeda sikap,
keyakinan, nilai-nilai atau kebutuhan, dimana pihak
yang terlibat menganggap hal tersebut merupakan
ancaman bagi kebutuhan dan kepentingan.

Rumusan Masalah
Tidak dibatasinya perkembangan disfungsi
ruang sisi jalan, mengakibatkan berkembangnya
konflik penggunaan ruang tepi jalan. Sebagai contoh
bila okupansi satu pedagang kaki lima (PKL) tidak Gambar 1. Kerangka Pikir Pembangunan Tipologi
ditindak, selanjutnya akan berdatangan lebih Konflik Penggunaan Ruang Tepi Jalan
banyak lagi pedagang lainnya di lokasi yang sama, Sumber : hasil analisis, 2018
dan pada suatu saat akan mencapai jumlah yang
lebih banyak dari jumlah petugas. Hal in Sejarah penggunaan ruang Jalan
menunjukkan perlu adanya manajemen yang Sebelum perang dunia ke II atau sebelum
sensitif terhadap konflik penggunaan ruang tepi abad 20, street merupakan ruang pubik perkotaan
jalan. Pengawasan penampakan konflik dan yang hampir ada dalam setiap sudut kota. Semua
penanggulangannya secara berkesinambungan. pengguna sepeda, kereta, mobil, pejalan kaki
Fenomena konflik penggunaan ruang tepi menavigasi ruang melalui interaksi. Delineasi antar
jalan ini merupakan hal yang kompleks, karena area untuk mode terpisah sangat minim, bahkan
melibatkan banyak pemilik kepentingan dengan tidak ada sama sekali. Angkutan kuda maupun tram
berbeda latar belakang dan visi. Untuk mengukur berupa angkutan umum dapat melewati sebuah
tingkat kompleksitas ini perlu dibangun tipologi jalan dan membaur dengan pengguna sepeda.
konflik, di mana pemilihan indikator kunci, menjadi Sejak ditemukannya mobil modern pertama
dasar tipologi tersebut (Bailey, 1994). Tipologi oleh Carl Benz tahun 1885 (Glancey, 2006), terjadi
konflik penggunaan ruang tepi jalan diperlukan perubahan pola penggunaan jalan oleh masyarakat
untuk mengukur tingkat konflik dan menentukan dan ekspektasi fungsi jalan. Pemerintah di Amerika
upaya penanggulangan konflik penggunaan ruang dan Inggris mulai menggunakan perencanaan
tepi jalan di Indonesia. kapasitas jalan (street) dan menyediakan trotoar di
sepanjang jalan raya dan jalan berkecepatan tinggi.
Tujuan dan Sasaran Studi Trotoar yang hadir di sepanjang jalan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk tersebut umumnya tidak ramah terhadap pejalan
mengidentifikasi tipologi konflik penggunaan ruang kaki dan bahkan terokupansi oleh kegiatan sektor
tepi jalan di 4 kota-kota besar di Indonesia dan informal. Trotoar yang tidak diberi pelandaian, ubin
penanganannya. Sasaran dari penelitian ini adalah pengarah, dan fasilitas penyeberangan jalan yang
diketahuinya penanganan konflik yang terjadi aman. Kegiatan sektor informal adalah trotoar
menggunakan tipologi konflik penggunaan ruang sebagai area parkir, jual-beli, halte bus, dan
tepi jalan secara kualitatif. bangunan lainnya. Penggunaan jalan yang seperti
ini dinyatakan konflik.
KAJIAN PUSTAKA Di Indonesia, pengelolaan jalan di bawah
Teori yang digunakan dalam membangun sektor ke-Bina Marga-an, di desain secara normatif
Tipologi Konflik Penggunaan Ruang Tepi Jalan ini sebagai alur lalu lintas bermotor terutama mobil.
berawal dari evaluasi terhadap kekosongan teori Banyak kasus menunjukkan bahwa ruang tepi jalan
Shared use street menurut Karndacharuk, tidak terakomodasi untuk kegiatan manusia, yang
et.al.(2013) yang belum mengulas adanya masalah dipengaruhi dan terpengaruh oleh penggunaan
konflik dan penyelesaiannya. Kekosongan teori ini ruang badan jalan.
diisi dengan mengagregasi Teori Transportasi
(Amundsen & Hyden dalam Ambros (2014) dan Pengaturan Ruang Manfaat Jalan di Indonesia
Teori Konflik Sosial (Mantha,et.al.,(2013) dan Peraturan penyerlenggaraan ruang tepi jalan
Ikaputra (2014), Manajemen Konflik dan pada makalah ini adalah Peraturan Pemerintah

154
tentang Jalan dan Peraturan Menteri PU tentang benda dan/atau barang bekas pada tepi-tepi jalan raya dan
Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan jalan-jalan di lingkungan permukiman.
Peraturan Daerah Kota Bandung No. 04 Tahun 2011
Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Tentang Penataan Dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima
Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan. Peraturan Pasal 5, Walikota membentuk Satuan Tugas Khusus untuk
tersebut menunjukkan bahwa penyelenggaraan kepentingan penataan dan pembinaan PKL.
tepi jalan harus mengikuti peraturan teknis jalan. Pasal 12, lokasi PKL dibagi ke dalam 3 (tiga) zona sebagai
berikut: a. Zona merah yaitu lokasi yang tidak boleh terdapat
Pemanfaatan jalan adalah untuk lalu lintas PKL; b. Zona kuning yaitu lokasi yang bisa tutup buka
kendaraan dan pejalan kaki. Pemanfaatan untuk berdasarkan waktu dan tempat; c. Zona hijau yaitu lokasi
selain dari lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki yang diperbolehkan berdagang bagi PKL.
diperbolehkan asalkan sesuai ketentuan yang Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 Tahun 2005
Tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan Dan
berlaku. Masyarakat turut berpartisipasi dalam Keindahan
menegakkan fungsi dari ruang tepi jalan. Ringkasan Pasal 48, Setiap orang atau badan hukum yang melanggar
peraturan ditunjukkan pada Tabel 1. sebagaimana dimaksud dalam Peraturan daerah ini selain
Penelitian ini mengacu pada peraturan yang dapat dikenakan sanksi administrasi, dikenakan juga
pembebanan biaya paksaan penegakan hukum sebagaimana
berlaku dengan mengajukan ide intervensi diatur dalam Peraturan Daerah ini.
bertahap, agar peraturan pengaturan ruang tepi Pasal 49, pelanggar berjalan di luar ruas jalan yang telah
jalan dapat di implementasikan dengan kontrol ditetapkan, pengendara kendaraan roda dua, motor,
bertahap. merusak trotoar, selokan (drainase), brandgang, bahu jalan
(berm), tidak memelihara rumput, pohon dan tanaman
lainnya di halaman dan sekitar bangunan, dll.
Tabel 1. Peraturan Pengaturan Ruang Tepi Jalan Pemerintah Kota Surakarta Peraturan Daerah Kota
Surakarta Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan
Peraturan dan Pengaturan Pedagang Kaki Lima
Peraturan Pemerintah RI No. 34/ 2006 tentang Jalan Pasal 4, Walikota berwenang untuk menetapkan,
Pasal 12, jalan dibangun sesuai dengan persyaratan teknis memindahkan dan menghapus lokasi PKL dengan
untuk memenuhi ketentuan aman, selamat, dan lingkungan. memperhatikan kepentingan sosial, ekonomi, ketertiban
Pasal 34, Ruang manfaat jalan dibatasi lebar, tinggi, dan dan kebersihan lingkungan di sekitarnya
dalam. Pada ruang tepi jalan, rumaja hanya diperuntukkan
untuk bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng (jika ada),
ambang pengaman, perlengkapan jalan, dan bangunan Sumber : dari berbagai peraturan, 2018
pelengkap lainnya. Trotoar diperuntukkan bagi lalu lintas
pejalan kaki dan bukan aktivitas lainnya. Dengan demikian Teori Jalan Berbagi (Shared Use Street)
pengaturan ruang manfaat jalan telah jelas pemanfaatannya. Jalan berbagi menurut Karndacharuk, et.al.
Pasal 38, rumaja tidak boleh dimanfaatkan selain untuk lalu
lintas kendaraan dan pejalan kaki. 2013 adalah ruang berbagi yang digunakan oleh
Pasal 47, bangunan utilitas tidak boleh mengganggu manusia di lingkungan perkotaan. Jalan berbagi
pemakai jalan. adalah untuk memfasilitasi perjalanan kehidupan
Pasal 118, peran masyarakat dalam pengawasan jalan sehari-hari yang aman dan mudah dijangkau serta
adalah mengawasi keberfungsian dan manfaat jalan, serta
pengendalian dan manfaat. terdapat aktivitas interaksi sosial di dalamnya.
Pasal 120, peran masyarakat adalah melaporkan Selain itu, jalan berbagi memfasilitasi perjalanan
penyimpangan pemanfaatan ruang manfaat jalan kepada dengan membatasi lalu lintas mobil dan pengaturan
penyelenggara jalan. kecepatan, yang diikuti dengan perubahan perilaku
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, No.
03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan,
sukarela dari semua pengguna jalan, serta didukung
Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana oleh desain dan tata letak ruang publik yang sesuai.
Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan Konsep teori Karndacharuk et al (2013)
Pasal 13, pemanfaatan prasarana jaringan pejalan kaki tentang jalan berbagi ini mempunyai kelebihan
hanya diperkenankan untuk pemanfaatan fungsi sosial dan
ekologis yang berupa aktivitas bersepeda, interaksi sosial,
dibanding dengan konsep-konsep teori sejenis lain.
kegiatan usaha kecil formal, aktivitas pameran di ruang Kelebihan ini karena menjelaskan adanya interaksi
terbuka, jalur hijau, dan sarana pejalan kaki. spasial. Penjelasan rinci ditunjukkan dalam bentuk
Lampiran, 5.1.3 Pemanfaatan prasarana jaringan pejalan diagram venn yang menggambarkan penggunaan
kaki selain berjalan kaki harus memperhatikan: peraturan
dan ketentuan yang berlaku, tidak mengganggu fungsi utama
ruang antara kegiatan komersial, dengan sistem
untuk berjalan kaki, tidak mengganggu fungsi ekologis, transportasi yang ada, ditinjau dari sudut pandang
sosial, dan kualitas visual jaringan pejalan kaki, dan dimensi fungsi place, mobility dan access sebagai
memperhatikan prinsip-prinsip dan kriteria penyediaan, fenomena berbagi ruang di jalan berbagi (Gambar
pemanfaatan prasarana serta sarana.
2).
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Konsep shared use street yang berlaku di
Jakarta, No. 8/2007 Tentang Ketertiban Umum Negara Barat ini memerlukan evaluasi terhadap
Pasal 3, menggunakan bahu jalan (trotoar) tidak sesuai potensi terjadinya konflik sosial dan konflik
dengan fungsinya; j. melakukan perbuatan-perbuatan yang
dapat berakibat merusak sebagian atau seluruh badan jalan
transportasi terhadap sumber daya lokal, terutama
dan membahayakan keselamatan lalu lintas, menempatkan dengan merebaknya sektor informal di jalan
sebagai kegiatan tidak bergerak (non movement

155
activity). Kritik utama adalah bahwa bila ruang sosial yang terjadi secara lambat dan teratur dan
untuk pergerakan lalu lintas (mobility) digunakan menganggap norma dan nilai-nilai sebagai faktor
untuk aktivitas tidak bergerak (place), misalnya fundamental terhadap masyarakat bersama. Di sisi
untuk PKL berjualan. Hal ini berpotensi lain, teori konflik menekankan bahwa ketertiban
meningkatkan risiko keselamatan, tetapi bila ruang masyarakat didasarkan pada manipulasi dan
yang seharusnya untuk akses, diokupansi untuk kontrol oleh kelompok dominan.
aktivitas tidak bergerak (place), maka gangguan Teori konsensus mencoba untuk memeriksa
kenyamanan di lokasi itu akan dirasakan, adanya integrasi nilai-nilai di masyarakat,
sementara ruang yang seharusnya digunakan untuk sementara ahli teori konflik meneliti tentang konflik
pergerakan lalu lintas, tetapi dimanfaatkan untuk kepentingan antara kelompok-kelompok sosial
akses keluar masuk suatu pusat kegiatan, maka dalam masyarakat. Konsensus mencari solusi
kelancaran lalu lintas akan terganggu. Oleh karena 'winwin' yang diterima oleh semua, dengan manfaat
itu, dalam beberapa kasus, jalan berbagi kadang- langsung di mana semua orang setuju dengan
kadang disebut "naked streets" (MacMichael, 2009). keputusan akhir, sehingga menghasilkan komitmen
Ruang tepi jalan perlu dirancang secara inklusif, yang lebih besar agar benar-benar mengubahnya
sehingga dapat mengatasi sebagian besar isu-isu menjadi kenyataan. Konsensus dapat bekerja di
konflik secara lebih tepat dalam proses dan semua jenis pengaturan kelompok sukarela kecil,
manajemen desainnya. masyarakat lokal, bisnis, bahkan secara teoritis
seluruh bangsa dan wilayah. Proses bisa berbeda
tergantung pada ukuran kelompok dan faktor-
faktor lain, tetapi prinsip dasar kerja sama antara
yang sederajat tetap sama (Seeds for Change, 2013)
Konflik yang terjadi dalam penggunaan
ruang tepi jalan dapat dikategorikan menjadi dua,
yaitu konflik sosial dan konflik transportasi. Konflik
sosial adalah gangguan penggunaan ruang tepi jalan
pada kegiatan sosial, yang mengakibatkan
gangguan kenyamanan penggunaan ruang tepi
jalan. Konflik yang berdampak pada kegiatan lalu
lintas seperti terganggunya aspek kelancaran dan
keselamatan disebut konflik lalu lintas. Mengingat
Gambar 2. Ulasan terhadap Konsep Model Shared lemahnya penegakan peraturan di Indonesia, maka
Use Street solusi konflik penggunaan ruang tepi jalan ini dalam
Sumber : Karndacharuk, 2013 penelitian ini digunakan pendekatan konsensus

Konflik Lalu Lintas


Konflik dan Konsensus.
Konflik dan konsensus adalah teori umum Bahaya lalu lintas tidak hanya ditentukan oleh
keputusan kolektif. Studi tentang konflik dalam terjadinya kecelakaan, tetapi juga oleh kejadian
pengaturan organisasi merupakan studi yang dapat sebelum terjadinya kecelakaan yang dapat
membantu meningkatkan pemahaman tentang menggambarkan ketidak-amanan lalu lintas
penyebab dasar konflik dan karenanya mengarah (pengukuran konflik lalu lintas). Menurut Amundsen
kepada bentuk yang lebih efektif dan dapat diterima dan Hyden dalam Ambros, et al (2014), pengertian
untuk resolusi konflik. (Moscovici & Doise, 1994). konflik lalu lintas adalah peristiwa lalu lintas yang
Kata konflik berasal dari bahasa Latin melibatkan interaksi antara dua hingga beberapa
“confegere” yang berarti saling memukul. Menurut pengguna jalan yang saling mendekat satu sama lain
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) on line, pada ruang dan waktu yang sama, sehingga
konflik berarti pertentangan, percekcokan, atau kecelakaan akan terjadi apabila pergerakan mereka
perselisihan. Potensi konflik dapat terjadi tidak ada yang berubah ataupun melakukan
kapanpun dan di manapun, terutama saat manusia manuver mengelak, seperti mengerem atau berbelok
berinteraksi. Hal tersebut disebabkan karena untuk menghindari terjadinya kecelakaan.
konflik bersifat wajar, normal, dan tak terelakkan Pengukuran konflik lalu lintas
setiap kali orang berinteraksi bersama (Lingren, mempertimbangkan tingkat keparahan serta jenis
1996). konfliknya, dikarenakan hal tersebut dapat
Teori-teori konsensus dianggap fokus berfungsi sebagai indikator tidak langsung kinerja
terhadap tatanan sosial berdasarkan perjanjian keamanan (Ambros et al, 2014). Pengamatan dapat
tidak formal. Teori tersebut melihat perubahan dilakukan dengan observasi fisik di lapangan
ataupun mengamati rekaman video kondisi lalu

156
lintas, yang diidentifikasi dan ditipologikan ke merupakan skema mengenai proses terjadinya
dalam beberapa tingkat berdasarkan jenis dan konflik lalu lintas.
tingkat keparahan (dampak konflik). Berikut ini
Tingkat keparahan 4

Tanpa Gerakan Kecelakaan


Kecelakaan
Manuver

Dengan Gerakan Tidak terjadi


Potensi Konflik Konflik Konflik
Manuver Kecelakaan
Tingkat keparahan
1,2,3

Tidak Terjadi
Perilaku menyimpang
Konflik

Tingkat keparahan 0

Gambar 3. Skema proses kemunculan konflik lalu lintas berdasarkan skema evolusi konflik
Sumber: Ambros, et.al. 2014
Berdasarkan skema pada Gambar 3, potensi tindakan/ rute perjalanan, karena aspek
konflik lalu lintas dikelompokkan ke dalam tingkat kenyamanan mereka terganggu,
keparahan 0 sampai 4, sebagai berikut:
 kejadian-kejadian yang berpotensi konflik, Teori Manajemen Konflik dan Konsensus
tetapi belum menimbulkan konflik Merujuk pada model konflik menurut Rahim
dikategorikan tingkat keparahan tingkat 0 (2001), konflik penggunaan ruang tepi jalan dapat
 Kejadian konflik, dimana para pengguna dikategorikan sebagai konflik antar kelompok/
kendaraan melakukan manuver mengelak organisasi (inter organisasi). Konflik ini mengacu
selama prosesnya, tetapi tidak sampai terjadi pada ketidakcocokan/ perbedaan pendapat kolektif
kecelakaan, tergolong keparahan tingkat 1,2,3 atau perselisihan antara dua atau lebih pada divisi,
 Kejadian berpotensi konflik, di mana para departemen, atau subsistem sehubungan dengan
pengguna kendaraan melakukan atau tidak tugas-tugas, sumber daya, informasi, dan
melakukan manuver mengelak selama sebagainya.
prosesnya dan berakibat pada terjadinya Konflik antar kelompok tidak bisa dihindari
kecelakaan digolongkan kedalam tingkat dalam organisasi yang kompleks. Proses konflik
keparahan tingkat 4. antar kelompok mengikuti pola-pola tertentu yang
mungkin tidak ditemukan di jenis-jenis konflik
Konflik Sosial organisasi. Manajemen konflik antar kelompok
Konflik sosial dianalogikan sebagai konflik memerlukan diagnosis dan intervensi dalam konflik
sosial di ruang publik (Ikaputra, 2014). Penyebab Diagnosis harus menunjukkan apakah
terjadinya konflik tersebut adalah bila satu orang konflik antar kelompok adalah pada tingkat yang
atau kelompok mengabaikan kebutuhan orang lain; moderat, aspek fungsional dan disfungsional konflik
bila orang menafsirkan realitas secara berbeda; bila tersebut dan gaya penanganan konflik di kelompok
orang mengabaikan perasaan dan emosi mereka dengan anggota kelompok keluar. Proses
sendiri atau orang lain; ketika satu pihak menolak intervensi, seperti pemecahan masalah, konfrontasi
untuk menerima kenyataan bahwa pihak lain dan pencerminan (mirroring) organisasi telah
memandang sesuatu sebagai sebuah nilai; atau bila disajikan untuk mengelola konflik antar kelompok.
orang menggunakan kekuatan sebagai pengaruh Pengelolaan konflik tidak hanya mengacu
penting membuat orang lain mengubah tindakan pada pemeliharaan konflik dalam jumlah sedang
mereka. tetapi juga untuk menangani tingkatan konflik
Implikasi dari definisi di atas, maka nilai-nilai dengan gaya perilaku yang sesuai. Mantha, et.al.
konflik sosial di ruang tepi jalan dapat diindikasikan (2013) mengungkap bahwa proses konflik terjadi
dengan adanya ketidaksepakatan dan perbedaan secara bertahap atau bersifat tidak mendadak
kepentingan pada situasi-situasi tak terhindarkan dikarenakan kemajuan dari satu tahap ke tahap
dalam interaksi penggunanya. Dalam penelitian ini, berikutnya tidak halus dan terdapat kemungkinan
konflik sosial dinyatakan terjadi ketika ruang tepi terjadi pengulangan beberapa kali dalam satu
jalan mengalami disfungsi oleh kegiatan di luar tahapannya. Episoda konflik dimulai dari fase 1:
perencanaan, yang membuat orang lain mengubah tidak ada konflik, konflik laten (tersembunyi),
fase2: munculnya eskalasi (peningkatan), fase 3:

157
frustrasi / jalan buntu (menyakitkan), sampai fase rencana untuk pelaksanaan solusi memutuskan
4: fase de-eskalasi (penurunan), settlement / sebelumnya.
resolusi, dan fase 5: pasca-konflik. Tipologi untuk 4. Pelaksanaan rencana. Langkah ini melibatkan
mengidentifikasi potensi konflik dalam penelitian implementasi aktual dari rencana disiapkan.
ini hanya digunakan fase 1, 2 dan 3 5. Pelaksanaan evaluasi dan tindakan korektif.
Sistem Pengendalian Konflik Penggunaan Evaluasi ini merupakan langkah terakhir dalam
Ruang tepi jalan yang digunakan untuk pemecahan masalah.
mempengaruhi perilaku pemilik kepentingan
(misalnya pengembang, pengguna, dan pemerintah
daerah dan/atau pusat) ini, merujuk pada teori
manajemen konflik dan konsensus agar berperilaku
konsistem dengan pencapaian tujuan fungsi
organisasi.
Hasil sintesis perbandingan antara teori
konflik versus teori konsensus mengungkap bahwa
teori konflik adalah studi tentang konflik tentang
pengaturan organisasi. Studi tersebut dapat
membantu meningkatkan pemahaman tentang
penyebab dasar konflik dan karenanya mengarah
kepada bentuk yang lebih efektif dan dapat diterima
untuk resolusi konflik (Moscovici & Doise, 1994).
Teori konflik menekankan bahwa ketertiban Gambar 4. Proses Pemecahan Masalah
masyarakat didasarkan pada manipulasi dan Sumber : Rahim & Bonoma, 1979
kontrol oleh kelompok dominan. Ahli teori konflik
meneliti tentang konflik kepentingan antara
kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, Perilaku Penanganan (Coping Behavior) Konflik
sehingga penelitian tersebut bersifat top-down. Untuk mencapai tujuan penelitian, strategi
Sementara teori-teori konsensus dianggap penanganan konflik dalam penelitian ini menjadi
difokuskan pada tatanan sosial berdasarkan kriteria pengukuran kriteria konflik. Teori yang
perjanjian. Menganggap norma dan nilai-nilai digunakan dalam penanganan konflik, adalah
sebagai faktor fundamental terhadap masyarakat coping behavior (Schwarzer & Knoll, 2008), yaitu
bersama, mencari solusi 'winwin' yang diterima upaya mengatasi perluasan usaha sadar untuk
oleh semua menghasilkan komitmen yang lebih memecahkan masalah pribadi dan interpersonal,
besar. Teori konsensus mencoba untuk memeriksa dan berusaha untuk menguasai, mengurangi atau
adanya integrasi nilai-nilai di masyarakat. mentolerir adanya konflik.
Konsensus dapat bekerja di semua jenis Pengertian penanganan (coping) dapat
pengaturan kelompok kecil, masyarakat lokal, mengatasi upaya untuk mengelola dan mengatasi
bisnis, bahkan secara teoritis untuk seluruh bangsa tuntutan dan peristiwa penting yang menimbulkan
dan wilayah. Proses konsensus bisa berbeda tantangan, ancaman, bahaya, kerugian, atau
tergantung pada ukuran kelompok dan faktor- manfaat (Lazarus, 1991). Secara konseptual teori
faktor lain, tetapi prinsip dasar kerja sama antara Coping Behaviour yang digunakan untuk
yang sederajat tetap sama (Seeds for Change, 2013). penanganan konflik memiliki 2 dimensi, yaitu
Untuk menangani konflik antar kelompok dimensi fokus dan dimensi waktu (kerusakan atau
secara efektif, para anggota atau perwakilan kerugian di masa lalu/past harm/losses sampai
kelompok harus belajar proses pemecahan masalah ancaman dan tantangan masa depan /future threats
dengan empat langkah yang berbeda sebagai sistem and challenges) serta tingkat kepastian/ certain
pengendalian konflik, berikut ini dan sesuai Gambar (Lihat Gambar 5: Empat perspektif mengatasi
4. halangan fungsi waktu dan kepastian).
1. Rumusan masalah. Proses perumusan masalah
dimulai dengan diagnosis sifat dan sumber-
sumber konflik antarkelompok.
2. Solusi masalah. Langkah ini melibatkan
perumusan solusi alternatif untuk masalah yang
diidentifikasi sebelumnya.
3. Rencana pelaksanaan. Langkah dalam
pemecahan masalah ini melibatkan penyusunan

158
 Penanganan antisipatif (anticipative coping)
secara fundamental berbeda dari mengatasi
reaktif karena konflik belum terjadi. Hal ini dapat
dianggap sebagai upaya untuk menghadapi
ancaman tertunda. Akibat peristiwa penting yang
pasti atau cukup yakin terjadi dalam waktu dekat.
Fungsi koping mungkin terletak dalam
memecahkan masalah yang sebenarnya, seperti
meningkatkan usaha, mendaftar bantuan, atau
investasi sumber daya lainnya. Penanganan
antisipatif dianggap keterlibatan jangka pendek
terhadap peristiwa dengan kepastian tinggi
Gambar 5. Empat Perspektif Mengatasi Halangan  Penanganan proaktif mencerminkan upaya untuk
Fungsi Waktu dan Kepastian membangun sumber daya umum yang
Sumber: Schwarzer & Knoll, 2008 memfasilitasi promosi ke arah tujuan yang
menantang dan bertumbuh. Proaktif
Strategi penanganan konflik fungsi waktu menciptakan kondisi kehidupan yang lebih baik
dan kepastian menurut Schwarzer & Knoll (2008) di dan tingkat kinerja yang lebih tinggi,
atas, dibagi menjadi 4 kategori sebagai berikut:  Penanganan preventif dibutuhkan untuk
 Penanganan reaktif (reactive coping) dapat mempersiapkan kemungkinan ancaman dan
didefinisikan sebagai upaya untuk menghadapi tantangan di masa depan dalam kondisi ketidak-
konflik masa lalu atau sekarang, atau untuk pastian.
mengimbangi atau mengatasi kerusakan atau
kerugian.

METODE PENELITIAN Kuisioner diserahkan kepada 16 responden (9


Penelitian ini mengamati ruang dari batas luar responden mewakili pakar yang meliputi
badan jalan atau bahu jalan, saluran tepi jalan, ilmuwan/praktisi lapangan, 7 responden mewakili
trotoar, sebidang tanah sampai dengan batas pengguna jalan). Para responden diminta untuk
ambang pengaman. Ruang tersebut adalah ruang menilai kasus-kasus penyalahgunaan ruang tepi jalan
manfaat jalan (PP No. 34/2006 tentang Jalan, pasal dari gambar/foto yang disediakan. Responden
34). Ruang tersebut selanjutnya disebut sebagai diminta pula mengungkapkan perasaan yang dialami,
ruang tepi jalan. pola pergerakan, reaksi, dan tindakan yang mereka
Pendekatan yang dilakukan adalah deduktif– dilakukan jika menghadapi konflik.
induktif dengan strategi studi kasus dan mono Terdapat 28 pertanyaan praktis yang
method. Selain itu, digunakan paradigma dimunculkan dalam pengamatan lapangan tentang
rasionalistik kualitatif (Saunders, et.al, 2011, in tingkat keparahan konflik perlu didiskusikan. Hal
Saunders and Tosey, (n.d), Miles & Huberman, ini terkait dengan tingkat keparahan konflik lalu
1994; Patton, 2002). Metode penelitian yang lintas (Amundsen dan Hyden dalam Ambros, et.al.,
digunakan dalam makalah ini adalah kualitatif, 2017) dan tingkat keparahan konflik sosial
yakni menginterpretasikan fenomena yang (Mantha, et.al., 2013, Schwarzer & Knoll, 2008)
bermakna konflik dan perilaku anti sosial dalam serta beberapa peristiwa relevan lainnya. Penilaian
setting sosial tertentu. Studi dilakukan meliputi tersebut kemudian dianalisis dan disintesiskan
studi literatur, observasi objek penelitian, rekaman berdasarkan jenis, tingkatan dan indikasi kriteria
foto, laporan terdahulu, mengumpulkan pendapat konflik penggunaan ruang tepi jalan di Indonesia.
para pakar dan pengguna jalan melalui kuisioner Analisis data yang digunakan adalah analisis isi,
semi terstruktur secara online. dan analisis kategorisasi tiap indikator yang mewakili
Sumber data utama adalah analisis konten variable-variabel terkait. Hal ini dilakukan dengan
dari teori-teori, laporan media cetak, radio dan cara mengidentifikasi dan mengaplikasikan analisis
televisi periode tahun 2013 hingga 2017. Data tematik (koding teks dan interpretasi teks) terhadap
kualitatif dari unit informasi terkait konflik fenomena dan perilaku pengguna yang bermakna
penggunaan ruang tepi jalan dan alternatif konflik.
solusinya, diekstrak, diinterpretasi, dianalisis Pengumpulan data lainnya adalah data
disagregasi berdasarkan kriteria pentahapan lapangan yang selanjutnya diinterpretasi secara
konflik menurut Mantha, et. al., 2013. kualitatif dan dikategorisasikan berdasarkan nilai-
nilai standar yang dirujuk dari standar, pedoman yang
berlaku di Indonesia, ataupun yang berlaku di luar

159
negeri. Lokasi penelitian adalah ruas-ruas jalan di masyarakat akan penyalahgunaan ruang tepi
koridor pusat bisnis dengan berbagai tingkat okupasi jalan memiliki keterkaitan yang sangat kuat
pelanggaran ruang tepi jalan di kota-kota Surabaya, dengan proses terjadinya konflik
Surakarta, Bandung dan Jakarta.  Kondisi masyarakat Indonesia yang terbiasa
Data yang terkumpul kemudian dianalisis hidup dan beraktivitas pada lingkungan tepi jalan
fenomena konflik dan keparahannya, tingkat yang tidak ideal. Masyarakat mengganggap
okupansi, proses terjadinya konflik penggunaan ruang beberapa kasus penyalahgunaan ruang tepi jalan
tepi jalan, pengembangan indikasi tingkat konflik bukanlah suatu pelanggaran. Hal ini makin
transportasi pengguna ruang tepi jalan, diperkuat dengan kurangnya penegakan aturan,
pengembangan indikasi tingkat konflik sosial kesiapan dari para pemilik kepentingan, dan
penggunaan ruang tepi jalan, pengembangan indikasi kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
tindakan penanganan, rangkuman tipologi konflik kepentingan orang lain/rasa komunitas.
penggunaan ruang tepi jalan, dan penerapan tipologi  Penjelasan di atas kemudian disusun sebagai
konflik. sintesis penggunaan jalan berbagi yang
Klasifikasi kriteria pengukuran yang digunakan membutuhkan pemahaman masyarakat agar
dalam mengukur indikasi dimensi konflik dimensi menggunakannya secara benar, agar tidak terjadi
fisik adalah: tingkat konflik fisik=0, bila ditemui konflik yang tidak diinginkan
bentuk fisik yang tidak ideal; tingkat konflik fisik = 1,  Reaksi, ekspresi, dan dampak-dampak yang
bila lebih dari ketentuan standar yang berlaku atau dinyatakan oleh responden, menunjukkan bahwa
ideal, indikator dimensi fisik =2, bila memenuhi terdapat 9 fenomena konflik di lapangan (Tabel
standar yang berlaku atau cukup baik. Indikator 2).
konflik dimensi fisik = 3, bila kurang dari ketentuan
dalam standard yang berlaku atau tidak sesuai Tabel 2. Fenomena Konflik di Lapangan
standar. Fenomena Konflik
Pada pengembangan indikasi tingkat 1. Kelainan bentuk dan ukuran bangunan pelengkap di
keparahan konflik, asumsi konflik dari sudut ruang tepi jalan (tingkat keparahan: 0)
pandang kriteria objektif harus diimbangi dengan a. Ketidakselarasan bentuk trotoar akibat adanya variasi
elevasi yang disebabkan oleh intervensi pembangunan
kriteria subjektif yang seringkali tak tampak saat dari pemilik lahan
mengamati konflik pengguaan ruang tepi jalan. b. Kesalahan perancangan dan pembangunan jalur pintu
Tingkat keparahan konflik akan dibahas pada tiap masuk dengan sudut 900
fenomena/kasus. Penelitian sebelumnya oleh 2. Kendaraan berkecepatan rendah di badan jalan (tingkat
keparahan: 0)
Ambros, et.al. (2014), belum memperhitungkan
kriteria subyektif yang terungkap sebagai reaksi 3. Okupansi kegiatan pendukung di tepi jalan (tingkat
para pemilik kepentingan dan perilaku keparahan: 1)
penanganannya. a. Kegiatan PKL yang menutupi aktivitas pertokoan
b. Kegiatan aktivitas kendaraan yang mengokupansi
sebagian trotoar
c. Kegiatan PKL yang mengokupansi sebagian trotoar
HASIL DAN PEMBAHASAN
4. Okupansi PKL di trotoar (tingkat keparahan: 2)
a. Kegiatan Mobil-Toko yang mengokupansi seluruh
Pendapat tentang Fenomena Konflik di Lapangan bahu jalan dan sebagian trotoar.
Dalam mensitesis dan mentipologikan hasil b. Kegiatan PKL yang mengokupansi sebagian trotoar
kuisioner, ditemui bahwa: dan meluas ke sebagian area bahu jalan.
 Lebih dari 50% responden, menyatakan bahwa
5. Okupansi PKL dan konsumen di trotoar dan badan jalan
fenomena yang diajukan dalam kuisioner (tingkat keparahan: 3)
merupakan fenomena konflik. Hal ini a. Kegiatan PKL yang mengokupansi seluruh bahu jalan
dikarenakan gambaran yang disampaikan dapat dan sebagian badan jalan akibat tidak tersedia-nya
menimbulkan dampak gangguan, baik trotoar
b. Kegiatan pembeli dan pejalan kaki yang beraktivitas
kenyamanan, keamanan dan risiko keselamatan. di badan jalan
 Sebesar 4-5 % responden mengindikasikan c. Kegiatan PKL yang mengokupansi seluruh bahu jalan
jawaban responden bersifat tidak konsisten. Dari dan trotoar serta sebagian badan jalan.
jumlah persentase yang kecil menyebabkan 6. Okupansi kegiatan pendukung di badan jalan (tingkat
keparahan: 3), seperti kegiatan bongkar muat barang di
jawaban tersebut diabaikan. Ketidakkonsistenan tepi jalan:
jawaban tersebut disebabkan oleh 2 faktor utama, a. Kegiatan pembeli dan pejalan kaki yang beraktivitas
yaitu perbedaan karakteristik perilaku di badan jalan
masyarakat dan ketidaksetaraan tingkat b. Kegiatan loading barang yang mengokupansi seluruh
bahu jalan dan trotoar
pemahaman masyarakat. Aspek karakteristik
perilaku masyarakat dan tingkat pemahaman

160
7. Aksesibilitas / keluar-masuk tempat parkir (tingkat melewati trotoar sehingga ada perubahan rute
keparahan: 3) pejalan kaki ke bahu jalan.
8. Okupansi kendaraan bermotor di trotoar (tingkat
keparahan: 3) - Masif adalah kondisi pada ruas jalan tertentu
9. Aktivitas pejalan kaki yang menyeberang sembarangan yang ditandai dengan intensifnya dan
(tingkat keparahan: 3) terkonsentrasinya penyalahgunaan pemanfaatan
fungsi ruang sisi jalan baik secara permanen atau
Sumber : hasil analisis, 2018 yang berpotensi menjadi permanen serta
cenderung meluas secara spasial.
Pengembangan Indikasi Tingkat Keparahan Penyalahgunaan pemanfaatan ruang tepi jalan
Konflik berupa okupansi kegiatan informal di trotoar
Pengukuran tingkat keparahan konflik sampai ke sebagian bahu jalan (aktivitas PKL dan
penggunaan ruang tepi jalan, dilakukan dengan pembelinya berada di bahu jalan). Terindikasi
mengamati empat variabel hasil identifikasi yang pula adanya pengurangan efektif trotoar dan jalan
perlu diklarifikasi untuk mengembangkan konsep yang mengakibatkan pejalan kaki tidak bisa
operasional konflik penggunaan ruang tepi jalan. melewati trotoar, sehingga terjadi perubahan
Dua variabel dengan kriteria objektif/fisik (dapat rute pergerakan pejalan kaki ke badan.
dilihat dengan kasat mata) yang dapat diukur secara
eksplisit dan mencakup pembatasan konflik nyata, Sejarah konflik penggunaan ruang tepi jalan
yaitu tingkat keparahan konflik dan konflik Dari survei keberhasilan dan kegagalan
transportasi yang terjadi. Dua variabel dengan penataan ruang tepi jalan terlihat bahwa sejarah
kriteria subyektif /konflik sosial atau konflik maya, umum tentang penggunaan ruang jalan dan tepi
yaitu konflik dengan adanya reaksi para pemilik jalan, dapat menjadi indikator dari variabel tingkat
kepentingan yang terungkap dan perilaku keparahan konflik serta perilaku penanganan di
penanganannya. masa lalu.
Sejarah Konflik penggunaan ruang tepi jalan
Tingkat Okupansi Kegiatan Informal terindikasi sesuai jenjang tingkat keparahannya,
Banyaknya pusat kegiatan penting di sekitar sebagai berikut: Bila konflik terjadi belum lama
koridor jalan yang menurut sejarah bertumbuh (masih dalam hitungan hari) diindikasikan sebagai:
pesat tanpa kontrol, tidak tertampungnya kegiatan tingkat 1 (konflik laten). Bila kejadian konflik telah
penunjang di dalam persil. Hal ini menyebabkan berlangsung lama (dalam hitungan bulan), maka
tingginya tingkat okupansi, sehingga melebihi daya dinyatakan sebagai tingkat keparahan 2/konflik di
tampung koridor dan pada akhirnya menyebabkan permukaan. Tetapi bila kejadian keos terjadi sangat
gangguan kenyamanan dan kelancaran. Tahapan lama (dalam hitungan tahunan), maka kondisi ini
sejarah konflik diuraikan sebagai berikut. dinyatakan sebagai konflik dengan tingkat
- Embrionik adalah kondisi pada ruas jalan keparahan 3. Kriteria ini ditentukan dengan
tertentu yang ditandai dengan munculnya pertimbangan, makin lama kondisi keos terjadi,
penyalahgunaan pemanfaatan fungsi ruang tepi maka perilaku, kebiasaan hidup dan aktivitas pada
jalan baik secara permanen atau yang berpotensi lingkungan tepi jalan sudah mengakar, sehingga
menjadi permanen. Pemanfaatan tersebut makin sulit untuk ditata.
meliputi penyalahgunaan pemanfaatan ruang tepi
jalan berupa okupansi kegiatan informal di Konflik dimensi fisik
trotoar, terjadi pengurangan kapasitas lebar Kecukupan ruang untuk menuju dan
efektif trotoar, tetapi masih dapat difungsikan menggunakan tempat (size and space for approach
untuk fasilitas pejalan kaki. Hal-hal and use) menjadi faktor penentu terjadinya konflik,
tersebutmenyebabkan beberapa kelompok seperti variabel dimensi ruang milik jalan, fungsi
pejalan kaki melakukan gerakan untuk jalan, jumlah jalur dan lajur, konsistensi jumlah
menghindari hambatan di trotoar. lajur/pengurangan lebar efektif karena kegiatan
- Ekspansif adalah kondisi pada ruas jalan tertentu penunjang, dan tidak adanya pemisah antar
yang ditandai dengan penyalahgunaan pengguna jalan secara nyata maupun virtual
pemanfaatan fungsi ruang tepi jalan yang (proximity), kualitas desain, kebutuhan dan
cenderung meluas secara spasial baik permanen perilaku pengguna, yang menimbulkan gangguan
atau yang berpotensi menjadi permanen dengan kelancaran lalu lintas atau gangguan kenyamanan
penyalahgunaan pemanfaatan ruang sisi jalan pengguna jalan.
berupa okupansi kegiatan informal di seluruh Berkembangnya pusat kegiatan penting yang
trotoar. Hal ini menyebabkan pejalan kaki berkontribusi pada ekonomi kota, menarik kegiatan
memanfaatkan bahu jalan, karena tidak dapat penunjang ikut berdagang di sekitar koridor jalan
secara tidak terkontrol, sehingga tingginya tingkat

161
okupansi pemanfaatan yang melebihi daya Kemacetan LL bermotor Jalan / Lalu lintas
tampung koridor, pada akhirnya menganggu signifikan/ Potensi berhenti
kecelakaan Pejalan kaki,
kenyamanan dan kelancaran lalu lintas Pembeli dan PKL tinggi
Kedekatan dengan pusat kegiatan.
Ketidaktersediaan sarana dan prasarana yang Sumber : hasil analisis, 2018
diperlukan kegiatan manusia di sekitar pusat
kegiatan, seperti fasilitas transportasi umum, Pengembangan Indikasi Tingkat Konflik Sosial
fasilitas parkir kolektif, kurangnya jalur alternatif, Penggunaan Ruang Tepi Jalan
jumlah dan kapasitas pintu masuk keluar, Berdasarkan pengertian, studi literatur
menyebabkan ketidakteraturan pemanfaatan dalam teori konflik sosial Ikaputra (2004) dan
Mantha et al (2013), serta hasil wawancara di
Pengembangan Indikasi Tingkat Konflik lapangan, maka dapat disintesa indikasi dan
Transportasi Penggunaan Ruang Tepi Jalan karakteristik konflik sosial yang akan dibedakan
Berdasarkan pengertian, dan definisi konflik berdasarkan tingkatan keparahan konfliknya.
transportasi oleh Amundsen dan Hyden dalam Indikasi potensi konflik penggunaan ruang tepi
Ambros, et al (2014), serta hasil wawancara dan jalan sesuai fase dinamika kemunculan konflik
untuk tujuan penyederhanaan, klasifikasi konflik sosial di sekitar ruang tepi jalan, terindikasi bila
transportasi di ruang tepi jalan ini dibagi menjadi 3 terjadi gangguan pada kegiatan sosial secara
sebagai berikut: berjenjang sesuai tingkat keparahannya seperti
Tingkat konflik ke–1 (konflik ringan/konflik laten), terungkap pada Tabel 4.
bila terjadi gangguan pada kecepatan, tingkat
konflik ke–2 (konflik medium/konflik di
permukaan), bila sampai mengakibatkan terjadinya Tabel 4. Tingkatan dan Reaksi Konflik Sosial
kemacetan dan tingkat konflik ke–3 (konflik Tingkat Indikasi Konflik: Ekspresi
berat/konflik terbuka), bila mengakibatkan Konflik Gangguan Kenyamanan Pengguna
gangguan risiko keselamatan / kecelakaan (safety). 0 waspada & hati-hati.
Secara detail, penjelasan lebih lanjut mengenai membiarkan
1 gangguan kenyamanan bagi marah pasif/
karakteristik dari tiap tingkatan konflik
kelompok tertentu membiarkan
transportasi dapat dilihat pada Tabel 3. 2 tidak nyaman, kesal/ jengkel marah assertif
(lisan/verbal,
Tabel 3. Tingkatan dan Reaksi Konflik tulisan, gerakan)
Transportasi 3 sangat tidak nyaman reaksi agresif
(sangat jengkel) (pelaporan,
Tingkat Indikasi Konflik: Reaksi kekerasan)/
Konflik Gangguan Kenyamanan/ Pengguna melakukan tindakan
Risiko Kecelakaan kekerasan
0 Gangguan pergerakan / Sulit bergerak,
risiko kecelakaan pejalan bermanuver
kaki & pembeli sangat /peningkatan Sumber : hasil analisis, 2018
kecil kewaspadaan,
kehati-hatian Pengembangan Indikasi Tingkat Tindakan
1 Pengurangan kapasitas / Gerakan
Penanganan
lebar efektif trotoar, menghindar
gangguan kelancaran dalam jalur / Tindakan penanganan yang diadopsi dari
pejalan kaki/risiko lancar terbatas Teori Coping Behavior (Schwarzer & Knoll, 2008),
kecelakaan pejalan kaki & ditentukan sesuai dengan tingkat keparahan
pembeli kecil
konflik. Dalam penelitian ini “kesiapan” diambil
2 Penutupan Jalur Gerakan LL
pedestrian. menghindar sebagai indikator dari variabel perilaku
Pejalan kaki keluar jalur ke penanganan. Hal ini dikarenakan penelitian di
memanfaatkan bahu jalan, bahu jalan/ lapangan menunjukkan ada indikasi yang kuat
potensi gesekan samping, Tundaan antara kesiapan untuk berubah menjadi faktor
Gangguan kelancaran pergerakan,
pejalan kaki tinggi, pengurangan penting dalam menciptakan kesuksesan perubahan
Gangguan kelancaran LL kecepatan (Armenakis, et.al.,1993). Hal ini ditunjukkan ketika
bermotor sedang/risiko perubahan dilakukan selanjutnya muncul dua sikap
kecelakaan pejalan kaki yaitu positif dan negatif.
dan pembeli sedang
3 Penutupan jalur Gerakan LL Sikap positif ditunjukkan dengan adanya
pedestrian, pejalan kaki menghindar kesiapan untuk berubah. Sikap negatif ditunjukkan
lewat badan jalan dan keluar jalur atau dengan adanya penolakan terhadap perubahan.
Pengurangan lebar efektif lajur di Badan Kesiapan yang menjadi ancaman bagi terjadinya
badan jalan

162
konflik, supaya tindakan penanganan dapat lebih dan kehati-hatian pengguna jalan. Gangguan
efisien dan tidak memerlukan kekerasan. kenyamanan dirasakan bagi kelompok tertentu
Tingkatan kesiapan penanganan konflik pada lokasi tertentu, tetapi masih bisa
yang digunakan dalam tipologi konflik penggunaan dimaklumi. Gangguan pergerakan lalu lintas
ruang tepi jalan ini adalah tingkat 1: sangat siap, (LL) bermotor dan tidak bermotor di lokasi
tingkat 2: cukup siap, dan tingkat 3: tidak siap. tertentu. Pada level ini tidak terjadi gangguan
risiko keselamatan. Hal ini dapat dinyatakan
Tipologi Konflik Penggunaan Ruang Tepi Jalan bahwa manifestasi fisik ruang tepi jalan
Tipologisasi tahapan konflik penggunaan menentukan terjadinya konflik penggunaannya
ruang tepi jalan yang dibangun terbagi atas 2 ringan, dan dapat ditangani dengan cara-cara
bagian, yaitu tipologi aspek spasial-fisik, yang preventif (pencegahan).
ditentukan berdasarkan kriteria objektif, yaitu  Konflik tingkat 1 (model embrionik-sosial):
kriteria pengukuran aspek fisik-spasial yang dapat Konflik kecil dengan adanya beberapa kelompok
dilihat secara kasat mata dan tipologi aspek sosial, pejalan kaki melakukan gerakan untuk
yang ditentukan berdasarkan kriteria subjektif para menghindari hambatan di trotoar yang sebagian
pemilik kepentingan, seperti kenyamanan, reaksi terokupansi oleh kegiatan informal di trotoar.
pemilik kepentingan (lalu lintas bermotor, lalu Dalam hal ini terjadi pengurangan
lintas tak bermotor dan ekspresi), kesiapan dan kapasitas/lebar efektif trotoar, tetapi masih
harapan. Gambar 6 Parameter tipologi penggunaan dapat difungsikan untuk fasilitas pejalan kaki.
ruang tepi jalan merupakan hasil sintesis dari Gangguan kenyaman pejalan kaki mulai terjadi,
kriteria-kriteria konflik yang telah dianalisis. tetapi tidak terekspresikan dengan indikasi
Sebagai instrumen penilaian/alat ukur reaksi perasaan marah pasif tetapi masih
potensi konflik, tipologi konflik penggunaan ruang dibiarkan. Gangguan kelancaran pejalan kaki
tepi jalan pada Lampiran Tabel 2, merupakan hasil tergolong kecil, karena masih bisa berjalan
pengelompokan dan pendekomposisian unit-unit dengan lancar terbatas di trotoar. Hal ini tidak
informasi konflik sesuai tahapan konflik dan berpotensi meningkatkan risiko keselamatan.
tahapan perilaku penanganannya pada Gambar 5. kelancaran pejalan kaki. Hal ini dapat ditangani
Tipologi konflik penggunaan ruang tepi jalan dengan cara-cara pro-aktif (mengantisipasi dan
yang dihasilkan penelitian ini dapat dipergunakan bertindak).
untuk menentukan tingkat keparahan konflik  Konflik tingkat 2 (model ekspansif) adalah
penggunaan ruang tepi jalan. Tipologi ini disusun konflik menengah dengan adanya pejalan kaki
berdasarkan kriteria konflik dan penanganannya, yang memanfaatkan bahu jalan, karena tidak
yang terdiri atas empat aspek: tingkat keparahan dapat melewati trotoar akibat terokupansi oleh
penampakan konflik, tingkat keparahan konflik kegiatan informal di seluruh trotoar, terjadi
transportasi, dan konflik sosial serta tingkat perubahan rute pejalan kaki ke bahu jalan.
kesulitan penanganan. Terindikasi lebar efektif trotoar nol. Gangguan
Sembilan indikator yang diturunkan dari kenyamanan pejalan kaki tergolong sedang,
empat aspek di atas dan diusulkan sebagai alat ukur terungkap dalam bentuk kekesalan
tingkat konflik penggunaan ruang tepi jalan adalah /kejengkelan, terindikasi reaksi marah assertif,
okupansi kegiatan informal, sejarah terjadinya dengan peringatan dan larangan yang
konflik, identifikasi masalah kondisi fisik, tingkat diekspresikan dengan gerakan, lisan dan tulisan.
gangguan kelancaran, risiko kecelakaan dan reaksi Pada kasus tertentu melakukan pembiaran,
pengguna, tingkat gangguan kenyamanan dan asalkan tidak mengganggu dirinya secara
ekspresi pengguna jalan, serta tingkat kesiapan dan langsung. Gangguan kelancaran lalu lintas
harapan para pemilik kepentingan. bermotor tergolong sedang, akibat adanya
Berdasarkan unit-unit informasi yang hambatan samping di bahu jalan, jalur pejalan
ditemukan di lapangan, kajian teoritis dan hasil kaki terblokir, beralih ke bahu jalan. Risiko
validasi pendapat para pakar dan pengguna jalan, keselamatan tergolong menengah, karena
maka konflik penggunaan ruang tepi jalan di kota- berpotensi gesekan antara lalu lintas bermotor
kota besar di Indonesia dibagi ke dalam tiga dan tidak bermotor di bahu jalan. Hal ini dapat
kelompok besar, dan bersifat komulatif, yaitu: ditangani dengan cara-cara antisipatif (bersikap
 Konflik Tingkat 0 (model embrionik-fisik): tanggap terhadap sesuatu yang sedang/akan
Konflik kecil yang ditimbulkan oleh bentuk tepi terjadi).
jalan tidak ideal/ ketidak sesuaian desain  Konflik tingkat 3 (model masif): konflik parah
dengan kebutuhan pengguna, mengakibatkan dengan adanya perubahan rute pergerakan
pengguna jalan sulit bergerak/manuver, pejalan kaki ke badan jalan, akibat ekspansi
sehingga diperlukan peningkatan kewaspadaan okupansi kegiatan informal (aktivitas PKL dan

163
pembelinya) di trotoar sampai bahu jalan dan di badan jalan. Tingkat gangguan kelancaran lalu
sebagian badan jalan. Terindikasi lebar efektif lintas tergolong tinggi. Risiko kecelakaan tinggi,
trotoar nol dan pengurangan lebar efektif jalan. karena frekuensi berbagi ruang di badan jalan
Trotoar dan bahu jalan terblokir, pejalan kaki dengan perbedaan kecepatan dan perbedaan
memanfaatkan badan jalan, karena tidak bisa masa sangat tinggi. Hal ini dapat ditangani
melewati trotoar dan bahu jalan. Penurunan dengan cara-cara reaktif (tanggap dan segera
kecepatan kendaraan berpotensi terjadi secara bereaksi terhadap sesuatu yang timbul dari
signifikan akibat adanya pengurangan lebar pengaruh-pengaruh luar).
efektif lajur lalu lintas dan pemusatan kegiatan
Tipologi konflik Penggunaan Ruang Tepi Jalan

Penampakan Konflik Perilaku


Konflik Transportasi Konflik Sosial Penanganan
`

Tingkat Okupansi Resiko Ekspresi Gangguan


Sejarah Konflik Gangguan Kesiapan
Kegiatan Kecelakaan Pengguna
Informal Konflik Dimensi Fisik Kelancaran Kenyamanan
Reaksi
Pengguna
Keterangan : Pengukuran kriteria objektif/fisik (dapat dilihat dengan kasat mata)
Pengukuran kriteria subjektif/sosial (yang tidak terlihat dengan kasat mata)
Gambar 6. Parameter Tipologi Konflik Penggunaan Ruang Tepi Jalan
Sumber : hasil analisis, 2018

Penerapan Tipologi Konflik dalam Sistem


Pengendalian Konflik Penggunaan Ruang Tepi
Jalan di Indonesia
Tipologi konflik sebagai alat untuk
menganalisis dan mengklasifikasikan tingkat
keparahan konflik ini, bila disisipkan dalam
diagram proses pemecahan masalah (Rahim &
Bonoma, 1979), dapat menggantikan tahapan
analisis konflik dan solusi alternatif (Gambar 4),
sehingga diperoleh sistem pengendalian konflik
penggunaan ruang tepi jalan (Gambar 7).
Kerangka pengendalian tersebut adalah
menggunakan strategi pembangunan masyarakat
(bottom up). Dengan harapan agar tercapai Gambar 7. Implementasi Tipologi dalam Sistem
kesinambungan aspek sosial, dan strategi Pengendalian Penggunaan Ruang Tepi Jalan
pembangunan fisik yang didominasi oleh strategi Sumber : Hasil Sintesis Rahim, 2002 & Seeds for
pembanguan top-down seperti terungkap pada teori Change, 2013
manajemen konflik.
Dengan adanya sistem pengendalian Berbagai peraturan telah dikeluarkan untuk
penggunaan ruang tepi jalan ini, terungkap mengendalikan penggunaan ruang tepi jalan.
perlunya kolaborasi dan respon dari berbagai Beberapa di antaranya disampaikan pada Tabel 1.
instansi. Selain itu, perlu adanya intervensi Pengendalian dengan menempatkan PKL di tempat
penyelesaian masalah bertahap sesuai tingkat yang ditentukan maupun pengaturan kegiatan PKL
keparahan konflik di lapangan dan sumber daya di ruang tepi jalan. Pengendalian lainnya adalah
yang ada, agar lebih efektif dan manusiawi. Contoh dengan pengawasan sekaligus pengambilan
penerapan ditunjukkan pada Tabel 5. tindakan yang dilakukan oleh masyarakat, Satuan
Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Polisi, Petugas
Dishub (Dinas Perhubungan). Dapat pula dilakukan

164
masing-masing instansi, dana atau gabungan
beberapa instansi.
Tabel 5. Penerapan Tipologi Konflik
Kesiapan Pokja/
Tahapan Tindakan
Contoh Konflik Contoh Tindakan
Konflik Penanganan
Konflik
0, kesalahan Preventif Gangguan pergerakan/ risiko kecelakaan pejalan Pembentukan dan Penguatan
desain kaki & pembeli sangat kecil Kelompok Kerja Masyarakat &
Pemda Peduli Trotoar,
penyiapan sumber daya, serta
Sosialisasi peraturan dan
pengawasan oleh Linmas
setempat
1, ringan/ Siap/proaktif Pengurangan kapasitas/lebar efektif trotoar, Pengawasan dan pengambilan
laten gangguan kelancaran pejalan kaki/risiko tindakan penertiban oleh
kecelakaan pejalan kaki & pembeli kecil Linmas setempat
2, sedang/ Cukup Penutupan Jalur pedestrian. Linmas melaporkan konflik
dipermukaan siap/antisipatif Pejalan kaki memanfaatkan bahu jalan, potensi kepada Satpol PP untuk
gesekan samping, mengambil tindakan
Gangguan kelancaran pejalan kaki tinggi, penertiban dengan
Gangguan kelancaran LL bermotor sedang/risiko pendampingan instansi lainnya
kecelakaan pejalan kaki dan pembeli sedang
3, parah/ Tidak Siap/ Penutupan jalur pedestrian, pejalan kaki lewat Pengambilan tindakan
terbuka reaktif badan jalan dan pengurangan lebar efektif badan penertiban, seperti Relokasi
jalan oleh Satpol PP, Dishub dan
Kemacetan LL bermotor signifikan/ Potensi Petugas kepolisian
kecelakaan Pejalan kaki, Pembeli dan PKL tinggi

Sumber : hasil analisis, 2018


dan strategi pembangunan fisik yang didominasi
oleh strategi pembanguan top-down seperti
terungkap pada teori manajemen konflik.
KESIMPULAN
REKOMENDASI
Tipologi yang disusun berdasarkan kriteria
konflik berdasar 4 aspek: tingkat keparahan Para pemilik kepentingan termasuk
penampakan konflik, tingkat keparahan konflik pengguna jalan hendaknya tidak menggeneralisasi
transportasi, dan konflik sosial serta tingkat penggunaan ruang tepi jalan, seperti penggunaan
kesulitan penanganan. Keempat aspek tersebut parkir, penempatan PKL serta kegiatan informal
dikembangkan menjadi sembilan indikator, yaitu lainnya, karena masing-masing hirarki jalan
okupansi kegiatan informal, sejarah terjadinya memilik fungsi utama yang berbeda. Hal ini
konflik, identifikasi masalah kondisi fisik, tingkat merupakan pengejawantahan konsep street (jalan
gangguan kelancaran, risiko kecelakaan dan reaksi kecil) dan road (jalan besar).
pengguna, tingkat gangguan kenyamanan dan Untuk menentukan faktor bobot dari
ekspresi pengguna jalan, serta tingkat kesiapan dan parameter pengukuran dapat ditentukan lebih
harapan para pemilik kepentingan. lanjut, tergantung pada situasi dan kondisi lokal,
Identifikasi konflik berdasarkan tahapannya melalui penelitian kuantitatif lanjutan. Desain
adalah: konflik tingkat 0 (model embrionik-fisik); inklusif – kolaboratif wajah tepi jalan dan
konflik tingkat 1 (model embrionik-sosial) dapat pengaturan sosio-spasial merupakan solusi yang
ditangani dengan cara-cara pro-aktif perlu dilakukan bertahap dan berkesinambungan
(mengantisipasi dan bertindak); konflik tingkat 2 sesuai dengan situasi masalah pada suatu koridor.
(model ekspansif) yang dapat ditangani dengan
cara-cara antisipatif; konflik tingkat 3 (model masif) UCAPAN TERIMA KASIH
yang dapat ditangani dengan cara-cara reaktif Ucapan terima kasih disampaikan penulis
(tanggap dan segera bereaksi terhadap sesuatu kepada pihak-pihak yang telah berkontribusi pada
yang timbul dari pengaruh-pengaruh luar). penelitian ini dalam bentuk masukan, komentar
Pengendalian ruang tepi jalan dapat berharga terhadap konsep, pemeriksaan tulisan
menggunakan kerangka penyusunan strategi serta bantuan penelusuran literatur: Marcel Pandin
pembangunan masyarakat (bottom up). Dengan (Architecture Engineering & Public Policy). Joyce
harapan agar tercapai kesinambungan aspek sosial, Marcella Laurens (Arsitek), dan F.X. Sudjana

165
(Pustakawan UK Petra), Lolly Martinah, dan Drs. Lingren, H,G. 1996. Managing Conflict Successfully,
Pradoto (Pusat Kebijakan dan Penerapan Accessed from http:// ianrpubs. unLedu/
Teknologi, Kementerian Pekerjaan Umum) sebagai family/ heg181.htrn. 20 May 2014.
inisiator penelitian ini. MacMichael, S. 2009. Oxford Circus gets shared
space crossing as naked streets momentum
DAFTAR PUSTAKA grows. Retrieved from http://road. cc/
Armenakis, A. A., Harris, S. G., & Mossholder, K. W. content/news/10654-oxford-circus-gets-
1993. Creating readiness for organizational shared-spacecrossing-naked-streets-
change. Human Relations, 46(6): 681-702 momentum-grows
Ambros, J., Turek, R., & Paukrt, J. 2014. Road Safety Mantha, S. S., Sivaramakrishna, M., & Mohanty, P.
Evaluation Using Traffic Conflicts : Pilot 2013. Handbook on Conflict Management
Comparison of Micro Simulation and Skills. Hyderabad 500 033 Andhra Pradesh,
Observation. In International Conference on India: Centre For Good Governance.
Traffic and Transport Engineering November Retrieved from www.ogg.gov.in
27-28,2014 : 221–227 Methorst R. 2003. Assessing Pedestrians Needs, The
Butler, C.T.L & Rothstein, A. 2004. On Conflict and Europe COST 358 PQN Project; Ministry of
Consensus, A handbook on Formal Transport, Public Works and Water
Consensus decisionmaking. Food not Bombs Management, DVS Centre for Transport and
Publishing, Internet version, Retrieved from Navigation, Safety Section: The Netherlands
http://leadtogether.org/wpcontent/uploads Miles, MB. & Huberman, AM. 1994. Qualitative Data
/2014/06/on-conflict-and-consensus.pdf Analysis (2nd edition). Thousand Oaks, CA:
Bailey, K. D. 1994. Typologies and taxonomies: An Sage Publications.
introduction to classification techniques Moscovici, S & Doise, W. 1994. Conflict and
(Sage University Paper series on Quantitative Consensus: A General Theory of Collective
Applications in the Social Sciences, series no. Decisions. Sage. ISBN 0 8039 8457 X. London.
07-102). Thousand Oaks, CA: Sage. Nabors, D., Goughnour, E., Thomas, L., DeSantis, W.,
Carmona, M., de Magalhaes, C., & Hammond, L. 2008. & Sawyer, M. 2012. Bicycle Road Safety Audit
Public Space, The Management Dimension. Guidelines and Prompt Lists. Federal
(Taylor & Francis Group, Ed.) First Edition. Highway Administration Office of Safety (Vol.
New York: Routledge. FHWA‐SA‐12). Springfield, Virginia
Casakin, H., & Dai, W. 2002. Visual typology in 22161.USA, Springfield, Virginia 22161-USA.
design: A computational view. Artificial Patton, M. 2002. Qualitative evaluation and research
Intelligence for Engineering Design, Analysis methods : 169-186. Beverly Hills, CA: Sage.
and Manufacturing: AIEDAM, 16 (1), 3–21. Pemerintah Republik Indonesia. 2006. Peraturan
https://doi.org/10.1017/S0890060401020 No 34 tentang-jalan, Jakarta.
029 Pemerintah Republik Indonesia. 2014. Peraturan
Hamilton-Baille,B. 2008. Shared space: Reconciling Menteri Pekerjaan Umum, No.
people, places and traffic. Built Environment 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman
34 (2) Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan
Hoban, T. J. 2004, Managing Conflict. A Guide for Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki
Watershed Partnerships, Accessed 20 May di Kawasan Perkotaan
2014 from http://www.ctic.purdue.edu Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Peraturan
/KYW/Brochures/ ManageConflict. html. Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Ikaputra. 2014. Towards Open & Accessible Public Jakarta, No. 8/2007 Tentang Ketertiban
Places Conflict & Compromise. Proceeding Umum, Jakarta.
International Seminar on Managing Conflict Pemerintah Republik Indonesia. 2011. Peraturan
at Public Space. Department of Architecture, Daerah Kota Bandung No. 04 Tahun 2011
Faculty of Engineering, Gadjah Mada Tentang Penataan Dan Pembinaan Pedagang
University, Yogyakarta. Kaki Lima, Bandung.
Karndacharuk, A., Wilson, D. J., & Dunn, R. C. M. Pemerintah Republik Indonesia. 2005. Peraturan
2013. Evaluating shared spaces : Daerah Kota Bandung No. 11 Tahun 2005
methodological framework and performance Tentang Penyelenggaraan Ketertiban,
index. Road and Transport Research 22(2): Kebersihan Dan Keindahan, Bandung.
52–61. Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Pemerintah
Lazarus, R. S. 1991. Emotion and adaptation. New Kota Surakarta Peraturan Daerah Kota
York: Oxford University Press. Surakarta No. 3 Tahun 2008 Tentang
Pengelolaan Pedagang Kaki Lima, Surakarta.

166
Rahim, M. A. 2002. Toward a Theory of Managing Psychological Association. Freie Universität
Organizational Conflict. International Journal Berlin Habelschwerdter. Berlin
of Conflict Management, 13(3): 206–235. Undang-Undang Republik Indonesia No.38 tahun
http://doi.org/10.1108/eb022874 2004 tentang Jalan
Rahim, M.A., & Bonoma, T. V. 1979. Managing Widjaya, J.M. 2011. Implementasi Kebijakan
Organizational Conflict: a Model for Pemanfaatan dan Pemeliharaan Jalur
Diagnosis and Intervention. Psychological Pedestrian dan Drainase Jalan di Perkotaan :
Reports, 44(3c): 1323–1344. http://doi.org/ dalam Proceeding Workshop Penelitian Sosial
10.2466/pr0.1979.44.3c.1323 Ekonomi Lingkungan 2011. Balai Litbang
Saunders M. and Tosey P. 2017. The Layers of Sosekling Jatan, Puslitbang Sosekling Badan
Research Design, downloaded on august 8th Litbang Kementrian Pekerjaan Umum dan
2017 from www.academic.edu Tabur Kota Publishing. Surabaya 2012, ISBN
Saragih, R. T., 2016. Implementasi Perda Kota : 978-602-37483-0-7, hal 71-100.
Surabaya No. 9 Th 2014 Tentang Penyediaan Widjaya, J.M. & Nugraini, L.D. 2012. Uji Coba Model
Ruang Bagi Pedagang Kaki Lima di Pusat dan Penyusunan Konsep Pedoman
Perbelanjaan dan Pusat Perkantoran di Kota Pemanfaatan Jalur Pedestrian dan Drainase
Surabaya (Studi Kasus di Kawasan Terminal Jalan Di Perkotaan, dalam Dinamika
Bratang Kecamatan Gubeng). Jurnal Universitas Penyelenggaraan infrastruktur jalan dengan
17 Agustus 1945 edisi 2016 http://jurnal.untag- memperhatikan aspek keselamatan,
sby.ac.id/index.php/jpap/article/download/69 kesiapan dan kesejahteraan masyarakat,
9/628 Prosiding Workshop 2012. Balai Litbang
Seeds for Change. 2013. A Consensus Handbook Co- Sosekling Jatan, Puslitbang Sosekling Badan
operative decision-making for activists, co- Litbang Kementrian Pekerjaan Umum dan
ops and communities. Lancaster, UK: Seeds Tabur Kota Publishing. Surabaya 2012, ISBN
for Change Lancaster Co-operative Ltd. : 978-602-17481-1-4, hal 101-118
Schwarzer, R & Knol, N. 2008. Positive Coping:
Masterig Demands and Searching for
Meaning. Handbook of Positive Psychological
Assessment Washington, DC: American
.

167
Lampiran Tabel 1 Hasil Analisis Kuisioner Online tentang Konflik Penggunaan Ruang Tepi Jalan
No Fenomena Konflik Argumen Responden Tingkat
konflik
1 Kelainan bentuk dan ukuran bangunan  Tidak mengganggu aktivitasnya secara langsung, 0
pelengkap di ruang tepi jalan sehingga tingkat urgensi penyelesaian konflik ini
a. Ketidakselarasan bentuk trotoar akibat digolongkan proritas rendah.
adanya variasi elevasi yang disebabkan oleh  Gangguan kesulitan pergerakan saat bermanuver keluar
intervensi pembangunan dari pemilik lahan masuk persil, sehingga para pengendara harus
b. Kesalahan perancangan dan pembangunan menunggu sampai lajur kosong atau mengambil jalur
jalur pintu masuk dengan sudut 900 berlawanan.
2 Kendaraan berkecepatan rendah di Badan Jalan  pengendara yang berada dibelakangnya harus 0
menyesuaikan kecepatan dengan sense of feeling
kecepatan yang aman, kinerja jalan tidak tercapai
3 Okupansi Kegiatan Pendukung di Tepi Jalan  Terganggu karena keberadaan PKL ini mengurangi ruang 1
a. Kegiatan PKL yang menutupi aktivitas / lebar effektuf dan menghambat laju pejalan kaki serta
pertokoan mengalihkan orientasi pengunjung untuk membeli.
b. Kegiatan aktivitas kendaraan yang  aktivitas parkir di trotoar mengakibatkan pejalan kaki
mengokupansi sebagian trotoar harus menghindar dan mencari ruang lain untuk berjalan
c. Kegiatan PKL yang mengokupansi sebagian
trotoar
4 Okupansi PKL di trotoar  sangat terganggu karena memaksa pejalan kaki harus 2
a. Kegiatan Mobil-Toko yang mengokupansi menghindar dan mencari celah untuk berjalan sampai di
seluruh bahu jalan dan sebagian trotoar. badan jalan.
b. Kegiatan PKL yang mengokupansi sebagian  keberadaan kegiatan PKL memaksa pejalan kaki untuk
trotoar dan meluas ke sebagian area bahu menghindar namun tetap berada di jalur pejalan kaki.
jalan.  pengendara harus berpindah lajur dan mengokupansi
lajur yang berlawanan.
 pengendara harus mengurangi kecepatan kendaraan,
sangat terganggu karena pengendara harus
meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko kecelakaan
 kegiatan bongkar muat barang memunculkan perasaan
takut jika tertimpa barang, menimbulkan gangguan
kelancaran dan mengambil hak pengguna jalan lainnya.
Menimbulkan rasa tidak nyaman
5 Okupansi PKL dan Konsumen di Trotoar dan  mengakibatkan munculnya gangguan kelancaran dan 3
Badan Jalan kemarahan assertif, tindakan tegas, pengaduan.
a. Kegiatan PKL yang mengokupansi seluruh  Mengganggu kegiatan pemilik dan pengunjung persil,
bahu jalan dan sebagian badan jalan akibat menutup akses persil
tidak tersedia-nya trotoar  seluruh pergerakan pengguna jalan akan berpusat di
b. Kegiatan pembeli dan pejalan kaki yang badan jalan dan menciptakan “efek saling tunggu” antara
beraktivitas di badan jalan kegiatan kendaraan tidak bermotor dengan kegiatan
c. Kegiatan PKL yang mengokupansi seluruh kendaraan bermotor, tundaan pergerakan.
bahu jalan dan trotoar serta sebagian badan  Kendaraan bergerak lambat karena kapasitas jalan
jalan. berkurang
6 Okupansi Kegiatan Pendukung di Badan Jalan,  Penataan PKL biasa dilakukan bila situasi di lapangan
seperti kegiatan bongkar muat barang di tepi menyebabkan kemacetan parah, atau pada jalan-jalan
jalan: protocol, tetapi pengawasan sehari-hari dilakukan
a. Kegiatan pembeli dan pejalan kaki yang dengan bantuan Kecamatan / Kelurahan dan aparatnya.
beraktivitas di badan jalan
b. Kegiatan loading barang yang mengokupansi
seluruh bahu jalan dan trotoar
7 Aksesibilitas / Keluar-Masuk Tempat Parkir  Aktivitas kendaraan keluar-masuk mengakibatkan 3
perlambatan akibat menunggu hingga kendaraan selesai
parkir, atau keluar dari persil, menambah waktu
perjalanan
 Menghambat kelancaran pejalan kaki atau lalu lintas
 Harus menunggu dan tetap mengikuti rute
 Aktivitas keluar-masuk tempat parkir dinilai dapat
menimbulkan kecelakaan dan mengancam keselamatan
pengguna jalan
8 Okupansi Kendaraan Bermotor di Trotoar  Saat berpapasan dan jaraknya dekat, maka pejalan kaki 3
harus berhenti sejenak dan tetap berada di jalur trotoar
hingga pengendara motor melintas
 mengganggu keselamatan pejalan kaki
 menimbulkan perasaan was-was takut terserempet
 Dapat merusak jalur trotoar dan bangunan
pelengkapnya
 Berpotensi terjadi kecelakaan, baik pengendara maupun
pejalan kaki

168
No Fenomena Konflik Argumen Responden Tingkat
konflik
9 Aktivitas Pejalan Kaki yang Menyeberang  Aktivitas ini menjadikan pengendara harus mengerem 3
Sembarangan mendadak dan menghindari pejalan kaki untuk
mencegah kecelakaan.
 Harus menurunkan kecepatannya mengakibatkan
gangguan kelancaran, dinilai mengancam keselamatan
pejalan kaki dan berpotensi tabrakan, tidak seharusnya
pejalan kaki lewat badan jalan
Sumber : Hasil Analisis, 2017

Lampiran Tabel 2 Tipologi Tahapan Konflik Penggunaan Ruang Tepi Jalan


Tahapan
Penampakan Konflik Konflik Transportasi Konflik Sosial Kesiapan
Konflik
Organisasi/
Tingkat
Sejarah Konflik Ekspresi Tindakan
Okupansi Gangguan Resiko Reaksi LL Reaksi LL Gangguan
No Deskripsi terjadinya Dimensi Pengguna Penanganan
Kegiatan Kelamcaran Kecelakaan tak bermotor bermotor Kenyamanan
Konflik Fisik Jalan Konflik
Informal
Resiko Peningkatan
Bentuk
Kesalahan Tidak Gangguan Kecelakaan Sulit bergerak kewaspadaan dan Tidak
0 Tidak ada Fisik tidak Waspada Preventif
Desain terdetek Pergerakan Pejalan Kaki & / bermanuver kehati-hatian, terungkap
ideal
Pembeli kecil reaksi tunggal
Resiko Sulit berjalan
Konflik Lebih dari Gangguan Lancar terbatas, Gangguan Marah
Kecelakaan kaki, Gerakan Siap /
1 ringan/ Embrionik Baru ketentuan Kelancaran karena hambatan bagi kelompok Pasif,
Pejalan Kaki & menghindar Pro-Aktif
Laten standar Pejalan Kaki samping tertentu, pembiaran
Pembeli kecil dalam jalur
Gangguan
Pengurangan
Kelancaran Sulit berjalan
Resiko Kecepatan, Marah
Konflik Pejalan Kaki kaki,Gerakan Tidak
Belum Memenuhi Kecelakaan Gerakan assertif, Cukup Siap/
2 Sedang /di Expansif tinggi, menghindar Nyaman,
Lama standar Pejalan Kaki & menghindar kadang- Antisipatif
Permukaan: Gangguan LL keluar jalur, ke Kesal/Jengkel,
Pembeli sedang keluar lajur, sulit pembiaran
bermotor bahu jalan
parkir
sedang
Pejalan Kaki
Resiko Padat Merambat,
Kurang lewat Badan Gerakan Sangat tidak Marah
Konflik Kecelakaan Gerakan
dari jalan, menghindar Nyaman / Agresif Tidak Siap/
3 parah / Masif Lama Pejalan Kaki, menghindar
ketentuan Kemacetan keluar jalur,ke Sangat dengan Reaktif
Terbuka.; Pembeli dan keluar lajur/jalur,
standard LL bermotor badan jalan Jengkel pelaporan
PKL tinggi sulit parkir
signifikan

169

You might also like