Professional Documents
Culture Documents
Naskah diterima: 7 April 2017 Direvisi: 8 Mei 2017 Disetujui terbit: 3 Juli 2017
ABSTRACT
Like other Asian countries, Indonesia tries to achieve rice self-sufficiency. To improve farmers’
competitiveness through agricultural investment and infrastructure, the government intervenes the rice market
through subsidies, tariff import, and other support mechanisms for domestic producers. These interventions aims
to improve farmers’ welfare and to maintain retail price. Rice is a staple food and it also has social and economic
roles. Furthermore, rice is a political good. Rice self-sufficiency makes the country look improved and developed.
The government takes measures to achieve rice self-sufficiency. The study aims to review rice policy
implementation along with the self-sufficiency achievement by elaborating policy intervention and its implication in
the market. Results of the study showed that involvement of state-owned companies in rice market could
minimize market failure, but it encouraged an oligopolistic market structure and biased rice policy toward certain
interest group. Shifting orientation of rice policy from price stabilization to income distribution might encourage a
better rice market toward sustainable rice self-sufficiency.
Keywords: income distribution, stabilization, rice, self-sufficiency.
ABSTRAK
Indonesia hendak mencapai swasembada pangan khususnya beras sebagaimana negara Asia yang lain.
Dalam rangka mendorong daya saing petani melalui investasi dan infrastruktur pertanian, pemerintah melakukan
intervensi pasar beras melalui beragam subsidi, tarif, dan mekanisme bantuan lain untuk produsen domestik.
Intervensi ini pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan produsen dan menjaga stabilitas harga di
tingkat konsumen. Beras tidak saja berperan sebagai bahan makanan semata, melainkan juga mempunyai peran
sosial dan ekonomi di dalam masyarakat. Peran tersebut membuat beras jauh lebih penting dibandingkan bahan
pangan yang lain. Keyakinan bahwa dengan swasembada beras membuat negara tampak unggul dan maju. Oleh
karena itu, berbagai kebijakan beras diimplementasikan guna mencapai target swasembada. Kajian ini bertujuan
untuk mengkaji ulang implementasi kebijakan perberasan dalam rangka pencapaian swasembada dengan
menelaah intervensi kebijakan beserta implikasinya terhadap pasar. Hasil menunjukkan bahwa keterlibatan
Badan Usaha Milik Negara di dalam pasar beras dapat mengurangi kegagalan pasar, meskipun keberadaannya
membuat struktur pasar cenderung oligopolistik dan kebijakan beras menjadi bias kepada kelompok kepentingan
tertentu. Pergeseran orientasi kebijakan beras dari stabilisasi harga ke distribusi pendapatan memungkinkan ke
arah pasar beras yang lebih baik menuju swasembada beras yang berkelanjutan.
Keywords: distribusi pendapatan, stabilisasi, beras, swasembada
/tahun pada periode 1966- 1985 dan mencapai Sesuai dengan Ortiz (1999) peran
swasembada beras (Sawit, 2014). Capaian pemerintah di dalam sektor pertanian adalah
tersebut mencerminkan perkembangan sebagai pengatur, pemberi subsidi, dan penarik
teknologi hasil program intensifikasi melalui pajak. Implementasi peran pemerintah tersebut
Bimbingan Massal, yaitu Intensifikasi Khusus akan berimplikasi pada alokasi dan distribusi
(1960an) dan Supra Intensifikasi Khusus sumber daya, sehingga peran dan preferensi
(1980an), yang dikombinasikan dengan varietas politik pemerintah sangat penting dan strategis
unggul IR64 (Pearson et al. 1991; Mears 1981; dalam menentukan kebijakan (Swinnen and Zee
Sawit 2014) serta penyuluhan pertanian. 1993). Sementara itu, di dalam suatu pasar
Pemerintah Orba memberi dukungan dari komoditi yang diintervensi terdapat banyak
tingkat usaha tani hingga pasca panen, kelompok kepentingan (Barret 1999). Oleh
mendorong pengembangan penggilingan padi karena itu, keberpihakan pemerintah terhadap
sederhana di perdesaan, mendukung kelompok kepentingan yang menjadi target
pendanaan dengan mengucurkan kredit murah kebijakan sangat penting untuk diperhatikan.
Bank Indonesia, dan menetapkan Badan Target kebijakan swasembada beras
Urusan Logistik (Bulog) sebagai badan usaha berkelajutan antara lain adalah peningkatan
milik negara (BUMN) yang bertugas mengelola produksi beras nasional, tercapainya stabilitas
cadangan beras nasional. Bulog bertugas harga, tercapainya stabilitas dan kecukupan
membeli kelebihan produksi selama pengadaan cadangan beras pemerintah (CPB) tanpa ada
gabah/beras pada musim panen dan pemasukan beras dari impor. Dengan target di
mendistribusikan ke pasar ketika harga beras muka, maka kelompok kepentingan produsen
tinggi (Amang dan Sawit 2001; Mears 1981). menjadi subyek dalam mencapai peningkatan
Pemerintah Orba juga memperkuat peran produksi agar harga beras domestik stabil, CBP
kelembagaan koperasi unit desa untuk cukup dan stabil, sehingga tidak perlu melalukan
mengolah dan memasarkan gabah/beras (Sawit impor. Secara ekonomi kualitatif, kebijakan
2014). Koperasi berperan sebagai pihak ketiga beras tampak bahwa kebijakan beras yang
dalam pengadaan beras dalam negeri bersama diimplementasikan pemerintah banyak berpihak
4.000an penggilingan padi sebagai rekanan kepada petani produsen beras. Namun,
Bulog dalam kegiatan pengadaan beras (Sawit keberpihakan tidak dapat dikuantifikasi
2010). berdasarkan arah dan besaran subsidi saja.
Selain kebijakan subsidi pada tingkat usaha Melainkan diukur menggunakan preferensi
tani, tampak kebijakan pemerintah dalam politik pemerintah berdasarkan parameter
melibatkan Bulog untuk mengelola sistem kuantitatif ekonomi beras, yaitu harga,
perberasan di Indonesia sangat dominan. permintaan, penawaran, dan elastisitas
Selama Orba, Bulog bertindak sebagai permintaan dan penawaran terhadap harga
monopolis (Amang dan Sawit 2001). Namun beras. Kajian ini bertujuan untuk mengkaji ulang
dalam era Reformasi sebagian hak monopoli implementasi kebijakan perberasan dalam
Bulog dicabut. Peran yang dikuasakan kepada rangka pencapaian target swasembada
Bulog merupakan bentuk kebijakan pengaturan berkelanjutan dari sudut pandang ekonomi
komoditi (Pearson et al. 1991) yang telah politik. Besaran manfaat yang diterima dan
dirancang secara komprehensif dalam rangka kerugian yang diderita oleh kelompok
mencapai target swasembada beras (Panuju et kepentingan di dalam pasar beras menjadi
al. 2013; Sawit 2014). Menurut Lee and indikator efektivitas implementasi kebijakan
Kennedy (2007) keberadaan parastatal perberasan tersebut.
semacam Bulog adalah distortif. Namun,
pengelolaan pasar komoditas pangan oleh
organisasi parastatal semacam Bulog tidak saja KEBIJAKAN PUBLIK DAN KEGAGALAN
dilakukan di Indonesia, melainkan juga di PASAR
banyak negara di kawasan Afrika maupun Asia
(Rashid et al. 2008). Pemberian wewenang
Pembuatan kebijakan publik di negara
tersebut merupakan hak pemerintah sebagai
demokrasi dilakukan melalui interaksi strategi
pembuat kebijakan.
antar kelompok kepentingan, termasuk
memperjuangkan kepentingan publik dan
kelompok yang berusaha mencapai kepentingan
pribadi (Rausser dan Roland 2009). Proses
tersebut melibatkan kekuatan ekonomi dan
politik sebelum menghasilkan resolusi kebijakan
(Gambar 1). Elemen di dalam kotak kanan
diagram merupakan domain dari ilmu politik
Distribusi Kekuatan Politik
(Distribution of Political Power)
Implementasi Kebijakan
(Policy Implementation)
“Ketidaksempurnaan” pada Sistem Ekonomi:“Ketidaksempurnaan” pada Sistem Ekonomi: Pendekatan Ekonomi Publik
Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan
sejak era pemerintahan Orba. Mears (1981) diimplementasikan Bulog telah menjadi
menyebutkan bahwa Bulog berperan besar dan manifestasi khusus, berhasil meningkatkan
efektif menjalankan perannya pada era Orba, pendapatan petani produsen, dan juga aktivititas
sehingga swasembada dapat dicapai pada pembelian dan penjualan beras oleh pedagang
tahun 1983. Instrumen kebijakan harga yang selain Bulog. Mekanisme intervensi Bulog
diyakini mampu mengurangi beban biaya perburuan rente yang akan merugikan petani
penyimpanan beras yang dibeli pedagang selain domestik (Sawit 2001) dan terjadi distorsi pasar.
Bulog antar musim panen (Timmer 1986). Ketika intervensi kebijakan impor pun dilakukan
Sebelum ada intervensi seluruh biaya oleh organisasi parastatal Bulog. Impor beras
penyimpanan menjadi beban konsumen, namun dilakukan untuk meredam kenaikan harga yang
dengan adanya intervensi sebagian biaya tinggi yang akan memicu inflasi. Beras impor
penyimpanan ditanggung oleh pemerintah tersebut selanjutnya didistribusikan oleh Bulog
melalui kegiatan pengadaan CBP yang melalui mekanismes operasi pasar khusus
dilakukan Bulog. Hal tersebut mengindikasikan beras untuk menstabilkan harga. Kenyataannya,
bahwa aktivitas pedagang selain Bulog dalam impor merupakan salah satu sumber rente yang
memaksimalkan marjin keuntungan dapat menimbulkan biaya sosial pencapaian target
dikendalikan dengan intervensi pemerintah swasembada (Nuryanti 2017), di samping itu
melalui kebijakan harga dan distribusi, sehingga harga beras domestik menjadi tertekan akibat
konsumen tidak harus menanggung perbedaan harga impor yang lebih rendah dari harga beras
harga yang demikian tinggi antara saat panen domestik. Dengan demikian, implementasi
raya dan saat paceklik (Timmer 1986) atau kebijakan harga, distribusi dan impor
akibat permainan pasokan yang memicu harga mempunyai konsekuensi ekonomi terhadap
naik (Hutagaol 2017). insentif usaha tani bagi petai produsen dan
Intervensi kebijakan harga beras tersebut penyesuaian harga (meredam inflasi) akibat
selama dianggap aman untuk diterapkan kenaikan harga beras. Kedua hal ini menjadi
meskipun dalam jangka pendek akan dilema bagi pemerintah namun penting untuk
menyebabkan keseimbangan penawaran dan direstrukturisasi antara insentif (distribusi
permintaan beras menjauhi keseimbangan, pendapatan) dan isu pasar (stabilisasi harga).
namun dalam jangka panjang akan seimbang Pemerintah hadir untuk memperbaiki
kembali karena tidak terpengaruh oleh kebijakan ketidaksempurnaan pada sistem ekonomi yang
harga input maupun output usaha tani padi terjadi di dalam pasar suatu komoditas.
(Nuryanti 2005a). Para pedagang yang Pemerintah mendorong produksi beras yang
mengalami penurunan marjin keuntungan dilakukan petani produsen guna memenuhi
karena mekanisme pengadaan CPB oleh Bulog, permintaan beras oleh seluruh konsumen di
para pedagang yang umumnya merupakan Indonesia. Sementara itu, pemerintah harus
pemilik usaha penggilingan padi (PP) justru menjaga harga tidak saja menguntungkan bagi
menerima proporsi marjin pemasaran beras petani, terjangkau bagi konsumen, namun juga
yang paling tinggi. Sementara itu, petani stabil di pasar. Ketika pasar gagal, dan
produsen hanya menerima sekitar 8-12% saja pemerintah mengintervensi tidak jarang
dari distribusi marjin pemasaran beras (Nuryanti internvensi tersebut justru tidak memberi
2005b). Hal ini terjadi karena rendahnya posisi manfaat kepada pihak yang berkepentingan dan
tawar petani dan juga tingkat efektivitas menjadi target kebijakan. Hal ini pun terjadi
pengadaan CBP dari produksi dalam negeri pada pasar beras sebagaimana uraian di muka.
yang dilakukan Bulog. Pemerintah berhasil meredam kegagalan pasar
Ketika pemerintah memberi subsidi harga akibat inflasi harga yang ditimbulkan, namun
umum (general food subsidy) dalam bentuk pemerintah gagal memberi manfaat bagi
harga dasar pada saat kegiatan pengadaan kelompok kepentingan penting di dalam pasar
CBP dan harga atap pada saat kegiatan beras yang diintervensi karena orientasi
penyaluran CBP, maka harga beras dalam kebijakan yang diimplementasikan. Pengambil
negeri akan tertekan, kinerja kebijakan manfaat terbesar kebijakan justru bukan target
stabilisasi harga beras domestik dan distribusi dari implementasi kebijakan tersebut, di
pendapatan menjadi buruk karena harga samping pilihan kebijakan juga menimbulkan
domestik lebih tinggi dari harga internasional, zero sum game dalam perekonomian beras
sehingga dapat memicu aksi penyelundupan domestik.
beras sebagai bentuk aksi