You are on page 1of 304

MODEL PENGELOLAAN AIR BAKU LINTAS

WILAYAH BERKELANJUTAN
(Studi Kasus Pemenuhan Air Bersih untuk DKI Jakarta)

SAMSUL BAKERI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengelolaan Air Baku
Lintas Wilayah Berkelanjutan (Studi Kasus Pemenuhan Air Bersih untuk DKI
Jakarta) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Samsul Bakeri
NPM P062074254
ABSTRACT

SAMSUL BAKERI.Inter Basin Management Model for Sustainable Water


Supply (Case Study: To Fulfill Water Supply for DKI Jakarta ), Under
Direction M.Yanuar J. P., Etty Riani and Surjono H. Sutjahjo.

Jakarta is capital of Indonesia and as a big city with the administrative status
of a regency or province with 9.588.198 people in 2010 (BPS, July, 2010).
Jakarta needs water 524.953.840 for domestic and non domestic 212.606.350 m3
and totally 737.560.145,20 m3. PAM Jaya production capacity in 2009 is about
509.431.934 m3/year, about 69,07% the total needs of DKI Jakarta. To fulfil the
water, Jakarta needs water supply from the other provinces, 80% water supply for
Jakarta are from Citarum (West Java) and Cisadane (Tangerang-Banten) and
others. A research has been done within 13 months started from 2010 July until
2011 August. The research is aimed to identify the supply and demand of water
and to structurize the role and relationship of stakeholders in the fulfilment the
water supply inter basin. The methodology analysis were Interpretative Structure
Modelling (ISM), Multy Dimensional Scalling (MDS) and System Dinamic. The
goverment has a central role to fulfil the needs of water supply, fulfilment water
needs to understand more about supply and demand of water. The problem was
the flood had often occured. The sustainable of fulfillment water supply for DKI
Jakarta has economy dimensional (69,17), social dimensional (56,52),
dimensional of law and institution (68,24), dimensional of infrastructur and
technology (61,45), but dimensional of ecology is not sustainable with the score
(48,75). In the dynamic model is built, after a policy intervention program 3R,
BKT, 13 rivers, desalination, reduction in leakage, PES and others, the need for
clean water and adequate Jakarta in 2030 met with no water supply in the soil
water uptake and shallow ground water. Jakarta water needs can be met by
working together across the region with local government and local government
Tangerang Banten Jabar in the utilization of water resources in the watershed that
flows in the region with payments for environmental services or PES 50 billion
per year.In order to achieve water security, Jakarta needs to build policy scenarios
that lack of clean water to Jakarta in the future does not happen again. Both policy
scenarios related to supply and demand management and water management
technologies, among others, the construction of large dams which hold water from
13 rivers that flow into Jakarta. Building a pipeline project from Jatiluhur
reservoir and increase flow of raw water sources other outside Jakarta to conduct
inter-regional cooperation. In addition to the management of raw water in the
watershed that is the method of normalization ultraviltrasi 13 coupled with the
existing river / flowing in Jakarta. In 2031 the use of ground water in the capital
should be discussed again with the stakeholders or the public through public
consultation, needs to be rethought termination step permits the use of
groundwater in the year 2031.

Key words: Water supply, inter basin, sustainable management.


RINGKASAN

SAMSUL BAKERI. Model Pengelolaan Air Baku Lintas Wilayah Berkelanjutan


(Studi Kasus Pemenuhan Air Bersih untuk DKI Jakarta). Dibimbing oleh
M.YANUAR J PURWANTO, ETTY RIANI, and SURJONO H. SUTJAHJO.

DKI Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian


Indonesia, sehingga terjadi perkembangan ekonomi yang pesat serta relatif
menjadi tempat terkonsentrasinya industri dan penduduk. Kebutuhan air bersih
bagi penduduk dan industri, unit komersil dan sosial akan mengalami peningkatan
terus menerus seiring dengan perkembangan penduduk, industri dan unit
komersil (mall dan hotel). PAM Jaya mempunyai peran yang sangat strategis
dalam penyediaan air bersih bagi masyarakat di perkotaan, sehingga PAM Jaya
harus berupaya memenuhi kebutuhan air bersih di Kota Jakarta yang berkualitas,
dengan harga yang terjangkau serta memberikan kontribusi pada pendapatan
daerah.
Pada dasarnya kuantitas dan kualitas air produksi PAM Jaya sangat
tergantung pada suplai air baku dari daerah lain yang ada dalam satu daerah aliran
sungai, yaitu DAS Citarum dan Cisadane. Hingga saat ini, PAM Jaya hanya
mengandalkan suplai air baku dari DAS Citarum (PJT II) sebanyak 70 – 80% dan
selebihnya dari Sungai Cisadane (air curah PAM Tangerang) yang teletak di luar
wilayah administrsi DKI. Pemerintah DKI Jakarta dan PAM Jaya belum membuat
suatu kebijakan yang mendukung ke arah terwujudnya pemenuhan air bersih
yang mencukupi kebutuhan masyarakat DKI Jakarta, baik kuantitas maupun
kualitas.
Kegagalan pengelolaan air akan memicu konflik air antar wilayah, padahal
Pemda DKI Jakarta sangat membutuhkan dukungan DAS wilayah lain untuk
memenuhi kebutuhan airnya. Persoalan benturan kepentingan ekonomi dan sosial
serta lingkungan antar wilayah tersebut semakin nyata karena terpisahkan oleh
batas satuan adminintrasi pemerintahan yang berbeda. Agar dapat menjamin
keberlanjutan pengelolaan air bersih di Jakarta, membutuhkan kebijakan
operasional lintas wilayah. Keberlanjutan produksi dan distribusi air dari PAM
Jaya sangat tergantung pada keberlanjutan suplai air dan harga air yang dapat
menutupi biaya operasional PAM Jaya. Pemda DKI Jakarta ikut berperan dalam
pemenuhan pelayanan publik sebagai Goverment Service Obligation yang
berbentuk alokasi anggaran yang dapat mendukung keberlanjutan pembangunan
air bersih PAM Jaya.
Pemenuhan kebutuhan dan ketersediaan air baku untuk air bersih DKI
Jakarta secara berkelanjutan tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut:
besarnya kebutuhan air, tersedianya suplai air, kebijakan pemerintah dalam
penetapan tarif dan biaya pelayanan air bersih masyarakat, serta kebijakan alokasi
air baku lintas wilayah. Saat ini kebijakan yang berkaitan dengan air bersih masih
minim serta belum menyentuh persoalan pemenuhan air bersih yang bersifat lintas
wilayah, oleh karenanya perlu dikaji pengelolaan air baku lintas wilayah yang
berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk a). melakukan identifikasi
keseimbangan supply demand air bersih untuk wilayah DKI Jakarta, b).
melakukan identifikasi dukungan kebijakan pada pengelolaan sumber daya air di
era otonomi daerah dan c). penyusunan model kebijakan pengelolaan air baku
lintas wilayah yang bersifat holistik dan berkelanjutan serta memberikan
rekomendasi agenda kebijakan.
Penelitian dilakukan di wilayah DKI dan wilayah di luar DKI, yaitu
Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menjadi sumber air baku untuk DKI Jakarta.
Penelitian dilakukan dari Juli 2010 sampai dengan Agustus 2011. Pada penelitian
ini dilakukan pengumpulan data primer dengan cara survei lapangan, wawancara
dan pengisian kuesioner serta pengumpulan data sekunder dari instansi terkait.
Pada wawancara mendalam, responden dipilih dari stakeholder terpilih dari
pemerintah dan para pakar. Pemilihan para pakar dilakukan secara sengaja
(proposive sampling). Analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah
Intrepretative Structural Modelling (ISM) untuk strukturisasi elemen pengelolaan
air baku lintas wilayah berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih DKI
Jakarta. Hasil yang didapat dari wawancara dengan para pakar diperoleh empat
elemen ISM yakni : (1) elemen pelaku, (2) elemen kebutuhan, (3) elemen tujuan,
(4) elemen masalah (kendala). Pada setiap elemen tersebut mempunyai sejumlah
sub-elemen yang berbeda-beda. Analisis keberlanjutan dengan MDS untuk
mengetahui keberlanjutannya dilihat dari atribut yang sensitif dengan
mempertimbangkan dimensi ekonomi, sosial dan ekologi (lingkungan),
infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan. Pemodelan dinamik
menggunakan perangkat lunak “powersim” dengan medesain sistem menjadi
model yang berlaku pada pemenuhan air bersih untuk DKI Jakarta. Model
dinamik ini meliputi empat sub model yaitu sub model penduduk, sub model
kebutuhan air bersih, sub model suplai air baku dan sub model ekonomi.
Dalam model dinamik yang dibangun, setelah dilakukan intervensi dengan
kebijakan program 3R,BKT, 13 sungai, desalinasi, penurunan kebocoran, PES dan
lain-lain, kebutuhan air bersih DKI Jakarta tercukupi dan pada tahun 2030 suplai
air bersih terpenuhi tanpa pengambilan air tanah dalam dan air tanah dangkal.
Kebutuhan air DKI Jakarta dapat dipenuhi dengan melakukan kerja sama lintas
wilayah dengan PEMDA Jabar dan PEMDA Tangerang Banten dalam
pemanfaatan sumber air di DAS yang mengalir di wilayah tersebut dengan
pembayaran jasa lingkungan atau PES sebesar 50 milyar rupiah per tahun.
Dalam rangka mewujudkan ketahanan air bersih, DKI Jakarta perlu
membangun skenario kebijakan agar kekurangan air bersih untuk DKI Jakarta di
masa mendatang tidak terjadi kembali. Skenario kebijakan baik yang terkait
dengan management water supply and demand serta teknologi pengelolaan antara
lain, pembangunan dam besar yang menampung air dari 13 sungai yang mengalir
ke DKI Jakarta. Membangun proyek pipanisasi dari waduk jatiluhur serta
menambah sumber air baku dari DAS lainnya di luar DKI Jakarta dengan
melakukan kerjasama antar wilayah. Selain itu melakukan pengelolaan air baku di
DAS yang ada dengan metode ultraviltrasi yang dibarengi dengan normalisasi 13
sungai yang ada/mengalir di DKI Jakarta. Pada tahun 2031 penggunaan air tanah
dalam di DKI perlu didiskusikan kembali dengan stakeholders atau masyarakat
melalui konsultasi publik, perlu dipikirkan kembali langkah penghentian
pemberian ijin penggunaan air tanah pada tahun 2031.

Keywords: pengelolaan, keberlanjutan, pemenuhan, supply demand, MDS, ISM.


© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
MODEL PENGELOLAAN AIR BAKU LINTAS
WILAYAH BERKELANJUTAN
(Studi Kasus Pemenuhan Air Bersih untuk DKI Jakarta)

SAMSUL BAKERI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof.Dr. Ir.Bambang Pramudya. N. M. Eng
Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS.
Dr.Ir. Alek Abdi Chalik, MM.MT
PRAKATA

Alhamdulillah, disertasi yang berjudul “Model Pengelolaan Air Bersih


Lintas Wilayah Berkelanjutan (Studi Kasus Pemenuhan Air Bersih untuk DKI
Jakarta) dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Penulisan disertasi dilakukan bertujuan mengkaji model
pengelolaan air baku lintas wilayah untuk pemenuhan kebutuhan air bersih DKI
Jakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr.Ir. M. Yanuar J.Purwanto.,
MS., dan Dr. Ir. Etty Riani, MS., serta Prof. Dr. Ir. H. Surjono Hadi Sutjahjo,
MS., sebagai komisi pembimbing, atas bimbingan dan pengarahannya sehingga
disertasi ini dapat kami selesaikan dengan baik. Demikian juga rasa terima kasih
kami haturkan kepada Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS., Ketua Program Studi
PSL, dan Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M.Eng., sebagai penguji luar
komisi pada prelim lisan dan ujian tertutup. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS, sebagi penguji luar komisi serta
bapak Dr. Ir. Dedi, wakil dekan Pascasarjana selaku pimpinan sidang serta Dr. Ir.
Widiatmaka, MS., sekretaris Program Studi PSL, selaku penguji pada ujian
tertutup. Tidak lupa kami mengucapkan rasa terima kasih kepada Prof. Dr. Ir.
Asep Sapei, MS., selaku penguji luar komisi pada prelim lisan serta ujian terbuka.
Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir.
Marimin, MS., selaku sekretaris Program Doktor, Kepala Pusbin KPK dan Drs.
Krisna Nurmiradi, M.Eng., yang telah memberikan izin untuk mengikuti program
S3 SPs IPB ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Bapak Mauritz
Napitupulu selaku Dirut PAM Jaya beserta jajarannya dan para pejabat PJT II
serta seluruh pakar yang telah berpartisipasi selama proses penelitian dan
penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua
pihak lainnya yang telah membantu atas saran, masukan, dan bantuan dalam
penyusunan disertasi ini.
Semoga disertasi ini bermanfaat baik bagi penulis, dunia perguruan tinggi
maupun pemerintah dan masyarakat.
Bogor, Januari 2012
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mojokerto 7 Mei 1964 sebagai anak pertama dari 3


bersaudara dari pasangan Sumari (Alm) dan Sumiah. Penulis menikah dengan
Sukimah, S. Pd.I. pada tahun 1991 dan telah dikaruniai tiga anak: Helty Fatimah
Bakri (mahasiswi IPB), Akbar Maulana Bakri (Kelas III SMP) dan Ahmad Kurnia
Bakri (Kelas 1 SD). Pendidikan Sarjana ditempuh di Sekolah Tinggi Ilmu
Administrasi (STIA LAN-RI) Kampus Jakarta, lulus pada tahun 1995. Penulis
meneruskan S2 di FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta pada tahun 2001 dengan
Kekhususan Otonomi Daerah dan (lulus tahun 2003 dengan predicate
terbaik/cumlaude). Pada tahun 2005, penulis mengikuti pendidikan Akta V di IKIP
Jakarta. Pada tahun 2007/2008 diterima sebagai mahasiswa S3 pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor dari sumber pembiayaan mandiri.
Saat ini penulis bekerja di Balai Pelatihan Konstruksi dan Peralatan Jakarta,
Pusbin KPK- Badan Pembinaan Konstruksi Kementrian Pekerjaan Umum sebagai
Kepala Sub Bagian Tata Usaha. Sebelumnya, penulis pernah bekerja sebagai
pengajar di SMP Swasta, pengajar les bahasa Inggis, dosen di Sekolah Tinggi Teknik
Mutu Muhammadiyah Tangerang, asisten keuangan di Proyek PPJK tahun 1995 s.d.
2001 Puslatjakons Departemen Pekerjaan Umum, Pemimpin Bagian Proyek Pelatihan
Konstruksi Jakarta tahun 2002 s.d. 2004, Kepala Sub Bidang Bakuan Kompetensi
tahun 2006, Kepala Sub Bidang Kurikulum Pelatihan Keterampilan Konstruksi 2008,
Kepala Sub Bidang Program dan Evaluasi 2009. Selain itu penulis juga aktif sebagai
Ketua Umum Paguyuban Tukang Konstruksi Indonesia (PTKI).
Artikel dengan judul Analisa MDS (Multy Dimensional Scalling) untuk
Keberlanjutan Pemanfaatan Air Lintas Wilayah (Studi Kasus DKI Jakarta) telah
diterbitkan pada Jurnal Rekayasa Lingkungan Vol. 7, No.2 bulan November tahun
2011. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kegiatan pembangunan seringkali memanfaatkan sumber daya alam


yang berlebihan dan tidak terkendali. Pemanfaatan sumber daya alam yang
berlebihan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan
dalam jangka panjang akan menimbulkan ancaman bagi keberlanjutan
pembangunan itu sendiri. Menurut Laporan World Commission on Environment
and Development (WCED), yang kita kenal dengan Komisi Dunia untuk
Lingkungan dan Pembangunan (1987) bahwa akibat dari pembangunan telah
mengakibatkan terjadinya hal-hal sebagai berikut:
1. Kekeringan, contoh yang paling spektakuler terjadi di Afrika, yang telah
menempatkan 35 juta manusia dalam bahaya kelaparan dan mengakibatkan
kematian kurang lebih satu juta manusia.
2. Bahan-bahan kimia pertanian, pelarut dan merkuri tumpah ke dalam Sungai
Rhine ketika terjadi kebakaran pada sebuah gudang di Swiss, sehingga
mematikan berjuta-juta ikan secara massal, puluhan juta biota air lainnya
dan mencemari air minum di Republik Federal Jerman dan Belanda.
3. Diperkirakan terdapat kurang lebih 60 juta orang meninggal karena penyakit
diare yang diakibatkan oleh air minum yang tidak bersih dan malnutrisi dan
sebagian besar korban tersebut adalah anak-anak.
Laporan WCED (1987) tersebut memperlihatkan bahwa dampak dari
pembangunan telah mengakibatkan terganggunya kualitas dan kuantitas air
permukaan. Padahal air merupakan sumber daya alam (SDA) yang strategis dan
vital bagi kehidupan, bahkan keberadaannya tidak dapat digantikan oleh materi
lain. Air juga dibutuhkan untuk kehidupan manusia baik untuk rumah tangga
(domestik), pertanian, industri, dan kegiatan ekonomi lainnya, bahkan air juga
merupakan kebutuhan dasar bagi manusia, sehingga kuantitas dan kualitasnya
harus terjamin. Hal ini sesuai dengan pendapat Valentinus (1995) bahwa
2

kebutuhan air bagi setiap manusia sangat nyata terutama bila dikaitkan dengan
empat hal yaitu pertumbuhan penduduk, kebutuhan pokok kehidupan,
peningkatan kesejahteraan dan perlindungan ekosistem terhadap teknologi.
Adapun salah satu wilayah yang mempunyai kebutuhan air dalam jumlah besar
dan sudah sangat mendesak adalah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI)
Jakarta.
DKI Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian
Indonesia, sehingga terjadi perkembangan ekonomi yang pesat serta relatif
menjadi tempat terkonsentrasinya industri dan penduduk. Di lain pihak kebutuhan
air bersih bagi penduduk dan industri dapat dikatakan cukup tinggi, bahkan dari
studi perencanaan pemanfaatan sumber daya air yang dilakukan tahun 1987
memperlihatkan bahwa kebutuhan air baku untuk air bersih dan industri akan
meningkat pesat hingga tahun 2025 (Cisadane River Basin Development
Feasibility, 1987). Perkiraan kebutuhan air baku untuk Jakarta pada tahun 2025
mencapai 55,13 ton kubik, sedangkan untuk Bogor 4,26 ton kubik, Tangerang
5,56 ton kubik Bekasi 2,4 ton kubik, Cikarang 1,47 ton kubik. Oleh karena itu
paradigma baru Indonesia mengarah ke negara yang bergerak dibidang industri.
Bergesernya Indonesia menjadi negara industri, terutama di perkotaan, akan
menyebabkan semakin meningkatnya permasalahan kuantitas dan kualitas air,
mengingat ruang terbuka hijau semakin sempit dan limbah industri yang
dihasilkan semakin banyak, bahkan di kota-kota besar mulai terlihat tanda-tanda
terjadinya intrusi air laut. Oleh karena itu Perusahaan Air Minum (PAM) yang ada
di kota besar terutama Jakarta harus melakukan berbagai upaya untuk mengatasi
hal tersebut.
PAM merupakan Badan Usaha Milik Pemerintah Daerah (BUMD) yang
mempunyai peran yang sangat strategis dalam penyediaan air bersih bagi
masyarakat di daerah perkotaan. Hal ini terkait dengan fungsi PAM sebagai
pengatur, penentu kebijakan dan operator serta mengemban misi sosial dan
komersial secara bersamaan. Oleh karena itu PAM harus berupaya untuk
mengatasi permasalahan air bersih di perkotaan dengan menyediakan pelayanan
air bersih yang berkualitas baik namun dengan harga terjangkau sekaligus
memberi kontribusi bagi pendapatan daerah. Hal ini sesuai dengan harapan yang
3

harus dicapai dalam Millenium Development Goals (MDGs) 2015 di sektor air
bersih, yaitu harus mencoba untuk semakin meminimalkan jumlah penduduk yang
tidak mempunyai akses terhadap air bersih yang sehat dan sanitasi dasar. Oleh
karena itu dalam menjalankan fungsinya, PAM tidak boleh hanya berbasis
komersial, namun juga harus berbasis pada misi sosial dengan sangat
memperhatikan aspek lingkungan.
PAM merupakan perusahaan daerah, yang diharapkan dapat memberikan
pelayanan umum dan pada saat yang bersamaan juga memberikan kontribusi pada
pendapatan daerah. PAM dituntut untuk dapat melayani kebutuhan air bersih
masyarakat dengan kuantitas yang cukup, kualitas yang memenuhi syarat
kesehatan dan kontinuitas yang berkesinambungan. Namun di lain pihak PAM
terutama di DKI Jakarta juga menghadapi berbagai permasalahan, seperti
minimnya kuantitas bahan baku. Sumber air baku untuk air bersih DKI Jakarta
disuplai dari daerah lain, dalam hal ini sangat tergantung pada Waduk Jatiluhur
(Kabupaten Purwakarta) dan kabupaten/kota lain yang ada di atasnya, juga
tergantung pada Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten/Kota Bekasi dan
Kabupaten/Kota Tangerang dalam penyediaan air bersih. Selain kuantitas, DKI
Jakarta juga menghadapi permasalahan kualitas. Permasalahan kualitas air baku
untuk air bersih, sangat tergantung kepada daerah lain yang dilalui oleh sungai
pensuplai air baku tersebut. Dalam hal ini daerah yang dilalui oleh sungai
tersebut, atau daerah lain yang ada pada satu daerah aliran sungai seringkali ikut
serta memperburuk kualitas air sebagai akibat adanya limbah terutama yang
berasal dari kegiatan antropogenik. Kondisi ini mengakibatkan air yang dari
hulunya mempunyai kualitas baik, menjadi sangat buruk ketika memasuki
wilayah Jakarta seperti yang terjadi di DAS Citarum (ADB, 2006).
Kuantitas dan kualitas air yang dikelola oleh PAM Jaya sangat tergantung
pada daerah lain yang ada dalam satu daerah air sungai, misalnya DAS Citarum,
namun sayangnya hingga saat ini kebijakan yang ada belum mendukung ke arah
itu. Kebijakan yang ada relatif bersifat parsial di setiap daerah. Kondisi ini
semakin diperparah dengan adanya Undang-undang Nomor No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan otonomi daerah, karena setiap
kabupaten atau kota cenderung relatif mempertahankan egonya masing-masing
4

dengan cara membuat kebijakan sendiri tanpa memperdulikan wilayah


administratif lainnya, pada akhirnya mengakibatkan kondisi lingkungan dan
kualitas air sungai sama sekali tidak diperhatikan, karena merasa bukan menjadi
tanggung jawab dari daerahnya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sutjahjo
(2010) yang mengatakan bahwa masalah krisis air bukan hanya masalah kuantitas
saja melainkan juga kualitas. Berbagai penelitian menyatakan, penurunan debit air
sungai terjadi karena wilayah Puncak dan sekitarnya mengalami degradasi
lingkungan yang menyebabkan fungsi hidrologinya terganggu.
Menurut Widyastuti (2003) Jakarta sebagai Ibukota Negara, dengan luas
wilayah kurang lebih 650 Km (65.000) ha, mempunyai masalah kependudukan
yang berat, yang mengakibatkan permasalahan-permasalahan antara lain:
Keterbatasan lahan untuk menampung kebutuhan ruang untuk permukiman dan
fasilitasnya terutama di perkotaan, tumbuhnya daerah-daerah kumuh, pencemaran
sungai, pencemaran air sumur penduduk di permukiman padat, masalah sampah
kota, dan lain-lain. Hampir 90% sumur penduduk DKI Jakarta telah tercemar
detergen dan bakteri E coli.
Selain itu pemakaian air sumur baik air sumur dangkal (sumur penduduk)
maupun air sumur dalam oleh industri dan perhotelan yang berlebihan
mengakibatkan penurunan tanah 10 cm (laporan BLPHD DKI Jakarta tahun
2008). Penurunan tanah (subsiden) dirasakan di Jakarta Utara, Jakarta Pusat
(daerah Glodok, Kota dan sekitarnya) dan Jakarta Barat wilayah Cengkareng dan
Kalideres. Penurunan tanah bahkan sudah dirasakan di daerah pusat kegiatan
perekonomian (jantung Kota Jakarta) yaitu di daerah Jln. MH Tamrin. Pemakaian
air tanah berlebihan juga mengakibatkan instrusi air laut, sudah dirasakan di
daerah Jakarta Utara, daerah Gunung Sahari dan bahkan sudah sampai di daerah
dekat dengan kantor Istana Presiden. Untuk itu Pemerintah DKI melakukan
kebijakan pembatasan pemakaian air tanah oleh penduduk dengan pengaturan
pajak air.
Dalam rangka memperbaiki pemenuhan kebutuhan air bersih DKI Jakarta,
perlu kebijakan yang terintegrasi lintas wilayah dan lintas sektoral serta harus
mulai mengintegrasikan antara kuantitas dengan kualitas. Berdasarkan hal
tersebut maka perlu segera dibuat model kebijakan pengelolaan air bersih lintas
5

wilayah yang berkelanjutan. Model kebijakan ini idealnya dibuat dengan lokasi
kajian di wilayah yang mempunyai masalah yang sangat kompleks seperti DKI
Jakarta, oleh karena itu dalam pembuatan model ini mengambil wilayah model
Provinsi DKI Jakarta.
Kompleksitas masalah kebijakan pengelolaan air lintas wilayah yang
bekerlanjutan di era otonomi daerah, dengan egoisme daerah semakin tinggi.
Masalah pengelolaan air juga terkait dengan masalah ekonomi yaitu untuk
menghasilkan untung bagi pengelolanya serta bertujuan sosial yaitu untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat banyak dengan harga yang terjangkau. Padahal
di lain pihak kualitas air juga semakin buruk, sehingga untuk mengolahnya
diperlukan biaya yang lebih tinggi. Kuantitas air juga menjadi masalah sebagai
akibat hilangnya (dialihfungsikannya) daerah tangkapan air, dan masalah-masalah
lainnya, maka harus dilakukan pendekatan secara terpadu dari aspek ekonomi,
sosial, dan ekologi. Model pengelolaan air lintas wilayah yang berkelanjutan di
era otonomi daerah ini sudah sangat mendesak untuk dibuat di wilayah DKI
Jakarta serta wilayah lain yang serupa.

1.2 Perumusan Masalah


Air merupaan salah satu bagian terpenting di ekosistem manapun, namun air
juga merupakan barang sosial dan ekonomi yang harus dikelola secara
berkelanjutan sehingga dapat selalu memenuhi kebutuhan hidup baik manusia
maupun makhluk hidup lainnya (Flint, 2003; Loucks, 2000; Soenaryo et al.,
2005), serta dibutuhkan untuk perkembangan peradaban manusia (Soenaryo et al.,
2005). Air merupakan kebutuhan dasar manusia yang keberadaannya diatur oleh
Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3, sehingga Sanim (2003)
mengistilahkan bahwa konstitusi tersebut merupakan kontrak sosial antara
pemerintah dan warga negaranya dalam rangka mensejahterakan masyarakatnya.
Pada dasarnya keberadaan air sudah dijamin oleh konstitusi, namun
kenyataannya untuk mendapatkan air yang berkualitas, merupakan barang langka
terutama di daerah perkotaan seperti DKI Jakarta. Kelangkaan (scarity)
merupakan suatu kondisi dimana jumlah pemenuhan kebutuhan manusia terbatas
atau lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah kebutuhan itu sendiri yang
6

jumlahnya tidak terbatas. Oleh karenanya, dengan adanya kelangkaaan tersebut


manusia dituntut melakukan usaha untuk bisa memperoleh kebutuhan yang
jumlahnya memang terbatas. Selain itu, karena kelangkaan yang ada maka setiap
manusia diharapkan mampu bertindak bijak dalam menikmati berbagai barang
dan jasa yang diperolehnya, misalnya dengan melakukan penghematan atau
penggunaan barang dan jasa seperlunya (Sumber Kewenangan Hukum
Administrasi Negara: 28 Maret 2011).
Pada dasarnya pemerintah pusat maupun pemerintah daerah telah
melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat, namun
mengingat air bersifat sangat dinamis dengan sumber berada di kabupaten/kota
lain serta melintasi berbagai wilayah administrasi maka dalam memanfaatkan
airpun tidak hanya di satu wilayah administrasi, namun di hampir semua wilayah
administrasi yang masuk pada satu kawasan daerah aliran sungai tersebut.
Menurut Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (2001), air
mempunyai karakteristik dasar dapat berada di beberapa wilayah administratif,
dipergunakan oleh berbagai aktor (multi-stakeholders), dipergunakan untuk
berbagai kepentingan dan merupakan sumberdaya alam mengalir (flow resources)
sehingga memiliki keterkaitan yang erat antara wilayah hulu dengan hilir.
Pengelolaan sumber daya air merupakan permasalahan yang tidak sederhana dan
menjadi sangat rumit karena selain harus memperhatikan aspek lain, juga harus
memperhatikan setidaknya beberapa karakteristik dasar tersebut di atas. Di lain
pihak adanya otonomi daerah semakin mempersulit pengelolaan yang didasarkan
pada karakteristik dasar tersebut. Adanya pemberlakuan otonomi-otonomi daerah
ternyata memunculkan kesulitan tersendiri untuk pengelolaan sumber daya air,
sebagai akibat adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan air di daerahnya
sendiri dan adanya egoisme lain dari setiap wilayah yang dilewati sungai tersebut.
Hal ini dapat terlihat pada pengelolaan sumber daya air utama DKI Jakarta, yakni
pengelolaan sumber daya air di DAS Citarum.
Menurut Departemen Pekerjaan Umum terdapat tiga belas (13) sungai yang
mengalir atau melintasi wilayah DKI Jakarta dan pinggiran Jakarta. Beberapa
sungai tersebut diantaranya adalah Kali Ciliwung, Kali Cililitan, Kali Cipinang,
Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, Kali Cakung, Kali Pesangrahan, Kali
7

Krukut, Kali Citarum, Kali Malang, Kali Cideng, Kali Grorol. Pada DAS yang
mengalir di pinggiran DKI Jakarta seperti Sungai Cisadane Tangerang dan Sungai
Ciburial Bogor, sungai-sungai tersebut mengalir dari hulu hingga hilir, dengan
melalui wilayah administrasi yang berbeda yakni hulu sungainya berada di Daerah
Jawa Barat dan melintasi beberapa wilayah administrasi kabupaten dan kota,
seperti kabupaten Purwakarta, Kerawang, Bekasi, Bogor dan Tangerang (Provinsi
Banten). Banyaknya DAS yang mengalir ke DKI Jakarta, sebenarnya merupakan
potensi sumber air baku yang dapat dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan air
bersih bagi pendukduk DKI Jakarta.
Sumber air baku untuk air bersih DKI Jakarta berasal dari lokasi lain,
terutama dari Gunung Wayang yang masuk ke DKI Jakarta melalui DAS Citarum.
Sungai Citarum merupakan Sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat.
Menurut Hasan (2010), total area DAS Citarum 12.000 km2 dengan populasi di
sepanjang sungai tersebut sebanyak 10 juta orang yang mana 50% merupakan
urban. Sungai Citrarum selain untuk kebutuhan sumber air baku untuk air bersih
DKI Jakarta, juga dipergunakan untuk mengairi areal irigasi seluas 280.000
hektar. Sungai Citarum juga menghasilkan tenaga listrik sebesar 1.900 mega watt.
Sungai Citarum sebagai sumber utama suplai air baku untuk air bersih Penduduk
DKI Jakarta, direncanakan dapat memberikan pelayanan air bersih sejumlah 80%
penduduk DKI Jakarta (16 m3/detik).
Sungai Citarum selain untuk keperluan pertanian, perikanan, perkebunan,
listrik dan keperluan air baku untuk air bersih penduduk, baik penduduk DKI
Jakarta maupun penduduk yang dilewati oleh aliran sungai tersebut. Wilayah
Sungai Citarum, terletak di wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat. Jadi
wilayah administrasi Sungai Citarum meliputi sebagian Kabupaten Bandung,
Kota Bandung, Kota Cimahi, sebagian Kabupaten Sumedang, sebagian
Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten
Cianjur, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, sebagian Kabupaten Bogor,
Kota Bekasi dan Kota Jakarta Timur. Setiap wilayah administrasi yang dilewati
aliran Sungai Citarum tentunya memiliki kepentingan dan ingin memanfaatkan
sumber daya air DAS Sungai Citarum.
8

Aspek-aspek yang menyebabkan rendahnya ketersediaan air di wilayah DKI


Jakarta selain masalah sosial dan ekonomi, ego sektoral, egoisme daerah dalam
pemanfaatan sungai, adalah permasalahan ekologi atau lingkungan, terutama di
daerah hulu (tangkapan air) Sungai Citarum. Hal ini disebabkan baik buruknya
kondisi lingkungan di hulu Sungai Citarum, sangat menentukan kualitas dan
kuantitas air yang mengalir di Sungai Citarum. Aspek lainnya adalah adanya
ketidakseimbangan atau gap penawaran dan permintaan air bersih, adanya gap
antara implementasi kebijakan pengelolaan air dengan kebijakan yang ada serta
belum terintegrasinya berbagai kebijakan yang terkait pengelolaan dan
penyediaan air bersih. Oleh karena itu maka saat ini dirasakan sudah sangat
mendesak untuk memiliki Model Pengelolaan Air Lintas Wilayah yang
berkelanjutan berbasis pada otonomi daerah, dengan mendasarkan pada
pertanyaan penelitian, sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi eksisting sumber daya air di DAS terkait dengan suplai air
baku untuk pemenuhan air bersih masyarakat Jakarta?
2. Bagaimana kuantitas dan kualitas sumber–sumber air baku setelah memasuki
otonomi daerah serta keterkaitan keduanya?
3. Bagaimana dukungan regulasi dan kebijakan pengelolaan sumber daya air
lintas wilayah berkelanjutan?
4. Bagaimana model kebijakan pengelolaan air baku lintas wilayah yang bersifat
holistik dan berkelanjutan pada era otonomi daerah?
Perumusan masalah dan pertanyaan penelitian tersebut di atas dapat
disederhanakan pada Gambar 1 dibawah ini:
9

Gambar 1. Perumusan kebijakan pengelolaan air baku lintas wilayah

1.3 Kerangka Pikir


Air adalah sumber daya alam yang vital karena keberadaan dan fungsinya
tidak dapat digantikan oleh sumber daya lainnya (Wolf, 1998). Air juga
merupakan komponen lingkungan hidup, yang dapat mengalami berbagai masalah
seperti masalah ketersediaan air (kuantitas) dan masalah kualitas (misalnya
terjadinya pencemaran). Permasalahan ketersediaan air baku untuk air bersih
semakin hari cenderung semakin banyak menghadapi kendala, misalnya
ketersediaannya yang semakin terbatas, padahal kebutuhan akan air bersih ini
semakin meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian
Santoso (2005), yang mendapatkan hasil bahwa terdapat ketimpangan
ketersediaan air di Jawa dan Bali dengan jumlah penduduk yang ada di dalamnya.
Dalam hal ini potensi air yang ada lebih kecil dibanding kebutuhan, sehingga
mengakibatkan terjadi eksploitasi air secara berlebihan yang pada akhirnya
mengakibatkan ketersediaan air di Pulau Jawa dan Bali akan semakin langka
bahkan akan mencapai titik kritis. Adanya masalah pencemaran air juga akan
semakin menekan kuantitas air dan mengakibatkan permasalahan air menjadi
semakin komplek sebagai akibat tingginya tingkat pencemaran air.
Kebijakan pengelolaan sumber daya air tertuang dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pada pasal 2
dan pasal 3 serta pasal 4 UU RI No. 7 Tahun 2004 tersebut menjelaskan bahwa
10

sumber daya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan,


kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta
transparansi dan akutanbilitas. Sumber daya air dikelola secara menyeluruh,
terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan
kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup,
dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras. Negara
menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal
sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat dan bersih.
Kebijakan pengelolaan sumber daya air saat ini yaitu pada era otonomi
daerah juga harus memperhatikan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah. Pada UU No. 7 Tahun 2004 pasal 14
dinyatakan bahwa wewenang dan tanggung jawab pemerintah meliputi
menetapkan kebijakan nasional sumber daya air, menetapkan pola pengelolaan
sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara,
dan wilayah sungai strategis nasional, melaksanakan pengelolaan sumber daya air
pada sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai
strategis nasional. Jadi untuk Sungai Citarum yang melintasi Provinsi Jawa Barat
dan DKI Jakarta, pengelolaannya berada di bawah tanggung jawab Pemerintah
Pusat.
PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, dalam hal pengelolaan sumber daya air tetap mengacu juga kepada
Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Undang-undang
No. 7 Tahun 2004 telah membagi wewenang kepada pemerintah provinsi dan juga
kepada pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal pengelolaan sumber daya air.
Sungai yang melintasi beberapa kabupaten dalam propinsi tersebut menjadi
kewenangan dan tanggung jawab pemerintah provinsi. Pemerintah provinsi
memiliki kewenangan menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di
wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dengan
memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya. Pada pasal 16 wewenang dan
tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota meliputi: menetapkan kebijakan
11

pengelolaaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional


sumber daya air dan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi dengan
memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya, melaksanakan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota
dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya.
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya telah mengatur tentang konservasi sumber daya alam
termasuk sumber daya air. Konservasi sumber daya air juga diatur dalam Undang-
undang No. 7 Tahun 2004 Bab III pasal 20 ayat (1) konservasi sumber daya air
ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan daya dukung, daya tampung
dan fungsi sumber daya air. Pada ayat (2) konservasi sumber daya air
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan meliputi perlindungan dan
pelestarian sumber air, pengawetan air, serta pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber
daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai.
Kualitas air baku untuk air bersih DKI Jakarta dalam kondisi yang
mengkhawatirkan. Masalah yang dihadapi oleh Provinsi DKI Jakarta dalam
pengelolaan air diantaranya adalah sulitnya menyediakan kuantitas air sesuai
dengan yang diinginkan, sulitnya mendapatkan kualitas air sesuai dengan baku
mutu dan mendukung kesehatan yang mengkonsumsinya. Berdasarkan hal
tersebut maka perlu dilakukan pemantauan kualitas air agar diketahui nilai
kualitas air dalam bentuk parameter fisika, kimia, dan biologi. Pemantauan
tersebut dengan membandingkan nilai kualitas air dengan baku mutu sesuai
dengan peruntukkannya. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor
82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air. PP No. 82 Tahun 2001 mengelompokkan klasifikasi air menjadi 4 kelas
yaitu:
1. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum,
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut;
2. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan unuk prasarana/sarana
rekreasi, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
12

pertanaman, dan atau peruntukan lain uang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut;
3. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan
air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain
yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut;
4. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi,
pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut.
Menurut Kepmen Kesehatan RI No 907/MENKES/SK/VII/2002, pasal 2
ayat (1) jenis air minum meliputi: a) air yang didistribusikan melalui pipa untuk
keperluan rumah tangga, b) air yang didistribusikan melalui tangki air, c) air
kemasan, d) air yang digunakan untuk produksi bahan makanan dan minuman
yang disajikan kepada masyarakat. Air bersih adalah air yang memenuhi syarat
kesehatan yang harus dimasak terlebih dahulu sebelum diminum. Syarat-syarat
yang ditentukan sesuai dengan persyaratan kualitas air secara fisika, kimia dan
biologi. Menurut Untung (2004) dalam Hartono (2007), air bersih adalah air yang
jernih, tidak berwarna, tawar dan tidak berbau. Air bersih didapat dari sumber air
yaitu air tanah, sumur, air tanah dangkal, sumur artetis atau air tanah dalam.
Kualitas air bersih apabila ditinjau berdasarkan kandungan bakterinya
menurut Surat Keputusan Dirjen PPM dan PLP No. 1/P0.03.04.PA.91 Tahun
2000/2001, air bersih dapat dibedakan ke dalam 5 kategori sebagai berikut:
1. Air bersih kelas A kategori baik mengandung coliform kurang dari 50.
2. Air bersih kelas B kategori kurang baik mengandung coliform 51-100.
3. Air bersih kelas C kategori jelek mengandung coliform 101 – 1000.
4. Air bersih kelas D kategori amat jelek mengandung coliform 1001 – 2400.
5. Air bersih kelas E kategori sangat amat jelek mengandung coliform lebih dari
2400.
Dalam rangka menjaga kualitas air baik air tanah, air sungai tidak tercemar
oleh kegiatan industri pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.
82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas air dan Pengendalian Pencemaran
Air dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 1995 tentang Baku
Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri. Menurut Keputusan Kementrian
13

Lingkungan Hidup No.51/Men/LH/10/1995 pasal 6 mencatumkan beberapa


kewajiban yang harus dipenuhi oleh penanggungjawab kegiatan industri, antara
lain sebagai berikut: melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah
cair yang dibuang ke dalam lingkungan tidak melampaui baku mutu limbah cair
yang telah ditetapkan, membuat saluran pembuangan limbah cair yang kedap air
sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair ke lingkungan. Menyampaikan
laporan tentang catatan debit harian, kadar parameter baku mutu limbah cair, dan
produksi bulanan yang sesungguhnya kepada BAPEDAL, gubernur, instansi
teknis terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Saat ini terdapat ketidakseimbangan atau gap penawaran dan permintaan air
bersih seperti secara umum terjadi pada Perusahaan Daerah Air Minum hampir di
seluruh Indonesia. Pada kasus DKI Jakarta, cakupan layanan PAM Jaya baru
mencapai 60% penduduk DKI Jakarta padahal MDG’s menginginkan 80% dari
penduduk kota terlayani air bersih. Kondisi ini mengakibatkan potensi PAM Jaya
untuk memperluas cakupan pelayanan seperti yang diinginkan dalam MDG’s dan
sekaligus sasaran peningkatan pendapatan PAM Jaya, relatif semakin sulit untuk
diwujudkan, apalagi setelah masuk pada era otonomi daerah. Oleh karena itu jika
kondisi dibiarkan seperti itu, maka kemampuan PAM Jaya untuk mendukung
penyelenggaraan pelayanan air bersih secara efektif, efisien dan berkelanjutan
semakin sulit dijangkau.
Berdasarkan hal tersebut, dalam melakukan pengelolaan sumber air baku,
PAM Jaya pada khususnya dan pemerintah pada umumnya harus memperhatikan
aspek sosial, ekonomi dan ekologi, secara bersamaan (terintegrasi) dan tidak
boleh hanya mementingkan satu atau dua faktor diantara ketiganya. Dalam
memenuhi tugas-tugasnya terutama untuk menciptakan keberlangsungan
penyediaan air oleh PAM Jaya, PAM Jaya harus melihat segala sesuatu yang ada
pada sungai dari sisi ekologi. Oleh karena itu, pengelolaan air bersih harus
dilakukan secara terpadu antar wilayah yang tercakup dalam DAS tersebut karena
kebutuhan air baku untuk air bersih DKI Jakarta, 70-80% disuplai dari luar
Provinsi DKI Jakarta yaitu Waduk Jatiluhur dan Tangerang.
14

Kondisi saat ini adalah masih minimnya implementasi kebijakan yang


berkaitan dengan air dan belum adanya kebijakan yang bersifat holistik dengan
pendekatan ekologis serta belum terpadunya antara kuantitas dan kualitas.
Mengingat kualitas dan kuantitas air saling berhubungan, maka antara kualitas
dan kuantitas juga tidak bisa dipisahkan, namun keduanya harus terintegrasi
dengan baik. Namun demikian kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan air
baku belum ada yang mengatur kerjasama antar wilayah secara detail/teknis yang
mengakaitkan dengan jasa lingkungan dan belum mengintegrasikan antara
kualitas dan kuantitas. Oleh karenanya perlu dibuat model kebijakan pengelolaan
air baku lintas wilayah yang berkelanjutan terutama yang berbasis otonomi daerah
dan berwawasan lingkungan. Mengingat suplai air terbesar untuk bahan baku
PAM Jaya berasal dari Waduk Jatiluhur yang terletak di Kabupaten Purwakarta,
maka wilayah yang akan distudi pada penelitian ini adalah DKI Jakarta dan
daerah sekitarnya (Bodetabek). Untuk lebih jelasnya kerangka berpikir dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
15

Kebijakan Pengelolaan Air Baku

Pemerintah Pemerintah
Pusat Daerah

Kementrian Kementrian Kementrian Kementrian Kementrian Non DKI DKI


Dalam Negeri Lingkungan Kesehatan Pekerjaan Umum Keuangan
Hidup

Syarat Pendayagunaan Alokasi Sumber


Tarif Ambang Alokasi
Kualitas Air SDA dengan Daya Air
Batas Polusi Anggaran
sehat baik

Kebijakan Lintas Wilayah Pengelolaan Air Baku Berkelanjutan

Ketersediaan Air Baku Kebutuhan Air


• Kualitas   Baku
• Kuantitas 
• Kontinuitas 
• Keterjangkauan 

Kebutuhan Air Bersih


DKI Terpenuhi

Ok

Setting
Agenda
Kebijakan

Stop
Gambar 2. Kerangka pemikiran model pengelolaan air lintas wilayah

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan utama penelitian adalah untuk mendapatkan model kebijakan
pengelolaan air baku lintas wilayah yang berbasis otonomi daerah yang
16

berkelanjutan. Pengembangan model kebijakan tersebut diperoleh melalui


beberapa sub tujuan penelitian sebagai berikut :
1. Melakukan identifikasi keseimbangan supply demand di DAS yang terkait
dengan penyediaan air bersih untuk wilayah DKI Jakarta.
2. Melakukan identifikasi dukungan kebijakan pengelolaan air di era otonomi
daerah.
3. Penyusunan model kebijakan pengelolaan air baku lintas wilayah yang bersifat
holistik dan berkelanjutan serta rekomendasi agenda kebijakan.

1.5 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan suatu dukungan bagi para
pengambil kebijakan di bidang pengelolaan air baku untuk air bersih, terutama di
wilayah Provinsi DKI Jakarta serta wilayah kota/kabupaten yang memberikan
suplai air baku untuk air bersih ke DKI. Menurut segi teoritis akademis, penelitian
ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan rujukan ilmiah bagi para peneliti
lain yang akan melakukan pengkajian tentang sistem pengelolaan air. Selain itu
juga mengembangkan model kebijakan pengelolaan air baku lintas wilayah yang
berbasis otonomi daerah, dengan karakteristik daerah pelayanan serta rekayasa
model sistem pengelolaan air yang berwawasan lingkungan dalam rangka menuju
pembangunan yang berkelanjutan. Hasil kajian ini juga diharapkan akan menjadi
masukan dalam merancang kebijakan nasional dan PERDA pengelolaan
sumberdaya air lintas wilayah berbasis otonomi daerah.

1.6 Novelty
Novelty (kebaruan) dalam penelitian ini terdiri dari:
(1) METODE: Prosedur analisis kebijakan yang mengintegrasikan, analisis
keberlanjutan, peran pemangku kepentingan supply demand air bersih
dan kebijakan otonomi daerah.
(2) HASIL: model pengelolaan air baku lintas wilayah yang berbasis
otonomi daerah dan berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan air
bersih DKI Jakarta.
17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Publik

Kebutuhan akan air merupakan kebutuhan dasar manusia, untuk itu negara
menjamin terpenuhinya kebutuhan air. Hal tersebut sesuai dengan amanat
Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Implementasi
kebijakan pengelolaan air berpedoman pada Undang-undang Dasar 1945,
Undang-undang sumber daya air yaitu UU RI Nomor 7 Tahun 2004 dan Undang-
undang RI Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain
itu pengelolaan air haruslah memperhatikan air sebagai fungsi sosial dan ekonomi
serta ekologi.

2.1.1 Perumusan Kebijakan Publik

Kebijakan (policy) adalah solusi atas suatu masalah. Kebijakan seringkali


tidak efektif akibat tidak cermat dalam merumuskan masalah. Kebijakan sebagai
obat seringkali tidak manjur bahkan mematikan, akibat diagnosa masalah atau
penyakitnya keliru (Dunn, 2003). Kebijakan merupakan keputusan dari suatu
pemerintah dalam mengatur masalah publik dengan harapan kebijakan tersebut
menjadi suatu solusi dari permasalahan. Namun seringkali kebijakan yang ada
masih dipandang belum memadai sehingga diperlukan kebijakan lain atau
perbaikan kebijakan. Jadi yang termasuk kebijakan publik baik mulai dari
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden,
keputusan menteri, peraturan menteri sampai dengan perda. Adapun yang
dimaksud dengan perda menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pasal 1 ayat 10 dinyatakan bahwa peraturan daerah
selanjutnya disebut dengan perda adalah peraturan daerah provinsi dan atau
peraturan daerah kabupaten/ kota.
18

Kebijakan publik adalah faktor yang me-leverage kehidupan bersama.


Dalam Teori Pareto, kebijakan publik adalah faktor 20% yang menyebabkan
terjadinya yang 80%. Kesepakatan awal pada teori ini bahwa kebijakan publik
merupakan faktor kritikal bagi kemajuan dan kemunduran suatu bangsa (Nugroho,
2002). Negara yang maju dan kuat seperti Jepang dan Amerika dikarenakan
bangunan negara tersebut ditata dengan kebijakan publik yang berpihak kepada
rakyatnya serta kebijakan publik yang sudah mengantisipasi ke masa depan.
Kesalahan dalam kebijakan publik Indonesia dalam mengantisipasi krisis moneter
tahun 1997 salah satu bukti nyata yang mengakibatkan keterpurukan Indonesia
yang berkepanjangan setelah mengalami masa yang gilang gemilang sebelumnya.
Indonesia pernah memiliki konsep pembangunan jangka panjang, namun
kebijakan makro jangka panjang 25 tahunan tersebut tidak diisi dengan kebijakan
mikro yang sesuai.

2.1.2 Analisis Kebijakan

Pengertian analisis kebijakan publik menurut Dunn (2003) adalah salah satu
disiplin ilmu sosial terapan, yang menggunakan berbagai macam metodologi
penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi
yang relevan dengan kebijakan, yang digunakan dalam lingkungan politik
tertentu, untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan. Menurut Nagel dalam
Dunn (2003) analisis kebijakan publik adalah penentuan dalam rangka hubungan
antara berbagai alternatif kebijakan dan tujuan-tujuan kebijakan, manakala di
antara berbagai alternatif kebijakan, keputusan, dan cara-cara lainnya yang terbaik
untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan tertentu.
Analisis kebijakan dapat berupa: (i) Analisis kebijakan prospektif, yang
memproduksi dan mentransformasikan informasi sebelum aksi kebijakan
dilakukan; dan (ii) Analisis kebijakan retrospektif, yang memproduksi dan
mentransformasikan informasi sesudah kebijakan diambil. Analisis kebijakan
dengan pengertian yang paling umum adalah dari hanya berpikir keras dan cermat
hingga melalui langkah rumit dengan data dan model yang kompleks untuk
menghasilkan solusi sebagai informasi. Mengkomunikasikan informasi ini juga
menjadi bagian dari analisis kebijakan.
19

Selanjutnya Weimer & Vining (1999) dalam Kartodiharjo (2009)


menjelaskan mengenai lingkup kebijakan, yang terdiri dari riset kebijakan dan
analisis kebijakan. Riset Kebijakan merupakan prediksi dampak perubahan
beberapa variabel akibat perubahan kebijakan, untuk aktor dalam arena kebijakan
yang relevan melalui metodologi yang formal.

2.1.3 Kebijakan di Era Otonomi Daerah


Pada era otonomi daerah terdapat beberapa urusan yang dilimpahkan ke
daerah dan ada menjadi urusan pemerintah pusat. Kewenangan tersebut dibagi
menjadi kewenangan pemerintah pusat, kewenangan pemerintah provinsi dan
kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Menurut UU No.32 Tahun 2004, Bab III
pasal 10 ayat (3): urusan pemerintah yang menjadi urusan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Politik luar negeri; b.
Pertahanan; c. Keamanan; d. Yustisi; e. Moneter dan fiskal nasional; dan f.
Agama.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut UU No 32 Tahun
2004 pasal 1 ayat (5). Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provisi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Bab IV pasal 13 ayat
(1 dan 2) dinyatakan bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan yang
mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait. Ayat 2:
Tatacara pengelolaan bersama urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Kebijakan tentang sumber daya air telah diatur dengan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005, tentang
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, serta
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005, tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
20

294/PRT/M/2005, tentang Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan


Air Minum.
Dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 pasal 26 (ayat 1) dinyatakan bahwa:
pendayagunaan sumber daya air dilakukan melalui kegiatan penatagunaan,
penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air
dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada
setiap wilayah sungai. Ayat 2: pendayagunaan sumber daya air ditujukan untuk
memanfaatkan sumber daya air secara berkelanjutan dengan mengutamakan
pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan masyarakakat secara adil.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 telah ditindaklanjuti dengan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
tentang Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Dari
segi kebijakan pemerintah pusat dirasakan cukup namun dalam implementasinya
masih diperlukan kebijakan teknis yang lebih rendah misalnya tentang perda air
minum. DKI Jakarta telah memiliki Peraturan Badan Regulator Pelayanan Air
Minum DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2008, tentang Persyaratan, Pemantauan, dan
Pengawasan Tekanan Air Minum di Pelanggan.

Pemerintah daerah masih ada yang belum memiliki Perda tentang Air Minum,
misalnya Kabupaten Bogor dan Tangerang belum memiliki Perda tentang Air
Minum. Oleh karena itu diperlukan suatu model kebijakan daerah/perda tentang
air minum. Selain itu masalah pengelolaan air bersih masih diperlukan suatu
kebijakan lintas wilayah dikarenakan sumber air baku untuk air bersih bersumber
dari beberapa sungai yang melintasi berbagai wilayah provinsi dan daerah
kabupaten/ kota. Kebijakan lintas wilayah sangat diperlukan agar terdapat
keterpaduan arah dan kebijakan serta mencegah terjadinya konflik air
sebagaimana telah terjadi di Negara Timur Tengah.
21

2.1.4 Setting Agenda

Teori tentang agenda setting berkembang ketika Mc Combs dan Shaw


melakukan investigasi atau penelitian tentang pemilihan presiden pada tahun
1968, 1972 dan 1976. Menurut Ismujiarso, teori agenda setting berkembang pada
dekade 60-an, ketika belum ada internet, sehingga Ismujiarso mempertanyakan
apakah kondisi tersebut masih relevan mengingat munculnya teknik-teknik dan
media-media baru komunikasi dewasa ini, benarkah masih serelevan itu?

Menurut Spring (2002) agenda setting as defined in “mass media, mass


culture” is the process whereby the mass media determine what we think and
worry about. Menurut Ismujiarso tentang teori agenda setting, ide dasarnya adalah
media (komunikasi) masa lebih dari sekedar pemberi informasi dan opini. Namun,
teori ini percaya bahwa media sangat berhasil mendorong audiensnya untuk
menentukan apa yang perlu mereka pikirkan. Agenda setting menggambarkan
betapa powerfull-nya (pengaruh) media, terutama dalam kemampuannya
menunjukkan kepada kita, ini lho isu-isu yang penting. Teori ini mengandung
asumsi bahwa media tidak semata-mata mengabarkan informasi dan opini,
melainkan lebih daripada itu, juga menyeleksi dan menentukan informasi maupun
opini tersebut.

Pendekatan setting agenda, yaitu yang membahas bagaimana persoalan dan


agenda dibentuk dalam setting institusional, bagaimana partai, kelompok
kepentingan dan pembuat kebijakan saling berinteraksi untuk menentukan apa-apa
yang dianggap isu politik dan apa-apa yang bukan isu politik. Proses politik
mungkin tak terlalu terbuka untuk memasukan semua problem kedalam perhatian
politik. Pada pembahasan berikutnya, akan membahas konstribusi penting untuk
analisis agenda oleh para teoritis yang berpendapat bahwa keputusan riil dalam
proses kebijakan adalah kekuasaan untuk tidak membuat keputusan (non-
decission), yakni kapasitas dari salah satu kelompok untuk menghalang-halangi
masuknya ide, perhatian, kepentingan dan problem kedalam agenda utama.
Pendapat ini juga menyatakan bahwa jika kita ingin memahami problem
didefinisikan dan agenda ditetapkan kita harus masuk lebih jauh kedalam relasi
kekuasaan, kedalam cara nilai dan keyakinan orang-orang dibentuk oleh
22

kekuatan-kekuatan yang tidak bisa diamati secara empiric atau behavioral


(Kartodiharjo, 2009).

Kekuasaan riil dalam proses kebijakan adalah kekuasaan untuk tidak


membuat keputusan, yakni kapasitas dari salah satu kelompok untuk menghalangi
masuknya ide, perhatian, kepentingan dan problem itu ke dalam agenda utama.
Jika kita ingin memahami bagaimana problem itu didefinisikan dan agenda itu
ditetapkan, maka kita harus masuk ke dalam relasi kekuasaan dan ke dalam cara
nilai atau diamati secara empiris atau behavioral. Selanjutnya yaitu pendekatan
makro yang lebih sintesis dengan menfokuskan pada pendekatan-pendekatan
mengajukan penjelasan yang makro.

Kita dapat sepakat pada isunya tapi tidak sepakat pada apa yang
sesungguhnya menjadi persoalan dan karena itu kita juga bisa berbeda pendapat
soal kebijakan yang harus diambil. Fakta adalah sesuatu yang tidak berbicara
sendiri, namun perlu penafsiran. Sebuah problem harus didefinisikan,
distrukturisasi, diletakkan dalam batas-batas tertentu dan diberi nama. Sebuah
problem harus didefinisikan, distrukturisasi, diletakkan dalam batas-batas tertentu
dan diberi nama. Problem berkaitan dengan persepsi, dan persepsi berkaitan
dengan konstruksi. Karakteristik utama dari problem kebijakan, yang berbeda
dengan jenis lain semisal matematika atau fisika adalah problem-problem itu sulit
didefinisikan dengan baik. Sebuah definisi suatu problem adalah bagian dari
problem itu sendiri. Kesulitan dengan problem kebijakan ini diperparah oleh
kompleksitas dan definisinya yang kurang jelas (ill-defined) yang pada akhirnya
mengakibatkan ill-structured.

Pada kebijakan publik yang bersifat otonomi daerah, umumnya


sebelumnya dilakukan focus grup discussion dan kajian akademis terlebih dahulu.
Mengingat pada kebijakan publik juga perlu memperhatikan cakupan daerah lain
serta melibatkan beberapa daerah sekitarnya. Terlebih lagi apabila kebijakan
publik yang berlaku setelah otonomi daerah tersebut merupakan kebijakan lintas
wilayah dan terdiri dari beberapa daerah otonom dan juga melintasi antar propinsi,
maka diperlukan suatu kajian yang mendalam baik tentang kebijakan yang ada di
tingkat pusat maupun daerah masing-masing. Kajian tersebut dengan melakukan
23

analisis konten sehingga dapat dievaluasi kebijakan mana yang mendukung otda
dan kebijakan mana yang tidak mendukung otda serta kebijakan mana yang
tumpang-tindih. Agenda-setting atau penetapan atau pembentukan agenda pernah
dilakukan oleh Mayer (1991), “Gone yesterday, here today,” melakukan studi
kasus kebijakan konsumen dengan mengkaji peran isu dalam pembentukan
agenda (agenda-setting) berdasarkan dua model: satu arah (unidirectional) (media
mempengaruhi media agenda konsumen yang dibuat oleh Pemerintah Amerika
dan model banyak arah (multidirectional) (agenda kebijakan pemerintah
mempengaruhi liputan media dan opini publik). Adapun sebagian dari
kesimpulannya seperti yang tertera di bawah ini.

“Jika dilihat bersama-sama, bukti-bukti yang tersedia pada periode 1960-


1987 menunjukkan bahwa isu konsumen pertama-tama diangkat ke agenda
kebijakan, mungkin karena perhatian personal dari presiden dan anggota
konggres. Kemudian, setelah perhatian pemerintah federal terhadap problem
konsumen dilegitimasi oleh tindakan eksekutif dan legislatif, muncullah
pola satu arah (unideirectional) tersebut”.

Pendekatan opini publik untuk penentuan agenda (agenda setting) bisa


dikatakan telah dimulai sejak terbitnya karya Malcolm McCombs dan Donald
Shaw pada tahun 1972. Mereka mengemukakan hipotesis bahwa meskipun peran
media dalam mempengaruhi arah atau intensitas sikap masih diragukan, tetapi
‘media masa menentukan agenda untuk setiap kampanye politik, dan
mempengaruhi sikap terhadap isu-isu politik” (McCombs dan Shaw, 1972:1977).
Rogers dan Dearing (1987) membedakan tiga jenis agenda: media, publik, dan
kebijakan. Riset mereka menunjukkan bahwa, berbeda dengan model McCombs
dan Shaw, penetapan agenda lebih merupakan proses. Media masa memang
mempengaruhi agenda publik, seperti diyakini McCombs dan Shaw, namun
agenda publik juga mempengaruhi agenda kebijakan, termasuk juga agenda
media. Akan tetapi, pada beberapa isu, agenda kebijakan memberikan dampak
besar pada agenda media. Adapun model penetapan agenda seting dapat dilihat
pada Gambar 3.
24

Pengalaman personal dan komunikasi antar personal 

Agenda media  Agenda publik Agenda kebijakan  

Indikator arti penting dari kejadian atau isu agenda di dunia nyata 

Gambar 1. Model penetapan agenda menurut Rogres dan Dearing


(diadaptasi dari McQuail dan Windhl, 1993)

2.2 Pengelolaan Sumber daya Air

Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan,


pemantauan, mengevaluasi penyelenggaraaan sumber daya air, dan pengendalian
daya rusak air. Pola pengeloaaan sumber daya air adalah kerangka dasar dalam
merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan konservasi
sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak
air. Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta
keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia
dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makluk
hidup yang akan datang (UU Nomor 7 Tahun 2004).

Sumber daya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan,


kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta
transparansi dan akuntabilitas. Sumber daya air dikelola secara menyeluruh,
terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan
kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup,
dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras (UU Nomor 7
2004, pasal 2 sampai pasal 5).
25

Pengertian sumber daya air menurut UU Nomor 7 Tahun 2004 adalah air,
sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Air adalah semua air yang
terdapat pada, di atas, ataupun dibawah permukaan tanah, termasuk dalam
pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di
darat. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. Air
tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan dibawah
permukaan tanah.

2.2.1 Prasarana dan Sarana Pengelolaan Sumber daya Air

Saat ini, masalah utama yang dihadapi oleh sumber daya air meliputi
kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus menerus
meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik yang semakin menurun.
Kegiatan industri, domestik dan kegiatan lain berdampak negatif terhadap sumber
daya air, antara lain menyebabkan penurunan kualitas air. Hal ini dapat
menimbulkan gangguan, kerusakan dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang
bergantung pada sumber daya air.

Permasalahan air adalah ketidakseimbangan antara permintaan atau


kebutuhan dan ketersediaan, serta kualitas air yang ada semakin menurun akibat
pencemaran lingkungan. Kerusakan lingkungan di daerah tangkapan air
(catchment area), tingginya erosi dan ancaman banjir. Telah terjadi krisis air yang
melanda beberapa negara di dunia termasuk Indonesia.

Sejak tahun 1970-an degradasi SDA yang berupa lahan gundul tanah
kritis, erosi pada lereng-lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian
maupun untuk penggunaan lain seperti permukiman dan pertambangan,
sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah Indonesia. Namun proses
degrasi SDA tersebut terus berlanjut, karena tidak adanya keterpaduan tindak dan
upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan
SDA. Pendekatan menyeluruh pengelolaan SDA secara terpadu menuntut suatu
manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara
lembaga terkait.
26

Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi


masyarakat dalam pengelolaan SDA mulai dari perencanaan, perumusan
kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat. Awalnya, perencanaan
pengelolaan SDA lebih banyak dengan pendekatan pada faktor fisik dan bersifat
sektoral. Namun, sejak sepuluh tahun yang lalu telah dimulai dengan pendekatan
holistik, yaitu melalui rencana pengelolaan SDA terpadu, yang antara lain dimulai
dari DAS prioritas. Namun urutan prioritas tersebut dikaji ulang, dengan
pertimbangan seperti: (1) urutan DAS prioritas perlu disesuaikan dengan
pertimbangan teknik yang lebih maju dan pertimbangan kebijakan yang
berkembang pada saat ini, (2) pengelolaan DAS juga memerlukan asas legalitas
yang kuat dan mengikat bagi instansi terkait dalam berkoordinasi dan
merencanakan kebijakan pengelolaan DAS, dan (3) perubahan arah pemerintahan
dari sentralisasi ke desentralisasi. Pentingnya posisi DAS sebagai unit
perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga
kesinambungan pemanfaatan sumber daya hutan, tanah dan air.

Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi SDA


yang mengakibatkan buruk seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya
menciptakan pendekatan pengelolaan SDA secara terpadu, diperlukan
perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan dengan mempertimbangkan SDA sebagai suatu unit pengelolaan.
Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan,
penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang dmulai dari daerah
hulu sampai hilir.

Pengelolaan SDA ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang optimal dari


sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberi manfaat secara
maksimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Selain itu
pengelolaan SDA termasuk DAS, dipahami sebagai suatu proses formulasi dan
implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumber daya alam
dan manusia yang terdapat di SDA untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa
tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumber daya air dan tanah. Dalam hal
ini termasuk identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, dan
27

keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS (Asdak, 2002), seperti yang
tertera pada Gambar 4 berikut ini.

Gambar 2. Hubungan biofisik antara bagian hulu dan hilir DAS (Asdak, 2010)

Dalam menjabarkan model pengelolaan air maka setiap unit SDA termasuk
DAS, secara substansi dan strateginya, serta bentuk-bentuk DAS harus dipelajari
dengan seksama. Hal ini perlu dilakukan karena bentuk DAS merupakan refleksi
kondisi bio-fisik dan merupakan wujud dari proses alamiah yang ada. Implikasi
dari hal tersebut adalah memperlihatkan bahwa pengelolaan SDA merupakan
suatu sistem hidrologi dan sistem produksi, dan hal ini membuka terjadinya
konflik kepentingan antar institusi terhadap pengelolaan komponen-komponen
sistem pengelolaan air.

DAS bagian hulu mempunyai peran penting, terutama sebagai tempat


penyedia air untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Oleh karena itu bagian hulu
DAS seringkali mengalami konflik kepentingan dalam penggunaan lahan,
terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, serta permukiman.
28

Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap


kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada
prinsipnya, sistem pengelolaan DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha
konservasi dengan mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan suplai air.
Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air
(catchment ecosystem) yang merupakan rangkaian proses alami daur hidrologi.

Pengkajian permasalahan pengelolaan SDA dapat dilakukan dengan


mengkaji komponen-komponen SDA dan menelusuri hubungan antar komponen
yang saling berkaitan, sehingga kegiatan pengelolaan dan pengendalian yang
dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada
penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan, serta dilakukan secara
terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan SDA dalam konteks wilayah adalah
letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan
melewati beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya.
Bahkan terdapat sungai yang hulunya berada di wilayah provinsi a dan melewati
provinsi b, padahal hulunya sampai kepada provinsi c atau lintas wilayah provinsi.
Oleh karena itu, daerah-daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu
sistem terintegrasi, serta menjadi tanggung jawab bersama.

Menurut Asdak (2010), dalam keterkaitan biofisik wilayah hulu-hilir suatu


DAS, perlu adanya beberapa hal yang menjadi perhatian, yaitu sebagai berikut:

1. Kelembagaan yang efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan


lingkungan biofisik dan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut beroperasi.
Apabila aktifitas pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak
yang nyata pada lingkungan biofisik dan/atau sosial ekonomi di bagian hilir
dari DAS yang sama, maka perlu adanya desentralisasi pengelolaan DAS yang
melibatkan bagian hulu dan hilir sebagai satu kesatuan perencanaan dan
pengelolaan.
2. Eksternalities, adalah dampak (positif/negatif) suatu aktifitas/program dan
atau kebijakan yang dialami/dirasakan di luar daerah dimana
program/kebijakan dilaksanakan. Dampak tersebut seringkali tidak
terinternalisir dalam perencanaan kegiatan. Dapat dikemukakan bahwa
29

negative ekternalities dapat mengganggu tercapainya keberlanjutan


pengelolaan DAS bagi: (a) masyarakat di luar wilayah kegiatan (spatial
externalities), (b) masyarakat yang tinggal pada periode waktu tertentu setelah
kegiatan berakhir (temporal externalities), dan (c) kepentingan berbagai sektor
ekonomi yang berada di luar lokasi kegiatan (sectoral externalities).
3. Dalam kerangka konsep “externalities”, maka pengelolaan sumber daya alam
dapat dikatakan baik apabila keseluruhan biaya dan keuntungan yang timbul
oleh adanya kegiatan pengelolaan tersebut dapat ditanggung secara
proporsional oleh para aktor (organisasi pemerintah, kelompok masyarakat
atau perorangan) yang melaksanakan kegiatan pengelolaan sumberdaya alam
termasuk sumber daya air dan para aktor yang akan mendapatkan keuntungan
dari adanya kegiatan tersebut.
Agar proses terpeliharanya sumber daya tanah (lahan) akan terjamin, maka
setiap kawasan pertanian atau budidaya tersedia kelas-kelas kemampuan dan kelas
kesesuaian lahan. Dengan tersedianya kelas kemampuan dan kelas kesesuaian ini,
pemanfaatan lahan yang melebihi kemampuannya dan tidak sesuai jenis
penggunaannya dapat dihindari. Pada salah satu bentuk model pengelolaan DAS,
pengelolaan DAS hulu-hilir yang dikaitkan dengan masalah ekonomi-sosial-
budaya, pengembangan wilayah dalam bentuk ekologis maupun adminstratif,
yang menuju pada optimalisasi penggunaan lahan dan mengefisienkan
pemanfaatan sumber daya air melalui perbaikan kelembagaan, teknologi, serta
penyediaan pendanaan.

Selama ini metodologi perencanaan pengelolaan DAS kurang


memperhatikan aspek tata ruang dan kurang mengintegrasikan berbagai
kepentingan kegiatan pembangunan. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang bertujuan mewujudkan ruang wilayah nasional yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara
dan Ketahanan Nasional dengan; (a). terwujudnya keharmonisan antara
lingkungan alam dan buatan, (b).terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan SD
alam & buatan dengan mempehatikan SDM, (c). terwujudnya perlindungan fungsi
ruang & pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan
ruang. Untuk itu perencanaan pengelolaan SDA harus memperhatikan
30

kepentingan pengembangan pertanian, kepentingan industri dan kepentingan


daya dukung lingkungan (ecological demands). Perkembangan pembangunan di
bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi sumber daya
alam berupa penambangan, dan eksploitasi huatan menyebabkan penurunan
kondisi hidrologis suatu DAS dan menyebabkan berkurangnya kemampuan DAS
untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim hujan dan kemudian
dipergunakan melepas air pada musim kemarau.

Kurang tepatnya perencanaan tata ruang dapat menimbulkan adanya


degradasi daerah aliran sungai yang mengakibatkan lahan menjadi gundul,
tanah/lahan menjadi kritis dan erosi pada lereng-lereng curam. Pada akhirnya
proses degradasi lahan dan air tersebut dapat menimbulkan banjir yang besar di
musim hujan, debit sungai menjadi sangat rendah di musim kemarau, kelembaban
tanah di sekitar hutan menjadi berkurang di musim kemarau sehingga dapat
menimbulkan kebakaran hutan, terjadinya percepatan sedimen pada waduk-waduk
dan jaringan irigasi yang ada, serta penurunan kualitas air. Pada prinsipnya
kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terpadu merupakan hal
yang sangat penting dalam rangka mengurangi dan menghadapi permasalahan
sumberdaya air baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Kebijakan ini merupakan
bagian terintegrasi dari kebijakan lingkungan yang terkait dengan sumber daya air
pada data akademis maupun teknis, beragamnya kondisi lingkungan pada
beberapa daerah dan perkembangan ekonomi dan sosial sebagai suatu keseluruhan
dimana perkembangan daerah. Beragamnya kondisi, maka beragam dan spesifik
juga solusinya. Keberagaman ini harus diperhitungkan dalam perencanaan dan
pengambilan keputusan terkait tata ruang termasuk tata ruang air untuk
memastikan bahwa perlindungan dan penggunaan sumber daya air secara
berkelanjutan ada dalam suatu rangkaian kerangka kerja (framework).

Keberadaan daerah aliran sungai secara yuridis formal tertuang dalam


Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan dan
Undang-undang Nomor 7 tahun 2004. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33
Tahun 1970, daerah aliran sungai dibatasi sebagai suatu daerah tertentu yang
bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan suatu kesatuan
31

dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsi
untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya,
penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum
alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut. Perkembangan
pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi
sumber daya alam berupa penambangan, dan ekploitasi hutan menyebabkan
penurunan kondisi hidrologis suatu daerah aliran sungai.

Gejala penurunan fungsi hidrologis DAS ini dapat dijumpai di beberapa


wilayah Indonesia, seperti di Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan,
terutama sejak tahun dimulainya Pelita I yaitu pada tahun1972. Penurunan fungsi
hidrologis tersebut menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai
penyimpan air pada musim hujan dan kemudian dipergunakan melepas air
sebagai“base flow” pada musim kemarau, telah menurun. Ketika air hujan turun
pada musim penghujan air akan langsung mengalir menjadi aliran permukaan
yang kadang-kadang menyebabkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau
aliran “base flow” sangat kecil bahkan pada beberapa sungai tidak ada aliran
sehingga ribuan hektar sawah dan tambak ikan tidak mendapat suplai air tawar.
Walaupun masih banyak parameter lain yang dapat dijadikan ukuran kondisi suatu
daerah aliran sungai, seperti parameter kelembagaan, parameter peraturan
perundang-undangan, parameter sumber daya manusia, parameter letak geografis,
parameter iklim, dan parameter teknologi, akan tetapi parameter air masih
merupakan salah satu input yang paling relevan dalam model DAS untuk
mengetahui tingkat kinerja DAS tersebut, khususnya apabila dikaitkan dengan
fungsi hidrologis DAS.

Dalam prosesnya, maka kejadian-kejadian tersebut merupakan fenomena


yang timbul sebagai akibat dari terganggunya fungsi DAS sebagai satu kesatuan
sistem hidrologi yang melibatkan kompleksitas proses yang berlaku pada DAS.
Salah satu indikator dominan yang menyebabkan terganggunya fungsi hidrologi
DAS adalah terbentuknya lahan kritis. Hasil inventarisasi lahan kritis
menunjukkan bahwa terdapat ± 14,4 juta hektar di luar kawasan hutan dan ± 8,3
juta hektar di dalam kawasan hutan (Pasaribu, 1999).
32

Selain itu bencana banjir, tanah longsor, dan berbagai kejadian alam yang
melanda Indonesia tidak terlepas dari kerusakan ekologi. Bentuk kerusakan
ekologi ini didominasi oleh kerusakan hutan. Berbagai bencana akibat kerusakan
ekologi yang melanda Indonesia di tahun 2002 diawali oleh banjir besar yang
menenggelamkan sebagian besar wilayah Jakarta pada awal Februari 2002. Dalam
peristiwa tersebut, yang diindikasikan karena rusaknya kawasan hutan di daerah
Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur), tidak hanya mengakibatkan kerugian
harta dan benda, melainkan juga nyawa.

Hubungan fungsional di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa


setiap investasi APBN di bidang kehutanan sebesar 1 unit (juta rupiah)
meningkatkan nilai nisbah sebesar 0,007802. Beberapa faktor penyebab korelasi
positif ini diantaranya adalah belum tepatnya alokasi APBN di bidang kehutanan,
belum tepatnya perencanaan program/proyek sehingga alokasi dana yang ada
belum tepat sasaran dalam pembangunan kehutanan. Analisa trend menunjukkan
bahwa pada kurun waktu 5 tahun (1994-1998) alokasi APBN menurun jika
dibandingkan dengan alokasi pada kurun waktu 5 tahun sebelumnya (1989-1993).
Hingga saat ini investasi di bidang kehutanan khususnya untuk rehabilitasi hutan
dipandang sebagai investasi yang beresiko dan hasilnya tidak diperoleh dalam
jangka pendek sebagaimana bidang lainnya.

Kenaikan dana reboisasi Provinsi DKI Jakarta sebesar 1 unit (juta rupiah)
akan menurunkan nisbah sebesar 0,003075. Keberadaan dana reboisasi
diharapkan dapat menjadi alternatif pembiayaan pembangunan kehutanan
khususnya untuk kegiatan reboisasi hutan. Kegiatan reboisasi diharapkan dapat
memperbaiki kondisi tutupan hutan yang telah gundul atau dalam keadaan kritis
sebagai akibat penebangan kayu hutan. Perbaikan terhadap kondisi tutupan hutan
akan mengurangi limpasan langsung dipermukaan yang akhirnya akan
mengurangi nilai nisbah (Pasaribu, 1999).

Kenaikan alokasi APBN sektor pertanian Propinsi DKI Jakarta setiap 1 unit
(juta rupiah) akan menaikkan nilai nisbah sebesar 0,001013. Hal ini dapat
dipahami karena investasi untuk kegiatan peningkatan produksi tanaman pangan
akan meningkatkan kebutuhan akan debit air irigasi sebagai pendukung. Trend
33

menunjukkan alokasi APBN untuk sektor pertanian untuk peningkatan produksi


mengalami kenaikan terus-menerus dari tahun 1989 hingga 1998, meskipun
alokasi dana sektor kehutanan juga mengalami kenaikan, namun nilainya masih
dibawah alokasi dana sektor pertanian dan sumber daya air.

Padahal hutan mempunyai peranan yang penting sebagai penyangga


sistem DAS karena keberadaannya sebagai pengatur tata guna air, sektor
sumberdaya air berperan dalam pendistribusian air melalui pembuatan sistim
irigasi. Kegiatan investasi di sektor pertanian berkaitan dengan peningkatan
produksi tanaman pangan seharusnya diiringi dengan pemilihan tipe irigasi dan
drainase yang tepat, hal ini akan mempengaruhi karakteristik aliran langsung di
permukaan. Irigasi yang baik akan memungkinkan air terdistribusi dengan baik
dan memperbesar kapasitas infiltrasi. Drainase yang baik akan menghambat
terbawanya partikel-partikel tanah ke dalam sungai yang akan menyebabkan
pendangkalan sungai.

Pemilihan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman akan mempengaruhi


keadaan tutupan lahan yang selanjutnya berpengaruh pada aliran langsung di
permukaan. Budidaya di lahan pertanian secara intensif harus memberikan ruang
untuk konservasi air. Selain daripada itu diperlukan pula perubahan pola pikir dan
persepsi tentang perlunya reorientasi sistem produksi pertanian nasional dari
paddy field oriented menjadi upland agriculture development oriented melalui
penggunaan lahan kering. Lahan kering sangat menjanjikan dalam menopang
produksi pertanian nasional. Selain karena hemat air, produksi pangan lahan
kering juga dapat mendekati lahan sawah apabila irigasi suplementer dapat
dikembangkan.

Sungai sebagai bagian dari wilayah DAS merupakan sumber daya yang
mengalir (flowing resources), dan pemanfaatan di daerah hulu akan mengurangi
manfaat di hilirnya. Sebaliknya perbaikan di daerah hulu manfaatnya akan
diterima di hilirnya. Oleh karena itu diperlukan perencanaan terpadu dalam
pengelolaan DAS dengan melibatkan semua sektor terkait, seluruh stakeholder
dan daerah yang ada dalam lingkup wilayah DAS dari hulu hingga ke hilir.
34

Pendekatan dalam perencanaan DAS dapat pula dilakukan melalui


pendekatan input-proses-output. Semua input di sub-DAS hulu akan diproses pada
sub-DAS tersebut menjadi output. Output dari sub-DAS hulu menjadi input bagi
sub-DAS tengah, dan melalui proses yang ada menjadi output dari sub-DAS ini.
Selanjutnya, output ini menjadi input bagi sub-DAS hilir, proses yang ada pada
sub-DAS hilir menghasilkan output terakhir dari DAS. Pada masa kedepan nanti
bukan hal yang tidak mungkin jika output dari sub-DAS hilir menjadi input bagi
sub-DAS di hulunya. Hal ini dapat terwujud melalui mekanisme subsidi hilir-hulu
dengan penerapan ‘user pays principle’ maupun ‘polluter pays principle’ atau
melalui payment environmet service (PES).

Kinerja DAS tidak hanya dipengaruhi oleh satu atau dua sektor tertentu,
tetapi paling tidak ketiga sektor pembangunan yang dianalisis memberikan
pengaruh secara bersamaan dengan intensitas yang cukup signifikan. Alokasi dana
pembangunan untuk kegiatan-kegiatan di sektor kehutanan cenderung mempunyai
pengaruh yang baik terhadap kinerja DAS. Demikian pula halnya investasi di
sektor sumber daya air. Di sisi lain, investasi di sektor pertanian dan perkebunan
cenderung memperburuk kondisi DAS, disebabkan beberapa kegiatan-kegiatan
pertanian dan perkebunan menambah pembukaan lahan. Kajian ini
merekomendasikan pengelolaan DAS terpadu, artinya bukan hanya
mengembangkan satu sektor sementara mengabaikan pengembangan sektor
lainnya. Pengelolaan DAS seharusnya melibatkan seluruh sektor dan kegiatan di
dalam sistem DAS. Bila tidak, maka kinerja DAS akan memperburuk yang pada
akhirnya akan menurunkan tingkat produksi sektor-sektor lain.

Daerah aliran sungai secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan


wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang
menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta
mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut
atau danau. Linsley (1995) menyebut DAS sebagai “A river of drainage basin in
the entire area drained by a stream or system of connecting streams such that all
stream flow originating in the area discharged through asingle outlet”. Menurut
IFPRI (2002) “A watershed is a geographic area that drains to a common point,
35

which makes it an attractive unit for technical efforts toconserve soil and
maximize the utilization of surface and subsurface water for cropproduction, and
a watershed is also an area with administrative and property regimes, and
farmers whose actions may affect each other’s interests”.

Definisi di atas, memperlihatkan bahwa DAS merupakan ekosistem, dengan


unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara
dinamis dan didalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material
dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk
pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan
sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan
produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari)
dengan upaya menekan kerusakan seminim mungkin agar distribusi air sungai
yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.

Pemahaman akan konsep daur hidrologi (Gambar 5) sangat diperlukan


terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya
didistribusikan melalui beberapa cara seperti diperlihatkan pada konsep daur
hidrologi air menjelaskan bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah
untuk kemudian terbagi menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi, yang
kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran.
36

Gambar 3. Daur hidrologi (Asdak, 2010)

Dalam mempelajari ekosistem air, dapat diklasifikasikan menjadi daerah


hulu, tengah dan hilir (Asdak 2010). DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah
konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu
mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu
setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah
hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material
terlarut dalam sistem aliran airnya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa ekosistem
DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS.
Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya
pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi perhatian mengingat dalam suatu DAS
bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.

2.2.2 Definisi Air Baku dan Air Bersih.


Menurut Peraturan Menteri PU Nomor 18/PRT/M/2007 Pasal 1 ayat (1) air
baku untuk air minum rumah tangga, yang selanjutanya disebut air baku adalah
air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan/atau air
hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum. Pasal
37

1 ayat (2) air minum adalah air minum rumah tangga yang melalui proses
pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan
dapat langsung diminum. Jadi istilah air minum adalah air minum rumah tangga
dan yang langsung dapat diminum.

Air bersih (clean water) adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-
hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila
telah dimasak. Air minum (drinking water) adalah air yang melalui proses
pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan
dapat langsung diminum (Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
492/MENKES/IV/2010).

Sistem penyediaan air minum (SPAM) adalah suatu kesatuan sistem fisik
(teknik) dan non-fisik dari sarana dan prasarana air minum. Badan Pendukung
Pengembangan SPAM yang selanjutnya disebut BPP SPAM adalah badan non
struktural yang dibentuk oleh, berada di bawah dan bertanggungjawab kepada
Menteri, serta bertugas mendukung dan memberikan bantuan dalam rangka
mencapai tujuan pengembangan SPAM guna memberikan manfaat yang
maksimal bagi negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat. (Peraturan Menteri
PU Nomor 18/PRT/M/2007).

Dalam penyelenggaraan SPAM diperlukan suatu kebijakan yang bersifat


strategis dan berskala nasional. Kebijakan dan Stategi Nasional Pengembangan
Sistem Penyediaan Air Minum (KSNP-SPAM), merupakan pedoman untuk
pengaturan, penyelenggaraan, dan pengembangan sistem penyediaan air minum,
baik bagi pemerintah pusat maupun daerah, dunia usaha, swasta dan masyarakat
(Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2006 tentang Kebijakan
dan Strategi Kebijakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (KSNP-
SPAM).

Penyelenggaraan pengembangan SPAM dilaksanakan secara terpadu


dengan pengembangan prasarana dan sarana sanitasi baik air limbah maupun
persampahan sejak dari penyiapan rencana induk pengembangan SPAM sampai
dengan operasi dan pemeliharaan sebagai salah satu upaya perlindungan dan
38

pelestarian air. Keterpaduan pengembangan dilaksanakan sekurang-kurangnya


pada tahap perencanaan. Keterpaduan pada tahap perencanaan paling tidak
mempertimbangkan: (a) untuk daerah dengan kualitas air tanah dangkal yang baik
serta tidak terdapat pelayanan SPAM dengan jaringan perpipaan, maka
pengelolaan sanitasi dilakukan dengan sistem sanitasi terpusat, (b) untuk
permukiman dengan kepadatan 300 orang/Ha atau lebih, di daerah dengan daya
dukung lingkungan yang rendah meskipun penyediaan air minum dilayani dengan
sistem perpipaan, pengelolaan sanitasi menggunakan sistem sanitasi terpusat.

2.2.3 Paradigma Baru dalam Pengelolaan SDA


Berkaitan dengan tuntutan kebutuhan yang makin meningkat atas
pemanfaatan air akibat peningkatan pembangunan dan kenaikan jumlah
penduduk, sementara di sisi lain tuntutan terhadap kelestarian lingkungan,
meningkatnya kelangkaan (scarcity) akan air, serta tuntutan keterlibatan
masyarakat, telah mengubah secara radikal pola pikir (paradigm) tentang
pengelolaan sumber daya air. Paradigma tersebut bergaung secara global sejak
International Conference on Water and the Environment di Dublin, Irlandia,
tahun 1992, dan United Nations Conference on Environment and Development di
Rio de Janeiro, Brazil, serta yang terakhir World Water Forum 2000 di The
Hague, Netherland.

Dalam konferensi di Dublin, diserukan perlunya pendekatan-pendekatan


baru dalam penilaian, pengembangan, dan pengelolaan sumber daya air (tawar),
serta merekomendasikan untuk aksi pada tingkat lokal, nasional, dan internasional
berdasarkan pada empat prinsip: (1) pengelolaan sumber daya air yang efektif
menuntut satu pendekatan yang holistik mengaitkan pembangunan sosial dan
ekonomi dengan perlindungan ekositem alam, termasuk keterkaitan tanah dan air
di seluruh daerah tangkapan; (2) pengembangan dan pengelolaan air harus
didasarkan pada satu pendekatan keikutsertaan yang melibatkan para pengguna,
perencana dan pembuat kebijakan pada semua tingkatan; (3) kaum wanita
memainkan peran sentral dalam menyediakan, mengelola, dan mengamankan air;
(4) air mempunyai nilai ekonomi dalam semua penggunaanya dan harus dikenal
sebagai barang ekonomi.
39

Konferensi di Rio de Janeiro menegaskan konsensus bahwa pengelolaan


sumber daya air perlu direformasi. Konferensi menyatakan bahwa “pengelolaan
menyeluruh (holistic) atas sumber daya air sebagai sumber daya yang terbatas dan
rentan, dan keterpaduan program dan perencanaan air secara sektoral di dalam
kerangka kerja ekonomi nasional dan kebijakan sosial adalah yang paling penting
untuk aksi dalam tahun 90an dan sesudahnya. Pengelolaan sumber daya air secara
terpadu didasarkan pada pemahaman bahwa air adalah bagian integral dari
ekosistem, satu sumber daya alam, bernilai sosial dan barang ekonomi.
Konferensi selanjutnya menekankan bahwa perwujudan dari keputusan
pengalokasian air melalui pengelolaan kebutuhan (demand mangement),
mekanisme harga, dan tindakan pengaturan.

World Water Forum (2000) menetapkan visi air dunia “making water
everybody’s business”, serta tujuh tantangan (challenges) bahwa untuk mencapai
keterjaminan air, yakni : i) memenuhi kebutuhan pokok penduduk; ii) menjamin
penyediaan pangan; iii) melindungi ekosistem; iv) membagi sumber daya air antar
wilayah berkaitan; v) menanggulangi resiko; vi) memberi nilai air; visi menguasai
air secara bijaksana. Dalam rangka menjawab tantangan tersebut disepakati: 1)
inovasi di bidang kelembagaan, teknologi, dan finansial, 2) pengelolaan sumber
daya air dan sumber daya lahan secara terpadu, yang mencakup perencanaan dan
pengelolaan sumber daya manusia, 3) kerjasama dan kemitraan di semua tingkat,
4) melaksanakan prinsip-prinsip yang telah disepakati berupa tindakan nyata
berdasarkan kemitraan semua pihak untuk mewujudkan keterjaminan air dengan
berbagai cara.

Di Indonesia, dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun


1999 yang diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, maka terjadi perubahan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya air,
dan dengan diilhami rekomendasi dari konferensi di atas, maka perlu reformasi
pengelolaan sumber daya air yang bertumpuh pada paradigma baru pengelolaan
sumber daya air seperti yang direkomendasikan pada konferensi di atas.

Paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya air dapat dirangkum sebagi
berikut :
40

• Pengelolaan yang terpadu (integrated), antar setiap jenis sumber daya air (air
hujan, air permukaan, dan air tanah), bukan terfragmentasi.
• Desentralisasi pengelolaan bukan sentralisasi (sesuai dengan amanat Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004), daerah kabupaten/kota berwenang mengelola
sumber daya nasional (sumber daya air termasuk dalam pengertian ini) yang
tersedia di wilayahnya.

• Peran pemerintah pusat dari regulator dan sekaligus operator yang sentralistik
menjadi hanya sebagai regulator, pembuat kebijakan, perencanaan nasional,
pembinaan, konservasi dan standarisasi nasional, dan menyerahkan
pelaksanaan kebijakan dan pengambilan keputusan pengelolaaan kepada
pemerintah daerah serta keterlibatan para stakeholders, akar rumput (grass
roots) di daerah, dan sektor swasta.

• Pengelolaan yang tidak hanya menitikberatkan pada pemanfaatan sumber


daya air, tetapi yang menjamin keberlanjutan (sustainability) ketersediaan
sumber daya air dalam ruang dan waktu tertentu, baik jumlah maupun
mutunya.
41

Tabel 1. Paradigma penyediaan air

Paradigma baru
No. Paradigma lama

1 Air dianggap sebagai barang milik Air merupakan barang bernilai ekonomi
umum
2 Penyediaan air adalah suatu kegiatan Penyediaan air adalah suatu kegiatan ekonomi
sosial
3 Pengambilan keputusan dipusatkan di Alokasi air adalah satu kegiatan yang
kantor-kantor pemerintah terdesentralisasi

4 Pergaturan penyediaan air yang bersifat Air merupakan satu instrumen ekonomi
administratif.

5 Alokasi air yang birokratis kepada Para pihak terkait dan masyarakat (stakeholders)
pengguna. ikut serta dalam mengalokasikan air
Satu instansi yang transparan pada tingkat
6 Pemekaran instansi untuk mengurus air nasional untuk pandangan menyeluruh.

7 Izin pemakaian air diberikan dalam Pemanfaatan saling menunjang (conjunctive


ketersekatan. use) antara air permukaan dan air tanah.

8 Struktur organisasi yang Pengurusan air sepenuhnya dapat


membingungkan dan tidak efisien. dipertanggungjawabkan ke masyarakat.

9 Pengembangan air untuk pengguna Pengembangan terpadu untuk penggunaan


tunggal saja. jamak.

10 Pengurusan air didasarkan atas Pengurusan air didasarkan atas satuan wilayah
pembagian negara menurut politik. sungai.

11 Pembagian air sarat subsidi dan sarat Pengguna harus membayar, dengan demikian
kucuran dari anggaran nasional memberikan dana kepada pemerintah untuk
keperluan yang lain.
Sumber: Kodoatie 2010
42

2.2.4 Konsepsi Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu


Pengelolaan SDA terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau
aspek-aspek yang menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal
sehingga terjadi sinergi positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam
menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang saling bertentangan yang
dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja
DAS secara keseluruhan. Seperti sudah dibahas dalam bab-bab terdahulu, suatu
SDA dapat dimanfaatkan bagi berbagai kepentingan pembangunan misalnya
untuk areal pertanian, perkebunan, perikanan, permukiman, pembangunan PLTA,
pemanfaatan hasil hutan kayu dan lain-lain. Semua kegiatan tersebut akhirnya
adalah untuk memenuhi kepentingan manusia khususnya peningkatan
kesejahteraan.

Namun demikian, yang harus diperhatikan adalah berbagai kegiatan tersebut


dapat mengakibatkan dampak lingkungan yang jika tidak ditangani dengan baik
akan menyebabkan penurunan tingkat produksi, baik produksi pada masing-
masing sektor maupun pada tingkat DAS. Berdasarkan hal itu, maka upaya
pengelolaan DAS yang baik harus mensinergikan kegiatan-kegiatan pembangunan
yang ada di dalam DAS sangat diperlukan bukan hanya untuk kepentingan
menjaga kemapuan produksi atau ekonomi semata, tetapi juga untuk
menghindarkan dari bencana alam yang dapat merugikan seperti banjir, longsor,
kekeringan dan lain-lain. Mengingat akan hal-hal tersebut di atas, dalam
menganalisa kinerja suatu DAS, tidak hanya melihat kinerja masing-masing
komponen/aktifitas pembangunan yang ada didalam DAS, misalnya mengukur
produksi/produktifitas sektor pertanian saja atau produksihasil hutan kayu saja,
harus melihat keseluruhan komponen yang ada, baik output yangbersifat positif
(produksi) maupun dampak negatif. Dalam kajian pengelolaan DAS terpadu,
selain dilakukan analisis yang bersifat kuantitatif, juga dilakukan analisis yang
bersifat kualitatif.

Dalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara menyeluruh dalam


pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai DAS
yang diartikan sebagai fungsi, yaitu
43

• DAS bagian hulu; fungsi konservasi yang dikelola untuk


mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegrasi, yang
antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan
DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan.
• DAS bagian tengah; fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola
untuk dapatmemberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi,
yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air,
kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah,
sertaterkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai,
waduk, dan danau.
• DAS bagian hilir; fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk
dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang
diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan
menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan
pertanian, airbersih, serta pengelolaan air limbah. Keberadaan sektor
kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjaga
keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di bagian
tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS tersebut di
bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan
air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Adanya rentang panjang
DAS yang begitu luas, baik secara administrasi maupun tata ruang,
dalam pengelolaan DAS memerlukan adanya koordinasi berbagai pihak
terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah secara baik.
Kondisi DAS dikatakan baik jika memenuhi beberapa kriteria :

1. Debit sungai konstan dari tahun ke tahun,


2. Kualitas air baik dari tahun ke tahun,
3. Fluktuasi debit antara debit maksimum dan minimum kecil.
4. Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun..
Pengelolaan sumber daya air mencakup kepentingan lintas wilayah sehingga
memerlukan koordinasi untuk menjaga fungsi dan manfaat air dan sumber air.
Sistem penyediaan air minum ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
pelaksanaan SPAM. Selain dijadikan sebagai pedoman dan evaluasi dalam
44

pelaksanaan SPAM, sistem ini juga berfungsi sebagai perencana, pengatur,


pengawas dan pengevaluasi agar pelaksanaan SPAM dapat berjalan sesuai dengan
yang telah direncanakan yaitu terciptanya pengelolaan dan pelayanan air minum
yang berkualitas dengan harga terjangkau, tercapainya kepentingan yang
seimbang antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan, dan meningkatnya
efisiensi dan cakupan pelayanan air minum.

PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air


Minum (SPAM) menyatakan bahwa penyediaan SPAM bukan lagi menjadi
monopoli pemerintah atau BUMN/ BUMD saja, tetapi dapat diselenggarakan oleh
koperasi, badan usaha swasta dan masyarakat. Hal ini berarti membuka peluang
bagi swasta untuk lebih efisien dalam menekan biaya sehingga harga jual menjad
lebih rendah. Tetapi, perlu di waspasai bahwa kegiatan eksploitasi air yang
berlebihan akan merusak ekosistem sehingga perlu dibuat suatu peraturan yang
bertujuan untuk tetap menjaga keseimbangan alam. Sistem Penyediaan Air Bersih

Keberadaan air di muka bumi, apakah itu yang berada di sungai, danau, laut
atau yang tersimpan sebagai air tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dan saling bergerak kontinu membentuk suatu siklus yang dikenal dengan istilah
siklus hidrologi. Pengunaan air akan berbeda dari satu wilayah dengan wilayah
lainnya, tergantung dari cuaca, ciri-ciri masalah lingkungan hidup, jumlah
penduduk, kondisi sosial ekonomi, jenis industri yang ada di wilayah tersebut
serta faktor-faktor lainnya.

Perkembangan suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh tersedianya sistem


prasarana dan sarana yang menunjang untuk segala aktifitasnya, baik dari segi
kualitas maupun kuantitasnya. Apabila sistem prasarana dan sarana yang ada tidak
cukup memadai maka perkembangan wilayah tersebut akan terhambat. Sistem
prasarana dan sarana air bersih merupakan salah satu hal yang paling penting
diperlukan untuk menunjang perkembangan suatu wilayah.

a. Gambaran Umum Sistem Penyediaan Air Bersih


Berdasarkan aspek kuantitas, sistem penyediaan air bersih harus mampu
melayani seluruh penduduk yang ada di wilayah tersebut terutama pada saat “jam
puncak”, dan aliran air harus bisa melayani penduduk secara terus terus menerus
45

(kontinu). Berdasarkan kualitasnya, air yang di distribusikan kepada penduduk


harus memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah baik dari aspek
fisik, kimia maupun mikrobiologi. Unsur-unsur yang membentuk suatu sistem
penyediaan air modern, akan meliputi:

1. Sumber-sumber penyediaan (sumber air baku).


2. Sarana penampungan.
3. Sarana penyaluran ke instalasi pengolahan.
4. Sarana pengolahan.
5. Sarana distribusi.

Dalam perencanaan sarana penyediaan air bagi masyarakat, jumlah dan mutu
air merupakan hal yang paling penting. Gambar 6 mengilustrasikan tentang
hubungan antara unsur-unsur fungsional dari suatu sistem penyediaan air bersih.

Gambar 4. Kaitan hubungan unsur-unsur fungsional dari sistem penyediaan air


bersih

Gambar 6 menunjukkan bahwa tidak setiap unsur fungsional tersebut akan


masuk dalam perencanaan sistem penyediaan air bersih. Sebagai contoh, apabila
kita memanfaatkan air tanah (ground water) sebagai sumber air baku, maka pada
perencanaan sistem penyediaan air bersih tidak memerlukan unsur penampungan
46

dan penyaluran. Apabila kita memanfaatkan air permukaan (surface water)


sebagai sumber air baku, maka unsur penampungan dan penyaluran sangat
diperlukan dalam perencanaan.

Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok dan merupakan barang
yang diklasifikasikan sebagai suatu kebutuhan, baik dimusim kemarau maupun
dimusim hujan. Di beberapa tempat, baik diperkotaan maupun diperdesaan,
pemenuhan kebutuhan air bersih merupakan masalah yang tidak mudah
penyelesaiannya. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan sumber air baku yang
terbatas dan kebutuhan yang tinngi, biaya serta teknologi pengolahan sebelum air
yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai kebutuhan “relatif mahal”.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan air untuk masyarakat, khususnya di


Ibukota DKI Jakarta, maka harus dilakukan kajian yang bersifat terus menerus
dan menyeluruh agar permasalahan kekurangan air tidak terjadi lagi di masa yang
akan datang. Salah satu kajian tersebut diantaranya adalah dengan mengkaji
potensi-potensi sumber air baku yang dapat dijadikan sebagai air bersih atau air
minum, baik air permukaan, air tanah dangkal, air tanah dalam dan mata air di
sejumlah daerah yang terdapat di wilayah DKI Jakarta maupun Bodetabek.

Permasalahan lain yang sering timbul dalam penanganan air bersih adalah
keterbatasan sumber daya, khususnya masalah pembiayaan/keuangan. Dalam
rangka menghasilkan air dengan kualitas yang layak, dan menghantarkannya
kepada konsumen maka tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk
konstruksi intake, sistem transmisi, pengolahan dan distribusi, juga untuk
operasional dan perawatan, apalagi jika air baku yang digunakan adalah air
permukaan. Masalah pembiayaan ini harus mendapat perhatian demi menjaga
kesinambungan sistem penyediaan air bersih.

Pengelolaan yang baik, berawal dari perencanaan yang baik, secara teknis,
keuangan, kelembagaan, dan sosial budaya. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu
dilakukan perencanaan dasar dan pedoman yang selanjutnya disusun dalam
bentuk rencana induk (masterplan) air bersih DKI Jakarta dengan harapkan dapat
menghasilkan butir-butir penting dalam pengelolaan air bersih di Jakarta.
47

Perkembangan yang pesat dalam pembangunan perumahan, industri, pertanian,


infrastruktur, dll, baik di daerah perkotaan (Jabodetabek) maupun perdesaan, serta
peningkatan jumlah penduduk, memberikan konsekuensi kepada peningkatan
pasokan air baku untuk kebutuhan air bersih. Pasokan air baku untuk kebutuhan
air bersih yang selama ini belum sepenuhnya tercukupi oleh air perpipaan dari
PAM, dengan meningkatnya kebutuhan tersebut, menambah beban di dalam
penyediaan pasokan air bersih.

Ketersediaan pasokan air untuk memasok suatu kebutuhan, merupakan


faktor paling penting yang menentukan berkembangnya suatu kawasan tertentu,
karena air adalah sumber kehidupan bagi penghuni maupun penunjang semua
aktivitas kawasan, sehingga ketersediaan pasokan air adalah mutlak. Namun di
sisi lain seperti disinggung di atas, pasokan air tersebut tidak atau belum dapat
mengandalkan sepenuhnya kepada jaringan PAM yang ada karena beberapa
keterbatasan.

Kondisi yang seperti ini memaksa para perencana pembangunan dan para
pengembang suatu kawasan untuk mencari sumber-sumber lain untuk penyediaan
pasokan air, salah satunya karena beberapa kelebihan yang dipunyai daripada
sumber air yang lain, adalah berasal dari air tanah. Namun apabila penggunaan
atau pemanfaatan sumber daya air tanah dilakukan secara berlebihan tanpa
mendasarkan pada potensi sumber daya air tanah itu sendiri akan menimbulkan
dampak negatif berupa degradasi jumlah dan mutu air tanah maupun terhadap
lingkungan sekitar. Oleh sebab itu diperlukan suatu perencanaan yang
menyeluruh, mempertimbangkan seluruh faktor yang berpengaruh, sebelum
pengembangan air tanah (groundwater development) dilaksanakan guna
memenuhi kebutuhan akan air bagi berbagai keperluan.

Ketersediaan air yang makin langka serta degradasi mutunya dewasa ini,
sementara disisi lain kebutuhan akan air yang selalu meningkat, memberikan
konsekuensi perlunya suatu perencanaan yang baik dan dapat dijalankan
(applicable). Perencanaan ini untuk menjamin bahwa sumber air yang makin
langka tersebut agar dapat dimanfaatkan seefisien dan seefektif mungkin serta
dapat memberikan kemanfaatan bagi masyarakat banyak, terutama kaum miskin.
48

Perencanaan yang memihak bagi kemanfaatan kaum miskin dan lemah, saat ini
sangat diperlukan untuk mengangkat harkat hidup kaum terpinggirkan. Kaum
miskin ini justru membelanjakan lebih banyak uang untuk mendapatkan air
dibanding mereka yang mampu yang dilayani oleh jaringan perpipaan. Laporan
Bank Dunia menyebutkan para kaum miskin perkotaan membelanjakan hampir
9% dari pendapatan mereka untuk air, sementara di Jakarta, kaum miskin kotanya
harus membayar $1,5 hingga $5,2 untuk 1 m3 air dari penjaja air, tergantung jarak
mereka tinggal dengan hidran umum (Anonymous, 1993). Gambaran tersebut
harus menjadi acuan dasar atau asas perencanaan kebutuhan air, yakni
kemanfaatan bagi masyarakat banyak. Perencanaan kebutuhan tersebut adalah
bagian yang integral dari pengelolaan sumber daya air (water resource
management), maka perencanaan tersebut juga harus sesuai dengan asas
pengelolaan sumber daya air.

Krisis ekonomi dan era reformasi memberikan konsekuensi perubahan


paradigma pengelolaan sumber daya air di Indonesia, yang tentu saja juga
memberikan pengaruh dalam perencanaan kebutuhan air. Intinya adalah, bahwa
saat ini perencanaan kebutuhan akan air dari sumber air tanah menjadi semakin
kompleks tidak hanya didasarkan atas hal-hal yang bersifat teknik, tetapi mungkin
justru yang paling penting adalah hal-hal yang bersifat sosial.

2.2.5 Alokasi Air Baku untuk Air Bersih


Sebagaimana dikemukakan pada bagian pendahuluan, selain masalah
ekstraksi optimal (khusunya untuk air bawah tanah), permasalahan yang dihadapi
dalam pengelolaan sumber daya air adalah alokasi dan distribusi air. Menurut
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 pasal 46 ayat (1) Pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai kewenangannya, mengatur dan menetapkan alokasi air
pada sumber air untuk pengusahaan sumber daya air oleh badan usaha atau
perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3). Selanjutnya pada
pasal 46 ayat (2) dinyatakan bahwa alokasi air untuk pengusahaan sumber daya
air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada rencana alokasi
air yang ditetapkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai
bersangkutan.
49

Alokasi air merupakan masalah ekonomi untuk menentukan bagaimana


suplai air yang tersedia harus dialokasikan kepada pengguna atau calon pengguna.
Penggunaan air sendiri pada dasarnya terbagi dalam dua kelompok yaitu Kelompok
konsumtif, yakni mereka yang memanfaatkan suplai air untuk konsumsi, dan kelompok
non-konsumtif. Kelompok konsumtif antara lain rumah tangga, industri, pertanian,
kehutanan. Kelompok ini memanfaatkan air melalui proses yang disebut diversi
(diversion), baik melalui transformasi, penguapan, penyerapan ke tanah, maupun
pendegradasian kualitas air secara langsung (pencemaran). Kelompok pengguna ini
memperlakukan sumber daya air sebagai sumber daya tidak terbarukan. Di sisi lain,
pengguna non-konsumtif memanfaatkan air hanya sebagai media seperti:

• Medium pertumbuhan ikan pada kasus perikanan.


• Sumber energi listrik pada pembangkit listrik tenaga air.
• Rekreasi (berenang, kayaking, dan sebagainya).
Kelompok pengguna ini memperlakukan sumber daya air sebagai sumber daya
terbarukan, dan pengelolaan sumber daya air tidak terlalu menimbulkan masalah
ekonomi mengingat suplai air tidak banyak dipengaruhi oleh pemanfaatannya,
namun jika tidak dikelola, pemanfaatan non-konsumtif ini pun akan menimbulkan
eksternalitas air itu kemudian dijadikan sebagai barang public. Berdasarkan hal
tersebu,t maka teknik non-market valuation lebih cocok digunakan untuk analisis ekonomi
sumber daya air untuk pemanfaatan non-konsumtif. Khusus yang menyangkut
penggunaan konsumtif, alokasi sumber daya air diarahkan dengan tujuan suplai air yang
terbatas tersebut dapat dialokasikan kepada pengguna, baik untuk generasi sekarang
maupun generasi mendatang, dengan biaya yang rendah. Berdasarkan hal tersebut
maka alokasi sumber daya air harus memenuhi kriteria efisiensi, equity dan
sustainability (keberlanjutan). Tabel 2 berikut menyajikan ketiga kriteria tersebut beserta
tujuan pengelolaannya.
50

Tabel 2. Kriteria alokasi sumber daya air

Kriteria Tujuan

Efisiensi • Biaya penyediaan air yang rendah - Penerimaan per unit


sumber daya air yang tinggi
• Mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
Equity • Akses air bersih untuk semua masyarakat

Sustainability • Menghindari terjadinya deplesi pada air bawah tanah


(groundwater depletion)
• Menyediakan cadangan air yang cukup untuk memelihara
ekosistem dan generasi mendatang
• Meminimalkan pencemaran air baku
Sumber: UU Nomor 7/2004 dan PP Nomor 16/2005. (diolah)

Selain kriteria di atas, Howe et al. (1986) menambahkan kriteria alokasi sumber
daya air antara lain:

• Fleksibilitas (flexibility) dalam penyediaan air sehingga sumber daya air dapat
digunakan pada periode waktu yang berbeda dan dari satu tempat ke tempat lainnya
sesuai dengan perubahan permintaan.
• Keterjaminan (security) bagi pengguna yang haknya sudah terkukuhkan
sehingga mereka dapat memanfaatkan air seefisien mungkin.
• Akseptabilitas ( acceptability) politik dan publik sehingga tujuan pengelolaan bisa
diterima oleh rnasyarakat.
Pada beberapa kriteria di atas, pengelolaan sumber daya air, khususnya yang
menyangkut alokasi, memang menjadi sangat kompleks. Secara umum ada beberapa
mekanisme alokasi yang umum digunakan, yakni queuing sistem, water pricing, alokasi
publik, dan user-based allocation. Menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air pasal 26 ayat (1) pendayagunaan sumber daya air dilakukan melalui
kegiatan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air
dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap
wilayah sungai. Selanjutnya pada pasal 34 ayat (1) pengembangan sumber daya air
51

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) pada wilayah sungai ditujukan untuk
kepentingan kemanfaatan fungsi sumber daya air guna memenuhi kebutuhan air baku
untuk kepentingan rumah tangga, pertanian, industri, pariwisata, pertambangan,
ketenagaan, perhubungan, dan untuk berbagai keperluan lainnya.

Kelemahan dalam manajemen penyediaan air selama ini lebih banyak


terletak pada sisi demand. Sehingga tidak jarang ditemui, seiring dengan
perkembangan dan waktu, akhirnya demand melebihi supply, yang
mengakibatkan ketidaktaatan hukum para pengguna air dan bermuara pada
degradasi sumber daya air dan lingkungan sekitar. Oleh sebab itu langkah awal
perencanaan adalah adanya informasi besaran kebutuhan akan air. Kebutuhan
akan air untuk suatu peruntukan tertentu sudah harus diketahui pada saat
perencanaan. Kebutuhan ini menyangkut jumlah dan mutu yang diinginkan sesuai
peruntukannya. Tingkat kebutuhan harus juga mencakup prediksi untuk jangka
waktu panjang (long term). Strategi Penyediaan Air Bersih

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2006, memiliki misi


untuk meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan air minum, meningkatkan
kemampuan manajemen dan kelembagaan penyelenggaraan SPAM dan penegakan
hukum dan meyiapkan peraturan. Dalam hal penegakkan hukum dan penyiapkan
peraturan untuk menyiapkan penyelenggaraan SPAM antara lain:
• Penyusunan peraturan perundangan yang terkait dengan penyediaan air minum
dan perlindungan air baku di pusat dan daerah.
• Pemerintah pusat menyiapkan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan fasilitasi dan pendampingan kepada daerah, termasuk petunjuk teknis
penyelenggaraan SPAM.
• Pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah dalam rangka
penyelenggaraan SPAM.
• Penegakan hukum diberlakukannya sanksi-sanksi bagi pelanggar peraturan
terkait dengan penyelenggaraan SPAM.
Sasaran global dari kebijakan dan strategi nasional pengembangan SPAM
mengacu pada sasaran yang telah terukur dalam RPJMN dan sasaran dalam
Pencapaian MDG 2015 serta beberapa sasaran terukur lainya. Selain itu juga
52

menuju sasaran yang normatif seperti tertuang dalam PP Nomor 16 Tahun 2005
tentang Pengembangan SPAM. Sasaran yang tertuang dalam RPJMN 2004-2009
dalam pengembangan air bersih adalah: meningkatkan pelayanan air bersih
melalui perpipaan secara nasional menjadi 40% dengan cakupan layanan untuk
penduduk di kawasan perkotaan dapat meningkat menjadi 66% dan kawasan
perdesaan menjadi 30%.
Pada kondisi pelayanan air bersih secara nasional pada tahun 2004 sebesar
17,96% atau 39 juta jiwa yang terlayani, maka perlu peningkatan sampai 22,04%
selama kurun waktu lima tahun pada tahun 2009 jumlah penduduk yang memiliki
akses air bersih perpipaan diprediksi sekitar 92,4 juta jiwa, atau sebesar 40% dari
total penduduk Indonesia (231 juta jiwa). Kebijakan nasional tentang air bersih
mentargetkan cakupan pelayanan air bersih untuk masyarakat perkotaan pada
tahaun 2010-2014 sebesar 66%. Sedangkan untuk masyarakat DKI Jakarta,
pemerintah mentargetkan cakupan pelayanan air bersih pada tahun 2014 sebesar
80%.
Kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam penyediaan air bersih oleh PAM
Jaya belum maksimal walau telah diprivatisasi dalam bentuk konsesi selama 25
tahun kepada perusahaan swasta dari Prancis dan Inggris (kemudian dibeli Jerman
dan pengusaha Indonesia). Berdasarkan data statistik dari BPS DKI Jakarta tahun
1998, sekitar 50% rumah tangga menggunakan air ledeng (PAM Jaya), air tanah
dengan pompa sebesar 42,67%, sumur gali 3,16% dan lainnya 0,63%. Sementara
tarif PAM sudah sangat tinggi, dengan rata-rata Rp. 5.000/ meter3, gedung
perkantoran, hotel berbintang dan pusat perbelanjaan (mall) melakukan ekstraksi
air tanah dengan volume yang tinggi. Akibatnya, air dalam tanah (deep water)
mengalami penurunan yang luar biasa. Sebagaimana dikemukakan ahli teknik
lingkungan dari Universitas Indonesia, terjadi penurunan tanah di Kawasan Jln.
MH. Thamrin hingga 10 cm per tahun (Nugroho, 2002).
Penambahan cakupan pelayanan untuk 53,4 juta jiwa dari total penduduk
Indonesia, bilamana digunakan tingkat konsumsi normal air rata-rata nasional
sebesar 120 lt/orang/hari untuk sambungan rumah dan 60 lt/hari untuk akses
hidran umum serta ratio SR dan HU adalah 80:20. Berdasarkan hal tersebut maka
53

diperlukan peningkatan kapasitas produksi perpipaan seperti yang dapat dilihat


pada Tabel 3.

Tabel 3. Perkiraan kebutuhan nasional kapasitas pengembangan SPAM


sampai 2009

Kebutuhan Kapasitas
Persentase Kehilangan
Jenis pelanggan air rata-rata tambahan
No
cakupan % air %
L/o/h m3/detik

Sambungan
1 80 120 20 71,2
langsung
Hidran umum 20 60 20 8,9
2
Total kapasitas 80,1

Sumber: Data dan perhitungan (diolah)

Beberapa kebijakan yang terkait dengan sumber daya air dan pengelolaan
air minum antara lain: UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, PP
Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM, Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional Pengembangan SPAM (KNSP-SPAM) dan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor18/PRT/M/2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan SPAM
(Dep PU Direktorat Jenderal Cipta Karya).

Pada masa penjajahan Belanda, sebenarnya sudah ada beberapa peraturan


perundang-undangan yang mengatur masalah lingkungan yang terbentuk dan
berkembang berdasarkan ajaran dan teori hukum pada jaman tersebut atau disebut
juga hukum lingkungan klasik. Beberapa pengaturan tersebut misalnya Undang-
undang Gangguan (hinder ordonnantie) 1926, Undang-undang Perlindungan
Binatang Liar (Dierenbeschermings Ordonnantie) 1931, Undang-undang
Perlindungan Alam (Natuurbeschermings Ordonnantie) 1941, Undang-undang
Pembentukkan Kota (Stadsvorming Ordonnantie) 1948. Undang-undang tersebut
dimaksudkan sebagai undang-undang payung (umbrella act) bagi undang-undang
lain yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Berbagai undang-
54

undang yang berkaitan dengan lingkungan hidup sejak lahirnya UU No 4 Tahun


1982 antara lain Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-undang Nomor 24
Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

Pada masa Proklamasi Kemerdekaan 1945 hingga tahun 1982, sudah ada
beberapa undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup.
Namun, berbagai undang-undang tersebut masih bersifat sektoral dan eksploitatif
atau used oriented law. Undang-undang tersebut misalnya Undang-undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-undang Nomor 5
Tahun 1967 tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Pertambangan, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.

Sejak tahun 1982, Indonesia mulai memasuki era baru hukum lingkungan
yang lebih bersifat environment oriented law dengan disahkannya Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang tersebut diakui telah menandai awal pengembangan perangkat
hukum sebagai dasar bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup Indonesia sebagai
bagian integral dari upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan .

Dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa sejak diberlakukannya


undang-undang tersebut, kesadaran lingkungan hidup masyarakat telah meningkat
dengan pesat, yang ditandai antara lain oleh makin banyaknya ragam organisasi
masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup selain lembaga swadaya
masyarakat. Pada kurun waktu tersebut terlihat pula adanya peningkatan
kepeloporan masyarakat dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga
masyarakat tidak hanya sekedar berperan serta, tetapi juga mampu berperan secara
nyata.

Pada perkembangan selanjutnya, disadari bahwa permasalahan hukum


lingkungan hidup yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat memerlukan
55

pengaturan dalam bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Di sisi lain,
perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional akan makin
mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan hidup Indonesia. Dalam
mempertimbangkan perkembangan keadaan tersebut, dipandang perlu untuk
menyempurnakan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, selanjutnya
lahir Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.

Pasca reformasi 1998 hingga saat ini (2008) yang ditandai dengan semangat
keterbukaan, demokrasi dan desentralisasi telah dilahirkan berbagai peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
alam. Undang-undang yang lahir pasca reformasi antara lain Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

2.2.6 Pasokan (supply) air baku


Suplai ditentukan oleh parameter alami (natural parameter), sehingga
potensi air di suatu daerah/lokasi sebagai sesuatu yang diterima seperti apa adanya
(given). Alam memberikan sumber daya air adalah sebesar kemampuan alam itu
sendiri. Oleh sebab itu dari sisi demand lah yang harus menyesuaikan kepada
kemampuan sisi supply. Dengan mengetahui hubungan kemampuan supply dan
demand pada tahap perencanaan, maka alternatif mengatasi kekurangan
kebutuhan (contingency) dapat diterapkan, misalnya dengan memenuhi
kekurangan kebutuhan dari jenis sumber daya air yang lain.

a. Pengkajian pasokan (supply)


Langkah berikutnya dari suatu perencanaan adalah mengkaji dari sisi
pasokan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan, baik dari jumlah dan mutu
pasokan, serta waktu ketersediaan. Dalam rangka mengetahui hal tersebut adalah
melakukan inventarisasi dan kajian atas seluruh data dan informasi yang telah
56

tersedia tentang aspek sumber daya air yang ada, yang menyangkut keterdapatan,
parameter hidrologi, pola pengaliran, jumlah serta mutu air.

Dalam hal data dan informasi tersebut tidak tersedia, maka perencanaan
harus mencakup tindakan membuat rencana tindak (action plan) kampanye survei
sumber daya air untuk mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data primer
agar informasi ketersediaan sumber daya air, baik jumlah dan mutu, wadahnya,
serta variable waktu ketersediaannya.

b. Asas keseimbangan

Asas keseimbangan artinya perencanaaan menjamin keseimbangan


keterdapatan (occurrence) antar jenis air, serta antara pemanfaatan sumber daya
air dengan alam dan lingkungannya. Sedangkan asas kelestarian; kelestarian
artinya perencanaan menjamin keberlanjutan ketersediaan sumber daya air, bagi
pemanfaatannya, baik jumlah maupun mutunya, dalam batasan ruang dan waktu
tertentu, tanpa menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.

Karakteristik penyediaan air bersih berbeda dengan penyediaan jasa publik


lainnya dilihat baik dari dimensi politik maupun ekonomi (LPEM UI, 2001).
Tabel 4 merupakan ringkasan karakteristik khusus pada sektor penyediaan air
bersih.

Tabel 4. Karakteristik khusus sektor air bersih

Isu Dimensi Ekonomi Dimensi Politik


Siapa yang menguasai
Struktur Horizontal Bersifat sektoral atau memiliki

Keinginan untuk
Tanggung Jawab Cakupan terbatas untuk mempertahankan
Penyediaan persaingan kepemilikan oleh negara

Karakter dan ideologi


Kebijakan Sosial Ekternalitas
(Pasal 33 UUD 45)
Sumber: LPMUI, 2010.
57

Pertama, dilihat dari struktur horizontalnya maka perusahaan air minum


bervariasi dari struktur yang paling sentralistik hingga struktur yang sangat
terdesentralistis. Di beberapa negara Amerika Latin dan Afrika seperti di Panama
pengelolaan air minum disentralisasikn pada tingkat pemerintah pusat melalui
Badan Usaha Milik Negara. Pada negara lainnya seperti yang terjadi di Indonesia
dan Chile, penyediaan air bersih merupakan tanggung jawab pemerintah daerah
tingkat dua. Desentralisasi penyediaan air bersih dimungkinkan mengingat
rendahnya unit value (harga) air bersih relatif dibandingkan dengan biaya
transportasinya. Penyediaan air bersih terintegrasi mulai dari produksi sampai
dengan distribusinya, seperti yang berlaku juga dalam jasa penyediaan listrik dan
komunikasi.

Kedua, karakteristik tekhnologi sektor air bersih cenderung menghasilkan


fragmentasi dari jaringan distribusi yang berimplikasi pada terbatasnya tingkat
kompetisi yang mungkin terjadi dalam penyediaan air bersih. Adanya fragmentasi
distribusi air bersih telah membatasi kemungkinan terbangunnya beberapa unit
pengolahan air bersih yang dapat dipaksa bersaing satu sama lainnya. Air bersih
bukanlah barang yang homogen, sehingga implementasi akses dari pihak ketiga
membutuhkan monitoring yang kuat untuk menjaga kualitas air yang akan
disalurkan melalui jaringan distribusi. Akibatnya peranan kompetisi dalam sektor
air bersih lebih berupa kompetisi kepada pasar (competition for the market)
daripada kompetisi dalam pasar (competition in the market). Implikasinya
deregulasi sektor air bersih tidak mungkin dilakukan secara total dan tetap
diperlukan intervensi pemerintah hingga tingkatan tertentu atau sekurang-
kurangnya pada tahapan regulasi.

Ketiga, air bersih merupakan kebutuhan pokok dan mangandung elemen


kebijakan sosial yang kuat. Hal ini berkaitan dengan adanya apa yang disebut
dalam teori ekonomi sebagai eksternalitas positif berupa benefit bagi kesehatan
dan eksternalitas negatif berupa penurunan kualitas lingkungan sebagai akibat
eksploitasi sumber daya air. Air adalah kebutuhan pokok yang merupakan basis
bagi kelangsungan hidup maka penyediaan air telah menjadi kegiatan ekonomi
yang sarat dengan isu politik. Oleh karena itu, maka pemutusan pelayanan air
58

bersih kepada pelanggan sulit dilakukan, karena karakteristik khusus ini,


seringkali terjadi konflik antara tujuan sosial dengan kelayakan komersial
penyediaan air bersih.

Upaya pemenuhan kebutuhan air oleh manusia dapat mengambil air dari
dalam tanah, air permukaan, atau langsung dari air hujan. Berdasarkan ke tiga
sumber air tersebut, air tanah yang paling banyak digunakan karena air tanah
memiliki beberapa kelebihan di banding sumber-sumber lainnya antara lain
karena kualitas airnya yang lebih baik serta pengaruh akibat pencemaran yang
relatif kecil. Air yang dipergunakan tidak selalu sesuai dengan syarat kesehatan,
karena sering ditemui air tersebut mengandung bibit ataupun zat-zat tertentu yang
dapat menimbulkan penyakit yang justru membahayakan kelangsungan hidup
manusia. Berdasarkan masalah di atas. Oleh karena itu maka perlu diketahui
kualitas air yang bisa digunakan untuk kebutuhan manusia tanpa menyebabkan
akibat buruk dari penggunaan air tersebut. Kebutuhan air bagi manusia harus
terpenuhi baik secara kualitas maupun kuantitasnya agar manusia mampu hidup
dan menjalankan segala kegiatan dalam kehidupannya.
Ditinjau dari segi kualitas (mutu) air secara langsung atau tidak langsung
pencemaran akan berpengaruh terhadap kualitas air. Sesuai dengan dasar
pertimbangan penetapan kualitas air minum, usaha pengelolaan terhadap air yang
digunakan oleh manusia sebagai air minum berpedoman pada standar kualitas air
terutama dalam penilaian terhadap produk air minum yang dihasilkannya, maupun
dalam merencanakan sistem dan proses yang akan dilakukan terhadap sumber
daya air (Razif, 2001).
Banyaknya pemakaian air tiap harinya untuk setiap rumah tangga berlainan.
Selain pemakaian air tiap harinya tidak tetap, banyak keperluan air bagi tiap orang
atau setiap rumah tangga yang masih tergantung dari beberapa factor. Faktor-
faktor tersebut diantaranya adalah pemakaian air di daerah panas akan lebih
banyak dari pada di daerah dingin, kebiasaan hidup dalam rumah tangga misalnya
ingin rumah dalam keadaan bersih selalu dengan mengepel lantai dan menyiram
halaman, keadaan sosial rumah tangga semakin mampu atau semakin tinggi
tingkat sosial kehidupannya semakin banyak menggunakan air serta pemakaian
air dimusim panas akan lebih banyak dari pada dimusim hujan.
59

Sumber air merupakan salah satu komponen utama yang ada pada suatu
sistem penyediaan air bersih, karena tanpa sumber air maka suatu sistem
penyediaan air bersih tidak akan berfungsi (Sutrisno, 2000). Macam-macam
sumber air yang dapat di manfaatkan sebagai sumber air bersih sebagai berikut :
1. Air laut
Mempunyai sifat asin, karena mengandung garam NaCl. Kadar garam NaCl
dalam air laut 3% dengan keadaan ini maka air laut tidak memenuhi syarat
untuk diminum. Untuk itu perlu dilakukan proses pemisahan garam NaCl
yang disebut dengan proses desalinasi.
2. Air atmosfer (air hujan)
Untuk menjadikan air hujan sebagai air minum hendaknya menampung air
hujan pada waktu air hujan mulai turun, karena masih mengandung banyak
kotoran. Selain itu air hujan mempunyai sifat agresif terutama terhadap pipa-
pipa penyalur maupun bak-bak reservoir, sehingga hal ini akan mempercepat
terjadinya korosi atau karatan. Juga air ini mempunyai sifat lunak, sehingga
akan boros terhadap pemakaian sabun.
3. Air permukaan
Adalah air hujan yang mengalir di permukaan bumi. Pada umumnya air
permukaan ini akan mendapat kotoran selama pengalirannya, misalnya oleh
lumpur, batang-batang kayu, daun-daun, kotoran industri dan lainnya. Air
permukaan ada dua macam yaitu air sungai dan air rawa. Air sungai
digunakan sebagai air minum, seharusnya melalui pengolahan yang
sempurna, mengingat bahwa air sungai ini pada umumnya mempunyai derajat
limbah yang tinggi. Debit yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan akan air
minum pada umumnya dapat mencukupi. Air rawa kebanyakan berwarna
disebabkan oleh adanya zat-zat organik yang telah membusuk, yang
menyebabkan warna kuning coklat, sehingga untuk pengambilan air
sebaiknya dilakukan pada kedalaman tertentu di tengah-tengahnya.
4. Air tanah
Air tanah adalah air yang berada di bawah permukaan tanah didalam zona
jenuh dimana tekanan hidrostatiknya sama atau lebih besar dari tekanan
atmosfer (Suyono,1993).
60

5. Mata air
Mata air adalah air tanah yang keluar dengan sendirinya ke permukaan tanah
dalam hampir tidak terpengaruh oleh musim dan kualitas atau kuantitasnya
sama dengan air dalam.

Sistem penyediaan air bersih meliputi besarnya komponen pokok antara


lain: unit sumber air baku, unit pengolahan, unit produksi, unit transmisi, unit
distribusi dan unit konsumsi, yaitu (1) Unit sumber air baku merupakan awal dari
sistem penyediaan air bersih yang mana pada unit ini sebagai penyediaan air baku
yang bisa diambil dari air tanah, air permukaan, air hujan yang jumlahnya sesuai
dengan yang diperlukan. (2) Unit pengolahan air memegang peranan penting
dalam upaya memenuhi kualitas air bersih, dengan pengolahan fisika, kimia, dan
bakteriologi, kualitas air baku yang semula belum memenuhi syarat kesehatan
akan berubah menjadi air bersih yang aman bagi manusia. (3) Unit produksi
adalah salah satu dari sistem penyediaan air bersih yang menentukan jumlah
produksi air bersih atau air minum yang layak didistribusikan ke beberapa tandon
atau reservoir dengan sistem pengaliran gravitasi atau pompanisasi. (4). Unit
produksi merupakan unit bangunan yang mengolah jenis-jenis sumber air menjadi
air bersih.
Adapun beberapa sumber air yang dapat diolah untuk mendapatkan air
bersih, yaitu sumur dangkal/dalam dan pengolahan tidak lengkap, hanya
pengolahan Fe, Mn, dan pembubuhan desinfektan, sungai pengolahan lengkap
bila kekeruhannya tinggi >50 NTU (nephelometric turbidity unit). Pengolahan
tidak lengkap, bila kekeruhan < 50 NTU, unit transmisi berfungsi sebagai
pengantar air yang diproduksi menuju ke beberapa tandon atau reservoir melalui
jaringan pipa (Linsay, 1995).

2.2.7 Kebutuhan (demand)


Bagi manusia kebutuhan akan air sangat mutlak karena sebenarnya zat
pembentuk tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air yang jumlahnya sekitar
73% dari bagian tubuh. Air di dalam tubuh manusia berfungsi sebagai pengangkut
dan pelarut bahan-bahan makanan yang penting bagi tubuh. Sehingga untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya manusia berupaya mendapatkan air
61

yang cukup bagi dirinya (Suharyono, 1996). Dalam menjalankan fungsi


kehidupan sehari-hari manusia amat tergantung pada air, karena air dipergunakan
pula untuk mencuci, membersihkan peralatan, mandi, dan lain sebagainya.
Manfaat lain dari air berupa pembangkit tenaga, irigasi, alat transportasi, dan lain
sebagainya. Semakin maju tingkat kebudayaan masyarakat maka penggunaan air
makin meningkat. Kebutuhan air yang paling utama bagi manusia adalah air
minum. Menurut ilmu kesehatan setiap orang memerlukan air minum, dan
manusia dapat hidup 2-3 minggu tanpa makan tetapi hanya dapat bertahan 2-3
hari tanpa air minum (Suripin, 2002).

Menurut Dyah (2000), kebutuhan air terbesar dibagi berdasarkan sektor


kegitan dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu: satu, kebutuhan
domestik; dua, irigasi pertanian; dan tiga, industri. Kebutuhan air lainnya yang
terbesar adalah untuk keperluan irigasi pertanian dalam rangka memenuhi
kebutuhan pangan yang terus menerus meningkat sejalan dengan pertambahan
penduduk di Indonesia. Menurut Kodoatie dan Sjrief (2008), Kebutuhan air yang
dimaksud adalah kebutuhan air yang digunakan untuk menunjang segala kegiatan
manusia, segala kegiatan manusia, meliputi air bersih domestik dan non domestik,
air irigasi baik pertanian maupun perikanan, dan air untuk penggelontoran kota.
Air bersih digunakan untuk memenuhi kebutuhan:

a. Kebutuhan air domestik: keperluan rumah tangga.


b. Kebutuhan air non domestik: untuk industri, pariwisata, tempat ibadah,
tempat sosial, serta tempat-tempat komersial atau tempat umum lainnya.
Kebutuhan air domestik sangagt ditentukan oleh jumlah penduduk, dan
konsumsi perkapita. Kecenderungan populasi dan sejarah populasi dipakai
sebagai dasar perhitungan kebutuhan air domestik terutama penentuan
kecenderungan laju pertumbuhan penduduk (Growth Rate Trends). Estimasi
populasi untuk masa datang merupakan salah satu parameter utama dalam
penentuan kebutuhan air domestik. Laju pertumbuhan juga menjadi parameter
yang dipakai untuk analisis, Kodoatie dan Sjarief, (2008). Sedangkan untuk
penentuan penyambungan di masa yang akan datang maka laju penyambungan
yang ada saat ini dapat dipakai sebagai dasar analisis. Daerah perkotaan atau semi
62

perkotaan dan daerah rural perlu dianalisis mengingat karakteristik kebutuhan


airnya di tiga daerah tersebut berbeda.

Menurut Sanim (2011), untuk menentukan perkiraan tingkat kebutuhan


air nasional ada dua hal yang perlu dilakukan yaitu melakukan proyeksi jumlah
penduduk dan kebutuhan pangan. Berdasarkan hasil proyeksi jumlah penduduk
dikalikan dengan kebutuhan per kapita dapat diperoleh besarnya kebutuhan air
domestik. Kebutuhan air untuk rumahtangga dan perkotaan mancakup kebutuhan
rumahtangga sehari-hari, pemadam kebakaran, penggunaan komersial, hotel dan
industri rumah tangga. Kebutuhan air bervariasi tergantung besarnya kota, ciri
penduduk, tingkat ekonomi, iklim dan biaya pemasokan air. Di perkotaan
kebutuhan air bersih terus meningkat, setara dengan semakin meningkatnya
urbanisasi ke kota. Sebagai contoh, dalam tahun 1970 apabila diasumsikan
kebutuhan orang akan air bersih di kota sebesar 150 liter per orang per hari, maka
dibutuhkan air bersih sebesar 17.884.500 m3 per hari dan pada tahun 1990 naik
menjadi 26.879.180 m3 per hari atau 9.810.900.700 m3/tahun.

Sedangkan menurut Kodoatie dkk (2001), pada tahun 1990 kebutuhan air
untuk domestik di Indonesia adalah sebesar 3.169.000.000 m3, sedangkan angka
proyeksi untuk tahun 2000 dan 2015 berturut-turut sebesar 6.114.000.000 m3 dan
8.903.000.000 m3. Berarti terjadi proesentase kenaikan berkisar antara 10%
(1990-2000) dan 6,67% tahun (2000-2015), Kebutuhan air terbesar di Indonesia
terjadi di pulau Jawa dan Sumatra karena kedua pulau ini mempunyai jumlah
penduduk dan industri yang cukup besar.

Kebutuhan air antara masyarakat perkotaan dengan masyarakat pedesaan


berbeda, baik dari segi kualitas dan kuantitasnya maupun peruntukannya. Selain
itu tidak semua kebutuhan manusia akan air dapat dipenuhi dengan baik,
terkadang terdapat gap antara kebutuhan dengan ketersediaan air, baik kualitas
maupun kuantitas. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri terdapat pengertian mengenai air
bersih yaitu air yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari dan kualitasnya
memenuhi persyaratan kesehatan air bersih sesuai dengan peraturan perundang-
63

undangan yang berlaku dan dapat diminum apabila dimasak (Santoso, 2010).
Kebutuhan air bersih meliputi kebutuhan rumah tangga baik kelas
sederhana maupun mewah, industri kecil maupun besar, niaga besar maupun
kecil, instansi pemerintah dan sosial lainnya. Mengenai kebutuhan air dalam
rumah tangga, dapat dibedakan menurut sosialnya. Kebutuhan terhadap air untuk
keperluan sehari-hari di lingkungan rumah tangga ternyata berbeda-beda di setiap
tempat, setiap tingkatan kehidupan atau setiap bangsa dan negara. Semakin tinggi
taraf kehidupan seseorang semakin meningkat pula kebutuhan manusia akan air.
Menurut Saeni (1989) kebutuhan air pada negara berkembang rata-rata tiap orang
per hari 12 liter, di Indonesia rata-rata 40 liter, pada suku primitive 5 liter,
sedangkan di negara maju yakni Inggris 150 liter dan Amerika Serikat 250 liter.
PAM Jaya menggunakan patokan sekitar 150 liter perhari, sedangkan PAM
Bogor menggunakan patokan kebutuhan air bersih per orang antara 80 liter s.d.
100 liter per hari. Menurut Wardana (1999), keperluan air bersih orang di
Indonesia yang tinggal di kota setiap orang per hari adalah 150 liter. Departemen
Pekerjaan Umum Cq Direktorat Jenderal Cipta Karya memberikan angka
perkiraan kebutuhan air bersih per orang adalah 150 liter per hari per orang pada
tahun 2010.
Ditinjau dari jumlah atau kuantitas air yang dibutuhkan manusia, kebutuhan
dasar air bersih adalah jumlah air bersih minimal yang perlu disediakan agar
manusia dapat hidup secara layak yaitu dapat memperoleh air yang diperlukan
untuk melakukan aktivitas dasar sehari-hari (Sunjaya dalam Karsidi, 1999).
Selanjutnya dikatakan bahwa ditinjau dari segi kuantitasnya, kebutuhan air rumah
tangga adalah:
1. Kebutuhan air untuk minum dan mengolah makanan 5 liter/orang per hari.
2. Kebutuhan air untuk higien yaitu untuk mandi dan membersihkan dirinya 25-
30 liter/orang per hari.
3. Kebutuhan air untuk mencuci pakaian dan peralatan 25 – 30 liter /orang per
hari.
4. Kebutuhan air untuk menunjang pengoperasian dan pemeliharaan fasilitas
sanitasi atau pembuangan kotoran 4-6 liter/ orang per hari, sehingga total
pemakaian air perorang adalah 60-70 liter/ hari di kota (Santoso, 2010).
64

Salah satu faktor yang menjadi bahan pertimbangan penggunaan air untuk
rumah tangga adalah derajat kebersihan air dari kotoran, bakteri dan bahan
pencemar lainnya. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
907/MENKES/SK/VII/2002 digunakan istilah air minum. Pengertian air minum
di sini adalah air yang melaui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan
yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Syarat-syarat
kesehatan mencakup persyaratan bakteriologis, kimia, radioaktif dan fisik.
Air bersih digunakan untuk keperluan rumah tangga dan untuk produksi
bahan makanan dan minumam yang langsung disajikan kepada masyarakat. Air
bersih dapat didistribusikan melalui jaringan perpipaan, tangki air maupun
kemasan. Syarat kualitas yang ditentukan untuk air minum sangat ketat, karena
penggunaan air minum berkenaan langsung dengan kehidupan manusia,
khususnya kesehatan. Namum demikian dalam kriteria baku mutu air minum
terdapat ketentuan kadar maksimum yang diperbolehkan. Hal ini memperlihatkan
toleransi penggunaan air yang masih aman terhadap kesehatan.
Secara fisik syarat air minum tidak boleh berwarna, berbau, dan berasa serta
tidak keruh. Secara kimia air minum tidak boleh mengandung unsur kimia yang
berbahaya, seperti air raksa (Hg) yang dapat menimbulkan penyakit minamata.
Berdasarkan kuantitas yang mengutip standar penggunaan air minum WHO,
bahwa kebutuhan air minum yang harus dipenuhi agar dapat mencapai syarat
kesehatan adalah sebesar 86,4 liter per hari per kapita. Kementerian Kesehatan
mensyaratkan kebutuhan air per orang per hari sebesar 60 liter per hari per kapita,
baik untuk mandi, mencuci, minum, maupun keperluan lainnya.

Berdasarkan catatan Direktorat Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan


Umum, kebutuhan air baku untuk DKI Jakarta (2009), sebanyak 12.380 lt/dt
dengan jumlah penduduk 9.260.680 dengan tingkat layanan 66%. Menurut
standar IWA, setiap orang membutuhkan air 190 liter/ hari. Menurut Badan
Regulator Pelayanan Air Minum, tahun 2010, jumlah penduduk DKI Jakarta,
sebanyak 11.437 juta jiwa dan membutuhkan air bersih sekitar 2,099 miliar liter
per hari atau 24.300 liter/ detik. Berdasarkan data Badan Regulator Pelayanan Air
Minum DKI Jakarta, produksi air bersih tahun 2009, hanya menapai 19.328 liter
per detik, sehingga pada tahun 2009 saja sudah mengalami defisit air bersih 4.972
65

liter per detik. Suplai air baku dari Saluran Tarum Barat sebesar 16,1 m3/ detik.
Defisit air bersih tersebut mendorong masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air
bersih dengan menfaaatkan air tanah dangkal dan air tanah dalam. Berdasarkan
pengakuan warga Rawamangun, Jakarta Timur, di daerah itu airnya tidak layak
untuk dikonsumsi. Bahkan tidak layak lagi digunakan untuk mandi karena
berminyak, berwarna coklat dan licin. Menurut warga Kelurahan Tomang, Jakarta
Barat mengaku lebih baik menggunakan air dari PAM dari pada air tanah, karena
air tanah di daerah tersebut tidak bisa digunakan lagi untuk kebutuhan sehari-hari
apalagi untuk diminum.

Air bersih dibutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan manusia untuk


melakukan segala kegiatan mereka, sehingga perlu diketahui bagaimana air
dikatakan bersih dari segi kualitas dan bisa digunakan dalam jumlah yang
memadai dalam kegiatan sehari-hari manusia. Ditinjau dari segi kualitas, ada
bebarapa persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya kualitas fisik yang terdiri
atas bau, warna dan rasa, kulitas kimia yang terdiri atas pH, kesadahan, dan
sebagainya serta kualitas air ditinjau dari aspek biologi yakni air terbebas dari
mikroorganisme penyebab penyakit. Agar kelangsungan hidup manusia dapat
berjalan lancar, air bersih juga harus tersedia dalam jumlah yang memadai sesuai
dengan aktifitas manusia pada tempat tertentu dan kurun waktu tertentu.
Air sebagai materi esensial dalam kehidupan tampak dari kebutuhan
terhadap air untuk keperluan sehari-hari di lingkungan rumah tangga ternyata
berbeda-beda di setiap tempat, setiap tingkatan kehidupan atau setiap bangsa dan
negara. Semakin tinggi taraf kehidupan seseorang semakin meningkat pula
kebutuhan manusia akan air. Jumlah penduduk dunia setiap hari bertambah,
sehingga mengakibatkan peningkatan jumlah kebutuhan air (Surawiria,1996).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja
Perkantoran dan Industri terdapat pengertian mengenai air bersih. Air bersih yang
dimaksudkan di sini adalah air yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari dan
kualitasnya memenuhi persyaratan kesehatan air bersih sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan dapat diminum apabila dimasak.
Pendekatan umum kebutuhan air dapat dijelaskan dalam Gambar 7 berikut:
66

Kondisi Saat Ini: Rencana Tata Ruang Wilayah:

1. Jumlah Penduduk 1. Alokasi daerah permukiman


2. Penyebaran Penduduk 2. Alokasi daerah perindustrian
3. Laju Pertumbuhan Penduduk 3. Alokasi daerah pariwisata/agrowisata
4. Konsumsi Air 4. Alokasi daerah pertanian
5. Kebutuhan Air 5. Alokasi daerah konservasi air, dll
6. Kondisi Pertanian
7. Kondisi Perindustrian, dll
Proyeksi Kebutuhan Air:
1. Domestik
2. Non-domestik: Industri, pariwisata, dll
3. Pertanian, dll
• Dependable flow DAS untuk sumber
air permukaan
• Safe yield untuk sumber air tanah Analisis neraca air

Potensi kelebihan air

Kajian infrastruktur keairan yang diperlukan untuk


pendayagunaan sumber daya air

Gambar 5. Salah satu contoh pendekatan umum analisis kebutuhan air


(Kodoati 2008)

Dengan mengetahui tingkat kebutuhan awal (initial) hingga waktu


terprediksi, maka dapat dilakukan analisis hubungan antara sisi supply dan
demand. Dalam manajemen penyediaan air yang berwawasan pada pemakaian air
yang berkelanjutan, maka dalam tahap perencanaan ini sudah harus ditetapkan
bahwa demand harus sama atau lebih kecil dari supply (demand ≤ supply).

Menurut Ditjen Cipta Kayar, Kementrian Pekerjaan Umum (2010) rata-rata


kebutuhan air Indonesia adalah 150 liter/ kapita, meliputi 30 liter untuk keperluan
mandi, 15 liter untuk keperluan minum, dan sisanya untuk keperluan lainnya. Jika
penduduk Jakarta 8,5 juta jiwa maka total konsumsi air bersih menjadi sekitar
1.275.000.000 liter/ harinya atau 1.275.000 m3/ hari. Ketersediaan air di Indonesia
mencapai 15.000m3 per kapita per tahun, sedangkan cadangan air di Indonesia
hanya mampu memenuhi 1.700 m3 per hari. Angka ini tergolong kecil jika
dibandingkan dengan rata-rata cadangan air dunia, yaitu di atas 2.000 m3 per
orang per hari. Biswas (1997) mengemukakan bahwa Kanada dengan jumlah
penduduk 29,1 juta jiwa pada tahun 1994 mempunyai angka ketersediaan air
tertinggi yakni 9.969 m3 per kapita.
67

Ketersediaan air baku saat ini mengalami permasalahan baik penurunan


kuantitas air baku maupun kualitas air baku. Beberapa isu strategis dan
permasalahan dalam hal air baku antara lain; kapasitas daya dukung air baku
diberbagai lokasi semakin tertabas akibat pengelolaan daerah tangkapan yang
kurang baik, kualitas sumber air baku semakin menurun akibat meningkatnya
aktivitas dan kegiatan masyarakat dan industri tidak disertai dengan perlindungan
terhadap lingkungan. Selain itu adanya peraturan perizinan penggunaan air baku
di beberapa daerah yang tidak selaras dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga
pemakaian air baku lintas wilayah sering kali menimbulkan konflik dan belum
mantapnya alokasi penggunaan air baku sehingga menimbulkan konflik
kepentingan di tingkat pengguna (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
20\PRT\M\2006, tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum).

2.2.8 Distribusi dan kebocoran


Setelah air baku diolah pada instalasi pengolahan air (IPA) atau Water
Treatment Plant (WTP), selanjutnya air didistribusikan melalui pipa distribusi.
Fungsi WTP adalah untuk mengolah air baku dari sungai atau sumber lainnya
menjadi air bersih yang layak untuk didistribusikan kepada pelanggan. Bangunan
pengolahan air diperlukan untuk mengubah air baku menjadi air bersih.
Selanjutnya air dialirkan ke bak penyaringan, bahan yang dipakai untuk
menyaring air biasanya ijuk, pasir dan kerikil (sering juga ditambahkan arang).
Air bersih selanjutnya dialirkan ke penampungan air bersih dan perlu juga
ditambahkan larutan kapur (CaOH) untuk pengontrol keasaman air yang biasanya
8 pH. Air yang mempunyai pH rendah akan bersifat asam dan mempunyai sifat
korosif untuk pipa-pipa pengaliran. Sebaliknya air dengan pH yang tinggi juga
kurang baik karena bila digunakan untuk mencuci dengan sabun busanya hanya
sedikit (Kodoatie dan Sjarief, 2008).

2.2.8.1 Distribusi

Terdapat dua sistem penyediaan air minum yakni sistem perpipaan dan
non perpipaan. Sistem non perpipaan atau bukan jaringan perpipaan adalah suatu
sistem penyediaan air minum yang sistem distribusinya tidak melalui jaringan
68

perpipaan dan unit pelayanannya menggunakan hidran umum, terminal air, dan
tangki. Umumnya sarana air minum non perpipaan merupakan sarana komunal
yang dapat digunakan secara bersama-sama, dan tidak perlu ditangani secara
khusus pengelolaannya (Tri Joko, 2009).

Sedangkan sistem jaringan perpipaan adalah suatu sistem penyediaan air


minum yang sistem distribusinya melalui perpipaan dan unit pelayanannya
menggunakan sambungan rumah/sambungan halaman dan hidran umum.
Pelayanan dengan sistem perpipaan merupakan distribusi air minum yang
memerlukan pengelolaan dalam pengoperasiannya. Pemen PU Nomor 18 tahun
2007, Pasal 17 menyatakan pengoperasian sarana SPAM melalui jaringan
perpipaan bertujuan untuk menjalankan, mengamati dan menghentikan unit-unit
agar berjalan secara berkesinambungan pada keseluruhan dan/atau sebagai unit
meliputi; a. Unit air baku; b. Unit produksi; c. Unit distribusi; d. Unit pelayanan.

Pasal 38 ayat (3) pengoperasian unit distribusi sebagaimana dimaksud


Pasal 37 huruf c meliputi ketentuan sebagai berikut:

a. Tujuan pengoperasian unit distribusi adalah untuk mengalirkan air hasil


pengolahan ke seluruh jaringan distribusi sampai di semua unit pelayanan,
sehingga standar pelayanan berupa kuantitas, kualitas dan kontinuitas yang
dikehendaki dapat tercapai.
b. Kegiatan pengoperasian meliputi kegiatan persiapan sebelum pengoperasian,
pelaksanaan operasi serta pemantauan unit distribusi.

Menurut Tri Joko (2009), sistem distribusi air minum terdiri dari atas
perpipaan, katup-katup, dan pompa yang membawa air yang telah diolah dari
instalasi pengolahan menuju pemukiman, perkantoran dan industri yang
mengkonsumsi air. Juga termasuk dalam sistem ini adalah fasilitas penampung air
yang telah diolah (reservoir distribusi), yang digunakan saat kebutuhan air lebih
besar dari suplai instalasi, meter air untuk menentukan banyak air yang
digunakan, dan keran kebakaran.
69

Jaringan pipa dibagi menjadi dua yaitu jaringan pipa transmisi dan jaringan
pipa distribusi. Jaringan pipa transmisi sebagai penghubung dari tampungan air
bersih ke jaringan pipa distribusi. Kerusakan jaringan transmisi dan
sambungannya disebabkan oleh umur pipa yang terlalu tua, tekanan air yang
terlalu besar, beban berat di atas jaringan, kondisi jalan yang ramai, kondisi tanah
yang labil dan lain-lain. Jaringan pipa distribusi merupakan jaringan pipa yang
langsung tersambung kepada pelanggan. Dalam pengoperasiannya, tekanan air
yang mengalir melalui pipa distribusi diatur sesuai dengan konsumsi pelanggan.

Pendistribusian air dapat dilakukan melalui pipa distribusi antara lain:

1. Pipa primer, tidak diperkenankan untuk dilakukan tapping.


2. Pipa sekunder, diperkenankan tapping untuk keperluan tertentu, seperti: fire
hidran, bandara, pelabuhan dan lain-lain.
3. Pipa tersier, diperkenankan tapping untuk kepentingan pendistribusian air ke
masyarakat melalui pipa kuarter.

2.2.8.2 Kebocoran Air


Definisi kebocoran air menurut Kodoatie dan Sjarief (2008), adalah
perbedaan jumlah air yang diproduksi oleh produsen air dan jumlah air yang
terjual kepada konsumen sesuai yang tercatat di meter-meter air pelanggan. Jadi
jumlah air yang dikategorikan bocor jumlah air yang tidak tecatat terutama yang
disebabkan oleh kebocoran air dan adanya meter air tanpa registrasi, termasuk air
yang digunakan untuk pemadam kebakaran, pencuci jalan, pembilas pipa/saluran,
dan pelayanan air tanpa meter air serta karena kesalahan pembacaan mter air, dan
sambungan liar. Kebocoran air terjadi dari sumber air sampai kepada pemakaian.

Kebocoran atau kehilangan air dapat dibedakan menjadi dua yaitu;


kebocoran air baku atau kehilangan air dan kebocoran air bersih.

1. Kebocoran air baku atau kehilangan air.


Kebocoran air baku atau kehilangan air dari sumber air baku sampai
WTP disebabkan oleh bermacam-macam antara lain: pencurian air, bocor di
sistem infrastruktur pengairan, dialihkan untuk kegiatan lain, sumber berkurang
70

karena terjadi alih fungsi lahan di DAS dan CAT, dan degradasi lingkungan.
Keberlanjutan sumber air baku sangat tergantung dari pengelolaan sumber daya
air baik di DAS maupun di CAT. Secara umum kapasitas sumber air baku baik air
permukaan maupun air tanah cenderung turun (Kodoatie dan Sjarief, 2008).
Keberlanjutan suplai baku sampai ke WTP, kuantitas air tergantung banyak pihak,
banyak faktor dan banyak aspek, untuk itu diperlukan suatu kerjasama lintas
wilayah secara terpadu, multi sektor dan multi dimensi.

2. Kebocoran air bersih.


Kebocoran air pada sistem suplai air bersih mulai dari WTP sampai
pemakai dibedakan menjadi dua, yaitu (PERPAMSI dkk., 1990 dengan elaborasi
dan modifikasi, dalam Kodoatie dan Sjarief, 2008):

• Kebocoran Fisik: kehilangan air secara fisik disebabkan oleh berbagai hal,
seperti bocornya sumber air akibat kerusakan bangunannya, kebocoran
pipa baik di transmisi maupun di distribusi, di saluran terbuka karena
kerusakan dinding atau dasar saluran, air dalam reservoir yang melimpas
keluar, penguapan, pemadam kebakaran, pencuci jalan, pembilas
pipa/saluran, dan pelayanan air tanpa meter air kadang-kadang terjadi
sambungan yang tidak tercatat.
• Kebocoran Administrasi: Jumlah air yang bocor secara administrasi
terutama disebabkan meter air tanpa registrasi, juga termasuk kesalahan di
dalam sistem pembacaan, jumlah air yang diambil tidak sesuai dengan
peruntukkannya, pengumpulan dan pembuatan rekening begitu juga kasus-
kasus (kolusi, korupsi, dan nepotisme) yang berpengaruh baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap kebocoran air.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa 70% lembaga yang mengelola air minum
(PAM) termasuk dalam kategori tidak sehat. Hal ini dapat dilihat dari adanya
kebocoran air secara nasional mencapai 30 s.d 40% bahkan kebocoran air di DKI
Jakarta dalam kurun waktu 2003 sampai dengan 2008 mencapai angka 45% s.d.
50%. Pada tahun 2003 produksi air bersih PAM Jaya sebesar 497.662.644m3
sedangkan air yang terjual sebesar 274.102.317 terjadi kehilangan air sebesar
44,92%. Pada tahun 2008 produksi air PAM Jaya sebesar 517.964.539m3, air
71

terjual sebesar 258.940.000m3, kehilangan air sebesar 50,01%. Kehilangan air


yang disebabkan oleh kebocoran, ketidaktepatan pencatatan meteran, pencurian
air dan lain-lain dalam terminologi air bersih biasanya disebut dengan kebocoran.
Kebocoran ini berakibat pada tingginya harga air bersih dan sekaligus
mengindikasikan bahwa pengelolaan air bersih tidak efisien. Sehingga perlu
dilakukan evaluasi agar bisnis ini dapat berjalan dengan sehat dengan tetap
memperhatikan harga yang terjangkau dan keseimbangan dengan lingkungan.

2.3 Pengelolaan Sumber daya Air Lintas Wilayah Berbasis Otonomi

Untuk memenuhi kebutuhan air yang terus meningkat diperlukan suatu


pengelolaan sumber daya air terpadu. Beberapa program dan kebijakan telah
dikeluarkan oleh pemerintah, termasuk kebijakan pengelolaan air lintas wilayah
yang dituangkan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2004 pasal 14 huruf e dan
f serta pasal 15 hruf e . Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan PP 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Pengelolaan air bersih terkait dengan pengelolaan sumber daya air secara
menyeluruh merupakan persoalan yang melibatkan berbagai sektor dan berbagai
kepentingan.

Pada era otonomi daerah diperlukan koordinasi dan kerjasama antar daerah
yang dilandasi dengan kesatuan Negara RI, kerjasama tersebut terutama terkait
dengan pengelolaan air bersih. Pengelolaan air bersih dan pengelolaan dan
pemanfaatan DAS yang mengalir tanpa mengenal batas wilayah administrasi
diperlukan suatu kerangka kerjasama yang jelas siapa berbuat apa dan konsep
pendanaan yang jelas pula. Keterlibatan berbagai sektor dan instansi pemerintah
dalam pengelolaan air dapat terlihat pada Gambar 8.
72

Dep. Pekerjaan Sumber Daya Irigasi


umum Air Permukaan
- Sungai
- Waduk Air Minum
Dep. Energi dan - Danau
Sumber Daya Mineral - Dll
Kebutuhan
Pertanian
Dep. Kehutanan
Sumber Daya Air Baku
Air Tanah
Depdagri: - Dangkal
‐ Pusat - Dalam (akuifer) PLTA
‐ Provinsi
‐ Kab/ Kota
Eksploitasi
Lahan
(Perubahan)
Sumber Daya untuk PAD
‐ Masyarakat Lahan:
‐ Swasta - Hutan
- Sawah
Industri/Pabr
- Perkebunan
- Daerah industri
Dan Lain-Lain - Dll Dan Lain-

Akibat semua merasa berhak (mengelola, memakai, mengeksploitasi) maka


tanpa keterpaduan terjadi degradasi sumber daya air baik secara kuantitas
maupun kualitas

Gambar 6. Pemanfaatan SDA oleh stakeholders untuk berbagai keperluan


(Sumber Kodoatie:2009 )

Hampir semua instansi terlibat dalam pengelolaan air, namun masih bersifat
sektoral dan kurang terpadu. Instansi yang terlibat langsung dan tidak langsung
dalam pengelolaan sumber daya ari misalnya Kementrian Pekerjaan Umum,
Kementrian ESDM, Kementrian Keuangan, Bappenas, Kementrian Kehutanan,
Kemendagri, Pemda, PDAM, PJT, Dewan Sumber Daya Air, Komisi Irigasi dan
berbagai LSM lainnya. Adapun peran masing-masing dalam pengelolaan sumber
daya air dibahas pada bab selanjutnya. Dalam pelaksanaan perannya diperlukan
keterpaduan antar instansi antar stakeholder antar daerah. Keterpaduan antar
komponen dalam pengelolaan sumber daya air dapat terlihat pada Gambar 9.
73

a. Kebijakan (Policy)
1. Penyiapan Kebijakan Sumber Daya Air Nasional
A. Enabling Environment 2. Kebijakan Yang Terkait Dengan Sumber Daya Air
3. Visi dan Misi Pengembangan Sumber Daya Air
b. Kerangka Kerja Legislatif
1. Reformasi Peraturan Yang Ada
2. Peraturan Tentang Sumber Daya Air
3. Peraturan Untuk Kualitas dan Kuantitas Air
4. Penegakan Hukum (Law Enforcement)
c. Finansial
1. Pengertian Biaya dan Manfaat/Pendapatan
2. Kebijakan-Kebijakan Investasi
3. Pengembalian Biaya dan Kebijakan-Kebijakan Denda
4. Penilaian Investasi (Investment Appraisal)
a. Penciptaan Kerangka Kerja Organisasi
1. Organisasi Lintas Batas Untuk Pengelolaan Sumber Daya Air
2. Dewan Air Nasional (National Apex Bodies)
B. Peran2 Institusi & Pelaku

3. Organisasi Daerah Aliran Sungai (River Basin-Organisations)


4. Badan Pengatur dan Agen Penegak
5. Penyedia Pelayanan (Service Providers)
b. Peran Publik dan Swasta
1. Reformasi Institusional Sektor Publik
2. Institusi Masyarakat Umum dan Organisasi Komunitas
3. Wewenang Lokal (Local authorities)
4. Peran Sektor Swasta
c. Pengembangan Sumber Daya Manusia (Institutional Capacity Building)
1. Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu pada Profesi
Keairan
2. Kapasitas Pengaturan
3. Berbagi (Alih) Ilmu Pengetahuan
Gambar 7. Komponen-komponen PSDA terpadu (GWP,2001)

2.4 Pengelolaan Kualitas Air

Masalah utama yang dihadapi oleh sumber daya air meliputi kuantitas
yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus menerus meningkat
dan kualitas air untuk kebutuhan domestik terus menurun. Jadi masalah air minum
saat ini selain masalah kuantitas pasokan air baku juga masalah kualitas air baku.
Kualitas air baku menentukan kualitas air bersih maupun air minum yang
diproduksi oleh pengelola. Padahal selain kuantitas, untuk air minum yang perlu
diperhatikan adalah masalah kualitas agar masyarakat dapat mengkomsumsi air
yang layak untuk minum.
74

Kualitas air menyangkut kualitas fisik, kualitas kimia, dan kualitas biologi.
Kualitas fisik meliputi kekeruhan, temperatur, warna, bau dan rasa. Kualitas kimia
berhubungan dengan ion-ion senyawa ataupun logam dan residu dari senyawa
lainnya yang bersifat racun. Senyawa-senyawa tersebut terdeteksi dari bau, rasa,
dan warna air yang sudah berubah. Kualitas biologi berkaitan dengan kehadiran
mikroba pathogen, pencemar, dan penghasil toksin. Lembaga yang melakukan
pemantauan terhadap kualitas air adalah Badan Pengendali Lingkungan Hidup
(BPLH).

2.4.1 Kualitas Air

Air Baku merupakan bahan baku bagi perusahan air minum untuk diproses
menjadi air minum. Bahan baku ini merupakan masukan utama dan sekaligus
sebagai keluaran utama. Perbedaan air sebagai bahan baku dan air bersih terletak
pada kandungan unsur-unsur fisik, kimia, radio aktif dan bakteriologi. Menurut
Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran, Pasal 8 ayat (1) Klasifikasi mutu air ditetapkan
menjadi 4 (empat) kelas, air kelas satu, air kelas dua, air kelas tiga dan air kelas
empat.

Air merupakan sumber daya yang unik, yaitu selalu berada pada daur
hidrologi. Ketersedian air berada pada sirkulasi yang berlangsung terus menerus
(Hadioetomo, 1981) dan merupakan sumber daya alam yang dapat diperbarui
karena secara terus menerus dipulihkan melalui daur hidrologi (Salim, 1987). Air
yang dapat digunakan untuk bahan baku adalah air yang berada pada tahap
kembali ke bumi sebagai air permukaan, air tanah dan air hujan.

Mutu air sungai di kota-kota besar di Indonesia pada umumnya tidak


memenuhi persyaratan air bersih dari segi fisik, kimia maupun bakteriologi,
sungai sebagai sumber air baku juga menghadapi problem kualitas air yang
rendah. Hal ini mengakibatkan biaya untuk mengolah air baku menjadi air bersih
bertambah menjadi dua kali lipat (PAM Kotamadya Surabaya, 2004).

Air tanah, seperti air dari mata air dan sumur artesis, pada umumnya cukup
baik untuk digunakan sebagai sumber air baku. Kualitas air tanah relatif konstan
75

dan kualitasnya sering sudah memenuhi syarat baku mutu air bersih. Namun
demikian, kadang-kadang air tanah mengandung gas-gas terlarut seperti CO2
agresif, CH4, dan H2S serta Fe, Mn dan kesadahannya tinggi.

Berdasarkan hasil pemantauan BPLHD di lima wilayah DKI Jakarta tahun


2004 menunjukkan air sungai dan air tanah memiliki kandungan pencemar
organik dan anorganik yang tinggi, sehingga air sungai dan air tanah di DKI
Jakarta tidak sesuai lagi dengan baku mutu peruntukkannya yaitu air minum,
perikanan, pertanian dan sebagainya. Pemantauan BPLHD DKI Jakarta Tahun
2004 di 66 lokasi yang tersebar di 13 sungai menunjukkan seluruh lokasi tersebut
tidak layak dijadikan sumber air minum. Penelitian lebih lanjut mengungkapkan
bagian hulu Sungai Ciliwung yang biasa digunakan sebagai air baku air minum
PAM Jaya, telah mengandung kadar BOD rata-rata 8,97 mg/L dan COD dengan
kadar rata-rata 35,22 mg/L. Padahal baku mutu BOD 10 mg/L dan COD 20 mg/L
(Nurhayati, 2004).

2.4.2. Persyaratan Kualitas Air

Beberapa indikator dari kualitas air adalah konsentrasi dari oksigen yang
digunakan untuk menghancurkan bahan organik, permintaan oksigen untuk
keperluan penguraian secara biologi (BOD), dan bakteri fecal coliform.
Kebanyakan binatang dan tumbuhan air yang hidup di dalam kolam air
membutuhkan oksigen untuk pernapasan secara aerobic. Pada suatu temperatur
yang khas dari 20o C (68oF) dan tekanan udara normal, konsentrasi yang
maksimum dari oksigen yang dimanfaatkan adalah 9 ppm (parts per million) atau
tiap juta bagian-bagian dari air.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 492/MENKES/PER/IV/2010,


tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, Pasal 1 ayat (1) air minum adalah air
yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi
syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Pasal 3 ayat (1) Air minum aman
bagi kesehatan apabila memenuhi persyaratan fisika, mikrobiologis, kimiawi dan
radioaktif yang dimuat dalam parameter wajib dan parameter tambahan. Pasal 3
ayat (2) parameter wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
76

persyaratan kualitas air minum yang wajib diikuti dan ditaati oleh seluruh
penyelenggara air minum. Pengawasan kualitas air bertujuan untuk mencegah
penurunan kualitas dan penggunaan air yang dapat mengganggu dan
membahayakan kesehatan.

Studi identifikasi terhadap bahan-kimia buatan organik yang dapat


menyebabkan gagal ginjal, cacat kelahiran, dan berbagai jenis kanker di dalam
laboratorium penguji. Kebanyakan bahan kimia dipisahkan secara langsung atau
secara kebetulan ke dalam sistem penyediaan air permukaan atau ke dalam air
bawah tanah yang digunakan sebagai sumber air minum. Studi identifikasi
terhadap bahan-kimia tersebut, mungkin disebabkan oleh reaksi bahan-kimia
antara unsur-unsur yang ada di dalam badan air atau bahan-bahan yang digunakan
untuk membasmi kuman air. Sebagai contoh, trihalomethane campuran yang
berpotensi berbahaya, seperti cloroform (CHCI3), mengingat khlor yang
digunakan oleh bakteri pemangsa di dalam air minum bercampur dengan bahan
organik alami di dalam air yang terbuang atau dengan bahan-kimia buatan
organik lain yang dibuang ke sungai.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2001 tentang


Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran, Pasal 8 membagi
klasifikasi mutu air menjadi empat kelas yaitu kelas satu, kelas dua, kelas tiga,
kelas empat (telah dijelaskan pada bab terdahulu). Penetapan kelas air
sebagaimana dalam pasal 8 ayat (1) diajukan berdasarkan pada hasil pengkajian
yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, dan atau pemerintah
kabupaten/ kota berdasarkan wewenangnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Penetapan kelas air sebagaimana pasal 8 adalah: (a)
sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah provinsi dan atau lintas
batas negara ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (b), sumber air yang berada
dalam satu atau lebih wilayah kabupaten/kota dapat diatur dengan peraturan
daerah propinsi. (c) sumber air yang berada dalam wilayah kabupaten/ kota
ditetapakan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.
77

2.4.2.1 Persayaratan Fisika

Air yang berkualitas harus memenuhi persyaratan fisika sebagai berikut:


• Jernih atau tidak keruh
Air yang keruh disebabkan oleh adanya butiran-butiran koloid dari tanah liat.
Semakin banyak kandungan koloid maka air semakin keruh. Menurut
Permenkes No. 492 tahun 2010, kadar kekeruan maksimum yang
diperbolehkan adalah 5 NTU.

• Tidak berwarna
Air untuk keperluan rumah tangga harus jernih. Air yang berwarna berarti
mengandung bahan-bahan lain yang berbahaya bagi kesehatan. Tri Joko
(2010) mengatakan air ditemukan berwarna dan berbau, maka harus dicek
penyebab timbulnya wanda dan bau. Untuk menjamin kualitas air tersebut
dapat digunakan sumber air, harus dilakukan uji bakteriologis di laboratorium.

• Rasanya tawar
Secara fisika, air bisa dirasakan oleh lidah. Air yang terasa asam, manis, pahit
atau asin menunjukan air tersebut tidak baik. Rasa asin disebabkan adanya
garam-garam tertentu yang larut dalam air, sedangkan rasa asam diakibatkan
adanya asam organik maupun asam anorganik. Menurut Tri Joko (2010), test
rasa air jika air payau atau asin, maka cek hasil laboratorium terhadap
kandungan khlorida. Jika hasil laboratorium tidak ada, lihat nilai daya hantar
listrik. Jika nilai daya hantar listrik menunjukkan lebih dari 1500 micro S/cm,
maka ada salinitas, air tidak dapat dipergunakan sebagai sumber air minum.

• Tidak berbau
Air yang baik memiliki ciri tidak berbau bila dicium dari jauh maupun dari
dekat. Air yang berbau busuk mengandung bahan organik yang sedang
mengalami dekomposisi (penguraian) oleh mikroorganisme air.

• Temperaturnya normal
Suhu air sebaiknya sejuk atau tidak panas terutama agar tidak terjadi pelarutan
zat kimia yang ada pada saluran/pipa, yang dapat membahayakan kesehatan
78

dan menghambat pertumbuhan mikro organisme. Suhu maksimum yang


diperkenankan adalah ± 3 C (Permenkes Nomor 492 Tahun 2010).

• Tidak mengandung zat padatan


Air mengandung zat padatan yang terapung di dalam air. Padatan total (residu)
adalah bahan yang tersisa setelah air sampel mengalami evaporasi dan
pengeringan pada suhu tertentu (APHA, 1976). Residu dianggap sebagai
kandungan total bahan terlarut dan tersuspensi dalam air. Selama penentuan
residu ini, sebagian besar bikarbonat yang merupakan anion utama di perairan
telah mengalami transformasi menjadi karbondioksida, sehingga
karbondioksida dan gas-gas lain yang menghilang pada saat pemanasan tidak
tercakup dalam nilai padatan total (Boyd, 1988). Padatan tersuspensi total
(Total Suspended Solid atau TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter >
1 µm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 µm.
TTS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama
disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawah ke badan air
(Effendi, 2003). Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid atau TDS) adalah
bahan-bahan terlarut (diameter , 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm-10-3
mm) yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan–bahan lain, yang tidak
tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45 µm (Rao, 1992). Air laut
memiliki nilai TDS yang tinggi karena banyak mengandung senyawa kimia,
yang juga mengakibatkan tingginya nilai salinitas dan daya hantar listrik
(Effendi, 2003).

2.4.2.2 Persyaratan Kimia

Kandungan zat atau mineral yang bermanfaat dan tidak mengandung zat
beracun.
• pH (derajat keasaman)
Penting dalam proses penjernihan air karena keasaman air pada umumnya
disebabkan gas oksida yang larut dalam air terutama karbondioksida.
Pengaruh yang menyangkut aspek kesehatan dari pada penyimpangan standar
kualitas air minum dalam hal pH yang lebih kecil 6,5 dan lebih besar dari 9,2
79

akan tetapi dapat menyebabkan beberapa senyawa kimia berubah menjadi


racun yang sangat mengganggu kesehatan.

• Kesadahan
Kesadahan ada dua macam yaitu kesadahan sementara dan kesadahan
nonkarbonat (permanen). Kesadahan sementara akibat keberadaan Kalsium
dan Magnesium bikarbonat yang dihilangkan dengan memanaskan air hingga
mendidih atau menambahkan kapur dalam air. Kesadahan nonkarbonat
(permanen) disebabkan oleh sulfat dan karbonat, chlorida dan nitrat dari
magnesium dan kalsium disamping besi dan alumunium. Konsentrasi kalsium
dalam air minum yang lebih rendah dari 75 mg/l dapat menyebabkan penyakit
tulang rapuh, sedangkan konsentrasi yang lebih tinggi dari 200 mg/l dapat
menyebabkan korosifitas pada pipa-pipa air. Dalam jumlah yang lebih kecil
magnesium dibutuhkan oleh tubuh untuk pertumbuhan tulang, akan tetapi
dalam jumlah yang lebih besar 150 mg/l dapat menyebabkan rasa mual.
• Besi
Air yang mengandung banyak besi akan berwarna kuning dan menyebabkan
rasa logam besi dalam air, serta menimbulkan korosi pada bahan yang terbuat
dari metal. Besi merupakan salah satu unsur yang merupakan hasil pelapukan
batuan induk yang banyak ditemukan diperairan umum. Batas maksimal yang
terkandung didalam air adalah 1,0 mg/l.
• Aluminium
Batas maksimal aluminium yang boleh terkandung di dalam air menurut
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2001 yaitu 0,2 mg/l. Air yang
mengandung banyak aluminium menyebabkan rasa yang tidak enak apabila
dikonsumsi.
• Zat organik
Larutan zat organik yang bersifat kompleks ini dapat berupa unsur hara
makanan maupun sumber energi lainnya bagi flora dan fauna yang hidup di
perairan
• Sulfat
80

Kandungan sulfat yang berlebihan dalam air dapat mengakibatkan kerak air
yang keras pada alat merebus air (panci /ketel) selain mengakibatkan bau dan
korosi pada pipa. Hal ini sering dihubungkan dengan penanganan dan
pengolahan air bekas.
• Nitrat dan nitrit
Pencemaran air dari nitrat dan nitrit bersumber dari tanah dan tanaman. Nitrat
dapat terjadi baik dari NO2 atmosfer maupun dari pupuk-pupuk yang
digunakan dan dari oksidasi NO2 oleh bakteri dari kelompok nitrobacteri.
Jumlah nitrat yang lebih besar dalam usus cenderung untuk berubah menjadi
Nitrit yang dapat bereaksi langsung dengan hemoglobine dalam darah
membentuk methaemoglobine yang dapat menghalangi perjalanan oksigen di
dalam tubuh. Adeyemo et al. (2008), Hassan et al. (2008), dan Nwankwoala
et al. (2009), hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa kadar nitrat pada
musim hujan lebih tinggi dari musim kemarau, karena air hujan dapat
membilas deposit nitrat yang terdapat pada permukaan tanah, namun kadar
nitrat juga dapat menurun secara drastis jika terjadi musim hujan
berkepanjangan. tingginya kadar nitrat pada musim hujan mungkin juga
disebabkan meningkatnya kadar DO, sebaliknya penurunan kadar nitrat pada
musim kemarau mungkin akibat penyerapan oleh fitoplankton (Hassan et al.
2008).

Menurut Adeyemo et al. (2003), kandungan fosfat dan nitrat yang tinggi
dalam perairan dapat menyebabkan eutrofokasi yakni meningkatkan
pertumbuhan alga dan menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air.
Senyawa fosfat di perairan dapat berasal dari sumber alami (seperti erosi
tanah, buangan dari hewan, dan lapukan tumbuhan) dan dari limbah industri,
limbah pertanian, dan limbah domestik. Sedangkan Adedokun et al. (2008),
yang menyatakan bahwa keberadaan ion posfat dalam air sungai disebabkan
oleh pelepasan limbah pertanian ke dalam sungai dan atau penggunaan aditif
posfat dalam formulasi deterjen (Na5P3O10) yang masuk ke dalam badan air
melalui produksi limbah cair industri, domestik/perkotaan dan atau dari
industri pakaian dan pencelupan warna.
81

• Chlorida
Dalam konsentrasi yang layak, tidak berbahaya bagi manusia. Chlorida dalam
jumlah kecil dibutuhkan untuk desinfektan namun apabila berlebihan dan
berinteraksi dengan ion Na+ dapat menyebabkan rasa asin dan korosi pada
pipa air.
• Zink atau Zn
Batas maksimal zink yang terkandung dalam air adalah 15 mg/l.
penyimpangan terhadap standar kualitas ini menimbulkan rasa pahit, sepet,
dan rasa mual. Dalam jumlah kecil, zink merupakan unsur yang penting untuk
metabolisme, karena kekurangan zink dapat menyebabkan hambatan pada
pertumbuhan anak.
• COD (chemical oxygen demand)
COD yaitu suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh
bahan oksidan misalnya kalium dikromat untuk mengoksidasi bahan-bahan
Porganik yang terdapat dalam air (Nurdijanto, 2000). Kandungan COD dalam
air bersih berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran, baku mutu
air Kelas I, nilai COD sebesar 10 mg/l.

• BOD (biochemical oxygen demand)


Adalah jumlah zat terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk
memecah bahan–bahan buangan di dalam air (Nurdijanto, 2000). Nilai BOD
tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya tetapi hanya
mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan. Penggunaan
oksigen yang rendah menunjukkan kemungkinan air jernih, mikroorganisme
tidak tertarik menggunakan bahan organik, makin rendah BOD maka kualitas
air tersebut semakin baik. Kandungan BOD dalam air Kelas I menurut
Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001, nilai BOD maksimum
yang dianjurkan adalah 2 mg/l. Adanya bahan-bahan tersebut di dalam air
dapat menyebabkan efek langsung maupun tidak langsung terhadap
kesehatan, bahkan dpat mengakibatkan munculnya penyakit. Namun
demikian dalam hal dampaknya terhadap munculnya penyakit, penyakit
tersebut hanya dapat menyebar apabila mikroorganisme penyebabnya dapat
82

masuk ke dalam air yang dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhan


sehari-hari.

2.4.2.3 Persyaratan Mikrobiologis

Persyaratan mikrobiologis yang harus dipenuhi oleh air minum adalah


sebagai berikut:
• Tidak mengandung bakteri patogen, misalnya: bakteri golongan Coli, Sp;
Salmonella typhi, Vibrio cholera dan lain-lain. Kuman-kuman ini mudah
tersebar melalui air.
• Tidak mengandung bakteri non patogen seperti: Actinomycetes,
Phytoplankton coliform, Cladocera dan lain-lain (Sujudi,1995).
Menurut Permenkes Nomor 492 Tahun 2010, parameter mikrobilogis yang
berhubungan langsung dengan kesehatan adalah E.Coli dengan kadar maksimum
yang diperbolehkan adalah 0 per 100 ml sampel dan total bakteri koliform adalah
0 per 100 ml sampel.

Tabel 5. Persyaratan kualitas air minum secara bakteriologis


Kadar
Parameter Satuan maksimum yang Keterangan
diperbolehkan
1 2 3 4
1. Air Minum

E. coli atau Fecal coli Jumlah per 100 ml sampel


0

1. Air yang masuk system


distribusi
E. coli atau Fecal coli Jumlah per 100 ml sampel 0

Total Bakteri Coliform Jumlah per 100 ml sampel


0

2. Air pada sistem


distribusi
E. coli atau Fecal coli Jumlah per 100 ml sampel 0

Total Bakteri Coliform Jumlah per 100 ml sampel 0


Sumber : Permenkes Nomor 492 Tahun 2010.
83

Kualitas air yang digunakan masyarakat harus memenuhi syarat kesehatan


agar dapat terhindar dari berbagai penyakit maupun gangguan kesehatan yang
dapat disebabkan oleh air. Untuk mengetahui kualitas air tersebut, perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium yang mencakup antara lain pemeriksaan bakteriologi
air, meliputi most probable number (MPN) dan angka kuman. Pemeriksaan
MPN dilakukan untuk pemeriksaan kualitas air minum, air bersih, air pemandian
umum, air kolam renang dan pemeriksaan angka kuman pada air PAM. Khusus
untuk air minum, disyaratkan tidak mengandung bakteri patogen, misalnya bakteri
golongan E. coli, Salmonella typhi, Vibrio cholera. Kuman-kuman ini mudah
tersebar melalui air (Transmitted by water) dan tidak mengandung bakteri non-
patogen, seperti Actinomycetes dan Cladocera (Soewarno, 2002).

Selain persyaratan fisika, kimiawi dan bakteriologis, persyaratan air


minum juga mencantumkan persyaratan radioaktivitas. Persyaratan radioaktivitas
membatasi kadar maksimum aktivitas alfa dan beta yang diperbolehkan terdapat
dalam air minum. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 492/MENKES/PER/PER/IV/2010, tentang Persyaratan Kualitas Air
Minum, kadar maksimum yang diperbolehkan radioaktivitas adalah sebesar 0,1
Bq/l untuk Gross alpha activity dan 1 Bq/l untuk Gross beta activity.

2.4.2.4 Pengaruh air tercemar terhadap manusia


Air yang tercemar atau tidak memenuhi persyaratan baik kimia, fisika
maupun persyaratan biologis dapat menganggu kesehatan masyarakat. Air yang
sudah tercemar bahan kimia tertentu dalam air dapat membahayakan secara
langsung maupun tidak langsung bagi konsumen. Konsentrasi tinggi senyawa
nitrat yang terdapat dalam air minum, dapat menyebabkan methemoglobinemia
(terutama pada bayi) yang menghalangi penyerapan oksigen oleh darah dari paru-
paru (Jackson & Jackson, 1998). Logam air raksa (Hg) yang menumpuk di tubuh
kerang, udang dan ikan akan menyebabkan gangguan saraf yang tidak dapat
diperbaiki lagi pada manusia yang mengkonsumsi makanan laut. Kadar
aluminium yang tinggi dapat menyebabkan gangguan sel saraf (neuron), misalnya
penyakit Alzheimer.
84

Menurut Khitatuddin (2003), logam berat lain seperti timah hitam/timbal


yang terdapat dalam air yang dikonsumsi dapat menyebabkan kerusakan ginjal,
sistem reproduksi (idiot bagi keturunan), hati, otak, dll. Sementara, kadmium
menyebabkan naiknya tekanan darah, kerusakan ginjal, kerusakan jaringan testes,
dan penghancuran sel darah merah. Menurut satu kajian Bank Dunia pada tahun
1995, air yang terkontaminasi merupakan penyebab langsung atau tidak langsung
80% penyakit yang diderita manusia di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Air tercemar merupakan penyebab utama kematian di dunia. Beberapa penyakit
yang menular melalui air yang tercemar misalnya yang disebabkan bakteri dan
virus adalah demam tifoid, disentri, kolera, serta cacar, influensa, polio serta
penyakit yang dibawah cacing.

Air yang tercemar di perairan juga dapat meresap ke dalam air yang
berada di bawah permukaan tanah, kemudian mengalir ke mata air atau ke sumur
yang merupakan sumber air bagi sebagian besar penduduk, termasuk di
Indonesia. Pencemaran air di bawah tanah lebih bersifat permanen karena bahan
pencemar dapat bertahan hingga ratusan atau ribuan tahun untuk dapat didaur
ulang secara alami. Kondisi bawah tanah kurang mendukung proses penguraian
bahan pencemar, berhubung di bawah tanah lebih sedikit mikroba pengurai,
suhu yang relatif rendah sehingga reaksi kimia lebih lambat, tidak ada turbelensi
yang mempercepat aliran, dll (Khitatuddin, 2003).

2.5 Pembangunan Berkelanjutan

Istilah pembangunan berkelanjutan mulai dipopulerkan setelah Konferensi


Tingkat Tinggi Bumi (KKT Bumi) di Brazil pada tahun 1992. KTT-Bumi
merupakan penegasan kembali kesepakatan bersama bangsa-bangsa di muka bumi
yang sadar akan pentingnya kelestarian lingkungan hidup atau pentingnya
mengatasi masalah lingkungan global. Hal ini bisa terjadi karena pelestarian
lingkungan hidup sangat penting dan tidak dipisahkan begitu saja prioritasnya
dengan pembangunan sektor lainnya (Thamrin, 2009).

Menurut Munasinghe (1993), pembangunan berkelanjutan memiliki tiga


pilar, yaitu pilar ekonomi, ekologi dan sosial. Pilar ekonomi menekankan pada
85

perolehan pendapatan yang berbasiskan penggunaan sumber daya yang efisien.


Pendekatan ekologi menekankan pada pentingnya perlindungan keanekaragaman
hayati yang akan memberikan konstribusi pada keseimbangan ekosistem dunia.
Sedangkan pendekatan sosial menekankan pada pemeliharaan kestabilan sistem
sosial budaya, meliputi penghindaran konflik keadilan, baik antar generasi masa
kini dengan generasi mendatang.

Pembangunan yang berkelanjutan menggabungkan tiga bidang penting yaitu


lingkungan, sosial dan ekonomi ke dalam sebuah perspektif tunggal yang terpadu
(Bebbington, 2001; Van Dieren, 1995). Integrasi/perpaduan kelompok-kelompok
dari tiga buah pilar pembangunan berkelanjutan membawa kepada konsep-
konsep efisiensi ekologi, keadilan ekologi dan efisiensi sosial seperti nampak
pada Gambar 10.

Keberlanjutan Sosial

Efisiensi sosial Keadilan ekologi

Pembangunan Berkelanjutan

Keberlanjutan ekonomi Efisiensi ekosistem Keberlanjutan lingkungan

Gambar 8. Tiga sasaran pokok pembangunan berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan mengandung 2 konsep kunci yaitu: (1)


kebutuhan esensial untuk keberlanjutan kehidupan manusia dan (2) keterbatasan
dari teknologi dan organisasi yang berkaitan dengan kapasitas lingkungan untuk
mencukupi kebutuhan generasi kini dan mendatang. Jadi konsep pembangunan
berkelanjutan sesungguhnya berangkat dari konsep anthroposentrik yang
menjadikan manusia sebagai tema sentralnya (Fauzi, 2004).
86

Adapun prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan menurut Hasan (2003),


adalah:

1. Pembangunan berkelanjutan menjamin permerataan dan keadilan sosial;


2. Pembangunan berkelanjutan menghadapi keanekaragaman dengan prasyarat
selalu tersedianya sumberdaya alam secara berkelanjutan dan dasar bagi
keseimbangan tatanan lingkungan/ ekosistem;
3. Pembangunan berkelanjutan mengutamakan pendekatan integratif yaitu
kompleksnya keterkaitan antara sistem alam dan sistem sosial;
4. Pembangunan berkelanjutan meminta perspektif jangka panjang;
Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission
on Environment and Development-WCED, 1987) mendefinisikan pembangunan
berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan hari kini
tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Berdasarkan hal tersebut maka pembangunan berkelanjutan
mempunyai tujuan jangka panjang, yaitu memikirkan pula kepentingan anak-cucu
dalam generasi yang akan datang.

Konsep pembangunan berkelanjutan muncul ketika terjadi ‘kegagalan’


pembangunan, saat proses yang terjadi bersifat top-down (arus informasi yang
terjadi hanya satu arah dari atas ke bawah) dan jika ditinjau dari sisi lingkungan,
sosial, dan ekonomi proses pembangunan yang terjadi ternyata tidak
berkelanjutan. Pelaksanaan konsep ini diperkuat lagi dengan kesepakatan para
pemimpin bangsa yang dinyatakan dalam hasil-hasil negosiasi internasional,
antara lain Deklarasi Rio pada KTT Bumi tahun 1992, Deklarasi Millennium PBB
tahun 2000, dan Deklarasi Johannesburg pada KTT Bumi tahun 2002 (Pelangi,
2003).

Jadi sustainable development is more than ecological. Bukan sekadar


pencemaran, air bersih, it goes deeper, yaitu kebhinekaan. Inilah prinsip
pembangunan berkelanjutan. Kebhinekaan itu, meliputi berbagai aspek dalam
kehidupan. Semakin beraneka ragam dimensi ekologi, politik, ekonomi, budaya,
sosial, semakin stabil sistem itu (Salim, 1994).
87

Dalam konteks air minum dan penyehatan lingkungan, keberlanjutan dapat


diartikan sebagai upaya dan kegiatan penyediaan air minum dan penyehatan
lingkungan yang dilakukan untuk dapat memberikan manfaat dan pelayanan
kepada masyarakat pengguna secara terus menerus. Keberlanjutan pelayanan air
minum dan penyehatan lingkungan harus dilihat sebagai sistem yang terdiri dari
pembangunan prasarana dan sarana, operasi, pemeliharaan, pengelolaan dan
pengembangan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan kepada
masyarakat. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk menuju pembangunan
air minum dan penyehatan lingkungan yang berkelanjutan adalah:
• keberlanjutan aspek pembiayaan
• keberlanjutan aspek teknik
• keberlanjutan aspek lingkungan hidup
• keberlanjutan aspek kelembagaan

2.6 Konservasi Sumber Daya Air

Bersasarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air


Pasal 20 ayat (1), Konservasi sumberdaya air ditujukan untuk menjaga
kelangsungan keberadaan daya-dukung, daya-tampung dan fungsi sumberdaya
air”. Ayat (2) konservasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber daya air,
pengawetan air, serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada
setiap wilayah sungai. Jadi kegiatan konservasi sumber daya air meliputi kegiatan
perlindungan dan pelestarian air, pengawetan air serta pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air.

Perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk melindungi dan


melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan
atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang
disebabkan oleh tindakan manusia. Upaya perlindungan dan pelestarian sumber
air dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan, (Kodoatie dan Sjarifief, 2008).
88

Kegiatan yang berkaitan perlindungan dan pelestarian sumberdaya air dilakukan


melalui :

• Pemeliharaan kelangsungaan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air;


• Pengendalian pemanfaatan sumber air;
• Pengisian sarana dan prasarana sanitasi;
• Perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan
pembangunan dan pemanfaatan lahan sumber ai;
• Pengendalian pengelolaan tanah di daerah hulu;
• Pengaturan daerah sempadan sumber air;
• Rehabilitasi hutan dan lahan; dan
• Pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
alam.
Menurut Sanim (2011), perlindungan dan pelestarian sumber air dilaksanakan
secara vegetatif atau sipil teknis melalui pendekatan soial, ekonomi dan budaya.
Perlindungan secara vegetatif, dilakukan melalui penanaman pepohonan atau
tanaman yang sesuai pada daerah tangkapan air atau daerah sempadan sumber air.
Sedangkan cara sipil teknis, dilakukan melalui rekayasa teknis, seperti
pembangunan penahan sedimen, pembuatan teras (sengkedan) dan penguatan
tebing sumber air.

Menurut Sanim (2011), terdapat 3 (tiga) prinsip yang mendukung pembangunan


masa depan yang sehat dalam sektor air ini yaitu:

Konservasi. Ini berarti menggunakan air hanya secukupnya saja untuk memenuhi
kebutuhan yang senyatanya, tanpa pemborosan. Konservasi yang efektif biasanya
meliputi suatu paket langkah pengendalian kekbocoran, penggunaan peralatan
untuk penghematan air, tarif yang berdaya mencegah pemboroasan, dan
kampanye untuk mendorong konsumen lebih sadar terhadap akibat penggunaaan
air yang boros.

Ketahanan. Ini berarti penggunaan teknologi dan sistem yang selalu siap
bekerja dengan sumberdaya yang dapat diperoleh dari lingkungan masyarakat
yang dilayani, tanpa ketergantungan yang berlebih pada masukan dari luar.
89

Sumber daya ini tidak saja keuangan, melainkan juga mengelola sistem dan
keterampilan yang diperlukan untuk merawat dan memperbaiki peralatan yang
telah dipasang. Ketahanan juga berarti menggunakan sistem air minum (bersih)
dan sanitasi yang disenangi masyarakat, dan juga peduli terhadap partisipasi
masyarakat (dalam memililih teknologi yang akan diterapkan dan dalam
menentukan cara mengelolanya, demikian juga dalam perencanaan, konstruksi,
manajemen dan operasi, serta pemeliharaan yang tepat).

Sistem melingkar (circulator system) Dengan meningkatnya tekanan jumlah


penduduk terhadap sumberdaya yang terbatas, maka perlu dipikirkan sistem
sisterm melingkar, bukan garis lurus. Kota yang membuang polusinya ke saluran
ai dan menyebabkan masalah bagi orang lain, tidak bisa dierima lagi. Sebaliknya,
air limbah yang telah diolah seharusnya dianggap sebagai suatu sumber bernialai
yang dapat dipakai lagi (sebagi suatu daur ulang).

Menurut Arsyad (2010), konservasi air dapat dilakukan dengan (A)


pengelolaan dua komponen hidrologi yaitu air permukaan dan air tanah, dan (B)
peningkatan efisiensi pemakaian air irigasi. Pengelolaan air permukaan dan air
tanah bertujuan untuk memanfaatkan kedua komponen hidrologi tersebut secara
lebih efisien. Pengelolaan air permukaan yaitu air yang berada di permukaan
tanah meliputi (1) pengendalian aliran permukaan, (2) penyadapan air, (3)
meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah, (4) pengolahan tanah, (5) penggunaan
bahan penyumbat tanah dan penolak air, dan (6) melapisi saluran air.

2.7 Multi Dinamic Scaling (MDS)


Multi Dimesional Scaling (MDS) dapat digunakan untuk menganlisa
hubungan interdependen atau saling ketergantungan antar varibel atau data. MDS
lebih berhubungan dengan objek dari suatu penelitian, hal ini berbeda dengan
factor analysis dan cluster analysis. MDS berhubungan dengan pembuatan grafik
(map) untuk menggambarkan posisi sebuah obyek dengan obyek yang lain,
berdasarkan kemiripan (similarity) obyek-pbyek tersebut. Dalam praktek, banyak
software yang telah dikembangkan untuk aplikasi MDS, diantaranya SPSS,
dengan kemampuan membuat model dengan ALSCAL dan INDSCAL, Program
90

PC_ MDS, yang dikembangkan oleh Chang dan Douglas seperti MDPREF,
PREFMAP, PROFIT dan lainnya.

MDS memiliki ciri lain yaitu melakukan perbandingan dengan diagram


atau peta atau grafik, sehingga bisa disebut juga sebagai perceptual map. MDS
dapat digunakan untuk melakukan perbandingan misalnya mengetahui bagaimana
kedudukan produk aqua (air minum kemasan) dengan produk air minum kemasan
lainDinya di mata konsumen, untuk mengetahui produk sabun dengan produk
sabun lainnya di mata konsumen atau perguruan tinggi tertentu dengan perguruan
tinggi lainnya dan dimata calon mahasiswa.

Jadi tujuan dari analisis MDS adalah membuat peta/konfigurasi posisi objek
dalam ruang berdimensi rendah (umumnya dua dimensi) berdasarkan data jarak
antar objek atau data perubah ganda yang sebenarnya diubah dulu menjadi
matriks jarak. Kegunaan analisis MDS mendapatkan posisi relatif suatu objek
dibandingkan dengan obyek lain serta melakukan pengerombolan objek.

2.8 Interpretative Structural Modeling (ISM)


Teknik permodelan ISM merupakan salah satu teknik permodelan yang
dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis. Menurut Eriyatno (1998),
ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) dimana model-
model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu
sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis
serta kalimat. Teknik ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk
menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencanaan jangka panjang yang
sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi
statistik deskriptif.

Menurut Saxana (1992), ISM bersangkut paut dengan intrepretasi dari suatu
obyek yang utuh atau perwakilan sistem melalui aplikasi teori grafis secara
sistematis dan interatif. Selanjutnya Eriyatno (2007) mengatakan ISM adalah
sebuah metodologi yang interaktif dan sebuah implementasi dalam suatu
pengaturan kelompok. ISM menganalisis sebuah sistem dari elemen dan
91

menyajikannya dalam sebuah gambaran grafikal dari setiap hubungan langsung


dan tingkat hirarkinya. Menurut Marimin (2004), ISM adalah salah satu
metodologi berbasis komputer yang membantu kelompok mengindentifikasi
hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang kompleks.

Teknik ISM dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu penyusunan hirarki dan
klasisfikasi sub elemen. Teknik ISM memberi basis analisis yang bisa
menghasilkan informasi yang berguna dalam merumuskan kebijakan dan
perencanaan strategis. Menurut Suxena (1992) dalam Marimin (2004) program
ISM dibagi menjadi empat elemen, yaitu:

1. Aktor / pelaku
2. Kebutuhan
3. Tujuan Program
4. Kendala
ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa jenis struktur,
termasuk pengaruh struktur (misalnya mendukung atau memperburuk) struktur
prioritas dan kategori dari setiap gagasan. ISM adalah sebuah metodologi yang
interaktif dan sebuah implementasi dalam suatu pengaturan kelompok. ISM
menyediakan suatu keadaan yang sangat baik untuk memperoleh keragaman dan
sudut pandang yang berbeda dalam sebuah konsep kompleks yang lebih baik.
ISM menganalisis sebuah sistem dari elemen dan menyajikannya dalam
sebuah gambaran grafikal dari setiap hubungan langsung dan tingkat hirarkinya.
Elemen mungkin saja menjadi objek dari kebijakan, tujuan dari suatu organisasi,
faktor-faktor penilaian, dan lain-lain. Hubungan langsung dapat saja bervariasi
dalam suatu konteks (merujuk pada hubungan kontekstual), seperti elemen (i)
lebih baik dari, adalah keberhasilan melalui, akan membantu keberhasilan, lebih
penting dari elemen (j).

Langkah-langkah ISM, sebagai berikut:


1) Identifikasi elemen: setiap elemen dari suatu sistem diidentifikasi dan
didaftarkan. Hal ini dapat diperoleh melalui kajian data/informasi,
brainstorming, interview dengan responden dan pakar, dan lain-lain.
92

2) Hubungan kontekstual: sebuah hubungan kontekstual antara elemen-elemen


sudah tertentu, bergantung pada objek dari model latihan.
3) Matriks interaksi tunggal terstruktur (structural self interaction
matrix/SSIM): matriks ini menyajikan persepsi responden dari elemen
sampai hubungan langsung antara elemen. Elemen simbol yang digunakan
untuk menyajikan tipe hubungan tersebut dapat berada diantara dua elemen
dari sistem dengan sebuah pertimbangan. Simbol tersebut adalah:
V: untuk relasi dari elemen Ei sampai Ej, tetapi tidak berlaku untuk
kebalikannya.
A: untuk relasi dari Ej sampai Ei, tetapi tidak berlaku untuk kebalikannya.
X: untuk interrelasi antara Ei dan Ej (berlaku untuk kedua arah).
O: untuk merepresentasikan bahwa Ei dan Ej adalah tidak berkaitan.
4) Reachability matrix (RM): matriks ini menyediakan perubahan simbolik
SSIM menjadi matriks biner. Hasil penilaian dalam structural self
interaction matrix (SSIM), dibuat dalam bentuk tabel Reachability Matrix
(RM) dengan mengganti V, A, X, O menjadi bilangan 1 dan 0. Matriks
tersebut dikoreksi lebih lanjut sampai menjadi matriks tertutup yang
memenuhi aturan transitivity. Kaidah transitivity adalah kelengkapan dari
lingkaran sebab akibat (causal-loop) (Marimin, 2004). Penggunaan aturan
konversinya adalah sebagai berikut:
• Jika relasi Ei sampai Ej = V dalam SSIM, kemudian elemen Eij = 1
dan Eji = 0 dalam RM.
• Jika relasi Ei sampai Ej = A dalam SSIM, kemudian elemen Eij = 0
dan Eji = 1 dalam RM.
• Jika relasi Ei sampai Ej = X dalam SSIM, kemudian elemen Eij = 1
dan Eji = 1 dalam RM.
• Jika relasi Ei sampai Ej = o dalam SSIM, kemudian elemen Eij = 0
dan Eji = 0 dalam RM.

Initial RM adalah kemudian memodifikasi untuk menunjukkan semua


pencapaian langsung atau tidak langsung, semuanya jika Eij=1 dan Ejk-1
kemudian Eik=1.
93

5) Level partitioning: melakukan perintah untuk mengklasifikasikan elemen-


elemen ke dalam sebuah struktur ISM. Maksudnya dua set digabungkan
dengan setiap elemen Ei dari sistem: reachability set (Ri), yakni sebuah set
dari sebuah elemen dapat dicapai dari elemen Ei, dan Antecedent Set (Ai),
yang mana adalah set dari semua elemen yang dapat dicapai Ei.
Secara garis besar klasifikasi sub-elemen digolongkan dalam 4 sektor, yaitu:
(1) weak driver-weak dependent variables (autonomous). Sub-elemen yang
masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, mungkin
mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat
(nilai DP < 0,5X dan nilai D < 0,5X, dimana X adalah jumlah sub-elemen);
(2) weak driver-strongly dependent variables (dependent), adalah sub-
elemen yang tidak bebas (nilai DP < 0,5X dan nilai D > 0,5X); (3) strong
driver-strongly dependent variables (lingkage), sub-elemen yang
terpengaruh oleh sub-elemen lain (nilai DP > 0,5 X dan nilai D > 0,5 X);
dan (4) strong driver-weak dependent variables (independent), sub-elemen
yang termasuk dalam peubah bebas (nilai DP > 0,5 X dan nilai D < 0,5 X).
Klasifikasi sub-elemen mengacu pada hasil olahan dari RM yang telah
memenuhi aturan transitivitas, sehingga diperoleh hasil olahan nilai driver
power (Drv) dan nilai dependence (Dp) untuk menentukan klasifikasi sub-
elemen.

6) Canonical matrix: pengelompokkan bersama elemen dalam level yang sama


dikembangkan dalam matriks ini yang dihasilkan dari matriks ini hampir
dari segi tiga bagian atas elemennya adalah 0, dari segi tiga bagian bawah
elemennya adalah 1. Matriks ini kemudian digunakan untuk mempersiapkan
sebuah digraph.
7) Digraph. Digraph adalah sebuah pola yang diperoleh dari directional graph
dan sebagai rujukan adalah sebuah representasi grafikal dari elemen,
hubungan langsungnya dan hierarchical level. Initial graph disediakan
dalam basis canonical matrix. Ini kemudian dipendekkan melalui
pemindahan semua transitivitis menjadi bentuk diagraph akhir.
8) Interpretive structural model (ISM): dihasilkan melalui pemindahan semua
nomor elemen dengan deskripsi elemen yang actual. ISM oleh karena itu
94

memberikan gambaran yang sangat jelas mengenai sebuah sistem dari


elemen, dan aliran hubungannya.
Dengan pengertian bahwa simbol 1 adalah terdapat atau ada hubungan
kontekstual, sedangkan simbol O adalah tidak terdapat atau tidak ada hubungan
kontekstual antara elemen i dan j serta sebaliknya. Setelah SSIM dibentuk,
kemudian dibuat tabel reacbility matrix (RM) dengan mengganti V, A, X, dan O
menjadi bilangan 1 atau 0. Kemudian dilakukan pengkajian menurut aturan
transvity dengan melakukan koreksi terhadap SSIM sampai terjadi matriks yang
tertutup. Pengolahan lebih lanjut dari RM yang telah memenuhi aturan transvity
adalah pilihan jenjang (level partition). Pengolahan bersifat tabulatif dengan
pengisian format. Hasil akhir teknik ISM adalah elemen kunci, diagram struktur
dan matrik DP-D (driver power-dependence) yang menggambarkan klasifikasi
sub-elemen, yaitu:
1. Weak driver-week dependent variables (autonomous), umumnya sub-
elemen tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan
sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat (sektor 1)
2. Weak driver-strongly dependent variables (dependent), Peubah tidak bebas
dan akan terpengaruh oleh adanya program sebagai akibat tindakan terhadap
sektor lain (sektor II)
3. Strong driver-strongly dependent variables (lingkage), Peubah harus dikaji
secara hati-hati, sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan
pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap yang lainnya dan
umpan balik pengaruhnya bias memperbesar dampak (Sektor III)
4. Strong driver-weak dependent variables (lingkage), Peubah mempunyai
kekuatan penggerak yang besar terhadap keberhasilan program tetapi punya
sedikit ketergantungan terhadap program (sektor IV).
95

PROGRAM 

Uraikan program menjadi perencanaan program 

Uraikan setiap elemen menjadi sub elemen 

Tentukan hubungan kontekstul antara sub elemen pada setiap elemen 

Susunlah SSIM untuk setiap elemen 

Bentuk Reachability Matrix setiap elemen 

Uji matriks dengan aturan transivity 

Ok ? Modifikasi SSIM 
No
Yes

Tentukan level melalui  Tentukan drive dan Drive
pemilihan  Ubah RM menjadi   Power setiap elemen 
format lower triangular RM 
Tentukan Rank dan hirarki 
dari setiap sub elemen 
Susun diagram darilower 
triangular RM 
Tentukan drive 
Dependence  
Matrix setiap elemen 
Susun ISM dari setiap 
elemen 
Plot Sub elemen pada 
empat sektor 

Klasifikasi Sub elemen 
pada empat peubah 
kategori 

Gambar 11 Diagram alir deskriptif teknik ISM (Suxena, 1992 dalam


Marimin, 2004)
96

2.9 Analisis Sistem


Menurut Marimin (2004 dan 2005, 2007) sistem adalah suatu kesatuan yang
terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai
suatu tujuan dalam suatu lingkungan yang kompeks atau suatu gugus elemen
yang saling berinteraksi secara teratur dalam rangka mencapai tujuan dari
lingkungan yang kompleks. Kompleksitas dari sistem meliputi kerjasama antar
bagian yang bersifat interdependent. Orientasi pencapaian tujuan pada sistem
memberikan sifat dinamis, yaitu ciri perubahan yang terus menerus dalam usaha
mencapai tujuan. Mekanisme pengendalian pada suatu sistem menyangkut sistem
umpan balik, yaitu mekanisme yang bersifat memberikan informasi kepada sistem
mengenai efek dari perilaku sistem terhadap pencapaian tujuan atau pemecahan
persoalan yang dihadapi. Sifat- sifat dasar dari suatu sistem antara lain:

• Pencapaian tujuan. Orientasi pencapaian tujuan akan memberikan sifat


dinamis kepada sistem, memberikan ciri perubahan yang terus menerus
dalam usaha mencapai tujuan.
• Kesatuan usaha, mencerminkan suatu sifat dasar dari sistem dimana hasil
keseluruhan melebihi dari jumlah bagian bagiannya atau sering disebut
sinergi.
• Keterbukaan terhadap lingkungan.
• Transformasi, merupakan proses perubahan input menjadi output yang
dilakukan oleh sistem.
• Hubungan antar bagian, kaitan antara sub sistem inilah yang akan
memberikan analisis sistem suatu dasar pemahaman yang lebih luas.
• Sistem ada berbagai macam, antara lain sistem terbuka, sistem tertutup, dan
sistem dengan umpan balik.
• Mekanisme pengendalian. Mekanisme ini menyangkut sistem umpan balik
yang merupakan suatu bagian yang memberikan informasi kepada sistem
mengenai efek dari perilaku sistem terhadap pencapaian tujuan atau
pemecahan persoalan yang dihadapi.
97

Pendekatan berpikir sistem (system thinking) akan memberikan informasi


yang lebih baik bagi pengelola atau pemegang kebijakan untuk mempelajari
kompleksitas. Metode berpikir sistem juga menyediakan pengetahuan tentang
sebuah mekanisme untuk membantu pengelola sumber daya dan pemegang
kebijakan dalam mempelajari hubungan sebab dan akibat dari proses yang
berlangsung, mengidentifikasi permasalahan utama, dan mendefinisikan tujuan
yang ingin dicapai (Gao et al., 2003). Oleh karenanya maka pendekatan sistem
tepat dipakai untuk membuat model pengelolaan sumber daya alam, seperti
sumber daya air yang memerlukan pengembangan konsep yang bersifat
interdisiplin dan interaktif. Menurut Eriyatno (1999) permodelan sistem juga
merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah kebijakan.

Sistem adalah perangkat elemen-elemen yang saling berhubungan atau


berkaitan yang diorganisir untuk mencapai tujuan atau seperangkat tujuan
(Mantsch dan Park, 1976). Menurut Djojomartono (1993), sistem adalah suatu
gugus atau kumpulan dari elemen-elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk
mencapai tujuan. Menurut Eriyatno (1998), sistem adalah totalitas himpunan
elemen-elemen yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta dimensional
terutama dimensi ruang dan waktu, dalam upaya mencapai gugus tujuan (goals).
Metodologi sistem dibagi dua yaitu hard system metodology (HSM) seperti teknik
operasional riset dan sistem dinamik; serta soft system metodology (SSM). Riset
kebijakan sebaiknya digunakan teknik-teknik dari SSM, namun sering juga
dimanfaatkan kehandalan sistem dinamik dari HSM untuk analisis sebab-akibat.
Adapun yang dimaksud dengan analisis sistem adalah serangkaian teknik
yang mencoba untuk: (a) mengindentifikasi sifat-sifat makro dari suatu sistem,
yang merupakan perwujudan karena adanya interaksi di dalam dan di antara sub
sistem; (b) menjelaskan interaksi atau proses-proses yang berpengaruh terhadap
sistem secara keseluruhan sebagai akibat adanya masukan; (c) menduga apa yang
mungkin terjadi pada sistem bila beberapa faktor yang ada dalam sistem perubah
(Patten, 1972).
Elemen dari sistem adalah unsur (entity) yang mempunyai tujuan dan
realitas fisik. Pola hubungan antara dua atau lebih elemen menentukan struktur
98

sistem. Oleh karena itu pendekatan kesisteman selalu mengutamakan kajian


tentang struktur sistem, baik bersifat penjelasan maupun sebagai dukungan
kebijakan. Sistem dinamik dititikberatkan pada analisis struktur sistem yang
selanjutnya dipetakan secara nyata. Sistem dinamik dilakukan dalam rangka
mencari permodelan dengan perangkat lunak powersim atau stela construction.
Dipilihnya sistem dinamik karena sistem dinamik memiliki sifat yang lebih
terbuka, sehingga pengembangan dan penyempurnaannya relatif lebih mudah
dilakukan.
Menurut Soerianegara (1978) jika dibandingkan dengan penelitian
eksperimental, maka penelitian dengan menggunakan sistem atau simulasi
mempunyai banyak kelebihan, antara lain: (a) dapat melalukan eksperimental
terhadap suatu sistem atau ekosistem tanpa harus menganggu atau mengadakan
perlakuan terhadap sistem yang diteliti, (b) dapat digunakan untuk menciptakan
suatu sistem yang diduga akan lebih baik dari keadaan sistem sesungguhnya yang
diteliti, (c) dapat digunakan pada keadaan dimana eksperimen tak dapat
dilakukan, (d) dapat melakukan penelitian yang bersifat multidisiplin dan
terintergrasi yang seringkali tidak mungkin dilakukan dalam keadaan sebenarnya,
(e) dari segi efisiensi dan kelayakan, analisis sistem dapat dilakukan dalam waktu
singkat, dengan biaya yang murah dan dengan hasil yang meyakinkan.
Menurut Eriyatno (1999), metodologi sistem pada prinsipnya melalui enam
tahapan analisis sebelum tahap sintesa (rekayasa) yaitu: (a) analisis kebutuhan, (b)
identifikasi sistem (c) formulasi masalah (d) pembentukan alternatif sistem, (e)
determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik dan (f) penentuan kelayakan
ekonomi dan keuangan. Jadi penelitian yang berorientasi pada tujuan, maka
penelitian tersebut sebaikannya menggunakan pendekatan sistem untuk
menganalisa kumpulan pada beberapa sub-model. Tahapan yang dilakukan adalah
(a) analisis kebutuhan, (b) formulasi masalah, (c) identifikasi sistem dan (d)
permodelan. Pada analisis sistem dilakukan penentuan informasi yang terperinci
dan dilakukan setahap demi setahap yang dimulai dari analisa kebutuhan,
formulasi permasalahan, identifikasi sistem dan seterusnya .
Penyederhanaan atau abstraksi dari sistem yang sebenarnya dikenal dengan
istilah model. Oleh karena itu maka model dapat dikatakan sebagai contoh
99

sederhana dari sistem dan menyerupai sifat-sifat sistem yang dipertimbangkan


tetapi tidak sama dengan sistem. Menurut Hardjomidjojo (2007) model
merupakan representasi atau penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa melalui permodelan akan dapat dilakukan analisis
perubahan setiap komponen yang terdapat dalam sistem tersebut. Selain itu juga
akan dapat memprediksi kemungkinan yang terjadi sebagai akibat perubahan
sistem, serta akan dapat menentukan tindakan pengelolaan yang perlu dilakukan
untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Mize dan Cox (1968) mendefinisikan
model sebagai gambaran abstrak dari suatu sistem, yang menunjukkan hubungan
sebab-akibat antara beberapa variabel.

Menurut Hairiah et al. (2002) model dikembangkan dengan tujuan untuk


studi tingkah laku sistem, yang dilakukan melalui analisis rinci terhadap
komponen atau unsur dan proses interaksinya antara yang satu dengan yang
lainnya dalam suatu sistem. Menurut Muhammadi et al. (2001) model adalah
suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model
dikelompokkan menjadi model kuantitatif, model kualitatif dan model ikonik.
Model kuantitatif adalah model berbentuk rumus matematik, statistik atau
komputer. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram atau
matrik yang menyatakan hubungan antar unsur. Model ikonik adalah model yang
mempunyai bentuk fisik yang menirukan bentuk aslinya, dalam skala diperkecil
atau diperbesar.
100

KEBUTUHAN DASAR

ANALISIS  KEBUTUHAN
tidak

ABSAH 
LENGKAP 

PERSYARATAN KEBUTUHAN

FORMULASI PERMASALAHAN

tidak
CUKUP
ya
IDENTIFIKASI SISTEM

DIAGRAM LINGKAR SEBAB AKIBAT
DIAGRAM KOTAK GELAP 

tidak
LENGKAP ?
  ya

INPUT – OUTPUT

REKAYASA AWAL MODEL

tidak 
       OK ?
  ya

DIAGRAM  ALIR DESKRIPTIF

Implementasi

ISM

Stop 

Gambar 12. Tahapan analisis sistem ,Mantech et al. 1977(diolah).


101

Kaitan antara model dengan sumber daya alam adalah sebagai berikut. Pada
dasarnya sistem sumber daya alam bersifat kompleks dan dinamis, oleh karena itu
maka dalam menganalisis sistem sumber daya alam yang bersifat kompleks dan
dinamis idealnya dilakukan pendekatan yang bersifat kolaborasi lintas disiplin
sehingga dapat menciptakan hubungan antara ilmu pengetahuan sumber daya
alam, manajemen, dan kebijakan. Adapun alat yang digunakan idealnya juga
menggunakan alat yang bersifat dinamis seperti permodelan sistem. Hal ini sesuai
dengan pendapat Soerianegara (1978) yang mengatakan bahwa ada berbagai
kelebihan yang akan didapatkan jika kita menggunakan model dalam penelitian
sumberdaya alam dan lingkungan. Kelebihan tersebut antara lain adalah: 1)
memungkinkan penelitian yang bersifat multidisiplin dengan ruang lingkup yang
lebih luas, 2) dapat digunakan untuk menentukan bentuk kebijakan pengelolaan
yang tepat sesuai dengan macam perbaikan yang diperlukan, dan 3) sebagai alat
bantu dalam pemecahan masalah lingkungan tanpa harus melakukan eksperimen
yang seringkali membutuhkan biaya besar dan waktu lama.

INPUT LINGKUNGAN

INPUT TAK  OUTPUT YANG 
TERKENDALI  DIKEHENDAKI 

MODEL 

INPUT TERKENDALI 
OUTPUT YANG TIDAK 
DIKEHENDAKI 

MANAJEMEN 
PENGENDALIAN 

Gambar 13. Diagram kotak gelap (Eriyatno, 1999)


102

Diagram kotak gelap atau juga dikenal dengan diagram input output di atas
menjelaskan bahwa input terdiri dari input lingkungan yang dapat berupa aturan
terkait permasalahan, input terkendali dan input tak terkendali. Semua input
tersebut akan mempengaruhi model. Model tersebut menghasilkan output yang
terdiri dari output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki dan untuk
output yang tidak dikehendaki diperlukan manajemen pengendalian, sehingga
diolah menjadi input terkendali.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penyusunan model pengelolaan air bersih berkelanjutan yang berbasis


otonomi daerah dilakukan dengan melakukan identifikasi kebijakan yang ada baik
yang terkait dengan otonomi daerah maupun undang-undang tentang pengelolaan
sumber daya air . Di wilayah DKI dilakukan analisis kebutuhan dan analisis
ketersediaan air bersih dengan maksud untuk mengetahui kecukupan antara
”supply-demand” yang diperlukan. Analisis sistem dinamik dilakukan untuk
melihat keberlanjutan dan pengelolaan ”supply-demand” tersebut dengan
memperhatikan keberlanjutan dalam otonomi daerah. Secara sistematik rancangan
penelitian dan hubungan berbagai analisis tersebut di atas, dapat dilihat pada
Gambar 14 berikut.

  Ketersediaan 
Regulasi 
Ketersediaan  Kebutuhan 

Analisa 
Analisa  Analisa  Supply 
Kebijakan  MDS  Demand 

Implikasi 
Analisis 
Sistem  Analisis ISM 
Kebijakan 
Dinamik 
• Setting 
Agenda 

Rekomendasi 
Kebijakan 

Gambar 14. Alur rancangan penelitian


104

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah wilayah DKI yang dilayani oleh perusahaan


daerah air minum (PAM) Provinsi DKI Jakarta dan wilayah hulunya, yaitu daerah
aliran sungai (DAS) yang menjadi sumber air baku untuk DKI Jakarta.
Pengambilan sampel air bersih dilakukan di lima titik yaitu di Jakarta
(Cengkareng), di Daerah Pangeran Jayakarta Jakarta Pusat, Pulogadung Jakarta
Timur, dan Kantor Kementerian PU, di Daerah Blok M Jakarta Selatan.

Gambar 15. Peta lokasi penelitian (DKI Jakarta)

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan selama kurang lebih 14 bulan yakni Juli


2010 sampai dengan Agustus 2011, yang meliputi persiapan penelitian,
pengumpulan data, analisis data, serta penyusunan disertasi termasuk pelaksanaan
kolokium, sidang komisi, seminar dan ujian serta perbaikan dan penggandaan
disertasi.
105

3.3 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data penyediaan air, data
pemakaian air, data peta distribusi air, baik yang ada di Waduk Juanda maupun di
PDAM DKI Jakarta. Selain itu juga memanfaatkan data kualitas air dan data
sekunder lainnya seperti data sosial ekonomi, jumlah penduduk serta data
kebijakan pembangunan daerah. Pengumpulan data primer, menggunakan
kuesioner yang diambil pada lokasi penelitian.

3.4 Pengumpulan Data

3.4.1 Jenis dan Sumber Data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara melakukan survei


lapangan (lokasi penelitian), wawancara dan pengisian kuesioner. Data sekunder
diperoleh dengan cara mencari dari berbagai sumber, seperti penelitian terdahulu,
hasil studi pustaka, laporan serta beberapa dokumen PAM dan Instansi lain yang
terkait seperti Pemda Provinsi DKI, PAM Jaya, PAM Bogor, PT.Palyja, Ditjen
Cipta Karya, Balai Wilayah Sungai Cilicis Departemen Pekerjaan Umum dan
Perum Jasa Tirta II dan instansi terkait lainnya.
Pengambilan data sekunder yang mendukung penelitian diuraikan sebagai
berikut:

3.4.1.1 Data Fisik

Data fisik yang berasal dari PAM Jayaa, DAS Cisadane, DAS Ciliwung,
DAS Citarum, PT. Jasa Tirta II, Ditjen SDA dan Ditjen Cipta Karya. Adapun data
tersebut berhubungan dengan sumber air baku, kebutuhan air bersih dan suplai air
bersih yang meliputi:

a) Data kondisi eksisting pelayanan air bersih, suplai air baku dan sumber air
baku.
b) Data biaya yang dikeluarkan oleh PAM, baik biaya tetap maupun biaya
variabel.
c) Data kualitas dan kuantitas air bersih.
Data permintaan atau kebutuhan air bersih DKI Jakarta
106

3.4.1.2 Data kebijakan nasional dan regulasi daerah

Data kebijakan daerah yang terkait dengan alokasi air termasuk rencana
pengelolaan air di daerah. Data tentang kebijakan tersebut meliputi:

a) Data penyediaan air.


b) Data alokasi air ke depan.
c) Data regulasi yang terkait dengan pembagian kewenangan pusat dan daerah.
d) Data tentang regulasi yang terkait sumber daya air, kualitas air/pencemaran
air

3.4.1.3 Data Sosial Ekonomi

Data sosial ekonomi misalnya jumlah penduduk, pendidikan, kondisi sosial


perekonomian serta rencana pengembangan ekonomi daerah.

3.4.2 Penentuan Responden dan Pengambilan Contoh

Responden dipilih dari stakeholder baik dari pemerintah dan para pakar.
Stakeholder yang mewakili pemerintah adalah Sekretariat Jenderal Direktorat
Jenderal Cipta Karya, Direktorat Pengembangan Air Minum Ditjend Cipta Karya,
Balai Wilayah Sungai Cilicis Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementrian
Pekerjaan Umum, PAM JAYA dan mitra (PT. Palyja dan PT. Aetra), PAM
Kabupaten Bogor. Pemilihan para pakar dilakukan secara sengaja atau secara
proposive sampling.

3.5 Analisis Penelitian

Pada penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan cara dibuat tabulasi
dan penampilan yang sesuai selanjutnya dibahas dengan membandingkan pada
masa yang lalu dan kondisi yang seharusnya terjadi. Kondisi yang sama juga
dilakukan pada data tentang dukungan kebijakan pada pengelolaan sumberdaya
air di era otonomi daerah, data kuantitas dan kualitas sumberdaya air di DAS
Citarum setelah memasuki otonomi daerah serta keterkaitan keduanya dan data
tentang pengelolaan sumberdaya air lintas wilayah. Sedangkan data hirarki
permasalahan yang terkait dengan pengelolaan air lintas wilayah dianalisis dengan
menggunakan model ISM (interpretative structure modelling) dan disain model
kebijakan pengelolaan air lintas wilayah yang bersifat holistik dan berkelanjutan
107

pada era otonomi daerah dibuat melalui sistem dinamik. Adapun tahapan analisis
sebagaimana digambarkan pada alur rancangan penelitian meliputi hal-hal
berikut:

a. Identifikasi kebijakan
Identifikasi kebijakan terutama kebijakan yang terkait dengan pengelolaan
sumber daya air termasuk air bersih, baik undang-undang, peraturan pemerintah,
peraturan presiden, keputusan presiden, keputusan menteri sampai keputusan
gubernur.

b. Otonomi daerah.
Mengkaji tentang peraturan yang berkaitan dengan pembagian wewenang
antara pemerintah pusat dan daerah terkait pengelolaan air.

c. Analisis kebutuhan dan ketersediaan air


Pada penelitian ini akan melibatkan sejumlah stakeholders yang memiliki
berbagai kepentingan terhadap penelitian ini. Adapun para stakeholder
tersebut diantaranya:

1) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.


2) Pengambil keputusan di PAM Jaya.
3) Pengambil keputusan pada Perusahaan Jasa Tirta (Waduk Juanda).
4) Perusahaan swasta mitra PAM Jaya (PT.Palyja dan PT.Aetra).
5) Masyarakat yaitu masyarakat pengguna jasa PAM Jaya.
6) Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yaitu kelompok-kelompok
masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan.

3.5.1 Analisis MDS

Analisis keberlanjutan Model Pengelolaan Air baku Lintas Wilayah


berkelanjutan di Wilayah DKI Jakarta dilakukan dengan metode pendekatan Multi
Dimensional Scaling (MDS).

Analisis ini dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain:

• Penentuan atribut berlanjutan Pengelolaan Air baku Lintas Lintas Wilayah


yang mencakup lima dimensi yaitu: ekologi, ekonomi, sosial,
Infrastuktur/teknologi serta Hukum dan klembagaan.
• Penilaian setiap Atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria
keberlanjutan setiap dimensi.
108

• Penyusunan indeks dan status keberlanjutan.


Setiap atribut pada masing-masing dimensi diberikan skor
berdasarkan Scientific judgment dari pembuat skor. Rentang skor berkisar
antara 0-3 atau tergantung pada keadaan masing-masing atribut, yang
diartikan mulai dari yang buruk sampai dengan baik.

Hasil skor dari setiap atribut dianalisis dengan multi dimensional. Untuk
menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan
pengembangan pengelolaan berlanjutan yang dikaji relative terhadap dua titik
acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Skor definitifnya adalah nilai
modus,yang dianalisis untuk menentukan titik-titik yang mencerminkan posisi
keberlanjutan system yang dikaji relative terhadap titik baik dan buruk dengan
teknik ordinasi statistic MDS. Skor perkiraan setiap dimensi dinyatakan dengan
skala terburuk (bad) 0% sampai yang terbaik (good) 100%. Adapun nilai skor
yang merupakan nilai indeks berlanjutan setiap dimensi dapat dilihat pada table
6 berikut ini.

Tabel 6 Baku Kategori status Pengelolaan Air Lintas Wilayah DKI Jakarta

Nilai Indeks Kategori


0,00-0,25,00 Buruk (tidak berlanjutan)
25,01-50,00 Kurang (Kurang erlanjutan)
50,01-75,00 Cukup (cukup berlanjutan)
75,01-100,00 Baik (sangat berlanjutan)

Melauli metode MDS, maka posisi titik berlanjutan dapat divisualisasikan


melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikall. Dengan proses rotasi, maka posisi
titik dapat divisualisaikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks berlanjutan
diberi nilai skor 0% (buruk) hingga 100% (baik). Ilustrasi hasil ordinasi nilai
indeks keberlanjutan terlihat pada pada gambar 16 berikut:

Buruk Baik

0 25 50 75 100

Gambar 16 Ilustrasi Nilai Indeks keberlanjutan dalam Skala Ordinasi


109

Selain itu nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat divisualisasikan


dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) terlihat pada gambar 17
berikut:

Ekologi

Kelembagaan Infrastruktur,Teknologi

Ekonomi Sosial

Gambar 17 Ilustrasi Indeks Keberlanjutan Setiap Dimensi

Analisis untuk melihat atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi


terhadap indeks keberlanjutan maka dilakukan analisis sensivitas dengan melihat
bentuk perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi pada sumbu X. Semakin
besar peubahan nilai RMS, maka sensitive atribut tersebut. Analisis-analisis yang
dilakukan tersebut akan terdapat pengaruh galat yang dapat disebabkan oleh
berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor, kesalahan pemahaman
terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian, variasi akibat perbedaan opini
atau penilaian oleh peneliti, proses analisis MDS yang berulang-ulang,kesalahan
pemasukan data atau terdapat data yang hilang, dan tingginya nilai stress (nilai
stress dapat diterima jika < 25% (Kavanagh, 2001 dalam Budiharsono, 2007).
Sehingga dalam mengevaluasi pengaruh galat pada pendugaan nilai ordinasi akan
digunakan analisis Monte Carlo.
110

Start

Identifikasi dan Pendefinisian


Atribut (didasarkan pada Gambaran Umum
criteria yang Konsisten)

Skoring (mengkonstruksi reference point


untuk good dan bad serta anchor)

Multidimensional Scaling Ordination


(untuk setiap atribut)

Simulasi Montecarlo Analisis Leverage


(Analisis Ketidakpastian) (Analisis Anomali)

Analisis Keberlanjutan (Asses

Gambar 18 Elemen proses aplikasi Raffish pendekatan MDS (menurut Alder


dalam Fauzi, 2005)

Analisis multy dimesional scaling dapat digunakan untuk menganalisis


hubungan interdependen atau saling ketergantungan antar varibel atau data.
Tujuan dari analisis MDS adalah membuat peta atau konfigurasi posisi objek
dalam ruang berdimensi rendah (umumnya dua dimensi) berdasarkan data jarak
antar objek atau data perubah ganda yang sebenarnya diubah dulu menjadi
matriks jarak. Kegunaan analisis MDS mendapatkan posisi relatif suatu objek
dibandingkan dengan obyek lain serta melakukan penggerombolan objek.

3.5.2 Analisis ISM

Interpretatif structural modelling) atau sering disingkat dengan ISM


adalah metoda yang dapat membantu mengidentifikasi hubungan antara
gagasan/ide dan struktur penentu dalam sebuah masalah yang kompleks. Menurut
Marimin (2004) teknik permodelan ISM digunakan untuk merumuskan alternatif
kebijakan dimasa yang akan datang. Tahapan dalam melakukan ISM (Eriyatno,
2003) adalah: penyusunan hierarki, klasifikasi sub-elemen dengan analisis matrik
111

dari klasifikasi sub-elemen disajikan pada Gambar 19, menentukan keadaan


(state) suatu faktor, membangun skenario yang mungkin terjadi.

Independent Variable Dependent Variable 

Sektor IV  Sektor II 

Daya Dorong 

(Drive Power) 
Autonomous Variable  Lingkage Variablel 

Sektor I  Sektor III 

Ketergantungan

(Dependence) 
Gambar 19. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor

3.5.3 Analisis dengan Sistem Dinamik

Penyusunan analisis sistem dimulai dengan analisis kebutuhan. Analisis


kebutuhan merupakan langkah awal dalam analisis sitem. Menurut Hartrisari
(2007) pada tahap ini diidentifikasi kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem
(stakeholders).

1. Analisis Kebutuhan
Setiap pelaku sistem memiliki kebutuhan yang berbeda –beda yang dapat
mempengaruhi kinerja sistem. Pelaku mengharapkan kebutuhan tersebut dapat
dipenuhi jika mekanisme sisterm tersebut dijalankan. Pada tahap ini, kebutuhan
dari masing-masing pelaku diidentifikasi sebagai dasar pertimbangan dalam
pemahaman sistem yang dikaji.
Inventarisasi kebutuhan stakeholders yang dilakukan disini akan dilakukan
sedemikian rupa sehingga diharapkan benar-benar merupakan aspirasi dari para
stakeholders yang sesungguhnya, sehingga diperoleh jenis-jenis kebutuhan yang
paling berpengaruh pada usaha penyusunan model tanpa mengabaikan kebutuhan
lainnya. Kebutuhan air bersih baik oleh industri, rumah tangga maupun publik.
Analisis ketersediaan air dilakukan terhadap kualitas air maupun kuantitas air.
Ketersediaan air baku untuk air bersih DKI Jakarta dari DAS Citarum maupun
112

ketersediaan air tanah. Menurut Denis (2010), kualitas air secara umum
menunjukkan mutu atau kondisi air yang dikaitkan dengan suatu kegiatan atau
keperluan tertentu. Sedangkan kuantitas menyangkut jumlah air yang dibutuhkan
manusia dalam kegiatan tertentu.

Dalam analisis sistem pengelolaan air bersih lintas wilayah yang


berkelanjutan melibatkan beberapa stakeholders baik dari pemerintah pusat
sampai kepada pemerintah daerah. Pemerintah pusat melibatkan beberapa
kementrian seperti Kementrian Pekerjaan Umum, Bappenas, Kementrian
Kesehatan, walaupun secara tidak langsung keterlibatan mereka. Sedangkan untuk
pemerintah daerah melibatkan Pemdah DKI, Pemdah Bogor, Pemda Kab Bekasi,
Pemda Tangerang, BPLHD, Bappeda dll. Selain itu juga stakeholder dalam
masalah ini yaitu PAM Jaya, PT.Palyja, PT.Jasa Tirta II, LSM dan lain-lain. Hal
tersebut dapat terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Analisis kebutuhan
STAKEHOLDERS KEBUTUHAN
PAM Jaya dan mitra - Suplai air baku lancar dan stabil
- Produksi air baku berkualitas dan
mencukupi
- Kualitas suplai air baku baik
- Pengolahan air baku efisien
- Harga jual air bersih
menguntungkan
- Jaringan pelayanan meningkat
- Keuntungan tinggi
Pemerintah Pusat (Kemen - Kebutuhan air bersih terpenuhi
PU, Kemendagri, - Kelestarian lingkungan terpelihara
Kemenkes, Kemen - Ketersediaan air baku
Keuagan, Kemen berkelanjutan
Kehutanan ) dan Pemda - PAD (devisa) meningkat
DKI
Masyarakat Pengguna - Kebutuhan air terpenuhi
- Air bersih yang sehat
- Supply air stabil
- Harga murah
LSM - Kelestarian lingkungan
- Harga murah
- Masyarakat dapat menerima
layanan air bersih
- Keseteraan antara PDAM dan
Masyarakat LSM
Sumber : Hasil wawancara, 2010 (diolah).
113

2. Formulasi permasalahan
Keberadaan PAM Jaya dalam pemenuhan air bersih DKI Jakarta, sampai
saat ini masih menemukan beberapa permasalahan diantaranya munculnya konflik
penggunaan air dan eksploitasi air secara berlebihan dan mengakibatkan semakin
besarnya tekanan terhadap lingkungan. Banyaknya limbah dari rumah tangga,
perkotaan, industri, yang telah mengakibatkan menurunnya kualitas air,
berkurangnya debit air di Waduk Juanda, serta terganggunya daerah tangkapan air
di hulu Sungai Citarum, adanya ketidaksesuaian tarif air bersih PAM Jaya yang
tidak memuaskan pihak PAM Jaya dan pihak pengguna, dan sebagainya.
Permasalahan yang muncul tersebut harus segera diatasi guna meminimalkan
terjadinya konflik dan menurunkan tekanan terhadap lingkungan dan munculnya
konflik kepentingan para stakeholder, sehingga pengelolaan air baku untuk
pemenuhan air bersih DKI Jakarta dapat berkesinambungan.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka disusun suatu pendekatan paradigma


dengan menggunakan analisis sistem yang mendorong disusunnya penelitian ini
dengan suatu perumusan masalah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Selanjutnya dilakukan formulasi masalah sebagaimana nampak pada Tabel 8.
114

Tabel 8. Formulasi masalah

Sinergis/tidak
Kebutuhan Kebijakan
sinergis
A. Masyarakat
Kebutuhan air Perlu kerjasama lintas wilayah,
Sinergis
terpenuhi 13 sungai, BKI, 3 R.
Perlu teknologi dan metode
Air yang berkualitas Sinergis pengelolaan, pipanisasi,
ultraviltasi
Suplai air stabil Sinergis PES, dana otda, 13 Sungai,
Perlu subsidi pemerintah, dana
Harga murah Tidak Sinergis
otda,
B. Pemerintah (Pusat
dan Pemda)
Kebutuhan masyarakat
Sinergis Perlu pengelolaan yang terpadu
ttg air tercukupi
Perlu kebijakan yang
Kelestarian lingkungan
Sinergis berorientasi lingkungan, PES
terjaga
(Konservasi), dana otda
Pengelolaan air yang efisien,
peningkatan efisiensi,
PAD Meningkat
peningkatan kapasitas
pelayanan,
Perlu konservasi, PES, dana
Keberlanjutan air otda, 13 Sungai, desalinasi,
pipanisasi (tunnel),
C. PDAM
Perlu sistem irigasi yang baik
Suplai air baku lancar
Tidak Sinergis agar debit air teratur dan tidak
dan stabil
berkurang
Air tidak tercemar Tidak Sinergis Pipasnisasi, teknologi modern,
Penambahan IPA (WTP),
Suplai air stabil Tidak Sinergis
pemanfaatan BKT, 13 Sungai
Harga jual tinggi /
Tidak Sinergis Perlu subsidi dari pemerintah
menguntungkan
Perlu penurunan tingkat
Jaringan pelayanan kebocoran air di pipa distribusi
Sinergis
meningkat dan komintmen dalam
memenuhi target MDGs
D. LSM
Kelestarian
Sinergis Perlu pengawasan
Lingkungan
Harga murah Tidak Sinergis Perlu adanya subsidi
Distribusi air besih Perlu sosialisasi program 3R,
Sinergis
lancar dan mencukupi keterlibatan dalam dewan SDA
Perlu adanya kontrol dan
Kesetaraan antara
Tidak Sinergis keterlibatan dalam penentuan
pengguna dan PDAM
kebijakan
115

3. Identifikasi Sistem
Hal terpenting dalam identifikasi sistem adalah mengintepretasikan semua
komponen yang berinteraksi ke dalam konsep kotak gelap (black box), untuk ini
diperlukan informasi-informasi yang dikatagorikan menjadi tiga yaitu peubah
input, peubah output dan parameter-parameter yang membatasi struktur sistem.
Pada penelitian ini ada tiga variabel yakni variabel state (pendukung) dalam
membangun model konseptual, dan selanjutnya ditentukan variabel non-state
(variabel lainnya) yang meliputi variabel penggerak (driving), variabel pembantu
(auxiliary), dan variabel tetap (constant) yang melengkapi suatu model (diagram
black box).

4. Diagram sebab akibat (causal loop)


Setelah dilakukan identifikasi sistem, dilanjutkan dengan penyusunan
diagram lingkar sebab akibat atau diagram causal loop yang mengambarkan
hubungan sebab akibat tentang pengelolaan air bersih lintas wilayah yang
digambarkan dalam bentuk diagram lingkar (Gambar 20).

Gambar 20. Diagram lingkar sebab akibat pengelolaan air baku lintas wilayah
116

5. Diagam input output


Diagram input output model kebijakan pengelolaan air lintas wilayah yang
bersifat holistik dan keberlanjutan pada era otonomi daerah, diagram input-output
mengambarkan beberapa permasalahan yang terkait dengan pengelolaan air baku
untuk bersih baik permasalahan lingkungan global, jumlah penduduk,
pencemaran sampai kepada konflik pengelolaan sumber daya air antara PAM Jaya
dan mitra serta konflik air antar pemerintah daerah. Pada Gambar 20 disajikan
diagram lingkar sebab akibat dalam pengelolaan air bersih. Kebutuhan air bersih
mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan pertumbuhan penduduk,
sedangkan produksi air bersih sangat dipengaruhi kualitas dan kuantitas sumber
air baku dan seterusnya.

Gambar 21. Diagram input output pengelolaan air baku lintas wilayah
117

6. Rekayasa atau perancangan model


Perancangan model dilakukan berdasarkan hasil faktor-faktor penting yang
harus dikelola dari hasil studi yang telah dilakukan berdasarkan kajian analisis
prospektif serta dilakukan berdasarkan hubungan sebab akibat yang akan terjadi
dari faktor-faktor yang terpilih. Hubungan sebab akibat dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu hubungan positif dan hubungan negatif. Hubungan positif
adalah hubungan sebab akibat dimana makin besar nilai faktor penyebab akan
makin besar pula nilai faktor akibat, sedangkan hubungan negatif adalah
hubungan sebab akibat dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin
kecil nilai dari faktor akibat. Dampak atau akibat dari suatu sebab dapat
mempengaruhi balik sebab tersebut, sehingga terdapat hubungan sebab akibat
yang memiliki arah berlawanan dengan hubungan sebab akibat yang lain. Dalam
hal ini terbentuk suatu umpan balik tertutup, yang sering kali disebut sebagai loop.
Loop adalah suatu akibat yang dibalikkan ke penyebabnya, sehingga terbentuk
apa yang dinamakan umpan balik atau feed back loop (Aminullah, dkk 2001).

Umpan balik dapat dibedakan atas dua macam yaitu umpan balik positif dan
umpan balik negatif. Suatu umpan balik disebut positif bila perkalian tanda dari
hubungan sebab akibat yang membentuknya adalah positif, sedangkan bila
hasilnya negatif maka umpan balik tersebut disebut umpan balik negatif. Umpan
balik dapat terjadi secara alamiah maupun karena adanya suatu kebijakan yang
diterapkan pada sistemnya. Suatu umpan balik menyatakan mekanisme perubahan
nilai faktor secara otomatis. Umpan balik positif memberikan penguatan terhadap
perubahan yang terjadi, sehingga nilai perubahan tersebut makin lama makin
besar. Sebaliknya umpan balik negatif memberikan pelemahan terhadap
perubahan yang terjadi, sehingga nilai perubahan tersebut makin lama makin kecil
dan akhirnya hilang.

7. Verifikasi, simulasi dan validasi model.


Verifikasi, yakni proses pembuktian model tanpa memasukkan data.
Sedangkan validasi adalah proses penyelidikan keabsahan dari model yang dibuat
dengan menggunakan data sekunder sebagai pembandingnya sehingga model
tersebut dapat dijadikan pembenaran atas sistem yang sebenarnya. Proses validasi
terdiri dari dua tahapan yakni validasi struktur dan validasi kinerja.
118

8. Analisis kebijakan
Analisis kebijakan dalam penelitian ini mengunakan analisa konten dan juga
analisa legal review yaitu melakukan evaluasi terhadap konten suatu kebijakan
yang bertujuan untuk menilai secara sistematis pengaruh negative dan positif
regulasi yang sedang berjalan ataupun yang akan diusulkan, sehingga kebijakan
yang sedang berjalan berlaku atau akan diberlakukan merupakan pilihan kebijakan
yang paling efisien dan efektif.

Agar kebijakan publik dapat diimplementasikan dengan baik dan efisien


diperlukan setting agenda. Setting agenda diperlukan diperlukan untuk
mengkomunikasikan kebijakan publik. Proses dan tahapan setting agenda dapat
dimulai dengan melakukan kajian akademis terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan
dengan focus grup discussion (FGD), seminar nasional, sosialisasi kebijakan
publik, implementasi kebijakan publik dalam sekala kecil (uji coba), evaluasi
kebijakan dan implementasi kebijakan publik di masyarakat.
119

BAB IV
ANALISIS SUPPLY DEMAND AIR BAKU
UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN
AIR BERSIH DKI JAKARTA

4.1 Deskripsi Wilayah


Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi secara umum
memiliki banyak kesamaan dalam berbagai aspek, seperti kondisi geografis, profil
penduduk, serta aktivitas ekonominya. Kesamaan ini terjadi karena wilayah-
wilayah tersebut berbatasan satu sama lainnya, batas-batas wilayah tersebut
semakin manyatu dengan terhubungkannya infrastruktur tranportasi yaitu jaringan
jalan raya, tol dan jaringan rel (kereta apil) antar wilayah. (Legowo, 2009).
Penduduk yang berada di luar kota Jakarta diperkirakan yang bekerja di Jakarta
dengan melaju pulang pergi setiap harinya sebanyak 4 juta orang lebih. Mereka
bekerja dan beraktivitas di siang harinya di Jakarta kemudian pulang di sore atau
malam hari ke wilayah sekitar Jakarta yaitu Tangerang, Depok. Bekasi, dan
Bogor.
Bab ini didahului dengan deskripsi wilayah yang meliputi jumlah populasi
atau jumlah penduduk masing-masing wilayah dikaitkan dengan penyediaan air
bersih oleh Perusahaan Air Minum (PAM) di daerah tersebut serta kebutuhan air
bersih masing-masing wilayah. Kebutuhan air bersih diartikan sebagai air untuk
keperluan sehari hari dan yang dipenuhi oleh PAM sedangkan air tanah tidak
dibahas dalam disertasi ini. Selain itu juga dalam bab ini disajikan beberapa
potensi sumber air yang dapat digali dan dimanfaatkan untuk keperluan
pemenuhan air bersih wilayah tersbut serta yang dapat dimanfaatkan untuk
pemenuhan air bersih DKI Jakarta melalui berbagai kerjasama PAM.

4.1.1 DKI Jakarta


Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan dataran rendah dengan
ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada 6 -12 lintang
selatan dan 106º48” Bujur Timur. Luas DKI Jakarta berdasarkan SK Gubernur
Nomor 1227 Tahun 1989, adalah berupa daratan seluas 661.52 km2 (Legowo,
2009). DKI Jakarta merupakan Ibukota Republik Indonesia yang letak
120

geografisnya sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa, sebelah timur berbatasan
dengan Bekasi (Propinsi Jawa Barat), sebelah selatan berbatasan dengan Kota
Depok dan Bogor (Propinsi Jawa Barat), sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Tangerang dan Tangerang Selatan (Propinsi Banten).
Penduduk Jakarta pada tahun 2000 mencapai 8.383.639 jiwa dan pada
tahun 2010 mencapai 9.588.198 orang. Data tersebut ternyata berbeda dengan data
yang diberikan oleh Suku Dinas Kependudukan dan Pencacatan Sipil DKI
Jakarta, menurut Sudin Kependudukan dan Pencacatan Sipil DKI Jakarta, jumlah
penduduk DKI Jakarta tahun 2010 sebesar 8.524.022 orang. Namun berdasarkan
hasil sensus penduduk 2010 dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provisi DKI Jakarta,
jumlah penduduk DKI Jakarta jauh lebih besar yaitu 9.588.198 orang. Hal tersebut
dapat dipahami bahwa sensus BPS tersebut tidak melihat kartu tanda penduduk
(KTP) orang yang disensus, sehingga dimungkinkan bahwa penduduk pendatang
yang tinggal di Jakarta yang belum memiliki KTP DKI Jakarta termasuk dalam
pencatatan sensus penduduk .

Tabel 9. Penduduk DKI Jakarta

Tahun Penduduk No. Tahun Penduduk

1. 2002 8.379.069 13 2014 9.136.800*


2. 2003 8.603.776 14. 2015 9.168.500*
3. 2004 8.725.630 15. 2016 9.193.500*
4. 2005 8.864.519 16. 2017 9.216.400*
5. 2006 8.961.680 17. 2018 9.236.500*
6. 2007 9.064.000 18. 2019 9.252.200*
7. 2008 9.146.000 19. 2020 9.262.600*
8. 2009 9.223.000 20. 2021 9.269.300*
9. 2010 9.588.198 21. 2022 9.273.100*
10. 2011 9.022.100* 22. 2023 9.272.900*
11. 2012 9.063.000* 23. 2024 9.268.600*
12. 2013 9.101.200* 24. 2025 9.259.900*

Sumber: DKI dalam angka 2009

Jumlah penduduk di wilayah Jakarta, Bogor (Depok), Tangerang dan Bekasi


dalam kurun waktu tahun 1980 sampai 1995 mengalami pertumbuhan yang
bervariasi pertahunnya. Penyebaran distribusi penduduk di wilayah DKI Jakarta
121

dalam empat periode mengalami penurunan dari 54,6 persen di tahun 1980
menurun hingga 45,2 di tahun 1995. Sebaliknya distribusi penduduk di wilayah
lainnya bertumbuh, misalnya Bekasi tahun 1980 distribusi penduduk diwilayah
ini 9,6 persen dan menjadi 13,7 persen pada tahun 1995. Penurunan distribusi
penduduk di wilayah DKI Jakarta dimungkinkan, karena wilayah ini semakin
diperlukan sebagai tempat aktivitas pusat bisnis, perdagangan dan pemerintahan
(Studi Master Plan Integrasi Transportasi di Jabodetabek, 2001).
Penduduk DKI Jakarta terdiri dari berbagai etnis, sedangkan etnis asli
penduduk DKI Jakarta adalah Betawi. DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara RI
yang merupakan negara kepulauan dengan sekitar 13.000 pulau dan penduduk
lebih dari 200 juta. Berikut Tabel 10 yang merupakan data lengkap jumlah
penduduk eksisting dan proyeksi Provinsi DKI Jakarta.

Tabel 10. Data demografi DKI Jakarta bulan Juli 2010


WNI WNA
No Wilayah Total
Pria Wanita Jumlah Pria Wanita Jumlah

1. Jakarta Pusat 502.464 418.170 920.634 189 144 333 920.967

2. Jakarta Utara 776.656 645.203 1.421.859 269 240 509 1.422.368

3. Jakarta Barat 868.853 765.385 1.634.238 334 302 636 1.634.874

Jakarta
4.
Selatan
1.061.953 831.480 1.893.433 407 250 657 1.894.090

5. Jakarta Timur 1.428.590 1.202.013 2.630.603 124 109 233 2.630.836

6. Kep. Seribu 11.478 10.496 21.974 0 0 0 21.974

TOTAL 4.649.994 3.872.747 8.522.741 1.323 1.045 2.368 8.525.109

Sumber : Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi

Berdasarkan Tabel 10 di atas menunjukkan bahwa penduduk DKI Jakarta


berkonsentrasi pada daerah pingiran di Jakarta Selatan, JakartaTimur dan Jakarta
Barat serta Jakarta Utara disusul Jakarta Pusat. Sebaran penduduk DKI Jakarta
seperti kue donat menumpuk dipingiran. Jumlah penduduk menurut kelurahan
dapat dilihat pada Tabel 11.
122

Tabel 1 Jumlah RT, RW DKI Jakarta Juli 2010

Wilayah Wajib Kartu Jumlah Jumlah


Kelurahan Penduduk
KTP Keluarga RT RW

Jakarta
44 920.967 754.796 260.825 4.669 394
Pusat

Jakarta
31 1.422.368 1.073.677 396.576 5.031 424
Utara

Jakarta
56 1.634.874 1.361.365 473.762 6.380 578
Barat

Jakarta
65 1.894.090 1.349.164 460.784 6.118 576
Selatan

Jakarta
65 2.630.836 1.868.792 699.287 7.863 702
Timur

Kep.
6 21.974 15.432 5.958 122 24
Seribu

TOTAL 267 8.524.022 6.423.226 2.297.192 30.183 2.698


Sumber : Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, 2010.

4.1.2 Kabupaten dan Kota Bekasi


Kabupaten Bekasi berbatasan langsung dengan DKI Jakarta dan
merupakan daerah penyangga Jakarta selain Tangerang dan Bogor, serta Depok.
Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Bekasi adalah sebelah utara Laut Jawa,
sebelah selatan Kabupaten Bogor, sebelah barat Kota Jakarta Utara sebelah timur
Kabupaten Kerawang. Kabupaten Bekasi memiliki luas wilayah 127.388 km2.
Kabupaten bekasi terdiri dari 13 kecamatan dengan total penduduk 2.027.902
pada tahun 2008 dan menjadi 2.415.667 jiwa pada tahun 2010.
Kota Bekasi memiliki luas sekitar 210,48 km2 dan berpenduduk 1.663.802
(Sensus Penduduk 2000) dan tersebar di 12 Kecamatan (Kota Bekasi Dalam
Angka, 2006). Data demografi penduduk Kota Bekasi dapat dilihat pada Tabel 12
123

Tabel 12. Perkembangan penduduk Kota Bekasi (2005-2010)


No 1 2 3 4 5 6
Kecamatan
. 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1. Pondok Gede 251.623 261.569 271.909 282.658 293.832 305.447
2. Jatisampurna 112.796 117.255 121.890 126.709 131.718 136.924
3. Pondok Melati
4. Jatiasih 189.674 197.172 204.966 213.068 221.491 230.247
5. Bantargebang 172.643 179.468 186.562 193.937 201.604 209.573
6. Mustikajaya
7. Bekasi Timur 222.536 231.333 240.478 249.984 259.866 270.139
8. Bekasi Selatan 204.777 212.872 221.287 230.035 239.128 248.581
9. Bekasi Barat 238.855 248.297 258.112 268.316 278.922 289.948
10. Bekasi Utara 255.521 265.622 276.122 287.037 298.384 310.179
11. Rawalumbu 185.832 193.178 200.814 208.752 217.004 225.583
12. Medansatria 155.733 161.889 168.289 174.941 181.857 189.046
1.989.990 2.068.655 2.150.430 2.235.438 2.323.806 2.415.667
TOTAL

Sumber : RPJMD Kota Bekasi Tahun 2008-2013

Isu utama di PDAM Bekasi saat ini adalah, biaya produksi dari air baku
sampai ke konsumen sebesar Rp 2.900. Biaya tersebut termasuk biaya pembelian
air baku dari bendungan. Harga air dari Kali Bekasi yang tahun lalu harganya
sudah naik lebih dari 100%, yaitu dari harga Rp 30 menjadi Rp 65 per meter
kubiknya. Belum lagi harga bahan kimia untuk mengolah air baku menjadi air
bersih juga ikut naik termasuk biaya listrik yang dibebankan kepada PDAM
adalah tarif untuk perusahaan sehingga PDAM harus membayar listrik dengan
biaya yang sangat besar.

4.1.3 Kabupaten dan Kota Tangerang (Propinsi Banten)


Kota Tangerang dahulunya merupakan ibukota Kabupaten Tangerang,
semenjak adanya otonomi daerah maka Kotamadya Tangerang dengan ibukota
Tangerang, Kabupaten Tangerang dengan Ibukota Tigaraksa dan Kabupaten
Tangerang Selatan yang baru berkembang dengan pesat di kawasan Kota Baru
Bumi Serpong Damai sampai ke Daerah Ciputat dan sekitarnya. Tangerang
merupakan daerah yang terdekat dengan Jakarta dan sebagai daerah peyangga
Jakarta selain Bekasi dan Depok.
Daerah Tangerang merupakan wilayah Provinsi Banten yang berbatasan
langsung dengan DKI Jakarta. Kotamadya Tangerang berbatasan langsung dengan
124

daerah Jakarta Barat (Cengkareng dan Kalideres). Sedangkan Kabupaten


Tangerang sebelah timur berbatasan dengan DKI Jakarta, sebelah selatan dengan
Tangerang Selatan yang merupakan kabupaten baru pecahan dari Kabupaten
Tangerang yang berbatasan langsung dengan Jakarta Selatan. Kabupaten
Tangerang memiliki luas 1.110.38 km2 dengan jumlah penduduk sebesar
2.781.428 jiwa (sensus penduduk 2000) yang tersebar di 26 kecamatan. Kota
Tangerang, memiliki luas yaitu 164.31 km2, dengan jumlah penduduk 1.325.854
(Banten Dalam Angka) yang tersebar di 13 kecamatan.
Jika dibandingkan dengan penduduk di kabupaten lain di wilayah Propinsi
Banten, Kabupaten Tangerang memiliki jumlah penduduk terbesar bahkan lebih
besar dari Kabupaten/Kota Serang. Pada tahun 1961 Kota Serang berpenduduk
terbesar di antara Propinsi Banten (pada saat itu masih termasuk Jawa Barat) yaitu
sebesar 641.115 dan kota Tangerang 643.647. Pada tahun 1980 Kota Tangerang
menempati urutan tertinggi tingkat jumlah penduduknya yaitu sebesar 1.843.755
sedangkan Kota/Kabupaten Serang menempati urutan kedua dengan jumlah
penduduk sebesar 1.244.755 ketiga ditempati oleh Kota Tangerang sebesar
1.537.244, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 13 di bawah ini.

Tabel 2. Jumlah penduduk kabupaten dan kota di wilayah Provinsi Banten


Kabupaten/Kota 1961 1971 1980 1990 2000 2005
Regency/Muni-
cipolity
Kab/ Reg
Pandeglang 440.213 572.628 694.759 858.437 1.011.788 1.106.788
Lebak 427.802 546.364 682.868 873.646 1.030.040 1.139.043
Tangerang 643.647 789.870 1.131.19 1.843.755 2.781.428 3.324.949
9
Serang 648.115 766.410 968.358 1.244.755 1.652.763 1.866.512
Kota/
Municipolity
Tangerang 206.743 276.825 397.825 921.848 1.325.854 1.537.244
Cilegon 72.054 93.057 140.825 226.083 294.936 334.408
Banten 2.438.574 3.045.154 4.015.837 5.967.907 8.096.809 9.308.944
Sumber: (Banten Dalam Angka 2005).

4.1.4 Kabupaten dan Kota Bogor serta Kota Depok


Secara geografis Kabupaten Bogor terletak antara 6o 18” 0”- 6o 47”10
lintang selatan dan 106o 23 ”45” – 107o 13 ”30” bujur timur, yang sebelah utara
125

berbatasan dengan DKI Jakarta. Kabupaten Bogor memiliki luas 298.838,304 Ha


dengan sebelah utara berbatasan dengan Jakarta dan Depok, Tangerang dan
Tangerang Selatan. Sebelah timur berbatasan dengan Cianjur, Bekasi, Kerawang
dan Kabupaten Purwakarta. Sebelah barat berbatasan dengan Tangerang dan
Kabupaten Lebak serta sebelah selatan berbatasan dengan Sukabumi dan Cianjur.
Kabupaten Bogor terdiri dari 40 Kecamatan dan terdiri dari 411 desa serta 17
kelurahan dengan total penduduk pada tahun 2006 mencapai 4.215.585 jiwa dan
pada tahun 2007 mencapai 2.237.962 jiwa.
Kabupaten Bogor memiliki curah hujan yang sangat tinggi dan merupakan
daerah resapan air hujan sebagai akuifer air yang dikonsumsi untuk wilayah
sekitarnya termasuk DKI Jakarta. Bogor merupakan daerah dataran tinggi dengan
memiliki pegunungan seperti Gunung Salak, Gunung Pangrango dan Gunung
Gede dengan potensi air permukaan yang sebagian besar berasal dari sungai-
sungai utama potensial yang dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik maupun
non-domestik. Kondisi sungai dan situ di wilayah Bogor cukup baik dan
memungkinkan mengalir sepanjang tahun. Sungai besar dan kecil yang
kemungkinan dapat dimanfaatkan sebagai sumber air yang berasal dari mata air
yang berada di bagian atas daerah atas tersebut seperti Gunung Salak, Gunung
Pangrangro dan Gunung Gede. Pemanfaatan air sungai untuk kebutuhan domestik
dilaksanakan dengan pengambilan langsung dari aliran sungai yang berada di
lereng Gunung Salak dan Panggrango.
Kabupaten Bogor memiliki sejumlah mata air, jumlah mata air yang ada di
seluruh kabupaten yang telah diinventarisasi oleh Bapeda Kabupaten Bogor
terdapat 96 lokasi yang tersebar di 36 Kecamatan. Namun sumber air potensial
untuk air baku berdasarkan laporan dari PDAM Bogor, untuk wilayah Bogor
tengah adalah dari DAS Cisadane dan DAS Ciliwung yang mempunyai potensi air
permukaan yang cukup berlebih.
PAM Tirta Kahuripan memiliki sebelas cabang yang melayani Kota
Bogor, Kabupaten Bogor dan Kota Depok. Embrio PAM Tirta Kahuripan
didirikan di Kota Depok pada bulan Juli 1997 oleh PPSAB Jawa Barat. Sebelum
pemekaran Kabupaten Bogor, kantor pusat PDAM Tirta Kahuripan berada di
126

Kota Depok. Oleh karena itu tidak heran jika pelanggan terbesar dari PAM Tirta
Kahuripan berada di Kota Depok.
Cakupan pelayanan PAM Tirta Kahuripan baru mencapai 17% dari total
penduduk Kota Depok. Kota Depok masuk dalam pelanyanan Cabang I, II, III
dan IV dan sebagian besar pelanggan PAM Tirta Kahuripan berada di kota Depok
yaitu kurang lebih 43% dari total pelanggan. Bahkan konstribusi penjualan air
PAM Kota Depok merupakan yang paling tinggi sehingga sumbangannya
terhadap perusahaan cukup besar. Tahun 2004 misalnya, penjualan air kota Depok
mendapat 14 juta m3 dari total penjualan sekitar 29 juta m3.
Sejak pemekaran Kabupaten Bogor menjadi dua daerah pada tahun 1999,
yaitu Kabupaten Bogor sendiri dan Kota Depok, PAM Tirta Kahuripan saat ini
melayani kedua daerah tersebut. Disamping kedua daerah pelayanan utama, PAM
Tirta Kahuripan juga melayani Kota Bogor yang dulunya masuk kedalam wilayah
adminstrasi Kabupaten Bogor. PDAM Tirta Kahuripan melayani kurang lebih
15% pelanggannya yang berada di Kota Bogor yang tersebar di Bogor Utara,
Tanah Sereal dan Bogor Barat dan sebesar 42% pelanggan PAM Tirta Kahuripan
berada di Kabupaten Bogor serta 43% pelanggannya berada di Kota Depok.
Cakupan pelayanan PAM Tirta Kahuripan di daerah pelayanan Kabupaten
Bogor, mencapai 15% penduduk. Pertambahan pelanggan baru per tahun, juga
masih dibawah angka pertumbuhan penduduk, sehingga sulit sekali untuk
mengejar target 80% cakupan pelayanan , dalam waktu lima tahun kedepan.
Sebanyak 42% pelanggan PAM Tirta Kahuripan masuk dalam pengelolaan
Kantor Cabang V, VI, VII, VIII, IX, X dan XI. Khusus Kantor Cabang VI dan VII
disamping melayani pelanggan di Kabupaten Bogor, juga melayani pelanggan di
Kota Bogor.
PAM Tirta Kahuripan dalam memenuhi kebutuhan pelanggan menggunakan
tiga sumber air yaitu air permukaan (sungai), mata air dan sumur bor dengan
kaulitas air dan sistem pengolahan yang berbeda-beda. Sumber mata air dan
sumur bor mempunyai kualitas air yang relatif baik dibandingkan dengan sumber
air permukaan. Jumlah kapasitas terpasang rata-rata dari ketiga sistem pengolahan
tersebut adalah 2.126,5 l/detik termasuk unit sumur bor di Kota Wisata.
127

4.2 Analisis Kebutuhan Air Jakarta dan Sekitarnya


Dalam rangka memenuhi kebutuhan yang direncanakan, perlu
mempertimbangkan pemilihan jenis sumber daya air yang tepat, sesuai dengan
peruntukan kebutuhan tersebut. Setiap jenis sumber daya air mempunyai
kelebihan dan kekurangan apabila dibudidayakan untuk memenuhi suatu
kebutuhan dengan peruntukan tertentu. Tabel 25 memperlihatkan secara umum
perbandingan keuntungan dan kekurangan air permukaan dan air tanah.
Menimbang kelebihan dan kekurangan air tanah tersebut dibandingkan
dengan air permukaan, serta tuntutan penyediaan pasokan air yang terus
meningkat, sementara sumber lain tidak/belum tersedia, maka pengguna air masih
sangat mengandalkan sumber daya air tanah. Berdasarkan beberapa data yang ada,
diperkirakan 70 % kebutuhan pasokan air untuk keperluan domestik di Indonesia
masih mengandalkan air tanah. Saat ini, lebih dari satu setengah milyar penduduk
perkotaan di seluruh dunia menggantungkan pasokan air dari air tanah
(Anonymous, 1999).
Jakarta sebagai Ibukota Negara RI merupakan kota terbesar dengan jumlah
penduduknya terpadat di seluruh Indonesia dengan kebutuhan air eksisting,
kebutuhan air proyeksi, dan ketersediaan air baku yang tinggi per kapitanya.
Seperti yang diketahui, sejak 1998, jumlah pelanggan yang tercatat sebanyak
200.000, sedangkan air baku sebesar 8.500 liter/detik. Pasa saat jumlah pelanggan
sudah menjadi 420.000 orang pada 2010, air bakunya tetap sama yakni 8.500
liter/detik. Pada Tabel 14 dipaparkan kebutuhan air di Jakarta serta pada wilayah
sekitar DKI Jakarta. Kebutuhan air DKI Jakarta dewasa ini telah berkembang
secara luar biasa dan akan berada pada kedudukan terdepan di Asia pada
dasawarsa mendatang. Sehingga perencanaan dalam pengelolaan air bersih lintas
wilayah berkelanjutan, perlu dikaji dan diteliti lebih mendalam. Sebagai contoh
kasus bahwa tingkat kehilangan air PT.Aetra pada akhir 2010 mencapai 49,24
persen. Pada bulan April 2011 PT. Aetra telah menurunkan tingkat kehilangan air
tersebut menjadi 47,38%.
128

Tabel 3. Perkiraan kebutuhan air baku untuk air minum dan industri
Lokasi Perkiraan kebutuhan air baku untuk air minum dan industri
Pusat Pengembangan (ton kubik)
2005 2025
Jakarta 36,43 55,13
Bogor 2,35 4,26
Tangerang 3,04 5,56
Tangsel 1,74 4,00
Bekasi 1,13 2,43
Depok 0,61 1,39
Cikarang 0,69 1,47

TOTAL 45,99 74,24


Sumber : Cisadane River Basin JICA, 2003 (diolah)

4.2.1 Kebutuhan Air Wilayah Tangerang


Kebutuhan air bersih penduduk kota dan Kabupaten Tangerang saat ini
dilayani oleh PAM Tirta Benteng Kota Tangerang dan PAM Kabupaten
Tangerang yang memanfaatkan sumber air baku dari Sungai Cisadane. Hulu
Sungai Cisadane berada di wilayah Bogor Provinsi Jawa Barat. Adapun
kebutuhan air bersih untuk Kota Tangerang adalah sebagaimana digambarkan
pada Tabel 15 .
Tabel 4. Perkembangan kebutuhan air bersih kota Tangerang
No Tahun Jumlah (liter)
1 1998 2.570.236
2 1999 2.661.236
3 2000 2.754.666
4 2001 2.843.874
5 2002 2.975.368
Sumber: PAM Kota Tangerang, 2003 (diolah)

Tabel 15 menunjukkan bahwa kebutuhan air Kota Tangerang masih belum


begitu besar karena kebutuhan air penduduk Tangerang baik kabupaten maupun
Kota Tangerang dan juga Kota Tangerang Selatan masih banyak diambil dari air
tanah. Jika penduduk Tangerang membutuhkan air per hari rata-rata sebanyak
100 liter maka kebutuhan air bersih Kota Tangerang saja sebesar 2.781.428 org X
100 liter = 200.781.428 liter/hari. Kebutuhan air tersebut belum termasuk
kebutuhan air untuk industri, komersil dan lain- lain mengingat Kota Tangerang
dan Kabupaten Tangerang adalah daerah industri.
129

Kebutuhan air untuk Kabupaten Tangerang guna keperluan sehari-hari


adalah 1.311.746 org X 100 liter/orang/hari = 100.311.746 liter/hari. Khusus
untuk Kota Tangerang Selatan (Tangsel) yang meliputi Kota Satelit Bintaro,
Ciputat dan Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD City), diperkirakan kebutuhan
air penduduk Kota Tangsel melebihi 100 liter/orang / hari. Jumlah penduduk
Kota Tangsel belum dapat disajikan dalam disertasi ini karena belum tersedia data
karena kota Tangsel merupakan kota baru pecahan dari Kabupaten Tangerang
(Pada tahun 2009 Tangsel memisahkan diri dari Kabupaten Tangerang).

4.3 Suplai
4.3.1 Suplai Air Baku dan produksi Air Bersih DKI Jakarta

PAM Jaya dalam memenuhi kebutuhan air bersih untuk Wilayah Jakarta
mengandalkan sumber air baku dari DAS Citarum yang disuplai oleh PJT II
(Waduk Jatiluhur) yang lokasinya di Daerah Purwakarta dengan hulu Sungai
Gunung Wayang. Selain DAS Citarum PAM Jaya juga membeli air curah dari
PAM Tangerang dengan sumber air baku dari DAS Cisadane. Walau terdapat 13
sungai yang mengalir di DKI Jakarta seperti Sungai Ciliwung, Kali Pesanggrahan,
Kali Krukut, Kali Angke, Kali Sunter, Kali Baru dan lain-lain saat ini
pemanfaatannya masih sedikit sekali. Beberapa sungai yang ada memang sudah
tercemar bahkan menurut BPLHD Jakarta, hampir seluruh sungai yang ada di
DKI Jakarta telah tercemar dan tidak layak untuk dikonsumsi (BPLHD DKI
Jakarta, 2006). Alokasi air dari PJT II (Waduk Jari luhur) dapat dilihat pada Tabel
16 beikut ini .
130

Tabel 16. Alokasi air PJT II

No Uraian Kebutuhan Air m3/detik

1 DI Jatiluhur Rendeng 2009/2010 41,908

2 Gadu 2010 35,279


3 PAM DKI Jakarta 16,4
4 PAM Bekasi 0,60
5 PAM Karawang + Industri 2,00
6 Industri 3,43
7 Saluran Tarum Barat -
8 Palawija -
9 DI Selatan Jatiluhur Rendeng 2009/2010 -
10 Gadu 2010 4,58

Sumber : PJT II 2010.

PJT II selain mensuplai air untuk kebutuhan PDAM juga mensuplai air
untuk keperluan pertanian dan industri. Alokasi air untuk pertanian sebesar 80%
dari total kapasitas air baku PJT II. Kebutuhan air untuk PAM Jaya sebesar 16,3
m3/detik dan untuk PAM Bekasi 0,60 m3/detik, PAM Kerawang dan Industri
Kerawang sebesar 2,0 m3/detik. Sedangkan debit pengambilan minimun , debit
pengambilan maksimum dan realisasi dapat dilihat pada Tabel 17 berikut ini.

Tabel 5. Realisasi air PJT II

Debit
Debit
Pengambilan
Pengambilan
No Uraian Air Realisasi (m3) Selisih (m3)
Air Minimun
Maksimum
(m3)
(m3)

1 Total Kapasitas 48.136.165,45


59.574.014,00 49.828.246,20 6.564.964,65

Air Untuk PAM DKI


2 37.648.216,00
JAKARTA 42.275.520,00 35.935.192,00 1.457.140,00

3 Air lainnya 4.958.852,00


7.013.692,00 5.718.524,00 1.407.256,00

4. Air Untuk Industri 5.529.097,85


10.284.802,00 8.175.530,20 3.701.068,25
Sumber: PJT II 2010.
131

4.3.1.1 Produksi Air Bersih PAM Jaya


Kapasitas prdoduksi air bersih PAM JAYA dari tahun ke tahun tidak
mengalami peningkatan yang signigikat dikarena pasokan air baku juga tidak
mengalami peningkatan atau penambahan. PT. Palyja selain mendapatkan
pasokan air baku dari PJT II juga membeli air curah dari PDAM Tangerang (DAS
Cisadane), sedangkan PT. Aetra hanya mengandalkan pasokan air dari PJT II.
Produksi air baku dari PT. Palyja dan PT. Aetra dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 6. Kapasitas produksi PAM JAYA.
No PERUSAHAAN KAPASITAS PENDUDUK JUMLAH
(M3) TERLAYANI KEBUTUHAN
(orang) (Orang)
1 PT. Palyja 247.617.201 2.851.400
2 PT. Aetra 261.814.733 2.654.348
Total 509.431.934 5.505.748 9.000.000
Catatan kebutuah air
minum 150 lcpd
Sumber: PAM Jaya 2010

Suplai air bersih dari PJT II diolah di beberapa instalasi pengelolaan yaitu
Instalasi Pengeloloaan Air (IPA) Pejompongan I, Pejompongan II, Pulogadong
dan IPA Buaran. Pengelolaan dan distribusi air bersih saat ini dilaksanakan oleh
dua perusahaan swasta sebagai operatornya yaitu PT.Palyja dan PT.Aetra.
Kapasitas produksi PT. Palyja pada tahun 2010 sebesar 247.617.201 m3 dan
PT.Aetra sebesar 261.814.934 m3 (Tabel 18 di atas) total produksi sebesar
509.431.932 m3 dengan total kapasitas pelayanan sebesar 5.505.748
orang/penduduk yaitu kurang lebih 60% dari penduduk DKI Jakarta. Adapun
kapasitas produksi PAM Jaya dapat terlihat pada Tabel 19.

Tabel. 19 Kapasitas Produksi PAM Jaya (m3)


Uraian 2005 2006 2007 2008 2009
PT. PALYJA 261.740.105 257.458.324 248.611.912 251.241.679 247.617.201
PT. AETRA 280.199.709 281.365.604 261.310.024 266.722.860 261.814.733
Total 541.939.814 538.823.928 509.921.936 517.964.539 509.431.934
Sumber: PAM Jaya, 2010.
132

Suplai air bersih sangat tergantung kepada kapasitas produksi dan suplai air
baku. Dari data yang ada menunjukkan kapasitas air produksi PAM Jaya dari
tahun ke tahun mengalami penurunan dikarenakan penurunan pasokan/suplai air
baku, sebagaimana dijelaskan pada Tabel 19 di atas. Adapun cakupan pelayanan
dari PT.Palyja dan PT. Aetra serta standar kualitas air produksi PAM Jaya
nampak pada 20 berikut ini.

Tabel 20. Cakupan pelayanan dan standar kualitas air


Uraian 2005 2006 2007 2008 2009
PT. PALYJA 54,55% 55,48% 58,99% 61,85% 64,04%
PT. AETRA 66,45% 57,26% 66,08% 65,28% 59,67%
Standar Air bersih Air besih Air bersih Air bersih Air bersih
Kualitas air
Sumber: PAM Jaya, 2010.

Tabel 20 di atas menunjukkan bahwa kualitas air produksi PAM Jaya


adalah kualitas dengan standar air bersih bukan air minum. Sedangkan cakupan
layanan masing-masing mitra kerja PAM Jaya nampak pada bahwa cakupan
pelayanan antara 50% sampai 60% dengan rata-rata cakupan pelayanan 60%.

4.3.1.2 Kebocoran Air Bersih


Kebocoran air atau unaccounted for water (UFW) masih besar dan
menjadi komponen utama. Kebocoran air di tingkat nasional masih cukup besar
yaitu sekitar 40% bahkan untuk DKI Jakarta tingkat kebocoran melebihi angka
40%. Kehilangan air PAM Jaya dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2009 dapat
dilihat pada Tabel 21.
133

Tabel 7. Kebocoran air PAM Jaya 2003-2009.


Tahun Produksi PAM Jaya Air Terjual m3 Kebocoan (%)

2003 497.662.644 274.102.317 44,92


2004 518.990.345 270.908.830 47,80
2005 536.650.419 267.080.481 50,23
2006 534.987.620 261.856.133 48,94
2007 509.921.936 252.757.335 50,43
2008 517.964.539 258.940.000 50,01
2009 509.431.934 275.433.234 45,93
Sumber: Jakarta dalam angka dan Statistik air bersih, 2010. (diolah)

Untuk negara kebocoran air dapat ditekan sampai dengan 15%. Sebagai contoh di
Singapura yang dikategorikan negara maju pada tahun 1989 total kebocoran air
bisa ditekan sampai 11%. Besarnya prosentasi jumlah air yang tidak tercatat
dapat diambil sebagai patokan dari tingkat kemampuan sistem pengadaan air
bersih. Sistem yang mempunyai 10%-15% kebocoran toal, dianggap
berkemampuan bagus, dan sistem distribusi air dengan kebocoran airnya 10%-
20% masih dianggap pantas. Sedangkan kebocoran di atas 30% dianggap buruk
dan harus dilakukan upaya-upaya untuk menguranginya.

4.3.1.3 Kualitas Air Produksi PAM Jaya


Kualitas air hasil produksi PAM Jaya memenuhi persyaratan sebagaimana yang
diatur pada PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pencemaran Air dan
Pengendalian Pencemaran. Data hasil pemantauan kualitas air IPA Pejompongan
menunjukkan bahwa tingkat kekeruan berbeda tiap bulan. Sedangkan pH masih
diambang batas normal. Menurut Adeyemo et al. (2008), pertumbuhan
organisme perairan dapat berlangsung dengan baik pada kisaran pH 6,5 – 8,2.
Kategori pH dikatakan buruk jika hasil uji laboratorium mendekati nilai ≤ 6
(bersifat asam) atau mendekati nilai ≥ 9 (bersifat basa).
Hasil pengamatan air di lima lokasi DKI Jakarta terhadap kualitas air bersih
produksi PAM Jaya menunjukkan parameter pH sebesar 7,35 di Jakbar, 7,19 di
134

Jakut, 7,48 di Jaksel, 7,32 di Jakpus dan 7,02 di Jaktim. Sedangkan kandungan
BOD pada air produksi PAM Jaya tertinggi di Jakpus sebesar 2,33 mg/l. Dan
terendah di Jaktim 0,46 mg/l. Menurut persyaratan air minum yang dikeluarkan
Kementrian Kesehatan, persyaratan BOD tertinggi sebesar 6 mg/l. Menurut Luo
et al. (2005), nilai BOD yang tinggi secara langsung mencerminkan tingginya
kegiatan mikroorganisme di dalam air dan secara tidak langsung memberikan
petunjuk tentang kandungan bahan-bahan organik yang tersuspensikan.
Hasil pemantauan PAM Jaya di bulan Januari s.d. April 2010 di IPA
Pejompongan menunjukkan bahwa kandungan BOD berbeda setiap bulannya
walau perbedaan tersebut tidak begitu besar yaitu bulan Januari sebesar 11 mg/l,
Februari 13 mg/l, dan Maret sebesar 10.mg/l. Menurut Abowei dan George
(2009) yang menyatakan bahwa nilai BOD secara umum tidak berbeda secara
signifikan antar musim dan antara hulu – hilir.
Kualitas air bersih produksi PAM Jaya hasil uji laboratorium di lima titik
pengambilan sampel bervariasi yaitu di Jakbar 26,92 mg/l, Jakut 23,08 mg/l,
21,15 mg/l dan Jaktim sebesar 34 mg/l. Sedangkan hasil pengamatan di IPA
Pejompongan tertinggi di bulan Maret sebesar 31 mg/l. Menurut Abdel et al.
(2010), yang menyatakan bahwa nilai COD yang lebih tinggi dari nilai BOD
mengindikasikan keberadaan bahan-bahan yang dapat teroksidasi secara kimia
terutama adalah bahan-bahan non-biodegradable.
Menurut Akan et al. (2010) standar DO yang ditentukan untuk
keberlanjutan kehidupan organisme perairan adalah 5 mg/l, di bawah nilai
tersebut berdampak negatif terhadap kehidupan . Hasil pemantauan di IPA
Pejompongan kandungan DO sebesar 3,38 pada bulan Januari, untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 22 dibawah ini.
135

Tabel 8. Data hasil pemantauan kualitas air IPA Pejompongan

PP No 82
NO. Parameter Unit Jan Feb Mar
Tahun 2011
1. Kekeruhan - NTU 1 278 306
2. pH 6,0-9,0 - 7,3 7,3 7,3
3. Temperatur Deviasi 3 oC 27,0 26,6 27,9
4. Warna - TCU 5 5 6
5. DHL - µs/cm 268 251 255
6. Ammonium 0,5 mg/l mg/l 0,24 0,19 <0,02
7. Besi 0,3 mg/l mg/l <0,02 <0,03 <0,02
8. E. Coli 100 jml/100 jml Jml/100 ml - - -
9. Total Coliform 1000 jml/100 jml Jml/100 ml 0 102,321 80,000
10. Hardness - mg/l 82,2 22,0 91,0
11. Mangan 0,1 mg/l mg/l 0,267 0,301 0,338
12. Nitrit 0,06 mg/l mg/l 0,29 0,026 0,044
13. Nitrat 10,0 mg/l mg/l 1,03 0,90 1,50
14. Suspended Solid 50 mg/l mg/l 224 234 370
15. Zat Organik - mg/l 17,74 16,9 31,00
16. TDS (zat pdt 1000 mg/l mg/l 134,3 118,0 122,4
terlarut)
17. DO 6,0 mg/l mg/l 3,78 3,3 3,18
18. BOD 2 mg/l mg/l 11 13 10
19. COD 10 mg/l mg/l 18 24 31
20. Detergen 0,2 mg/l mg/l 0,044 0,106 0,053
21. Sulfat 400 mg/l mg/l 47 35 27
Sumber: PAM JAYA 2010.

Hasil pengamatan kualitas air yang dilakukan oleh peneliti di lokasi yang
berbeda dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 memperlihatkan bahwa kualitas air
produksi PAM Jaya cukup bagus. Pengambilan sampel air produksi PAM Jaya
dilakukan di lima titik yang diteliti yaitu Jakarta Barat yaitu di Daerah Kalideres,
Jakarta Pusat di Daerah Pangeran Jayakarta, Jakarta Selatan di Daerah Jalan
Patimura (Komplek Perkantoran Kementrian Pekerjaan Umum, Jakarta Utara di
daerah pemukiman penduduk daerah Semper, Tanjung Priok dan Jakarta Timur di
Daerah Pulogadung. Hasil laboratorium menunjukkan bahwa kualitas air produksi
PAM Jaya cukup bagus dan memenuhi standar serta persyaratan baku mutu.
Parameter yang diamati yaitu BOD, COD, Cd, Hg, Pb, pH, detergen MBAS dan
coliform tinja. Kualitas air bersih PAM Jaya di lima wilayah DKI Jakarta tidak
tercemar oleh bakteri coliform tinja, begitu pula tentang pH air tersebut masih
136

baik dan sesuai dengan persyaratan Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air
Minum. Walau kualitas air produksi PAM Jaya cukup bagus, masyarakat lebih
memilih menggunakan air tanah. Beberapa alasan penggunaan air tanah antara
lain harga air tanah relatif murah serta tidak membutuhkan investasi yang besar.

Tabel 23. Hasil uji laboratorium terhadap air bersih PAM Jaya
No Parameter Jakbar Jakut Jaksel Jakpus Jaktim

1 Ph 7,35 7,19 7,48 7,32 7,02


2 BOD 0,76 0,91 2,28 2,33 0.46
3 COD 26,92 23,08 21,15 34,62
4 Kadmium (Cd) <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001
5 Raksa Total (Hg) <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001
6 Timbal (fb) <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01
7 Detergen-MBAS <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
8 Coliform Tinja 0 0 0 0 0
Sumber: Laboratorium PPLH IPB , Tahun 2011.
Berdasarkan hasil laboratorium, air bersih produksi PAM Jaya pada bulan
September Tahun 2011 (saat pengambilan sample) dalam kondisi baik dan sesuai
baku mutu air bersih (PP Nomor 81 Tahun 2001 dan Permenkes Nomor 492
Tahun 2010).

4.3.2 Potensi Sumber Air baku di Bodetabek


Sumber air baku yang dimanfaatkan oleh PAM Tirta Kahuripan adalah DAS
Ciliwung, Sungai Cihoe dan Sungai Cikeas dan lain lain. Dalam rangka melayani
Kota Bogor dan sekitarnya. Wilayah Bogor memiliki sumber air terbanyak baik
dari DAS yang mengalir di wilayah ini maupun dari sumur bor dan sumber air
lainnya. Kelebihan potensi air yang dimiliki wilayah Bogor, baik kuantitas
maupun kualitas, menjadikan PAM Tirta Kahuripan memiliki potensi untuk
menjadi PAM dengan kinerja terbaik. Sumber air yang melimpah di wilayah
Bogor ini dapat juga disharing kepada wilayah lain yang membutuhkan dengan
kompensasi perbaikan jasa lingkungan yang harus dibayar oleh penerima manfaat
air (akan dibahas pada bab selanjutnya).
Wilayah Kabupaten Bogor terbagi dalam tujuh DAS utama yakni DAS
Cidurian, Ciujung, Cimanceuri, Cisadane, Ciliwung, Kali Bekasi dan DAS
Citarum Hilir. Volume air permukaan tiap DAS/Sub DAS ditampilkan pada
137

Tabel 24 Volume air permukaan terbesar dimiliki oleh DAS Cisadane dan
Citarum Hilir. Sungai Cisadane hilirnya di Bogor Povinsi Jabar dan hulunya
berada di wilayah Tangerang Provinsi Banten. Propinsi DKI Jakarta harus
bekerjasama dengan Propinsi Jabar (Pemerintah Bogor) karena wilayah Bogor
paling banyak memiliki sumber air baik air sumur, air dari sumber mata air
maupun air permukaan. Beberapa sungai potensial seperti Sungai Ciliwung,
Sungai Ciujung, Cimanceuri, Citarum hilir dan Sungai Cisadane yang hilirnya
berada di wilayah Tangerang, hulunya berada di wilayah Bogor. Selain sumber air
baku dari air permukaan DAS , Bogor memiliki sumber lain yaitu dari sumber
mata air, nampak pada Tabel 24.

Tabel 24 Sumber air baku wilayah Bogor


No Instalasi Kapasitas (m3) Sumber Air Baku
Terpasang Terpakai Sisa

1 Legong 430 363 67 Sungai Ciliwung


2 Citayam 160 107 1 Sungai Ciliwung
3 Cibinong 200 176 24 Sungai Ciliwung
4 Kedung Halang 70 71 1 Sungai Ciliwung
5 Ciampea 5 2 3 Sungai Cipatujah
6 Satwalpres Jonggol 10 6 4 Sungai Cihoe
7 Cibungbulang 30 27 3 Sungai Cianten
8 Leuwiliang 20 18 2 Sungai Citeureup
9 Parung Panjang Kabasiran 100 50 50 Sungai Cimanceri
10 Gunung Putri 100 104 4 Sungai Cikeas
11 Bukit Golf 50 11 39 Sungai Cikeas
12 Sawangan 10 9 1 Sungai Angke

Sub total 1 (air sungai) 1.180 891 289


Sumber : Master Plan PDAM Bogor, 2002
Tabel 25 Volume air permukaan tiap DAS dan sub DAS
No DAS/Sub DAS Luas Curah hujan Volume Air
(Ha) (mm/tahun) Permukaan
(juta m3/tahun)
1. Cisadane 124.013 3.500 1.775
2 Ciliwung 28.634 3.500 410
3 Kali Bekasi 41.173 3.500 590
4 Citarum Hilir 85.196 3.500 1.220
5 Cidurian 44.454 3.500 635
6 Ciujung 9.670 4.000 175
7 Cimanceuri 22.498 3.000 245
Sumber: Master plan PDAM Bogor 2007.
138

Tabel 9. Air baku dari sumber mata air


No Instalasi Kapasitas (m3) Sumber Air Baku
Terpasang Terpakai Sisa
1 Sumur Air Ciampea 59 55 4 MataAir Cibutu
2 Mata Air Brujul 15 15 0 Mata Air Brujul
3 Mata Air Cikara/ Cijeruk 40 11 29 Mata Air Cikara
4 Mata Air Citis 14 5 9 Mata Air Citis
5 Mata Air Cibedug 8 11 -3 Mata Air Cisalada
6 Mata Air Katulampa 15 11 4 Mata Air Cikondang
7 Mata Air GSP 5 2 3 Mata Air Gunung Salak
7 Mata Air Ciburial 500 489 11 Mata Air Ciburial
8 Mata Air Cikahuripan 125 128 -3 Mata Air Cikahuripan
Sub Total 2 781 727 54
Sumber: Master plan PDAM Bogor. 2007

Bogor memiliki sumber mata air yang bagus dan juga sumber air baku dari
DAS yang ada, wilayah Bogor juga memiliki sumber air baku dari sumur bor.
Jumlah sumur bor mencapai 2.507 yang terpasang dan terpakai sebanyak 1.750
sumur bor , sisanya sebesar 356 sumur bor.
Tabel 27 Air baku dari sumur bor
No Instalasi Kapasitas (m3) Sumber Air Baku
Terpasang Terpakai Sisa
1 Sumur Bor Limus Nunggal 15 12 3 Sumur Bor Limus Nunggal
2 Sumur Bor Cimanggis 5 0 5 Sumur Bor Cimanggis
3 Sumur Bor Permata Puri 10 7 3 Sumur Bor Permata Puri
4 Sumur Bor Permata Puri 10 3 7 Sumur Bor Permata Puri
Laguna Laguna
4 Sumur Bor Cinangka 8 2 6 Sumur Bor Cinangka
5 Sumur Bor Cilungsi 31 19 12 Sumur Bor Cileungsi
6 Sumur bos Kota Wisata 71 44 27 Sumur Bot Kota Wisata
Sub Total 3 (sumur bor) 116 104 12
Total (1+2+3) 2.057 1.701 356
Sumber: Master plan PDAM Bogor. 2007

4.3.3 Penggunaan Air Tanah untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih


Untuk pemenuhan kebutuhan air bersih masyarakat pedesaan bahkan
masyarakat kota seperti Jakarta sebagian besar masih memilih menggunakan air
tanah. Penggunaan air tanah oleh masyarakat Jakarta sebagaimana nampak pada
cukup besar yaitu pada tahun 2009 sebesar 205.373.193 m3. Sedangkan industri di
Kabupaten Tangerang 90 persen dari 4.008 saat ini menggunakan air bawah tanah
dengan menggunakan sumur bor. Pengambilan air secara besar-besaran dan tidak
terkendali itulah yang menjadi penyebab merosotnya kuantitas dan kualitas air di
139

Kabupaten Tangerang. Hampir sebagian besar industri itu berada di wilayah


Tangerang bagian tengah, seperti Cikupa, Balaraja, Pasar Kemis, Curug,
Tigaraksa, dan Legok. "Penggunaan air tanah sudah tidak sesuai dengan
kapasitas," kata Ujang Sudiartono, Kepala Seksi Air Bersih, Dinas Lingkungan
Hidup, Kabupaten Tangerang. (http://pengolahanairbaku.blogspot.com).
Penggunaan air tanah didorong beberapa alasan antara lain suplai air bersih
PAM belum menjangkau (memenuhi kebutuhan) seluruh masyarakat DKI Jakarta.
Alasan lain penggunaaan air tanah tidak memerlukan investasi yang cukup besar
dan air yang dihasilkan cukup stabil. Perbedaan kelebihan dan kekurangan air
tanah dan air permukaan dapat dilihat pada Tabel 24 .
Kondisi air tanah di DKI Jakarta telah tercemar oleh bakteri E coli dan
deterjen dan dalam kategori yang sangat mengkawatirkan. Bahkan beberapa tahun
ke depan Jakarta bakal mengalami krisis air. Kepala Bidang Pencegahan Dampak
Lingkungan dan Pengelolaan Sumber Daya Perkotaan BPLHD DKI Jakarta,
Wiwekowati (Majalah Building edisi 35/2010) mengatakan mencegah terjadinya
krisis air dan penurunan permukaan tanah, Pemprov DKI Jakarta akan menaikan
pajak penggunaan air tanah untuk rumah tangga mewah dan industri. Kenaikan itu
untuk menekan penggunaan air tanah yang selama ini semakin tak terkendali,
sehingga menyebabkan turunnya permukaan tanah di Jakarta. Kenaikan pajak di
dasarkan kajian BPLHD dengan para pakar adalah pajak penggunaan air untuk
rumah tangga mewah akan naik 16 kali lipat, dari Rp 525 menjadi Rp. 8,800
rupiah per meter kubik. Pada kategori industri, pajak air tanah akan dinaikkan
sekitar tujuh kali lipat dari Rp 3.300 menjadi Rp 23.000,- per meter kubik.
Perhitungan kenaikan ini, sudah termasuk potensi kerugian kerusakan lingkungan
akibat pengunaan air tanah. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengatur tentang instrumen
ekonomi lingkungan. Instrumen tersebut termasuk asuransi lingkungan, insentif
dan diinsentif bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib dikembangkan
dan diterapkan dalam upaya melestarikan lingkungan hidup.

Berapa kelebihan dari penggunaan air tanah dan air permukaan. Masyarakat
banyak menggunakan air tanah, namun penggunaan air tanah yang berlebihan
dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dan mengakibatkan land subsiden.
140

Walau demikian penggunaan air tanah masih menjadi pilihan utama dikarenakan
harga air bersih masih dirasakan tinggi oleh golongan masyarakat tertentu, tidak
memerlukan pengolahan lebih lanjut dan memiliki kandungan mineral yang
cukup tinggi.

Tabel 28. Perbedaan air tanah dan permukaan


No Air Tanah Air Permukaan
1 Kelebihan Kekurangan
Karena air tanah tersimpan alam lapisan pembawa Membutuhkan lahan yang luas
air (akuifer), maka tidak diperlukan pembuatan untuk membangun reservoir yang
reservoir, yang harus menyita lahan yang luas. baru.
2 Penguapan rendah hingga tidak ada. Langsung Hilang karena penguapan sangat
dapat dimanfaatkan di titik pengambilan, tidak tinggi, bahkan di iklim basah
membutuhkan sistem pembawa (conveyance).
3 Tidak membutuhkan pengolahan lebih lanjut. Air harus dibawa dengan sistem
4 Aman terhadap pencemaran Membutuhkan pengolahan
sebelum digunakan.
5 Kekurangan
Umumnya diperlukan pompa untuk Rentan terhadap pencemaran.
memanfaatkannya.
6 Air tanah mungkin mengandung mineral yang Kelebihan
tinggi. Air tersedia dengan gravitasi,
tanpa memerlukan pompa .Air
permukaan umumnya
mengandung mineral relatif
rendah
7 Pengisian kembali (recharge) membutuhkan air Tidak dibutuhkan pengolahan.
yang perlu diolah lebih dahulu dengan biaya mahal.
8 Sukar dan perlu biaya mahal untukmenyelidiki dan Relatif mudah untuk
mengelolanya
mengevaluasi, menyelidiki dan
mengelolanya
Sumber: Kodoatie(2004)
Penggunaan air tanah di DKI Jakarta diperkirakan mencapai 50% dari
kebutuhan. Kebutuhan air masyarakat DKI Jakarta mencapai angka 773.499.977
m3 pada tahun 2009 dengan pasokan air bersih produksi PAM Jaya sebesar
509.431.934 dari PJT II dan air curah dari PAM Tangerang sebesar 58.779.967
m3, jadi terdapat kekurangan air yang dipenuhi dari air tanah sebesar
3
205.373.193 m . Namun data lain menyebutkan kebocoran air bersih PAM Jaya
sebesar 35% dari produksi, jadi pasokan air bersih ke masyarakat sebesar
331.130.753 m3 ditambah air curah dari PAM Tangerang 58.779.967 m3,
sehingga total air yang dapat dikonsumsi masyarakat sebesar 389.910.724 m3 atau
141

51% dari kebutuhan. Jadi secara sebenarnya kekurangan air bersih sebesar
383.589.253 m3 atau 49% s.d 50% dari kebutuhan masyarakat DKI Jakarta yang
dipenuhi dari air tanah dan air permukaan.
Tabel 29 Jumlah sumur bor dan pengambilan air tanah
Lokasi Jumlah 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Jakarta Jumlah sumur bor 3.600 3.117 3.224 3.257 3.474 3.493
kumulatif
Pengambilan Air 16,8 16,4 17,5 18 21,4 23,2
Tanah (juta m3)
Botabek Jumlah Sumur Bor 2.600 2.700
Kumulatif
Pengambilan Air 60,8 58,4
Tanah (juta m3)
Bandung Jumlah Sumur Bor 2.397 2.415 2.484 2.484 2.252 2.258
Kumulatif

Pengambilan Air 41,7 45,4 46,6 46,6 47,4 50,6


Tanah (juta m3)
Semarang Jumlah Sumur Bor 1.060 1.029 903 1.044 1.044
Kumulatif
Pengambilan Air 39,9 39,2 20,4 23,2 39,4
Tanah (juta m3)
Sumber : KLH, 2003.
Tabel 29 menunjukkan bahwa pengambilan air tanah terbesar adalah Kota
Jakarta, Bandung dan Semarang serta Botabek. Bahkan pengambilan air tanah
melalui sumur bor oleh masyarakat dan DKI Jakarta terus mengalami
peningkatan. Bahkan pada tahun 2003 sudah mencapai angka 23 juta meter3
sedangkan pada tahun 2009 mencapai angka 25 juta m3 dan total pengambilan air
tanah dangkal dan air tanah dangkal mencpai 200 juta meter3 lebih. Potensi air
tanah dalam sebesar 77 juta meter3 sedangkan pada tahun 2010 pemakaian air
tanah dalam sudah mencapai 73 juta m3. Dampak pengambilan air tanah yang
berlebihan telah dirasakan oleh masyarakat Jakarta yaitu berupa intrusi air laut
dan penurunan tanah (land subsiden) sebesar 10 cm setiap tahunnya.

Penggunaan air tanah dangkal dan air tanah dalam selain mengakibatkan
penurunan muka air tanah juga mengalami kendala antara lain yaitu masalah
krisis air tanah baik kuantitas maupun kualitas. Air tanah di DKI Jakarta sebagian
besar sudah tercemar oleh bakteri coli dan detergen. Hasil pemantauan BPLHD
DKI Jakarta, menunjukkan bahwa 67% sumur mengandung bakteri coliform dan
142

58% mengandung fecal coli melebihi baku mutu. Bakteri tersebut berasal dari air
buangan rumah tangga, sungai dan septic tank, bakteri tersebut mengakibatkan
diare, sakit perut, muntah, dan mulas-mulas.

Selain krisis kualitas, air tanah juga mengalami krisis kuantitas.


Berdasarkan data dari Dinas Pertambangan DKI Jakarta tahun 2004 membagi
zona sangat kritis dan zona kritis, zona rawan dan sangat rawan. Kawasan dengan
kedalaman muka air tanah lebih dari 16 meter dengan fluktuasi muka air tanah
lebih dari delapan meter merupakan zona sangat kritis, sedangka zona kritis yaitu
yang memiliki kedalaman muka air tanah 12-16 meter dengan fluktuasi muka air
tanah 6-8 meter. Daerah Setiabudi, Kebayoran lama, Tana Abang, Duren Sawit,
Kembangan, Jagakarsa, Cempaka Putih, Pasar Rebo, Kampung Makasar dan
Cipayung merupkan daerah kritis dan sangat kritis. Sedangkan daerah yang
termasuk zona rawan dan sangat rawan adalah Cengkareng, Gambir, Taman sari,
Kebon Jeruk, Johar Baru, Petamburan, Kembangan, Pulo Gadung, Cakung serta
Menteng.

Pemerintah DKI Jakarta telah menetapkan kebijakan Pajak atau restribusi


air tanah guna pengendalian penggunaan air tanah. Pengendalian penggunaan air
tanah juga mengacu kepada Keputusan Menteri Energi dan Sumbe Daya Mineral
No. 1541K/10/MEN/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas
Pemerintahan di Bidang Pengelolaan Air Tanah khususnya Lampiran X dan
Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak dan Restribusi Daerah serta
PP Nomor 2001 tentang Pajak Daerah. Tarif pajak air permukaan harus
dibayarkan oleh wajib pajak sebesar 10% dari nilai perolehan air dan tarif pajak
air tanah sebesar 20%.

Selain mengeluarkan kebijakan pajak restribusi air, pemda DKI juga


mengeluarkan program-program gerakan kepedulian terhadap air tanah melalui
konsep 5 R yaitu reduce, reuse, recycle, recharge (mengisi kembali) dan recovery
(memfungsikan kembali). Program penghematan air melalui 3R sudah sangat
mendesak mengingat adanya keterbatasan air baku yang disuplai dari Jatiluhur,
bahkan PJT II mengeluhkan besarnya pemakaian air masyarakat DKI Jakarta dan
menyarankan untuk melakukan penghematan air. Dalam rangka melakukan
143

penghematan air, Pemda DKI Jakarta melalui Dinas Pertambangan DKI Jakarta
mencanangkan Gerakan Peduli Sumur Resapan “Selamatkan Air Tanah Jakarta.

4.4 Neraca Supply Demand


Dalam melakukan analisis supply demand terlebih dahuluh dilakukan analisis
kebutuhan dan juga harus dibahas pula tentang perencanaan kebutuhan. Dalam
manajemen kita mengenal fungsi-fungsi perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) dan pengawasan dan
pengendalian (controlling). Fungsi-fungsi manajemen tersebut dapat diberlakukan
dalam pengelolaan sumber daya air. Perencanaan adalah fungsi paling
menentukan di dalam pengelolaan sumber daya air yang berwawasan
kesinambungan pemanfaatan. Perencanaan yang baik pada dasarnya adalah
setengah dari keberhasilan sudah dicapai. Dalam kaitan dengan perencanaan
pemenuhan kebutuhan akan air, perencanaan dimaksudkan sebagai segala
tindakan untuk menghasilkan suatu rencana sebagai dasar, acuan, maupun
pedoman bagi kegiatan-kegiatan selanjutnya untuk mewujudkan sasaran yang
ingin dicapai yaitu terpenuhinya kebutuhan air bersih sesuai dengan kuantitas dan
kualitas. Hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pemenuhan kebutuhan
air adalah asas perencanaan, asas pemanfaatan, asas kelestariaan. Sebelum suatu
perencanaan dilaksanakan harus ditentukan asas dari perencanaan. Perencanaan
harus berasaskan pada asas kemanfaatan, keseimbangan, dan kelestarian.

Perencanaan harus bertujuan memberikan kemanfaatan baik bagi


masyarakat maupun pemerintah (asas kemanfaatan). Bagi pemerintah
perencanaan tersebut harus dapat dimanfaatkan bagi dasar pengengembangan
sumber daya air baik nasional maupun lokal, terutama bagi alokasi pemanfaatan
air yang didasarkan atas pemanfaatan air saling menunjang (conjunctive use)
antara air permukaan dan air tanah serta usaha konservasi sumber daya air untuk
menjamin keberlanjutan ketersediaannya, baik jumlah maupun mutunya, dalam
batasan ruang dan waktu tertentu. Bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin,
perencanaan tersebut harus mencakup kemudahan masyarakat miskin
mendapatkan kemudahan akses pada pasokan air dan memanfaatkannya bagi
144

kepentingan mereka. Kemanfatan bagi masyarakat hanya dapat dipenuhi dengan


melibatkan masyarakat itu sendiri, para akar rumput (grass roots), dan pihak yang
terkait (stake holders).

4.4.1 Gap antara Kebutuhan dan Suplai


Kebutuhan air untuk masyarakat Jakarta sangat besar dan terus meningkat
seiring dengan perkembangan penduduk baik yang diperanguhi oleh kelahiran
maupun tingginya angka imigrasi penduduk dari luar DKI Jakarta. Kebutuhan air
bersih untuk industri dan komersil serta hotel dan wisata juga cukup besar yaitu
melebihi angka 30% (perkiraan para pakar kebutuhan air bersih untuk non
domestik sebesar 30%) dari kebutuhan domestik. Kebutuhan air bersih dan suplai
air bersih dapat dilihat pada Tabel 30 di bawah ini.

Tabel 30 Neraca air bersih DKI Jakarta 2009


Permintaan (Demand) Volume m3 Suplai Volume m3

Domestik 493.959.756 PJT 2 509.431.934


Industri dan komersil 153.653.760 PAM Tangerang 58.779.907
Hotel dan mall 83.471.323 Selisih 205.373.193
Sosial 42.499.977 (penggunaan air
tanah)
Total Demand 773.585.198 Total Suplai 773.585.034
Sumber: PAM Jaya dan BPS Jakarta Dalam Angka.(diolah).

Tabel 29 di atas menunjukkan gap neraca air sebesar 205.373.193 m3 per


tahun (pada tahun 2009). Pasokan air dari PJT II sebesr 509.431.934 ke PAM Jaya
ternyata juga mengalami kebocoran ditingkat distribusi (pipa distribusi)
diperkirakan sebesar 40% sampai 50% atau Selisih atau kekurangan pasokan air
untuk kebutuhan masyarakat DKI Jakarta dipenuhi dengan pengambilan tanah
dangkal (sumur masyarakat) dan tanah dalam oleh industri dan hotel serta mal-
mal. Pemenuhan kebutuhan air bersih dengan menggunakan air tanah dangkal dan
air tanah dalam cukup begitu besar dan dapat mengakibatkan penurunan muka air
tanah dan dapat mengakibatkan penurunan muka tanah.
145

4.4.2 Rencana Pemenuhan Gap


Untuk memenuhi kebutuhan air bersih yang selama ini masih kurang (gap)
maka perlu dilakukan upaya pemanfaatan sumber lain melalui kerjasama lintas
wialayah. Kerjasama lintas wilayah tersebut tetap mengikuti kebijakan nasional
atau aturan yang berlaku saat ini (era otonomi daerah). Kerjasama lintas wilayah
dalam pengelolaan air baku untuk pemenuhan air bersih DKI Jakarta mengacu
kepada beberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 7
tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan peraturan dibawahnya PP No. 42 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, PP Nomor 43 Tahun 2008 tentang
Air Tanah, PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM serta Permen
PU No. 18/PRT/M/2007 tentang Penyenggaraan SPAM , Permen PU Nomor
20/PRT/M/2006 tentanng KNSP-SPAM. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan dibawahnya yaitu PP Nomor 38 tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintahan Daerah Propinsi,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota .
Untuk pemenuhan kebutuhan air bersih DKI Jakarta saat ini masih
mengandalkan pasokan air baku dari PJT II (Sungai Citarum) dan dari air curah
pembelian dari PAM Tangerang (Sungai Cisadane) serta air curah dari Mata Air
Ciburial. Untuk memenuhi gap kebutuhan air bersih yang cukup besar , misalnya
tahun 2009 sebesar 205.373.193 m3 dan pada tahun 2010 mengalami gap
(kekurangan pasokan air bersih) sebesar 281.050.524 m3 dan akan mengalami
peningkatan terus mnerus seiringi peningkatan jumlah penduduk, maka
diperlukan suatu terobosan baru yaitu dengan melakukan perbagai upaya antara
lain:
1. Mencari sumber lain selain dari yang telah ada saat ini yaitu 13 sungai
lainnya yang mengalir di DKI Jakarta. Pemanfaatan 13 sungai lainnya
untuk air baku air bersih, perlu dibarengi dengan perbaikan kondisi
sungai baik di hulu dan di hilir dengan melakukan kerjasama lintas
wilayah. Kerjasama lintas wilayah tersebut perlu dilakukan untuk
menjaga kestabilan debit air dan menjamin pasokan air baku untuk air
bersih baik kuantitas maupun kualitas. Kerjasama dapat dilakukan
146

dengan Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi


maupun kerjasama dengan Propinsi Jabar secara lebih luas.
2. Mencari sumber lain dari mata air yang belum dimanfaatkan oleh
Pemda Bogor. Berdasarkan analisa potensi sumber air di Kabupaten
Bogor cukup besar baik dari sumber mata air maupun dari sungai yang
mengalir di Wilayah Bogor serta Sungai Lintas Propinsi yang melalui
Kabupaten Bogor maupun potensi sumur bor yang belum
dimanfaatkan oleh Kabupaten Bogor.
3. Pemanfaatan Banjir Kanal Tikur (BKT). Pemanfaatan BKT untuk
sumber air baku air bersih dengan membangun Instalasi Pengelolahan
Air (IPA) yang baru.
4. Mengurangi tingkat kebocoran air bersih. Untuk dapat mengurangi
tingkat kebocoran air bersih baik kebocoran administrasi, kebocoran
meteran, kehilangan karena pencurian serta kebocoran pada pipa
distribusi perlu dilakukan suatu perbaikan pipa distribusi dan
pengawasan serta penegakan hukum. Perbaikan pipa distribusi yang
rusak dan pipa distribusi yang berumur di atas 15 tahun diperlukan
dalam rangka mengurangi tingkat kebocoran air bersih yang cukup
besar yaitu hingga 40%..
5. Mengurangi tingkat kehilangan air baku dari PJT II dengan
membangun pipa dalam tanah. Dengan membangun pipa dalam tanah
sepanjang kurang lebih 87 KM tersebut maka akan menjaga kuantitas
dan kualitas pasokan air baku untuk air bersih dari LPJT II.
6. Memanfaatkan air laut untuk keperluan air bersih dengan teknologi
modern. Pemanfaatan air laut untuk keperluan air bersih telah dicoba
di daerah Bali dan hasilnya cukup baik untuk mencukupi kebutuhan air
bersih.
7. Peningkatan alokasi dana dari Pemda DKI untuk pemenuhan
kebutuhan air bersih dan juga alokasi dana untuk pembayaran jasa
lingkungan (paymen environment service) dari pemda DKI kepada
pemda pemberi manfaat air bersih (pasokan air baku untuk air bersih).
147

4.4.3 Kebijakan Air Tanah


Kebijakan air tanah sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomo 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah, pada Pasal 5 ayat
(1) Kebijakan pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ditujukan sebagai arahan konservasi air tanah, pendayagunaan air tanah,
pengendalaian daya rusak air tanah, dan sistem informasi air tanah yang disusun
dengan memprihatikan kondisi air tanah setempat. Pada ayat (2) Kebijakan
pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan ditetapkan
secara integrasi dalam kebijakan pengelolaan sumber daya air. Jadi kebijakan
pengelolaan air tanah tidak terpisah dengan kebijakan pengelolaan sumber daya
air bahkan terintegrasi dengan kebijakan pengelolaan sumber daya air, yaitu
Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan PP No. 42
Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air .
Kebijakan tentang pengelolaan sumber daya air dijabarkan lebih lanjut
kedalam kebijakan teknis pengelolaan air tanah. Kebijakan teknis pengelolaan air
tanah terdiri dari :
a. Kebijakan teknis pengelolaan air tanah nasional;
b. Kebijakan teknis pengelolaan air tanah provinsi; dan
c. Kebijakan teknis pengelolaan air tanah kabupaten/kota.
Kebijakan teknis pengelolaan air tanah nasional disusun oleh Menteri dengan
mengacu pada kebijakan nasioanl sumber daya air. Gubernur menyusun dan
menetapkan kebijakan teknis pengelolaan air tanah provinsi dengan mengacu pada
kebijakan tanah nasional. Sedangkan bupati/walikota menyusun dan menetapkan
kebijakan teknis pengelolaan air tanah kabupaten/kota dengan mengacu kepada
kebijakan teknis pengelolaan air tanahd provinsi.
Pada PP Nomor 43 tahun 2008 Pasal 18 ayat (1) pengelolaan air tanah
diselenggarakan berlandaskan pada strategi pelaksanaan pengeloaan air tanah
dengan prinsip keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan air
tanah. Pada ayat (2) Pengelolaan air tanah meliputi kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan konservasi air tanah dan
pengendalian daya rusak air tanah. Rencana pengelolaan air tanah melaui tahapan
inventarisasi air tanah, penetapan zona konservasi air tanah dan penyusunan dan
148

penetapan rencana pengelolaan air tanah. Sedangkan pemantauan pelaksanaan


pengelolaan air tanah dilakukan melalui pengamatan, pencatatan, perekeman,
pemeriksaan laporan dan atau peninjauan secara langsung. Pemantauan
pelaksanaan pengelolaan air tanah dilakukan secara berkala sesuai kebutuhan.
Menteri, gubernur, dan bupati/walikota berkewajiban melaksanakan pemantauan
pelaksanaan pengelolaan air tanah dan dapat pula menugaskan pihak lain.
Pemanfaatan air tanah di DKI Jakarta sudah melampaui ambang batas,
yaitu sudah melampui 50% dari kapasitas atau cadangan air tanah dalam yaitu 77
juta m3. Pemanfaatan air tanah dalam oleh industri dan perhotelan serta komersil
pada tahun 2005 mencapai 23 juta m3 dan pada tahun 2011 sudah mencapi angka
70 juta m3. Kenaikan penakaian air tanah dalam yang cukup besar tersebut
disebabkan oleh kenaikan jumlah penduduk, kenaikan jumlah mal-mal dan hotel
serta industri disisi lain pasokan air bersih tidak mengalami kenaikan yang berarti.
Pemerintah DKI Jakarta telah melakukan pemantauan air tanah dengan
mengukur dan merekan kedudukan muka air tanah; memeriksa sifat fisika,
kandungan unsur kimia, biologi atau radioaktif dalam air tanah; mencacat jumlah
volume air tanah yang dipakai atau diusahakan; dan atau mengukur dan merekam
perubahan lingkungan air tanah seperti amblesan tanah. Hasil pemantauan Pemda
DKI tahun 2009 menunjukan bahwa pemakaian air tanah dalam telah
mengakibatkan penuranan muka air tanah dan amblesan tanah. Pemakaian air
tanah dangkal oleh sumur penduduk, sebagaian besar telah tercemar bakteri coli
dan detergen.
Pemakaian air tanah dalam yang begitu besar tanpa dibarengi dengan
konservasi air, telah mengakibatkan penurunan permukaan tanah akibat
menurunnya muka air tanah . Penurunan permukaan tanah terjadi di daerah
Jakarta khususnya daerah Kalideres, Kota, Harmoni dan Thamrin, penurunan
permukaan tanah bahkan telah mencapai 10 cm setiap tahunnya. Selain
mengakibatkan penurunan permukaan tanah, pemakaian air tanah dalam secara
berlebihan telah mengakibatkan instrusi air laut bahkan diperkirakan pada tanhu
2025 instrusi air laut akan mencapai daerah semanggi Jakarta Selatan.
Melihat kondisi penggunaan atau eksploitasi air tanah dalam dan air tanah
dangkal yang begitu besar , maka perlu dilakukan kebijakan pengendalian
149

penggunaan air tanah. Kebijakan pengendalian penggunaan air tanah dapat


dilakukan dengan cara ;
a. Menjaga keseimbangan antara pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan
air tanah.
b. Menerapkan perizinan dalam penggunaan air tanah;
c. Membatasi penggunaan air tanah dengan tetap mengutamakan
pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari;
d. Mengatur lokasi dan kedalaman penyadapan akuifer;
e. Mengatur jarak antara sumur pengeboran atau penggalian air tanah;
f. Mengatur kedalaman pengeboran atau pengendalian air tanah; dan
g. Menerapkan tarif progresif dalam penggunaan air tanah sesuai dengan
tingkat konsums

Untuk mengurangi penggunaan air tanah Pemda DKI Jakarta berencana


mengeluarkan kebijakan peningkatan tarif dan bersifat progresif penggunaan air
tanah dan peningkatan pajak air tanah . Hal tersebut dimaksudkan agar
pemanfaatan air tanah dapat dilakukan secara efisiensi dan terkendali. Pemerintah
DKI Jakarta akan melakukan pengetatan ijin penggunaan air tanah dalam. Maka
jika memungkinkan akan melakukan evaluasi terhadap pemakaain air tanah dalam
pada tahun-tahun kedepan.
150 
 

B
BAB V

AN
NALISIS KE
EBERLANJ
JUTAN

5.1 Analisis Diimensional

Analisis keberlanju
utan pengellolaan air baku lintaas wilayahh untuk
menuhan kebutuhan airr bersih DK
pem KI Jakarta mencakup
m em
mpat dimen
nsi yaitu
dim
mensi ekolo
ogi, dimenssi ekonomi, dimensi sosial, dim
mensi hukuum dan
keleembagaan serta dimeensi infrasttruktur dann teknologgi. Untuk menilai
keb
berlanjutan pengelolaan
p air baku liintas wilayaah untuk pem
menuhan airr bersih
DK
KI Jakarta dig
guakan alat analisis
a rapffish.

5..1.1 Dimenssi Ekologi


Analisis multi
m atributt tehadap dim
mensi ekolog
gi dengan m
menggunakann rapfish
diperoleh nilai 48,75. Haal ini menggandung artii bahwa seccara ekologii belum
berrlanjut atau kurang
k berlaanjut (nilai kkurang dari 50). Hal terrsebut namppak pada
Gam
mbar 22 beriikut ini.

Gam
mbar 22. RA
AP dimensi ekologi
e penggelolaan air baku lintas w
wilayah
151 
 

Jika dilihat dari nilai masing masing atribut, menunjukkan atribut kejadian
kekeringan (0,98), atribut pemenuhan vegetasi (0,95) dan atribut frekuensi
kejadian banjir memiliki peran yang sangat menonjol (dominan) atau disebut
sebagai atribut pengungkit. Oleh karena itu untuk memperbaiki dimensi ekologi
dalam pengelolaan air, maka perlu kebijakan dalam mengelola ketiga atribut
tersebut yaitu dengan memperbaiki kondisi yang menyebabkan terjadinya
kekeringan dan terjadinya banjir serta dengan melakukan penambahan ruang
terbuka hijau sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Ruang terbuka hijau
merupakan tempat meresapnya air hujan sehingga air hujan tidak begitu saja
terbuang ke sungai.

Disamping itu perlu kerjasama lintas wilayah dalam rangka pengelolaan air
sesuai dengan peraturan yang ada baik tentang kewenangan dalam pengelolaan
sungai serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan sumber
daya air termasuk UU Nomor 7 Tahun 2004, PP 38 Tahun 2004, UU Nomor 32
Tahun 2004, UU Nomor 32 Tahun 2009. Kerjasama lintas wilayah yang
dimaksud adalah termasuk dalam melakukan pendanaan konservasi sumber daya
air di hulu sehingga ketersediaan air baku untuk air bersih dapat terjaga dan
berkelanjutan. Untuk lebih jelasnya peran masing-masing atribut ekologi pada
pengelolaan air lintas wilayah berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 23.
152 
 

Leverage of Attributes
Dimensi Ekologi Rap‐ Spam 
KAWASAN PERMUKIMAN DI … 0.30
KONTAMINASI MIKROBA/ZAT … 0.52
KEPEMILIKAN UPL KOMUNAL/IPAL … 0.66
SANITASI LINGKUNGAN 0.35
PENCEMARAN LIMBAH DOMESTIK KE … 0.54
VEGETASI 0.95
Attribute

TINGKAT SEDIMENTASI 0.68
KEJADIAN KEKERINGAN 0.98
FREKUENSI KEJADIAN BANJIR 0.90
PENGGUNAAN AIR TANAH 0.66
TINGKAT PENCEMARAN SUMBER AIR … 0.61
KETERSEDIAAN SUMBER AIR BERSIH 0.53
DEGRADASI LAHAN 0.38
KESESUAIAN PENGGUNAAN LAHAN 0.28

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute 
Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 23. Peran masing-masing atribut dimensi ekologi pengelolaan air baku
lintas wilayah

5.1.2 Dimensi Sosial


Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai indeks tingkat keberlanjutan
pengelolaan air untuk dimensi sosial sebesar 56,36 pada skala cukup
keberlanjutan. Sebagaimana nampak pada Gambar 19, menunjukkan bahwa
tingkat sosial masyarakat dalam pengelolaan air sudah diperhatikan namun masih
minim yaitu sedikit di atas keberlanjutan. Masyarakat dalam pembayaran air
sudah baik artinya tepat waktu namun dalam hal jika terjadi kualitas air kurang
baik, maupun dalam hal kontinuitas dan kuantitas airnya tidak stabil, maka
masyarakat sulit melakukan komplain, tingkat keberlanjutan dimensi sosial dapat
dilihat pada Gambar 24.
153 
 

MONTE CARLO ANALYSIS 
RAP‐Spam 
Dimensi Sosial
Ordination (Median with Error Bars showing 
95%Confidence of Median)
60

40
Other Distingishing Features

20

0
0 20 40 60
56.36 80 100 120
‐20

‐40

‐60
Nilai Indikator Keberlanjutan Dimensi Sosial Rap‐
Spam 

Gambar 24. Indeks tingkat keberlanjutan dimensi sosial pengelolaan air baku
lintas wilayah

Namun, demikian peningkatan indeks dimensi sosial dapat dilakukan


dengan perbaikan-perbaikan terhadap atribut yang diperkirakan berpengaruh
terhadap nilai indeks dimensi sosial yang terdiri dari (1) pendidikan masyarakat,
(2) pemberdayaan masyarakat, (3) kesehatan masyarakat, (4) pola hidup bersih
masyarakat, (5) kepadatan penduduk, (6) perilaku membuang sampah ke sungai,
(7) kesadaran lingkungan, (8) pengetahuan lingkungan, (9) partisipasi masyarakat
dalam prokasi, (10) partisipasi masyarakat dalam program penghijauan, (11)
tingkat pencurian air bersih oleh masyarakat, (12) keluhan masyarakat dalam
pelayanan PAM, (13) ketepatan waktu dalam pembayaran rekening air, (14)
154 
 

gangguan kesehatan akibat mengkonsumsi air bersih, (15) jumlah masyarakat


yang belum memperoleh pelayanan air bersih, (16) jumlah masyarakat yang
mempunyai sarana MCK tidak sehat, (17) persepsi masyarakat terhadap harga air,
(18) jumlah penduduk yang tinggl di permukiman kumuh (Gambar 25).

Leverage of Attributes
Dimensi Sosial Rap‐Water
0.19
PERSEPSI MAYS THD HARGA AIR 0.25
1.29
JMLH MASY YG BLM MEMPEROLEH … 0.32
1.86
KETEPATAN PEMBAYARAN REKENING … 2.04
0.28
TINGKAT PENCURIAN AIR PDAM
Attribute

0.21
0.10
PARTISIPASI MASY DLM PROGRAM … 1.72
1.66
KESADARAN LINGKUNGAN 1.61
1.44
KEPADATAN PENDUDUK 0.07
0.13
KESEHATAN MASY 0.24
0.36
TINGKAT PENDIDIKAN MASY 0.02
0 0.5 1 1.5 2 2.5

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute 
Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar . 25 Peran masing-masing atribut dimensi sosial pengelolaan air baku


lintas wilayah

Atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks dimensi


sosial, dilakukan analisis leverage (Gambar 20). Berdasarkan hasil analisis
leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi sosial
yaitu: (1) ketepatan pembayaran rekening air, (2) gangguan masyarakat akibat
mengkonsumsi air bersih, (3) partisipasi masyarakat dalam program kali bersih.
Untuk memperbaiki dimensi sosial, maka perlu dilakukan perbaikan terhadap
faktor pengungkit tersebut. Namun hal lain yang sangat menonjol yaitu pola hidup
bersih dan sehat masyarakat (0,13), kepadatan penduduk (0,07), dan tingkat
pendidikan masyarakat (0,02) memiliki daya pengungkit yang sangat kecil.
155 
 

Namun hal itu perlu juga dilakukan perbaikan oleh sektor lain agar tidak
menganggu program pengelolaan air baku untuk air bersih yang berkelanjutan.

5.1.3 Dimensi Ekonomi


Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh nilai indeks tingkat dimensi
ekonomi dalam pengelolaan air baku untuk bersih sebesar 69,17. Nilai ini
menunjukkan bahwa tingkat keberlanjutan pada dimensi ekonomi baik di atas 50.
Namun, demikian peningkatan indeks dimensi ekonomil dapat dilakukan dengan
perbaikan-perbaikan terhadap atribut yang diperkirakan berpengaruh terhadap
nilai indeks dimensi sosial yang terdiri dari (1) presentase penduduk miskin, (2)
pendapatan masyarakat perkapita, (3) pengeluaran masyarakat perkapita, (4)
pendapatan daerah, (5) iklim investasi, (6) penyerapan tenaga kerja, (7) besarnya
subsidi, (8) perubahan mata pencaharian, (9) perkembangan sektor informal, (10)
biaya pengelolaan air dibandingkan nilai jual.

Atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks dimensi


ekonomi, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage
diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi ekonomi, yaitu:
(1) pendapatan daerah, (2) perubahan mata pencaharian, (3) penyerapan tenaga
kerja (Gambar 20). Namun atribut (2) perubahan mata pencaharian dan atribut (3)
penyerapan tenaga kerja karena berdasarkan analisa ISM tidak begitu terkait
langsung dengan pengelolaan air baku untuk air bersih.

Dalam dimensi ekonomi yang menjadi atribut pengungkit yaitu pendapatan


daerah (3,50) dan perubahan mata pencarian masyarakat (3,13). Untuk itu faktor
pengungkit tersebut (pendapatan daerah) yang memerlukan perhatian
dibandingkan dengan atribut lainnya. Sedangkan atribut lainnya seperti
penyerapan tenaga kerja dan iklim investasi memiliki nilai yang hampir sama
yaitu berkisar antara 2,30. Jika ingin meningkatkan kinerja pada dimensi ekonomi
maka pendapatan daerah harus diperhatikan, karena pendapatan daerah
merupakan sumber pendanaan untuk pengembangan dan pembangunan air bersih.
Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi dapat dilihat pada gambar 26
berikut ini.
156 
 

Leverage of Attributes
Dimensi Ekonomi Rap‐Spam 
BIAYA PENGELOLAAN AIR DIBANDING … 1.09
PERKEMBANGAN SEKTOR INFORMAL 2.23
PERUBAHAN MATA PENCAHARIAN 3.13
BESARNYA SUBSIDI 2.00
Attribute

PENYERAPAN TENAGA KERJA 2.33
IKLIM INVESTASI 2.30
PENDAPATAN DAERAH 3.50
PENGELUARAN MASY PER KAPITA 1.73
PENDAPATAN MASY PER KAPITA 1.44
PERSENTASE PENDUDUK MISKIN 1.05

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute 
Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 26. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi pengelolaan air bersih
lintas wilayah

5.1.4 Dimensi Infrastruktur dan Tekonologi


Hasil analisis terhadap dimensi teknologi dan infrastruktur menunjukkan
bahwa tingkat keberlanjutan dimensi tersebut sebesar 61,45 artinya berlanjut.
Dalam tekonologi pengelolaan memang sudah menunjukkan penggunaan
teknologi yang efisien dan tepat guna. Tingkat kebocoran di tingkat distribusi
sangat tinggi yaitu sekitar 40% sampai dengan 50%, untuk itu perlu perlakuan
khusus terhadap masalah tingkat kebocoran (Gambar 27).
157 
 

RAP‐Spam 
Dimensi Infra dan Teknologi
60
UP
Other Distingishing Features 40

20
61.45
0 BAD GOOD Real Value
0 50 100 150 References
‐20 Anchors

‐40
DOWN
‐60
Nilai Indikator Keberlanjutan Dimensi Infra dan 
Teknologi Rap‐Spam 

Gambar 27. Indeks keberlanjutan dimensi infrstruktur dan tekonologi


pengelolaan air lintas wilayah

Peran masing masing atribut dari dimensi infrastruktur dan tekonologi


dapat dilihat pada Gambar 27. Atribut dukungan sarana dan prasarana
pengelolaan air dengan nilai (5,57), sedangkan tingkat penguasaan teknologi
dengan nilai 4,76. Fakta di lapangan mempelihatkan bahwa dukungan
infrastruktur cukup bagus, Kementrian Pekerjaan Umum sedang merencanakan
untuk membangun saluran bawah tanah yang mengalirkan air dari Citarum ke
Jakarta dan juga sedang melakukan kajian studi kelayakan tentang pembangunan
saluran air bawah tanah dari Provinsi Banten ke DKI Jakarta. Jika hal itu
terwujud, maka kualitas air dan kuantitas air suplai air baku untuk air bersih akan
dapat terjaga dengan baik sampai ke instalasi pengelola/ produksi. Untuk lebih
jelasnya peran masing-masing atribut teknologi dapat dilihat pada Gambar 28.
158 
 

Leverage of Attributes
Dimensi Infra dan Teknologi Rap‐Spam 
KUALITAS AIR BERSIH YANG DIHASILKAN 1.61

TGERJADINYA KEBOCORAN 1.21

TEKNO RAMAH LINGK 1.11
Attribute

DUKUNGAN SARANA DAN PRASARANA 5.57

TINGKAT PENGUASAAN TEKNO 4.76

PEMBANGUNAN DAM DAN SALURAN 
0.27
DRAINASE

REKLAMASI LAHAN 3.45

TEKNO PENANGGANAN LIMBAH 0.25

0 1 2 3 4 5 6

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute 
Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 28. Peran masing-masing atribut dimensi infrastruktur dan teknologi


pengelolaan air baku lintas wilayah

5.1.5 Dimensi Hukum dan Kelembagaan


Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh nilai indeks tingkat dimensi hukum
dan kelembagaan dalam pengelolaan air baku lintas wilayah sebesar 68,24 atau
cukup berkelanjutan. Nilai ini menunjukkan bahwa tingkat keberlanjutan pada
dimensi hukum dan kelembagaan dalam posisi cukup berkelanjutan (Gambar 24) .

Namun, demikian peningkatan indeks dimensi hukum dan kelembagaan


dapat dilakukan dengan perbaikan-perbaikan terhadap atribut yang diperkirakan
berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi hukum dan kelembagaan yang terdiri
dari (1) ketersediaan perangkat hukum, (2) sinkronisasi kebijakan pusat, (3)
kelembagaan pengelola, (4) keberadaan lembaga keuangan, (5) ketersediaan
159 
 

lem
mbaga sosiaal, (6) keetersediaan organisasi masyarakatt, (7) keterrsediaan
pen
ngawasan hu
ukum, (8) ketersediaan
k n penegak hukum,
h (9) penyuluhan hukum
pen
ngelolaan sum
mber daya alam
a dan linggkungan, (10
0) transportaasi dalam keebijakan,
(11) intensitas pemanfaatan
p n yang melannggar hukum
m.

Gam
mbar 29. In
ndeks keberlaanjutan dimeensi hukum dan
d kelembaagaan pengeelolaan
air baku lintass wilayah

Atribut yang sensitiif memberikkan pengaruhh terhadap nnilai indeks dimensi


onomi, dilakkukan anallisis leveragge. Berdasaarkan hasil analisis leverage
eko l
diperoleh tiga atribut yanng sensitif tterhadap nilai indeks ddimensi huku
um dan
keleembagaan yaitu:
y (1) ketersediaan
k osial, (2) kkeberadaan lembaga
lembaga so l
keu
uangan, (3) kelembagaan
k n pengelola ((Gambar 30 ).
160

 

Gam
mbar 30. Peeran masing--masing atribbut dimensi hukum dan kelembagaaan
peengelolaan air
a bersih linttas wilayah

5.2 Analisis Multi


M Dimenssi

Hasil analisis
a terhaadap dimennsi hukum dan
d kelembaagaan menddapatkan
hassil bahwa nillai indeks keberlanjutann dimensi huukum dan keelembagaan sebesar
68,24. Dimennsi hukum dan kelembbagaan padaa pengelolaaan air bersih lintas
wilayah berkellanjutan (stu
udi kasus D
DKI Jakarta ) termasukk kedalam kategori
k
berrkelanjutan. Berdasarkaan analisis leeverage terddapat tiga aatribut yang sensitif
mem
mpengaruhi nilai indekss keberlanjuttan dimensi hukum
h dan kkelembagaann, yaitu:
keteersediaan leembaga sosiial (3,82 ) dan
d keberaddaan lembagga keuangan
n (3,73)
sertta kapasitass kelembaggaan pengellola (3,23). Analisa kkeberlanjutann dapat
disiimpulkan bahwa
b keberrlanjutan penngelolaan aiir bersih linttas wilayah sebesar
161 
 

(60,82) > 50 dengan nilai cukup berkelanjutan. Nilai masing-masing dimensi


nampak pada Gambar 31.

Gambar 31. Diagram layang-layang pengelolaan air lintas wilayah

Dapat disimpulkan bahwa hasil analisis tingkat keberlanjutan dari


pengelolaan air bersih lintas wilayah berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan
DKI Jakarta dengan MDS berdasarkan teknik rapish pada dimensi ekologi,
ekonomi, sosial, infrastruktur dan teknolgi, dan dimensi hukum dan kelembagaan.
Dimensi keberlanjutan dalam pengelolaan air lintas wilayah ini menekankan pada
aspek ekonomi dan juga aspek hukum yaitu dengan nilai 69,17, dimensi ekonomi
dan 68,24, dimensi hukum dan kelembagaan. Fakta di lapangan menunjukkan
bahwa pengelola air yang saat ini untuk operatornya dikonsesikan kepada pihak
swasta yaitu PT. Aetra dan PT. Palyja memang lebih menekankan akan profit
semata dan sedikit sekali memperhatikan aspek ekologi. Begitu juga tentang
162 
 

kelembagaan, untuk kelembagaan PAM Jaya memang menjadi BUMD yang


ditunjuk oleh undang-undang dan perda sebagai pengelola. Namun karena ada
perjanjian kerjasama dengan swasta, amandemen perjanjian kerjasama tertanggal
22 Oktober 2001, peran PAM Jaya bukan lagi sebagai operator namun hanya
sebagai pengawas. Hasil analisa keberlanjutan telah menunjukkan beberapa
atribut yang sensitif dari masing-masing dimensi sebagaimana tertuang pada

Tabel 31 Atribut sensitif pengelolaan air lintas wilayah

Dimensi Atribut sesnsitif Atribut terpilih*

Ekologi -Kekeringan -Kekeringan


-Kejadian banjir -Kejadian banjir
-Vegetasi -Vegetasi
Ekonomi -Pendapatan daerah -Pendapatan daerah
-Perubahan mata pencaharian
-Penyerapan tenaga kerja
Sosial -Ketepatan pembayaran -Ketepatan pembayaran
rekening air rekening air
-Gangguan kesehatan -Gangguan kesehatan
-Partisipasi dalam Prokasi -Partisipasi masyarakat
dalam Prokasi
-Pengetahuan terhadap
lingkungan
Infrastruktur -Dukungan sarana dan -Dukungan sarana dan
& teknologi prasarana prasarana
-Tingkat penguasaan teknologi -Tingkat penguasaan
teknologi
-Reklamasi lahan
-Kualitas air bersih
-Kualitas air bersih
Hukum & -ketersediaan lembaga sosial -Keberadaan lembaga
kelembagaan keuangan
- keberadaan lembaga
keuangan -Kapasitas lembaga
pengelola
-kapasitas lembaga pengelola
163 
 

*Aribut dengan nilai tertinggi dan terkait langsung dengan pengelolaan air bersih.

Atribut yang sensitif dan memiliki daya pengungkit tersebut dipilih dan
dijadikan sebagai input terkendali pada sistem dinamik. Pemilihan atribut sentitif
berdasarkan kriteria nilai tertinggi dan memiliki keterkaitan dengan pengelolaan
air bersih lintas wilayah.
164

BAB VI

ANALISIS KETERKAITAN PENGELOLAAN AIR BAKU UNTUK


AIR BERSIH

6.1 Lembaga Terkait Pengelolaan Air Baku Untuk Air Bersih

Dalam pengelolaan sumber daya air banyak lembaga yang terkait dari instansi
pemerintah atau kementrian dan setingkat badan sampai kepada pemerintah
daerah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Lembaga tersebut berkaitan
langsung maupun tidak langsung ikut beperan dalam pengelolaan sumberdaya air
dan termasuk pengelolaan air bersih, dan lembaga tersebut memiliki wewenang
dan fungsi masing-masing sebagaimana berikut ini:
1. Kementrian Pekerjaan Umum.
Kemerntrian Pekerjaan Umum bertanggungjawab atas pembangunan jalan
dan jembatan, tata ruang, pengairan, air bersih dan sanitasi, dahulu termasuk
pembangunan perumahan yang saat ini telah ada Kementrian Perumahan
Rakyat. Kementrian Pekerjan Umum telah membentuk Dadan Pendukung
sistem Penyediaan Air Minum yang mempunyai memberikan rekomendasi
kebijakan kepada Menteri Pekerjaan Umum dalam pengembangan
penyediaan prasarana air bersih. Dalam pembangunan proyek Banjir Kanal
Timur (BKT) Pemerintah Pusat melalui Kementrian Pekerjaan Umum,
menyediakan dana sebesar 2,5 trilyun rupiah untuk pembangunan fisiknya.
Pemerintah Pusat memberikan bantuan program penurunan tingkat
kehilangan air baku dari 50% sampai dengan 20% serta bantuan teknis
penyusunan studi kelayakan kerjsa sama pengelolaan antar daerah (lintas
wilayah) atas dasar pertimbangan keterseidaan air baku dan/ atau efektifitas
dan efisiensi pengelolaan perusahaan. Untuk daerah yang belum dilayani
SPAM bantuan fisik pengembangan SPAM melalui kerjasama regional
pengembangan SPAM. Bantuan teknis tersebut berupa pengembangan
prasarana air minum non pipa terlindungi dan bantuan program meningkatkan
prasarana air bersih menjadi terlindungi. Sedangkan untuk daerah yang sudah
165

terlayani pemerintah pusat memberikan bantuan penyuusunan rencana induk


air bersih terpadu dengan sanitasi dan penyusunan studi kelayakan.
Untuk program kerjasama pemanfaatan wilayah sungai strategi nasional
diperlukan koordinasi. Wadah koordinsai tersebut disebut dengan Tim
Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Strategis
Nasional. Pembentukan tim tersebut menjadi wewenang pemerintah pusat.
2. Kementrian Kesehatan.
kementrian kesehatan bertangung jawab atas penerbitan persyaratan kualitas
air bersih dan air minum. Kemenkes memiliki wewenang untuk melakukan
pengawasan, inspeksi dan pemantau kualitas air bersih dan air minum yang
diproduksi oleh perusahaan pengelola air minum.
3. Kementerian Negara Lingkungan hidup. KLH menetapkan kebijakan
mengenai pengendalian pencemaran air, merencanakan pelaksanaan –
program-program lingkungan, dukungan masyarakat di bidang lingkungan.
4. BAPEDAL , Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dibentuk pada tahun
1990, bertanggungjawab langsung kepada presiden namun kegiatan
operaasonalnya dikoordinir oleh menteri Lingkungan Hidup.
5. Kementrian Dalam Negeri, dalam bidang air bersih, melalui Direktorat
Jenderal Pembangunan Daerah (PUOD) bertanggungjawab atas pengawasan
dan monitoring kinerja pemerintah daerah dan pegawainya. Fungsi penting
PUOD yaitu manajemen dan memberikan dukungan kepada perusahaan air
minum daerah.
6. Kementrian kehutanan. Kementrian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Direktorat Pemanfaatan Jasa
Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung memiliki tugas
melakukan konservasi sumber daya air termasuk konservasi sumber daya air
terutama di kawasan hutan lindung.
7. BAPPENAS, Badan Perenaan Pembangunan Nasional), BAPPENAS,
bertanggungjawab atas penyiapan program-program pembangunan nasional
jangka panjang dan jangka menengah dan khususnya mengenai target
pembangunan dan anggran sektoral.
166

8. Kemenkeu. Kementrian keuangan merupakan pemilik aset negara termasuk


yang berada di bawah PADAM, Kemenkeu berwenang memberikan izin atas
pengalihan aset maupun penghapusan. PDAM diwajibkan membayar kembali
kepada Menteri Keuangan atas bantuan pendanaan atau pinjaman luar negeri
atau penyertaan pemerintah. Kemenkeu melaui Direktoran Jenderal Lembaga
Keuangan mengelola perjanjian penerusan pinjaman, dimana pemerintah
daerah dan BUMD-nya (seperti PDAM) dapat meminjam dana yang
disediakan melalui bantuan pendanaan eksternal ditingkat psuat.
9. Kementrian ESDM, dalam kaitannya dengan air bersih, Kementrian ESDM
memberikan izin atas pengambilan air pada sumur dalam atau eksplorasi
melaui Direktorat Lingkungan Geologi dan bertangung jawab atas eksplorasi
dan pengumpulan data mengenai sumber-sumber air tanah dan thermal.
10. PAM JAYA, Perusahaan Air Minum Jakarta (PAM JAYA) disyahkan
berdasarkan PERDA DKI Jakarta No. 3/1977 dan dikukuhkan oleh SK
Mendagri No PEM/10/53/13350 diundangkan dalam Lembaran DKI Jakarta
No. 74 tahun 1977. PAM JAYA melaksanakan pelayanan air minum yang
berkesinambungan kualitas, kuantittas dan kontinuitas, guna mendukung
pogram Pemerintah PropinsiDKI Jakarta mewujudkan kota Jakarta sebagai
pelayanan. Pada tanggal 6 Juni tahun 1997 penandatanganan Perjanjian
Kerjasama PAM JAYA dengan 2 mitra swasta selama 25 tahun yaitu PT.
Garuda Dipta Semesta yang saat ini menjadi PT. PALYJA (PAM Suez
Lyonnaise des Euax-Dumez (PALYJA) DARI France dan PT. Thames PAM
Jaya (TPJ) dari United Kindom. PAM Jaya memiliki hak melakukan
pemeriksaan, pengkajian, penilaian dan evaluasi atas kinerja kedua mitra
swasta.
11. PEMDA DKI, Pemerintah Daerah DKI Jakarta, memiliki tugas dan
wewenang untuk memberikan pelayanan kepada masyarakatnya termasuk
pemenuhan kebutuhan akan air bersih baik melalui pengalokasian anggaran
pembangunan prasarana air bersih, pengembangan air bersih, maupun
memberikan dana subsidi kepada warga. Pemda DKI menetapkan tarif air
bersih atas usulan Badan Regulator PAM DKI. Pemda DKI juga
167

mengusulkan kepada pemerintah tentang biaya jasa pelayanan air yang


diambil dari PJT 2.
Pemda DKI telah menyediakan dana 2,5 trilyun rupaih untuk pembebasan
tanah proyek Banjir Kanal Timur yang pembangunannya dimulai sejak 2005.
Anggaran DKI Jakarta pada tahun 2012 sebesar 33 trilyun rupiah naik 10%
dari tahun anggaran 2011 sebesar 31,7 trilyun rupiah. Dana sebesar itu
dipergunakan untuk pendidikan sebesar 26% dan untuk pembangunan terkait
sumber daya air sebesar 15% yaitu untuk pembangunan DTRS sebesar 4,4
trilyun rupiah.
11. Badan Regulator DKI, membantu Gubernur melaporkan tentang
pembangunan air bersih melalui wakil gubernur, megusulkan arau
merekomendasikan tarif air bersih serta menerima dan menyetujui program
pembangunan 5 tahunan yang disusun oleh pihak kedua dan menerima bagian
pendapatan, pendapatan yang tidak dibagi serta obligasi bulana serta obligasi
bulanan (jika bulanan).
12. Mitra Swasta. PAM Jaya bermitra dengan PT.PALYJA dan PT. AETRA.
Kerjasama tersebut berlaku sejak 1988 selama kurun waktu 25 tahun atau
berakir pada tahun 2013. Mitra swasta (Palyja dan Aetra) berkewajiban
mengelola, mengoperasikan dan mendistribusikan air bersih serta
memelihara dan membangun sistem penyediaan air bersih dan melakukan
penagihan rekenin air. Untuk wilayah barat ditangani oleh PT. Palyja dan
wilayah timur oleh PT. Aetra dimana wilayah pembagiannya adalah batas
sungai Ciliwung.
13. PJT II, Perum Jasa Tirta II (PJT 2) bertugas dan berkewajiban mengelolah
dan mengatur penyaluran air baku dari bendungan Jatiluhur untuk
kepentingan pertanian, industri, dan PAM, serta untuk kegiatan penggerak
listrik dan sebagian untuk pengelontoran. Air baku untuk air bersih yang
disalurkan PJT II melalui Tarum Kanal Barat sebesar 14,74 m3/detik dengan
rincian ke wilayah Timur sebesar 9,34 m3 dan wilayah Barat sebesar 5,4
m3/detik.
14. FORKAMI, Forum Komunikasi Pengelolaan Kualitas Air Minum Indonesia
merupakan LSM yang bergerak di bidang kualitas air bersih produksi PAM.
168

FORKAMI bekerjasama dengan Badan Regulator melaksanakan Survei


Kepuasan Pelanggan (SKP) temasuk kemampuan daya beli masyarakat.
15. YLKI, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia adalah LSM yang bergerak di
bidang perlindungan konsumen dimana perlindungan konsumen diatur oleh
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999.
16. KPAM, Komite Pelanggan Air Minum didirikan sejak tahun 2001 dan
dibentuk di tiap kota yang mewakili kepentingan konsumen.
17. BPPSPAM. Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
dibentuk melalu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:
294/PRT/M/2005. Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air
Minum (BPPSPAM) dibentuk dengan maksud untuk membantu pemerintah
dalam mencapai tujuan pengaturan pengembangan SPAM yang meliputi:
terwujudnya pengelolaan dan pelayanan air minum berkualitas dengan harga
terjangkau; tercapaianya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan
penyedia jasa pelayanan dan tercapainya peningkatan efisiensi dan cakupan
pelayanan air minum. Jadi BPPSPAM berperan dalam mendorong
peningkatan pelayanan penylenggaraan SPAM, memberikan masukan dalam
penyusunan kebijakan dan strategi serta mengembangkan sistem pembiayaan
dan pola investasi pengembangan SPAM.
18. Komisi Irigasi. Komisi irigasi dibentuk melalui Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 31/PRT/M/2007. Kedudukan Komisi Irigasi adalah di daerah
propinsi dan dibentuk bendasarkan Keputusan Gubernur, Komisis irigasi
berada di baeah gubernur dan bertangung jawab langsung kepada Gubernur.
Komisi irigasi kabupaten dibentuk oleh bupati berada dan bertanggung jawab
langsung kepada bupati. Selain komisi irigasi propinsi dan kabupaten jika
dipandang perlu maka ada komisir irigasi lintas propinsi. Komisi irigasi antar
provinsi membantu para gubernur di daerah yang bersangkutan dengan tugas:
mengusulkan rencana rumusan kebijakan, rencana tahunan penyediaan,
pembagian, pemberian air irigasi, mengusulkan prioritas alokasi dana
pengelolaan irigasi, merumuskan rencana tata tanam, rencana pemeliharaan
dan rehabilitasi jaringan irigasi.
169

19. Dewan Sumber Daya Air. Sebagai wadah koordinasi pengelolaan sumber
daya air yang pembentukannya ditetapkan dengan Keputusan Gubernur untuk
pembentukan dewan sumber daya air kabupaten/ kota ditetapkan dengan
keputusan bupati/walikota. Dewan Sumber Daya Air sebagai wadah
koordinasi pengelolaan sumber daya air. Pelaksanaan koordinasi pengelolaan
sumber daya air pada sungai lintas propinsi dan wilayah sungai strategis
nasional dapat dibentuk TKPSDA WS Lintas Propinsi dan TKPSDA WS
Strategi Nasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Fungsi Dewan Sumber Daya Air memberikan pertimbangan kepada presiden
dalam menetapkan wilayah sungai dan cekungan air tanah atas dasar masukan
dari pemda yang bersangkutan. Memberikan usulan kepada pemerintah
tentang kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi
dan hidrogeologi.
20. Pemda Non DKI. Pemda Bogor Provinsi Jawa Barat dan Pemda Tangerang
Propinsi Jawa Barat. Sebagaimana dituangkan dalam Undang-undang 32
Tahun 2004 Pemerintahan Daerah dan PP NoMOR 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan, pemda berhak mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya sesuai norma dan standar,
prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dalam hal
penyelenggaraan air, daerah berhak memanfaatkan sumber air bersih tetapi
dengan mempertimbangkan kepentingan daerah lain. Pemda Tangerang
mensuplai air bersih dari PAM Tangerang ke PAM JAYA begitu pula Pemda
Bogor mensuplai air baku dari mata air Ciburial ke PAM JAYA. Pasokan air
baku dari PJT 2 yang bersumber dari Sungai Citarum dimana hulunya berada
di Bandung Jawa Barat dan tengahnya berada di daerah Purwakarta Jawa
Barat. Pemda Jabar wajib memelihara sumber air baku pada DAS tersebut
dan juga berhak menerima kompensasi untuk perbaikan lingkungan yang
dipergunakan untuk perbaikan dan konservasi sumber daya air.

6.2 Analisis Interpretative Structural Modelling


Interpretive structural modelling (ISM) adalah salah satu metodologi yang
baik untuk mengidentifikasi hubungan antara hal-hal spesifik yang berkaitan
170

dengan problem atau sebuah isu yang kompleks. Pendapat dari kelompok pakar
digunakan untuk mengembangkan model ISM dengan menggunakan matrik
hubungan. Menurut Marimin (2004), ISM adalah salah satu metodologi berbasis
komputer yang membantu kelompok mengindentifikasi hubungan antara ide dan
struktur tetap pada isu yang kompleks
Teknik ISM merupakan suatu proses pengkajian kelompok dimana model-
model struktur dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu
sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafik
atau kalimat. Teknis ISM terutama ditujukan untuk pengkajian suatu tim atau bisa
juga dipakai oleh seorang peneliti (Eriyatno, 2003).
Prinsip dasarnya adalah identifikasi dan struktur di dalam suatu sistem
akan memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif
dan pengambilan keputusan yang lebih tinggi. Dalam teknik ISM program yang
ditelaah perjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen dan setiap
elemen selanjutnya diuraikan menjadi sebuah sub-elemen.

Teknik permodelan interpretasi struktural digunakan untuk merumuskan


alternatif kebijakan dimasa yang akan datang. Menurut Marimin (2004), ISM
adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) model-model
struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem,
melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta
kalimat. Teknis ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk
menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang yang sering
menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi
statistik deskriptif.

i:
1. Pelaku yang terlibat dalam kebijakan pengelolaan air bersih;
2. Tujuan utama kebijakan pengelolaan air bersih lintas wilayah.
3. Kebutuhan utama dalam pemenuhan kebutuhan air bersih.
4. Kendala utama dalam pencapaian pengelolaan air bersih.
171

6.2.1 Elemen Pelaku Pengelolaan Air Baku untuk Air Bersih


 

Komponen sub-elemen pelaku yang terlibat dalam pelaksanaan


pengembangan air bersih integral-holistik terdiri dari: (1) Pemerintah Pusat, (2)
Pemda DKI Jakarta, (3) Pemda Non DKI Jakarta(Jabar dan Banten); (4) PAM
JAYA (5) PJT II, (6) LSM , (7) DPR/DPRD, (8) Perusahaan Swasta, (9)
Masyarakat. Hubungan kontekstual antar sub-elemen komponen pelaku yang
terlibat dalam pelaksanaan pengembangan air bersih dapat dilihat pada Tabel 32.

Tabel 32 . Dependent dan driver power elemen pelaku pengelolaan air lintas
wilayah.

Pelaku Dep Drv

(1) Pemerintah Pusat 1 8


(2) Pemda DKI 5 7
(3) Pemda Non DKI 7 3
(4) PAM Jaya 5 7
(5) PJT II 8 1
(6) LSM 5 7
(7) DPR/DPRD 5 7
(8) Perusahaan Swasta 7 3
(9) Masyarakat 1 1

Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub-elemen komponen


pelaku yang terlibat dalam pelaksanaan pengembangan air bersih. Hal ini
memberikan makna bahwa dalam kebijakan pengelolaan air bersih lintas wilayah
berkelanjutan yang bersifat integral dan holistik, pelaku yang paling menentukan
adalah Kementrian Pekerjaan Umum. Hasil temuan mengindikasikan bahwa
untuk mendorong pengelolaan air lintas wilayah integral-holistik harus diberikan
perhatian yang lebih fokus kepada kedua sub-elemen ini sedemikian rupa
172

sehingga pengelolaan air lintas wilayah yang integral-holistik menjadi fokus


program kementrian ini.

Selanjutnya matrik RM ini diperiksa transitivity rule-nya dan dikoreksi


hingga membentuk matriks yang tertutup. Hasil perbaikan ini ditampilkan dalam
tabel sebagai matriks RM revisi. Matriks ini juga menunjukkan ranking setiap
sub-elemen pelaku berdasarkan daya pendorong (driver power) yang dimilikinya.
Hasil reachability matrix (RM) revisi elemen pelaku dapat dilihat pada Tabel 33.

Tabel 33. Hasil reachability matrix (RM) revisi elemen pelaku pengelolaan air
bersih lintas wilayah.

No. A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 Drv Rank

A1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 8 1

A2 0 1 1 1 1 1 1 1 0 7 2

A3 0 0 1 0 1 0 0 1 0 3 3

A4 0 1 1 1 1 1 1 1 0 7 2

A5 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 4

A6 0 1 1 1 1 1 1 1 0 7 2

A7 0 1 1 1 1 1 1 1 0 7 2

A8 0 0 1 0 1 0 0 1 0 3 3

A9 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 4

Dep 1 5 7 5 8 5 5 7 1

Rank 4 3 2 3 1 3 3 2 4
173

Sub-elemen (A1) Pemerintah Pusat merupakan faktor independen dan


menempati urutan teratas, diikuti oleh (A2) Pemda DKI (A4) PAM JAYA (A6)
Lembaga Swadaya Masyarakat. Hal ini juga menunjukkan bahwa pemerintah
pusat memiliki peranan penting dalam kebijakan pengelolaan air bersih lintas
wilayah. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pasal
14 huruf e pemerintah berwenang dan bertanggungjawab melaksanakan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi wilayah sungai
lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional. Sungai Citarum merupakan
wilayah sungai strategis nasional yang pengelolaannya menjadi wewenang dan
tanggung jawab pemerintah. Pengelompokan ini menghasilkan 9 kelompok sub-
elemen yang menempati 4 kuadran yang tersedia. Kelompok pertama (A1)
Pemerintah Pusat menempati kuadran IV atau kuadran independent. Hal ini
menunjukkan bahwa pemerintah pusat memiliki kekuatan pendorong yang besar
terhadap keberhasilan pengembangan air bersih integral-holistik. Berdasarkan
independensi dan daya pendorongnya Pemerintah Pusat dalam hal ini
Kementerian Pekerjaan Umum sebagai sektor paling terkait.

Kuadran III atau kuadran linkage ditempati oleh 4 sub-elemen, terdiri dari:
(4) PAM JAYA (7) DPR/DPRD (2) Pemerintah Kota DKI Jaya; (6) LSM. Ke-
empat sub-elemen ini merupakan kelompok penghubung yang bisa mendorong
keberhasilan pengolaan air bersih lintas wilayah integral-holistik. Namun
kebijakan pengelolaan air bersih lintas wilayah sangat bergantung kepada
kebijakan pemerintah pusat baik undang-undang yang digagasnya maupun
peraturan pemerintah, Keppres dan Kepmen. Kebijakan pemerintah pusat akan
ditindak lanjuti dengan kebijakan oleh pemerintah daerah dan oleh kebijkan
internal para operator termasuk PJT II dan PAM Jaya (Gambar 32).
174

9
(1) Pemerintaah 8
Pusat
DAYA PENDORONG (4
4) PAM Jaya
7
(7) DPR/DPRD
D
(2) Pemda DKI
6 (6)) LSM

0 1 2 3 44 5 6 7 (3) Pemda
8 Non 9
(8) Perusah
DKI haan
3 Swastaa

2
(9) Masyarakat
1
5) PJT 2
(5
0
KETER
RGANTUN
NGAN

mbar 32. Drriver power VS dependeen elemen peelaku pengeloolaan air


Gam
bersih lintas wilayah
w

Kelompook linkage memiliki karakteristik


k daya penddorong yangg tinggi,
tetaapi sekaliguss memiliki tingkat
t ketergantungan (dependensii) yang ting
ggi pula.
Settiap sub-elem
men dalam kelompok
k inni saling terrgantung, seerta tergantuung juga
kep
pada kelomp
pok independ
dent (Pemeriintah Pusat). Hal ini jugga mengindiikasikan
bah
hwa bagi siaapa saja yanng berkaitan dengan penngembangann air bersih integral-
i
holistik harus menelaah secara berhaati-hati karenna hubungann antar sub-elemen
pad
da kelompok
k ini tidak stabil. Ketidak stabilaan hubungaan antar elem
men ini
diseebabkan karrena ke-emppat sub-elem
men tersebu
ut memiliki daya doronng yang
ting
ggi dan sekaaligus memiiliki tingkat ketergantunngan satu sam
ma lain yanng tinggi
pula.

Kuadran II atau kuaddran dependeent ditempatti oleh: (3) P


Pemda non DKI,
D (8)
perrusahaan swaasta pengelo
olah air bersiih, dan (5) PJT
P II. Keloompok ini memiliki
m
day
ya pendoronng yang relaatif kecil dann tingkat keetergantungaan tinggi baaik antar
subb-elemen, maaupun terhad
dap kelompok lain, mennunjukkan bbahwa kelom
mpok ini
tidaak memiliki kemampu
uan dan kaapabilitas daalam mendoorong kebeerhasilan
175

kebijakan pengelolaan air bersih lintas wilayah integral-holistik, atau


sesungguhnya mereka memiliki kemampuan dan kapabilitas, tetapi belum diberi
peran secara signifikan dalam pengelolaan air bersih lintas wilayah.

Selain semua pelaku di atas, masih ada sub-elemen (A9) masyarakat yang
menempati kuadran I atau kuadran autonomous. Kelompok pelaku pada kuadran
ini umumnya tidak terlalu terkait dengan kebijakan pengelolaan air bersih lintas
wilayah. Meskipun PJT II sebagai operator dalam hal alokasi dan suplai air baku
untuk wilayah Sungai Citarum, namun kebijakan tersebut ada pada Kementrian
Pekerjaan Umum cq Ditjen SDA yaitu pemerintah pusat. Kedudukan PJT 2
sangat dipengaruh oleh Pemerintah Pusat yaitu sebagai pelaksana dari kebijakan
pemerintah tentang alokasi air. Pada UU Nomor 7 tahun 2004 pasal 46 ayat (1)
pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, mengatur dan
menetapkan alokasi air pada sumber air untuk penguasaan sumber daya air oleh
badan usaha atau perseorangan. Pada psal 46 ayat (2) alokasi air untuk
pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
didasarkan pada rencana alokasi air yang ditetapkan dalam rencana pengelolaan
sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.

Posisi PJT II yang menempati kuadran II (dependent) menunjukkan bahwa


posisi PJT 2 sama sangat tergantung dari pemerintah pusat. PJT II hanya
diposisikan sebagai operator yang menerima kebijakan dari pusat maupun dari
aktor yang menempati kwadran III (linkage). Tugas dan tanggung jawab PJT II
tidak berbeda dengan PJT I yang membedakan hanya wilayah sungai yang
dikelolahnya. Sebagaimana Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46
Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum Jasa Tirta I memiliki tugas dan wewenang
dalam hal melaksanakan pelayanan, pemberian jaminan pelayanan, pelaksanaan
operasi atas prasarana SDA, pemeliharaan preventif, pengusahaan SDA wilayah
sungai dan membantu pemerintah menjaga dan mengamankan sumber air dan
prasarana SDA untuk mempertahankan kelestarian.

PJT II perlu diajak terlibat dalam penentuan kebijakan pengelolaan air lintas
wilayah terutama dalam hal alokasi sumber air baku. Pemda Non DKI menempati
kwadran II (dependent) artinya tidak begitu terkait dalam pengelolaan air bersih
176

lintas wilayah. Padahal pemda non DKI juga memiliki kepentingan akan
pemanfaatan sumber air baku. Pemda non DKI seperti Pemda Bekasi, Karawang,
Purwakarta merupakan pemanfaat dari sumber air baku dari PJT II yang
bersumber dari Sungai Citarum. Menurut UU Nomor 7 Tahun 2007 bahwa yang
memiliki kewenangan pengelolaan air untuk sungai strategis nasional adalah
pemerintah, namun demikian pemda terkait sebaiknya dilibatkan agar tidak terjadi
sengketa, sebagaimana telah diatur pada PP Nomor 42 Tahun 2008 Pengelolaan
Sumber Daya Air dan PP 38 Nomor 2007 serta Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 11A/M/2006.

Sungai Citarum mengalir dari hulunya di Kabupaten Bandung melalui


Kabupaten Purwakarta, Karawang dan Bekasi. Semestinya Pemda Non DKI
seperti Pemda Jabar dan serta Tangerang (Banten) turut serta dalam perumusan
kebijakan pengelolaan air bersih lintas wilayah berkelanjutan khususnya untuk
pemenuhan air bersih DKI Jakarta, hal ini peting agar tidak terjadi sengketa air.
Pada pasal 14 huruf (i) pemerintah menfasilitasi penyelesaian sengketa antar
provinsi dalam pengelolaan sumber daya air. Hubungan kontekstual dan level
hierarki elemen pelaku pengelolaan air bersih lintas wilayah disajikan pada
Gambar 33 dibawah ini .
177

Level Autonomous                                    Keterangan 
  5 9
  1. Pemerintah Pusat 
2. Pemda DKI 
 
3. Pemda Non DKI 
  4. PAM Jaya 
  3 8
Level Dependent  5. PJT II 

  6. LSM 
7. DPR/DPRD 
 
  2 8. Perusahaan Swasta 
4 6 7
 

Level 

Linkage 

 
  1
 

Level Independent  

Gambar 33. Level hierarki elemen pelaku pengelolaan air bersih lintas
wilayah.

Struktur hirarki tersebut menunjukkan bahwa sub-elemen Pemerintah Pusat


memiliki daya pendorong paling kuat dalam kebijakan pengelolaan air bersih
lintas wilayah berkelanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa sub-elemen tersebut
merupakan sub-elemen yang memiliki kekuatan penggerak dan pengaruh terbesar
terhadap sub-elemen lain yang berada di level yang lebih rendah. Hal yang
menarik adalah meskipun memiliki kepentingan dalam hal peemanfaatan air baku
dari Sungai Citarum, Pemda Non DKI tidak terkait dalam kebijakan pengelolaan
air minum.

Ketidakterkaitan antar masyarakat dengan aktor lainnya seperti Pemerintah


Pusat dan PAM Jaya, DPR/DPRD dalam penentuan kebijakan pengelolaan air
bersih lintas wilayah, menunjukkan bahwa pengelolaan air bersih masih belum
178

berbasis masyarakat. Masyarakat belum menjadi aktor hanya sebagai obyek.


Padahal masyarakatlah yang menjadi konsumen air bersih, masyarakatlah yang

menerima dampak baik maupun buruknya hasil dari kebijakan tersebut. PAM
Jaya, Pemda DKI dan LSM serta DPR/DPRD yang berada pada level 2
merupakan kelompok penghubung yang bisa mendorong keberhasilan
pengelolaan air bersih lintas wilayah yang bekerlanjutan yang berbasis otonomi
daerah.

6.2.2 Elemen Tujuan Pengelolaan Air Lintas Wilayah Berkelanjutan .


Berdasarkan survei pakar, maka diperoleh kebutuhan utama untuk kebijakan
pengelolaan air besih meliputi teknologi pengelolaan air bersih yang efisien,
pengunaan bahan baku secara optimal, pemanfaatan tekonologi tepat guna,
pelaksanaan konservasi sumber daya air, peningkatan kualitas air bersih, suplai air
bersih yang cukup dan berkesinambungan, pembangunan infrastruktur yang
memadai. Jadi elemen kebutuhan kebijakan pengelolaan air bersih lintas wilayah
berkelanjutan meliputi tujuh sub elemen dan sub-elemen yang paling memiliki
daya pendorong yang paling kuat adalah tujuan tentang suplai / distribusi air
bersih yang yang berkelanjutan Tabel 34.

Tabel. 34 Dependen dan driver power elemen tujuan pengelolaan air bersih lintas
wilayah

Tujuan Dep Drv


(1) Teknologi pengelolaan air 7 3
(2) Bahan baku air 4 5
(3) Aplikasi TTG 7 3
(4) Konservasi SDA 4 5
(5) Kualitas air 2 6
(6) Suplai air bersih 1 7
(7) Infrastruktur 7 3

Tabel 34 di atas menunjukkan bahwa agar terwujudnya tujuan suplai air


bersih ke masyarakat yang berkelanjutan menempati posisi pertama hal ini seusai
1799

den
ngan UU Noomor 7 Tah
hun 2004 teentang Sumb
ber Daya Aiir pasal 26 ayat (2)
pen
ndayagunaan
n sumber daaya air ditujuukan untuk memanfaatk
m kan sumber daya
d air
secara berkelaanjutan den
ngan menguutamakan pemenuhan
p kebutuhan pokok
keh
hidupan massyarakat seccara adil. Posisi elem
men (6) supllai air bersih yang
berrkelanjutan, memiliki daaya pendoroong yang paaling kuat dan juga memiliki
m
keteergantungann yang renddah. Posisi kkedua adalaah kualitas aair bersih memiliki
m
ind
dependency yang
y rendahh pulah dan kekuatan peendorong terkuat keduaa setelah
supplai air bersiih. Pemanfaaatan bahan baku air secara optimaal menempatti urutan
ketiiga dengan kekuatan daya
d dorongg dan keterrgantungan yang sama dengan
konnservasi sum
mber daya airr (Gambar 344).

(6) Suplaii air


bersih
h 6
(5) Kualitaas air
(2
2) Bahan baku
air
DAYA PENDORONG

5 (4) Konservas i
SDA

4
(3) Aplik
kasi TTG
0 1 2 3 3 4 5 (1)
6 Tekn nologi7
pengelollaan air
(7) Infrastrruktur

0
KETER
RGANTUN
NGAN

mbar 34. Deependen VS power


Gam p elemeen tujuan

6.2.3 Elemen
n Kebutuhan Pengelolaaan Air Linttas Wilayah
h
Elemen
n kebutuhan pengelolaaan air lintass wilayah berkelanjutann dibagi
men
njadi sub eleemen antara lain: (1) disstribusi air teepat sasaran,, (2) kualitass air dari
180

masyarakat, (3) pendapatan perusahaan air bersih, (4) melibatkan masyarakat, (5)
bantaran sungai bebas dari permukiman, (6) pengelolaan lingkungan mudah, (7)
harga air murah, (8) terhindar dari gangguan kesehatan, (9) adanya koordinasi
antar pemda.
Kebutuhan masyarakat pemakai air agar terhindar dari gangguan kesehatan
tersebut sesuai dengan ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA pasal 8
ayat (1) air baku wajib memnuhi baku mutu yang ditetapkan untuk penyediaan air
minum sesuai peraturan perundang-undangan. Peraturan Mentri Kesehatan RI
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran mengelompokkan klasifikasi air menjadi empat kelas, kelas satu, air
baku untuk air minum dan seterusnya. Tujuan dari Permenkes tersebut agar
masyarakat dapat mengkonsumsi air bersih sesuai dengan klasifikasi
peruntukkannya dengan tujuan utama agar terhindar dari penyakit akibat
mengkonsumsi air yang tidak berkualitas (Gambar 35).

Independent

Autonomous

Gambar 35 Matrik driver power VS dependen elemen kebutuhan pengelolaan air


baku lintas wilayah
181

6.2.4 Elemen Kendala Utama Terkait Kebijakan Pengelolaan Air Baku


Lintas Wilayah
Komponen sub-elemen kendala utama yang menghambat pengelolaan air
lintas wilayah berkelanjutan yang bersifat integral-holistik dan berbasis otonomi
daerah terdiri dari: (1) bahan/ air baku sedikit, (2) sarana terbatas, (3) dukungan
pemerintah kurang, (4) kemampuan masyarakat dalam menjaga kualitas air baku,
(5) permintaan air tinggi (meningkat), (6) teknologi pengelolaan rendah, (7)
persepsi masyarakat rendah; (8) resapan air rendah, (9) jumlah limbah tinggi.
Hubungan kontekstual antar kendala tersebut disusun dalam matriks interaksi
tunggal terstruktur atau structural self interaction matrix (SSIM). Adapun
dependen dan driver power kendala dapat dilihat pada Tabel 35.

Tabel 35. Dependen dan driver power kendala pengelolaan air lintas wilayah

Kendala Dep Drv


(1) Bahan baku sedikit 11 8
(2) Sarana terbatas 11 8
(3) Dukungan pemerintah kurang 11 8
(4) Kemampuan menjaga kualitas air 11 8
(5) Permintaan air tinggi 3 9
(6) Teknologi rendah 12 1
(7) Persepsi masyarakat rendah 11 8
(8) Resapan air rendah 1 11
(9) Jumlah limbah tinggi 2 9
(10) Peraturan kurang optimal 11 8
(11) Harga air sangat tinggi 1 10
(12) Biaya pengelolaan tinggi 11 8

Tabel 35 menunjukkan bahwa yang memiliki driver prower yaitu sub


elemen (8) rendah resapan air, selain menjadi driver prower juga memiliki nilai
bebas tidak tergantung. Sub elemen lain yang memiliki driver power yang kuat
yaitu sub elemen sangat tinggi, sub elemen (11) harga air, (9) jumlah limbah
tinggi dan (5) permintaan air tinggi. Untuk mengatasi tingginya permintaan air
perlu gerakan hemat air melalui program 3R. Program hemat air tertuang dalam
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan dinyatakan
182

secara tegas tentang program 3R (reduce, reuse, recyle) pada pasal 3 ayat (6) yang
membahas tentang daur ulang air.

Tabel 36. Hasil reachability matrix (RM) elemen kendala utama pengelolaan air
baku lintas wilayah

No. k1 k2 k3 k4 k5 k6 k7 k8 k9 A10 k11 k12

k1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 0 1

k2 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 0 1

k3 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 0 1

k4 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 0 1

k5 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1

k6 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0

k7 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 0 1

k8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1

k9 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1

k10 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 0 1

k11 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1

k12 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 0 1

Hasil perbaikan RM ditampilkan dalam Tabel 36 di atas sebagai matriks


RM revisi. Matriks ini juga menunjukkan ranking setiap sub-elemen kendala
utamanya berdasarkan daya pendorong (driver power) yang dimilikinya. Sub-
elemen yang menempati urutan teratas adalah (8) kurangnya/ rendahnya daerah
resapan, diikuti oleh (11) tingginya harga air bersih. Urutan ketiga ditempati oleh
sub-elemen (5) tingginya permintaan air bersih, (9) tingginya jumlah limbah di
183

sumber air baku. Sedangkan urutan ke-empat yaitu (1) bahan baku air bersih
sangat sedikit, (2) sarana dan prasarana pengelolaan air bersih sangat terbatas, (3)
kurangnya dukungan pemerintah dalam pengelolaan air bersih, dan (7) rendahnya
kesadaran masyarakat dalam program hemat air, (10) kurang optimalnya
kebijakan dan peraturan, (12) biaya pengelolaan air sangat tinggi.

Urutan kelima ditempati oleh sub-elemen (6) rendahnya teknologi


pengelolaan air bersih. Tingkatan hirarki (level) struktur kendala utama terkait
pengembangan air bersih integral-holistik serta berbasis otonomi daerah dapat
dilihat pada Gambar 36.

Matriks Driver Power vs Dependent 
Kendala
12
Rendahnya 
11
resapan air
Harga air sangat 
Linkage
Kurangnya 
Kurangnya 
10 dukungan 
tinggi menjaga kualitas  pemerintah
Permintaan air  Sumber air baku 
Tingginya limbah  9 air
sangat tinggi Biaya  sedikit
Kurang 
di sumber air 
Driver Power

8 pengelolaan  optimalnya 
baku Rendahnya 
kebijakan
sangat tinggi
7 Sarana prasarana  persepsi 
Independent terbatas penghematan air 
6 di masyarakat
0 1 2 3 4 5 5 6 7 8 9 10 11 12

3
Autonomous Dependent
2
Teknologi proses 
1 masih rendah
0

Dependent
Gambar 36 Matrik driver power VS dependent elemen kendala

Gambaran klasifikasi setiap sub-elemen kendala utama berdasarkan daya


pendorong dan tingkat ketergantungan. Pengelompokan ini menghasilkan 3
184

kelompok sub-elemen yang menempati 4 kuadran yang tersedia. Kelompok di


kuadran IV independent terdiri dari sub-elemen: (8) kurangnya/rendahnya resapan
air; (9) tingginya jumlah limbah di sumber air baku ; (5) tingginya peningkatan
permintaan air bersih dan (11) tinggi harga air bersih melebihi kemampuan
masyarakat terutama masyarakat miskin perkotaan.

Kelompok kedua menempati kuadran III atau kuadran linkage, terdiri dari
level 7, yaitu sub-elemen: (3) kurangnya dukungan pemerintah dalam program
penyediaan air bersih; (4) rendahnya kemampuan masyarakat dalam menjaga air
bersih; (1) bahan baku sedikit; (2) terbatasmya sarana dan prasarana pengelolaan
air bersih; (10) kebijakan dan peraturan kurang optimal; (12) tingginya biaya
pengelolaan air bersih. Setiap sub-elemen pada kelompok ini menjadi
penghubung (linkage) keberhasilan pengembangan air bersih integral-holistik.
Kelompok linkage ini memiliki karakteristik daya pendorong yang tinggi, tetapi
sekaligus memiliki tingkat kebergantungan (dependensi) yang tinggi juga. Setiap
sub-elemen dalam kelompok ini saling bergantung, serta bergantung juga kepada
kelompok independent.

Kelompok terakhir menempati kuadran II atau kuadran dependent yang juga


merupakan level terendah (rangking terakhir), terdiri dari sub-elemen: (6)
teknologi pengelolaan air bersih masih rendah Sub-elemen ini menjadi kendala
terakhir yang harus dipecahkan dengan cara menyelesaikan kendala yang lebih
esensial pada level di atasnya. Semua kendala yang ada harus dipecahkan secara
menyeluruh, karena setiap elemen saling berkait dan saling bergantung. Semua
sub-elemen tidak ada yang masuk ke dalam kuadran I (autonomous) yang
menunjukkan bahwa semua kendala utama yang ada memiliki keterkaitan satu
sama lain, baik dari sisi kebergantungan maupun dari sisi daya pendorongnya.

Gambaran sub elemen kendala menunjukkan sub elemen kendala (6)


rendahnya teknologi pengelolaan air bersih merupakan kendala yang tergantung
kepada kendala penghubung yaitu kendala yang menempati urutan kedua yaitu
sub-elemen: (3) kurangnya dukungan pemerintah dalam program penyediaan air
bersih; (4) rendahnya kemampuan masyarakat dalam menjaga air bersih, (1)
bahan baku sedikit, (2) terbatasmya sarana dan prasarana pengelolaan air bersih,
185

(10) kebijakan dan peraturan kurang optimal, (12) tingginya biaya. Sedangkan
kendala sub elemen yang paling independent dan utama adalah sub elemen (11)
harga air bersih sangat tinggi melebihi kemampuan masyarakat, serta (8)
kurangnya/rendahnya daerah resapan.

Analisis ISM menghasilakan beberapa sub-elemen yang memiliki daya


dorong (driver power) yang kuat dan ketergantungan yang rendah atau
independent. Beberapa sub-elemen independen hasil analisis ISM terhadap
elemen pelaku (aktor), elemen tujuan, elemen kebutuhan dan elemen kendala
dapat dilihat pada Tabel 37.

Tabel 37. Elemen dan sub-elemen independen pengelolaan air baku lintas wilayah

Elemen Sub-elemen independent (driver power)

Aktor - Pemerintah pusat

Tujuan - Suplai air bersih


- Kualitas air
Kebutuhan - Terhindar dari gangguan kesehatan

Kendala - Rendahnya resapan air


- Harga air sangat tinggi
- Permintaan air meningkat /tinggi
- Jumlah limbah tinggi

Hasil analisis ISM terkait tersebut di atas (Tabel 36) dijadikan bahan
pertimbangan dalam penyusunan sistem dinamik dan penyusunan setting agenda
serta penyusunan role sharing (bagi peran) masing-masing pelaku dalam
pengelolaan air lintas wilayah.
186

BAB VII

MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN AIR BAKU


LINTAS WILAYAH

7.1 Analisis Sistem Dinamik

Analisis sistem dinamik dimulai dengan identifikasi sistem. Identifikasi


sistem merupakan tahap yang penting untuk menentukan variabel-variabel dalam
sistem. Karena identifikasi sistem adalah mengintepretasikan semua komponen
yang berinteraksi ke dalam konsep kotak gelap (black box). Variabel-variabel
tersebut terdiri atas variabel output yang dikehendaki, variabel input terkontrol,
variabel output yang tidak dikehendaki, variabel input yang tidak terkontrol, dan
variabel lingkungan. Informasi dikatagorikan menjadi tiga yaitu peubah input,
peubah output dan parameter-parameter yang membatasi struktur sistem.

Pada penelitian ini ada tiga variabel yakni variabel state (pendukung) dalam
membangun model konseptual, dan selanjutnya ditentukan variabel non-state
(variabel lainnya) yang meliputi variabel penggerak (driving), variabel pembantu
(auxiliary), dan variabel tetap (constant) yang melengkapi suatu model (diagram
black box). Diagram input output model kebijakan pengelolaan air lintas wilayah
yang bersifat holistic dan keberlanjutan berbasis otonomi daerah (Gambar 10).

Diagram input-output tersebut mengambarkan beberapa permasalahan yang


terkait dengan pengelolaan air bersih baik permasalahan lingkungan, jumlah
penduduk, pencemaran sampai kepada konflik pengelolaan sumber daya air antar
PDAM dan antar daerah. Kebutuhan air bersih mengalami peningkatan sejalan
dengan peningkatan pertumbuhan penduduk, sedangkan produksi air bersih sangat
dipengaruhi oleh suplai bahan baku baik kualitas dan kuantitas dari sumber air
baku.

Input sistem terdiri dari input eksternal dan internal. Input lingkungan
bersifat eksternal, mempengaruhi sistem, tetapi tidak dipengaruhi oleh sistem.
Pada sistem pengelolaan air bersih lintas wilayah pemenuhan air bersih untuk
187

DKI Jakarta input lingkungan terdiri dari berbagai peraturan perundang-undangan


yang terkait dengan masalah tersebut diantaranya adalah Undang- undang No. 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, PP Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Air, PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum, PP Nomor 38 Tahun 2007 dan Permen PU Nomor 20
Tahun 2006 tentang KNSP-SPAM dan kebijakan pemerintah, pemerintah daerah
serta input lingkungan lainnya yang dapat mempengaruhi sistem pengelolaan air
bersih.

Langkah berikutnya adalah menformulasikan struktur model kebijakan


pengelolaan air baku lintas wilayah, adalah: (1) merumuskan batasan model
dengan asumsi-asumsi, (2) mengkonstruksi diagram lingkar sebab-akibat (causal
loop), (3) menyusun struktur model, dan (4) mengimplementasikan model dengan
menggunakan software Powersim.

Asumsi yang digunakan dalam formulasi model kebijakan pengelolaan air


baku lintas wilayah studi kasus pemenuhan air bersih untuk DKI Jakarta adalah:

1. Keterkaitan antar sektor dilihat berdasarkan aspek ekonomi, ekologi dan sosial
serta kelembagaan.
2. Nilai produksi diperoleh dari jumlah produksi PAM Jaya 2009.
3. Komponen yang digunakan/dianalisis dalam setiap causal loop adalah sektor-
sektor yang dianalisis sebelumnya. Hal ini untuk menjaga konsistensi terhadap
proses analisis.
4. Tingkat pertumbuhan (rate) didasarkan atas tingkat pertumbuhan neto setiap
tahun.
5. Pengaruh dinamika pertumbuhan ekonomi tidak diperhitungkan.
6. Nilai laju dan level disesuaikan dengan ketersediaan data pendukung.
Untuk memahami struktur dan perilaku sistem yang akan membantu dalam
pembentukan model dinamika kuantitatif formal digunakan diagram sebab akibat
(causal loop) dan diagram alir (flow diagram). Diagram sebab akibat dibuat
dengan cara menentukan variabel penyebab yang signifikan dalam sistem dan
menghubungkannya dengan menggunakan garis panah ke variabel akibat, dan
188

garis panah tersebut dapat berlaku dua arah jika kedua variabel saling
mempengaruhi.

7.2 Model Dinamik Pengelolaan air baku lintas wilayah


Pengembangan model dinamik meliputi (a) sub model pendudk (b) sub
model kebutuhan air (c) sub model suplai dan distribusi air (d) sub model
ekonomi yang didasarkan hasil analisis ism, mds dan analisa konten dan analisis
supply demand. Simulasi dilakukan selama periode waktu 20 tahun dimulai tahun
2012 s.d. 2032, skenario modelnya adalah:

(1) Kebutuhan air bersih per orang/ hari 150 liter, pertumbuhan industri 2%,
hotel dan wisata 2%, sosial 1%, dan cakupan layanan 60% penduduk DKI
Jakarta.
(2) Kebutuhan air bersih per orang/hari 150 liter, pertumbuhan industri
0,009%, pertumbuhan hotel dan wisata 1%, sosial 1%, cakupan layanan
penduduk 80%.
(3) Asumsi pertumbuhan penduduk 1.35% (sesuai dengan rata-tata
pertumbuhan penduduk selama delapan tahun terakhir).

wilayah. Sub sistem sosial yang terkait dengan dinamika kependuduk.


Kehidupan sosial masyarakat Jakarta memberikan pengaruh yang besar terhadap
kebutuhan air. Ibukota negara dengan pusat pertumbuhan ekonomi memberikan
dampak kesejateraaan kepada masyarakat Jakarta walau tingkat pemerataannya
masih timpang.

Tingkat kesejahteraan yang tidak merata tersebut juga memberikan


pengaruh terhadap konsumsi air. Namun dari rata-rata penduduk Jakarta
diasumsikan kebutuhan air per orang adalah antara 80 liter sampai 150 liter
perhari. Adanya pembangunan kota DKI yang begitu pesat, DKI menjadi daya
tarik tersendiri bagi pendatang baru. Pertumbuhan penduduk DKI rata-rata
berkisar antar 1,25 sampai 1,45 selama sepuluh tahun terakir ini, dan pertumbuhan
penduduk tersebut telah dihitung antara imigrasi dan emigrasi, kelahiran dan
kematiannya.
189

Para pendatang baru menempati kawasan kumuh dan padat penduduk,


dimana keperluan airnya masih banyak menggunakan air tanah yang nota beneh
telah tercemar oleh Bakteri Coli dan detergen. Menurut Endang, bahwa air tanah
di DKI telah tercemar oleh Bateri Coliform dan detergen. Pada kawasan yang
padat penduduk air tanahnya telah tercemar oleh detergen sedangkan pada
kawasan yang dengan kepadatan bangunan air tanahnya tercemar oleh bakteri
coliform. Pada kenyataannya kawasan dengan kepadatan bangunan juga padat
akan penduduknya.

Gambar 37. Stock flow diagram (SFD) pengelolaan air bersih lintas wilayah.

Asumsi yang digunakan dalam pengembangan model pengelolaan air lintas


wilayah untuk pemenuhan air bersih DKI Jakarta adalah:

1. Angka pertumbuhan penduduk yaitu sebesar 1,35 %, sudah termasuk


angka kelahiran dan kematian serta imigrasi dan emigrasi.
2. Kebutuhan air untuk domestik sebesar 150 liter per hari per orang.
3. Suplai air dari PJT II tidak banyak mengalami peningkatan yaitu sebesar
460 juta m3 per tahun.
4. Kebutuhan air untuk perhotelan dan wisata sebesar 9.960.000 m3/ tahun
190

5. Kebutuahan air untuk industri dan komersil sebesar 61.750.000


m3/tahun.
6. Kebutuhan air untuk lembaga sosial sebesar 31.210.000 m3/tahun
7. Tingkat kehilangan air baku dari PJT II menuju lokasi instalasi
pengelolaan air sebesar 50%.
8. Tingkat kebocoran air bersih di instalasi distribusi air sebesar 40% dari
produksi.
9. Harga pembelian air baku dari PJT II sebesar Rp 161,2./ m3.
10. Harga beli air curah sebesar Rp 2.550,- / m3.
11. Biaya pengelolaan air per m3 sebesar Rp 2.000,-
12. Harga jual air rata-rata sebesar Rp 6.000,- m3.

Kemauan membayar untuk jasa lingkungan PEMDA DKI sebesar


Rp50.000.000.000 (50 milyar rupiah) / tahun yang diberikan kepada Pemda
Jabar dan Pemda Tangerang provinsi Banten

7.2.1 Sub Model Penduduk


Sub model penduduk yang mengambarkan hubungan beberapa komponen
seperti kelahiran, kematian, imigrasi dan emigrasi. Berdasarkan sensus penduduk
tahun 2010 jumlah penduduk DKI tahun 2010 sebesar 9.588.198 orang. Adapun
sub model penduduk nampak pada Gambar 38 berikut.

Gambar 38. Sub model penduduk DKI Jakarta


191

Keterangan:

Openduduk = jumlah penduduk 2009

Olaju_pert_pdkk = laju pertumbuhan penduduk

Of_pert_pddk = angka pertumbuhan penduduk

OAME = AME penduduk

Opddk_aktual = penduduk aktual

7.2.2 Sub Model Kebutuhan Air


Kebutuhan air untuk penduduk DKI Jakarta sangatlah besar dikarenakan
jumlah penduduk DKI yang besar pula. Dengan penduduk yang besar dan juga
akitivitas sebagai ibu kota, maka DKI Jakarta membutuh air yang cukup banyak
untuk mencukupi kebutuhan dalam aktivitasnya, baik perkatoran, rumah sakit,
mall-mall, industri dan universitas serta sekolah. PAM Jaya biasanya membagi
dalam dua kelompok yaitu kebutuhan domestik dan non domestik. Kebutuhan
domestik yaitu untuk kebutuhan rumah tangga dan non domestik yaitu untuk
kegiatan mall-mall, hotel, kantor, sekolah, universitas dan industri. Namun dalam
model ini kami bagi menjadi 4 yaitu kebutuhan untuk rumah tangga (per
penduduk), kebutuhan untuk industri, kebutuhan air untuk komersial (hotel-hotel
dan mall) dan kebutuhan untuk sosial yaitu rumah sakit dan kantor serta univertas
serta yayasan-yayasan sosial lainnya.

PAM Jaya merupakan BUMD atau perusahaan pengelola air minum yang
bekerja sama denga pihak swasta yaitu PT.Aetra dan PT.Palyja dalam pemenuhan
kebutuhan air bersih DKI Jakarta. Sedangkan sumber air bakunya dipasok dari
Perum Otorita Jatiluhur atau PJT II yang berada di Purwakarta. PJT II memegang
peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan air bersih DKI Jakarta dan
sekitarnya. PJT II yang mengelolah air baku dari sumber air DAS Sungai Citarum
untuk keperluan pertanian sekitar 80% dari produksinya, industri Kerawang dan
Bekasi, kebutuhan PAM Bekasi dan kebutuahan PAM Jaya. Namun untuk
192

memenuhi kebutuhan air bersih wilayah DKI Jakarta, PAM Jaya juga masih
membeli air curah dari PAM Tangerang yaitu dari Sungai Cisadane untuk
keperluan Wilayah Cengkareng dan sekitarnya.

Dalam rangka mengetahui besarnya produksi air bersih dan kebutuhan air
bersih masyarakat DKI Jakarta dibangun suatu model pengelolaan air bersih lintas
wilayah. Penelitian bertujuan untuk melakukan identifikasi keseimbangan supply
demand di DAS yang terkait dengan penyediaan air bersih untuk wilayah DKI
Jakarta, melakukan identifikasi dukungan kebijakan pada pengelolaan sumber
daya air di era otonomi daerah, menyusun model kebijakan pengelolaan air bersih
lintas wilayah yang bersifat holistik yang berkelanjutan dan rekomendasi agenda
kebijakan dengan bantuan software powesim. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa hasil simulasi sub model penduduk DKI Jakarta menunjukkan
kecenderungan naik membentuk kurva pertumbuhan positif (positive growth).
Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk DKI Jakarta baik sebagai akibat dari
tingginya tingkat kelahiran maupun tingginya penduduk pendatang. Kenaikan
kebutuhan air bersih sebagai sub model juga menunjukkan hal yang sama yaitu
mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk DKI
Jakarta.

Di sisi lain tidak terjadi peningkatan yang berarti dari sub model suplai air
bersih dari sumber air baku yang ada saat ini. Hal tersebut dikarenakan sumber air
baku untuk air bersih masih mengandalkan DAS Sungai Citarum atau pasokan
dari PJT II dan belum dicarikan sumber air baku dari DAS lainnya atau dari
sumber alternatif lainnya misalnya air laut. Walaupun begitu pentingnya masalah
air, masih banyak manusia yang tiada peduli dengan keberadaaan air. Air
dianggap sesuatu yang gratis tinggal pakai, sudah ada dengan sendirinya tanpa
dikelolah pun air akan tetap ada. Namun kenyataannya akhir-akhir ini karena
pemanasan global, menyadarkan manusia akan pentingnya pengelolaan air.

Air hujan jika tidak dikelolah, maka akan mengalir terus ke laut tanpa ada
resapan, sehingga menimbulkan banjir di permukiman penduduk di bantaran
sungai. Air hujan yang tidak dikelolah (tanpa ada resapan) maka, air tidak mampu
melakukan infiltrasi ke dalam tanah, sehingga kandungan air bawah tanah terus
193

menerus berkurang. Air hujan yang tanpa dikelolah akan mengalir terus kelaut
tanpa dapat dimanfaatkan, menteri pekerjaan umum menyatakan air hujan yang
tidak dapat dimanfaatkan (mengalir ke laut tanpa terserap tanah) sebesar 91%.
Air hujan, air bawah tanah, air sungai dan danau dapat dimanfaatkan untuk
bahan baku air minum, namun harus dikelolah terlebih dahulu. Keberadaan air
hujan sangatlah penting, disamping akan mengalir ke sungai, ke sawah untuk
kesuburan tanaman, ke kebun untuk kesuburan tanah, dan juga terserap ke tanah
dan menjadi air bawah tanah.
Banyaknya permukiman, mengakibatkan air minum menjadi masalah yang
sangat penting atau akan menjadi masalah jika tanpa dikelolah dengan baik.
Dengan banyaknya penduduk maka kebutuhan air minum meningkat. Disisi lain
kepadatan penduduk, membuat resapan air hujan ke dalam tanah sangat
berkurang, karena lahan terpakai untuk pemukiman, jalan, dan sarana lain.
Padatnya lingkungan, sungai yang mengalir di dekat permukiman penduduk
tercemar oleh limbah rumah tangga baik limbah cair maupun limbah padat
sekalian itu juga tercemar oleh limbah isdustri baik industri besar maupun industri
rumah tangga. Sedangkan air sungai menjadi bahan baku air bersih untuk PAM
Jaya. Sumber air di daerah hulu, dimana terkenal dengan sumber air yang bersih
dan sejuk tanpa polusi, akir-akir ini juga menjadi masalah karena sudah
berkurang, dengan dijadikannya daerah tangkapan air menjadi permukiman, vila,
dan tempat industri pariwisata seperti hotel dan restauran.
Dalam rangka mengatasi hal hal tersebut di atas baik masalah banjir dan
air minum diperlukan kebijakan nasional dan juga kebijakan yang bersifat
regional. Khususnya masalah air bersih yang sangat tergantung dari air baku,
maka perlu kebijakan regional tentang air bersih. Di DKI Jakarta, pasokan air
baku untuk air bersih banyak tergantung dari Jawa Barat khususnya Bogor.
Berdasarkan hal tersebut perlu kebijakan regional antara Pemda DKI Jakarta, dan
Pemda Bogor, bahkan jika perlu dengan Pemda Jabar karena ada beberapa sungai
yang mengalir dari daerah Waduk Jatiluhur (Purwakarta) ke DKI Jakarta. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 39.
194

Gambar 39. Sub model kebutuhan air baku DKI Jakarta

Keterangan:

Olaju_kebutuhan domestik = laju kebutuhan air domestik


Okeb_domestik =kebutuhan air domestik
Odistribusi =distribusi
Okeb_htl-wst =kebutuhan air hotel dan wisata
Olaju_keb-wst =laju kebutuhan hotel dan wisata
Oke_industri-komsl =kebutuhan industri dan komersil
Olaju_industri-komsl =laju industri dan komersil
Of_keb_indt_komsl =fraksi kebutuhan industri dan komersil
Okeb_sosial =kebutuhan sosial
Olaju_keb_sosial =laju kekbutuhan sosial
Of_keb_sosial =fraksi kebutuhan sosial

7.2.3 Sub Model Suplai air baku dan Distribusi Air bersih
Kebutuhan air untuk penduduk DKI Jakarta dan kebutuhan non domestik
yaitu untuk industri, mall-mall, rumah sakit dan kantor serta univertas dan sekolah
195

disuplai dari PAM Jaya dan air tanah. Air dari PAM Jaya dibagi menjadi dua
operator swasta yaitu wilayah barat oleh PT.Palyja dan wilayah timur oleh
PT.Aetra dengan air bakunya disuplai oleh PJT II (Sungai Citarum) serta
ditambah dengan air curah dari Cengkareng dan Sungai Cisadane (PDAM
Tangerang).

Untuk mencukupi kebutuhan air bersih yang selama ini masih mengalami
kekurangan bahkan mengalami krisis air bersih, maka dilakukan skenario
kebijakan pengelolaan air bersih lintas wilayah untuk memenuhi kebutuhan DKI
Jakarta. Beberapa kebijakan tersebut antara lain yaitu dengan mengurangi tingkat
kebocoran, program hemat air melalui program 3R serta pemanfaatan secara
maksimal sungai yang ada di DKI Jakarta (13 Sungai lainnya). Untuk lebih
jelasnya sub-model suplai air dapat dilihat pada Gambar 40.

Gambar 40. Sub model suplai air baku dan distribusi air bersih DKI Jakarta
196

7.2.4 Sub Model Ekonomi


Sub sistem ekonomi terkait dengan distribusi air PAM Jaya, jasa
lingkungan, pajak air dan lain lain. PAM Jaya membeli air dari PJT II sebesar
Rp.161,2 per m3 dengan biaya pengolahan sebesar Rp. 1.500,- dan bahan kimia
sebesar Rp. 500 m3. Biaya pengolahan secara keseluruhan terdiri dari biaya
pegawai, listrik dan bahan bakar serta biaya kimia. Sedangkan pembelian air
curah ke PAM Tangerang sebesar Rp. 2,560 per m3.. Pembelian air baku ke PJT
II per m3 sebesar Rp.161,2 dihitung pada air yang ditrima oleh PAM Jaya di
instalasi pengolahan air (IPA). Sub model ekonomi nampak pada Gambar 41.

Gambar 41. Sub model ekonomi pengelolaan air baku lintas wilayah

Keterangan:

PES DKI = Payment Enviromental Service (50 milyar rupiah)

Fkonservasi = konservasi (1%)

Biaya pengolahan = biaya pengolaan air (Rp.1.500/m3)

Harga jual air = harga jual air rata-rata(Rp. 5.000/m3).

Harga beli air = harga beli air dari PJT II (Rp. 161/m3).
197

7.3 Validasi Model


Hasil verifikasi model melalui studi komperatif dan wawancara mendalam
mengidentifikasikan suatu proses pemahaman pendekatan sistem dalam
pengelolaan air baku lintas wilayah berkelanjutan. Secara keseluruhan model
pengelolaan air baku lintas wilayah menyerupai kondisi nyata kebijakan
pengelolaan air baku lintas wilayah berkelanjutan untuk pemenuhan air bersih
DKI Jakata. Pengelolaan air bersih dan pemanfaatan sumber air baku masih
mengabaikan faktor ekologi sehingga akan mengancam kualitas air, kuantitas air
dan juga kontinuitas air dimasa mendatang. Pengelolaan wilayah sungai dan
pemanfaatan sumber air baku untuk air bersih masih mengedepankan faktor
ekonomi, didalam eksploitasi air masih terdapat konflik dalam pembagian
keuntungan antara pihak swasta dan pihak PAM Jaya. Pada dimensi sosial,
masyarakat belum banyak dilibatkan dalam perencanaan dan kebijakan
pengelolaan sumber daya air termasuk air baku untuk air minum.
Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah model yang
dikembangkan dapat diterima dan dibenarkan secara akademik. Uji validitas
dilakukan untuk mengetahui sejauh mana model tersebut dapat menirukan fakta,
apakah model menyerupai fakta atau tidak. Uji validitas dilakukan dua kali yaitu
pengujian validitas struktur dan validitas kinerja.

a. Uji Validitas Struktur


Uji validasi struktur untuk mengetahui struktur model dengan konsep teori
empirik (Muhammadi, 2001). Secara empirik peningkatan kebutuhan air bersih
dipengaruhi oleh peningkatan atau perkembangan jumlah penduduk, industri dan
hotel dan wisata. Peningkatan jumlah penduduk akan meningakatkan kebutuhan
air bersih domestik, peningkatan jumlah penduduk juga mengakibatkan
peningkatan ragam aktivitias di perkantoran, komersil dan industri, hotel dan
pariwisata, dimana aktivitas-aktivitas tersebut membutuhkan air. Jumlah
penduduk akan dipengaruhi pertambahan penduduk yang berasal dari kelahiran
(natalitas) dan imigrasi; serta pengurangan penduduk yang berasal dari kematian
(mortalitas) dan emigrasi. Faktor yang menjadi pendorong terhadap peningkatan
imigrasi adalah pertumbuhan industri, pusat bisnis, dan fasilitas komersil. Tingkat
198

kepadatan penduduk, kebersihan dan kesehatan lingkungan serta daya dukung


lingkungan akan menjadi faktor pembatas yang dapat menekan pertumbuhan
penduduk (Meadow, 1987).
Hasil simulasi terhadap sub model dinamik kebutuhan air bersih
meperlihatkan bahwa perkembangan produksi air bersih berkaitan erat dengan
distribusi (suplai air bersih) dan pola kebutuhan air bersih mirip dengan pola
pertumbuhan penduduk yakni pertumbuhan yang cepat pada awalnya dan
kemudian melambat membentuk asimtotis menuju nilai konstan tertentu.
Berdasarkan hasil simulasi dapat disimpulkan bahwa perkembangan jumlah
penduduk dan kebutuhan air dan suplai air mengikuti pertumbuhan limit to growth
(Meadows, 1987), dengan demikian struktur model yang dikembangkan ini dapat
dikategorikan menjadi sruktur model yang valid (Barlas, 1996).

b. Uji validitas kinerja


Validasi kinerja adalah aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem.
Tujuannya untuk memperoleh keyakinan sejauh mana “kinerja” sistem nyata,
sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Caranya adalah
menvalidasi kinerja model dengan data empiris, untuk melihat sejauh mana
perilaku output model sesuai dengan perilaku data empirik (Muhammadi, 2001).
Prosedur uji konsistensi adalah dua langkah berikut: Pertama, mengeluarkan
output simulasi, khususnya hasil simulasi dari variabel utama (reference model),
kemudian dibandingkan dengan pola perilaku empirik. Membandingkan secara
visual lebih dulu, jika ada penyimpang yang menonjol, kemudian memperbaiki
variabel dan parameter model berdasarkan hasil penelusuran terhadap sebab-sebab
penyimpangan itu. Kedua, jika secara visual pola output simulasi sudah mengikuti
pola data aktual, maka untuk memperoleh keyakinan dilakukan uji statistik.
Melakukan uji statistik untuk melihat penyimpangan antara output simulasi
dengan data aktual dengan AME (Muhammadi, 2001).
AME (absolute means error) adalah penyimpangan antara nilai rata-rata
simulasi terhadap aktual. Dalam penelitian ini pengujian validitas kinerja terhadap
model yang dikembangkan menggunakan uji AME. Pengujian validitas kinerja
dilakukan terhadap sub penduduk dan sub model distribusi air yang menjadi
199

comodel-nya, variabel yang diuji adalah jumlah penduduk yang menjadi peran
utama kebutuhan air. Dilakukan penyempurnaan maka hasil simulasi terhadap
kedua sub model menunjukkan adanya kemiripan antara hasil simulasi dengan
data empiris dengan menggunakan konsep yang dikembangkan oleh Anis, Shamin
dan Middlebrooks (1997).
Dengan menggunakan rumus perhitungan AME diperoleh nilai masing-
masing sebesar 0.01 dengan demikian nilai tersebut berada pada batas
penerimaan (5-10%), (Barlas, 1996). Jika digunakan data jumlah penduduk
selama lima tahun sejak 2004 s.d 2009 sebagai pembandingnya, maka hasil
perhitungan uji validitas kinerja dengan menggunakan metode AME diperoleh
nilai di bawah batas maksimum 10% (Tabel 37). Hasil perhitungan AME terhadap
distribusi air hasil simulasi dengan jumlah distribusi air bersih aktual nampak
pada Gambar 42.

500.000.000

400.000.000

300.000.000
AME_distribusi
distrib_ak tual
distribusi ak tua l
200.000.000

100.000.000

04 05 06 07 08 09

Gambar 42. Perbandingan distribusi simulasi dan distribusi aktual

Keterangan :100.000.000 = jumlah m3 air yang didistribusikan.

04, ---09 = tahun simulasi 2004.


200

Tabel 38. Perbandingan distribusi simulasi dan distribusi actual

Time distrib_aktual distribusi AME_distribusi


01 Jan 2004 270.910.000,00 275.333.000,00 0,02
01 Jan 2005 267.080.000,00 275.358.055,33 0,03
01 Jan 2006 261.860.000,00 275.383.112,94 0,05
01 Jan 2007 242.800.000,00 275.408.172,82 0,13
01 Jan 2008 266.050.000,00 275.433.234,99 0,04
01 Jan 2009 266.050.000,00 275.458.299,44 0,04

Gambar 42 dan Tabel 38 di atas menunjukkan bahwa hasil uji validasi


antara distribusi simulasi kinerja model dengan distribusi aktual masih dibawah
sepuluh persen (10%), artinya model valid dan dapat diterima. Sedangkan
perbandingan jumlah penduduk simulasi dan jumlah penduduk aktual DKI Jakarta
dapat dilihat pada Gambar 43 dan Tabel 39 berikut dibawah ini:

8.000.000

6.000.000

pe nduduk
pddk _a k tua l
4.000.000 AME_pe nduduk

2.000.000

0
04 05 06 07 08 09

Gambar 43. Perbandingan jumlah penduduk simulasi dan jumlah penduduk aktual
DKI Jakarta

Keterangan: 2.000.000 = jumlah penduduk.

04 = tahun simulasi 2004.


201

Hasil uji validasi antara penduduk simulasi dengan penduduk aktual nampak
Gambar 33 di atas menunjukkan AME penduduk di bawah sepuluh persen artinya
dapat diterima. Jika penduduk aktual pada tahun 2009 sebesar 9.223.000 orang
maka berdasarkan simulasi model dinamik menunjukkan angka 9.330.728 dengan
selisih sebesar 0.01. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka model dinamik
yang dikembangkan dapat dinyatakan valid secara struktur dan dapat diterima
secara akademik, (Barlas, 1996).

Tabel 39. Perbandingan penduduk simulasi dan aktual DKI Jakarta

Time penduduk pddk_aktual AME_penduduk


01 Jan 2004 8.725.630,00 8.725.630,00 0,0
01 Jan 2005 8.843.426,01 8.864.519,00 0,0
01 Jan 2006 8.962.812,26 8.961.680,00 0,0
01 Jan 2007 9.083.810,22 9.064.000,00 0,0
01 Jan 2008 9.206.441,66 9.146.000,00 0,01
01 Jan 2009 9.330.728,62 9.223.000,00 0,01

7.4 Skenario Kebijakan


Dalam sekanario pesimis, laju pertumbuhan suplai air untuk PJT II sebesar
1,25 dimana laju aktualnya hampir nol persen (0.009%). Sedangkan untuk
kebocoran 40%, dan inefisiensi atau kehilangan air baku 50 % dimana inefisiensi
atau kehilangan air baku aktual sebesar 50%.
202

Tabel 39. Skenario model kebijakan

Skenario Keterangan

Pesimis 1. Pertumbuhan penduduk meningkat 1,34 %


2. Pertumbuhan industri 2 %
3. Pertumbuhan perhotelan 2 %
4. Pertumbuhan sosial 1%
5. Kebocoran air bersih 40%
6. Kehilangan air baku 50 %
7. Tidak ada program PES
8. Tidak ada kebijakan 3R (reduce, reuse dan
recycle)
9. Tidak ada program BKT
10. Tidak ada program pemanfaatan 13 Sungai
lainnya
11. Tidak ada program Desalinasi
Moderat 1. Pertumbuhan penduduk meningkat 1,25 %
2. Pertumbuhan industri 1 %
3. Pertumbuhan perhotelan 1 %
4. Pertumbuhan sosial 0,5 %
5. Kebocoran air bersih 35 %
6. Kehilangan air baku 50 %
7. Tidak ada program PES
8. Tidak ada kebijakan reduce, reuse dan recycle
dalam pemanfaatan air baku
9. Tidak ada program BKT
10. Tidak ada program pemanfaatan 13 Sungai
lainnya
11. Tidak ada program Desalinasi
Optimis 1. Pertumbuhan penduduk meningkat 1,25 %
2. Pertumbuhan industri 0 %
3. Pertumbuhan perhotelan 0,5 %
203

Skenario Keterangan

4. Pertumbuhan sosial 0,5 %


5. Kebocoran 15 % pada tahun 2032.
6. Kehilangan 10 %
7. PES untuk Pemda Jabar dan Banten Rp. 50 M/
tahun.
8. Kebijakan reduce, reuse dan recycle dalam
pemanfaatan air sebesar 30 % dari air terpakai
9. BKT dengan kapasitas 150 juta m3/ tahun
(pertumubuhan 0,01).
10. 13 Sungai dab Sumber lain dengan kapasita 4 juta
m3 (pertumbuhan 0,01) melalui kerjasama dengan
pemda lainnya.
11. Desalinasi kapasitas 2,5 juta m3 (pertumbuhan
0.005%).

7.4.1 Skenario pesimis


Kebutuhan air di DKI Jakarta terus meningkat jika kondisi yang ada tidak
dikendalikan atau tidak dilakukan intervensi. Kondisi aktual saat ini terkait
dengan pengelolaan air bersih terlihat pada Tabel 42, sekenario (pesimis) yaitu
pertumbuhan penduduk meningkat 1,34 %, pertumbuhan industri 2 %,
pertumbuhan perhotelan 2 %, pertumbuhan sosial 1%, kebocoran 40%,
kehilangan air baku dari PJT II ke instansi pengelola air (IPA/WTP) sebesar 50%.
Dalam sekenario pesimis berarti kondisi yang ada tidak dilakukan intervensi baik
berupa kebijakan terkait dengan managament supply maupun management
demand, baik teknis maupun non teknis..

7.4.2 Skenario Moderat


Sekenario moderat disusun dengan mempetimbangkan program
pemerintah yang terkait dengan MDGs. Mengacu pada Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM dan peraturan lainnya serta
204

skenario pengembangan SPAM, sasaran dari Kebijakan dan Strategi Nasional


Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) melalui perpipaan, non
perpipaan terlindungi, antara lain sebagai berikut:

• Terwujudnya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan


harga terjangkau dengan peningkatan cakupan pelayanan melalui sistem
pemipaan yang semula 18 % pada tahun 2004 menjadi 32 % pada tahun 2009
dan selanjutnya meningkat menjadi 60 % pada tahun 2015.
• Tercapainya peningkatan efesiensi dan cakupan pelayanan air dengan
menekan tingkat kehilangan air direncanakan hingga pada angka 20% dengan
melibatkan peran serta masyarakat dan dunia usaha.
• Penurunan presentase cakupan pelayanan air minum dengan sistem non
permipaan terlindungi dari tahun 2004 sebesar 37,47% menjadi 33% pada
tahun 2009 dan 20 % pada tahun 2015, sehingga presentase penggunaan
SPAM melalui sistem non-perpipaan tidak terlindung semakain menurun dari
tahun ke tahun. Adapun hasil simulasi dari sknario moderat dapat dilihat pada
Gambar 44 berikut ini:

Gambar 44. Stock flow diagram (SFD) skenario moderat pengelolaan air
lintas wilayah.
205

Gambar 44 di atas menunjukkan bahwa pengelolaan air lintas wilayah


dengan skenario moderat (sesuai dengan rencana pemerintah DKI Jakarta), umtuk
memenuhi kebutuhan air bersih DKI Jakarta masih mengandalkan suplai air
baku dari PJT II (DAS Citarum) dan suplai air dari PAM Tangerang (DAS
Cisadane). Dengan mengandalkan kedua sumber air baku tersebut, DKI Jakarta
masih mengalami defisit air bersih pada tahun 2015 sebesar 371.341.040 m3 dan
terus menerus defisit air akan mengalmi peningkatan sejalan dengan peningkatan
kebutuhan air bersih. Peningkatan kebutuhan air bersih DKI Jakarta akan
mengalmi peningkatan terus menerus sejalan dengan peningkatan jumlah
penduduk DKI Jakarta dan pertumbuhan hotel, mall serta industri.

Tabel 40 . Gap hasil skenario moderat pengeloaan air baku lintas wilayah

Time Mtotal_produksi_pam Mtotal_keb_air_bersih Mdistribusi Mgap_neraca_air


Jan 01, 2015 320,666,000.00 627,873,840.50 256,532,800.00 371,341,040.50
Jan 01, 2016 320,694,859.94 635,308,913.51 256,556,465.20 378,752,448.30
Jan 01, 2017 320,723,722.48 642,833,961.80 256,580,132.58 386,253,829.22
Jan 01, 2018 320,752,587.61 650,450,086.29 256,603,802.14 393,846,284.15
Jan 01, 2019 320,781,455.35 658,158,401.45 256,627,473.87 401,530,927.58
Jan 01, 2020 320,810,325.68 665,960,035.46 256,651,147.78 409,308,887.67
Jan 01, 2021 320,839,198.61 673,856,130.39 256,674,823.87 417,181,306.52
Jan 01, 2022 320,868,074.13 681,847,842.37 256,698,502.14 425,149,340.24
Jan 01, 2023 320,896,952.26 689,936,341.80 256,722,182.58 433,214,159.22
Jan 01, 2024 320,925,832.99 698,122,813.43 256,745,865.20 441,376,948.23
Jan 01, 2025 320,954,716.31 706,408,456.65 256,769,550.00 449,638,906.65
Jan 01, 2026 320,983,602.24 714,794,485.60 256,793,236.98 458,001,248.63
Jan 01, 2027 321,012,490.76 723,282,129.38 256,816,926.13 466,465,203.24
Jan 01, 2028 321,041,381.88 731,872,632.20 256,840,617.47 475,032,014.73
Jan 01, 2029 321,070,275.61 740,567,253.64 256,864,310.98 483,702,942.65
206

Tabel 41 di atas menunjukkan bahwa kebutuhan air bersih untuk DKI


Jakarta masih belum dapat dipenuhi sesuai dengan target MDGs. Target MDGs
pada tahun 2015 cakupan pelayanan air bersih kota Jakarta sebesar 80% dari
jumlah penduduk. Jika tidak dilakukan skenario kebijakan terkait dengan
penambahan suplai air baku untuk air bersih, maka target MDGs tidak dapat
dipenuhi.

7.4.3 Skenario Optimis


Skenario optimis selain menurunkan laju pertumbuhan penduduk sampai
kepada angka 1,25, menurunkan nilai kebocoran sampai 15%, dan menurunkan
inefiseinsi (kehilangan air baku) sampai dengan 10% dengan program pipanisasi.
Jika pipanisasi dilakukan maka tingkat inefisiensi (kehilangan air baku) bisa
mencapai 10%, pipanisasi dapat dilakukan terhadap suplai dari PJT II atau dari
WTP Curug di daerah Purwakarta, akan menambah 5.000 liter/detik. Selain
pipanisai juga dilakukan suatu kebijakan melalui pembayaran jasa lingkungan
(PES) oleh Pemda DKI kepada Pemda di sekitar DKI Jakarta (Bodetabek). PES
dipergunakan untuk perbaikan lingkungan yaitu dengan memberikan dana sebesar
Rp 50.000.000.000,-. PES untuk perbaikan lingkungan, untuk pemeliharaan
fungsi hidrologi wilayah tangkapan air di hulu DAS Citarum serta DAS Cisadane
yang dikelolah oleh Pemda setempat atau lembaga yang ditunjuk.

Hasil skenario optimis yaitu dengan penurunan tingkat kebocoran sampai


dengan 10% pada distribusi dan kehilangan air dari sumber air baku (in efisiensi)
10% ditambah dengan program 3R, BKT, desalinasi, pemanfaatan 13 sungai serta
sumber lainnya (Sungai Ciliwung dan Pesangrahan serta sumber lainnya) dan
dana otda serta skenario PES akan menambah jumlah suplai air baku dan
distribusi air besih untuk masyarakat DKI Jakarta, bahkan dapat menutupi
kebutuhan air bersih untuk DKI Jakarta. Namun program 13 Sungai (sumber
lainnya) dan 3R tersebut dapat dimulai pada tahun 2016 dengan dimulainya
kegiatan penyiapan infrastruktur atau sarana dan prasarananya dari tahun 2012.
207

7.5 Hasil Simulasi Model Dinamik

7.5.1 Hasil Simulasi Sub Model Penduduk


Jumlah penduduk DKI Jakarta dipengaruhi oleh kelahiran dan kematian
serta jumlah penduduk yang imigrasi dan emigrasi. Namun pertumbuhan
penduduk tersebut dibatasi oleh daya dukung lahan, artinya akan mengalami titik
jenuh dikarenakan daya tampung yang ada. Penduduk DKI Jakarta menurut hasil
sensus penduduk tahun 2010 sebesar 9.588.198 orang dengan tingkat
pertumbuhan sebesar 1,45%. Hasil simulasi pertumbuhan penduduk
memperlihatkan kecenderungan pertumbuhan positif (positive growth) naik
mengikuti kurva eksponen pada tahun 2032 (20 tahun mendatang). Hal ini
disebabkan oleh Jakarta sebagai Ibukota negara masih menjadi daya tarik
tersendiri bagi pendatang baru. Perpindahan masyarakat Jakarta ke pingiran
Jakarta tidak sebanding dengan kelahiran dan pertambahan pendatang baru.

Berdasarkan prediksi hasil simulasi penduduk DKI Jakarta setelah


dilakukan intervensi yaitu dengan menurunkan angka pertumbuhan sampai
kepada angka 1,25 (sekenario optimis) maka jumlah penduduk DKI Jakarta pada
tahun 2029 sebesar 10.959.748 juta orang (Tabel 42).
208

Tabel 42. Simulasi penduduk DKI Jakarta

Time penduduk
01 Jan 2012 8.725.630,00
01 Jan 2013 8.843.426,01
01 Jan 2014 8.962.812,26
01 Jan 2015 9.083.810,22
01 Jan 2016 9.206.441,66
01 Jan 2017 9.330.728,62
01 Jan 2018 9.456.693,46
01 Jan 2019 9.584.358,82
01 Jan 2020 9.713.747,66
01 Jan 2021 9.844.883,26
01 Jan 2022 9.977.789,18
01 Jan 2023 10.112.489,34
01 Jan 2024 10.249.007,94
01 Jan 2025 10.387.369,55
01 Jan 2026 10.527.599,04
01 Jan 2027 10.669.721,62
01 Jan 2028 10.813.762,87
01 Jan 2029 10.959.748,67
01 Jan 2030 11.107.705,27
01 Jan 2031 11.257.659,29
01 Jan 2032 11.409.637,69

Pertumbuhan penduduk DKI masih akan mengalami kenaikan, walau DKI


Jakarta telah melakukan pengetatan terhadap pendatang baru namun penduduk
DKI Jakarta akan mengalami pertumbuhan dan pertumbuhan penduduk DKI
Jakarta walau tidak begitu menonjol sebagaimana yang nampak pada Gambar 39,
namun pertumbuhan penduduk DKI dirasakan semakin berat bagi beban
pemerintah untuk penyediaan air bersih yang semakin langkah karena penuruna
pasokan air baku.
209

20,000,000

15,000,000
pe nduduk

10,000,000

5,000,000

04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

Keterangan Sumbu Y = penduduk

Sumbu X = tahun

Gambar 45. pertumbuhan penduduk DKI Jakarta

7.5.2 Hasil Simulasi Sub Model Kebutuhan Air


Total kebutuhan air bersih DKI Jakarta pada tahun 2012 sebesar 602 juta
3 m3
m dengan perincinan kebutuhan domestik sebesar 477 dan kebutuhan industri
sebesar 61 juta m3, kebutuhan mall dan hotel 21 juta m3, kebutuhan sosial dll
sebesar 41 juta m3. Sedangkan berdasarkan hasil simulasi model, pada tahun 2052
kebutuhan air bersih DKI Jakarta akan mencapai 108 milyar m3 dengan
kebutuhan air terbesar adalah untuk keperluan domestik yaitu sebesar 816 juta m3 .
Kebutuhan air bersih sebesar itu tidak akan mampu dipenuhi oleh PAM Jaya jika
hanya mengandalkan pasokan dari PJT II dan PAM Tangerang sebagaimana yang
terjadi saat ini. Jika tidak dilakukan terobosan baru, maka DKI Jakarta akan
mengalami krisis air yang sangat mengerihkan.
Kekurangan air bersih warga Jakarta dipenuhi dari air selain produksi
PAM dan air tanah dangkal serta pembelian air pada gerobak keliling dan air
sungai yang kotor dan tidak sehat untuk mencuci baju, mencuci motor dan buang
air besar serta air minum kemasan). Kebutuhan air di DKI Jakarta cukup besar,
hal tersebut nampak pada Tabel 43.
210

Tabel 43. Kebutuhan air bersih DKI Jakarta (m3)

Time keb_htl-wst keb_domestik keb_industri-komsl keb_sosial total_keb_air_bersih


01 Jan 2012 21.130.000,00 477.728.242,50 61.750.000,00 41.500.000,00 602.108.242,50
01 Jan 2013 24.299.500,00 484.177.573,77 74.100.000,00 47.725.000,00 630.302.073,77
01 Jan 2014 27.944.425,00 490.713.971,02 88.920.000,00 54.883.750,00 662.462.146,02
01 Jan 2015 32.136.088,75 497.338.609,63 106.704.000,00 63.116.312,50 699.295.010,88
01 Jan 2016 36.956.502,06 504.052.680,86 128.044.800,00 72.583.759,38 741.637.742,30
01 Jan 2017 42.499.977,37 510.857.392,05 153.653.760,00 83.471.323,28 790.482.452,70
01 Jan 2018 48.874.973,98 517.753.966,84 184.384.512,00 95.992.021,77 847.005.474,59
01 Jan 2019 56.206.220,07 524.743.645,40 221.261.414,40 110.390.825,04 912.602.104,91
01 Jan 2020 64.637.153,09 531.827.684,61 265.513.697,28 126.949.448,80 988.927.983,77
01 Jan 2021 74.332.726,05 539.007.358,35 318.616.436,74 145.991.866,11 1.077.948.387,25
01 Jan 2022 85.482.634,96 546.283.957,69 382.339.724,08 167.890.646,03 1.181.996.962,76
01 Jan 2023 98.305.030,20 553.658.791,12 458.807.668,90 193.074.242,94 1.303.845.733,15
01 Jan 2024 113.050.784,73 561.133.184,80 550.569.202,68 222.035.379,38 1.446.788.551,58
01 Jan 2025 130.008.402,44 568.708.482,79 660.683.043,22 255.340.686,28 1.614.740.614,73
01 Jan 2026 149.509.662,80 576.386.047,31 792.819.651,86 293.641.789,23 1.812.357.151,20
01 Jan 2027 171.936.112,22 584.167.258,95 951.383.582,23 337.688.057,61 2.045.175.011,01
01 Jan 2028 197.726.529,06 592.053.516,94 1.141.660.298,68 388.341.266,25 2.319.781.610,93
01 Jan 2029 227.385.508,42 600.046.239,42 1.369.992.358,41 446.592.456,19 2.644.016.562,44
01 Jan 2030 261.493.334,68 608.146.863,65 1.643.990.830,09 513.581.324,62 3.027.212.353,05
01 Jan 2031 300.717.334,88 616.356.846,31 1.972.788.996,11 590.618.523,31 3.480.481.700,62
01 Jan 2032 345.824.935,11 624.677.663,74 2.367.346.795,34 679.211.301,81 4.017.060.696,00

Kebutuhan air domestik mencapai 477.728.242 pada tahun 2012 atau 79% dari
total kebutuhan air bersih 602.108.242m3. Pada tahun 2032, kebutuhan air bersih
industri dan komersil sebesar 2.367.346.795 atau 10% dari total kebutuhan air
bersih DKI Jakarta. Bahkan pada tahun 2032 total kebutuhan air bersih DKI
Jakarta mencapai 4.017.060.696m3. Gambar 46 menunjukkan perbandingan
prosenstase kebutuhan air di DKI Jakarta.
211

7% 4%

10%

htl wisata
domestik
industri/komersil
sosial

477728242, 79%

Gambar 46. Perbandingan prosentase kebutuhan air bersih DKI Jakarta

PAM Jaya bersama mitranya mampu mensuplai air untuk warga Jakarta
sekitar 60% dari total penduduk yang harus dilayani. Sedangkan MDGs
mensyaratkan akses air bersih untuk warga kota seperti Jakarta sebesar 80%.
Kekurangan air bersih sebesar 40% kebutuhan, dicukupi oleh warga Jakarta
dengan pemakaian air sumur dangkal dan air sumur dalam serta air kurang sehat
lainnya. Dengan skenario optimis pada tahun 2031 kebutuhan air untuk warga
Jakarta terpenuhi, pada saat itu perlu didiskusikan dengan masyarakat melalui
konsultasi publik tentang penggunaan air tanah dalam. Mengingat dampak
penggunaan air tanah dalam begitu besar terhadap penurunan permukaan tanah,
212

maka solusi terbaik adalah penggunaan air tanah dalam bukan hanya dibatasi
tetapi harus diberhentikan (Gambar 47).

900.000.000

otota l distribusi
600.000.000
otota l k e bt a ir
a ir_ta na h
pam
O tota l_produk si_pam

300.000.000

12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Gambar 47. Suplai air baku dan kebutuhan air bersih untuk DKI Jakarta

Keterangan Sumbu Y : Volume air

Sumbu X : Tahun

7.5.3 Hasil Simulasi Sub Model Suplai dan Distribusi Air


Suplai air baku dari PJT II (DAS Citarum) sebesar 460 juta m3/tahun. Jika
pembangunan pipanisasi tersebut dapat dilaksanakan maka, akan mengurangi
kehilangan air di tengah jalan dimana saat ini sekitar ±50% pasukan air baku dari
PJT II hilang di tengah jalan. Selain itu pipanisasi akan mengurangi pencemaran
limbah di tengah distribusi air baku dari PJT II ke PAM Jaya. Saat ini ada usulan
untuk penambahan sumber air dari WTP Curug di Purwakarta, jika hal tersebut
dapat dilaksanakan maka akan menambah air 4.000 sampai dengan 5.000 liter per
detik atau 160 juta m3/ tahun.

PAM Jaya dalam pemenuhan kebutuhan air bersih DKI Jakarta, masih
mengandalkan pasokan air baku dari PTJ II yang berada di Purwakarta. PJT II
memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan air bersih DKI Jakarta
dan sekitarnya. PJT II yang mengelolah air baku dari sumber air DAS Sungai
Citarum untuk keperluan Pertanian sekitar 80% dari produksinya, Industri
213

Kerawang dan Bekasi, Kebutuhan PAM Bekasi dan Kebutuhan PAM Jaya.
Namun untuk memenuhi kebutuhan air bersih wilayah DKI Jakarta, PAM JAYA
juga masih membeli air curah dari PAM Tangerang yaitu dari sungai Cisadane
untuk keperluan Wilayah Cengkareng dan sekitarnya.

Besarnya produksi air bersih dan kebutuhan air bersih masyarakat DKI
Jakarta dibuat model kebijakan pengelolaan air bersih lintas wilayah. Penelitian
bertujuan untuk melakukan identifikasi keseimbangan suplai demand di DAS
yang terkait dengan penyediaan air bersih untuk wilayah DKI Jakarta, melakukan
identifikasi dukungan kebijakan pada pengelolaan sumber daya air di era otonomi
daerah, menyusun model kebijakan pengelolaan air bersih lintas wilayah yang
bersifat holistik yang berkelanjutan dan rekomendasi agenda kebijakan dengan
bantuan software powersim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil simulasi
sub model penduduk DKI Jakarta menunjukkan kecenderungan naik membentuk
kurva pertumbuhan positif (positive growth). Tingginya tingkat pertumbuhan
penduduk DKI Jakarta baik sebagai akibat dari tingginya tingkat kelahiran
maupun tingginya penduduk pendatang. Kenaikan kebutuhan air bersih sebagai
sub model juga menunjukkan hal yang sama yaitu mengalami peningkatan seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk DKI Jakarta.

Dengan banyaknya penduduk maka kebutuhan air minum meningkat.


Disisi lain kepadatan penduduk, membuat resapan air hujan ke dalam tanah sangat
berkuang, karena lahan terpakai untuk pemukiman, jalan, dan sarana lain.
Kepadatan lingkungan mengakibatkan sungai yang mengalir di dekat permukiman
penduduk tercemar oleh limbah rumah tangga baik limbah cair maupun limbah
padat. Selain itu juga tercemar oleh limbah isdustri baik industri besar maupun
industri rumah tangga.
Sumber air di daerah hulu, dimana terkenal dengan sumber air yang bersih
dan sejuk tanpa polusi, akir-akir ini juga menjadi masalah karena sudah
berkurang, dengan dijadikannya daerah tangkapan air menjadi permukiman, vila,
dan tempat industri pariwisata seperti hotel dan restauran. Untuk mengatasi hal
hal tersebut di atas baik masalah banjir dan air bersih diperlukan kebijakan
nasional dan juga kebijakan yang bersifat regional. Khususnya masalah air bersih
214

yang sangat tergantung dari air baku, maka perlu kebijakan regional tentang air
bersih. DKI Jakarta, pasokan air baku untuk air bersih banyak tergantung dari
Jawa Barat khususnya Bogor. Untuk itu perlu kebijakan regional antara Pemda
DKI Jakarta, dan Pemda Bogor, bahkan jika perlu dengan Pemda Jabar karena ada
beberapa sungai dengan kategori wilayah sungai lintas kabupaten/kota, lintas
propinsi dan wilayah sungai strategis nasional yang mengalir ke DKI seperti
Sungai Citarum (Waduk Jatiluhur )
Kebijakan pemenuhan air bersih untuk pemenuhan DKI Jakarta perlu
dilakukan kebijakan terobosan seperti pemanfaatan 13 sungai (sumber lain) yang
mengalir di DKI Jakarta seperti pemanfaat Sungai Ciliwung, Sungai Cikeas dan
mata air ciburial dengan melakuka kerjasama dengan Pemda Jabar (Kabupaten
Bogor, Cianjur, Tangerang, dan Bekasi) serta program 3R, desalinasi air laut,
pemanfaatan BKT, pembayaran PES atau dana konservasi kepada Pemda Jabar
dan Banten, skenario alokasi dana otonomi daerah untuk pembangunan air bersih
DKI Jakarta. Hasil simulasi pemenuhan kebutuhan air bersih DKI dengan
skenario optimis ditambah dengan program 3R, desalinasi air laut, BKT, PES, 13
sungai (sumber lainnya) nampak pada Tabel 44. Kapasitas BKT ditentukan
sebesar 5.000.000 m3/tahun dimulai tahun 2020, 13 sungai dengan kapasitas
4.000.000 m3/tahun dimulai pada tahun 2015, desalinisasi sebesar 2.500.000
m3/tahun dimulai pada awal tahun 2025, dan program 3R dimulai tahun 2015.
Jika skenario optimis tersebut dilakukan maka kebutuhan air DKI tidak
mengalami kekurangan (gap). Total distribusi air dan pemakaian air tanah dalam
dan sumur dangkal (air tanah dangkal) nampak pada Tabel 44 berikut ini:
215

Tabel 44. Distribusi, Gap neraca air dan air tanah

Time ototal distribusi ototal kebt air Ogap_neraca_air air_tanah sumur_dlm smr_dangkal
01 Jan 2012 627.873.842,00 627.873.840,50 1,50 297.474.242,00 73.000.000,00 224.474.242,00
01 Jan 2013 640.618.493,20 634.641.613,51 5.976.879,69 296.744.242,00 72.270.000,00 224.474.242,00
01 Jan 2014 653.765.363,60 641.492.439,80 12.272.923,80 296.021.542,00 71.547.300,00 224.474.242,00
01 Jan 2015 667.325.298,33 648.427.349,83 18.897.948,50 295.306.069,00 70.831.827,00 224.474.242,00
01 Jan 2016 683.833.652,28 654.947.386,88 28.886.265,40 294.597.750,73 70.123.508,73 224.474.242,00
01 Jan 2017 700.836.696,87 661.553.607,24 39.283.089,63 293.896.515,64 69.422.273,64 224.474.242,00
01 Jan 2018 718.344.427,22 668.247.080,38 50.097.346,84 293.202.292,91 68.728.050,91 224.474.242,00
01 Jan 2019 736.367.209,41 675.028.889,07 61.338.320,34 292.515.012,40 68.040.770,40 224.474.242,00
01 Jan 2020 754.915.788,17 681.900.129,59 73.015.658,58 291.834.604,69 67.360.362,69 224.474.242,00
01 Jan 2021 777.333.799,20 688.861.911,89 88.471.887,30 291.161.001,07 66.686.759,07 224.474.242,00
01 Jan 2022 800.366.963,70 695.915.359,75 104.451.603,94 290.494.133,48 66.019.891,48 224.474.242,00
01 Jan 2023 824.025.209,63 703.061.610,96 120.963.598,67 289.833.934,56 65.359.692,56 224.474.242,00
01 Jan 2024 848.318.930,10 710.301.817,47 138.017.112,62 289.180.337,64 64.706.095,64 224.474.242,00
01 Jan 2025 873.258.991,06 717.637.145,62 155.621.845,44 288.533.276,68 64.059.034,68 224.474.242,00
01 Jan 2026 900.603.097,38 725.068.776,28 175.534.321,10 287.892.686,33 63.418.444,33 224.474.242,00
01 Jan 2027 928.646.872,66 732.597.905,02 196.048.967,63 287.258.501,89 62.784.259,89 224.474.242,00
01 Jan 2028 957.401.746,42 740.225.742,35 217.176.004,07 286.630.659,29 62.156.417,29 224.474.242,00
01 Jan 2029 986.879.679,20 747.953.513,84 238.926.165,36 286.009.095,12 61.534.853,12 224.474.242,00
01 Jan 2030 1.017.093.171,39 755.782.460,34 261.310.711,06 285.393.746,59 60.919.504,59 224.474.242,00
01 Jan 2031 1.048.055.272,40 763.713.838,18 284.341.434,22 284.784.551,54 60.310.309,54 224.474.242,00
01 Jan 2032 1.079.779.590,19 771.748.919,36 308.030.670,83 284.181.448,44 59.707.206,44 224.474.242,00

Pada Tabel 44 di atas menunjukan bahwa kebutuhan air bersih DKI tidak dapat
dipenuhi 100% oleh PAM Jaya, untuk mencukupi kebutuhan air bersih,
masyarakat menfaatkan air tanah dangkal dan air tanah dalam. Bahkan
penggunaan air tanah dalam sudah melewati ambang batas (50% dari kapasitas).
Kapasitas air tanah dalam DKI Jakarta sebesar 77 juta m3 namun pemakaian air
tanah dalam oleh industri dan hotel , mall serta lainnya sudah mencapai hampir 73
juta m3. Untuk itu tidak heran jika DKI Jakarta mengalami penurunan permukaan
tanah akibat penurunan permukaan air dan juga mengalami intrusi air laut.
Penurunan permukaan tanah disinyalir sudah mencapai 10 cm per tahun. Kondisi
seperti ini tidak dapat dibiarkan terus menerus, karena akan membahayakan
keberadaan gedung-gedung pencakar langit di DKI Jakarta serta penghuninya.
Untuk itu diperlukan pengetatan perijinan penggunaan air tanah dalam bahkan
216

dapat dilakukan peningkatan pajak penggunaan air tanah dalam. Namun kebijakan
pengetatan ijin dan pembatasan penggunaan air tanah dalam harus diimbangi
dengan pemenuhan kebutuhan air bersih. Adapun skenario kebijakan pemenuhan
air bersih melalui peningkatan suplai air baku dapat dilihat pada Tabel 45 dibawah
ini:

Tabel 45. Skenario suplai air baku untuk kebutuhan air bersih DKI Jakarta

Time BKT desalinasi 13 SUNGAI Osuplai_pjt2 Osuplai_cisadane 3R air_tanah


01 Jan 2012 0,00 0,00 0,00 460.000.000,00 90.666.000,00 0,00 297.474.242,00
01 Jan 2013 0,00 0,00 0,00 472.650.000,00 92.932.650,00 0,00 296.744.242,00
01 Jan 2014 0,00 0,00 0,00 485.647.875,00 95.255.966,25 0,00 296.021.542,00
01 Jan 2015 0,00 0,00 0,00 499.003.191,56 97.637.365,41 0,00 295.306.069,00
01 Jan 2016 0,00 0,00 4.000.000,00 512.725.779,33 100.078.299,54 500.000,00 294.597.750,73
01 Jan 2017 0,00 0,00 8.000.000,00 526.825.738,26 102.580.257,03 1.000.000,00 293.896.515,64
01 Jan 2018 0,00 0,00 12.000.000,00 541.313.446,06 105.144.763,46 1.500.000,00 293.202.292,91
01 Jan 2019 0,00 0,00 16.000.000,00 556.199.565,83 107.773.382,54 2.000.000,00 292.515.012,40
01 Jan 2020 0,00 0,00 20.000.000,00 571.495.053,89 110.467.717,11 2.500.000,00 291.834.604,69
01 Jan 2021 5.000.000,00 0,00 24.000.000,00 587.211.167,87 113.229.410,03 3.000.000,00 291.161.001,07
01 Jan 2022 10.000.000,00 0,00 28.000.000,00 603.359.474,99 116.060.145,28 3.500.000,00 290.494.133,48
01 Jan 2023 15.000.000,00 0,00 32.000.000,00 619.951.860,55 118.961.648,92 4.000.000,00 289.833.934,56
01 Jan 2024 20.000.000,00 0,00 36.000.000,00 637.000.536,72 121.935.690,14 4.500.000,00 289.180.337,64
01 Jan 2025 25.000.000,00 0,00 40.000.000,00 654.518.051,48 124.984.082,39 5.000.000,00 288.533.276,68
01 Jan 2026 30.000.000,00 2.500.000,00 44.000.000,00 672.517.297,89 128.108.684,45 5.500.000,00 287.892.686,33
01 Jan 2027 35.000.000,00 5.000.000,00 48.000.000,00 691.011.523,58 131.311.401,56 6.000.000,00 287.258.501,89
01 Jan 2028 40.000.000,00 7.500.000,00 52.000.000,00 710.014.340,48 134.594.186,60 6.500.000,00 286.630.659,29
01 Jan 2029 45.000.000,00 10.000.000,00 56.000.000,00 729.539.734,85 137.959.041,27 7.000.000,00 286.009.095,12
01 Jan 2030 50.000.000,00 12.500.000,00 60.000.000,00 749.602.077,55 141.408.017,30 7.500.000,00 285.393.746,59
01 Jan 2031 55.000.000,00 15.000.000,00 64.000.000,00 770.216.134,69 144.943.217,73 8.000.000,00 284.784.551,54
01 Jan 2032 60.000.000,00 17.500.000,00 68.000.000,00 791.397.078,39 148.566.798,18 8.500.000,00 284.181.448,44

Selama ini suplai air baku untuk air bersih DKI Jakarta 80% (dari total
produksi PAM Jaya) masih mengandalkan suplai air baku dari PJT II dan 20 %
dari PAM Tangerang sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih lainnya
217

menggunakan air tanah sebesar 35% lebih, hal tersebut dapat dilihat pada
Gambar 48 dibawah ini.

Suplai Air Bersih 2012 Suplai Air Bersih 2026
3000000 2500000
4400000
0, 3.85%
0, 0% 0, 0% BKT 2606237 0, 2.62% , 0.22%
0, 0%
3000000 43, 22.8 BKT
00, 35% Desalinasi 0%
5500000
Desalinasi
4600000 , 0.48%
00, 54% 13 Sungai
1281086 6725172 13 Sungai
9066600
0, 0% 84, 11.2 97, 58.8
0, 11% Suplai PJT2
1% 3%

Gambar 48 . Suplai air baku untuk bersih DKI Jakarta

Kelebihan suplai pada tahun 2031 sebesar 284.341.343,22 m3, sedangkan suplai
air tanah sebesar 284.784.551,54 m3. Maka pada tahun tersebut (2031) perlu
dipertimbangkan penghentian pemakaian air tanah dalam maupun pengurangan
pemakaian air tanah dangkal khususnya di wilayah yang air tanah dangkalnya
(sumurnya) sudah tercemar bakteri coli dan detergen, pada tahun 2032, karena
pada tahun 2032 suplai air bersih sudah mencukupi kebutuhan tanpa pemakaian
air tanah dalam maupun air tanah dangkal. Namun supali air baku yang telah
mencukupi berdasarkan hasil skenario model tersebut harus diimbangi dengan
penambahan kapasitas produksi yaitu dengan membangun WTP atau instalasi
pengolahan air (IPA).

7.5.4 Hasil Simulasi Sub Model Ekonomi


Pengelolaan air bersih di DKI Jakarta memperoleh keuntungan yang layak.
Keuntungan dihitung dengan cara menghitung harga pembelian air baku per m3
yaitu sebesar Rp. 161,2 ke PJT II dan harga pengolahan sebesar Rp.1.500,-
termasuk komponen biaya kimia Rp.500,- , biaya listrik, bahan bakar dan juga
operasional pegawai. Dengan harga jual air rata-rata sebesar Rp.5.000,- per m3,
PAM Jaya dan mitranya memperoleh keuntungan sebesar Rp. 2.224.712.984,
218

pada tahun 2012. Keuntungan yang diperoleh tersebut setelah diperhitungkan


dengan biaya pengelolahan dan nilai kehilangan air di saluran distribusi.
Keuntungan yang diperoleh pihak operator menunjukkan bahwa dimensi ekonomi
dalam pengelolaan air bersih di DKI Jakarta berkelanjutan (hasil MDS). Besarnya
keuntungan dari tahun ke tahun dalam pengelolaan air bersih DKI Jakarta hasil
sekenario optimis dapat diihat pada Tabel 46.

Tabel 46. Nilai keuntungan pengelolaan air bersih DKI Jakarta

Time b produksi Pemasukan Nilai Keuntungan


01 Jan 2012 914.656.226.000,00 3.139.369.210.000,00 2.224.712.984.000
01 Jan 2013 939.432.781.650,00 3.203.092.466.000,00 2.263.659.684.350
01 Jan 2014 964.881.280.316,25 3.268.826.817.977,00 2.303.945.537.661
01 Jan 2015 991.019.965.125,09 3.336.626.491.654,69 2.345.606.526.530
01 Jan 2016 1.024.511.575.006,18 3.419.168.261.390,28 2.394.656.686.384
01 Jan 2017 1.058.731.358.180,01 3.504.183.484.374,61 2.445.452.126.195
01 Jan 2018 1.093.699.086.012,64 3.591.722.136.089,93 2.498.023.050.077
01 Jan 2019 1.129.435.067.247,74 3.681.836.047.052,11 2.552.400.979.804
01 Jan 2020 1.165.960.162.626,05 3.774.578.940.864,66 2.608.618.778.239
01 Jan 2021 1.211.600.799.902,98 3.886.668.995.991,67 2.675.068.196.089
01 Jan 2022 1.258.073.989.275,15 4.001.834.818.490,34 2.743.760.829.215
01 Jan 2023 1.305.402.339.226,93 4.120.126.048.127,97 2.814.723.708.901
01 Jan 2024 1.353.609.072.808,54 4.241.594.650.475,41 2.887.985.577.667
01 Jan 2025 1.402.718.044.357,47 4.366.294.955.295,45 2.963.576.910.938
01 Jan 2026 1.456.906.256.675,17 4.503.015.486.880,81 3.046.109.230.206
01 Jan 2027 1.512.046.378.671,55 4.643.234.363.297,40 3.131.187.984.626
01 Jan 2028 1.568.164.263.490,02 4.787.008.732.086,43 3.218.844.468.596
01 Jan 2029 1.625.286.467.126,13 4.934.398.395.999,24 3.309.111.928.873
01 Jan 2030 1.683.440.267.553,23 5.085.465.856.974,33 3.402.025.589.421
01 Jan 2031 1.742.653.684.369,11 5.240.276.362.009,07 3.497.622.677.640
01 Jan 2032 1.802.955.498.977,63 5.398.897.950.961,01 3.595.942.451.983
219

Keuntungan hasil penjualan air bersih dibagi kepada PAM Jaya dan mitra
swasta. PAM Jaya menyetorkan pendapatan penjualan air kepada Pemerintah DKI
Jakarta kurang lebih sebesar 23% dari hasil penjualan, sebagai pendapatan asli
daerah (PAD). Pemerintah DKI Jakarta selaku pemerintah yang berkewajiban
untuk melayani pemenuhan air DKI Jakarta, perlu mengalokasikan dana untuk
pembangunan terkait penyediaan air bersih serta perlu melakukan pendanaan
terkait dengan dana konservasi (jasa lingkungan) dalam rangka tangung jawab
moral untuk keberlanjutan sumber air baku ke depan, biaya konservasi, biaya
untuk sumber air lainnya dan dana otda. Hal tersebut sesuair dengan amanat
Undang-undang No. 7 tahun 2004, PP 38 tahun 2007 dan PP 42 tahun 2008.

Sebesar 15% dari keuntungan air yang harus dipakai untuk biaya
konservasi oleh PJT II. Sedangkan PAM Jaya harus membayar 23 % dari laba
yang diperoleh untuk pajak PAD (pendapatan asli daerah) kepada DKI Jakarta
yang disertorkan ke kas daerah.
220

Tabel 47 . Biaya konservsasi, alokasi dana otda dan gap dana otda

Time B Konservasi b pengolahan b produksi b sumber lain


01 Jan 2012 50.000.000.000,00 1.500,00 914.656.226.000,00 0,00
01 Jan 2013 50.000.000.000,00 1.500,00 939.432.781.650,00 0,00
01 Jan 2014 50.000.000.000,00 1.500,00 964.881.280.316,25 0,00
01 Jan 2015 50.000.000.000,00 1.500,00 991.019.965.125,09 0,00
01 Jan 2016 50.000.000.000,00 1.500,00 1.024.511.575.006,18 6.000.000.000,00
01 Jan 2017 50.000.000.000,00 1.500,00 1.058.731.358.180,01 12.000.000.000,00
01 Jan 2018 50.000.000.000,00 1.500,00 1.093.699.086.012,64 18.000.000.000,00
01 Jan 2019 50.000.000.000,00 1.500,00 1.129.435.067.247,74 24.000.000.000,00
01 Jan 2020 50.000.000.000,00 1.500,00 1.165.960.162.626,05 30.000.000.000,00
01 Jan 2021 50.000.000.000,00 1.500,00 1.211.600.799.902,98 43.500.000.000,00
01 Jan 2022 50.000.000.000,00 1.500,00 1.258.073.989.275,15 57.000.000.000,00
01 Jan 2023 50.000.000.000,00 1.500,00 1.305.402.339.226,93 70.500.000.000,00
01 Jan 2024 50.000.000.000,00 1.500,00 1.353.609.072.808,54 84.000.000.000,00
01 Jan 2025 50.000.000.000,00 1.500,00 1.402.718.044.357,47 97.500.000.000,00
01 Jan 2026 50.000.000.000,00 1.500,00 1.456.906.256.675,17 114.750.000.000,00
01 Jan 2027 50.000.000.000,00 1.500,00 1.512.046.378.671,55 132.000.000.000,00
01 Jan 2028 50.000.000.000,00 1.500,00 1.568.164.263.490,02 149.250.000.000,00
01 Jan 2029 50.000.000.000,00 1.500,00 1.625.286.467.126,13 166.500.000.000,00
01 Jan 2030 50.000.000.000,00 1.500,00 1.683.440.267.553,23 183.750.000.000,00
01 Jan 2031 50.000.000.000,00 1.500,00 1.742.653.684.369,11 201.000.000.000,00
01 Jan 2032 50.000.000.000,00 1.500,00 1.802.955.498.977,63 218.250.000.000,00

Untuk biaya sumber lain termasuk untuk desalinasi dan biaya pengembangan dan
pembangunan program kali bersih serta pembangunan WTP nampak pada tabel di
atas. Untuk biaya konservasi melalui dana PES diusulkan tetap
Rp.50.000.000.000,- per tahun dan akan dilakukan revisi mengikuti
perkembangan dari kerjasama lintas wilayah tersebut. Namun agar kerjasama
lintas wilayah tersebut memiliki payung hukum yang kuat, maka sebaiknya
ditetapkan melalui Keppres, hal tersebut sesuai dengan peraturan yang mengatur
hal tersebut, (UU No. 7 Tahun 2004, UU 32 Tahun 2004, UU 32 Tahun 2009, PP
38 Tahun 2007, dll). Adapun perbandingan biaya konservasi dan biaya
pengolahan dapat dilihar pada tabel 47 di atas.
221

Biaya konservasi (PES DKI Jakarta) ditetapkan 50.000.000.000,- per tahun


berdasarkan dasar harga jasa air Rp. 161,2 per m3, maka biaya PES diusulkan
sebesar Rp.100,- m3 . Jika harga beli/ jasa air dibayarkan oleh PAM Jaya kepada
PJT II, namun untuk pembayaran PES adalah dibayarkan dari APBD DKI Jakarta
secara sukarela kepada daerah hulu sebesar Rp. 100,- per m3. Dana sebesar itu
dipergunakan untuk perbaikan daerah hulu terkait agar terwujud kontinuitas suplai
air baku. Sedangkan biaya pengolaan air baku menjadi air bersih diperlukan
investasi dan biaya sebesar Rp. 1.500,- sudah termasuk biaya kimiawi, namun
belum termasuk pegawai dan ATK termasuk listrik dan telepon.

Dana PES tersebut dibayarkan kepada Pemdah Tangerang sebesar suplai


air yang diberikan kepada DKI Jakarta yaitu sebesar 90.666.000 m3 x Rp. 100,- =
Rp.9.000.666.000,- s.d. Rp. 10.000.000.000,- sedangkan Pemda Jabar yang dilalui
oleh Sungai Citarum mendapatkan dana PES sebesar Rp. 40.000.000.000 (yaitu
suplai air PJT II sebesar ± 400.000.000 m3 x Rp. 100,- ). Dana PES yang
merupakan kesepakatan antara Pemda DKI Jakarta dan Pemerintah Propinsi Jabar
dan Banten (Tangerang), dibayarkan oleh DKI Jakarta kepada kedua daerah
Propinsi tersebut.
BAB VIII
ANALISIS KEBIJAKAN

Pemerintah selaku agen perubahan dan pembangunan bertugas melakukan


pembinaan atas penyelenggaraan pembangunan. Pembinaan kepada pemerintah
daerah meliputi koordinasi, pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan
pemerintahan melalui berbagai kebijakan public. Hal tersebut sesuai dengan era
otonomi daerah dimana masing-masing daerah diberikan otonom dalam
mengelolah sumber daya alamnya sesuai karakteristik daerah dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan rakyat daerahnya dalam kerangka Republik
Indonesia.
Pesatnya laju pembangunan terutama pada era otonomi daerah saat ini
menimbulkan beberapa masalah dan dampak terhadap kualitas lingkungan antara
lain degradasi air. Memang dampak negative dari suatu kegiatan pembangunan
sulit untuk dihilangkan sepenuhnya. Untuk memngurangi dampak negatife perlu
diambil langkah-langkah nyata salah satunya adalah melalui kebijakan pemerintah
yang menjamin agar lingkungan tetap terjaga dan keberlanjutan pembangunan
dapat dimaksimalkan termasuk dalam sumber daya air.

8.1 Analisis Konten


Analisis konten (isi) adalah melihat aspek konten (isi) sumber daya air
lintas wilayah apakah sudah diatur oleh undang-undang maupun peraturan
dibawahnya. Beberapa produk hukum tentang sumber daya air khususnya yang
terkait air bersih akan dianalisis baik analisis content maupun analisis legal review
antara lain:
1. Undang-undang Republik Indonesia No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2. Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya
Air.
3. Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
223

4. Undang-undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan


Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 Tahun 2005 Tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

Analisis konten (isi) terhadap Undang-undang No. 7 Tahun 2004, Undang-


undang No. 5 Tahun 1990, Undang-undang 32 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah
Nomor 38, Peraturan Pemerintah Nomor 42, Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun
2005, Permen PU nomor 20 Tahun 2006, Permen PU No. 18 Tahun 2007. Hasil
analisis konten terhadap peraturan perundang-undangan terkait sumber daya air
nampak pada lampiran

8.1.1 UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air


Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air lebih
menekankan kepada, pengelolaan, wilayah sungai, pemerintah daerah
pengendalian, konservasi, keterpaduan dan pemerintah daerah. Hal ini
menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya air memperhatikan
bahwa pengelolaan wilayah sungai agar tetap dikendalikan dan memperhatikan
kepentingan daerah secara terpadu serta memperhatikan konservasi sumber daya
air. UU No. 7 Tahun 2004, maupun UU No 5 Tahun 1990 serta PP No. 42 Tahun
2008 dan PP No. 43 Tahun 2008, serta Permen PU No. 20 Tahun 2006 tentang
KSNP SPAM dan Permen PU No. 18 tentang Strategi Pengembangan SPAM
tidak satupun yang menyinggung tentang kebijakan pendanaan konservasi
sumberdaya alam dan hayati maupun pendanaan konservasi air .

Pasal 40 UU No. 7 Tahun 2004 terdiri dari 9 ayat, ayat (1).Pemenuhan


kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam
pasal 34 ayat (1) dilakukan dengan pengembangan sistem penyediaan air minum,
ayat (2) Pengembangan SPAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah, ayat (3) Badan Usaha Milik
Negara dan/ atau Badan Usaha Milik Daerah merupakan penyelenggaran
pengembangan SPAM, ayat (4) Koperasi, Badan Usaha Swasta dan masyarakat
dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan SPAM, ayat (5)
224

Pengaturan terhadap pengembangan sistem penyediaan air munim bertujuan untuk


a). Terciptanya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan
harga terjangkau, b. Tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen
dan penyedia jasa pelayanan, dan c. Meningkatnya efisiensi dan cakupan
pelayanan air minum.
Pasal 34 ayat (6) Pengaturan pengembangan SPAM sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diselenggarakan secara terpadu
dengan pengembangan prasaran dan sarana sanitasi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 21 ayat (2) huruf d; ayat (7). Untuk mencapai tujuan pengaturan
pengembangan SPAM dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat
(6), pemerintah dapat membentuk badan yangn berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada mentri yang membidangi sumber daya air; ayat (8) Ketentuan
pengembangan SPAM, BUMN dan/ atau BUMD penyelenggara pengembangan
SPAM, peran serta koperasi, bus dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pengembangan SPAM dan pembentukan badan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4 ),dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terdiri atas
18 Bab dengan 100 pasal. Undang-undang Nomor 5 tahun 2007 telah
menyinggung masalah konservasi sumber daya air sebanyak 6 pasal serta
pendayagunaan sumber daya air sebanyak 25 pasal, lampiran. Undang undang
SDA memuat hampir semua aspek yang berkaitan dengan pengelolaan sumber
daya air bahkan dalam pengaturan berbagai aspek menunjukkan keseimbangan,
untuk itu UU SDA ini merupakan produk hukum yang relatif komprehensi
subatansinya. Keseimbangan perhatian terhadap nilai ekonomis produksi dengan
konservasi sudah ditunjukkan dalam Pasal 2,3, Pasal 4. Dalam ketiga pasal
tersebut dinyatakan bahwa Sumber Daya Ari mempunyai fungsi sosial,
lingkungan hidup, dan ekonomi yang harus diwujudkan secara selaras. SDA harus
dikelolah secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan hidup dengan
tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakayat. Sumber daya air dikelola berdasarkan asas
225

kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian,


keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas.
Undang-undang SDA mengarahkan agar pengeloaan SDA sejak dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi harus diarahkan pada upaya
keselarasan antara konservasi dan pendayagunaan SDA serta pengendalian daya
rusak air. Asas kelestarian dan asas kesesimbangan harus dijadikan pedoman agar
pengelolaan SDA harus menjaga keberlanjutan eksistensi dan dungsi SDA baik
secara sosial maupun secara ekonomis. Pengaturan tentang keharusan melakukan
konservasi diatur melalui Pasal 20 s/d Pasal 25. Ketentuan konservasi
dimaksudkan untuk menjaga keberlangsungan keberadaan daya dukung, daya
tampung, dan fungsi SDA. Upaya konservasi dilakukan melalui kegiatan
perlindungan dan pengendalian pencemaran air. UU SDA juga melarang bagi
siapapun melakukan kegiatan yang menyebabkan rusaknya sumber air dan
prasarananya, pencemaran air, dan menganggu pengawetan air.
Pasal 5 menentukan bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk
mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan pokoknya sehari-hari. Negara
mempunyai kewajiban agar kebutuhan yang minimal sehari-hari akan air dari
perseorangan dan badan hukum dapat terpenuhi.Sedangkan pasal 29 ayat (2) dan
Pasal 34 ayat (1) memberikan jaminan dan pemenuhan kebutuhan minimal untuk
kegitan manusia seperti kegiatan hidup sehari hari, sanitasi lingkungan, pertanian,
ketenagaaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan
keanekaragaman hayati, olah raga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estitika,
dan kebutuhan lain yang ditetapkan peraturan perundang-undangan. Jadi ada dua
kegiatan yang ditempatkan sebagai prioritas utama dalam perolehan dan
pemanfaatan air yaitu kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari dan irigasi
pertanian rakyat. Kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari mencakup untuk
mandi, cuci, masak, dan air minum, sedangkan ketersediaan air bagi pengairan
tanah pertanian rakyat diutamakan yang terlertak dalam jaringan saluran irigasi
aitu antrair laut yang ada di daratan untuk usaha budidaya tambak atau sistem
pendingin mesin atau penyulingan air laut untuk air minum.
226

Semangat desentralisasi tampaknya mendasari pembentukan UUSDA ini


karena pemberian kewenangan otonomi juga sampai ke pemerintahan desa.
Artinya kewenangan pengelolaan SDA yang bersumber dari Hak Penguasaan
Negara tidak hanya dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, namun dengan
menggunakan prinsip pembagian kewenangan, Pemdah dan Pemerintah Desa juga
diberi kewenangan melaksanakannya. Pasal 6 ayat (2) menentukan bahwa
penguasaan (Negara) atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau Pemdah. Hak penguasaan negara dapat
saja bersifat desentralisasi mutlak yaitu antara kewenangan yang dipunyai oleh
Pemerintah dengan yang diserahkan berbeda, namun juga dapat bersifat
desentralisasi yang mengarah pembagian kewenangan yaitu antara kewenangan
Pemerintah Pusat dan Pemda sama dengan perbedaan dalam luas ruang lingkup
berlakungan kewenangan tersebut.
Hak Guna Air (HGA) merupakan wewenang untuk memperoleh dan
memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan. Hak Guna Air diatur
dalam pasal 7, HGA dibedakan antara Hak Guna Pakai Air (HGPA) yaitu
kewenangan untuk memperoleh dan memakai air seHGPA dan HGUA tidak jelas,
karena secara UU No. 7 Tahun 2004 tidak secara konsisten menggunakan
keduanya sebagai alas hak bagi siapapun untuk memakai atau mengusahakan air.
Alas hak yang memberikan kewenangana adalah ijin yang diberikan oleh
Pemerintah atau Pemda. Ijin diperlukan jika pemakaian air harus mengubah
kondisi alami sumber air, pemakaian dalam jumlah besar, dan pemakaian air
untuk pertanian rakyat yang berada di luar sistem irigasi yang sudah ada.
Privatisasi sumber daya air nampak pada nuansa UU No 7 Tahun 2004
tentang SDA. UU No 7 Tahun 2004 tentang SDA memperkenalkan istilah air
bukan barang publik (sosial) namun mengarah kepada komoditas ekonomi.
Dengan UU No. 7 Tahun 2004 membuka peluang pengusahaan air dan atau
privatisasi air. Menurut Sanim (2011), lambannya reformasi institusi dan
ketidakpastian legal formal di sektor air, secara bersamaan privatisasi air sendiri
sudah dijalankan oleh Pemerintah Indonesia, khususnya privatisasi Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM) antara lain:
227

1. Tahun 1977, World Bank mensponsori privatisasi air di Jakarta, dibagi


kepada Thames Water (Inggris) dan Suwez-Lyonnaise (France).
2. Privatisasi PDAM Batam dan Palembang oleh Biwater (Inggris).
3. Privatisasi PDAM Pekanbaru dan Manado.
4. Privatisasi air oleh Ondo-Suez yang beroperasi di Jakarta, Medan,
Semarang, dan Tangerang, serta
5. Privatisasi air di Sidoarjo oleh Vivendi (Feance).

Hingga saat ini, privatisasi air di Indonesia difokuskan pada sektor sanitasi
atau penyediaan air bersih perkotaan. Keterlibatan swasta berupa penyediaan
prasarana, distribusi, dan penarikan retribusi pemakaian air dari konsumen.
Mereka menfokuskan pada wilayah perkotaan disebabkan adanya kemudahan
dalam investasi prasarana distribusi air dan kemampuan konsumen untuk
membanyar (willingness to pay) yang tinggi. Prasarana distribusi air di perkotaan
relatif sudah terbangun. Sementara di perdesaan, cakupan pengelolaan air akan
membutuhkan investasi prasarana yang cukup besar, willingness to pay
masyarakat perdesaan yang lemah dan persoalan peggunaaan air irigasi oleh
petani (Sanim, 2011).
Hasil analisis konten dan analisis legal review terhadap undang-undang
yang berkaitan dengan sumber daya air, dapat disimpulkan bahwa perlunya
dilakukan restrukturisasi dan reformasi pengelolaan sumber daya air. Karena
sektor air di Indonesia tidak mampu memenuhi pertumbuhan dan berbagai
tuntutan sebagai konsekwensi meningkatnya populasi penduduk, termasuk
penduduk DKI Jakarta yang meningkat pesat. Kebutuhan air untuk keperluan
rumah tangga, industri, dan mall serta pertanian meningkat dan gagal dipenuhi
oleh pemerintah. Restrukturisasi juga perlu dilakukan berkaitan deengan
kecenderungan yang berlaku, khususnya UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air. Jika sebelum adanya UU No. 7 Tahun 2007, tentang Sumber Daya Air,
swasta hanya terlibat pada pengusahaan dan pengelolaan air minum, maka saat ini
swasta dimungkinkan berperan pada seluruh bidang perairan, dari penyediaan air
bersih, air minum, hingga pemenuhan air baku untuk pertanian. Bentuk kerjasama
228

dapat berupa kontrak BOT, perusahaan patungan, kontrak pelayanan, kontrak


manajemen, kontrak konsesi, kontrak sewa dan sebagainya.
Laporan Pemerintah Indonesia pada World Water Forum III di Kyoto,
Jepang, menyatakan bahwa 80 persen populasi belum memiliki akses kepada air
yang mengalir (running water). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah
sesungguhnya masih memiliki kewajiban yang besar untuk dapat memenuhi
kewajiban tersebut, diperlukan sumber dana yang besar untuk pembangunan
infrastruktur pengairan, pemulihan dan perawatan sumber daya air. Diperkirakan,
pemerintah membutuhkan dana sebesar 5,1 triliun rupiah setiap tahun untuk
menyediakan air bersih bagi 40 persen populasi hingga 2015.
Beberapa peraturan perundang-undangan dibawah UU Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air antara lain Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67
Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam
Penyediaan Infrastruktur, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 294/PRT/M2005 tentang Badan Pendukung
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor: 18/PRT/M/2007 tentang Penyelanggaraan Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:
20/PRT/M/2006 tentang Kebijakan Dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem
penyediaan Air minum (KSNP – SPAM).

8.1.1.1 Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air


Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air tidak hanya
mengatur sehubungan dengan susunan organisasi dan tata kerja Dewan Sumber
Daya Air tetapi juga pembentukan, kedudukan, tugas dan fungsi, susunan
organisasi dan tata kerja, hubungan kerja antar dewan sumberdaya air; dan
pembiayaan. Pengaturan Dewan Sumber Daya Air dalam Undang-undang No. 7
Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air terdapat dalam Pasal 86 ayat 1– 4. Undang-
undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Bagian menimbang pada
Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air hanya
mencantumkan Pasal 86 ayat 4.
229

Undang Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air


sebagai satu-satunya dasar pertimbangan pembentukan Dewan Sumber Daya Air.
Pasal 86 ayat 4 Undang Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya
Air hanya mengatur bahwa susunan organisasi dan tata kerja wadah koordinasi
(Dewan Sumber Daya Air) akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Pasal 86 ayat 4 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air


dengan sangat jelas menyebutkan bahwa pengaturan tentang susunan organisasi
dan tata kerja wadah koordinasi (Dewan Sumber Daya Air) akan diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Presiden tetapi pengaturan lebih lanjut sebagai amanat
tersebut dilakukan dengan Peraturan Presiden sehingga perlu ditelusuri dan di
telaah lebih lanjut sehubungan dengan kedudukan peraturan presiden dengan
keputusan presiden. Tetapi yang jelas, amanat Undang-Undang adalah melalui
Keputusan Presiden tetapi justru diatur dengan Peraturan Presiden.

Susunan organisasi Dewan SDA Nasional terdiri dari ketua merangkap


anggota yang dijabat oleh Menko Perekonomian, ketua harian merangkap anggota
yang dijabat oleh Menteri dan anggota yang akan diisi oleh unsur pemerintah dan
non pemerintah. Susunan organisasi dimana ketua dijabat oleh Menko
Perekonomian sebenarnya sudah menunjukan watak dan corak pengelolaan
dan/atau pemanfaatan sumberdaya air nasional, yaitu menempatkan air sebagai
barang ekonomi semata. Air akan di tempatkan dan dimanfaatkan bagi
pemenuhan pemasukan Negara dalam konteks anggaran. Watak dan corak yang
akan mencerminkan keberpihakan pengelolaan dan/atau pemanfaatan sumberdaya
air pada kesejahteraan rakyat adalah ketika posisi ketua di jabat oleh Menko
Kesejahteraan Rakyat (Kesra). Menko Perekonomian akan lebih berorientasi pada
sector ekonomi sebagai pilar utamanya sedangkan Menko Kesra akan lebih
beroreintasi pada kesejahtaraan rakyat. Menko Kesra sendiri tidak mendapatkan
posisi apa pun dalam Dewan SDA Nasional. (Adhiyul, 2011)

Pasal 86 ayat 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air


menyebutkan bahwa wadah koordinasi, yaitu Dewan SDA Nasional di tingkat
nasional beranggotakan unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah dalam
230

jumlah yang seimbang atas dasar prinsip keterwakilan. Penjelasan pasal tersebut
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan seimbang adalah jumlah anggota yang
proporsional antara unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah. Perpres No. 12
Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air tidak menunjukan proporsional
jumlah anggota antara unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah. Anggota dari
unsure pemerintah sesuai dengan Pasal 18 Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang
Dewan Sumberdaya Air adalah berjumlah 22 anggota, sedangkan jumlah angota
dari unsur non pemerintah hanya 11 anggota. Perbandingan antara unsur
pemerintah dan unsur nonpemerintah adalah 2:1. Hal ini jelas bertentangan
dengan Pasal 86 ayat 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya
Air.

Keanggotaan Dewan SDA Nasional dari unsur non pemerintah sesuai


dengan Pasal 18 Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air
tidak mencerminkan prinsip keterwakilan sebagaimana yang terdapat dalam
Penjelasan Pasal 86 ayat 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 yang menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan prinsip keterwakilan adalah terwakilinya
kepentingan unsur-unsur yang terkait, misalnya sektor, wilayah, serta kelompok
pengguna dan pengusaha sumber daya air. Keterwakilan rakyat selaku kelompok
pengguna sumberdaya air hanya terwakili dalam komposisi anggota dari unsur
non pemerintah adalah keterwakilan langsung bagi rakyat selaku pengguna
sumberdaya air maksimal hanya terdapat dalam 2 unsur, keterwakilan langsung
bagi pengusaha sumberdaya air terwakili dalam 7 unsur, keterwakilan langsung
bagi kalangan lingkungan hanya terwakili dalam 2 unsur.Komposisi keanggotaan
Dewan SDA Nasional dari unsur non pemerintah menunjukkan bahwa pandangan
pemerintah sehubungan dengan keterwakilan dari unsur non pemerintah lebih
mengakomodasi kepentingan pengusaha sumberdaya air.

Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air telah


memposisikan organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat
secara ambigu. Dalam konteks keanggotaan Dewan Sumberdaya Air, organisasi
masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat hanya diposisikan sebagai
pihak yang “dapat” dilibatkan sebagai narasumber sebagaimana yang terdapat
231

dalam Penjelasan Pasal 86 ayat 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang


Sumberdaya Air.

Kalimat “dapat” memberikan gambaran bahwa masukan dari organisasi


masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat tidak menjadi suatu keharusan.
Dampak yang akan muncul adalah besarnya kemungkinan pengabaian masukan
organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat dalam pengelolaan
dan/atau pemanfaatan sumberdaya air. Posisi organisasi masyarakat dan/atau
lembaga swadaya masyarakat hanya sebagai narasumber, artinya organisasi
masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat belum benar-benar
mendapatkan pengakuan penuh dari pemerintah sebagai salah satu subjek dalam
pengelolaan dan/atau pemanfaatan sumberdaya air.

Pasal 92 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air


menyebutkan bahwa organisasi yang bergerak pada bidang sumber daya air
berhak mengajukan gugatan terhadap orang atau badan usaha yang melakukan
kegiatan yang menyebabkan kerusakan sumber daya air dan/atau prasarananya,
untuk kepentingan keberlanjutan fungsi sumber daya air. Penjelasan pasal ini
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan organisasi yang bergerak di bidang
sumber daya air antara lain adalah organisasi pengguna air, organisasi pemerhati
masalah air, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat bidang sumber
daya air, asosiasi profesi, dan/atau bentuk organisasi masyarakat lainnya yang
bergerak di bidang sumber daya air. Pasal 92 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004
tentang Sumberdaya Air dengan sangat jelas dan terang mengakui keberadaan
organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat sebagai suatu
subjek hukum dalam pengelolaan dan/atau pemanfaatan sumberdaya air karena
mendapatkan hak gugat atas sumberdaya air.

Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air, memposisikan


organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat hanya sebagai
“narasumber” sesuai dengan Pasal 21 jis Pasal 30 dan Pasal 37 Perpres No. 12
Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air, yaitu “Dalam melaksanakan
persidangan, Dewan SDA (Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota) dapat
232

mengundang narasumber dari instansi pemerintah, perguruan tinggi, lembaga


swadaya masyarakat, atau masyarakat terkait”. Klausul-klausul yang
memposisikan organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat yang
terdapat dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan
Perper No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air menunjukkan bahwa
pemerintah beranggapan organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya
masyarakat sebagai elemen utama dalam pengelolaan dan/atau pemanfaatan
sumberdaya air. Keterlibatan masyarakat dalam keanggotaan Dewan Sumber
Daya Air masih belum seimbang yaitu hanya dua orang dimana keterlibatan
gender (wanita) belum banyak dibahas, padahal wanita paling banyak pengguna
air di rumah tangga.

8.1.1.2 Permen PU No. 20/PRT/M/2006 tentang KNSP-SPAM


Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 20/PRT/M/2006 tentang
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan SPAM (KNSP-SPAM), Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan Kebijakan dan Strategi
Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, yang selanjutnya
disingkat KNSP – SPAM, merupakan pedoman untuk pengaturan
penyelenggaraan dan pengembangan sistem penyediaan air minum, baik bagi
pemerintah pusat maupun daerah, dunia usaha, swasta dan masyarakat.
Sedangkan Pasal 2 KNSP–SPAM digunakan sebagai pedoman untuk
pengaturan, penyelenggaraan, dan pengembangan sistem penyediaan air munim
berkualitas baik di tingkat pusat, maupun daerah sesuai dengan kondisi daerah
setempat . Pada Pasal 4 ayat (1) Dalam hal daerah belum mempunyai pengaturan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, maka ketentuan dan rencana
pengembangan sistem penyediaan air minum di daerah perlu disiapkan dan
ditetapkan dengan Peraturan Daerah, mengacu pada peraturan menteri ini.
Pada ayat (2) Bagi daerah yang telah mempunyai Peraturan Daerah
Tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum sebelum Peraturan
Menteri ini diterbitkan, agar Peraturan Daerah tersebut di sesuaikan berdasarkan
ketentuan – ketentuan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri ini.
233

8.1.1.3 Permen PU No 18/PRT/M/2007 tentang Penyelenggaraan SPAM


Isi Peraturan Mentri Pekerjaan Umum No 18/PRT/M/2007 tentang
Penyelenggaraan Pengembangan SPAM, pada Bab VIII Pengaturan di daerah
pada pasal 62 terdiri dari dua ayat antara lain: ayat (1) Untuk pedoman
pelaksanaan penyediaan prasarana air minum di daerah perlu di buat Peraturan
Daerah yang didasarkan pada ketentuan–ketentuan dalam peraturan mentri ini.
Ayat (2) Dalam hal daerah belum mempunyai Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka terhadap pelaksanaan penyediaan
prasarana dan sarana air minum di daerah diberlakukan ketentuan – ketentuan
dalam peraturan mentri ini.
Pasal 62 ayat 2 memberikan kewenangan kepada daerah untuk
menetapkan kebijakan daerah berupa perda tentang air bersih (air minum) maka
akan menimbulkan berbagai bentuk perda dalam pengelelolaan air bersih. Jika hal
ini terjadi maka dimungkinkan terjadi konflik kepentingan terkait air. Konflik air
dan tumpang tindih kepentingan akan air antar perda wilayah a dengan wilayah b
dikarenakan masing-masing pemerintah daerah mengacu dan berpegang teguh
pada pelaksanaan perda tersebut. Maka diperlukan model perda air minum (air
bersih) yang ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai suatu Norma Standar
Prosedur Manual (NSPK) bagi daerah.
Karena penyediaan air merupakan wewenang pemerintah pusat dan daerah
maka, perlu dipikirkan kebijakan lintas wilayah yang mengakomodir pengelolaan
air bersih secara lintas wilayah yang berbasis otonomi daerah. Kerjasama antar
wilayah harus tetap dalam koridor nasional artinya bahwa kerjasama lintas
wilayah dalam pengelolaan air bersih harus dipandu oleh Pemerintah Pusat
segbagai penengah dan pengawas kerjasama tersebut dikaernakan wilayah sungai
tidak dapat dibatasi oleh satuan wilayah administrasi.
Pengelolaan yang dibahasakan sebagai penataan ruang dilakukan sebagai
suatu sistem proses (i) perencanaan tata ruang, (ii) pemanfaatan ruang, dan (iii)
pengendalian pemanfaatan rauang. Dengan demikian harus difahami bahwa
penataan ruang adalah sebuah sistem yang berkelanjutan. Dimulai dari
perencanaan terhadap ruang, dilanjutkan dengan pemanfaatan ruang, dan diakiri
dengan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang tersebut. Penataan
234

ruang tersebut diselenggarakan berdasarkan asas; (i) keterpaduan; (2) keserasian,


keselarasan, dan keseimbangan, (iii) keberlanjutan, (iv) keberdayagunaan dan
keberhasilgunaan (v) keterbukan; (vi) kebersamaan dan kemitraan: (vii)
perlindungan kepentingan umum (viii) kepastian hukum dan keadilan; dan (ix)
akuntabilitas. Dalam implementasi, penataan ruang mengklasifikasikan penataan
ruang didasarkan pada lima hal, pertama, sistem penataan ruang; kedua, fungsi
utama kawasan, ketiga: wilayah adminstrasi: keempat, kegiatan kwasan dan
kelima: nilai stategi kawasan.
Pada konstek Good governance yang dicirikan melalui prinsip transparansi
dan akutanbilitas, UUPR merumuskan kannya melalaui hak dan peran serta
masyarakat (pasal 60) dan pasal 65) serta rumusan mengenai potensi penjatuhan
sanksi pidana (tanggung gugat) bagi pejabat pemerintah yang menerbitkan ijin
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang (pasal 73). Perumusan tanggung
gugat bagi pejabat pemerintah dalam konsteks ini oleh UUPR bisa dibaca sebagai
langkah maju yang menegaskan bahwa kebijakan pemerintah tidak selamanya
steriil dari potensi penyimpangan (absuse of power). Oleh karena itu, harus ada
mekaniseme yang bisa digunakan untuk menyikkapinya.

8.1.2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pemerintah Daerah


Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terdiri
dari 16 bab dan 240 pasal. Pada pasal 10 ayat 1 mengamanatkan bahwa
pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ini
ditentukan menjadi urusan pemerintah. Urusan peemerintahan yang menjadi
urusan pemerintah meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal nasional dan agama.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan eksternalitas,
akutanbilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar
susunan pemerintahan, UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 11 ayat 1. Adapun yang
dimaksud dengan eksternalitas yang dimuat dalam penjelaasan Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2007 adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan
dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan
suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal,
235

maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan pemerintahan daerah


kabupaten/kota. Sedangkan apabila dampaknya bersifat lintas kabupaten/kota
dan/atau/regional maka urusan pemerintahan itu menjadi kewenangan pemerintah
provinsi, dan apabila dampaknya bersifat lintas provinsi dan/atau nasional, maka
urusan itu menjadi kewenangan Pemerintah.
Pasal 12 ayat 1 menjelaskan bahwa urusan pemerintahan yang diserahkan
kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan
prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.
Urusan pemerintah yang dilimpahkan kepda Gubernur disertai dengan pendanaan
sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Pasal 13 urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam
skala privinsi yang meliputi penangan kesehatan, penanggulangan masalah sosial
lintas kabupaten/ kota, penyediaan sarana dan prasarana umum, pengendalian
lingkungan hidup dan peyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yanb belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten dan/ kota.
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 14 menempatkan urusan
penyediaan prasarana dan sarana umum serta pelayanan dasar bagi masyarakat di
kabupaten/kota sebagai “urusan wajib pemerintah kabupaten/kota”. Tentunya
lingkup atau pengertian dan urusan penyediaan prasarana dan sarana umum serta
pelayanan dasar bagi masyarakat di kabupaten/ kota tersebut mencakup pula
penyediaan air minum bagi masyarakat. Pembangunan sarana dan prasarana
terkait air bersih selain menjadi kewenangan pemerintah pusat juga menjadi
kewenangan pemerintah provinsi serta kewenangan pemerintah daerah.
Namun perhatian yang besar terdahap sektor air minum ini belum diimbangi
dengan perhatian yang besar terhadap sektor sanitasi yang mencakup limbah
domestik dan persampahan. Penduduk yang memiliki akses kepada jamban yang
aman baru 48,52% (BPS 2000) dan yang dilayani sistem perpipaan baru mencapai
2,33% di 11 kota, itu pun sebagian besar belum memenuhi standar kualitas yang
ditentulan. Sisanya yang sebagian besar lagi membuang limbahnya tanpa
pengolahan ke lingkungan, terutama ke badan-badan airah.
Hubungan antara pemerintah daerah dalam bidang pelayanan umum
dituangkan pada pasal 16 ayat 1-3. Pada pasal 16 ayat 2 hubungan dalam bidang
236

pelayanan umum antar pemerintahan daerah meliputi kerjasama antar


pemerintahan daerah dalam penyelenggaran pelayanan umum dan pengelolaan
perizinan bersama bidang pelayanan umum. Lebih lanjut pada pasal 17 ayat 1
dijelaskan hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintah daerah meliputi kewengangan,
tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak budi daya,
dan pelestarian, bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya, dan penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota.
PP Nomor 38 Tahun 2007 terdiri dari 9 bab dan 23 pasal. Pada pasal 19 ayat 1
dinyatakan bahwa khusus untuk Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta rincian
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota secara otomatis
menjadi kewenangan provinsi.

8.2 Kerjasama Lintas Wilayah Berbasis Otonomi Daerah


Untuk memenuhi kebutuhan air DKI Jakarta perlu dilakukan kerjasama
lintas wilayah, karena kebutuhan air besih DKI Jakarta disupali dari luar DKI
Jakarta. Sedangkan sungai-sungai pensuplai air ke DKI Jakarta merupakan sungai
dengan kategori lintas provinsi dan Sungai Wilayah Strategis Nasional (Permen
PU No.11A/PRT/M/2006). Kerjasama pengelolaan air bersih lintas wilayah dalam
rangka pemenuhan air bersih DKI Jakarta dilakukan agar keberlanjutan
pemenuhan air bersih tercapai baik dari segi kualitas, kuantitas maupun
kontinuitas. Bentuk kerjasama lintas wilayah tersebut mengacu kepada PP 38
tahun 2007 maupun mengacu kepada PP 42 tahun 2008 serta peraturan
turunannya yaitu Permen PU No.11A/PRT/M/2006.
Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber
Daya Air pasal 12 menjelaskan; (a) rancangan pola pengelolaan sumber daya air
pada wilayah sungai dalam kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan
kebijakan pengelolaan SDA pada tingkat kabupaten/kota yang bersangkutan (b)
237

rancangan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas
kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan kebijakan pengelolaan SDA pada
tingkat kabupaten/kota. (c) rancangan pola pengelolaan sumber daya air pada
wilayah sungai lintas provinsi disusun dengan memperhatikan kebijakan
pengelolaan SDA pada tingkat provisi yang bersangkutan. (d) rancangan pola
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas negara dan wilayah
sungai strategi nasional disusun dengan memperhatikan kebijakan nasional SDA
dan kebijakan pengelolaan SDA pada tingkat povinsi dan/kabupaten/kota yang
bersangkutan.
Pola pengelolaan sumber daya air dirumuskan oleh wadah koordinasi
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi setelah
dikonsultasikan dengan para gubernur yang bersangkutan diserahkan kepada
Mentri untuk ditetapkan sebagai pola pengelolaan sumber daya air wilayah sungai
lintas provinsi. Sedangkan pola sumber daya air pada wilayah sungai lintas negera
dirumuskan oleh Dewan Sumber Daya Air Nasional untuk dilakukan konsultasi
publik dengan instansi teknis dan unsur masyarakat terkait dengan mengikut
sertakan bupati/walikota dan gubernur yang bersangkutan, mentri yang
membidangi pertahanan, dan mentri yang membidangi hubungan luar negeri dan
hasilnya disampaikan oleh unit teknis yang membidangi SDA kepada Mentri
untuk ditetapkan sebagai pola pengelolaan sumber daya air wilayah sungai lintas
negara.
Bersasarkan kebijakan sebagaimana tersebut di atas, Pemerintah DKI
Jakarta dapat melakukan kerjasama dengan Pemda lain seperti Provinsi Jabar dan
Provinsi Banten serta dapat pula melakukan kerjasama langsung dengan Pemda
Kabupaten/Kota Bogor, Tangerang dan Bekas dengan melakukan koordinasi
terlebih dahulu dengan pemerintah provinsi masing-masing, sesuai dengan PP No.
38 Tahun 2007 pasal 19 ayat (1) Khusus Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta
rincian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota
sebagaimana tertuang dalam PP ini secara otomatis menjadi kewenangan provinsi
DKI Jakarta.
Kerjasama yang bersifat lintas wilayah tersebut tidak terbatas dalam
pemanfaatan sungai untuk sumber air baku, namun termasuk dalam pengelolaan
238

sungai termasuk didalamnya kegiatan konservasi. Bentuk kerjasama pengelolaan


air bersih lintas wilayah adalah pendanaan konservasi melalui mekanisme role
sharing dari daerah pemanfaat air (DKI Jakarta) kepada daerah pensuplai air
dengan besaran berapa air yang dapat diterima oleh DKI dari daerah tersebut.
Kontribusi pendanaan konservasi air untuk wilayah hulu dan tengah DAS tersebut
biasa disebut dengan pembayaran jasa lingkungan atau payment environtment
servise (PES). Agar kebijakan kerjasama lintas wilayah memiliki payung hukum
yang tetap dan kuat, sebaiknya ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pekerjaan
Umum atas nama Pemerintah Pusat.

8.3 Pengelolaan air baku untuk air bersih DKI Jakarta


Untuk meningkatkan pelayanan air bersih, pemda DKI Jakarta melakukan
kerjasama dengan pihak swasta. Perjanjian kerjasama dimaksudkan untuk
meningkatkan produksi, distribusi, pengelolaan dan kemampuan teknologi. Surat
perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak tersebut disaksikan dan
disetujui oleh Gubernur DKI Jakarta. Surat perjanjian setebal 245 halaman
memuat secaca rinci dan detail tentang makna atau definisi-definisi 41 halaman
yang harus dibaca dengan cermat dan teliti karena berisi definisi yang complicated
dan penuh dengan makna yang mengambang. Kerjasama tersebut dilakukan
dilakukan sejak 1997 dengan beberapa kali perubahan surat perjanjian. Perjanjian
kerjasama pertama kali ditanda tangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 6
Juni 1997 yang kemudian diubah dengan perubahan terhadap perjanjian
kerjasama pada tanggal 28 Januari 1998 dan diubah kembali dengan perjanjian
kerjasama tertanggal 22 Oktober 2001.
Perjanjian kerjasama antara pemda DKI Jakarta yang diwakili oleh PAM
Jaya dengan pihak PT.Palyja dan PT.Aetra, dengan pembagian wilayah timur
Jakarta dengan pihak PT.Thames PAM Jays dan wilayah barat Jakarta dengan
pihak PT. Palyja. PT. Palyja berkantor di daerah Pejompongan dengan wilayah
operasi di wilayah barat sedangkan PT. Aetra wilayah operasinya mulai dari
Kalimalang sampai dengan Pulogadong, peta wilayah kerjasama dengan swasta
dapat dilihat pada Gambar 49.
239

Gambar 49. Intake building PT. Aetra Air Jakarta (PAM JAYA) di Kalimalang
JakTim

Gambar 50 . Peta proyek kerjasama air bersih di DKI Jakarta


Dalam perjanjian tersebut pihak kedua melakukan penagihan rekening air
kepada pelanggan, melakukan pengoperasian fasilitas-fasiltas produksi dan
distribusi air bersih dan air minum. Pembangunan aset baru (akan dibangun)
240

didanai bukan oleh pihak kedua (swasta) namun oleh pihak pertama dengan
persetujuan badan regulator. Pada tahun ini PT Palyja mengajukan dana sebesar
13 milyar untuk membangun WTP (IPA) baru di Kali Pesanggrahan dengan
kapasitas 600 liter per detik. Sungai Cisadane 3000 liter per detik, Kali Krukut
5.600 liter per detik. Badan regulator tidak menyetujui hal tersebut, badan
regulator menyarankan untuk menunggu hasil proyek pipanisasi yang akan
dibangun dengan dana APBN dan diperkirakan dimulai pada tahun 2013 dengan
kapasitas 4.000 liter per detik. Sedangkan WTP (water treatment Plant) Curug
diperkirakan akan mampu menghasilkan 5.000 liter detik.
Pendapatan dari usaha ini disimpan dalam rekening bersama yang
dinamakan dengan rekening escrow. Rekening escrow berarti rekening escrow
yang diadakan menurut perjanjian rekenening escrow sesuai dengan klausal 30.
Adapun pendapatan pendapatan yang tidak dibagi adalah semua pendapatan yang
tidak dibagi menurut perjanjian ini dan yang akan diterrima oleh masing-masing
pihak sebagai berikut; untuk pihak pertama, pendapatan yang terdiri dari; (i)
semua piutang yang belum diselesaikan sejak tanggal berlakunya kerjasama. (2)
kontribusi atau sumbangan yang dipungut atas nama instansi pemerintah. (iii)
hasil penjualan surplus aset (iv) pendapatan lain yang bukan milik pihak kedua
dari pendapatan yang tidak dibagi (v) 50% (lima puluh persen) dari semua denda
dan penalti yang dikenakan kepada para pelanggan selain biaya-biaya pemutusan
sambungan dari dan penyambungan kembali ke fasilitas distribusi.
Untuk pihak kedua, pendapatan yang terdiri dari pendapatan yang bukan
milik pihak pertama, termasuk: (i) biaya nyata sambungan pelanggan; (ii) denda
untuk keterlambatan pembanyaran hutang atau setiap pembanyaran rekening tak
tertagiih pada setiap waktu selama jangka waktu, baik berdasarkan perintah
pengadilan atau lainnya. Sehubungan dengan ganti rugi telah dibayar kepada
pihak pertama. (iii) bagian dari piutang yang belum diselesaikan yang berkaitan
dengan jumlah volume air yang ditagih dikalikan dengan imbalan yang berlaku
pada saat berakirnya jangka waktu atau tanggal berlakunya pengakiran perjanjian
ini. (iv) biaya pemutusan sambungan dari dan penyambungan kembali ke fasilitas
distribusi (v) 50% dari semua denda dan penalti yang dikenakan kepada pelangan
241

selain dari biaya-biaya pemutusan sambungan dari atau penyambungan kembali


ke fasilitas distribusi.
Dengan adanya kerjasama tersebut maka, pihak swasta yang melakukan
penagihan hasil distribusi air, pihak swasta pula yang melakukan pengeloaan air
minum dengan menggunakan instalasi dari PAM JAYA (yang telah terpasang)
sedangkan untuk WTP yang baru atas usulan pihak swasta pendanaannya tetap
ditanggung oleh pihak pemerintah dalam hal ini DKI Jakarta. Dengan model
kerjasama semacam ini, maka pihak PAM Jaya mengalami kerugian terus
menerus bahkan pada semester II tahun 2011 sebesar Rp. 8,6 milyar. Lihat Tabel
48 Kerugian PAM Jaya pada awal tahun 2011.

Tabel 48. Kerugian PAM JAYA awal tahun 2011.

No. Bulan Jumlah (Rp)

1. Januari 2.504.310.120

2. Februari 3.090.960.482

3. Maret 2.984.632.513

Sumber: Diolah dari hasil wawancara dengan PAM Jaya, (2011)


Kondisi di atas, meperlihatkan kerjasama dengan pihak swasta semacam
ini patut untuk dikaji ulang. Sesuai dengan pendapat Sanim (2011), terdapat
beberapa negara yang mengalami kegagalan dalam hal privatisasi air bersih. PAM
Bogor melakukan pengelolaan sendiri, dengan modal sendiri dan pinjaman
dengan dana lain dan menunjukkkan kinerja PAM Bogor sangat bagus. Begitu
pula PAM di luar Pulau Jawa misalnya Banjarmasin juga menunjukkan kinerja
PAM yang bagus sekali jika dikelolah oleh PAM tanpa ada kerjasama dengan
pihak swasta.

Dalam kerjasama dengan pihak swasta semacam ini, beberapa pegawai


yang ada di PAM Jaya dipekerjakan di pihak swasta yaitu PT.Palyja dan
PT.Aetra, padahal dalam kerjasama dinyatakan bahwa pihak swasta memiliki
keahlian dan modal, pihak pemerintah memiliki infrastruktur. Sedangkan
242

kenyataannya pihak pemerintah keahlian dan sdm yang berpengalaman serta


infrastruktur dan juga sumber air. Jika pemerintah kekurangan modal, maka tidak
perlu melakukan swastanisasi (privatusasi) karena privatisasi hanya menambah
beban bagi rakyat. Pihak swasta tentu hanya mengejar keuntungan sebesar-
besaranya, padahal air bersih berfungsi sosial, ekonomi dan fungsi lingkungan.
Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (Undang-undang No 7 Tahun 2004 pasal 5).
Menurut Dirut PAM JAYA, MAURITS Napitupulu meminta operator
bekerjasama dengan PAM Jaya untuk menyelesaikan segala persoalan yang ada
termasuk peninjauuan ulang kerja sama. Jika peninjauan ulang perjanjian kontrak
pada tahun 2012 mendatang berlangsung adil, PAM Jaya berencana membangun
sejumlah instalasi pengelolaan Air (IPA) dan pipa di sejumlah lokasi yang rawan
air bersih dengan bantuan dana dari Pemprov DKI akan membangun reservior
(penampung) dan pipa di kawasan Cilincing dan Muara Karang, Jakarta Utara.
Selain itu, meningkatnya IPA dibuaran dengan membangun IPA III dan IV,
pembangunan IPA itu akan dilakukan seiring dengan ditingkatnay debit air baku
di Kalimalang oleh pemerintah pusat dari 16 meter kubik per detik menjadi 26
m3/ per detik pada tahun 2015.
Mauritz Napitupulu menegaskan, pihaknya tidak pernah menahan uang
dari pelanggan (cash retntion) yang berada di rekening bersama antara Palyja dan
PAM Jaya, Maurit menilai Palyja tidak konsisten menerapkan aturan
sebagaimana diamanatkan Perda 11/1993 tentang pelayanan air minum. Kalim
Palyja yang menyatakan bahwa kami menahan dana mereka, tidak benar. Selama
ini Palyja tidak bisa membuktikan dana itu milik mereka. Kami tidak bisa
menandatangani suatu pencairan dana tanpa ada bukti kalim yang jelas, “ tutur
Mauritz kepada SP di Jakarta. Selasa 13/12. Menurut Meyritha Maryani
mengatakan, mereka memiliki bukti-bukti klaim. Selain penahanan cash retention,
hambatan lain yang harus segera diselesaikan adalah water charge yang tidak
pernah diperbaruhi sejak semester I tahun 2010 sehingga membuat tingginya
shortfall. Persoalan lainnya, sumber air yang tidak bertambah sejak awal
kerjasama sehingga menyulitkan operator.
243

Juga perlunya revisi Perda 11/1993 yang sudah tidak sesuai dengan
kondisi saat ini. Kerjasama PAM Jaya DENGAN PALYJA tahun 2008,
Seperti diberitakan sebelumnya, salah satu operator pelayanan air bersih Jakarta,
Palyja nilai yang tertahan sejak Agustus 2010 hingga Oktober 2011 mencapai
10% hingga 15% dari pendapatan Palyja atau total Rp.163,4 milyar. Cash
retention tersebut berasal dari para pelanggan yang menunggak pembayaran pada
periode tententu termasuk. Untuk penggunaan dana dari rekening tersebut harus
ada tanda tangan kedua belah pihak yakni operator dan PAM Jaya. Yang terjadi
saat ini. Palyja sebagai opeator tak dapat mencairkan cash tetention karena PAM
Jaya tak menyetujui. PAM Jaya dinilai menahan uang dari pelanggan.
Alasan PAM Jaya, sepeti dikemukakan Mauritz, Palyja tak memiliki bukti
klaim pelanggan yang menunggak dan besaran klaim yang tidak sesuai kenyataan,
PAM Jaya juga tidak mengetahui kapan dana yang ada di rekening bersama mulai
terisi. Palyja meminta pembayaran Rp. 7200 per meter kubik. Sementara
pelanggan mereka yang menunggak itu hanya membayar tagihan air sebesar Rp.
1.050 per meter kubik. Darimana dana PAM Jaya menanggulangi selisih itu?”
kata Mauritz.
Terkait dengan bukti klaim cash retention, Manager Komunikasi Palyja
Meyritha Maryani mengatakan, mereka memilikinya. Bahkan, sambung dia, PAM
Jaya juga memiliki bukti-bukti klaim yang sama. Selain penahanan cash retention,
hambatan lain yang harus segera diselesaikan adalah water charge yang tidak
pernah diperbarui sejak semester I tahun 2010 sehingga membuat tingginya
shortfall. Persoalan lainnya, sumber air yang tidak bertambah sejak awal kerja
sama sehingga menyulitkan operator.
Ketua komisi B (bidang perekonomian) DPRD Jakarta, Selamet Nurdin
mengatakan, restrukturisasi kesepakatan antara PAM Jaya dengan dua
operatornya yakni PT.Aetra dan PT. Palyja sudah mendesak. Selambat-lambatnya
reskonstruksi itu dilaksanakan pada 2012 mendatang. Pada 2012 mendatang
merupakan saat yang tepat untuk merestrukturisasi utang PAM Jaya.
244

8.4 Implikasi Kebijakan Kerjasama Lintas Wilayah


Berdasarkan verifikasi yang dilakukan, perlu disusun strategi untuk
memperkuat sistem yang telah disusun guna meningkatkan kinerja sistem dalam
mencapai tujuan. Perlu dilakukan suatu setting agenda dalam mengimplikasikan
kebijakan sebelum kebijakan itu diterapkan secara luas di masyarakat. Kebijakan
pengelolaan air lintas wilayah secara terpadu, holistik yang mengkaitkan antara
kualitas dan kuantitas serta berbasis OTDA, perlu memperhatikan kesetaraan
kepentingan daerah baik daerah hilir selaku pemanfaat air maupun daerah hulu.
Untuk itu perlu dipikirkan suatu imbalan dari pihak pemanfaat kepada daerah
hulu, imbalan tersebut bisa dinamakan jasa lingkungan (PES) yang dipergunakan
untuk budget konservasi air atau perbaikan lingkungan yang di hulu. Iuran atau
pendanan tersebut belum banyak dibahas dalam peraturan perundang-udangan
yang ada, walau telah banyak peraturan perundang-udangan yang membahas
konservasi namun tidak ada satupun peraturan baik undang-undang sampai
kepada peraturan pelaksana yang mengatur masalah dana atau pendanaan
konservasi air dan pembayaran jasa lingkungan.

8.4.1 Setting agenda kebijakan menuju DKI berketahanan air bersih

Suatu kebijakan akan lebih mudah untuk diimplementasi jika telah jelas
tahapan pencapaiannya dan pembagian tugas (role sharing). Pencapaian target
dapat dituangkan dalam setting agenda sedangakan penetapan setting agenda
serta role sharing mengacu peraturan perundang-undangan yang ada dan juga
mempertimbangkan target MDGs serta mengkaitkan hasil beberapa analisis
sebelumnya seperti identifikasi DAS terkait supply demand, identifikasi
dukungan kebijakan, analisis ISM, MDS dan juga Sistem Dinamik (SD).
Keterkaitan beberapa komponen kebijakan Tabel 49.
245

Tabel 49 Keterkaitan komponen kebijakan dalam model dinamik


Atribut sensitif Analisis Sistem Analisa das Driver power Dukungan
hasil analisis Dinamik terkait (dependen) kebijakan
MDS supply hasil analisis
deman ISM
Banjir, BKT, Citarum, Pemerintah Pusat, UU No.32/2004,
Kekeringan, 13 sungai, Ciliwung, Suplai air bersih PP 38/2007Perpres
, Desalinasi, Cisadane Kebutuhan air No.12/2008
wilayah tinggi Perment PU No.
sungai lintas 11/a/PRT/M/2006
propinsi yang Pement PU No.
memiliki 18/PRT/M2007,
potensi yang PermentPU
besar dan No.21/PRT/M/2006
menjadi UU No.32/2004,
kewenangan PP 38/2007,
pemerrintah PP 42/2008
pusat Perpres 12/2008
Kualitas air bersih Pipanisasi Citarum, Kualitas air, PP 82/2001,
Terhindar dari Permen Kes
penyakit, jumlah
limbah,
Keberadaan lembaga PES Citarum, jumlah limbah, UU No. 7/ 2004
keuangan, Ciliwung, UU No.32/2004,
Kapasitas lembaga Cisadane UU No.32/2009
pengelola air PP 38/2007,
PP 42 / 2008
Partisipasi 13 sungai, Citarum, Suplai air bersih,
masyarakat dalam program 3 R, Ciliwung, dll. Kebutuhan air Perment PU No.
program (prokasi) tinggi 11/a/PRT/M/2006
pembayaran rek. air, Dana otda, Harga air tinggi, UU No.32/2004,
PAD PP 38/2007
Perment PU No.
11/a/PRT/M/2006

Dengan mengacu pada hasil analisis MDS (atribut yang sensitif) dan analisis ISM
(elemen pendorong), analisis supply demand dan DAS terkait, analisis kebijakan
terkait pengelolaan air bersih, serta hasil dari analisis sistem dinamik, maka
kebijakan pengelolaan air bersih lintas wilayah untuk pemenuhan air bersih DKI
Jakarta dapat ditetapkan dalam suatu rencana berupa target waktu dalam setting
agenda kebijakan sebagaimana nampak pada Tabel 50 berikut ini.
246

Tabel 50 Setting agenda kebijakan berketahanan air bersih


N0 Kebijakan 2012 2015 2020 2025 2030
1 Pemanfaatan BKT
PU, DKI, PAM

2 Kebocoran (perbaikan pipa


distribusi)
10% PAM, DKI
3 Peningkatan cakupan 80%(MDG Nasional) PU,DKI,PAM
pelayanan (pemasangan
pipa baru/distribusi)
4 Penerapan 3R
PU DKI, PU Pusat
5 Pipanisasi WTP Curug
Pusat dan daerah
6 PES DKI (konservasi)
DKI, Banten, Jabar Pusat
7 Sumber lain dari 13 Sungai
lainnya DKI, Pemda Non DKI, Pusat,
PAM
8 Desalinasi (pemanfaatan air
laut)
DKI, PAM

Pencapaian target yang dituangkan dalam setting agenda perlu dilaksanakan


secara konsisten dan memperhatikan beberapa kondisi dan kendala yang mungkin
dihadapi. Program setting agenda tersebut di atas (Tabel 49) secara rinci dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Banjir Kanal Timur (BKT).
Proyek ini dimulai sejak tahun 2005 yang tercantum dalam Perda Provinsi
DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 2010, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Tahun 2010 Provinsi DKI Jakarta. Presiden RI Megawati Soekarno Putri
mencanangkan pembangunan BKT pada tahun 2003 melalui percakapan jarak
jauh saat pencangan 30 proyek infrastruktur yang dipusatkan di Jepara Jawa
Tengah dan didanai oleh APBNI sejak 3 Desember 2007.
Pembuatan proyek BKT memotong sungai-sungai Cipinang, Sunter,
Buaran, Jatikramat, dan Cakung, dari barat ke timur, sejajar dengan jalan
Basuki Rahmat sampai perbatasan Pondok Kopi, lalu dialirkan ke utara di
prerbatasan timur wilayah DKI Jakarta (Robert Adhi Ksp 2009). Proyek
Banjir Kanal Timur meliputi wilayah seluas + 160 km2. Dengan proyek BKT
diharapkan dapat mengurangi masalah banjir di DKI Jakarta. Namun
247

demikian diperlukan peran Pemda DKI dalam membenahi sistem drainase


lokal di utara BKT serta pemanfaatan ruangnya ditata kembali sesuai kaidah-
kaidah penataan ruang agar proyek BKT berfungsi sesuai harapan. Peran lain
pemerintah DKI Jakarta yaitu dengan menganggarkan untuk pembebasan
tanah sebesar 2,5 trilyun rupiah. Pembangunan Banjir Kanal Timur selesai
dibangun pada tahun 2011 dengan kemampuan pendanaan dan tenaga kerja
dari bangsa sendiri. Dengan memanfaatkan air dari Banjir Kanal Timur maka
diperkirakan akan menambah kurang lebih 10.000 liter/ detik.

2. Penurunan tingkat kebocoran. 


Penurunan tingkat kebocoran dengan melakukan perbaikan pipa pada
jaringan distribusi dan sehingga dapat menurunkan tingkat kebocoran sampai
dengan 10% pada tahun 2015. Perbaikan pipa distribusi diperlukan mengingat
kondisi pipa distribusi rata-rata sudah berumur di atas 15 tahun. Kebocoran
yang terjadi disebabkan oleh pipa distribusi yang sudah berumur di atas 15
tahun. Umur pipa distribusi yang tua, keropos, dan berkarat menyebabkan
kebocoran, mengurangi volume air serta mengakibatkan penurunan kualitas
air akibat kematian.
Kebocoran air yang terjadi pada pertengahan 2011 di daerah Kebon Jeruk,
distribusi yang ditanam di bawah tanah (jalan raya). Kebocoran pipa
distribusi air bersih yang terjadi di daerah Pangeran Jayakarta yang
disebabkan oleh proyek pengerukan got/ saluran air untuk penanggulangan
banjir. Pengerukan got (drainase) dengan menggunakan peralatan berat
(backqu loader) mengakibatkan kebocoran pipa distribusi dan distribusi air
bersih di daerah Pangeran Jayakarta mengalami gangguan kurang lebih
sebulan dari bulan Nopember 2011 sampai dengan Desember 2011.
Perbaikan pipa dapat berjalan dengan baik jika dilakukan dengan secara
bertahap dan didukung oleh data tentang panjang, umur, lokasi pipa bawah
tanah dan lain-lain. Perbaikan pipa distribusi dibawah tanah (dekat jalan raya)
akan mengakibatkan kemacetan di DKI Jakarta. Untuk itu perbaikan
pipanisasi harus direncanakan secara baik dan dilakukan di malam hari secara
bertahap.
248

Jika PAM Jaya mampu menurunkan tingkat kebocoran dari 46% sampai
kepada30% bisa mendapatkan tambahan air bersih sebesar 3,6 m3/ detik atau
setara dengan 110.376.000 m3/ tahun dengan perkiraan biaya sebesar Rp. 3
trilyun. Dana sebesar itu dipergunakan untuk perbaikan pipa distribusi yang
sudah tua dan mengalami kebocoran.
3. Peningkatan cakupan layanan.
Saat ini cakupan pelayanan air bersih DKI Jakarta masih sekitar 50%
sampai dengan 60% dari total penduduk DKI Jakarta. MDGs mentargetkan
untuk kota besar cakupan pelayanan air bersih perpipaan sebesar 80% pada
tahun 2015. Peningkatan layanan air bersih perpipaan saat ini masih
mengalami banyak kendala antara tingginya tingkat kebocoran dan
kehilangan air di saluran distribusi. Tingkat kehilangan tersebut diakibatkan
oleh berbagai hal baik kebocoran pipa distribusi maupun tingkat hal lain.
Selain itu kuantitas air baku belum mencukupi kebutuhan masyarakat DKI
Jakarta.
Sejalan dengan program peningkatan (penambahan) sumber air baku,
maka ditingkat distribusi perlu dilakukan peningkatan cakupan pelayanan
dengan menambah saluran perpipaan yang baru. Peningakatan jaringan
distribusi perpipaan harus dimulai pada tahun 2013 sehingga pada tahun 2015
sudah tercapai target MDGs yaitu cakupan pelayanan air bersih sebesar 80%
dari total penduduk DKI Jakarta.
4. 3R ( reduce, reuse , recyle)
Dalam pelaksanaan program 3R tidak dapat hanya mengharapkan dari
kesadaran masyarakat walau keberhasilan program 3R sangat menuntut
kesadaran masyarakat. Program 3R yaitu reduce (menghemat), reuse
(menggunakan kembali), recycle (mengolah kembali). Pemerintah Pusat dan
Pemda DKI Jakarta haruslah memulai dengan melakukan sosialisasi program
3R ditiap-tiap Kecamatan sampai kepada tingkat kelurahan.
Pelaksanaan program reduce, reuse , recyle dimulai dengan sosialisasi ke
RT dan RW seluruh Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2012. Selanjutnya
pelaksanaan program 3R yaitu melakukan pembangunan instalasi pengelollan
3R di tiap-tiap kelurahan sampai kepada tiap-tiap Rukun Warga (RW) yang
249

dimulai pada tahun 2013 diseluruh kelurahan wilayah Propinsi DKI Jakarta.
dan dapat dimanfaatkan pada tahun 2015.
Jika program 3R dapat dilaksanakan dengan baik, maka DKI Jakarta akan
menghemat 30% dari pasokan air baku saat ini atau sekitar 99.255.000 m3. .
5. Pipanisasi dari Waduk Jatiluhur
Menurut Direktur Jendral Sumber Daya Air Kementrian Pekerjaan, Dr.Ir.
Muhamdad Amron (Suara Pembaruan 14/12/11) saluran Taum Barat yang
mengalirkan air baku dari Jatiluhur mendapatkan banyak masalah antara lain
pencemaran, kondisi saluran, serta penyalahgunaan fasilitas di sekitar saluran.
Pipanisasi diperlukan dikarekan air dari Jatiluhur yang disalurkan ke IPA
Buaran melalui saluran terbuka mudah terkena pencemaran. Perkiraan dana
untuk porgram pipanisasi menelan biaya sebesar Rp.2,3 triliun. Program
pipanisasi dari Jatiluhur hingga Jakarta sepanjang 78 kilometer dengan
ukuran pipa berdiameter 1,8 meter, akan mampu menggelontorkan air bersih
hingga 4.000 liter/detik. Program pipanisasi air bersih langsung, jauh lebih
efektif dan murah karena air tidak perlu diolah di IPA, suplai air langsung
dihubungkan ke pipa distribusi air minum yang ada di Jakarta.
Pembangunan pipanisasi akan meningkatkan efisiensi pemanfaaan air
baku dari tingkat kehilangan 50% menjadi 10 % dan penurunan tingkat
pencemaran di sumber air baku. Program pembangunan pipanisasi dimulai
dalam waktu dekat (Muhamad Amron) diperkirakan dimulai tahun 2012 dan
diperkirakan selesai dan dapat beroperasi pada tahun 2025.
6. PES (Payment For Environment Sevice).
Awal teori tentang PES muncul pada tahun 1960 melaui tulisan artikel The
Problem of Social Cost oleh Prof Ronald Harry Coase, Universitas Chicago.
Sedangkan menurut Sven Wunder, PES adalah skema pemberian imbalan
kepada penghasil jasa untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas jasa
lingkungan, bukan pembayaran kepada ekosistem itu sendiri. Jadi transaksi
PES dilakukan secara sukarela antara penerima manfaat dan pemberi manfaat
jasa lingkngan. Kongres Watersheed Management tahun 2003 mendefisinikan
PES sebagai mekanisme kompensasi dimana penyedia jasa lingkungan
(service providers) dibayar oleh pengguna manfaat jasa lingkungan (service
250

users). PES untuk jasa air dan perlindungan DAS diartikan sebagai penerapan
mekanisme pasar pemberian kompensasi kepada masyarakat pemilik lahan di
hulu untuk konservasi dan tidak merubah peruntukan lahan-lahan yang
berpengaruh terhadap ketersediaan atau kualitas sumber daya air di hilir. PES
bersifat jangka panjang dan insentif bersifat jangka pendek, hal tersebu sesuai
pendapat dari Doribel Herrador dan Leopoldo Dimas, peneliti disiplin ilmu
agronomist dan environment economisc dari El Salvador.
Pembayaran PES (payment environment services) bertujuan mendorong
pemanfaatan sumberdaya alam yang lebih efisien dan bertanggungjawab.
Skema PES untuk mendorong kesejahteraan masyarakat yang berkontribusi
dalam meletarikan sumberdaya alam, dengan catatan bahwa daerah hilir atau
penerima manfaat atau pihak yang membayar, logikanya harus levih sejahtera
dibanding daerah hulu atau penyedia jasa lingkungan atau pihak yang
menerima pembayaran, jika tidak, tak akan terjadi skema PES (Dewa Gumay,
2011).
Pembayaran PES dapat dilakukan secara sukarela oleh penerima manfaat
dan pemberi manfaat, hal tersebut seperti yang dilaksanakan di DAS Cidanau
yaitu PT.KTI secara sukarela membayar iuran jasa lingkungan sebesar Rp.
175.000.000,- melalui Forum Komunikasi Das Cidanau (FKDC) yang
dibentuk melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor: 124.3/Kep.64-Huk/02
tanggal 24 Mei 2002. Namun dalam kesepakan sukarela pembayaran jasa
lingkungan tersebut belum jelas menakisme kepada siapa sebenarnya PES
dibayarkan.
Pembayaran PES dalam kasus pemenuhan air bersih untuk DKI Jakarta
sebaiknya dilakukan dengan pandangan bahwa air merupakan barang publik
yang dilindungi oleh konstitusi. Untuk itu pembayaran PES dalam
pengelolaan air bersih lintas wilayah untuk pemenuhan air bersih DKI Jakarta
yang berbasiskan otonomi daerah, berbeda dengan pembayaran PES yang
terjadi di DAS Cidanau. DKI Jakarta melalui PAM Jaya menerima manfaat
dari daerah hulu untuk itu Pemda DKI Jakarta harus membayar PES sebagai
kepeduliannya dalam rangka konservasi sumber daya air kepada daerah hulu
251

yaitu Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan DAS bagian tengah yaitu Pemda
Tangerang Provinsi Banten.
Beberapa contoh pembayaran PES seperti yang terjadi di Banten dan juga
di Cirebon dan Kuningan dapat dijadikan pelajaran untuk mekanisme
pembayaran PES. Kerjasama pemanfaatan Sumber Mata Air Paniis
Kecamatan Pasawahan Kabupaten Kuningan antara pemerintah Kabupaten
Cirebon dan Kabupaten Kuningan. Dalam perjanjian tersebut disepakati
bahwa besarnya dana kompensasi konservasi dihitung dengan
mempertimbangkan produksi air dari sumber air, tarif berlaku sebelum diolah
bagi pelanggan di Kota Cirebon dan tingkat kebocoran air (Hikmat
Ramdhan). Pada saat proses negosiasi berjalan penyedia jasa lingkungan
menunjukkan bentuk sertifikat komitmen untuk menyakinkan wilayah
pengguna bawhwa wilayah penyedia jasa lingkungan hidrologi secara serius
menjamin wilayahnya tetap mampu memasok air. Skema pembayaran jasa
lingkungan yang menganut skena voluntery akan sulit diwujudkan jika
pandangan masyarakat daerah tersebut menganut faham bahwa air dan bumi
seisinya adalah dikuasai negara dan dimanfaatakan untuk kemakmuran
masayrakat sebesar-besarnya. Skema voluntery hanya bisa diterapakan pada
kelompok bisnis yang bersifat komersial seperti yang diterapkan di Propinsi
Banten.
Perbedaaan masalah pemenuhan air dan sumber air di masing-masing
daerah serta belum diputuskannya secara hukum mekanisme pembayaran jasa
lingkungan, maka skema pembayaran jasa lingkungan setiap daerah juga
berbeda-beda. Untuk DKI Jakarta, pemerintah DKI Jakarta dapat melakukan
beberapa kerjasama dengan pemerintah daerah di sekitarnya, misalnya untuk
pemanfaatan sumber mata air yang terdapat di Kabupaten Bogor, maka skema
kerjasama bisa menggunakan atau mencontoh skema pembayaran yang
dilakukan oleh Kabupaten Cirebon dan Kuningan. Namun untuk pemanfaatan
DAS Sungai dengan status wilayah sungai strategis nasional dan sungai lintas
propinsi, maka mekanisme kerjasama antar propinsi yang perlu dilakukan dan
dibawah payung hukum pemerintah pusat karena kewengan pengelolaan
252

sungai starategis nasional dan sungai lintas propinsi berada pada kewenangan
pemerintah pusat.
Pembayaran PES oleh Pemda DKI ke Provinsi Jabar dan Tangerang
Provinsi Banten dengan perhitungan air yang dapat diterima oleh DKI Jakarta
dengan perkiraan sebesar Rp. 100/ m3 . Biaya atau dana PES tersebut diambil
dari teori valuasi air dan mempertimbangkan biaya pengelolaan air yang rata-
rata membutuhkan dana sebesar Rp. 1.000,-/ m3 s.d. Rp. 1.500,- (termasuk
biaya investasi IPA) serta mempertimbangkan pembayaran jasa air sebesar
Rp.161,-. Saat ini DKI Jakarta menerima pasokan air baku dari Jatiluhur
sebesar 400 juta m3 s.d. 500 juta m3 sehingga DKI Jakarta perlu
menyediakan dana PES sebesar kurang lebih Rp.50.000.0000.000.- . Dana
tersebut dibayarkan kepada Provinsi Jabar dan Pemda Tangerang Provinsi
Banten yang diperuntukan perbaikan lingkungan dan konservasi sumber daya
air di hulu DAS Citarum dan Cisadane sesuai dengan besaran air baku yang
ditrima. Mekanisme kerjasama tersebut sebaiknya dibahas oleh pihak pihak
terkait termasuk para gubernur yang melibatkan beberapa kabupaten yang
dilewati oleh DAS Citarum dan DAS Cisadane. Kerjasama antar wilayah
dengan daerah atau propinsi lain dalam pemanfaatan DAS sungai wilayah
strategis nasional seperti DAS Ciatrum dan Cisadane haruslah ditetapkan
dalam payung hukum pemerintah pusat hal tersebut sesuai dengan PP 38
tahun 2007 dan PP 42 tahun 2008.
Kerjasama dengan Provinsi Jabar dimulai tahun 2013 sampai dengan
tahun 2033 serta Provinsi Banten (Pemda Tangerang) 2013 sampai dengan
2033, kerjasama tersebut bersifat jangka panjang. Dana PES yang dibayarkan
kepada daerah hulu dan daerah tengah DAS tersebut dipergunakan untuk
memperbaiki kondisi DAS di hulu Sungai Citarum yang berada di Kabupaten
Bandung. Sedangkan bagian tengah DAS Citarum bagian tengah yaitu
Purwakarta, Karawang, dan Bekasi mendapatkan dana PES sesuai dengan
kesepakatan dan arahan Gubernur Jabar. Dana PES dipergunakan untuk
perbaikan badan sungai dan program kali bersih di daerah tersebut, agar
masyarakat dan industri yang ada di ketiga daerah tersebut tidak membuang
sampah dan limbah ke badan sungai.
253

7. Menambah sumber lain dari 13 sungai lainnya.


Penambahan air baku untuk air bersih dari 13 sungai yang ada dalam
rangka peningkatan kapasitas pelayanan air bersih perpipaan sampai 80%
pada 2015 dan sekaligus penurunan cakupan pelayanan air bersih dengan
sistem non-perpipaan terlindungi sampai 20% pada tahun 2015. Pemanfaatan
sumber air baru dari 13 sungai di DKI yang belum dimanfaatkan secara
maksimal dengan metode pengelolaan ultrafiltras dengan diikuti program kali
bersih dan melakukan normalisasi sungai-sugai di DKI Jakarta.
Kebijakan semacam ini pernah dilakukan oleh Pemerintah Singapuran.
Singapura melakukan pemindahan bangunan di pingiran atau bantaran sungai
ke rumah susun sederhana dan pembuangan saluran rumah tangga tidak
dialirkan ke sungai. Program ultraviltasi air sungai Jakarta dimulai pada tahun
2012 sampai tahun 2015. Menambah sumber air baru baik dari luar DKI
Jakarta, misalnya Bogor yang tekenal memiliki DAS terbaik dan terbanyak.
Kerja sama dengan Provinsi Jawa Barat, Gubernur DKI Jakarta berinisiatif
untuk melakukan rencana kerjasama pengelolaan tersebut kepada menteri dan
ditembuskan kepada badan koordinasi pengelolaan sumber daya air pada
wilayah sungai untuk di bahas dalam pola pengelolaan wilayah sungai lintas
propinsi dengan melibatkan Gubernur Jawa Barat dan DKI Jakarta serta
melibatkan Bupati Bandung, Bupati Purwakarta, Bupati Karawang, Bupati
Bekasi, dan Bupati Bogor. Rencana pola pengelolaan sungai lintas propinsi
yang telah disusun dengan melibatkan para gubernur dan bupati terkait serta
pihak terkait dalam konsultasi publik, untuk draft tersebut di kembalikan
kepada menteri.

Kualitas 13 sungai yang melewati wilayah DKI Jakarta dari waktu ke


waktu terus mengalami pencemaran oleh buangan rumah tangga dan industri.
Program perbaikan kualitas sengai melalui Program Kali Bersih (Prokasih)
pada awal tahun 90-an yang kemudian terhenti karena krisis moneter dan
ekonomi melanda Indonesia ternyata tidak mampu memenuhi target yang
ditetapkan. Akibat perubahan kualitas air yang signifikan tersebut, bisa
dipastikan bahwa hampir tidak ada sungai-sungai dalam kota yang bisa
254

dijadikan sumber air baku bag PAM DKI. Beberapa instalasi pengolahan air
bersih skala kecil (mini water treatment plant) yang pada awalnya
menggunakan beberapa sungai yang ada di dalam kota sebagai sumber air
bakunya sudah tidak difungsikan lagi akibat jeleknya airnya serta
berkurangnya debit air, terutama selama musim kemarau.
Sebagaimana diketahui, penurunan muka air tanah merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan penurunan muka tanah di wilayah Jakarta. Abidin
dan kawan-kawan (2002) menemukan bahwa dari hasil pemantauan dengan
menggunakan teknologi GPS (Global Positioning System) yang dilakukan
secara berkala dari tahun 1997 sampai tahun 2000 pada beberapa tempat
diwilayah DKI Jakarta, ditemukan terjadi penurunan muka tanah secara
signifikan dengan kecepatan yang bervariasi. Dari hasil pemantauan,
diketahui bahwa daerah yang cukup besar terjadi penurunan muka tanahnya
adalah di daerah Kapuk dengan kecepatan 10 cm/tahun dan di daerah
Marunda yang mencapai 9 cm /tahun. Penurunan permukaan tanah ini dapat
menyebabkan potensi volume dan permukaan genangan air pada musim
hujan (banjir) bertambah secara signifikan. Sedangkan pada saat musim
kemarau, karena perubahan tekanan hidrolisis pada sistem geohidrologis air
tanah di wilayah dekat pantai dan akibat tingkat etraksi air tanah sedang dan
dalam yang sangat tinggi, instrusi air laut bergerak dengan sangat cepat dari
utara ke arah selatan bahkan sudah hampir mencapai wilayah Jakarta Selatan.
Sementara itu, khususnya pada air tanah dangkal karena belum
tersedianya sistem penanganan limbah cair yang memenuhi persyaratan
sanitasi, sebagian besar air tanah di wilayah DKI Jakarta tercemar oleh
limbah cair rumah tangga yang terlihat dari indikasi kandungan Fecal Coli
Form yang sangat tinggi. Hasil pemantauan yang dilakukan oleh BPLHD
DKI Jakarta pada tahun 2004 dan 2005 menunjukan bahwa 67% dari sumur
yang dipantau mengandung bakteri coliform dan 58% diantaranya
mengandung fecal coli melebihi bakal mutu.
Pemanfaatan sungai yang mengalir di DKI Jakarta terkendala dengan
kualitas air sungi yang tercemar berat dan debit air sungai yang tidak setabil.
Progam pemanfaatan 13 sungai lainnya yang mengalir ke DKI Jakarta, harus
255

dibarengi dengan penanganan pembuangan air limbah ke sungai oleh pabrik


dan perumahan penduduk ataau perumahan kumuh di badan sungai. Selain itu
pelaksanaan program kali bersih harus terus diterapkan secara konsisten.
Program tersebut direncanakan dimulai pada tahun 2015 sampai tahun 2025.
Untuk mengurangi limbah industri yang dibuang ke sungai, maka perlu
dipertimbangkan untuk melakukan pemindahan pabrik-pabrik /industri berat
yang ada di bantaran sungai atau pinggiran sungai ke wilayah pinggiran DKI
Jakarta atau BODETBEK..
Salah satu dari 13 sungai yang ada di Jakarta adalah Sungai Ciliwung.
Sungai Ciliwung memiliki panjang aliran utama adalah hampir 120 km
dengan daerah pengaruhnya (daerah aliran sungai) seluas 387 km persegi.
Wilayah yang dilintasi Ciliwung adalah Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota
Depok, dan Jakarta. Hulu sungai ini berada di dataran tinggi yang terletak di
perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, atau tepatnya di
Gunung Gede, Gunung Pangrango dan daerah Puncak. Setelah melewati
bagian timur Kota Bogor, sungai ini mengalir ke utara, di sisi barat Jalan
Raya Jakarta-Bogor, sisi timur Depok, dan memasuki wilayah Jakarta sebagai
batas alami wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Di daerah Manggarai
aliran Ciliwung banyak dimanipulasi untuk mengendalikan banjir. Jalur
aslinya mengalir melalui daerah Cikini, Gondangdia, hingga Gambir, namun
setelah Pintu Air Istiqlal jalur lama tidak ditemukan lagi karena dibuat kanal-
kanal, seperti di sisi barat Jalan Gunung Sahari dan Kanal Molenvliet di
antara Jalan Gajah Mada dan Jalan Veteran. Dari 13 sungai yang mengalir di
Jakarta, Ciliwung memiliki dampak yang paling luas ketika musim hujan
karena ia mengalir melalui tengah kota Jakarta dan melintasi banyak
perkampungan, perumahan padat, dan pemukiman
kumuh.http://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utama.
256

            

Gambar 1. Sungai Ciliwung yang bermuara di Pasar Ikan

Tabel 51. Luas DAS dan Debit


No DAS Luas Luas Debit Debit Q Volume
Daerah DAS Q max min air
Tangkap m3/detik m3/detik permuka
an Air an (juta
(Ha) m3/thn)
1 Citarum hilir 719.605 85.196 4.5140 0.0030 1.220

2 Ciliwung 38.260 28.634 1.6830 1.6000 410

3 Cisadane 155.975 124.013 4.8800 0.2800 1.775

4. Kali angke- 65.957


pesanggrahan
5. Sunter 12.346

6. Kali Bekasi 176.000 41.175. 590

Sumber : Diolah dari berbagai sumber.

8. Desalinasi.
Pemanfaatan air laut untuk mencukupi kebutuhan masyarakat DKI dengan
metode desalinasi dan ultraviolet. Air laut memiliki kapasitas yang sangat
besar dan belum dimanfaatkan untuk kebutuhan air bersih. Namun kondisi
dan kualitas air laut DKI Jakarta yang asin dan tercemar logam berat perlu
dilakukan metode reverse osmoses.
Penggunaan air laut untuk air bersih sudah diuji coba dilaksanakan di
daerah Bali. Air laut diambil pada kedalaman 300 meter dibawah permukaan,
kemudian dinaikkan dan dimasukan kedalam tangki untuk menjaga suhu air .
257

Setelah itu dilakukan pemisahan air dari garam laut (desalinasi), yang
menghasilkan air tawar kurang lebih sebesar 50%nya. Selanjutnya dilakukan
proses kimiawi, biologi, dan fisika. Metode ultraviltrasi diperlukan agar
kuman-kuman yang terdapat pada air tersebut dapat dilemahkan. Selanjutnya,
sebelum air tersebut didistribusikan kepada masyarakat, perlu dilakukan
pengecekan melalui laboratorium untuk memastikan apakah air hasil
desalinasi sudah sesuai dengan baku mutu.

8.4.2 Role Sharing (Bagi Peran ) Pengelolaan Air Baku untuk Air Bersih
Pengelolaan air bersih bersifat kompleks dan melibatkan beberapa stake
holders, misalnya pemerintah, pemda, PAM, Kementrian PU, Kementrian
Keuangan, Kementrian Kesehatan, Kementrian ESDM, LSM, masyarakat dan
swasta (telah dibahas pada bab sebelumnya tentang analisis kelembagaan). Untuk
itu dalam pengelolaan air tidak dapat mengandalkan lembaga yang tunggal,
pengelolaan air di era otonomi daerah seperti sekarang ini harus berdasarkan
kepada prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, berwawasan lingkungan dan
berdasarkan prinsip-prinsip good governance (tata pemerintahan yang baik), yaitu
dengan melibatkan semua stakeholder yang berkepentingan dalam proses
pengelolaan air. Institusi inti dan usulan atau bagi peran dalam pengelolaan air
lintas wilayah dapat diringkas pada role sharing Tabel 52
258

Tabel 52. Role Sharing pengelolaan air bersih lintas wilayah berbasis otonomi
daerah

Institusi Peran

Pemerintah Pusat - Memfasilitasi pemerintah kabupaten kota untuk


melaksanakan program pemberdayaan
masyarakat al.
- Memenuhi kebutuhan minimun air bersih
masyarakat .
- Kementrian Kesehatan dengan program Pola
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), penetapan dan
pengawasan kualitas air.
- Kementrian Pekerjaan Umum dengan program
sanitasi masyarakat (Sanimas), sosialisasi 3R,
pembangunan sarana dan prasarana yang
menjadi wewenang pusat (skala nasional),
mengelolah sungai lintas negara, sungai lintas
propinsi dan sungai strategis nasional.
- Kementrian Kehutanan dengan program
pelestarian hutan
- BKKBN program KB untuk menekan laju
pertumbuhan penduduk
- Kementrian Lingkungan Hidup untuk mencegah
pencemaran lingkungan oleh Industri
DKI Jakarta - Berinisiatif untuk mengidentifikasi sumber air
baku di wilayah DKI Jakarta.
- Melakukan koordinasi dengan instansi terkait
lintas propinsi dan lintas kabupaten/kota serta
mendiskusikan permasalahan yang ada dalam
pemanfaatan air sungai lintas provinsi.
- Melakukan evaluasi status mutu air sungai DKI
Jakarta dan melakukan studi kelayakan
pemanfaatan air sungai. 
- Melakukan  normalisasi  sungai  dan  program 
prokasi. 
- Menerapkan Law Enforcement bagi pelaku
pencemaran lingkungan terutama di sungai.
- Mewajibkan Industri melaksanakan progam
Reduce, reuse dan recycle dengan cara membuat
instalasi pengolahan limbah industri dan
mengolahnya kembali dan membuat studi
kelayakan untuk pemindahan industri besar ke
daerah di luar DKI Jakarta.
- Mewajibkan Hotel melakukan progam reduce
dan reuse dengan cara mengganti equipment
kamar mandi menjadi yang otomatic
- Menaikkan tarif pajak air tanah akan diperoleh
dana untuk konservasi air tanah
259

Institusi Peran

- Memberikan subsidi air untuk keperluan


masyarakat miskin dan meningkatkan akses
kepada air bersih.
- Berkoordinasi dengan BKKBN untuk menekan
laju pertumbuhan penduduk.
.
PDAM - Mengurangi kebocoran
- Meningkatkan pelayanan dan menambah jumlah
sambungan rumah
- Ikut terlibat dalam program pelestarian DAS
hulu.
- Meningkatkan teknologi modern untuk
pengelolaan.
- Melakukan kajian terhadap program desalinasi.
- Mengawasi kualitas air bersih dan pelayanan
air bersih di DKI Jakarta.

PJT II - Melaksanakan konservasi air di das yang


menjadi wewenangnya, memelihara dan menjaga
kestabilan debit di Bendungan Jatiluhur .
LSM - Ikut terlibat dalam proses pemerdayaan
masyarakat
- Mengawasi pemanfaatan lahan dan mencegah
konversi lahan serta terlibat dalam proses
reboisasi
- Turut mengawasi kualitas air bersih dan
pelayanan air bersih di DKI Jakarta.
Masyarakat - Terlibat langsung dalam pelaksanaan reboisasi
hutan, terasering pada tegalan.
- Ikut mencegah pencemaran dengan tidak lagi
memuang limbah rumah tangga kedalam sungai
atau selokan.
- Melaksanakan program hemat air dengan
metode / program 3R.
- Mewakili komponen masyarakat dalam dewan
SDA dan lain-lain.

Perguruan tinggi - Melakukan penelitian R & D terkait pemenuhan


air bersih baik teknis maupun kebijakan
pengelolaan air bersih lintas wilayah.
- Mendesain metoda metoda sosialisasi
pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah provinsi Jabar - Memfalitasi koordinasi antara pemerintah
dan Tangeran Banten kabupaten kota (Kota Bogor, Karawang, Bekasi,
Purwakarta, Subang, Cianjur, Sukabumi) terkiat
dengan pemanfaatan sumber air di sungai lintas
260

Institusi Peran

provinsi dan lintas kabupaten/kota.


- Memfasilitasi koordinasi antara pemerintah
kabupaten kota dengan Pemerintah Pusat

BP SPAM - Melaksanakan tugas dan fungsi BPSPAM terkait


pengembangan sistem penyediaan air minum
sebagai mana yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
- Melaksanakan kebijakan yang sudah digariskan.

Untuk mensukseskan DKI Jakarta yang berketahanan air, maka seluruh


stakeholder harus berperan pada tugas dan fungsinya masing-masing. Pemenuhan
air bersih DKI Jakarta selain membutuhkan kerjasama lintas wilayah dan lintas
sektoral dan bersifat holistik, juga membutuhkan peran semua pihak. Untuk
mencukupi kebutuhan air bersih DKI Jakarta tidak hanya dapat dilakukan dengan
memperbaiki sisi supply tetapi juga perlu pengendalian sisi demand (permintaan/
pemanfaatan). Dari sisi deman program pengendalian dapat dilakukan melalui
pengendalian jumlah penduduk (BKKBN) dan Dinas Kependudukan, program
hemat air (3R) dan program pengendalian perijinan (DKI Jakarta).
Berdasarkan skenario kebijakan dan role sharing dapat disusun suatu perkiraan
pendanaan biaya yang diperlukan untuk masing-masing program kegiatan baik
untuk kegiatan 3R, pemanfaatan DAS BKT, pembayaran PES, desalinasi dan
pipanisasi dari Jatiluhur serta perbaikan kebocoran pada pipa distribusi.
261

Tabel 53. Perkiraan biaya dan kapasitas air yang diperoleh


No Program Kapasitas Volume Dana
. (liter/ m3 APBN Pemda DKI
detik) (Rp) (Rp)

1 Kali Pasanggrahan 6.000 189.216.000 - 5 trilyun


2 Sungai Cisadane 3.000 94.608.000 - 189 trilyun
3 Pipanisasi Curug 5.000 157.680.000 6.0 trilyun -
4 BKT 10.000 315.360.000 5.5 trilyun 4,5 miyar
5 Desalinisasi Tidak - 5 trilyun
terbatas
6 PES 5.00.000.000 - 50 milyar
7 Perbaikan 113.529.600 - 3 trilyun
Kebocoran Pipa
Distribusi
8 Program 3R 99. 255.000 - 6 trilyun
s.d
157.680.000
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2011
Program pipanisasi Curug (Jatiluhur) akan menghasilkan pasokan air yang
cukup besar dengan pendanaan dari pemerintah pusat (APBN) dan pemda DKI
Jakarta tidak mengeluarkan dana apapun. Melihat komposisi tersebut tentunya
Pemda DKI memilih menunggu proyek tersebut selesai. Namun demikian sebagai
Pemerintah Provinsi yang memiliki ketergantungan sumber air baku dari daerah
lain, maka Pemerintah DKI sebaiknya memanfaatkan debit sungai BKI yang
cukup besar tersebut untuk mencukupi kebutuhan warganya. Pemda DKI telah
mengeluarkan dana sebesar 2.5 milyar untuk pembebasan tanah dan diperlukan
sekitar 2 milyar untuk membangun IPA baru untuk mengelola air baku dari BKT.
262

BAB IX
KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN DAN SARAN


9.1 Kesimpulan
1. Kebutuhan air bersih DKI Jakarta pada tahun 2012 mencapai
602.108.242 m3, namun distribusi air bersih dari PAM Jaya baru
mencapai angka 432.665.837 m3 dengan tingkat cakupan layanan
baru mencapai 60% dari penduduk DKI Jakarta.
2. Padapengelolaan air lintas wilayah, peran kelembagaan Pemerintah
Pusat memiliki daya dorong yang kuat dan peran yang sentral dalam
pemenuhan kebutuhan air bersih. Peran tersebut adalah:
membangunan infrastruktur skala nasional dan membuat kebijakan
nasional pengelolaan air lintas wilayah serta menetapkan kebijakan
alokasi air dan harga air baku atas usulan Pemda terkait. Peran Pemda
DKI memanfaatkan dan memelihara sungai yang ada di DKI serta
menetapkan harga air atas persetujuan Badan Regulator Daerah dan
mengusulkan kepada Pemerintah Pusat tentang harga air atau jasa
pengelolaan air. Peran PJTII: melaksanakan ketentuan tentang alokasi
air, PAM Jaya mendistribusikan air kepada masyarakat serta
memelihara dan merawat infrastruktur pipa distribusi dan instalasi
pengelolaan air bekerja sama dengan pihak swasta.Peran Pemda Non
DKI selaku pemberi manfaat air wajib mengelola DAS atau sungai
yang mengalir di daerahnya dengan baik, kemudian berhak menerima
uang jasa lingkungan untuk kegiatan konservasi sumberdaya air .
3. Tingkat keberlanjutan pengelolaan air DKI Jakarta menunjukkan
bahwa dengan pendekatan lintas wilayah mencapai status
berkelanjutan sebesar 60,82 dengan faktor pengungkit frekuensi
kejadian kekeringan, frekuensi banjir dan vegetasi. Tingkat
keberlanjutan untuk dimensi ekonomi faktor pengungkitnya yaitu
pendapatan asli daerah, untukdimensi sosial dengan faktor pengungkit
partisipasi masyarakat dalam program kali bersih, gangguan kesehatan
263

akibat mengkonsumsi air, ketepatan dalam pembayaran rekening air.


Keberlanjutan untuk dimensi hukum dan kelembagaan yang menjadi
faktor pengungkit yaitu ketersediaan lembaga sosial, keberadaan
lembaga keuangan, dan untuk dimensi infrastruktur yang menjadi
faktor pengungkit adalah dukungan sarana dan prasarana dan tingkat
penguasaan teknologi moderen .
4. Hasil model dinamik yang dibangun dapat digunakan evaluasi tentang
kebutuhan air dan ketersediannya serta kebijakan pemanfaatan air
tanah. Hasil simulasi menunjukkan bahwa intervensi dengan
kebijakan program 3R, BKT, 13 sungai, desalinasi, penurunan
kebocoran, PES memperlihatkan kebutuhan air bersih untuk DKI
Jakarta dapat tercukupi dan pada tahun 2030 suplai air bersih
terpenuhi tanpa pengambilan air tanah dalam dan tanah dangkal. 
5. Kebutuhan air DKI Jakarta dapat dipenuhi dengan melakukan
kerjasama lintas wilayah dengan Pemda Jabar dan Pemda Tangerang
Banten dalam pemanfaatan sumber air di DAS yang mengalir di
wilayah tersebut dengan pembayaran jasa lingkungan atau PES
sebesar 50 milyar per tahun. 

9.2 Saran
1. Dalam rangka mewujudkan ketahanan air bersih, DKI Jakarta perlu
membangun skenario kebijakan agar kekurangan air bersih untuk
DKI Jakarta dimasa mendatang tidak terjadi kembali. Skenario
kebijakan baik yang terkait dengan management water supply and
demand serta teknologi pengelolaan antara lain:
a. Kebijakan tersebut antara lain: pembangunan pengolahan air
dengan memanfaatkan potensi ketersediaan air dari 13 sungai
yang mengalir ke DKI Jakarta.
b. Membuat penyaluran dengan pipanisasi dari waduk Jatiluhur
agar tidak terjadi kegilangan air dan pencemaran air, serta
menambah sumber air baku dari DAS lainnya di luar DKI
Jakarta dengan melakukan kerjasama antar wilayah.
264

c. Dalamrangka pengelolaan air baku lintas wilayah DKI


diperlukan normalisasi 13 sungai yang ada/mengalir di DKI
Jakarta.

2. Mengingat dampak dari penggunaan air tanah dalam begitu hebat


terhadap penurunan permukaan tanah, maka perlu dipikirkan
kembali langkah penghentian pemberian ijin penggunaan air tanah
dalam pada tahun 2031.Untuk itu perlu dilakukan sosialisasi mulai
sekarang. 
 
 
 
 
 
   
 
265

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Gawad FK, El-Seehy MA, El-Seehy MM. 2010. Clastogenicity in Fish
Genome and Aquatic Pollution. Warld Journal of Fish and Marine Sciences
2(4):335-342.

Abowei JFN, George ADI. 2009. Some Physical and Chemical Characteristics
in Okpoka Creek, Niger Delta, Nigeria. Research Journal of
Environmental and Earth Sciences 1(2):45-53.

Adedokun OA, Adeyemo OK, Adeleye E, Yusuf RK. 2008. Seasonal


Limnological Variation and Nutrient Load of the River System in Ibadan
Metropolis, Nigeria. European Journal of Scientific Research 23(1):98-
108.

Adeyemo OK, Adedokun OA, Yusuf RK, Adeleye EA. 2008. Seasonal
Change in Physico-Chemical Parameters and Nutrient Load of River
Sediments in Ibadan City, Nigeria. Global Nest Journal 10(3):326-336.

Adhi. 2009. Banjir Kanal Timur, Karya Anak Bangsa. Jakarta. Kompas Gramedia.

Akan JC, Moses EA, Ogugbuaja VO and Abah J. 2007. Assessent of Tannery
Industrial Effluent from Kano Metropolis, Kano State Nigeria. Journal of
Applied Sciences 7(19): 2788-2793.

Akan JC, Abdulrahman FI, Yusuf E. 2010. Physical and Chemical Parameters in
Abattoir Wastewater Sample, Maiduguri Metropolis, Nigeria. The Pacific
Journal of Science and Technology 11(1): 640-648.

Alam JB, Islam MR, Muyen Z, Manun M, Islam S. 2007. Water Quality
Parameters along Rivers. International Journal of Environmental Science &
Technology 4(1):159-167.

Ayoade AA, Fagade SO, Adebisi AA. 2006. Dynamics of Limnological Features
of Two Man-made Lakes in Relation to Fish Production. African Journal of
Biotechnology 5(10):1013-1021.
266

Asdak. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta.


Gajah Mada University Press..
Asmustawa. 2007. Evaluasi Pengelolaan Kualitas Air Bersih Oleh Petugas
Sanitasi Puskesmas Di Kabupaten Bungo. Program Magister Kebijakan dan
Manajemen Pelayanan Kesehatan. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
Anonim. 2007. Principle For Sustainable Development , Comhar-the National
Sustainable Development Partnership.
Budiharsono. 1987. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan.
Jakarta. PT. Pradnya Paramita.
Badan Pusat Statistik. 2010. Direktorat Diseminasi Statistik. DKI Jakarta Dalam
Angka 2010.
Badan Pusat Statistik. 2010. Direktorat Diseminasi Statistik. Statitik Air Bersih
2010.
Badan Pusat Statistik. 2010. Direktorat Diseminasi Statistik. Statistik Lingkungan
Hidup Indonesia 2010.
Badan Pusat Statistik. 2010. Direktorat Diseminasi Statistik. Provinsi Banten
Dalam Angka 2010.
Badan Pusat Statistik. 2010. Direktorat Diseminasi Statistik. Depok Dalam
Angka 2010.
Badan Pengendali Lingkungan Hidup Daerah. 2010. Laporan Status Lingkungan
Hidup Daerah Khusus Ibukota Jakarta.Tahun 2008 BPLHD. Jakarta
Chatip. 1997. Pengolahan Air Minum. Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan.
Yogyakarta
Cochran. 2005. Teknik Penarikan Sampel UI Press. Jakarta.
Danoeprawiryo. 2006. Memprediksi Nasib Bangsa dengan Pendekatan Sistem
Thinking dan Mental Models Restu Bunda. Jakarta.
Daryant, Hafizrianda. 2010. Analisis Input-Output & Social Accounting Matrix
untuk Pembangunan Ekonomi Daerah IPB Press. Bogor.
Denis. 2010. Kualitas dan Kuantitas Air Bersih Untuk Pemenuhan Kebutuhan
Manusia, (Jurnal), http://uripsantoso.wordpress.com
267

Departemen Pekerjaan Umum. 2010. Peraturan Presiden Republik Indonesia


Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas PeraturanPresiden No.67
Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastuktur. Dep PU. Jakarta.
-------------------------------------. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Dep PU. Jakarta.
-------------------------------------. 2005. Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
dalam Penyediaan Infrastruktur. Dep PU. Jakarta.
-------------------------------------. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2005 Tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air
Minum. Dep PU. Jakarta.
-------------------------------------. 2005. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 294 Tahun 2005 Tentang Badan Pendukung Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum. Dep PU. Jakarta.
Depkes. 2002. Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum/Air Bersih.
Jakarta.
Dunn. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Drakelr. (Disertasi). Analisa Kemauan Membayar Masyarakat Perkotaan untuk
Jasa Perbaikan Lingkungan, Lahan dan Air (Studi Kasus DAS Citarum
Hulu), Bogor, 2008.
Effendi. 2003. Telaah Kualitas Air, Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Eriyatno. 2007. Riset Kebijakan, Metode Penelitian Untuk Pasca Sarjana. Bogor.
IPB Press.
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen,
Jilid I, IPB Press, Bogor.
Ginting. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri, Penerbit
Yrama Widya, Bandung.
268

Hardayanti dan Fitri. 2006. Studi Evaluasi Instalasi Pengelolahan Air Bersih
Untuk Kebutuhan Domestik dan Non Domestik (Studi Kasus Perusahaan
Tekstil Bawen Kabupaten Semarang). Presipiti: Vol. 1. No. Hal. 2.
Hartrisari, H . 2007. Sistem Dinamik: Konsep Sistem dan Pemodelan Untuk
Industri dan Lingkungan. Seameobiotrop, IPB, Bogor.
Jawet. 1992. Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan Edisi 16. EGC. Jakarta.

Hassan FM, Kathim NF, Hussein FH. 2008. Effect of Chemical and Phisical
Properties of River Water in Shatt Al-Hilla on Phytoplankton Communities.
Journal of Chemistry 5(2):323-330Luo YF, Khan S, Cui YL, Feng YH and
Li YL. 2005. Modeling the Water Balance for Aerobic Rice: A System
Dynamic Approach, Agricultural Water Management 74:1860-1866.

Kodoatie, Suharyanto, Sangkowati, Edhisono, 2001. pengelolaan Sumber Daya


Air dalam Otonomi daerah. Andi. Yogyakarta

Kodoatie, Syarif, 2010, Tata Ruang Air. Andi. Yogyakarta

Kodoatie, Balulu, 2005, Kajian Undang-undang Sumber Daya Air. Andi,


Yogyakarta.

Khiatuddin . 2003. Melestarikan Sumber Daya Air dengan Teknologi Rawa


Buatan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Kurniawan. 2001. Otonomi Sumberdaya Hutan. Debut Press. Yogyakarta.
Lindsay. 1995. Teknik Sumber Daya Air jilid 2, Erlangga. Jakarta.

Nwankwoala HO, Pabon D, Amadi PA. 2009. Seasonal Distribution of Nitrate


and Nitrite Levels in Eleme Abattoir Environment, Rivers State, Nigeria.
Journal Applied Science and Environmental Management 13(4):35 – 38.

Nurdijanto. 2000. Kimia Lingkungan. Pati. Yayasan peduli Lingkungan.


Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
-----------. 2009. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Menejerial.
IPB Press. Bogor.
269

Muhamadi, Aminullah, E dan Soesilo, 2001. Analisis Sistem Dinamis.UMJ


Press. Jakarta
Mujiarso. Is. 2002. Pergerseran Peran Agenda Setting Komunikasi Masa dan Apa
Maknanya. www.virtual.co.id.6:1-2
Murdiyarso . 2007. CDM Mekanisme Pembangunan Bersih. Buku Kompas.
Jakarta.
Mulyanto . 2007. Pengembangan Sumber Daya Air Terpadu. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Nugroho. 2008. Publik Policy, Penerbit PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Nurdin. 2007, Analisa Sistem Kelembagaan Dalam Perencanaan dan Strategi
Pengelolaan Lahan Kritis DAS Bila. (Disertasi). Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kurniawan. 2010. Sistem Pengelolaan Kawasan Karst Maros-Pangkep Provinsi
Sulawesi Selatan Secara Berkelanjutan.(Disertasi) . Program Pascasarjana,
IPB. Bogor.
Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2009. Final Repot Kajian Kritis Undang-
Undang Terkait Penataan Ruang dan Sumberdaya Alam. LH. Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 405/menkes/sk/xi/2002
La Baco. S. 2010. Optimalisasi Penggunaan Lahan Untuk Menjadin Ketersediaan
Air DAS Konaweha Propinsi Sulawesi Tenggara.
P. Odum. 1993. Dasar-dasar Ekologi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Purwadi. 2005. Analisa Kelayakan Teknis dan Finansial Usaha Air Minum Depot
Isi Ulang Dengan Sistem Reverse Osmosis. (Disertasi). Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2004 tentang Air
Tanah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 Tentang
Pengembangan sistem penyediaan Air minum
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005, tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW kabupaten Bogor) 2005-2025.
270

Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan


Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur.
Peraturan Pemerintah Republik Indoensia Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Nomor 2 Tahun 2002
tentang Perprasarana Swasta di Propinsi Daerah Khusu Ibukota Jakarta.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
907/Menkes/SK/VII/2002, tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas
air minum.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 tahun 1990 tentang syarat-syarat dan
pengawasan kualitas air.

Raja P, Amarnath AM, Elangovan R, Palanivel M. 2008. Evaluation of Phisical


and Chemical Parameters of River Kaveri, Tiruchirappali, Tamil Nadu,
India. Journal of Environmental Biology 29(5):765-768.

Ramdan, H. 2006. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah Di Kawasan


Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Disertasi. IPB. Bogor.
Razif. 2001. Pengolahan Air Minum. Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Surabaya.
Rusbiantoro. 2008. Global Warming for Beginner. Oksigen. Yogyakarta.
Santika . 1984. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya Indonesia
Saati. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Terjemahan. Pustaka
Binaman Pressindo. Jakarta.
Sanim, B. 2011. Sumberdaya Air dan Kesejahteraan Publik, Suatu Tinjauan
Teoritis dan Kajian Prkatis. IPB Press. Bogor.

Sangkawati S. 2002. Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Otonomi Daerah. Andi.
Jogyakarta. Simonovic SP, Rajasekaram V. 2004. Integrated Analysis of
Canada’s Water Resources: A System Dynamics Approach, Canadian
Water Resources Journal 29(4):223-250.

Sastrawijaya, T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.


271

Seame,Biotrop, 2009. Seminar Nasional Kebijakan dan Aplikasi Teknologi


Informasi dan Komunikasi untuk Peningkatan Daya Saing Agribisnis
Indonesia
Sitorus . 2004.Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsito. Bandung.
Sjarief . 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Andi. Yogyakarta.
Spring, M. Sanchez Spring. 2002. Agenda Setting. www.zimmer.csurfresno.edu/-
johnca/spch100/7-4-agenda.htm
Sri Widyastuti, Endang. 2003. Hubungan Permukiman Kumuh Dengan
Pemenuhan Air Bersih dan Lingkungan Permukiman Sehat (Kasus DKI
Jakarta), (disertasi), Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sutrisno. C. Totok, dkk. 1987. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta. Rineka
Cipta. Sujudi. 1995. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi Bina Rupa
Aksara. Jakarta.
Surawira. 1996. Air dalam Kehidupan Lingkungan yang Sehat. Bandung.
Suripin. 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta : Andi Offset.
Suharyono. 1996. Diari Akut Klinik dan Laboratorik. Rineka Cipta. Jakarta.
Sutrisno. 2000. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta :Rineka Cipta.
Suryawan. 2005. Penentuan Dasar Biaya Kompensasi untuk Pembayaran Jasa
Lingkungan dengan Memanfaatkan Teknologi Inderaja (Studi Kasus: DAS
Cidanau, Banten).(Disertasi) IPB. Bogor.
Spring, M. Sanchez Spring. 2002. Agenda Setting. www.zimmer.csurfresno.edu/-
johnca/spch100/7-4-agenda.htm.
Sulandari. Penilaian Jasa Lingkungan Air Minum dan Penentuan Prioritas
Bantuan Perbaiakan Lingkungan hidup (Studi Kasus DAS Citarum, Jawa
Barat) IPB Bogor 2005.
University of Twente. Agenda Setting Theory.Theorieenoverzicht TCW.
www.utwente.nl.
Tim Mikrobiologi. 2003. Bakteriologi Medik. Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya. Malang.Bayumedia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, tentang
Pemerintahan Daerah.
272

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2004, tentang Perimbangan


Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air.
273

LAMPIRAN

LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Gloseri
1. Air Bersih : Air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang
kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat
diminum apabila telah dimasak.
2. Air Minum : Air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses
pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat
langsung diminum.
3. Air Baku : Air yang dapat berasal dari sumber air permukaan,
cekungan air tanah dan/atau air hujan yang memenuhi
baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum.
4. Lintas Wilayah : Lintas wilayah administrasi baik propinsi maupun
kabupaten/kota.
5. Kebijakan : Kebijakan merupakan keputusan dari suatu pemerintah
dalam mengatur masalah publik dengan harapan kebijakan
tersebut menjadi suatu solusi dari permasalahan.
6. Pengelolaan : Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan,
melaksanakan, pemantauan, mengevaluasi
penyelenggaraaan sumber daya air, dan pengendalian daya
rusak air.
7. DAS : Suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh
pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima,
mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta
mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada
sungai utama ke laut atau danau.
8. Otonomi Daerah : Hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
274

Lampiran 2. Daftar singkatan


APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN : Anggaran Pendapatan danBelanja Negara
AME : Absolute Means error
AVE : Absolute variation error
BPLHD : Badan Lingkungan Hidup Daerah
BPS : Badan Pusat Statistik
BPSPAM : Badan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
BUMD ; Badan Usaha Milik Daerah
BWS : Balai Wilayah Sungai
Cm : centimeter
DAS : Daerah Aliran Sungai
DKI : Daerah Khusus Ibukota
DW : Durbin Watson
ESDM : Energi dan Sumber Daya Mineral
GSO : Goverment Servise Obligation
IPB : Institut Pertanian Bogor
ISM : Interpretative Structural Modeling
Kepmen : Keputusan Menteri
Keppres : Keputusan Presiden
KLH : Kementrian Negara Lingkungan Hidup
Km : kilometer
KTP : Kartu Tanda Penduduk
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MDS : Multy Dimensional Scalle
M3 : meter kubik
PAD : Pendapatan Asli Daerah
PAM JAYA : Perusahaan Air Minum Jakartaraya
PDAM : Perusahaan Daerah Air Minum
Pemda : Pemerintah Daerah
275

PES : Payment For Environmentaql Service


PJT II : Perum Jasa Tirta Dua.
PERDA : Peraturan Daerah
PP : Peraturan Pemeintah
PSDA : Pengelolaan Sumber Daya Air
RTH : Ruang Terbuka Hijau
SPAM : Sistem Penyediaan Air Minum
UU : Undang-Undang
WTA : Willingness to Accept
WCED : The World Comission on Environment and Development
WTP : Willingness to Pay
WSSN : Wilayah Sungai Strategis Nasional

Lampiran 3. Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas (PP No. 82 / 2001)


Kadar Maksimum
No Parameter Satuan
Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4
FISIKA

1 Temperatu C Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 5

2 Residu terlarut mg/L 1000 1000 1000 2000

3 Residu tersuspensi mg/L 50 50 400 400

KIMIA anorganik

2 pH 6-9 6-9 6-9 5-9

3 BOD mg/L 2 3 6 12

4 COD mg/L 10 25 50 100

5 DO mg/L 6 4 3 0

6 Total Fosfat sbg P mg/L 0,2 0,2 1 5

7 NO 3 sebagai N mg/L 10 10 20 20

8 NH3-N mg/L 0.5 (-) (-) (-)

9 Arsen mg/L 0.05 1 1 1


276

10 Kobalt mg/L 0.2 0.2 0.2 0.2

11 Barium mg/L 1 (-) (-) (-)

12 Boron mg/L 1 1 1 1

13 Selenium mg/L 0,01 0,05 0,05 0,05

14 Kadmium mg/L 0,01 0,01 0,01 0,01

15 Khrom (VI) mg/L 0,05 0,05 0,05 0,01

16 Tembaga mg/L 0,02 0,02 0,02 0,02

17 Besi mg/L 0,3 (-) (-) (-)

18 Timbal mg/L 0,03 0,03 0,03 0,03

19 Mangan mg/L 0,1 (-) (-) (-)

20 Air raksa mg/L 0,001 0,002 0,002 0,005

21 Seng mg/L 0,05 0,05 0,05 2

22 Khlorida mg/L 600 (-) (-) (-)

23 Sianida mg/L 0,02 0,02 0,02 (-)

24 Flourida mg/L 0,5 1,5 1,5 (-)

25 Nitrit sebagai N mg/L 0,06 0,06 0,06 (-)

26 Sulfat mg/L 400 (-) (-) (-)

27 Khlorin bebas mg/L 0,03 0,03 0,03 (-)

28 Belerang sebagai H2S mg/L 0,002 0,002 0,002 (-)

Kimia Organik

1 Minyak dan lemak ug/L 1000 1000 1000 (-)

2 Detergen sebagai MBAS ug/L 200 200 200 (-)

3 Senyawa fenol ug/L 1 1 1 (-)

4 Sebagai fenol ug/L

5 BHC ug/L 210 210 210 (-)

6 Aldrin/Dieldrin ug/L 17 (-) (-) (-)

7 Chlordane ug/L 3 (-) (-) (-)

8 DDT ug/L 2 2 2 2

9 Heptachlor dan ug/L 18 (-) (-) (-)

10 Heptachlor epoxide ug/L


277

11 Lindane ug/L 56 (-) (-) (-)

12 Methocyclor ug/L 35 (-) (-) (-)

13 Endrin ug/L 1 4 4 (-)

14 Toxaphan ug/L 5 (-) (-) (-)

Mikrobiologik

1 Fecal coliform Jml/100ml 100 1000 2000 2000

2 Total koliform Jml/100ml 1000 5000 10000 10000

Radioaktivitas

1 Gross- A Bq/L 0,1 0,1 0,1 0,1

2 Gross –B Bq/L 1 1 1 1

Lampiran 4. Pemantauan Kualitas Air Sungai

No Titik Sungai Lokasi Pemantauan Golong


an
1 1 S. Ciliwung Kelapa Dua (Srengseng Sawah) B
2 2 S. Ciliwung Intake PAM Condet (Kp. Gedong) B
3 2A S. Ciliwung Jl. M.T. Haryono B
4 3 S. Ciliwung Sebelum Pintu Air Manggarai B
5 3A S. Ciliwung Jl. Halimun (Guntur) B
6 4 S. Ciliwung Jl. KH. Mas Mansyur (Karet B
Tengsin)
7 5 S. Ciliwung Jl. Gudang PLN B
8 5A S. Ciliwung Jl. Teluk Gong B
9 6 S. Ciliwung Jembatan PIK (Muara Angke) D
10 29 S. Ciliwung Jl. Kwitang D
11 29A S. Ciliwung Jl.Gajah Mada (Tangki) D
12 30 S. Ciliwung Jl. Ancol Marina D
13 31 S. Ciliwung Jl. Raya Pluit (Penjaringan) D
14 32 S. Ciliwung Pompa Pluit D
15 7 S. Kali Baru Jl. Komplek Zeni Srengseng B
278

Sawah
16 8 S. Cipinang Jl. AURI (Taman Bungan D
Cibubur)
17 8A S. Cipinang Jl. Pondok Gede (Tol Taman D
Mini)
18 8B S. Cipinang Jl. Raya Bogor (Komseko) D
19 8C S. Cipinang Jl. Kampung Dukuh D
20 8F S. Cipinang Jl. Ciracas (Pemadam) D
21 9 S. Cipinang Jl. Perdana Kusuma D
22 10 K. Suter Pondok Rangon D
23 10A K. Suter Lubang Buaya D
24 11 K. Suter Pondok Kelapa Cipinang D
25 11A K. Suter Jl. Raden Inten, Rel Kereta D
26 12 K. Suter Jl. Jati Negara Kaum D
27 13 K. Suter Bogasari, Kota Selatan D
28 45 K. Suter Sudarso (Kelapa Gading) D
29 14 S. Krukut Jl. Pondk Labu B
30 15 S. Krukut Jl. Pejompongan (Karet Tengsin) B
31 16 K. Mampang Jl. Ciganjur (Tiga Raksa) B
32 17 S. Tarum Bekasi B
Barat
33 18 S.Tarum Barat Halim Perdana Kusuma B
34 19 S. Angke Ciledug C
35 20 S. Angke Jl. Daan Mogot (Pool PPD) D
36 20A S. Angke Pesing Kali Angke D
37 21 S. Cengkareng Rel Kereta Api (Kembangan) C
38 22 S. Cengkareng Jl. Kapuk Muara D
39 23 S. Ciputat, Pasar Jumat C
Pesanggrahan
40 24 S. Mookervart Jl. Daan Mogot, Bir Bintang C
(Kalideres)
41 24A S. Mookervart Jl. Daan Mogot, Pemancar AL C
279

(Rawa Buaya)
42 24B S. Mookervart Jl. Daan Mogot Sumur Bor (Duri C
Kosambi)
43 24C S. Mookervart Jl. Daan Mogot, Jembatan TMS C
(Semanan)
44 24D S. Mookervart Jl. Daan Mogot, Jembatan Bakrie C
45 25 S. Grogol Jl. Lebak Bulus C
46 25A S. Grogol Jl. Radio Dalam C
47 26 S. Grogol RS. Jiwa Grogol C
48 27 S. Grogol PLTU Pluit D
49 28 S. Ciledug Jl. Patra Kuningan D
50 33 S. Kali Baru Jl. Raya Bogor (YKK) D
Timur
51 33A S. Kali Baru Jl. Otista III (Cipinang D
Timur Cempedak)
52 34 S. Kali Baru Jl. Ancol/Jembatan Si Manis D
Timur
53 35 S. Cakung Jl. Pulo Gebang D
54 36 S. Buaran Jl. Pondok Kelapa D
55 36A Jati Kramat Jl. Kali Malang D
56 37 S. Cakung Jl. Raya Bekasi (Cakung Barat) D
Drain
57 38 S. Cakung Cilincing (Pos Polisi) D
Drain
58 38A K. Blencong Pantai Marunda D
59 46 K. Blencong Mauara Baru Rorotan D
60 39 S. Petukangan Kawasan PT.JIEP D
61 40 S. Petukangan Jl. Swadaya Pupar D
62 41 S. Kamal Jl. Raya Benda (Pegadungan) D
63 42 S. Kamal Muara Kamal D
64 43 S. Sepak Jl. Pasar Bintaro (Ulujami) C
65 44 S. Sekretaris Jl. Tanah Kusir (Kebayoran Lama D
280

Selatan)
66 47 S. Bekasi PDAM Cakung (Cakung Barat) D
Tengah
67 48 S. Buaran Belakang PIK Pulo Gadung D
Sumber: BPLHD Provinsi DKI Jakarta 2009.
Lampiran 5. Analisis konten peraturan perundang-undangan

Frek Frek Frek Frek Frek Frek Frek


1 Pengelolaan SDA 167 19 77 144 546 20 88
2 Pengendalian 17 1 11 30 430 6 9
3 Perlindungan 9 6 57 5 209 11 15
4 Air Minum / Bersih 13 49 10 55 576
5 Wilayah Sungai 80 12 54 6
6 Daerah Aliran Sungai 2 6
7 Konservasi 14 2 6 32 79 5
8 Lingkungan Hidup 7 2 218 4 50 2 5
9 Pendanaan Air 1
10 Pendanaan Konservasi
11 Lingkungan Hidup 7 2 218 4 50 2 5
12 Peran Masyarakat 7 3 4 3 10
13 Pemerintah Daerah 52 31 6 47 15 48
14 Desentralisasi 5 1 1
15 Otonomi 13 1
16 Lintas Wilayah / daer 1 4 1
17 Terpadu 11 13 5 2 42 14 20
18 Berkelanjutan 2 1 6 2 7 8
Jumlah 700 133 387 268 1533 152 809
281

Lampiran 6. Jumlah bab dan pasal UU No 7 Tahun 2004


Pasal......
Jumlah Ada Penjelasan
Bab Uraian s/d
Pasal Pasal
Pasal.......
1. Ketentuan Umum 12 1 12 2-9.11
2. Wewenang dan Tanggungjawab 7 13 19 13-15.17.19
3. Konservasi Sumber Daya Air 6 20 25 20.21.23.24
Pendayagunaan Sumber Daya 26-30.32-35.38-
4. 25 26 50
Air 41.43-48
5. Pengendalian Daya Rusak Air 8 51 58 51.53.54.56
6. Perencanaan 4 59 62 59.61.62
7. Pelaksanaan Konstruksi, O & P 2 63 64 63.64
Sistem Informasi Sumber Daya
8. 5 65 69 65-67
Air
9. Pemberdayaan & Pengawasan 7 70 76 70.71.74.75
10. Pembiayaan 5 77 81 77-80
Hak, Kewajiban, & Peran
11. 3 82 84 82.84
Masyarakat
12. Koordinasi 3 85 87 86
13. Penyelesaian Sengketa 2 88 89 88
Gugatan Masyarakat dan
14. 3 90 92 92
Organisasi
15. Penyidikan 1 93 - 93
16. Ketentuan Pidana 3 94 96 -
17. Ketentuan Peralihan 2 97 98 98
18. Ketentuan Penutup 2 99 100 -
282

Lampiran 7. Analisis undang-undang terkait


`No Undang-Undang ISI

1 UU 7/2004, tentang Visi dan misi: Konservasi dan eksploitasi,


Sumber Daya Air fungsi sosial, dan ada kecenderungan pro-
kapital.
SDA yang diatur : air (air permukaan, air
tanah, air hujan, air laut yang berada di
darat), sumber air, dan daya air.
2 UU 26/2007, tentang Visi dan misi: Konservasi dan pro-rakyat.
Penataan Ruang SDA yang diatur: ruang yang meliputi ruang
darat, laut , dan udara, termasuk ruang di
dalam bumi.
3 UU 5 / 1990 tentang Visi dan Misi: Konservasi dan pro-rakyat.
Konservasi Sumber SDA yang diatur: Unsur-unsur hayati di
daya alam hayati alam yang terdiri dari sumber daya alam
nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam
hewani (satwa) yang bersama dengan unsur
non hayati di sekitar nya sedara keseluruhan
membentuk ekosistem.
4 UU No. 23/1977 Visi dan Misi: Konservasi dan pro-rakyat.
tentang Pengelolaan SDA yang diatur : lingkungan hidup yang
Lingkungan hidup meliputi ruang dengan segala isinya.
Sumber: Diolah dari KNLH 2009.
283

Lampiran 8. Pembagian WS.


Wilayah Sungai Jumlah Total Wewenang
a. lintas negara 5 69 Pemerintah
b. lintas provinsi 27 Pemerintah
c. strategi nasional 37 Pemerintah
d. lintas 51 51 Pem Provinsi
kabupaten/kota
e. dalam satu 13 13 Pem Kab/Kota
kabupaten/kota
Total 133
Sumber: (Kodati, dan Syarief, 2008)

Lampiran 9. WS lintas Propinsi (wewenang dan tanggung jawab


pemerintah)
Kode WS Nama Wilayah Sungai Propinsi Nama DAS
A2-12 Cidanau – Ciujung – Banten – DKI Cisadene;
Cidurian – Cisadane – - Jabar Ciliwung;
Ciliwung – Citarum Citarum; Ciujung;
Cidurian
A2-13 Citanduy Jawa barat – Citanduy;
Jawa Tengah Cibereum;
Cimeneng;
Kadalmeteng;
Ciputra Pinggan;
Sapuregel;
kawungaten;
Cikonde;
Cikeumbulan;
Cihaur.
Sumber: (Kodoatie dan Syarief. 2008)
284

Lampiran 10. WS Lintas kabupaten/kota (wewenang dan tanggung jawab


Pemerintah Propinsi)
Kode WS Nama Wilayah Sungai Propinsi Nama DAS
B-21 Cisadea - cibareno Jawa barat Cisadea,
Cibareno,
Cisolok,
Cimandiri
B-22 Ciwulan – Cilaki Jawa barat Ciwulan; Cilaki;
Cidadap;
Cipatujah; Ciawi;
Cimerak; Cikaso;
Cimari; Cilayu
Cimani, Cilango
285

Lampiran 11. Lampiran gambar kondisi air sungai di DKI Jakarta


Kondisi Fisik Sungai-sungai di Jakarta dan Tangerang.

Sungai Cisadane di Tangerang

Sungai Pesanggrahan di Meruya

Sungai Pesranggrahan di Meruya


286

Sungai Angker di Tubagus Angke Kali Baru di Cengkareng

You might also like