Professional Documents
Culture Documents
Ahwan Fanani
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Walisongo
aristofanfanani@yahoo.com
Ashabul Kahfi
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Walisongo
Ashabulkafi93@gmail.com
Abstract
Key words: Walisongo (Nine Islamic Guardians), Javanese history, Islam and
Kingdom, Historical Literature
dalam bukunya Sunan Gunung Jati, tahun 1580. Bersama dengan Pigeaud, De
Antara Fiksi dan Fakta. Namun, karya Graaf (2003) menyusun Kerajaan Islam
mengenai Walisongo belakangan Pertama di Jawa yang didasarkan atas
menekankan historisitas Walisongo, sumber lokal, termasuk Babad dan Serat
seperti karya Agus Sunyoto (2018). Kandha.
Dalam literatur Jawa, terdapat jenis Namun, ada pula yang masih ragu
karya yang berisi kisah mengenai tokoh, dengan sumber-sumber lokal, seperti
peristiwa, dan tempat yang disebut Brandes, yang melihat adanya
dengan Babad. Karya Babad awalnya pencampuran gambaran fiksi pada masa
berkaitan dengan pembukaan tanah dan lampau dengan peristiwa nyata di
wilayah atau sejarah tokoh tertentu. kemudian hari. Ricklefs berpandangan
Karya Babad yang terkenal adalah Babad bahwa naskah-naskah Asia merupakan
Tanah Jawi yang berkisah mengenai asal karya sastra semata (Ricklefs, 1979: 73).
mula penguasa Jawa hingga masa Namun, sumber-sumber lokal tidak
Mataram Islam. Babad Tanah Jawi dapat diabaikan untuk mendapatkan
adalah karya sastra sejarah yang ditulis gambaran mengenai masa lalu Jawa.
dalam bentuk puisi. Usaha penulisannya Perdebatan mengenai mana elemen fakta
dalam bentuk prosa dilakukan oleh dan mana elemen fiksi dalam karya
Ngabehi Kertapraja, yang diterbitkan Babad bisa dijembatani dengan
pertama oleh J.J. Meinsma, dan menempatkan Babad Tanah Jawi sebagai
dialihaksarakan oleh W.L. Olthof. Versi karya sastra yang mengandung informasi
prosa itu direvisi kembali oleh J.J. Ras sejarah. Babad Tanah Jawi adalah induk
(1987). Babad Tanah Jawi yang banyak dari sumber-sumber lokal yang
beredar di pasaran saat ini adalah versi menceritakan secara detail tumbuh dan
hasil alihaksara Olthof menceritakan layunya kekuasaan di Jawa. Babad
kisah Tanah Jawa sejak Nabi Adam memang tidak menyajikan fakta dan
sampai Tahun 1647 Masehi (Olthof, peristiwa dalam sudut pandang reportase,
2009). melainkan dengan sudut pandang
Babad Tanah Jawi sangat sentral kesadaran sejarah yang mitis. Namun
kedudukannya sebagai sumber sejarah kesadaran tersebut tidak lahir dari ruang
lokal mengenai dinamika politik Jawa, kosong, melainkan dalam suatu konteks
meskipun banyak bias cerita yang muncul sejarah dan kebudayaan.
di dalamnya. Babad Tanah Jawi Muatan Babad Tanah Jawi
mengisahkan dinamika politik Jawa dari mengenai Walisongo merupakan
sejak akhir era Majapahit hingga masa informasi berharga tentang bagaimana
Mataram Islam. Meskipun bermuatan sumber lokal melihat masa lalu tokoh
melegitimasi kekuasaan, Babad Tanah Islam dalam pentas sosial-politik. Jika
Jawi menyediakan informasi berharga sebagian sejarawan meragukan validitas
mengenai kehidupan politik Jawa pada Babad, namun dalam sudut pandang
masa lampau. Beberapa sejarawan sastra, karya babad memiliki nilai
memberikan tempat tersendiri bagi Babad penting. Sebagian sejarawan bahkan
Tanah Jawi dan sumber-sumber lokal mempergunakan babad sebagai sumber
untuk penulisan sejarah, seperti H.J. De informasi mumpuni ketimbang sumber-
Graaf dan Th. Pigeaud. De Graaf dalam sumber kolonial (Margana, 2004: 10).
Awal Kebangkitan Mataram (1985) Tulisan ini merupakan upaya
mengakui arti penting Babad Tanah Jawi mengungkap lebih lanjut mengenai posisi
untuk penulisan sejarah Jawa, meski ia Babad Tanah Jawi dalam membeberkan
meragukan kebenaran cerita sebelum kisah mengenai Walisongo. Tulisan ini
tidak dimaksudkan sebagai upaya untuk Rochyatmo (dalam Sedyawati, eds. 2001:
mengungkap fakta Walisongo, melainkan 275), babad berisi tiga unsur, yaitu: unsur
sebagai upaya untuk melihat bagaimana fakta sejarah, unsur fiktif, dan unsur lain.
Babad Tanah Jawi, sebagai karya sastra Umumnya babad pada periode
sejarah, menampilkan figur Walisongo sebelum sastra Jawa modern masih ditulis
dan amanat apa yang ingin disampaikan dalam bentuk tembang macapat. Babad
kepada pembaca melalui figur dikategorikan sebagai salah satu jenis
Walisongo. Tulisan ini menekankan sastra, yaitu karya sastra Jawa yang berisi
kepada kajian sejarah teks dan kajian tentang cerita sejarah. Oleh karena itu,
unsur intrinsik teks, khususnya babad disebut cerita sejarah karena
perwatakan dan amanat, terhadap Babad mengandung unsur fakta, seperti tokoh,
Tanah Jawi versi Olthof. latar belakang peristiwa, dan latar tempat
(Pardi, 1996: 9).
2. Seputar Babad Tanah Jawi Berg berpendapat bahwa babad
Menurut Zoetmulder; Babad secara bukanlah karya dokumentasi atas fakta
kebahasaan berarti tempat yang baru masa lalu sehingga tidak bisa dijadikan
dibuka atau dibersihkan seperti sebagai data sejarah karena banyaknya
membersihkan (membabad) sebidang hal-hal irrasional yang tidak mungkin
hutan. Babad juga berarti dimulainya ada dalam ruang kosmik manusia. Ia
sebuah lakon atau kisah (Zoetmulder dan mengambil posisi skeptis dengan
Robson, 2011). Babad mengacu pada memandang bahwa babad hanya berisi
nama tokoh cerita, nama tempat atau mitos (Sedyawati, 1997: 170). Namun,
daerah dan nama peristiwa. Babad Berg alpa bahwa mitos juga merupakan
Ajisaka, Babad Surapati, Babad Manggir produk budaya yang menggambarkan
adalah sekian judul babad yang alam keyakinan atau kesadaran sejarah
berdasarkan nama tokoh cerita; pada masanya. Pada bagian awal Babad
sedangkan Babad Giyanti, Babad Tanah Jawi, terdapat percampuran unsur
Demak, dan Babad Cirebon berkaitan Islam dan Hindu, yaitu mengenai sejarah
dengan nama tempat atau daerah. Ada berkembangnya manusia. Babad Tanah
pula karya babad yang ditulis dalam Jawi memasukkan Nabi Adam sebagai
konteks peristiwa penting tertentu, Babad manusia pertama, yang mempunyai anak
Pacina dan Babad Bedhahing para tokoh pewayangan dan para dewa,
Ngayogyakarta (Rochyatmo dalam seperti Maha Dewa, Brahma, Wisnu
Sedyawati, eds, 2001: 275). hingga Dewi Sri (Olthof, 2009: 1).
Babad diperkirakan muncul pada Babad dikategorikan sebagai sastra
pemerintahan Kartasura. Urutan cerita sejarah atau sastra bergenre sejarah atau
dalam babad biasanya terdiri atas sejarah yang disastrakan. Penyebutan
pengantar, bagian pendahuluan, isi, dan “sastra sejarah” itu mengisyaratkan
penutup. Bagian pengantar memuat judul, kesesuaian konsep antara “sastra,”
jati diri penulis, tempat penulisan, sebagai satu hasil kreatifitas penciptanya
permintaan maaf penulis dan maksud dan diatur oleh hukum sastra dengan
penulisan. Bagian pendahuluan berisi “sejarah,” sebagai perkembangan
peristiwa yang melatarbelakangi cerita kejadian-kejadian sepanjang masa yang
serta silsilah nenek moyang dari tokoh telah lampau yang memiliki karakteristik
dalam cerita tersebut. Bagian isi memuat kegiatan manusia di masa lampau
inti atau pokok-pokok cerita, dan bagian (Kuntowijoyo, 2004). Jadi, Babad Tanah
penutup berisi keterangan tentang waktu Jawi sebagai sastra sejarah merupakan
cerita itu selesai dikarang. Menurut wujud hasil karya pengarang yang
dipergunakan Babad Tanah Jawi edisi Masehi (Rickelfs, 2001: 5 dan 15)
revisi oleh J.J. Ras yang masih berbahasa sebagai penunjuk keberadaan masyarakat
Jawa, meskipun beraksara Latin, yang muslim. Makam-makam itu menunjukkan
diterbitkan oleh Foris Publication komunitas muslim telah tinggal di ibu
Dosrdrecht Blanda tahun 1987. kota Majapahit.
Kesimpulannya, adalah bahwa
3. Walisongo dalam Babad Tanah Jawi sebelum era Walisongo, Islam sudah
Walisongo adalah sembilan orang berkembang dan menyebar di Tanah
yang dikenal sebagai penyebar Islam Jawa. Islam masuk melalui saluran
pada masa transisi dari kerajaan perdagangan, pernikahan, dan masuk
Majapahit ke Kerajaan Demak. Arti Islamnya bangsawan lokal. Tome Pires,
penting sejarah Walisongo bukan karena pelancong dari Spanyol yang singgah di
mereka sebagai pelopor Islamisasi di Tuban tahun 1512, berpendapat bahwa
Jawa, melainkan karena mereka Islam masuk ke Jawa melalui para
menandai perubahan era politik pedagang, yang diikuti oleh para tokoh
kekuasaan Kabudhan (pra-Islam) agama, dan kemudian dengan masuk
menunju era Kewalen (era Islam). Islamnya penguasa lokal. Para pedagang
Moertono menegaskan bahwa Walisongo itulah yang membangun masjid dan
mendapatkan secara keagamaan dan mendatangkan para tokoh agama dari luar
politik di Jawa setelah runtuhnya (Pires, 1944: 182). Masuknya Islam di
Majapahit pada paruh pertama abad ke- Tanah Jawa terjadi sebelum era
16 (Moertono, 2017: 43). Walisongo, namun tidak ada tokoh yang
Hal tersebut terjadi di jauh setelah tertulis saat itu.
Islam masuk ke Jawa. Islam sudah masuk Para tokoh Walisongo tidak berasal
ke Jawa sejak abad ke-11 Masehi yang dari era yang sama. Maulana Malik
ditandai dengan nisan Fathimah binti Ibrahim, berdasarkan nisannya,
Maimun yang ditemukan di desa Leran meninggal pada tahun 822 H/ 1419
Gresik Jawa Timur. Nisan tersebut Masehi. Ia berasal dari mancanegara dan
bertanggal 8 Rajab 475 Hijriyah (2 menjadi wali pertama dari sembilan wali
Desember 1082 M) atau 495 H (1102 M). (Ricklefs, 2001: 6). Ia dikenal pula
Menurut Guillot dan Kalus, nisan itu dengan sebutan Maulana Maghribi yang
menunjukkan bahwa masyarakat Islam diperkirakan datang di Gresik dari Campa
sudah ada di Jawa pada abad ke-11 pada tahun 1409 M. Sunan Ampel yang
Masehi (Guillot dan Kalus, 2008: 13, 20- diperkirakan wafat tahun 1481 Masehi,
21). Sunan Gunung Jati meninggal pada tahun
Namun, Ricklefs (2001: 4) 1570 M menurut Solichin Salam (1960:
berpendapat bahwa nisan tersebut belum 59).
membuktikan adanya muslim di antara Babad Tanah Jawi memuat kisah
orang lokal karena batu nisan masih mengenai beberapa tokoh Walisongo
diragukan apakah berasal dari Jawa. Ia yang berhubungan dengan Majapahit,
lebih suka mendasarkan munculnya Demak, Pajang, dan Mataram. Babad
masyarakat muslim pada abad ke-14 yang Tanah Jawi merupakan rangkaian cerita
tampak pada makam-makam muslim di dari akhir masa Majapahit hingga masa
Trowulan, yang berdekatan dengan istana Mataram Islam mengenai tokoh-tokoh
Majapahit, menunjukkan tahun Saka yang memiliki hubungan kekerabatan,
1290 (1368-9 Masehi) dan makam- keluarga angkat, guru-murid, dan
makam Troloyo berasal dari rantang persahabatan. Walisanga bukan tokoh
tahun 1298-1533 Saka atau 1376-1611 utama dalam Babad Tanah Jawi,
Ampel menyarankan dia pergi ke bertapa selama dua tahun atas perintah
Barat hingga menemui tempat yang Sunan Bonang. Sunan Bonang muncul
harus dibuka (dibabad). Raden Patah lagi dalam dua kesempatan. Pertama,
menemukan tempat itu di hutan pasca berdirinya masjid Demak. Sunan
Bintara. Kudus yang sedang tafakkur kejatuhan
Dengan demikian, Sunan Ampel bungkusan dari kulit yang berisi
menjadi simpul bagi tokoh-tokoh sajadah dan selendang Rasulullah.
penting kerajaan dan ulama, yaitu Sunan Bonang menyarankan agar
Raden Patah, Raden Husen, Sunan bungkusan itu diundi dengan cara
Giri, dan Sunan Bonang. Sunan Ampel dilempar ke atas dan siapa yang
pula yang menjadi ikatan antara kejatuhan maka dialah yang memiliki.
keturunan Majapahit dengan Akhirnya, bungkusan itu jatuh ke
keturunan Campa atau kaum pangkuan Sunan Lepen, yang menjahit
pendatang. Sunan Ampel menjadi kulit itu menjadi baju Anta Kusuma
legitimasi bagi berdirinya kerajaan dan Kiai Gundil, baju yang
Demak dengan menunjukkan daerah diperuntukkan untuk raja. Kelak
yang berbau harum kepada Raden Senapati mendapatkan baju itu dari
Patah. Sunan Ampel juga mendukung Sunan Kalijaga saat hendak
agar Raden Patah menjadi Raja menaklukkan Madiun.
Majapahit pasca kalahnya Majapahit Kedua, Sunan Bonang dikaitkan
dari Demak. dengan keris Pasopati dan keris
Sengkelat, dua pusaka yang penting. Ia
3.2 Sunan Bonang ingin membuat pisau sunat dan
Sunan Bonang ditampilkan menyerahkan mata tombak kepada Ki
secara lebih netral dalam Babad Tanah Sura. Namun oleh Ki Sura mata
Jawi. Ia digambarkan sebagai teman tombak itu dijadikan dua keris, yang
Santri Giri di Ampel yang kemudian nantinya akan menjadi perlengkapan
menemani Santri Giri menemui Raja Jawa.
ayahnya di Malaka. Keduanya
mendapatkan gelar dari Syekh Wali 3.3 Sunan Giri
Lanang. Santri Giri diberi gelar Prabu Nama Sunan Giri dalam Babad
Set Mata dan Santri Bonang Prabu Tanah Jawi memgacu tiga sosok.
Nyakrakusuma. Tidak dijelaskan pula Pertama adalah Raden Paku, putra dari
bagaimana seorang santri Syekh Wali Lanang, atau disebut
mendapatkan gelar Prabu dari seorang dengan Sunan Giri I. Sunan Giri I ini
agamawan, bukan dari bangsawan. diceritakan masa kelahirannya,
Santri Giri dari jalur ibu masih belajarnya di Ampel, pertemuannya
keturunan dari Penguasa Blambangan, dengan ayahnya di Malaka, dan
namun Syekh Wali Lanang tidak kemampuannya mengusir serangan
dijelaskan asal usulnya, selain tentara Majapahit dengan penanya.
kemampuannya dalam bidang agama Sunan Giri I digambarkan mampu
dan pengobatan. mengembangkan wilayah dan menarik
Sunan Bonang berperan dalam banyak pengikut yang membuat
menyadarkan Jaka Said, anak Arya khawatir Raja Brawijaya. Raja
Teja, Bupati Tuban. Jaka Said yang Brawijaya mengutus Gajah Mada
saat itu menjadi penjudi dan untuk menyerang Giri, namun pasukan
penyamun bertaubat dalam pertemuan Majapahit banyak yang tewas dan lari
mereka di Lasem. Jaka Said lalu akibat pena Sunan Giri yang berubah
umum mengenai pengikut Seh Siti Jenar. Tokoh ada yang membawa pesan
Ki Ageng Pengging justru penganut tertentu. Pesan itu disebut juga amanat
Islam yang menjalankan syariat Nabi yang menjadikankan tokoh memiliki
Muhammad. Ki Ageng Pengging peran jelas dalam rangkaian cerita. Pesan
menyebarkan Islam dan mendirikan melalui tokoh umumnya berkaitan nilai
shalat Jumat di Pengging. moral tertentu yang mencerminkan
Sunan Tembayat hanya dikisahkan pandangan hidup pengarang dan nilai
makamnya yang dikunjungi Sultan kebenaran yang ingin disampaikan
Pajang setelah kegagalannya menyerang pengarang kepada pembaca (Nurgiantoro,
Mataram. Sultan Pajang berkehendak 2002: 321-322). Satu karya bisa
untuk berziarah ke makan Sunan mengandung beberapa pesan moral, baik
Tembayat. Sayangnya, ia tidak bisa yang berdimensi agama maupun kritik
masuk ke makam pagar batunya tidak sosial.
bisa dibuka. Itu menjadi pertanda bahwa Babad Tanah Jawi adalah sastra
masa kekuasaan Sultan akan berakhir. sejarah mengenai para penguasa dan
bagaimana kekuasaan berpindah dari satu
4. Profil dan Peran Walisongo dalam orang ke orang yang lain, sejak era
Babad Tanah Jawi Majapahit sampai Era Mataram Islam
Profil dalam studi sastra menjadi pada tahun 1647. Bakir dan Fawaid
bagian dari kajian intrinsik tokoh dan (2017: 27) menyimpulkan bahwa isi
perwatakan. Watak dan tokoh adalah dua utama Babad Tanah Jawi adalah istana
hal yang terkait erat, namun kedua istilah sentris dan menyangkut kaum feodal. Hal
itu mengandung perbedaan maksud. itu dapat dipahami karena Babad Tanah
Istilah tokoh mengacu kepada pelaku Jawi ditulis oleh kaum bangsawan dan
cerita, sedangkan istilah watak mengacu secara bertahap disempurnakan oleh
kepada pelaku dan kepada sikap, emosi, penulis istana atas perintah Raja-Raja
dan moral pelaku cerita. Perwatakan Mataram.
terkait dengan bagaimana Kisah Babad Tanah Jawi versi
menghubungkan tokoh dengan watak Meinsma yang dipakai dalam kajian ini
yang dimilikinya, sedangkan penokohan dimulai dari asal usul Tanah Jawa,
menyaran kepada bagaimana tokoh Kerajaan-Kerajaan di Pewayangan,
dilukiskan dan dikemukakan Kerajaan di Pagelen, Jepara, Prambanan,
(Nurgiantoro, 2002: 165-167). Koripun, dan dilanjutkan dengan kerajaan
Tokoh menurut perwatakannya Jenggala dan Panjalu, baru diikuti dengan
dibagi menjadi tokoh protagonis dan asal usul kerajaan Majapahit. Kisah
tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah Walisongo masuk dalam babak transisi
tokoh yang menampilkam watak sesuai pergeseran kekuasaan dari Majapahit era
dengan pandangan dan harapan pembaca Kabudhan menuju Kerajaan Demak
sedangkan tokoh antagonis adalah yang Islam yang digantikan oleh Kerajaan
menjadi penyebab konflik serta berposisi Pajang dan Kerajaan Mataram.
berseberangan dengan tokoh protagonis. Walisongo dalam keseluruhan kisah
Watak protagonis itu bisa dimiliki oleh merupakan tokoh tambahan dalam
tokoh utama maupun tokoh tambahan, konteks perubahan kekuasaan dari
demikian pula dengan watak antagonis. Majapahit, ke Demak, dari Demak ke
Namun, ada kalanya tidak mudah untuk Pajang, dan dari Pajang ke Mataram.
menentukan apakah tokoh tertentu masuk Uraian De Graaf tentang awal
dalam kategori protagonis atau antagonis kebangkitan Mataram masa pemerintahan
(Nurgiantoro, 2002: 178-180). Senapati menekankan tokoh Ki Ageng
Sela yang dalam Babad Tanah Jawi Tentara Demak yang dipimpin Raden
diposisikan sebagai jalur silsilah Senapati Patah dan Adipati Terung (Raden Husen).
hingga ke Raja Brawijaya (De Graaf, Sunan Kudus menjadi mentor bagi
2003). Babad Tanah Jawi menampilkan lawan politik Pajang dan Mataram.
Jaka Tingkir dan keturunan Ki Meskipun loyal kepada Demak, sikap
Pamahaman sebagai tokoh utama. Sultan Demak digambarkan lebih
Tidak berarti tokoh tambahan itu condong kepada kepada Sunan Kalijaga
tidak memainkan peran penting di Babad (De Graaf dan Pigeaud, 1985: 109-110).
Tanah Jawi. Sunan Ampel adalah tokoh Ia berhasil dalam mengatur suksesi
yang menyarankan Raden Patah untuk Kerajaan Pajang dengan menempatkan
membuka hutan di Bintara dan kemudian keturunan Raja Demak kembali sebagai
menjadi raja Majapahit. Sunan Giri I dan penguasa (Sunyoto, 2018: 343-345.
Sunan Giri Parapen menjadi penguasan Namun, mengingat Babad Tanah Jawi
Giri Kedaton dan berhadapan dengan menempatkan keturunan Ki Ageng
tentara Majapahit hingga mereka kalah Pengging (Jaka Tingkir) dan keturunan
oleh kesaktian Sunan Giri I. Sunan Bondan Kejawan (Ki Pamahaman dan
Bonang berperan sebagai guru Sunan Senapati) sebagai lokus cerita, maka
Kalijaga dan pemilik pusaka penting, Sunan Kudus otomatis berposisi sebagai
yaitu keris Pasopati dan Keris Sengkelat. tokoh antagonis.
Para Sunan tersebut mayoritas Profil Sunan Kudus dan Sunan
ditampilkan sebagai tokoh protagonis, Kalijaga dipengaruhi oleh peran mereka
kecuali Sunan Kudus. Sunan Kalijaga terhadap tokoh-tokoh utama Babad
diposisikan sebagai tokoh protagonis Tanah Jawi karena karya tersebut tidak
dalam keseluruhan kisah Babad Tanah ditulis seabagai kajian sejarah, melainkan
Jawi, sedangkan Sunan Kudus lebih sebagai legitimasi bagi kekuasaan.
banyak ditampilkan sebagai tokoh Penilaian itu bisa ditinjau kembali
antagonis. Jejak kelam Sunan Kalijaga melalui pesan-pesan yang disampaikan
pada waktu sebagai penjudi dan melalui para tokoh Walisongo.
penyamun tidak diceritakan di Babad Pemahaman mengenai posisi Walisongo
Tanah Jawi. Babad Tanah Jawi memulai itu harus dilihat dari apa saja peran
kisah Sunan Kalijaga dengan pertaubatan Walisongo dalam Babad Tanah Jawi dan
dan pertapaan. bagaimana peran tersebut dikaitkan
Sunan Kudus tidak sepenuhnya dengan sumber dan legitimasi kekuasaan
digambarkan negatif, tetapi dalam dalam kebudayaan Jawa.
konteks penguasa Pajang dan Mataram Sementara itu, peran besar yang
Sunan Kudus menjadi tokoh yang tidak dimainkan oleh para tokoh Walisongo
diharapkan perannya. Sunan Kudus dalam Babad Tanah Jawi tidak lepas dari
adalah sosok yang karirnya cepat tiga aspek, yaitu ramalan, pusaka, dan
menanjak, sebagai penghulu dan sebagai intervensi dalam transisi kekuasaan.
utusan Sultan Demak untuk Peran pertama para tokoh Walisongo
memadamkan bibit perlawanan Ki Ageng adalah ramalan. Ramalan tersebut dalam
Pengging. Peran Sunan Kudus dalam Babad Tanah Jawi muncul sebagai
mengalahkan sisa kekuasaan Majapahit di legitimasi bagi Jaka Tingkir (mas
Kediri (Guillot dan Kalus, 2008: 159) Karebet) untuk menjadi penguasa Pajang,
yang disinggung dalam sejarah tidak pengganti Demak, dan legitimasi bagi
dikemukakan dalam Babad Tanah Jawi. anak keturunan Ki Pamanahan untuk
Sebaliknya, Majapahit digambarkan menjadi penguasa Jawa melalui Wilayah
takluk setelah pengepungan oleh Bala Mataram. Ramalan pertama dikemukakan
oleh Sunan Kalijaga dan Ramalah kedua menjadi guru dari Raden Patah, Raden
dikemukakan oleh Sunan Giri Parapen. Husen, Sunan Giri dan Sunan Bonang
Ramalan menyediakan justifiasi yang berperan dalam berdirinya kerajaan
bagi perubahan sosial di Jawa. Ramalan Demak. Sunan Giri menjadi awal
berperan dalam menyediakan landasan perlawanan terhadap kekuasaan
moral bagi upaya perubahan dan Majapahit dan Sunan Giri Parapen
memberikan pengesahan atas tindakan menjembatani Raden Patah menjadi
tertentu yang diambil untuk melakukan penguasa Demak dengan menghilangkan
perubahan di tengah masyarakat Jawa aura kerajaan sebelumnya.
yang kuat dilandasi visi harmoni. Sunan Kalijaga menjembatani Ki
Ramalan Jayabaya dan Ramalan Pamanahan agat bisa mendapatkan
Ranggawarsita menjadi contoh haknya atas Tanah Mataram pasca
bagaimana ramalan menginspirasi penumpasan Arya Penangsang. Sunan
gerakan sosial dan perlawanan terhadap Kalijaga juga yang melegitimasi
kekuasaan. Ramalan tersebut melandasi pembangunan benteng Mataram oleh
banyak gerakan sosial politik di Jawa, Senapati. Sunan Kalijaga juga menemui
seperti perlawanan Diponegoro terhadap Senapati setelah ia bertemu Ratu Laut
Belanda. Abdul Hamid (Pengeran Selatan yang menunjukkan bahwa
Diponegoro) terinspirasi oleh tanda-tanda legitimasi Ratu Laut Selatan tidak ditolak
masa depan dalam mimpinya bertemu oleh Sunan Kalijaga.
ratu adil dan kejatuhan bintang, yaitu Sunan Kudus berperan dalam
bintang yang pernah ditemui oleh transisi penguasa Pajang dari Hadiwijaya
Senopati (Carey, 2008: 481-dst). ke tangan Bupati Demak. Sayang,
. Kedua, peran tokoh Walisongo intervensi Sunan Kudus itu digambarkan
dalam Babad Tanah Jawi adalah sebagai sebagai tindakan yang tidak dikehendaki
pembuat, pemilik atau pendukung pusaka oleh keturunan Pajang dan calon
yang dipakai oleh para penguasa. Sunan penguasa Mataram.
Giri I memiliki keris Kalam Munyeng Ketiga peran Walisongo itu
yang berhasil mengusir tentara menjadi penting apabila dipahami dari
Mapajahit. Sunan Kalijaga menyimpan bagaimana kekuasaan diperoleh dan
baju Antakusuma buatan Sunan Lepen dipelihara dalam sistem kekuasaan Jawa.
dari kulit pembungkus sajadah dan Hal-hal yang simbolis di atas dalam
selendang Nabi Muhammad yang sistem kekuasaan Jawa memiliki arti
kemudian dipergunakan Senapati. Sunan penting bagi legitimasi kekuasaan.
Kalijaga mengijinkan Ki Ageng Selo Kekuasaan Jawa masa dahulu tidak
untuk menguasai bende Kiai Bicak dari dibangun di atas demokrasi atau pilihan
hasil merampas seorang dalang. Bende rakyat, melainkan melalui legitimasi
Kiai tersebut sering muncul dalam spiritual dan mistik. Dalam tradisi Hindu,
peperangan yang dipimpin oleh Senapati. raja dipandang sebagai perwujudan Dewa
Sunan Bonang memiliki keris Pasopati dan menjadi pusat dunia. Raja memiliki
dan Sengkelat, yang terkenal di kekuatan sebagaimana dewa untuk
masyarakat Jawa. mengatur dunia dengan baik (Soeratman,
Ketiga, peran Walisongo adalah 1989: 4-5).
menjembatani antara satu penguasa ke Pada masa Islam, konsep tersebut
penguasa lainnya. Sunan Ampel dan tidak hilang tetapi mengalami
Sunan Giri digambarkan jelas perannya transformasi karena Islam menolak
sebagai jembatan perpindahan kekuasaan penuhanan terhadap manusia. Raja
dari Majapahit ke Demak. Sunan Ampel bertahta karena wahyu atau kehendak
Tuhan, bukan atas kehendak manusia, Ratu Kali Nyamat atas keberhasilannya
melalui wahyu. Raja mendapatkan tiga membunuh Arya Penangsang dan
wahyu untuk berkuasa, yaitu wahyu menolak hadiah lainnya. Ada berbagai
nubuwah atau wahyu yang mendudukan pusaka yang dikenal di era Mataram,
raja sebagai wakil Tuhan, wahyu seperti bende Kiai Bicak, tombak Kiai
kukumah atau wahyu yang mendudukkan Plered, dan sengkelat. Pusaka dipandang
raja sebagai sumber hukum yang sebagai sumber kesejahteraan dan
berwenang, dan wahyu wilayah atau kekuatan bagi pemiliknya melalui daya
wahyu untuk memberi perlindungan sakti yang dikandungnya. Konsep
kepada rakyatnya (Soeratman, 1989: 4). kekuasaan Jawa menekankan kepada
Wahyu tersebut dipahami sebagai rahmat akuisisi berbagai modal, baik modal
Tuhan yang jatuh kepada orang yang ekonomi, modal sosial, maupun modal
dikehendakinya. Dalam Babad Tanah simbolik untuk menegakkan dan
Jawi, wahyu itu datang melalui mimpi mempertahankan kekuasaan.
atau bintang jatuh. Jaka Tingkir
mendapatkan wahyu melalui mimpi dan
Ki Ageng Butuh melihat bintang jatuh di 5. Simpulan
tempat dimana Jaka Tingkir sedang Kisah Walisongo dalam Babad
beristirahat. Senapati kejatuhan bintang Tanah Jawi merupakan bagian tidak
di dadanya saat tertidur. terpisahkan dari sejarah politik Islam di
Raja harus memiliki kesaktian yang Jawa. Islam masuk ke Jawa sejak abad
menjadi sumber wibawanya. Kesaktian ke-11 Masehi, namun baru pada abad ke-
bisa diperoleh dari tapa brata dan 15 Islam meneguhkan diri sebagai agama
kepemilikan terhadap benda-benda rakyat dan penguasa. Para penyebar Islam
pusaka. Tapa brata adalah perwujudan yang populer dengan sebutan Walisongo
dari konsep religius magis karena seorang muncul pada awal abad ke-15 di masa
raja harus mampu menyelaraskan dirinya transisi kekuasaan dari Majapahit menuju
dengan tatanan kosmik yang lebih luas, kekuasaan Demak.
termasuk dengan penguasa spiritual Babad Tanah Jawi, sebagai karya
(Moertono, 2017: 2-3). Walisongo adalah sastra sejarah, bukan sebuah dokumen
simbol dari penguasa spiritual Islam di historis semata, melainkan sebagai sarana
Tanah Jawa, bersama dengan Ratu Kidul legitimasi bagi kekuasaan. Babad Tanah
yang mewakili kekuatan lokal. Senapati Jawi ditulis sejak masa Mataram untuk
mencari restu dari kedua sumber spiritual menyambungkan penguasa Mataram
tersebut. Legitimasi dari tokoh dengan penguasa Majapahit dan Demak.
Walisongo diperlukan agar kekuasaan Dengan cara tersebut, Dinasti penguasa
raja sah di mata lembaga keagamaan Mataram mendapatkan pengesahan
yang memulai era baru dalam kekuasaan sebagai raja berkat silsilah yang
di Jawa, yaitu era kewalen (era kewalian menghubungkan mereka dengan
atau era Islam). Pengaruh Walisongo penguasa sebelumnya.
cukup kuat sehingga penguasa Islam Tokoh Walisongo dihadirkan
harus mendapatkan perkenan mereka sebagai tokoh tambahan yang
sebelum menaiki tahta (Moertono, 2017: menyediakan legitimasi moral dan
44). spiritual bagi penguasa Mataram. Tokoh
Raja mengembangkan kekuasaan Walisongo ada yang menjadi simpul bagi
melalui penguasaan pusaka. Ki pendukung berdirinya Demak, ada yang
Pamanahan, digambarkan dalam Babad menjadi pendukung moral berdirinya
Tanah Jawi, memilih hadiah pusaka dari Pajang dan Mataram, dan ada pula yang
Daftar Pustaka
Bakir dan Achmad Fawaid. 2017. Margana, S. 2004. Pujangga Jawa Dan
“Kontestasi dan Genealogi Bayang-Bayang Kolonial.
“Kebangkitan” Islam Nusantara: Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kajian Historiografis Babad Tanah Moertono, Soemarsaid. 2017. Negara
Jawi.” Jurnal Islam Nusantara, dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI-
Volume. 01 Nomor. 01 Januari - XIX. Jakarta: Kepustakaan Populer
Juni. Gramedia
Budiman, Amen. 1982. Walisanga Nurgiantoro, Burhan. 2002. Teori
Antara Legenda dan Fakta Sejarah. Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Semarang: Tanjung Sari. Gdjah Mada University.
Burhanudin, Jajat. 1998. Wacana Baru Olthof, W.L. 2009. Babad Tanah Jawi,
Islam, Studia Islamika Indonesian terj. HR. Sumarsono. Yogyakarta:
Journal For Islamic Studies. Vol. 5. Narasi.
No. 2
Pardi dkk. 1996. Sastra Jawa Periode
Carey, Peter. 2008. Thee Power of Akhir Abad XIX-Tahun 1920.
Prophecy: Prince Dipanagara and Jakarta: Pusat Pembinaan dan
The End of an Old Order in Java,
Pengembangan Bahasa
1785-1855. Leiden: KITLV
Pires, Tome. 1944. Suma Oriental.
Day, Antony. 1978. Babad Kandha, London: The Hayklut Society
Babad Kraton and Variation in
Modern Javanese Literature. Poerbatjaraka, Ng. 1952. Kapustakan
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Djawa. Jakarta: Djambatan
Volkenkunde 134, no: 4, Leiden Raffles, Sir Thomas Stamford. 2014. The
De Graaf, H.J. 2003. Awal Kebangkitan History of Java (diindonesiakan
Mataram, Masa Pemerintahan oleh Eko Prasetyoningrum dkk).
Senapati. Jakarta: Putaka Jakarta: PT Buku Seru. Pertama
Grafitipers dan KITLV. kali terbit: 1817. London: John
Murray, Albemarle-Street
Graaf, De dan Th. Pigeaud. 1985.
Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Ras, J.J. 1987. “The Genesis of the Babad
Jakarta: PT Pustaka Grafiti Tanah Jawi: Origin and Function of
the Javanese Court Chronicle.”
Guillot, Claude dan Ludvik Kalus. 2008. Leiden: Bijdragen tot de Taal-,
Inskripsi Islam Tertua di Indonesia Land- en Volkenkunde 143, no: 2/3.
(Diindonesiakan dari Bahasa
Perancis oleh Laddy Lesmana Ras, J.J. 2014. Masyarakat dan
dkk.). Jakarta: Kepustakaan Populer Kesusastraan di Jawa. terj.
Gramedia dan Efeo. Achadiati Ikram, Jakarta: Yayasan
Obor. Ras, J.J. Babad Tanah Djawi.
Kuntowijoyo. 2004. “Sejarah / Sastra.” Dordrecht Holland: Foris
Jurnal Humaniora. Vol. 16 No 1, Publications. 1987.
Universitas Gajah Mada, Februari
Sedyawati, Edy. 2001. Sastra Jawa, Zoetmulder, P.J. & S.O. Robson. 2011.
Suatu Tinjauan Sejarah. Jakarta: Kamus Jawa Kuna Indonesia, terj.
Balai Pustaka. Darusuprapta, Suparti Suprayitna,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Soeratman, Darsiti. 1989. Kehidupan Utama.
Dunia Keraton Surakarta 1830-
1939. Yogyakarta: Penerbit Taman
Siswa.