You are on page 1of 24

ARTIKEL ILMIAH

SANKSI HUKUM TERHADAP NOTARIS YANG MELANGGAR


KEWAJIBAN DAN LARANGAN UNDANG-UNDANG JABATAN
NOTARIS

PROGRAM STUDI (S.2) MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2020
Mata Kuliah : Metode Penelitian Hukum
Dosen : Dr. Ira Alia Maerani, SH., MH
Disusun oleh :

Ahmad Mufti Damara : 21301900102

ii
ABSTRACT
LEGAL SANCTIONS TO NOTARY VIOLATING OBLIGATIONS AND
PROHIBITION UNDER THE LAW ON NOTARY FUNCT ION

Law Number 2 of 2014 on Notary Function (UUJN) governs on Civil and


Administrative sanctions to Notary violating obligations and prohibition as set forth in
Article 16 and 17 of UUJN, however crimi nal sanction is not governed in the UUJN,
therefore the application of criminal sanction itself has not been able to be imposed to a
Notary violating the obligations and prohibitions of UUJN. And there is no arrangement to
the mechanism of civil sanction imposition related to the cancellation of deed in the event of
the authentic deed in the UUJN. Based on the background, the problems arising, namely, first
How is the setting of legal sanctions against Notary violating Obligations and Prohibition of
UUJN and second, what is the mechanism of handing down sanc tion (pursuant to the
procedural law) to the Notary violating obligations and prohibitions UUJN how is the
settlement mechanism of legal sanctions against Notary violating UUJN -P? This study is
qualified as a normative legal research. The source of leg al materials for this study was
obtained from primary, secondary and tertiary legal materials. The results of this thesis are
civil sanction is governed in Article 16 paragraph (9 and 12), Article 41, Article 44 paragraph
(5), Article 48 paragraph (3), Article 49 paragraph (4), Article 50 paragraph (5) and Article
51 paragraph (4) of UUJN. The administrative sanction is governed in Article 7 paragraph
(2), Article 16 paragraph (11 and 13), Article 17 paragraph (2), Article 19 paragraph (4),
Article 32 paragraph (4) Article 37 paragraph (2), Article 54 paragraph (2) and Article 65A
of UUJN. Criminal sanctions are not governed, but a notary may be charged with criminal
sanction pursuant to the provisions of Penal Code, providing that the act of the notary ha s
complied with the formulation of breaches set forth in the UUJN, ethic codes and Penal
Code. Second, the mechanism of application of civil sanction related to the cancellation of
authentic deed into under hand deed should go through civil lawsuit process at general court
lodged by the parties whose names are stipulated in the deed and suffer from damages as the
effect of such deed. The mechanism of application of administrative sanctions to a notary
should be directly imposed by the Supervisory Board, whe re the sanctions are gradually
applied. The mechanism of application of criminal sanction to a notary if proved to commit
the criminal act, the Notary shall be penalized and generally Penal Code can be applied to the
Notary pursuant to the principle of le x spcialist derogate legi generali interpreted in a
contrario manner. Key words: legal sanction, obligation, notary prohibition.

iii
1

BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang

Seperti yang diketahui, pada era globalisasi saat ini, lembaga Notariat

memegang peranan yang penting dalam setiap proses pembangunan, karena

Notaris merupakan suatu jabatan yang menjalankan profesi dan pelayanan

hukum serta memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi para pihak,

terutama dalam hal kelancaran proses pembangunan.

Notaris sebagai pejabat umum, merupakan salah satu organ negara yang

dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberikan pelayanan umum

kepada masyarakat, teristimewa dalam pembuatan akta otentik sebagai alat

bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

keperdataan.1

Secara teoritis, akta otentik adalah surat atau akta yang sejak semula

dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian. Sedangkan secara

dogmatis berdasarkan Pasal 1868 KUHPerd, akta otentik adalah akta yang

bentuknya ditentukan oleh undang-undang dan dibuat oleh atau dihadapan


1
N.G. Yudara, 2006, Notaris dan Permasalahannya (Pokok-Pokok Pemikiran Di Seputar Kedudukan Dan Fungsi
Notaris Serta Akta Notaris Menurut Sistem Hukum Indonesia), Makalah disampaikan dalam rangka Kongres INI
di Jakarta: Majalah Renvoi Nomor 10.34.III, hal. 72.
2

pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta

dibuatnya.2

Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangan serta

kewajibannya harus selalu menjunjung tinggi suatu integritas dan moral

yang dapat dipertanggungjawabkan, karena hasil pekerjaannya dalam

pembuatan suatu akta maupun pemeliharaan protokol Notaris adalah

sangat penting untuk proses pembuktian di dalam persidangan maupun di

luar persidangan, yaitu sebagai alat bukti otentik yang sempurna dan

mengikat, dalam arti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta

tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai

benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat

membuktikan sebaliknya.

Seiring dengan adanya pertanggungjawaban Notaris kepada

masyarakat dalam menjalankan tugasnya, maka haruslah dijamin dengan

adanya suatu pengawasan dan pembinaan oleh pihak lain secara terus

menerus agar tugas dan kewenangan Notaris selalu sesuai dengan kaidah

hukum yang mendasari kewenangannya dan dapat terhindar dari

2
Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, hal.153.
3

penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan yang diberikan oleh

pemerintah dan masyarakat.

Pengawasan dan pembinaan diperlukan agar Notaris dalam

menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana yang diberikan

oleh peraturan dasar yang bersangkutan, senantiasa dilakukan di atas jalur

yang telah ditentukan bukan saja jalur hukum, tetapi juga atas dasar moral

dan etika profesi, dengan tujuan demi terjaminnya perlindungan hukum

dan kepastian hukum bagi masyarakat pengguna jasa Notaris.

Mekanisme pengawasan yang terus menerus terhadap Notaris di

dalam menjalankan tugas dan jabatannya sangat diperlukan, baik untuk

pengawasan yang bersifat preventif 3dan kuratif 4


terhadap pelaksanaan

tugas Notaris. Mekanisme pengawasan tersebut dijalankan atas dasar

Peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris,

berdasarkan Staatblad Tahun 1860 No. 3 mengenai Peraturan Jabatan

3
Preventif: bersifat mencegah (supaya jangan terjadi apa-apa). Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Republik
Indonesia, dalam http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diunduh pada hari jumat tanggal 17 juni 2020.
4
Kuratif: dapat menolong menyembuhkan, mempunyai daya untuk mengobati. Pusat Bahasa, Departemen
Pendidikan Republik Indonesia, dalam http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diunduh pada hari jumat
tanggal 17 juni 2020.
4

Notaris, pelaksanaan tugas pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris

merupakan tugas dan wewenang dari hakim pengawas yang berkedudukan

di Pengadilan Negeri bekerja sama dengan Mahkamah Agung dan

Departemen Kehakiman.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, guna meningkatkan

kualitas dan kuantitas dari Notaris maka dikeluarkanlah suatu peraturan

baru yang berlaku bagi Notaris, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004, Lembar Negara Nomor 117, Tambahan Berita Negara Nomor 4432

tentang Jabatan Notaris (UUJN). Dengan berlakunya UU ini maka

kewenangan Pengadilan Negeri sebagai Pengawas Notaris berakhir dan

kemudian digantikan oleh Lembaga Pengawas yang baru yang disebut

Majelis Pengawas Notaris (MPN) yang dibentuk oleh Departemen Hukum

dan HAM.

Sejak diundangkannya UUJN, pada prinsipnya yang berwenang

untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris, adalah

Menteri yang saat ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

(Menkum HAM). Kemudian kewenangan itu dimandatkan kepada Majelis

Pengawas Notaris (MPN).


5

Majelis Pengawas Notaris sebagaimana yang dimaksud diatas

dibagi secara berjenjang tergantung dengan tugas dan wewenang masing-

masing, yaitu terdiri atas:

1. Majelis Pengawas Daerah (MPD), dibentuk dan berkedudukan di

kabupaten atau kota;

2. Majelis Pengawas Wilayah (MPW), dibentuk dan berkedudukan di

ibukota propinsi;

3. Majelis Pengawas Pusat (MPP), dibentuk dan berkedudukan di ibukota

Negara.5

Majelis Pengawas Notaris, tidak hanya berwenang melakukan

pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris, tapi juga berwenang untuk

menjatuhkan sanksi tertentu terhadap Notaris yang telah terbukti

melakukan pelanggaran hukum terhadap peraturan Jabatan Notaris.6

Pengawasan Notaris dilakukan dengan melibatkan beberapa

unsur yaitu pihak ahli dari unsur akademisi, unsur pemerintah, dan dari

unsur Notaris itu sendiri. Tujuan dibentuknya Majelis Pengawas Notaris di


5
Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 68.

6
Habib Adjie, 2005, Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) sebagai Unifikasi Hukum Pengaturan Notaris,
Renvoi, No. 28, Th. III, hal. 130.
6

tiap kota atau kabupaten dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan

perlindungan hukum secara langsung bagi masyarakat pengguna jasa

Notaris.

Berdasarkan uraian diatas, maka perlu digali lebih dalam lagi

mengenai segala sesuatu yang terkait dengan tujuan dibentuknya Undang-

Undang Jabatan Notaris. Maka berdasarkan latar belakang tersebut,

penulis ingin mengambil judul makalah tentang “ Tujuan dibentuk

Undang – Undang Jabatan Notaris)” sebagai judul penelitian dalam rangka

penulisan makalah ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan sanksi hukum terhadap Notaris yang melanggar kewaji ban dan

larangan UUJN?

2. Bagaimanakah mekanisme penjatuhan sanksi hukum (sesuai hukum acara) terhadap

Notaris yang melanggar kewa jiban dan larangan UUJN?


7

C. Tujuan

1. Untuk mendiskripsikan dan menganalisa secara mendalam mengenai pengaturan sanksi

hukum terhadap Notaris yang melanggar kewaji ban dan larangan UUJN.

2. Untuk mendiskripsikan dan menganalisa secara mendalam mengenai mekanisme

penjatuhan sanksi hukum (sesuai hukum acara) terhadap Notaris yan g melanggar kewaji ban

dan larangan UUJN.

D. Landasan Teoritis

Asas-asas hukum, konsep hukum dan teoriteori hukum dalam landasan teoritis ini yang

digunakan untuk membahas masalah penelitian adalah:

1. Asas Kepastian Hukum

2. Asas Praduga Sah

3. Konsep Perlindungan Hukum

4. Teori Ketaatan Hukum dan Sanksi

5. Teori Kebijakan Hukum Pidana

6. Teori Pembuktian

7. Teori Legislasi

E. Metode Penelitian
8

1. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dalam penelitian ini bersumber dari kepustakaan yang terdiri dari

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan tertier.

BAB II
9

PEMBAHASAN

A. Hakikat Notaris Sebagai Pejabat Umum

Menurut G.H.S. Lumban Tobing wewenang notaris adalah membuat akta otentik

yang bersumber dari Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris yang menyebutkan;

“Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk


membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan
yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin
kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan
dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu
peraturan tidak dikecualikan.”
Dari pengertian Pasal 1 PJN dapat disimpulkan bahwa notaris sebagai
pejabat umum yang satu-satunya berwenang membuat akta otentik dalam bentuk
yang ditentukan oleh undang-undang. Sebagai satu-satunya pejabat umum yang
berwenang membuat akta otentik menimbulkan pertanyaan dikalangan praktisi dan
akademisi hukum tentang notaris adalah satu-satunya pejabat yang berwenang
membuat akta otentik. Faktanya selain notaris juga ada pejabat umum lainnya yang
juga berwenang membuat akta otentik, seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),
Pejabat Lelang. Namun jika diperhatikan baik PPAT ataupun Pejabat Lelang hanya
berwenang membuat akta yang bersifat khusus sesuai dengan apa yang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan tentang PPAT ataupun Pejabat
Lelang. Sedang notaris adalah pejabat umum yang ruang lingkup kewenangannya
lebih luas tidak hanya terbatas membuat suatu akta tertentu saja tetapi juga meliputi
semua bentuk perjanjian pada umumnya sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, (UUJN) terjadi pergeseran tentang definisi Notaris. Pasal 1 UUJN
10

menyebutkan bahwa notaris adalah pejabat umum yan berwenang untuk membuat
akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
ini. Sedangkan kewenangan lainnya tersebut dijelaskan dalam Pasal 15 ayat (2)
UUJN yang meliputi;
a. Mengesahkan tandatangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersankutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan foto kopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. Membuat akta yang bekaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat akta risalah lelang.
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahan terhadap UUJN menyebutkan bahwa notaris adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-
undang lainnya. Definisi notaris dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 2
Tahun 2014 sedikit mengalami perluasan makna terutama terkait dengan kewenanan
notaris yang tidak hanya berdasarkan UUJN akan tetapi juga meliputi kewenangan
berdasarkan undang-undang lainnya. Misalnya Undang-Undang No. 4 tahun 1996
tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas serta perundang-undang lainnya
Terkait dengan pengertian akta otentik dapat dilihat dari ketentuan Pasal
1868 KUH Perdata. Yang dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta yg di
dalam bentuk yg ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa ditempat dimana akta itu dibuat. Suatu akta
adalah otentik bukan karena penetapan undang-undang, akan tetapi dibuat oleh atau
11

dihadapan seorang pejabat umum. Artinya jika suatu akta notaris dibuat dalam
bentuk yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJN jo Pasal 1868
KUHPerdata tidak bisa dikatakan sebagai akta otentik. Implikasi hukumnya tidak
hanya terhadap akta yang dibuat oleh notaris akan tetapi juga terhadap jabatan
notaris. Terhadap akta yang dibuat oleh notaris bisa menyebabkan akta tersebut
terdegradasi menjadi akta di bawah tangan. Sedang terhadap jabatan notaris dapat
dimintakan pertanggungjawaban tidak hanya secara administrasi akan tetapii juga
pidana dan perdata.

B. Kewenangan MPD bersifat Administratif

Istilah Notaris dapat dijumpai dalam berbagai norma atau pendapat ahli.
Notaris disebut sebagai pejabat umum. Pejabat Umum merupakan terjemahan dari
istilah openbare amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris
(PJN) dan Pasal 1868 KUHPdt. Berdasarkan pengertian tersebut di atas, bahwa
notaris berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki para pihak atau menurut
aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta autentik. Pembuatan akta tersebut
harus berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan prosedur pembuatan akta
notaris, sehingga Jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum tidak perlu lagi diberi
sebutan lain yang berkaitan dengan kewenangan notaris. Jabatan notaris disebutkan
dalam Pasal 1 UU Jabatan Notaris (selanjutnya UUJN) yang menyatakan bahwa:
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta
autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh
suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan
dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan
memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta
itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat atau orang lain. Kata notaris berasal dari kata "nota literaria" yaitu tanda
tulisan atau karakter yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan
12

ungkapan kalimat yang disampaikan nara sumber. Tanda atau karakter yang
dimaksud adalah tanda yang dipakai dalam penulisan cepat (stenografie).5 Pada
awalnya jabatan notaris hakikatnya adalah sebagai pejabat umum (private notary)
yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat akan
alat bukti autentik yang memberikan kepastian hubungan hukum keperdataan. Jadi,
sepanjang alat bukti autentik tetap diperlukan oleh sistem hukum negara maka
jabatan notaris akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat.

Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat


akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan
oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk
dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan
aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang
pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.

Menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. M.01-
HT.03.01 Tahun 2006, tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan dan
Pemindahan, dan Pemberhentian Notaris, dalam Pasal 1 ayat (1), yang dimaksud
dengan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik
dan kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris (UUJN). Notaris adalah pejabat umum maksudnya adalah seseorang yang
diangkat, diberi wewenang dan kewajiban oleh negara untuk melayani publik dalam
hal tertentu. Hal ini menunjukkan peran negara yang menentukan posisi atau
eksistensi notaris. Tanpa campur tangan negara, tidak akan pernah ada norma
yuridis yang memberikan otoritas pada notaris. Notaris merupakan pejabat publik
yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, guna
memberi perlindungan dan jaminan hukum demi tercapainya kepastian hukum
dalam masyarakat. Pejabat umum adalah orang yang menjalankan sebagian fungsi
publik negara, yang khususnya di bidang hukum perdata. Bahwa untuk membuat
13

akta autentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai “pejabat umum”.


Berdasarkan pengertian-pengertian Notaris diatas ada hal penting yang tersirat, yaitu
ketentuan dalam permulaan pasal tersebut, bahwa Notaris adalah pejabat umum
dimana kewenangannya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta-akta
autentik, jadi Notaris merupakan pejabat umum sebagaimana yang dimaksud pada
Pasal 1868 KUHPerdata. Pengertian Notaris Menurut pengertian Undang-Undang
No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (sudah diubah dengan Undang-undang
baru, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris)
yang dalam Pasal 1 UU ini disebutkan pengertian Notaris adalah pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Dalam Penjelasan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris disebutkan, bahwa Negara
Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum bagi setiap warga negara.

Untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum dibutuhkan


alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai perbuatan, perjanjian, penetapan,
dan peristiwa hukum yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Notaris sebagai
pejabat umum yang menjalankan profesi dalam memberikan jasa hukum kepada
masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya
kepastian hukum. Jaminan perlindungan dan jaminan tercapainya kepastian hukum
terhadap pelaksanaan tugas Notaris telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Namun, beberapa ketentuan dalam Undang-
Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan
kebutuhan masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan, yang juga dimaksudkan
untuk lebih menegaskan dan memantapkan tugas, fungsi, dan kewenangan Notaris
14

sebagai pejabat yang menjalankan pelayanan publik, sekaligus sinkronisasi dengan


undang-undang lain. Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(sudah diubah dengan Undang-undang baru, tetapi syarat ini tidak mengalami
perubahan) adalah:

1) Warga negara Indonesia;

2) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

3) Berumur paling sedikit 27 tahun;

4) Sehat jasmani dan rohani;

5) Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;

6) Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan


Notaris dalam waktu 12 bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa
sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua
kenotariatan; dan

7) Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau


tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk
dirangkap dengan jabatan Notaris.

Notaris seperti yang dikenal di zaman “Republik der Verenigde


Nederlanden” mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan
beradanya “Oost Ind. Compagnie” di Indonesia

Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan


kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris. ( Oleh
karena yang diawasi adalah Notaris maka disebut juga sebagai Majelis Pengawas
Notaris ). Badan ini dibentuk oleh Menteri guna mendelegasikan kewajibannya
untuk mengawasi (sekaligus membina) Notaris yang meliputi perilaku dan
15

pelaksanaan jabatan Notaris (lihat pasal 67 UUJN juncto pasal 1 ayat 1 Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10
Tahun 2004).
Dalam melaksanakan tugas kewajibannya Badan tersebut secara fungsional
dibagi menjadi 3 bagian secara hirarki sesuai dengan pembagian suatu wilayah
administratif ( Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat ) yaitu : Majelis Pengawas
Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat. (Pasal 68 UU JN
). Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya Majelis Pengawas Daerah bisa
mengawasi beberapa daerah kabupaten/kota dalam satu propinsi.
Terkait dengan kewenangan Majelis Pengawas Daerah (MPD) diatur dalam Pasal 27

ayat (2) huruf a dan Pasal 70 UU No. 30 tahun 2004. Pasal 27 ayat (2) huruf a

mengatur tentang wewenang MPD memberikan persetujuan cuti kepada notaris yang

jangka waktu cuti tidak lebih dari 6 (enam) bulan. Permohonan cuti notaris harus

disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum cuti dilaksanakan, kecuali

ada alasan lain yang sah.7 MPD bisa menolak permohanan cuti notaris jika syarat-

syarat yang ditentukan undang-undang tidak terpenuhi.8

Penolakan permohonan cuti notaris oleh MPD dapat diajukan keberatan


kepada Majelis Pengawas Wilayah (MPW), jika MPW juga menolak permohonan
cuti notaris dapat diajukan keberatan kepada Majelis Pengawas Pusat (MPP).
Disamping kewenangan dalam Pasal 27 UUJN, MPD juga berwenang dalam
7
Lihat Pasal 20 Permenkumham No. 25 tahun 2014

8
Lihat Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 30 tahun 2004 menyebutkan bahwa surat keterangan cuti
paling sedikit memuat:

a. Nama notaris
b. Tanggal mulai dan berakhirnya cuti
c. Nama notaris pengganti disertai dokumen yang mendukung Notaris Pengganti tersebut sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan
16

hal;
a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode
etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris
b. Melakukan pemeriksaan terhadap protocol notaris secara berkala 1 (satu) tahun
atau setiap waktu yang dianggap perlu;
c. Memberikan izin cuti untuk jangka waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
d. Menetapkan Notaris Pengganti;
e. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima
Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
f. Menunjuk notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol
Notaris yang diangkat sebagai Pejabat Negara
g. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode
Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang;
h. Membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f dan huruf g kepada Majelis Pengawas
Wilayah.
Mencermati wewenang MPD tersebut dapat disimpulkan bahwa
Kewenangan pengawasan oleh MPD bukan kewenangan yang bersifat mandiri.
MPD sebagai perpanjangan tangan dari Menteri Hukum dan HAM. Hasil
pemeriksaan yang dilakukan MPD terhadap Notaris berupa rekomendasi kepada
MPW, dan MPW akan meneruskan kepada MPP. Pelaksanaan penjatuhan sanksi
bagi notaris tetap ada pada Menteri Hukum dan HAM sebagai pejabat yang
mengangkat dan memberhentikan notaris jika terbukti melakukan pelanggaran-
pelanggaran administrasi dalam UUJN.
17

BAB III
Penutup
A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa:

1. Pengaturan sanksi hukum terhadap Notaris yang melanggar kewajiban dan

larangan dalam UUJN adalah :

a. Sanksi perdata diatur dalam Pasal 16 ayat (9 dan 12), Pasal 41, Pasal 44 ayat (5),

Pasal 48 ayat (3), Pasal 49 ayat (4), Pasal 50 ayat (5) dan Pasal 51 ayat (4) yaitu akta

autentik terdegradasi menjadi akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi

pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan

bunga kepada Notaris, namun tidak mengatur tentang mekanisme pembatalan akte

autentik yang terdegradasi menjadi akte dibawah tangan melalui gugatan di

pengadilan.

b. Sanksi adminstratif diatur dalam Pasal 7 ayat (2), Pasal 16 ayat (11 dan 13) , Pasal

17 ayat (2), Pasal 19 ayat (4), Pasal 32 ayat (4), Pasal 37 ayat (2), Pasal 54 ayat (2)

dan Pasal 65A UUJN yaitu berupa Peringatan tertulis, Pemberhentian sementara,

Pemberhentian dengan hormat dan Pemberhentian dengan tidak hormat.


18

c. Sanksi pidana tidak diatur dalam UUJN, namun terhadap Notaris dapat dikenakan

sanksi pidana berdasarkan ketentuan yang ada dalam KUHP sepanjang tindakan

Notaris telah memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UUJN dan kode

etik jabatan notaris, juga harus memenuhi rumusan dalam KUHP.

2. Mekanisme penjatuhan sanksi hukum (sesuai hukum acara) terhadap Notaris yang

melanggar kewajiban dan larangan dalam UUJN yaitu:

a. Mekanisme penjatuhan sanksi perdata terkait degradasi kekuatan pembuktian akta

autentik menjadi berkekuatan sebagai akta dibawah tangan harus dengan pembuktian

melalui proses gugatan perdata di pengadilan umum yang diajukan oleh para pihak

yang namanya tersebut dalam akta dan menderita kerugian sebagai akibat dari akta

tersebut. Pihak penggugat wajib membuktikan aspek lahiriah, formal dan materiil

yang di langgar oleh Notaris. Jika terbukti maka Notaris dapat dibebani penggantian

biaya, ganti rugi dan bunga. Hal ini dimaksudkan penilaian akta autentik yang

mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan tidak dari satu pihak

saja, tetapi harus dilakukan oleh atau melalui dan dibuktikan di pengadilan.

b. Mekanisme penjatuhan sanksi administrasi terhadap Notaris dilakukan secara

langsung oleh instansi yang diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut

yaitu Majelis Pengawas, dimana proses penjatuhan sanksi dilakukan secara gradual

(berjenjang) dengan memperhatikan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan

oleh Notaris.
19

c. Mekanisme penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris jika terbukti melakukan

tindak pidana, maka Notaris wajib dihukum dan KUHP secara umum dapat

diterapkan terhadap Notaris tersebut sesuai dengan asas lex specialis derogate legi

generali yang ditafsirkan secara a contrario yaitu sepanjang tidak diatur pengaturan

mengenai sanksi pidana dalam UUJN secara khusus maka akan berlaku ketentuan

sanksi pidana secara umum (KUHP). Adapun mekanisme/ prosedur penjatuhan

sanksi pidana adalah para pihak yang dirugikan dapat mengajukan laporan/pengaduan

kepada polisi terkait pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Notaris, bila terbukti

maka terhadap Notaris dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang amar putusannya

menghukum Notaris untuk menjalani pidana tertentu.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan terkait penelitian ini adalah:

1. Agar pemerintah dan DPR merumuskan kembali pengaturan sanksi hukum


terhadap Notaris yang melanggar kewajiban dan larangan UUJN yaitu dalam hal:

a. Perlunya perumusan tentang penjatuhan sanksi perdata khususnya mekanisme


pembatalan akte autentik menjadi akta dibawah tangan melalui proses gugatan
perdata ke pengadilan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan kemungkinan
timbulnya interpretasi bahwa pembuktian terhadap akta autentik yang terdegradasi
kekuatan pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan dapat dilakukan secara
sepihak tanpa harus melalui proses gugatan ke pengadilan. Oleh karena itu sebaiknya
20

ketentuan dalam Pasal 60 Peraturan Jabatan Notaris yang termuat dalam Reglement
op Het Notaris Ambt in Indonesia (Stbl. 1860:3) khususnya mengenai mekanisme
pembatalan akta autentik menjadi akta dibawah tangan diberlakukan kembali dalam
UUJN. Hal ini dikarenakan ketentuan tersebut masih relevan dan bahkan diperlukan
demi kepastian hukum bagi Notaris dan para pihak dalam akta.

b. Perlunya perumusan tentang sanksi pidana dalam UUJN, agar ke depan profesi
notaris lebih baik dan lebih disiplin serta terciptanya kepastian hukum terhadap
masyarakat dan Notaris itu sendiri, dimana penjatuhan sanksi pidana merupakan
upaya terakhir yang pamungkas untuk memberikan efek jera.

2. Sebaiknya Notaris dapat lebih menjaga profesionalismenya, lebih berhati-hati dan


teliti serta memiliki itikad baik dalam pembuatan akta sehingga terhindar dari halhal
yang berkaitan dengan sanksi hukum dan Notaris tetap dalam jalurnya melayani
masyarakat dalam pembuatan akta berlandaskan pada moral dan etika tanpa
melanggar peraturan profesi yang berlaku.
21

DAFTAR PUSTAKA

i. Buku
N.G. Yudara, 2006, Notaris dan Permasalahannya (Pokok-Pokok Pemikiran
Di Seputar Kedudukan Dan Fungsi Notaris Serta Akta Notaris Menurut
Sistem Hukum Indonesia), Makalah disampaikan dalam rangka Kongres INI
di Jakarta: Majalah Renvoi Nomor 10.34.III.
Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:
Liberty.
Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 68.

Habib Adjie, 2005, Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) sebagai Unifikasi


Hukum Pengaturan Notaris, Renvoi, No. 28, Th. III.

ii. INTERNET
Preventif: bersifat mencegah (supaya jangan terjadi apa-apa). Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan Republik Indonesia, dalam
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diunduh pada hari jumat
tanggal 17 juni 2020.
Kuratif: dapat menolong menyembuhkan, mempunyai daya untuk mengobati.
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Republik Indonesia, dalam
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diunduh pada hari jumat
tanggal 17 juni 2020.

You might also like