You are on page 1of 10

BENTUK MATA PENCAHARIAN MASYARAKAT PENDUKUNG

SITUS GUNUNG SROBU


(Prehistory Livelihood in the Srobu Site)

Erlin Novita Idje Djami


Balai Arkeologi Jayapura, Jalan Isele, Kampung Waena, Jayapura 99358
Telepon (0967) 572467, Faksimile (0967) 572467, e-mail: novita_idje@yahoo.co.id

INFO ARTIKEL Abstract

Research on the form of the people’s livelihood support Gunung Srobu sites is very important. This
Histori artikel: research aims to determine the extent of the development of human knowledge and ability to face
Diterima 8 April 2015 the challenges of the natural environment to maintain the existence of the community, as well as
Direvisi 27 April 2015 expertise in generating technology equipment. Since the public support for culture Gunung Srobu
Site does not exist any longer, so the study of forms of livelihood can be done through cultural
Disetujui 4 Oktober 2015
material remnants preserved their activities. This study uses a qualitative approach to the form
of inductive reasoning, while strategies are applied through literature and field observations. All
Keywords: the data collected in this study is then processed by indentifying by type and analyzed qualitative
description that aims to know the meaning or interpret the empirical reality that the objects contained
livelihood, in the study. The results of this study are in the form of various types of artifacts such as pottery,
material Cultural, stone tools, tool shells, animal bone remains, and shells litter. Culture material is closely related
Gunung Srobu Site to the public livelihood support form Gunung Srobu site namely horticulture, hunting, gathering,
fishing, farming, and industry.

Kata kunci: Abstrak


mata pencaharian,
materi budaya, Penelitian tentang bentuk matapencaharian masyarakat pendukung situs Gunung Srobu sangat
situs Gunung Srobu penting dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan pengetahuan manusia
dan kemampuannya dalam menghadapi tantangan lingkungan alam demi mempertahankan
eksistensi komunitasnya, serta kemahirannya dalam menghasilkan teknologi peralatan hidup.
Karena masyarakat pendukung budaya situs Gunung Srobu sudah tidak ada, maka kajian tentang
bentuk matapencahariannya dapat dilakukan melalui kajian terhadap materi budaya sisa-sisa
aktivitasnya yang terawetkan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan
bentuk penalaran induktif, sedangkan strategi pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka
dan observasi di lapangan. Semua data yang berhasil dihimpun dalam penelitian ini kemudian
diolah dengan mengidentifikasi berdasarkan jenisnya dan kemudian dianalisis deskriptif kualitatif
untuk memahami makna atau menafsirkan realitas empiris yang terkandung pada objek-objek
kajian. Penelitian ini berhasil menemukan beragam jenis artefak seperti tembikar, alat batu, alat
kerang, sisa tulang binatang, dan sampah kerang. Materi-materi budaya tersebut berkaitan erat
dengan bentuk matapencaharian masyarakat pendukung situs Gunung Srobu yaitu bercocoktanam,
berburu, meramu, nelayan, beternak, dan industri.

PENDAHULUAN Srobu juga merupakan fenomena yang


Kehidupan masa prasejarah memang menarik untuk diungkap.
telah berlalu, namun demikian gambaran Situs Gunung Srobu merupakan
tentang kehidupan manusia di masa itu, temuan baru yang diketahui
masih dapat diketahui melalui kajian keberadaannya tahun 2014. Situs ini
terhadap materi-materi budaya yang terletak di sebuah tanjung, kawasan
terawetkan dan terwariskan hingga kini. Teluk Youtefa, Kelurahan Abe Pantai,
Salah satu kajian yang cukup menarik Distrik Abepura, Kota Jayapura.
tentang kehidupan manusia masa Penelitian arkeologi di situs tersebut
lampau terkait bentuk matapencaharian telah berhasil menemukan sejumlah
hidupnya. Karena itu, bentuk-bentuk materi budaya yang cukup beragam
matapencaharian pada masyarakat jenisnya, seperti gerabah, alat serpih,
pendukung budaya di Situs Gunung kapak batu, kapak lonjong, batu

Bentuk
BentukMata
MataPencaharian
PencaharianMasyarakat
MasyarakatPendukung
PendukungSitus
SitusGunung Srobu,Erlin
GunungSrobu, ErlinNovita
NovitaIdje
IdjeDjami
Djami 63
asah, batu pipisan, gandik, alat pernafasan, air untuk minum dan
kerang, sisa tulang binatang, sisa keperluan sehari-hari, tumbuhan dan
tulang manusia, sampah kerang, arang hewan untuk makan serta lahan
serta fondasi bangunan dan tinggalan untuk tempat tinggal (Vita, 2004:
budaya tradisi megalitik (Tim Peneliti, 25-26). Demikian pula kehidupan
2014: 8-39). Temuan-temuan tersebut manusia di muka bumi ini juga berada
ada yang masih utuh, sebagian besar dalam suatu kerangka budaya tertentu.
berbentuk fragmentaris. Keberadaan Eksistensi manusia juga dituntut
data primer maupun sumber informasi dapat hidup layak dan manusiawi.
penting lainnya yang ditemukan dapat Untuk itu, manusia telah mempelajari
menggambarkan kembali berbagai bagaimana memanfaatkan sumber
aspek kehidupan manusia pendukung daya alam yang ada di muka bumi, dan
situs Gunung Srobu di masa lampau. dengan kebudayaannya juga mampu
Salah satu bentuk aktivitas manusia menciptakan suatu bentuk lingkungan
masa lampau di Situs Gunung Srobu tertentu (Purwanto, 2008: 164-166),
yang menarik untuk dikaji lebih jauh serta mampu mengadaptasikan diri
adalah tentang bentuk matapencaharian dengan lingkungannya sehingga ia tetap
hidup masyarakat pendukungnya. mampu melangsungkan kehidupannya
Untuk mengungkapkan kehidupan (Tax, 1953: 243 dalam Purwanto,
masa lampau dilakukan melalui kajian 2008: 166). Sehubungan dengan
terhadap temuan-temuan materi pernyataan-pernyataan tersebut di
budaya yang terawetkan, khususnya atas, bagaimana dengan bentuk
berkaitan dengan bentuk aktivitas dalam matapencaharian pada masyarakat
suatu sistem matapencaharian. Dari pendukung budaya situs Gunung Srobu
penelitian ini terungkap bentuk-bentuk dalam usaha mempertahankan hidup
matapencaharian hidup masyarakat dan kehidupannya.
pendukung budaya situs Gunung Srobu, Penelitian di situs Gunung Srobu
dan bahkan diketahui pula jenis-jenis sudah pernah dilakukan. Dalam
tinggalan budayanya. Kajian yang penelitian sebelumnya hanya terbatas
juga tidak kalah pentingnya dilakukan pada pengungkapkan berbagai bentuk
berkaitan dengan konteks lingkungan materi budaya (fragmen gerabah hias
sekitar situs sebagai faktor utama dan polos, cangkang moluska, alat
yang mempengaruhi, baik alam-pikir batu berupa alat serpih, kapak batu,
maupun bentuk pola tingkah laku fragmen kapak lonjong, gandik, pipisan
manusianya. alat kerang, struktur lantai rumah, batu
Berbicara tentang matapencaharian, inti, batu asah, bangunan megalitik dan
tentunya tidak terlepas dari peran fragmen tulang) dan fungsi-fungsinya
manusia sebagai makhluk hidup yang (Tim Peneliti, 2014: 8-39). Sedangkan
berbudaya dan memiliki kebutuhan penelitian yang dilakukan di Situs
bersifat hayati dan manusiawi. Gunung Srobu dalam tulisan ini akan
Manusia hidup dari unsur-unsur mengungkapkan tentang bentuk-
lingkungannya, misalnya udara untuk bentuk matapencaharian masyarakat

64 Jurnal Arkeologi Papua, Volume 7, No.2, November 2015: 63-72


pendukungnya, berdasarkan temuan sistem matapencaharian hidup manusia
materi budaya dan lingkungan pendukungnya. Temuan materi-materi
sekitarnya. budaya yang kehadiran sebagai bukti
aktivitas manusia masa lampau dalam
METODE PENELITIAN usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya,
Penelitian ini menggunakan berupa artefak gerabah, alat-alat batu,
metode berpendekatan kualitatif alat kerang, sisa tulang binatang, dan
dengan penalaran induktif. Metode sampah kerang,
ini mengemukakan data dari kasus- Selain tinggalan budaya, bentang
kasus diperoleh di lapangan kemudian alam juga merupakan data penting
dianalisis atau dibahas secara yang berguna untuk menggambarkan,
mendalam terkait dengan berbagai menjelaskan, serta memahami tingkah
aspek yang melingkupinya sehingga laku maupun interaksi manusia dengan
dapat ditarik beberapa kesimpulan lingkungannya. Misalnya, bagaimana
secara umum. Sedangkan strategi manusia berkreasi dalam menghadapi
dalam penelitian ini dilakukan melalui tantangan alam serta lingkungannya
beberapa tahap, yaitu: dan keluwesannya dalam beradaptasi
1. Tahap pengumpulan data melalui telah berhasil menaklukkan lingkungan
studi pustaka, dengan melakukan serta mampu memanfaatkannya untuk
kajian terhadap beberapa pustaka memenuhi segala kebutuhan hidupnya
yang dianggap relevan dengan objek (Prasetyo dkk., 2004 :21). Hal ini tidak
kajian, dan observasi langsung di terlepas dari keadaan lingkungan
lapangan terhadap objek kajian hidup manusia yang juga ditempati
maupun lingkungan sekitarnya. benda-benda lain, baik yang bersifat
2. Tahap pengolahan data diawali hidup maupun tak hidup (Soemarwoto,
dengan melakukan identifikasi data 2004: 48-49) yang kesemuanya saling
temuan lapangan yang berhubungan pengaruh-mempengaruhi. Manusia
dengan matapencaharian. dalam hubungan dengan alam sekitar
Kemudian data hasil identifikasi
tidak hanya saling ketergantungan
tersebut dianalisis secara deskriptif
semata, melainkan terwujud dalam
kualitatif yang bertujuan untuk
bentuk hubungan yang saling
memahami makna atau menafsirkan
mempengaruhi dan mampu merubah
realitas empiris yang terkandung
lingkungan tersebut yang dijembatani
pada objek-objek kajian (Gede,
oleh pola-pola kebudayaan yang
2013:183). Dalam tahap analisis ini
meliputi analisis artefak dan analsis dimilikinya (Purwanto, 2008: 166).
lingkungan sekitar situs. Dalam kaitan dengan hal tersebut di
atas, maka bagaimana dengan tinggalan
HASIL DAN PEMBAHASAN budaya masa lampau masyarakat
Eksplorasi arkeologi di situs Gunung pendukung budaya situs Gunung
Srobu telah menemukan sejumlah Srobu dapat mengungkapkan tentang
besar materi budaya masa lampau yang bentuk-bentuk matapencahariannya.
diindikasikan berhubungan dengan Untuk itu perlu dicermati terlebih

Bentuk Mata Pencaharian Masyarakat Pendukung Situs Gunung Srobu, Erlin Novita Idje Djami 65
dahulu bahwa dalam berbagai macam yang merupakan data penting yang
aktivitas manusia zaman dahulu yang mendukung untuk mengungkapkan
sebagian besar berhubungan dengan bentuk-bentuk mata pencaharian
pemenuhan kebutuhan hidupnya akan masyarakat pendukung situs Gunung
makanan, dan bahkan dapat digolong- Srobu, yang mana lingkungan alam
golongkan ke dalam suatu perangkat merupakan faktor utama pendorong
sistem matapencaharian. Para ahli terbentuknya suatu matapencaharian.
antropologi membagi aktivitas ke dalam Dari perspektif arkeologi, artefak
tahapan-tahapan yang mendasar dapat menunjukkan suatu bentuk
bagi sistem ini, antara lain: berburu matapencaharaian. Demikian halnya
dan meramu, beternak, perladangan, temuan-temuan artefak di situs Gunung
nelayan, pertanian, dan industri. Pada Srobu dapat menggambarkan bahwa
umumnya, setiap bentuk tahapan ada beberapa bentuk matapencaharian
tersebut menandakan suatu bentuk masyarakat pendukungnya. Misalnya,
masyarakat. Meskipun demikian, ada temuan artefak gerabah yang sudah
kemungkinan suatu masyarakat dapat dikenal manusia sejak munculnya
melakukan dua atau tiga tahap aktivitas budaya bercocoktanam di daerah
tersebut sekaligus (NN, 2003: 31). pedalaman dan budaya mencari
Dalam mengungkapkan bentuk hasil laut di daerah pantai (Gardner,
matapencaharian masyarakat 1978: 142, Weinhold, 1983: 12, dalam
pendukung situs Gunung Srobu dapat Sriwigati, 2007: 25). Kehadiran artefak
dilakukan melalui kajian terhadap sisa- gerabah juga menunjukkan suatu
sisa kehidupannya yang terawetkan. bentuk teknologi yang dihasilkan pada
Dalam kajian ini akan diawali dengan zaman neolitik dan terus berkembang
mengidentifikasi bentuk-bentuk materi hingga kini. Pernyataan ini sangat
budaya yang dapat dikaitkan dengan mendukung keberadaan situs Gunung
bentuk matapencahariannya. Bentuk Srobu sebagai situs yang berciri budaya
materi budaya dapat berupa artefak neolitik, dan bahkan berdasarkan hasil
tembikar, kapak batu, alat serpih, kapak pertanggalan Radiocarbon Dating (C14)
lonjong, gandik, pipisan, alat batu menunjukkan bahwa situs ini berumur
penokok, alat batu, alat kerang, sisa 2280 + 150 B.P yaitu masuk ke dalam
tulang binatang, dan sampah kerang kurun waktu neolitik akhir (Tim Peneliti,
yang keberadaannya melingkupi 2014: 50).
seluruh permukaan situs dan telah Sehubungan dengan hal tersebut
membukit. dapat dikatakan bahwa manusia
Kajian pada keberadaan materi- pendukung budaya situs Gunung
materi budaya tersebut dipandang Srobu juga sudah melakukan aktivitas
mampu menjelaskan tentang bentuk- bercocoktanam maupun mencari hasil
bentuk matapencaharian masyarakat laut, hal ini terlihat dari bentuk-bentuk
pendukung situs Gunung Srobu. Di tinggalan budayanya dan juga didukung
samping itu, juga dilakukan kajian pada pula oleh lingkungan alam sekitarnya,
potensi lingkungan alam sekitarnya dan mencari hasil laut merupakan

66 Jurnal Arkeologi Papua, Volume 7, No.2, November 2015: 63-72


matapencaharian utamanya, hal ini makanan. Penggunaan wadah ini, juga
didukung oleh posisi situs yang berada ditunjang peralatan lainnya, seperti alat
di pesisir pantai dan di atas sebuah batu. Secara umum, wadah gerabah
tanjung. terkait erat dengan semua jenis aktivitas
Sebelum diuraikan lebih jauh tentang matapencaharian, karena didukung
bentuk-bentuk matapencaharian oleh fungsi atau kegunaannya sebagai
masyarakat pendukung situs Gunung alat menyimpan makanan.
Srobu, terlebih dahulu akan dibahas Artefak alat batu yang ditemukan
tentang materi-materi budaya berhubungan dengan aktivitas
yang ditemukan di situs tersebut. manusia di situs Gunung Srobu. Alat
Indikasi terkait dengan aktivitas batu sebagaimana gerabah juga
matapencaharian, yaitu seperti menggambarkan berbagai aktivitas
gerabah, alat batu (yang meliputi alat manusia, misalnya kapak batu, kapak
masif, alat serpih, kapak lonjong, lonjong, alat serpih, batu penokok,
batu penokok, batu penumbuk atau mata panah, batu pipisan dan gandik,
gandik, batu pipisan, bandul jala, serta alat gurdi dan batu asah. Temuan-
mata panah, dan gurdi), alat kerang, temuan tersebut merupakan alat bantu
sampah tulang binatang dan sampah bagi manusia untuk memudahkan dalam
kerang. Ditinjau dari bentuk dan melakukan aktivitas matapencaharian
fungsi materi-materi budaya tersebut hidupnya. Misalnya kapak batu,
tergambar dengan jelas bahwa ada kapak lonjong dan alat serpih yang
beberapa bentuk matapencaharian kehadiran erat kaitannya dengan usaha
masyarakat pendukungnya. Selain itu, pemenuhan kebutuhan peralatan untuk
terlihat pula bahwa satu artefak dapat memotong, menebang, membelah,
digunakan dalam beberapa aktivitas menguliti, dan menyerut. Berdasarkan
matapencaharian. fungsinya, peralatan batu tersebut
Temuan artefak gerabah misalnya, kehadirannya sangat erat kaitannya
kehadirannya sangat identik dengan dengan aktivitas bercocoktanam,
periode bercocoktanam (neolitik). Pada meramu dan berburu. Dalam aktivitas
masa itu, manusia memiliki banyak bercocoktanam, kapak batu digunakan
waktu luang untuk menghasilkan wadah sebagai alat untuk menebang pohon,
tersebut dan ditunjang oleh tingkat sedangkan kapak lonjong lebih pada
pengetahuannya. Dari fungsinya, fungsi memotong dan membelah
gerabah terkait erat sebagai wadah kayu. Fungsi alat batu dalam aktivitas
untuk menyimpan, mengolah dan bercocoktanam adalah terkait dengan
menyajikan makanan, namun pada pembukaan lahan dan pembuatan
perkembangannya wadah tersebut juga pagar, seperti terlihat pada beberapa
difungsikan sebagai sarana upacara, kelompok masyarakat yang berada di
bekal kubur dan bahkan sebagai wadah pegunungan tengah Papua. Sementara
kubur. Gerabah dalam fungsinya untuk alat serpih juga terkait dengan
pada aktivitas bercocoktanam lebih semua jenis aktivitas matapencaharian
kepada alat menyimpan dan mengolah terutama pada fungsinya sebagai alat

Bentuk Mata Pencaharian Masyarakat Pendukung Situs Gunung Srobu, Erlin Novita Idje Djami 67
Gambar 1. Temuan artefak situs Gunung Srobu; fragmen gerabah, kapak batu, mata panah, kapak lonjong, pemberat jaring dari
batu, batu penokok, alat kerang, batu pipisan, dan fragmen alat tulang (Dokumentasi Balai Arkeologi Jayapura)

untuk memotong, menguliti, mengiris, karena pada masyarakat suku terasing


maupun menyerut. Sedangkan --- diantaranya suku Korowai dan suku
dalam kaitannya dengan aktivitas Kombai --- masih melakukan aktivitas
meramu, kapak batu digunakan untuk menokok sagu dengan menggunakan
menebang pohon sagu; kapak lonjong kapak lonjong, yaitu bagian pangkalnya
untuk memotong dan membelah untuk menokok, sedangkan bagian
batang sagu sebelum ditokok. Dalam ujung untuk memotong dan membelah
aktivitas menokok sagu tersebut juga batang pohon sagu (Kawer, 2014: 13).
menggunakan alat batu penokok dan Terkait dengan aktivitas meramu sagu
mungkin juga menggunakan kapak tersebut didukung pula oleh potensi
lonjong. Asumsi penggunaan kapak lingkungan alam kawasan sekitar situs
lonjong sebagai alat penokok muncul, Gunung Srobu yang terdapat beberapa

68 Jurnal Arkeologi Papua, Volume 7, No.2, November 2015: 63-72


tempat lahan sagu yang sangat luas, lainnya, sedangkan alat gurdi lebih
namun saat ini lahan-lahan tersebut difungsikan untuk melubangi suatu alat
telah berubah menjadi area permukiman seperti dalam pembuatan alat kerang,
padat penduduk. pembuatan perhiasan manik-manik dan
Sedangkan asumsi tentang mungkin juga untuk melubangi kayu
pemanfaatan kapak batu untuk atau bahan kulit kayu atau daun yang
kegiatan berburu dipengaruhi oleh digunakan untuk memenuhi kebutuhan
masih terlihatnya pemanfaatkan kapak akan pakaian, namun karena bahan
batu dalam suatu aktivitas perburuan kulit kayu atau daun mudah hancur
pada beberapa masyarakat suku di termakan usia maka tidak dapat
pegunungan tengah Papua. Selain ditemukan sisa-sisanya. Asumsi ini
untu berburu, suku pegunungan muncul karena pada beberapa suku
tengah bahkan menggunakan kapak di kawasan pesisir pantai Papua telah
batu sebagai alat perang dan sarana mengenal pemanfaatan kulit kayu dan
upacara. Selain kapak batu, kehadiran daun sebagai pakaian maupun untuk
mata panah juga diidentikan dengan kegunaan lainnya.
aktivitas berburu. Aktivitas berburu juga Mengacu pada berbagai jenis
merupakan salah satu matapencaharian temuan artefak batu seperti kapak
masyarakat pendukung budaya situs batu, alat serpih, batu penokok, mata
Gunung Srobu. Aktivitas berburu selain panah dan gurdi, diperkirakan bahwa
didukung temuan peralatan perburuan, benda-benda tersebut diproduksi oleh
juga ditegaskan pula oleh keberadaan masyarakat pendukung budaya Situs
temuan sisa-sisa tulang binatang. Gunung Srobu. Pandangan ini muncul
Aktivitas ini juga didukung oleh dikarenakan selain ditemukan artefak
potensi lingkungan sekitar situs yang batu, juga disertai temuan sejumlah
mendukung akan kehadiran binatang- calon alat, batu inti dan limbah produksi
binatang buruan, seperti babi hutan, batuan, serta diketahui lokasi sumber
walabi/ kuskus, tikus tanah, beberapa bahan baku alat batu yang diambil
jenis burung dan lainnya. dari lingkungan di kawasan sekitar
Temuan alat batu lainnya adalah situs. Aktivitas produksi alat pada situs
berupa batu pipisan dan gandik, Gunung Srobu juga didukung oleh
yaitu dua jenis artefak yang memiliki kehadiran beberapa alat batu lainnya
hubungan saling menunjang. Kehadiran yang fungsinya sebagai penunjang
artefak ini lebih dikaitkan pada dalam proses peciptaan suatu alat
fungsinya dalam mengolah makanan batu, seperti kehadiran perkutor dan
dan rempah-rempah, baik untuk batu asah.
melumatkan maupun menghaluskan. Aktivitas mata pencaharian
Sedangkan untuk alat bor/gurdi dan lainnya yang menjadi aktivitas utama
batu asah lebih sebagai peralatan masyarakat pendukung situs Gunung
penunjang produksi peralatan. Batu Srobu adalah aktivitas mengambil hasil
asah berfungsi untuk menghaluskan laut atau nelayan yaitu tergambar dari
permukaan kapak batu dan alat kehadiran artefak kerang dan artefak

Bentuk Mata Pencaharian Masyarakat Pendukung Situs Gunung Srobu, Erlin Novita Idje Djami 69
batu berbentuk cincin elips besar yang bertempat tinggal di tepi pantai
(mace head) yang dijadikan sebagai hidupnya lebih bergantung pada bahan-
alat pemberat jaring untuk menangkap bahan makanan yang terdapat di laut
ikan, dan untuk pemanfaatan alat (Soejono dan Leirissa, 2010: 141).
kerang masih dapat disaksikan pada Aktivitas matapencaharian lainnya
masyarakat nelayan yang berada yang juga dilakukan adalah beternak.
di Kepulauan Padaido, yang hingga Aktivitas beternak muncul ketika
kini masih memanfaatkan cangkang- manusia telah hidup menetap dalam
cangkang kerang sebagai alat yang suatu perkampungan dan telah mampu
diikatkan pada ujung-ujung jaring di membagi waktu dalam melakukan
semua sisi yang berfungsi sebagai berbagai aktivitasnya. Aktivitas beternak
pemberat saat ditebarkan ke dalam air pada masyarakat pendukung situs
ketika menjaring. Kalau di Kepulauan Gunung Srobu didukung oleh temuan
Padaido memanfaatkan jenis kerang sisa-sisa tulang babi. Pandangan ini
cipraedae, sedangkan di situs Gunung muncul karena babi merupakan salah satu
Srobu menggunakan jenis kerang jenis binatang liar yang mudah dijinakkan
strombidae dan cipraedae. Dalam dan tidak sulit dalam memeliharaannya
hubungannya dengan aktivitas mencari serta tidak membutuhkan waktu dan
ikan tersebut, selain temuan alat kerang tenaga yang banyak. Pola beternak babi
juga didukung pula oleh temuan sisa- zaman dahulu dapat dilihat gambarannya
sisa tulang ikan (Tim Peneliti, 2014: pada polanya pada beberapa kelompok
47). Selain menangkap ikan, mereka masyarakat tradisional di Papua saat
juga mengumpulkan kerang sebagai ini, yaitu binatang babi yang didapat dari
sumber makanan, kenyataan ini hasil perburuan kemudian dijinakkan
didukung oleh temuan sampah kerang dalam sebuah kandang; dan setelah
yang telah membukit, selain itu kondisi babi tersebut jinak maka dilepas untuk
ini didukung oleh keadaan lingkungan mencari makanannya sendiri, tetapi juga
alam laut sekitar situs di kawasan teluk pada waktu-waktu tertentu diberi makan
Youtefa yang sangat berpotensi akan oleh pemiliknya.
kandung kerang lautnya, dan selain itu Terkait dengan berbagai bentuk
juga terdapat area-area bakau dengan aktivitas matapencaharian tersebut,
potensi kepitingnya serta potensi lautan tergambar pula tentang pola kehidupan
yang menyediakan banyak biota laut masyarakat pendukung situs yang telah
lainnya seperti ikan, gurita, suntung, hidup menetap dalam suatu permukiman.
cumi-cumi dan lainnya. Potensi-potensi Mereka bahkan telah memiliki cukup
laut tersebut merupakan sumber banyak waktu untuk melakukan berbagai
makanan utama bagi masyarakat aktivitas, seperti terbukti dari munculnya
pendukung situs Gunung Srobu dan berbagai bentuk matapencaharian yang
ini juga ditunjang oleh posisi situs tercermin pada tinggalan budayanya, dan
yang berada di pesisir pantai yaitu di didukung pula oleh potensi lingkungan
atas sebuah tanjung, hal ini sejalan alam sekitarnya. Hal ini juga menunjukkan
dengan pandangan bahwa masyarakat bahwa masyarakat pendukung situs

70 Jurnal Arkeologi Papua, Volume 7, No.2, November 2015: 63-72


Gunung Srobu telah berada pada suatu berdasarkan kajian pada materi
kondisi masyarakat yang terstruktur budaya sisa-sisa aktivitas manusia,
dan terorganisir dengan baik serta dan juga kajian terhadap keadaan
juga telah ada pembagian tugas yang kondisi lingkungan alam sekitar situs,
jelas antara laki-laki dan perempuan, yang dipandang sebagai faktor utama
keadaan ini masih dapat disaksikan pada sehingga terbentuknya berbagai
masyarakat-masyarakat adat di Papua bentuk matapencaharian tersebut. Dari
hingga sekarang. semua jenis matapencaharian yang
ada, nelayan atau mengumpulkan
PENUTUP hasil laut merupakan matapencaharian
Berdasarkan hasil pembahasan utamanya. Di samping itu, kehadiran
tentang bentuk-bentuk beragam bentuk matapencaharian
matapencaharian masyarakat pada masyarakat pendukung Situs
pendukung budaya Situs Gunung Gunung Srobu ini, didukung pula oleh
Srobu, terungkap dengan jelas potensi manusia pendukungnya yang
bahwa ada beberapa macam telah memiliki tingkat pengetahuan
bentuk matapencahariannya seperti maupun tingkat penguasaan teknologi
nelayan/mengumpulkan hasil laut, yang maju, sehingga dapat mendorong
bercocoktanam, meramu, berburu, mereka untuk melakukan berbagai
beternak, dan industri. Bentuk-bentuk macam aktivitas hidup.
matapencaharian tersebut terungkap

Bentuk Mata Pencaharian Masyarakat Pendukung Situs Gunung Srobu, Erlin Novita Idje Djami 71
DAFTAR PUSTAKA

Gede, I Dewa Kompyang. 2013.”Misba Dalam Masyarakat Alor: Kajian Bentuk dan Fungsi”,
dalam Forum Arkeologi Volume 26, Nomor 3, November 2013. Denpasar: Balai
Arkeologi Denpasar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hlm. 181-194.
Kawer, Sonya Martha. 2014. ”Eksplorasi Arkeologi di Distrik Bomakia Kabupaten Boven
Digoel”, dalam Berita Penelitian Arkeologi No.12. Jayapura: Balai Arkeologi
Jayapura, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hlm. 1- 41.
NN. 2003. ”Ensiklopedia Suku Bangsa Mentawai”. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata. Deputi Bidang Nilai Budaya, Seni dan Film. Proyek Pengembangan
Kebijakan Nilai Budaya, Seni dan Film.
Prasetyo, Bagyo, D.D. Bintarti, Dwiyani Yuniawati, E. A. Kosasih, Jatmiko, Retno Handini,
E. Wahyu Saptomo. 2004. Religi pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia. Jakarta:
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Proyek Penelitian dan Pengembangan
Arkeologi.
Purwanto, Hari. 2008. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soejono, R. P. dan R. Z Leirissa (Ed.). 2010. Sejarah Nasional Indonesia I. Zaman
Prasejarah di Indonesia. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.
Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit
Djambatan.
Sriwigati. 2007.”Hiasan Gerabah dari Situs Gua Buida”, dalam Haris Sukendar (Ed.),
Jejak-Jejak Arkeologi di Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Daerah
Lainnya. Balai Arkeologi Manado bekerjasama dengan IAAI Komda Sulawesi,
Maluku dan Irian. Hlm. 25-33.
Tim Peneliti. 2014. ”Eksplorasi Arkeologi di Situs Gunung Srobu, Kelurahan Abe Pantai,
Distrik Abepura. Kota Jayapura”. Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi
Jayapura.
Vita. 2004. “Faktor-Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Kelangsungan Hidup
Manusia Purba pada Masa Holosen di Gua-Gua Situs Sampung, Provinsi Jawa
Timur” dalam Lingkungan Masa Lampau Beberapa Situs Arkeologi di Jawa Timur
dan Bali. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Proyek Penelitian
dan Pengembangan Arkeologi. Hlm. 25-47.

INTERNET
http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ Kamus Besar Bahasa Indonesia V1.3.
2010-2011.

72 Jurnal Arkeologi Papua, Volume 7, No.2, November 2015: 63-72

You might also like