You are on page 1of 7

Laporan Kasus

DUA KASUS MULTIPEL SKLEROSIS DENGAN TIPE YANG


BERBEDA DI RSUP M. DJAMIL, PADANG
TWO TYPES OF MULTIPLE SCLEROSIS CASES AT M. DJAMIL HOSPITAL,
PADANG
Yuri Haiga,* Dian Ayu Hamama Pitra* Meiti Frida*

ABSTRACT
Multiple Sclerosis (MS) is a neurodegenerative disease with multiple demyelinating lesions, rarely found in the
tropical region. Thus far there is no epidemiological data of MS in Indonesia. We reported two multiple sclerosis patients
from M. Djamil Hospital, Padang. Case I, a 55 years old woman with slowly progressive weakness of the four limbs
since 1 year before admission with numbness below the collar bone and downward. Blindness on both eyes occurs slowly
few months after. Physical examination showed upper motor neuron (UMN) tetraparesis, bilateral anopia, and primary
papilatrophy. Brain and spine magnetic resonance imaging (MRI) revealed multiple lesions in lateral periventricular
region and multiple lesions from C5 to Th5. Patient was diagnosed with MS primary progressive type. Case II, a 30 years
old woman with weakness of both inferior extremity and visual impairment. Same symptoms were happen 4 years before
admission but improved. Physical examination found UMN paraparesis. Brainand spine MRI revealed multiple lesions
and multiple lesions in periventricular region and from C3 to Th2. Patient was diagnosed with MS relapsing remitting
type. Both cases were diagnosed according to there vised 2010 McDonald criteria. McDonald revised 2010 criteriamay
provide early diagnosis of MS with high specificity and sensitivity. Despite our limitations in advanced examination to
diagnose MS, we should be able to diagnose suspected MS in order to give appropriate therapeutics approaches for our
patients.
Keywords: McDonald criteria, MRI, multiple sclerosis

ABSTRAK
Multipel sklerosis (MS) adalah penyakit neurodegeneratif dengan lesi demielinisasi multipel yang jarang ditemu-
kan di daerah tropis. Saat ini belum ada data epidemiologi (MS) di Indonesia. Kami melaporkan 2 kasus MS di RSUP M.
Djamil, Padang. Kasus I. Wanita umur 55 tahun dengan keluhan lemah keempat anggota gerak terjadi perlahan sejak 1
tahun yang lalu disertai rasa baal dari daerah klavikula ke bawah. Beberapa bulan kemudian buta pada kedua mata secara
perlahan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tetraparesis tipe upper motorneuron (UMN), anopia bilateral, dan papil atropi
primer. MRI kepala dan medulla spinalis menunjukkan lesimultipel di regio periventrikel lateralis dan lesi multipel dari C5
sampai T5. Pasien didiagnosis sebagai MS tipe primary progressive. Kasus II. Wanita umur 30 tahun dengan keluhan le-
mah kedua tungkai dan penglihatan terganggu. Keluhan seperti ini pernah dirasakan pada 4 tahun yang lalu, namun perbai-
kan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan paraparesis tipe UMN. MRI kepala dan medulla spinalis menunjukkan lesi multipel
di area periventrikel lateralis dan lesi multipel setinggi C3 sampai T2. Pasien didiagnosis sebagai MS tipe relaps remitting.
Kedua kasus didiagnosis sesuai dengan kriteria McDonald revisi 2010. Kriteria McDonald tersebut memungkinkan diag-
nosis MS secara dini dengan spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi. Walaupun Indonesia memiliki keterbatasan dalam
pemeriksaan yang mengarah ke MS, namun diagnosis MS harus dapat ditegakkan untuk terapi yang tepat kepada pasien.
Kata kunci: Kriteria McDonald, MRI, multipel sklerosis

*Bagian Neurologi FK Universitas Andalas/RSUP M. Djamil, Padang. Koresponsdensi: yurihaiga@ymail.com


Artikel ini telah ditampilkan sebagai poster pada acara Pan-Asian Committee for Treatment And Research in Multiple Sclerosis
(PACTRIMS) di Seoul, 19-21 November 2015.

PENDAHULUAN bervariasi antara usia15 dan 45 tahun dengan median


Multiple sklerosis (MS) adalah penyakit 29 tahun. Sekitar 5-10% memiliki onset sebelum usia
neurodegeneratif sistem saraf pusat (SSP) ditandai 15 tahun dan dua pertiga kasus terjadi pada wanita.
dengan inflamasi kronik yang menyebabkan lesi Sebagian besar orang dengan MS akan tetap hidup
demielinisasi multipel.1 Terdapat 300.000-400.000 selama beberapa dekade setelah diagnosis. MS
kasus MS di Amerika Serikat dengan insidens mengurangi harapan hidup setelah onset sekitar 10-
sebanyak 8.500-10.000 kasus tiap tahun. Onset MS 15% dan setengah pasien bertahan 30 tahun atau
lebih sejak onset.2

Neurona Vol. 33 No. 3 Juni 2016 194


Laporan Kasus
Di Indonesia, MS termasuk penyakit yang lemah pada tungkai kiri satu bulan kemudian.
jarang namun pada tahun 2005 pernah dilaporkan Terdapat rasa baal dari daerah klavikula ke bawah dua
kasus MS pada wanita berusia 40 tahun. Belum bulan kemudian, diikuti dengan lemah lengan kanan.
terdapat data epidemiologi MS di Indonesia. Penyebab Pasien juga mengeluhkan tajam penglihatan mulai
pasti MS belum diketahui. Beberapa penelitian terganggu seperti ada kabut dan silau bila kena sinar
menyatakan bahwa faktor genetik, imunitas, dan sejak 8 bulan yang lalu. Beberapa bulan kemudian
lingkungan berperan penting. Interaksi faktor-faktor pasien mengalami pandangan ganda bila melihat jauh
ini diduga berperan dalam mencetuskan respons dan pasien sering merasa berputar. Gangguan tajam
imunitas masif terhadap antigen SSP. Proses inflamasi penglihatan ini dirasakan pasien semakin memberat
progresif ini melibatkan substansi alba dan grisea di hingga tidak dapat melihat sama sekali pada kedua
otak dan medula spinalis sehingga menyebabkan mata. Tidak terdapat riwayat trauma dan infeksi
neurodegenerasi dan kehilangan akson yang pada sebelumnya.
akhirnya menyebabkan disabilitas permanen.3 Lesi Dari pemeriksaan fisik didapatkan tetraparesis
MS dapat melibatkan banyak area di SSP sehingga tipe upper motor neuron (UMN) dengan kekuatan
gejala klinis yang muncul sangat bervariasi sesuai 0 pada kedua ekstremitas bawah, kekuatan 1
dengan lokasi lesinya, seperti gangguan motorik, pada ekstremitas atas kanan dan kekuatan 4 pada
sensorik, inkoordinasi, penurunan fungsi otonom, ekstremitas atas kiri. Visus kedua mata 0 dan
serta gangguan visual dan seksual.4 pemeriksaan funduskopi didapatkan papil atropi
Beberapa tahun terakhir terdapat kemajuan primer.
dalam diagnosis dan penatalaksanaan MS, juga terapi Pada MRI kepala dengan kontras didapatkan
pilihan untuk MS yang semakin banyak tersedia. gambaran lesi multiple hiperintens pada T2W dan
Sebelum muncul terapi imunomodulator pada MS, FLAIR serta lesi hipointens pada T1WI, multipel
satu-satunya terapi yang tersedia untuk pasien MS di periventrikel lateralis dan substansia alba
hanyalah terapi simtomatik. Walaupun di Indonesia sisi kiri dan kanan (Gambar 1). Gambaran MRI
pemberian terapi dan ketersediaan obat terbatas, servikothorakal tanpa kontras memperlihatkan
namun ternyata sekarang telah ada pengobatan yang gambaran lesi hipointens pada T1WI dan hiperintens
lebih spesifik yang bekerja dengan target menekan pada T2WI setinggi C5 sampai dengan Th 5 (Gambar
proses inflamasi dan menghalangi terjadinya proses 2). Pungsi lumbal tidak dilakukan karena tidak
neurodegenerasi penyakit. Oleh karena itu, perlu tersedianya pemeriksaan oligoclonal band. Pasien
penegakan diagnosis sejak dini.5 Namun hal ini didiagnosis sebagai MS tipe primary progressive dan
menjadi keterbatasan pada negara berkembang. mendapatkan terapi metilprednisolon 1000mg/hari
Pada fasilitas kesehatan yang memiliki MRI, kriteria selama 7 hari. Sampai sekarang belum ditemukan
McDonald dapat digunakan untuk menegakkan pengobatan yang efektif untuk penyakit ini. Pasien
diagnosis, karena mempunyai sensitivitas dan ini meninggal setelah 8 hari perawatan, oleh karena
spesifisitas yang tinggi.6 infeksi pneumonia yang semakin berat.
Berikut dilaporkan 2 kasus MS dengan tipe
KASUS 2
yang berbeda-beda yang ditegakkan berdasarkan
Wanita berusia 30 tahun dengan keluhan
kriteria McDonald yang telah direvisi tahun 2010.
lemah kedua tungkai yang semakin bertambah berat
Dengan ditemukannya penyakit MS ini di beberapa
sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan yang sama pernah
daerah di Indonesia, sangat diharapkan pemeriksaan
dirasakan 4 tahun yang lalu. Kelemahan dimulai
lengkap yang bersifat serologi dapat dilakukan
pada kaki kanan yang memberat, diikuti dengan kaki
secara merata di Indonesia, sehingga dapat dilakukan
kiri 1 minggu kemudian. Kelemahan kedua tungkai
pengobatan sedini mungkin.
tersebut membaik setelah 8 bulan. Pasien juga
KASUS 1
mengeluhkan tajam penglihatan terganggu, seperti
Wanita umur 55 tahun dengan keluhan lemah ada kabut dan silau bila kena sinar, dan beberapa
tungkai kanan sejak 1 tahun yang lalu yang diikuti

195 Neurona Vol. 33 No. 3 Juni 2016


Laporan Kasus

hari kemudian membaik kembali. Tidak ada riwayat tunggal pada SSP yang dapat menerangkan gejala no
trauma dan infeksi sebelumnya. Dari pemeriksaan dissemination in space, multifokal (gejala dan tanda
fisik didapatkan paraparesis tipe UMN dengan dapat dijelaskan dengan setidaknya dua lesi di bagian
kekuatan 4. berbeda di SSP dissemination in space), monofasik
Pada MRI kepala tanpa kontras (Gambar (serangan tunggal), dan multi fasik (relaps), atau
3) didapatkan lesi multipel hipointens pada progresif.7
T1WI dan hiperintens pada T2WI, dan DWI di Manifestasi klinis MS bervariasi mulai dari
regio periventrikel lateralis dan substansia alba. gangguan sensori-motor, gangguan miksi dan
MRI servikothorakaltanpa kontras (Gambar 4) defekasi, seksual, gangguan fungsi batang otak dan
memperlihatkan lesi hiperintens pada T2 mulai nervus optikus, serta gangguan neuropsikiatri. Lesi
setinggi C3 sampai Th2, dengan batas yang tidak MS menunjukkan predileksi pada area tertentu sesuai
terlalu tegas. Pasien didiagnosis sebagai MS neuroaksis, seperti batang otak, serebelum, nervus
tipe relaps remitting. Pasien mendapatkan terapi optikus, dan medula spinalis, sehingga memunculkan
interferon-β-1a sebanyak 32 kali dengan dosis 22 IU gejala sesuai dengan lokasinya.1
subkutan. Relaps pada pasien ini berkurang sampai Terdapat dua perjalanan klinis penyakit MS,
sekarang. yaitu perjalanan klinis yang memberikan gejala
PEMBAHASAN sisa (sekuele) yang reversibel dan ireversibel.
Sekuele reversibel menyebabkan gangguan yang
Pada pemeriksaan awal, pasien MS mempunyai
progresif dan disabilitas pada sebagian besar pasien.
sindrom neurologis yang secara klinis monofokal (lesi

Neurona Vol. 33 No. 3 Juni 2016 196


Laporan Kasus

MS mempunyai variasi penyakit yang berbeda saraf optik, batang otak, serebelum, medula spinalis,
berdasarkan pola aktivitas penyakit, yaitu relapsing- atau hemisfer serebri.6 CIS merupakan sindrom yang
remitting MS (RRMS), secondary progressive MS sangat komplek sehingga penting dibedakan dengan
(SPMS), primary progressive MS (PPMS), dan penyakit lain yang menyerupai MS, seperti pada
progressive relapsing MS (PRMS).8,10 Tabel 1.
Defisit akumulatif dapat menyebabkan per- Pada kedua kasus sebelumnya didapatkan lesi
burukan menetap pada MS tipe relaps dan MS tipe multipel pada pemeriksaan MRI. MRI merupakan
progresif. Pada MS tipe relaps, perburukan klinis pemeriksaan yang sangat sensitif dalam mendeteksi
terjadi selama serangan akut dengan kesembuhan plak MS yang inaktif. Berdasarkan kriteria
yang tidak sempurna. Pada MS tipe progresif, pola McDonald, MRI digunakan sebagai pemeriksaan
dominan adalah akumulasi defisit neurologis dengan penunjang dalam mendiagnosis MS (Tabel 2). MRI
perburukan klinis yang lambat.10 menjadi komponen tak terpisahkan untuk memantau
Kriteria McDonald dapat diterapkan pada jumlah dan volume dari lesi. Namun MRI memiliki
pasien yang muncul dengan sindrom klinis terisolasi kelemahan yaitu jumlah lesi dan volume lesi tidak
(clinically isolated syndrome/CIS) sugestif MS atau berkorelasi dengan perjalanan klinis dari penyakit.11
gejala yang konsisten dengan penyakit demielinisasi Dua kasus tadi juga memiliki diagnosis
inflamatif SSP, karena kriteria diagnosis terbatas pada banding longitudinally extensive transverse
pasien dengan gejala klinis tersebut. Gejala CIS dapat myelitis (LETM), yaitu sindrom klinis yang sering
monofokal atau multifokal, dan biasanya melibatkan berhubungan dengan neuromielitis optika (NMO),

197 Neurona Vol. 33 No. 3 Juni 2016


Laporan Kasus
Tabel 1. Gambaran Klinis CIS dan Diagnosis MS7

Gambaran CIS yang jarang


Gambaran CIS pada MS CIS atipikal untuk MS
terdapat pada MS
Nervus optik
Optik neuritis unilateral Neuritis optik bilateral Neuropati optik progresif
Nyeri saat pergerakan bola mata Tidak ada nyeri Nyeri orbita berat dan terus menerus
Hilangnya penglihatan secara
Penglihatan kabur Tidak ada persepsi terhadap cahaya persisten
Edem diskus sedang-berat tanpa ada Neuroretinitis (edem papil dengan
Diskus normal atau edem ringan perdarahan macular star)
Uveitis Uveitis (ringan,posterior) Uveitis (berat,anterior)

Batang Otak/Serebelum INO unilateral, facial palsy, facial Oftalmoplegia eksternal komplit,
INO bilateral myokinia vertical gaze palsies
Ataksia dan nistagmus multidireksional Tuli Vascular territory syndrome
Paresis nervus abdusens One-and-half syndrome Paresis N.III
Hipestesia fasial Neuralgia trigeminal Neuropati trigeminal progresif
Spasme tonik paroksismal Distonia fokal, tortikolis

Medula Spinalis Mielitis transversa komplit ASA syndrome (kolumna posterior


Mielopati parsial intak)
Sindrom kauda ekuina
Lhermitte’s sign Radikulopati, arefleksia Batas sensoris tegas
Deafferented hand Hilangnya sensasi nyeri dan suhu
Numbness segmental Sindrom Brown sequard komplit
Sindrom Brown Sequard parsial Retensio urin akut
Inkotinensia fekal
Inkontinensia urin, disfungsi ereksi Ataksia sensoris progresif (kolumna
Paraplegia spastik progresif (asimetris) Paraplegia spastik progresif posterior)
Hemisfer serebri (simetris)
Mild subcortical cognitive impairment Ensefalopati (obtundasi, konfusi,
Hemiparesis Epilepsi letargi)
Hemianopia Buta kortikal

oleh karena adanya hasil MRI dengan lesi lebih dari 3 diperkirakan karena infeksi pneumonia. Sebagian
segmen vertebra. Kemajuan terbaru dalam diagnosis besar studi menemukan bahwa pada pasien dengan
ini menghasilkan tes yang sangat sensitif dan spesifik MS progresif lebih sering mendapatkan infeksi
untuk kemajuan terapi. LETM tidak patognomonik kronis dibandingkan dengan pasien RRMS. MS
dengan NMO. Seharusnya diselidiki penyebab lain merupakan penyakit yang sering ditemukan dengan
dari mielopati pada pasien ini, yaitu pemeriksaan komplikasi yang berat. Sekitar 56,4%, pasien dengan
antibodi untuk aquaporin-4 (NMO-IgG atau AQP MS mengalami kematian, 15,5% meninggal akibat
4Ab). Antibodi tersebut merupakan penanda serum penyakit kardiovaskuler, 10,1% meninggal karena
yang sensitif dan sangat spesifik untuk NMO, karena kanker, 13,5% meninggal akibat penyakit lain dan
dapat membedakan diagnosis NMO dan MS yang 4,5% meninggal akibat trauma atau bunuh diri.
klasik. Status seropositif NMO-IgG/AQP4-Ab juga Pasien yang lebih tua saat onset atau dengan PPMS
memiliki implikasi prognostik dan pemberian terapi memiliki kelangsungan hidup yang lebih pendek.
pada pasien dengan LETM atau NMO.12,13 Namun Penyebab infeksi yang mungkin untuk MS
pemeriksaan antibodi tersebut belum dapat dilakukan telah diselidiki sekitar satu dekade terakhir, dan
di tempat kami, bahkan di Indonesia. pasien telah diperiksa untuk berbagai infeksi virus
Pada kasus pertama pasien meninggal dan bakteri. Salah satu temuan yang paling umum
setelah 8 hari perawatan, penyebab kematian pada pasien MS adalah adanya antibodi dan DNA dari

Neurona Vol. 33 No. 3 Juni 2016 198


Laporan Kasus
Tabel 2. Kriteria Mc Donald Revisi 201014

Gejala Klinis Data Lain yang Dibutuhkan untuk Diagnosis MS


≥ 2 serangan; bukti klinis objektif ≥ 2 lesi atau Tidak diperlukan
bukti klinis objektif 1 lesi dengan riwayat objektif
serangan sebelumnyab

≥ 2 serangan; bukti klinis objektif satu lesi Dissemination in Space:


≥ 1 lesi T2 setidaknya pada 2-4 area khas untuk MS di SSP
(periventrikular, jukstakortikal, inratentorial, dan medula spinalis);
atau menunggu serangan berikutnya yang menunjukkan lokasi
berbeda
Dissemination in Time:
1 serangan; bukti klinis objektif ≥ 2 lesi
≥ 1 lesi T2 setidaknya pada 2-4 area khas untuk MS di SSP
(periventrikular, jukstakortikal, inratentorial, dan medula spinalis);
atau menunggu serangan berikutnya yang menunjukkan lokasi
berbeda
1 serangana; bukti klinis objektif satu lesi Dissemination in Space dan Time (DIS dan DIT)
(Clinically Isolated Syndrome-CIS) Dissemination in Space:
≥ 1 lesi T2 setidaknya pada 2-4 area khas untuk MS di SSP
(periventrikular, jukstakortikal, inratentorial, dan medula spinalis)
d
; atau menunggu serangan berikutnyaa yang menunjukkan lokasi
berbeda
Dissemination in Time:
≥ 1 lesi T2 setidaknya pada 2-4 area khas untuk MS di SSP
(periventrikular, jukstakortikal, inratentorial, dan medula spinalis);
atau menunggu serangan berikutnya yang menunjukkan lokasi
berbeda
Satu tahun perburukan penyakit (ditentukan secara prospektif atau
Perburukan neurologis berat (PPMS)
retrospektif) ditambah 2 atau 3 berdasarkan kriteria berikut ini:
• Bukti DIS di otak berdasarkan ≥ 1 lesi T2 yang karakteristik
MS (periventrikular, jukstakortikal, inratentorial, dan medula
spinalis)

• Bukti DIS di medula spinalis berdasarkan berdasarkan ≥ 2 lesi


T2 di medula spinalis

• CSF positif (adanya oligoclonal bands atau peningkatan indeks


IgG)

C. Pneumoniae di cairan serebrospinal. Pada beberapa ini. Pengobatan lainnya yang dikeluarkan oleh FDA
penelitian sebelumnya selain C. Pneumoniae, pasien diantaranya yaitu Avonex, Betaseron, Copaxone,
MS juga bisa terinfeksi spesies Mycoplasma, B. Extavia, dan Plegrid yang diberikan secara subkutan.
Burgdorferi, dan infeksi bakteri lainnya serta infeksi Selain itu juga terdapat obat oral yaitu, Aubagio,
virus. Berbagai infeksi juga dapat secara nonspesifik Gilenya dan Tecfidera, serta berupa infus yaitu
merangsang sistem kekebalan tubuh. Seperti dalam Novantrone dan Tysabri.5
penyakit neurodegeneratif lain, beberapa faktor KESIMPULAN
tampaknya terlibat dalam patogenesis MS.14 MS merupakan penyakit neurodegeneratif SSP
Pasien kedua mendapatkan pengobatan sesuai ditandai dengan inflamasi kronik yang menyebabkan
dengan terapi yang dikeluarkan oleh Food and Drug lesi demielinisasi multipel. Walaupun Indonesia
Administration (FDA), yaitu interferon β, sehingga memiliki keterbatasan dalam pemeriksaan yang
dapat menekan terjadinya fase relaps pada pasien mengarah ke MS, tetapi diagnosis MS harus dapat

199 Neurona Vol. 33 No. 3 Juni 2016


Laporan Kasus
ditegakkan sedini mungkin untuk pemberian terapi 7. Rizvi SA, Coyle PK. Clinical neuroimmunology
yang tepat. Untuk itu dapat menggunakan kriteria multiple sclerosis and related disorder. Dalam: Tarsy
D, editor. Current clinical neurology: Humana Press;
McDonald revisi 2010 yang memiliki spesifisitas
2011.
dan sensitivitas yang tinggi.
8. Scalfari A, Knappert V, Cutter G, Goodin DS, Ashton
DAFTAR PUSTAKA R, Ebers GC. Mortality in patients with multiple
sclerosis. Neurology. 2013;81(2):184-92.
1. Maghzi AH, Borazanci A, McGee J, Alexander
9. Kuhlmann T. Relapsing-remitting and primary
JS, Toledo EG, Minagar A. Multiple sclerosis:
progressive MS have the same cause(s)–the
patophysiology, clinical features, diagnosis,
neuropathologist’s view. Multiple Sclerosis J.
and management. Dalam: Minagar A, Editor.
2013;19(3);268-9.
Neuroinflammation. Edisi pertama. London: Elsevier;
2011. 10. Torres A, Peetermans WE, Viegi G, Blasi F. Risk
factors for community-acquired pneumonia in
2. Compston A, Confavreux C, Lassmann H, McDonald
adults in Europe: a literature review. Thorax.
I, Miller D, Noseworthy S, dkk. McAlpine’s multiple
2013;68(1):1057-65.
sclerosis. Churchill Livingstone. Elsevier; 2006. hlm
71-111. 11. Filippi M, Rovaris M, Comi G. Neurodegeneration in
multiple sclerosis. Dalam: Comi G, editor. Topics in
3. Rodriguez M, penyunting. Advances in multiple
Neuroscience. Springer; 2007.
sclerosis and demyelinating diseases. Springer; 2008.
hlm. 19-45. 12. Jarius S, Wildemann B. Aquaporin-4 antibodies
(NMO-IgG) as a serological marker of neuromyelitis
4. Lublin FD, Reingold SC, Cohen JA, Cutter GR,
optica: a critical review of the literature. Brain Pathol.
Sorenen PS, Thompson AJ, dkk. Defining the clinical
2013;23(6):661-83.
course of multiple sclerosis: the 2013 revisions.
Neurology. 2014;83(3):278-86. 13. Popescu BF, Pirko I, Lucchinetti CF. Pathology of
multiple sclerosis: where do we stand? Continuum
5. Du Pasquier RA, Pinschewer DD, Merkler D.
(Minneap Minn). 2013;19(4):901–921.
Immunological mechanism of action and clinical
profile of disease-modifying treatments in multiple 14. Nardone R, Fitzgerald RT, Bailey A, Zuccoli C.
sclerosis. CNS Drugs. 2014;28(6):535-58. Longitudinally extensive transverse myelitis in
systemic lupus erymatosus: case report and review of
6. Polman CH, Reingold SC, Banwell B, Clanet M,
Cohen JA, Filippi M. Diagnostic criteria for multiple the literature. Clin Neurol Neurosurg. 2015;129:57-
sclerosis: 2010 revisions to the mcdonald criteria. 61.
Ann Neurol. 2011;69(2):292-302.

Neurona Vol. 33 No. 3 Juni 2016 200

You might also like