Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
Multiple Sclerosis (MS) is a neurodegenerative disease with multiple demyelinating lesions, rarely found in the
tropical region. Thus far there is no epidemiological data of MS in Indonesia. We reported two multiple sclerosis patients
from M. Djamil Hospital, Padang. Case I, a 55 years old woman with slowly progressive weakness of the four limbs
since 1 year before admission with numbness below the collar bone and downward. Blindness on both eyes occurs slowly
few months after. Physical examination showed upper motor neuron (UMN) tetraparesis, bilateral anopia, and primary
papilatrophy. Brain and spine magnetic resonance imaging (MRI) revealed multiple lesions in lateral periventricular
region and multiple lesions from C5 to Th5. Patient was diagnosed with MS primary progressive type. Case II, a 30 years
old woman with weakness of both inferior extremity and visual impairment. Same symptoms were happen 4 years before
admission but improved. Physical examination found UMN paraparesis. Brainand spine MRI revealed multiple lesions
and multiple lesions in periventricular region and from C3 to Th2. Patient was diagnosed with MS relapsing remitting
type. Both cases were diagnosed according to there vised 2010 McDonald criteria. McDonald revised 2010 criteriamay
provide early diagnosis of MS with high specificity and sensitivity. Despite our limitations in advanced examination to
diagnose MS, we should be able to diagnose suspected MS in order to give appropriate therapeutics approaches for our
patients.
Keywords: McDonald criteria, MRI, multiple sclerosis
ABSTRAK
Multipel sklerosis (MS) adalah penyakit neurodegeneratif dengan lesi demielinisasi multipel yang jarang ditemu-
kan di daerah tropis. Saat ini belum ada data epidemiologi (MS) di Indonesia. Kami melaporkan 2 kasus MS di RSUP M.
Djamil, Padang. Kasus I. Wanita umur 55 tahun dengan keluhan lemah keempat anggota gerak terjadi perlahan sejak 1
tahun yang lalu disertai rasa baal dari daerah klavikula ke bawah. Beberapa bulan kemudian buta pada kedua mata secara
perlahan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tetraparesis tipe upper motorneuron (UMN), anopia bilateral, dan papil atropi
primer. MRI kepala dan medulla spinalis menunjukkan lesimultipel di regio periventrikel lateralis dan lesi multipel dari C5
sampai T5. Pasien didiagnosis sebagai MS tipe primary progressive. Kasus II. Wanita umur 30 tahun dengan keluhan le-
mah kedua tungkai dan penglihatan terganggu. Keluhan seperti ini pernah dirasakan pada 4 tahun yang lalu, namun perbai-
kan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan paraparesis tipe UMN. MRI kepala dan medulla spinalis menunjukkan lesi multipel
di area periventrikel lateralis dan lesi multipel setinggi C3 sampai T2. Pasien didiagnosis sebagai MS tipe relaps remitting.
Kedua kasus didiagnosis sesuai dengan kriteria McDonald revisi 2010. Kriteria McDonald tersebut memungkinkan diag-
nosis MS secara dini dengan spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi. Walaupun Indonesia memiliki keterbatasan dalam
pemeriksaan yang mengarah ke MS, namun diagnosis MS harus dapat ditegakkan untuk terapi yang tepat kepada pasien.
Kata kunci: Kriteria McDonald, MRI, multipel sklerosis
hari kemudian membaik kembali. Tidak ada riwayat tunggal pada SSP yang dapat menerangkan gejala no
trauma dan infeksi sebelumnya. Dari pemeriksaan dissemination in space, multifokal (gejala dan tanda
fisik didapatkan paraparesis tipe UMN dengan dapat dijelaskan dengan setidaknya dua lesi di bagian
kekuatan 4. berbeda di SSP dissemination in space), monofasik
Pada MRI kepala tanpa kontras (Gambar (serangan tunggal), dan multi fasik (relaps), atau
3) didapatkan lesi multipel hipointens pada progresif.7
T1WI dan hiperintens pada T2WI, dan DWI di Manifestasi klinis MS bervariasi mulai dari
regio periventrikel lateralis dan substansia alba. gangguan sensori-motor, gangguan miksi dan
MRI servikothorakaltanpa kontras (Gambar 4) defekasi, seksual, gangguan fungsi batang otak dan
memperlihatkan lesi hiperintens pada T2 mulai nervus optikus, serta gangguan neuropsikiatri. Lesi
setinggi C3 sampai Th2, dengan batas yang tidak MS menunjukkan predileksi pada area tertentu sesuai
terlalu tegas. Pasien didiagnosis sebagai MS neuroaksis, seperti batang otak, serebelum, nervus
tipe relaps remitting. Pasien mendapatkan terapi optikus, dan medula spinalis, sehingga memunculkan
interferon-β-1a sebanyak 32 kali dengan dosis 22 IU gejala sesuai dengan lokasinya.1
subkutan. Relaps pada pasien ini berkurang sampai Terdapat dua perjalanan klinis penyakit MS,
sekarang. yaitu perjalanan klinis yang memberikan gejala
PEMBAHASAN sisa (sekuele) yang reversibel dan ireversibel.
Sekuele reversibel menyebabkan gangguan yang
Pada pemeriksaan awal, pasien MS mempunyai
progresif dan disabilitas pada sebagian besar pasien.
sindrom neurologis yang secara klinis monofokal (lesi
MS mempunyai variasi penyakit yang berbeda saraf optik, batang otak, serebelum, medula spinalis,
berdasarkan pola aktivitas penyakit, yaitu relapsing- atau hemisfer serebri.6 CIS merupakan sindrom yang
remitting MS (RRMS), secondary progressive MS sangat komplek sehingga penting dibedakan dengan
(SPMS), primary progressive MS (PPMS), dan penyakit lain yang menyerupai MS, seperti pada
progressive relapsing MS (PRMS).8,10 Tabel 1.
Defisit akumulatif dapat menyebabkan per- Pada kedua kasus sebelumnya didapatkan lesi
burukan menetap pada MS tipe relaps dan MS tipe multipel pada pemeriksaan MRI. MRI merupakan
progresif. Pada MS tipe relaps, perburukan klinis pemeriksaan yang sangat sensitif dalam mendeteksi
terjadi selama serangan akut dengan kesembuhan plak MS yang inaktif. Berdasarkan kriteria
yang tidak sempurna. Pada MS tipe progresif, pola McDonald, MRI digunakan sebagai pemeriksaan
dominan adalah akumulasi defisit neurologis dengan penunjang dalam mendiagnosis MS (Tabel 2). MRI
perburukan klinis yang lambat.10 menjadi komponen tak terpisahkan untuk memantau
Kriteria McDonald dapat diterapkan pada jumlah dan volume dari lesi. Namun MRI memiliki
pasien yang muncul dengan sindrom klinis terisolasi kelemahan yaitu jumlah lesi dan volume lesi tidak
(clinically isolated syndrome/CIS) sugestif MS atau berkorelasi dengan perjalanan klinis dari penyakit.11
gejala yang konsisten dengan penyakit demielinisasi Dua kasus tadi juga memiliki diagnosis
inflamatif SSP, karena kriteria diagnosis terbatas pada banding longitudinally extensive transverse
pasien dengan gejala klinis tersebut. Gejala CIS dapat myelitis (LETM), yaitu sindrom klinis yang sering
monofokal atau multifokal, dan biasanya melibatkan berhubungan dengan neuromielitis optika (NMO),
Batang Otak/Serebelum INO unilateral, facial palsy, facial Oftalmoplegia eksternal komplit,
INO bilateral myokinia vertical gaze palsies
Ataksia dan nistagmus multidireksional Tuli Vascular territory syndrome
Paresis nervus abdusens One-and-half syndrome Paresis N.III
Hipestesia fasial Neuralgia trigeminal Neuropati trigeminal progresif
Spasme tonik paroksismal Distonia fokal, tortikolis
oleh karena adanya hasil MRI dengan lesi lebih dari 3 diperkirakan karena infeksi pneumonia. Sebagian
segmen vertebra. Kemajuan terbaru dalam diagnosis besar studi menemukan bahwa pada pasien dengan
ini menghasilkan tes yang sangat sensitif dan spesifik MS progresif lebih sering mendapatkan infeksi
untuk kemajuan terapi. LETM tidak patognomonik kronis dibandingkan dengan pasien RRMS. MS
dengan NMO. Seharusnya diselidiki penyebab lain merupakan penyakit yang sering ditemukan dengan
dari mielopati pada pasien ini, yaitu pemeriksaan komplikasi yang berat. Sekitar 56,4%, pasien dengan
antibodi untuk aquaporin-4 (NMO-IgG atau AQP MS mengalami kematian, 15,5% meninggal akibat
4Ab). Antibodi tersebut merupakan penanda serum penyakit kardiovaskuler, 10,1% meninggal karena
yang sensitif dan sangat spesifik untuk NMO, karena kanker, 13,5% meninggal akibat penyakit lain dan
dapat membedakan diagnosis NMO dan MS yang 4,5% meninggal akibat trauma atau bunuh diri.
klasik. Status seropositif NMO-IgG/AQP4-Ab juga Pasien yang lebih tua saat onset atau dengan PPMS
memiliki implikasi prognostik dan pemberian terapi memiliki kelangsungan hidup yang lebih pendek.
pada pasien dengan LETM atau NMO.12,13 Namun Penyebab infeksi yang mungkin untuk MS
pemeriksaan antibodi tersebut belum dapat dilakukan telah diselidiki sekitar satu dekade terakhir, dan
di tempat kami, bahkan di Indonesia. pasien telah diperiksa untuk berbagai infeksi virus
Pada kasus pertama pasien meninggal dan bakteri. Salah satu temuan yang paling umum
setelah 8 hari perawatan, penyebab kematian pada pasien MS adalah adanya antibodi dan DNA dari
C. Pneumoniae di cairan serebrospinal. Pada beberapa ini. Pengobatan lainnya yang dikeluarkan oleh FDA
penelitian sebelumnya selain C. Pneumoniae, pasien diantaranya yaitu Avonex, Betaseron, Copaxone,
MS juga bisa terinfeksi spesies Mycoplasma, B. Extavia, dan Plegrid yang diberikan secara subkutan.
Burgdorferi, dan infeksi bakteri lainnya serta infeksi Selain itu juga terdapat obat oral yaitu, Aubagio,
virus. Berbagai infeksi juga dapat secara nonspesifik Gilenya dan Tecfidera, serta berupa infus yaitu
merangsang sistem kekebalan tubuh. Seperti dalam Novantrone dan Tysabri.5
penyakit neurodegeneratif lain, beberapa faktor KESIMPULAN
tampaknya terlibat dalam patogenesis MS.14 MS merupakan penyakit neurodegeneratif SSP
Pasien kedua mendapatkan pengobatan sesuai ditandai dengan inflamasi kronik yang menyebabkan
dengan terapi yang dikeluarkan oleh Food and Drug lesi demielinisasi multipel. Walaupun Indonesia
Administration (FDA), yaitu interferon β, sehingga memiliki keterbatasan dalam pemeriksaan yang
dapat menekan terjadinya fase relaps pada pasien mengarah ke MS, tetapi diagnosis MS harus dapat