You are on page 1of 7

Indonesian Journal of Conservation Vol. 3 No.

1 - Juni 2014

SURVEY PARADIGMA MASYARAKAT


YOGYAKARTA TERHADAP KEBERADAAN SERTA
KONSERVASI AMFIBI DAN REPTIL
Herdhanu Jayanto1), Guruh Fathin Cega1), Asmaa’ Anugerah Tarekat1), Maya Damayanti1),
dan Rury Eprilurahman2)
1
Kelompok Studi Herpetologi, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada
2
Laboratorium Sistematika Hewan, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada
email: h.jayanto@gmail.com

ABSTRACT

The Special Region of Yogyakarta (DIY) covers an area of 318 590 km2, owns ± 8% of the total number
of amphibian and reptile species in Indonesia (± 1.100). Compared to the other groups of animals, these
species are relatively easy to find in rural area (remote area). In addition to their high biodiversity value,
the existence of these two groups of animals is also an important component of the ecosystem. The analy-
sis of social paradigm in D.I.Y. region aimed to measure the communities’ support towards and
knowledge about the conservation of amphibians and reptiles. The survey was conducted in October-
December 2013. The Location of the surveys included Gadjah Mada University (Kab. Sleman), Sermo
Wildlife (Kab. Progo), Dlingo Village (Kab. Bantul), Kukup Beach and Ngandong (Kab. Gunung Kid-
ul). The data collection was carried out using a questionnaire about amphibians and reptiles. The result
showed that most respondents supported the existence of the amphibian and reptile conservation, but the
communities’ knowledge was still lacking in order to support the conservation. Law enforcement and
legal awareness of some community groups and the publics were still deemed less. On a regional scale,
threats to the amphibians and the reptiles were partly antrophogenik and some of them were natural. In
addition, on the regional scale, a topic emphasized was the conflict between men and snakes. This study
is expected to be basis principles on policy-making, community supporting action and authorities in na-
ture conservation, particularly for amphibians and reptiles.

Keywords: amphibians, reptiles, conservation, social paradigms, rural communities

ABSTRAK

Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y.) meliputi luas area sebesar 318.590 km2, memiliki ±8% jumlah
jenis dari total keseluruhan (±1.100) jenis amfibi dan reptil di Indonesia. Dibandingkan dengan kelompok
hewan lainnya, mereka tergolong relatif mudah dijumpai oleh masyarakat pedesaan (remote area). Selain
nilai kekayaan biodiversitas yang tinggi, keberadaan kedua kelompok hewan tersebut juga menjadi kom-
ponen penting dalam ekosistem. Analisis paradigma masyarakat di wilayah D.I.Y. dilakukan untuk
menakar dukungan dan pengetahuan mereka dalam konservasi amfibi dan reptil. Survei dilakukan pada
bulan Oktober - Desember 2013. Lokasi survei meliputi Universitas Gadjah Mada (Kab. Sleman), Suaka
Margasatwa Sermo (Kab. Kulonprogo), Desa Dlingo (Kab. Bantul), serta Pantai Kukup dan Ngandong
(Kab. Gunung Kidul). Pengumpulan data dilaksanakan menggunakan kuisioner tentang amfibi dan rep-
til. Sebagian besar responden mendukung adanya konservasi amfibi dan reptil, namun pengetahuan yang
diperlukan dalam mendukung konservasi di masyarakat masih sangat kurang. Penegakan hukum dan
kesadaran hukum dari beberapa kelompok masyarakat maupun masyarakat umum juga masih dirasa
kurang. Untuk skala regional, ancaman terhadap amfibi dan reptil sebagian bersifat antrophogenik dan
sebagian adalah alami. Dalam skala regional, topik yang ditekankan adalah konflik yang terjadi antara
manusia dengan ular. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan pengambilan kebijakan dan aksi
masyarakat pendukung dan otoritas dalam konservasi alam, khususnya untuk jenis amfibi dan reptil.

Kata kunci: amfibi, reptil, konservasi, paradigma sosial, masyarakat pedesaan

Indonesian Journal of Conservation


Vol. 3 No. 1 - Juni 2014 [ISSN: 2252-9195]
Hlm. 26—31
26
Survey Paradigma Masyarakat… — Herdhanu Jayanto., dkk.

PENDAHULUAN Dalam alur kerja konservasi, landasan


pengetahuan kepedulian dan partisipasi
Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y.) masyarakat menjadi sangat penting agar aksi
meliputi luas area sebesar 318.590 km2 dan menjadi efektif dan tepat guna. Paradigma ini
memiliki ±8% jumlah jenis dari total kese- dapat dianalisis dengan mengetahui opini
luruhan (±1.100) jenis amfibi dan reptil di atau pendapat dan kemampuan masyarakat
Indonesia. Kurang lebih 22 jenis diantaranya dengan menjawab kuisioner tentang amfibi
merupakan amfibi dan reptil (herpetofauna) dan reptil.
endemik, dan delapan belas telah terancam Catatan ini dapat menjadi landasan
punah (Kelompok Studi Herpetologi UGM, kerja badan otoritas (untuk wilayah D.I.Y.
belum dipublikasikan). Fenomena unik sep- adalah; BKSDA Yogyakarta) dan pihak-
erti antipati sosial, amfibi dan reptil sebagai pihak yang peduli dalam konservasi alam.
konsumsi dan aksi konservasi yang tidak te- Dalam pembahasan juga diulas catatan-
pat masih dapat dijumpai di masyarakat catatan kecil terhadap isu yang terjadi dalam
D.I.Y. Ditambahkan pula dengan fragmenta- perdagangan reptil di Indonesia, serta bebera-
si dan degradasi habitat yang terjadi terus pa ancaman terhadap amfibi dan reptil yang
menerus di D.I.Y, hal tersebut dapat terjadi di regional D.I.Y.
mengakibatkan terancam punahnya beberapa
jenis kunci (Iskandar dan Erdelen, 2006;
Bohm et al., 2013; Qurniawan dkk., 2010). METODE PENELITIAN
Dalam hal ini amfibi dan reptil meru-
pakan hewan yang mudah dijumpai oleh Survei dilakukan pada bulan Oktober -
masyarakat pedesaan (remote area). Selain Desember 2013. Lokasi survei meliputi Uni-
nilai kekayaan biodiversitas yang tinggi, versitas Gadjah Mada (Kab. Sleman), Suaka
keberadaan kedua kelompok hewan tersebut Margasatwa Sermo (Kab. Kulonprogo), Desa
juga menjadi komponen penting pada Dlingo (Kab. Bantul), serta Pantai Kukup
ekosistem dan akan berdampak langsung dan Ngandong (Kab. Gunung Kidul).
maupun tidak langsung terhadap masyarakat Pengumpulan data menggunakan kuisioner.
pedesaan. Fenomena-fenomena unik yang Kuisioner berisi pertanyaan terstruktur
dilaporkan tersebut dapat mengancam mengenai opini dan pengetahuan seputar am-
keberadaan amfibi dan reptil, namun takaran fibi dan reptil. Khusus untuk jenis ular berba-
paradigma masyarakat dan pengetahuan haya/ tidak berbahaya digunakan foto dari
sebenarnya terhadap kelompok hewan terse- Ptyas mucosus, Coelognathus radiatus, Ahaetulla
but belum terukur. prasina, Boiga dendrophila, Bungarus fasciatus,

Tabel 1. Jenis amfibi dan reptil yang digunakan dalam desain stiker

Taxon Family Habitat


AMFIBI
Megophrys montana Megophrydae Dataran tinggi
Rhacophorus reinwardtii Rhacophoridae Dataran tinggi
Ingerophrynus biporcatus Bufonidae Dataran rendah
Ichthyophis sp. Ichthyophidae Goa atau sawah dekat goa
Fejervarya cancrivora Dicroglossidae Kebanyakan sawah dan sungai
REPTIL
Crocodylus porosus Crocodylidae Sungai besar dan muara
Dendrelaphis formosus Colubridae Dataran tinggi
Naja sputatrix Elapidae Dataran rendah atau sawah
Ptychozoon kuhlii Gekkonidae Dataran tinggi
Gonochepalus kuhlii Agamidae Dataran tinggi
Eretmochelys imbricata Chelonidae Laut dan pantai (musim bertelur)
Dogania subplana Trionychidae Sungai berlumpur

27
Indonesian Journal of Conservation Vol. 3 No. 1 - Juni 2014

Cryptelytrops albolabris, dan Naja sputatrix un- pokok pendapat responden tentang bagaima-
tuk dibedakan. Stiker digunakan sebagai me- na pelestarian tersebut dilakukan, secara spe-
dia pengambilan data kualitatif, yaitu pan- sifik adalah: (1) Dibuatkan wilayah perlin-
dangan dan preferensi masyarakat terhadap dungan; (2) Jaga habitat mereka; (3) Dibuat-
bentuk amfibi dan reptil yang lebih disukai. kan penangkaran; (4) Jangan dibunuh; (5)
Diasumsikan stiker yang jarang dipilih oleh Jangan diburu; (6) Edukasi/ sosialisasi ke
responden memberikan gambaran jenis yang masyarakat.
lebih tidak dipedulikan. Desain stiker dapat Sebanyak 84% mengatakan tidak un-
dilihat di Lampiran. Adapun jenis herpe- tuk menjadikan mereka sebagai peliharaan
tofauna yang dijadikan model stiker yang untuk menyelamatkan mereka. Komunikasi
dipilih merupakan jenis yang terdistribusi di dengan para penghobi, sebagian kecil mem-
D.I.Y. berdasarkan data Kelompok Studi iliki pemikiran yang sangat kuat bahwa mere-
Herpetologi UGM. Hasil disajikan dalam ka dapat menyelamatkan jenis yang terancam
chart pie, dan opini dianalisis dengan melihat dengan memelihara mereka.Bahkan, bebera-
inti pokok pikiran dan diekstraksi pa jenis terancam dan atau termasuk dalam
menggunakan multiple alignment sederhana. jenis yang dilindungi dapat ditemukan dita-
warkan secara online maupun telah menjadi
peliharaan pribadi. Sayangnya, pergelaran
HASIL DAN PEMBAHASAN acara seperti pameran reptil atau expo yang
sebenarnya juga diketahui oleh pihak otoritas
Dukungan Konservasi Dalam Skala Luas juga banyak didapati jenis terancam yang
diklaim sebagai milik perorangan (Stengel et
Hasil respon terhadap pertanyaan, al., 2011).
“Apakah amfibi dan reptil perlu dilestari- Sembiring dkk. (2000) menyebutkan
kan?” dan “Apakah menurut anda salah satu bahwa pengelolaan dan penegakkan hukum
cara terbaik untuk menyelamatkan mereka berkaitan dengan lingkungan dan biodiversi-
adalah menjadikannya peliharaan?” dapat tas masih sangat lemah. Produk hukum yang
dilihat pada Gambar 1. Pendapat responden ada sekarang, dikatakan belum memberikan
terhadap perlunya pelestarian amfibi dan rep- perlindungan signifikan terhadap lingkungan
til adalah 100% mengatakan perlunya mere- dan biodiversitas.. Terlebih lagi pengelolaan
ka untuk dilestarikan. Dengan beberapa wilayah konservasi yang lemah akibat lu-

Keterangan
(a) lebih baik dilestarikan dengan dijadikan peliharaan,
(b) jenis buaya yang dimiliki Indonesia, dan
(c) umur yang dibutuhkan penyu untuk dapat bereproduksi

Gambar 1. Jawaban responden tentang kuesioner

28
Survey Paradigma Masyarakat… — Herdhanu Jayanto., dkk.

asnya kawasan konservasi yang perlu Merapi (Kali Boyong, Kali Adem, Kali
dikelola tersebut, dibandingkan dengan dana Kuning), seluruh tanaman dan permukaan
yang tersedia serta kuantitas dan kualitas tanah tertutupi oleh debu vulkanik.Perhatian
SDM. Begitupun dengan eksploitasi dan harus ditingkatkan karena Gunung Merapi
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, yaitu ini menjadi salah satu habitat dari tiga jenis
lemahnya penegakan hukum. amfibi endemik Jawa (Rhacophorus margariti-
Secara spesifik Undang-undang Nomor fer, Huia masonii dan Megophrys montana) dan
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber beberapa jenis reptil (Kelompok Studi Herpe-
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta tologi UGM, belum dipublikasikan). Ber-
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 dasarkan cuplikan dari masyarakat di D.I.
tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Yogyakarta sendiri belum sepenuhnya
yang memuat daftar satwa dilindungi menyadari berharganya jenis-jenis tersebut.
(termasuk jenis Reptil) belum diperbaharui. Sebanyak 73% responden mengatakan belum
Padahal sejalan dengan degradasi lingkungan mengetahui jenis amfibi endemik yang be-
(Iskandar and Erdelen, 2006), beberapa jenis rada di wilayah D.I.Y.
mengalami peningkatan kerawanan kepuna- Berbeda untuk amfibi, jenis penyu
han dalam daftar merah IUCN. Contohnya mungkin lebih banyak dikampanyekan, dan
seperti Callagur borneonensis, salah satu dari sangat mudah menemukan isu-isu dalam
25 kura-kura paling terancam punah di dunia usaha konservasi penyu. Di D.I.Y. sendiri
(Critically Endangered, dan Appendix I CITES) terdapat beberapa lokasi penangkaran penyu
dalam daftar merah IUCN (Rhodin et al., yang dikelola oleh masyarakat lokal. Pe-
2011) belum tercantum sebagai stawa yang nangkaran yang dianggap sebagai pencetus
dilindungi. seperti di Pantai Samas dan Pantai Trisik.
Pertanyaan bagaimana hal ini bisa ter- Namun demikian, hanya dari 30% responden
jadi, mungkinkah karena minimnya penge- sendiri yang pernah berkunjung ke pe-
tahuan masyarakat terhadap biodiversitas nangkaran penyu di D.I.Y. Pentingnya
yang Indonesia miliki. Survei menyebutkan, masyarakat umum berkunjung ke pe-
sebanyak 91% responden tidak mengenal nangkaran penyu adalah untuk
jenis buaya yang ada di Indonesia. Namun menghidupkan penangkaran tersebut.
dalam skala perdagangan internasional, ek- Dengan pengawasan dan kerja sama BKSDA
spor jenis reptil tangkapan liar mulai me- Yogyakarta, sebagian biaya operasional pe-
nyesuaikan dengan keadaan mereka di alam. nangkaran penyu tersebut berasal dari
Kuota ekspor untuk beberapa jenis dari tahun wisatawan. Rekreasi yang ditawarkan kepada
2004 ke tahun 2010 pun telah diturunkan wisatawan adalah partisipasi melepaskan
oleh PHKA, dan hampir tidak ada ekspor tukik ke laut lepas, dengan tarif Rp 10.000,-
yang melebihi kuota (Rhodin et al., per tukik (BKSDA Yogyakarta, pers. comm).
2011;PHKA, 2011). Hal yang perlu diper- Walaupun usaha konservasi ini belum efektif
hatikan adalah perdagangan ilegal dalam dan efisien secara maksimal, namun kepedu-
negeri, dan banyak pedagang yang belum lian pelaku utama masyarakat penangkaran
terpantau otoritas, seperti sebagian besar sangat tinggi, begitupun dengan usaha mere-
pengepul ular maupun jenis lain. ka dalam memahami konservasi lebih dalam.
Setidaknya hal tersebut telah merubah pre-
spektif masyarakat lokal tentang jenis terse-
Dukungan Konservasi di Skala Regional but. Kondisi ini dibuktikan dengan
menurunnya perburuan telur penyu dan
Ancaman utama amfibi dan reptil penyu di D.I.Y. dalam rentang waktu satu
D.I.Y. berasal dari bencana alam dan aktivi- dekade terakhir dibandingkan di wilayah In-
tas manusia. Ancaman alami terjadi akibat donesia lain (Hidayat, 2013).
erupsi Gunung Merapi pada tahun 2006 dan Pengetahuan dibutuhkan dalam
tahun 2010. Lebih dari 43% luasan hutan konservasi yang baik dan benar, seperti intro-
Taman Nasional Gunung Merapi mengalami duksi jenis non-native. Dilaporkan hingga saat
kerusakan (Cahyandra dkk., 2012). Lahar ini telah ditemukan tiga jenis non-native di
dingin membanjiri tiga sungai utama gunung beberapa lokasi, yaitu Carretochelys insclupta

29
Indonesian Journal of Conservation Vol. 3 No. 1 - Juni 2014

(asal dari Papua), Trachemys scripta elegans Gambaran Preferensi Jenis yang Disukai
(asal dari Amerika) dan Aquarana catesbaena
(asal dari Amerika). Ketiga jenis tersebut Stiker reptil yang paling banyak dipilih
merupakan jenis yang biasa ditemukan da- adalah buaya muara (Crocodylus porosus), ular
lam perdagangan hewan, padahal Car- tambang (Dendrelaphis formosus) dan penyu
retochelys insclupta adalah jenis yang dilin- sisik (Eretmochelys imbricata). Sedangkan
dungi (Kelompok Studi Herpetologi UGM, stiker amfibi yang paling banyak dipilih ada-
belum dipublikasikan; Yudha dkk., 2013 in lah katak pohon hijau (Rhacophorus reind-
press). wartii), dan yang tidak dipilih sama sekali
Catatan lain yang terjadi di adalah kodok puru hutan (Ingerophrynus bi-
D.I.Y. seperti introduksi ikan Nila porcatus). Preferensi ini mungkin menggam-
(Oreochromis niloticus) yang merupakan jenis barkan bagaimana masyarakat lebih me-
non-native oleh kelompok pemerhati satu nyukai jenis yang memiliki isu atau nilai
sungai di D.I.Y., dengan dasar aksi kepedu- prestisius yang tinggi. Hal yang paling umum
lian mereka setelah erupsi Gunung Merapi dijumpai adalah mereka menghindari jenis
tahun 2010. Selain itu pun dapat dijumpai dengan gambar yang mereka anggap men-
sejumlah rumah makan yang menyajikan jijikan.
hidangan amfibi atau reptil yang dipercaya
memiliki khasiat khusus. Hidangan yang
umum dijumpai seperti olahan katak, ular, SIMPULAN
biawak, ataupun bulus yang dipercaya belum
terbukti khasiatnya berdasarkan data ilmiah. Gambaran awal hasil cuplikan bebera-
pa masyarakat di D.I.Y. mendukung adanya
konservasi amfibi dan reptil dalam skala na-
Ular dan Masyarakat DIY sional maupun regional. Namun demikian,
peningkatan pengetahuan masih perlu dil-
Berdasarkan pengalaman responden, akukan dalam mendukung upaya konservasi
60% pernah melihat 1-5 kali kasus ular yang tersebut. Begitu pula dengan untuk pene-
sengaja dibunuh oleh manusia, dan 20% gakan hukum dan kesadaran hukum dari be-
lebih dari 5 kali, sementara yang belum berapa kelompok masyarakat serta masyara-
pernah melihat sebanyak 20%. Sedangkan uji kat umum masih perlu ditingkatkan.
pengetahuan responden sendiri dalam ke-
mampuan membedakan ular berbahaya
(berbisa tinggi) dan tidak berbahaya (tidak UCAPAN TERIMA KASIH
berbisa dan atau berbisa rendah), 82% re-
sponden menjawab benar kurang dari 6, dari Ucapan terima kasih diberikan kepada
total 8 pertanyaan. Sementara itu, responden Pengembangan Karakter Mahasiswa (PKM)
yang menjawab benar 6-7 ada 18%. Di dae- UGM yang telah mendanai kegiatan
rah dataran rendah Kulonprogo dan Bantul penelitian ini dan Balai KSDA Yogyakarta
sebagian besar masyarakat menghindari per- yang telah memberikan izin sampling wila-
temuan dengan ular dan bersifat netral. Be- yah konservasi.
gitupun di daerah pantai Gunung Kidul, yai-
tu kepada nelayan yang memiliki kemung-
kinan menjumpai ular laut bersama dengan DAFTAR PUSTAKA
tangkapannya. Sebagian besar dari nelayan
tidak berani berurusan dengan ular, biarpun Bohm, M., et.al.. 2013. The Conservation Status
mereka akan diberikan imbalan. Hal ini men- of The World’s Reptiles. Biological
jadi hal yang positif untuk keberadaan ular Conservation, 157: 372-385.
laut disana, meskipun pemahaman yang baik Cahyandra, T.A., D.A. Satiti and K.L. Breckling.
tetap diperlukan. 2012. amfibi dan upaya pembinaan habitat
di TN Gunung Merapi pasca erupsi 2010.
Warta Herpetofauna, 5(3): 21-25.

30
Survey Paradigma Masyarakat… — Herdhanu Jayanto., dkk.

Hidayat, O. 2013. Upaya konservasi penyu dan 2011. IUCN/SSC Tortoise and Freshwater
ancamananya di Kupang, Nusa Tenggara Turtle Specialist Group, Turtle Conservation
Timur. Warta Herpetofauna, 6(1): 16-25. Fund, Turtle Survival Alliance, Turtle Con-
Iskandar, D.T. and W.R. Erdelen. 2006. servancy, Chelonian Research Foundation,
Conservation of Amphibians and Reptiles in Conservation International, Wildlife Conser-
Indonesia: Issues and Problems. Amphibians vation Society, and San Diego Zoo Global.
and Reptiles Conservation, 4(1): 60-87. DOI: MA: Lunenburg.
10.1514/journal.arc.0040016. Sembiring, S.N., F. Husbani, A.M. Arif, F. Iva-
PHKA. 2011. Country Report Of Indonesia Snake lerina, dan F. Hanif. 2000. Kajian Hukum dan
Trade And Conservation. Directorate Of Biodi- Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di
versity Conservation, Directorate General Of Indonesia. Technical report. Environmental
Forest Protection And Nature Conservation, Policy and Institutional Strengthening IQC
Indonesia Ministry of Forestry. OUT- PCE- I - 806-96-00002-00.
Qurniawan, T.F., F.U. Addien dan R. Eprilu- Stengel, C.J., C.R. Shepherd and O.S. Caillabet.
rahman. 2010. Mengungkap Keanekaragaman 2011. The Trade in Tortoises and Freshwater
serta Potensi Herpetofauna Girimulyo Ditengah Turtles in Jakarta Revisited. TRAFFIC South-
Krisis Keanekaragaman Hayati dan Ancaman east Asia, Petaling Jaya, Selangor, Malaysia.
Kelestarian. Lomba Karya Tulis Ilmiah. Yudha, D.S., R. Eprilurahman, K. Andryani, dan
Malang: Universitas Islam Negeri Malang. Trijoko. 2013. Keanekaragaman Jenis
Rhodin, A.G.J., A.D. Walde, B.D. Horne, P.P. Katak dan Kodok di Sepanjang Sungai
van Dijk, T. Blanck, and R. Hudson (Eds.). Code, Propinsi Daerah Istimewa
2011. Turtles in Trouble: The World’s 25+ Most Yogyakarta. Berkala Ilmiah Biologi. in press.
Endangered Tortoises and Freshwater Turtles—

31
Indonesian Journal of Conservation Vol. 3 No. 1 - Juni 2014

Stiker yang digunakan dalam pengambilan data preferensi masyarakat terhadap


jenis yang lebih disukai

32

You might also like