Professional Documents
Culture Documents
Cinema in Indonesia: History and Goverment Regulation, A Cultural Industry Perspective
Cinema in Indonesia: History and Goverment Regulation, A Cultural Industry Perspective
Handrini Ardiyanti
(Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Nusantara II, Lantai 2, DPRRI,
Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta 10270, Indonesia;
email: handrini.ardiyanti@dpr.go.id)
Abstract
Law of cinema’ believed that it was important to increase the film industry. To find out how the film policy affect the development of
film industry in a country can be known, among others, by doing a history study. Therefore, it is necessary to studies the history of film
development of the Indonesia Film Industries. The history of Indonesia Film Industris then explored with concepts related to the culture
industry. From the results of the study is expected to be known policies that can encourage the development of the Indonesian film
industries. From the results of the study is known the number that is expected to support the development of Indonesian film.
Production policy by providing support for the development of film schools, help the producers film get the access to capital with fund
to funds system, improving censorship sensors that adopt the film production process, encouraging the existence of policies that allow
the development of the concept of community cinema, supporting the promotion of Indonesian films with various other forms of
government under the coordination of the Creative Economic Agency, and Cultivate pride in Indonesian films through an improved
cultural strategy
Keywords : cinema, cinema industries, popular culture, creative industries
Abstrak
Kebijakan perfilman yang diterapkan negara mempengaruhi perkembangan industri perfilman di negara tersebut. Untuk mengetahui
bagaimana kebijakan perfilman mempengaruhi perkembangan industri perfilman di suatu negara dapat diketahui antara lain dengan
cara melakukan studi sejarah. Karena itu, perlu dilakukan studi sejarah untuk untuk mengetahui sejarah perkembangan perfilman
Indonesia. Sejarah perkembangan perfilman tersebut ditelaah dengan konsep-konsep terkait dengan industri budaya. Dari hasil
telaah diharapkan dapat diketahui kebijakan yang dapat mendorong perkembangan industri perfilman Indonesia. Dari hasil telaah
diketahui sejumlah kebijakan yang diharapkan dapat mendukung perkembangan perfilman Indonesia. Kebijakan tersebut meliputi
tahapan produksi dengan memberikan dukungan maksimal bagi tumbuh berkembangnya sekolah film, membantu permodalan
dengan sistem fund to funds, memperbaiki kebijakan sensor yang mempertimbangkan proses produksi film, mendorong adanya
kebijakan yang memungkinkan tumbuh berkembangnya konsep bioskop komunitas, mendukung promosi film Indonesia dengan
melibatkan berbagai komponen pemerintahan lainnya dibawah koordinasi Badan Ekonomi Kreatif, dan menumbuhkembangkan
kebanggaan pada film Indonesia melalui strategi ekspansi budaya
Kata kunci: Film, Industri Perfilman, Industri Budaya, Industri Kreatif.
UU Perfilman Korea Selatan secara bertahap terus Untuk mengetahui kebijakan perfilman yang mampu
direvisi guna memajukan industri perfilman Korea mendorong perkembangan perfilman dapat
Selatan.3 diketahui dengan mempelajari perkembangan
Berdasarkan hasil studi sejarah terhadap perfilman di masa lalu yang dipengaruhi oleh
Korea Selatan tersebut dapat ditarik kesimpulan kebijakan perfilman dengan melakukan studi
bahwa untuk mengetahui bagaimana kontribusi literatur dan studi penelusuran sejarah dengan
perkembangan kebijakan terhadap kemajuan mengunakan internet. Dengan melakukan telaah
perfilman di suatu negara dapat diketahui dengan cara terhadap sejarah perkembangan bioskop, perfilman
melakukan studi sejarah. Karena itu, menjadi penting dan kebijakan perfilman dengan mengunakan
untuk mengetahui sejarah perkembangan perfilman konsep industri budaya tersebut maka kita dapat
Indonesia guna mengetahui gambaran tentang mengetahui bagaimana kebijakan perfilman yang
bagaimana kebijakan perfilman dan perkembangan diharapkan mampu mendorong perkembangan
perfilman di masa itu. Sejarah perkembangan industri perfilman Indonesia.
perfilman tersebut berisi tiga hal yaitu: pertama,
sejarah perkembangan bioskop sebagai piranti Memahami Konsep Industri Budaya
pertunjukan; kedua, sejarah perkembangan film dan Menurut Theodor W. Adorno dalam Robert W.
ketiga, sejarah perkembangan kebijakan. Sejarah Witkin, Industri budaya merupakan sebutan untuk
perkembangan perfilman di Indonesia tersebut industrialisasi dan komersialisasi budaya di bawah
selanjutnya akan ditelaah dengan konsep-konsep naungan hubungan produksi model kapitalis. Melalui
terkait dengan industri budaya. Studi ini dilakukan alat berupa modal dan teknologi, budaya dikelola
dengan mengunakan studi literatur dan penelusuran sebagai sebuah industri. Manusia diobjekkan sebagai
internet. Dengan telaah tersebut diharapkan dapat bentuk modal yaitu berupa pekerja dan konsumen.
diketahui sejumlah kekurangtepatan dalam Industri budaya mengimitasi seni murni yang tunduk
pemberlakuan kebijakan di masa lalu yang terhadap totalitas industri budaya.4
berdampak negatif bagi perkembangan perfilman di Karakteristik utama dari industri budaya
Indonesia. Diharapkan dengan mengetahui sejumlah adalah adanya komodifikasi dan repetisi dalam
kekurangtepatan dalam penetapan kebijakan di produksi. Komodifikasi yaitu proses menjadikan
masa lalu, dapat ditemukan gambaran kebijakan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi sehingga
yang sesuai mendorong perkembangan industri kini menjadi komoditi untuk diperjual-belikan serta
perfilman Indonesia. Hal tersebut dapat dijelaskan menyangkut pula pada proses produksi, distribusi
dalam skema pemikiran berikut ini: dan konsumsi. Pada komodifikasi
8
David Hesmondhalgh & Andy C Pratt, Cultural Industries
5
Robert W. Witkin, Adorno On Popular Culture, London: And Cultural Policy, International Journal of Cultural Policy,
Routledge, 2003, hal.43 Vol. 11, No,1, 2005, hal. 1-14.
6
Warren Buckland, Film Studies, London: Mc. Graw Hill, 9
Eka Nada Shofa Alkhajar, “Masa-Masa Suram Dunia
2008, hal.109 Perfilman Indonesia (Studi Periode 1957-1968 dan 1992-
7
Jean Baudrillard, "Simulations", English edition translated 2000)”, Jurnal Komunikasi Massa UNS, Vol 3, No 1, Januari
by Paul Foss et al., (online), (https://ia801605.us.archive. 2010, hal.1.
org /19/items/ Simulations1983/ Baudrillard_ Simulations. 10
Ade Irwansyah, “Tahukah Anda: Tentang Film Bisu Kita?”,
pdf diakses 5 Oktober 2016). Tabloid Bintang, 1 Maret 2012.
11
Ryadi Gunawan, “Sejarah Perfilman di Indonesia”, Majalah
Prisma, No.5, Tahun XIX 1990, hal.21 .
166 Kajian Vol. 22 No. 2 Juni 2017 hal. 79 - 95
dua gulden, kelas dua dengan harga tiket ƒ1 atau satu pada tahun berikutnya, hanya tinggal tersisa 350
gulden dan kelas tiga dengan harga tiket ƒ0,5 atau bioskop.16
setengah gulden. Diferensiasi harga tiket tersebut Tahun 1978 didirikan Sinepleks Jakarta
dilakukan guna mensiasati hanya orang pribumi Theater oleh pengusaha Indonesia,
tertentu dan orang Tionghoa serta Eropa saja yang Sudwikatmono. Pada 1984, PT. Suptan milik
dapat membayar harga tiket. Pemerintah kolonial Sudwikatmono mengambil alih bioskop Kartika
setuju dengan hal tersebut karena mencerminkan Chandra dan mengubahnya menjadi Cineplex.
susunan masyarakat pada saat itu. Secara otomatis Pada tahun 1987, Sudwikatmono bersama Benny
tiket pertunjukan hidup di kelas satu dan dua hanya Suharman mendirikan PT. Subentra Twenty One.
dapat dibeli oleh orang Timur Asing dan Eropa, dan Kemudian dibangun Studio 21 pertama pada
tiket pertunjukan hidup di kelas tiga dapat dibeli oleh tahun ini. Hingga Juni 2015, Cinema 21 Group
orang pribumi khususnya Jawa.12 Hampir 85% memiliki total 1240 layar yang tersebar di 33
bioskop yang ada di Indonesia - yang pada saat itu kota di 146 lokasi di seluruh Indonesia.
disebut dengan Hindia Belanda – dikuasai oleh Perkembangan bioskop di Indonesia semakin
pedagang etnis Tionghoa. Selain pedagang Tionghoa, menguat. Namun sayangnya pesatnya
terdapat juga pengusaha India yang mendirikan pertumbuhan bioskop di Indonesia tidak
bioskop yaitu Biograph Compagnij di Tanah Lapang dibarengi dengan pemerataan penyebarannya.
Mangga Dua dan pedagang Amerika yang mendirikan Tercatat, sampai Agustus 2010, dari tujuh gugus
bioskop American Animatograph di Gedung Kapiten pulau besar di Indonesia, Papua adalah satu-
Tan Boen Koei di Kongsi Besar.13 satunya pulau yang tak punya bioskop. Padahal,
Kehadiran usaha di bidang bioskop tersebut di Jawa terdapat 121 bioskop, 48 di antaranya di
tidak lepas dari kebijakan ekonomi yang ditetapkan Jakarta. 17 Selain itu tingginya jumlah bioskop di
oleh pemerintah kolonial Belanda. Bahkan Kolonial Indonesia juga ditandai dengan terjadinya
Belanda juga membuka sektor pariwisata di bawah konsentrasi kepemilikan. Menurut Monopoli
Perkumpulan Kepariwisataan (Verreeiging Watch, konsentrasi kepemilikan bioskop dimulai
Toeristenverkeer) yang turut mendorong kebutuhan dengan terjadinya monopoli pada bisnis film
elite Eropa yang berada di Hindia Belanda akan seni impor. Terjadinya monopoli impor film telah
pertunjukan dan film sehingga mendorong lahirnya menempatkan pengusaha bioskop ditempatkan
gedung-gedung pertunjukan seni dan film.14 Di masa pada posisi lemah dalam bargaining position
resesi ekonomi dunia, jumlah bioskop di Indonesia dengan distributor/pengedar film impor. Bahkan
justru terus meningkat hingga mencapai angka 16 pengusaha-pengusaha bioskop tersebut harus
gedung bioskop.15 Pada tahun 1951 diresmikan menyerahkan pengaturan pemutaran film di
Metropole, bioskop termegah dan terbesar pada saat bioskopnya kepada Asosiasi Importir Film (AIF).
itu. Tahun 1955 terbentuk Persatuan Pengusaha Makin lama, hal ini justru membuat posisi pemilik
Bioskop Seluruh Indonesia dan Gabungan Pengusaha bioskop tergencet. Apalagi dengan berbagai
Bioskop Seluruh Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya persyaratan yang dipatok oleh sang distributor
melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh sekaligus importir tunggal itu. Persyaratan itu
Indonesia (GABSI). mengikat dan mengancam kepemilikan mereka
Pada masa orde lama (jelang orde baru) akan bioskopnya sendiri. Dengan alasan up
muncul aksi pemboikotan, pencopotan reklame film- grading fasilitas bioskop, untuk memenuhi
film Amerika Serikat hingga pembakaran gedung standar pemutaran film impor di gedung-gedung
bioskop. Jumlah bioskop mengalami penurunan bioskop, akhirnya membuat para pemilik bioskop
sangat drastis akibat gejolak politik. Aksi boikot menyerahkan asetnya untuk diambil alih atau
tersebut antara lain dilakukan oleh PAPFIAS (Panitia share kepemilikannya, atau minimal diserahkan
Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat). pengelolaannya kepada distributor dan importir
Akibatnya jumlah bioskop turun drastis. Jika pada tunggal. Awalnya, penguasaan terkonsentrasi
tahun 1964 terdapat 800 bioskop, bioskop-bioskop pada satu tangan kepemilikan,
12
ibid, hal.6-7.
13
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di
Jawa, Jakarta: Komunitas Banu, 2009, hal.27. 16
Surat Dewan Film Indonesia No: Srt/330/18/DFI/1964,
14
ibid, hal.7-8. tentang Penutupan Bioskop, 18 April 1964.
15
Mohammad Johan Tjasmadi, 100 Tahun Sejarah Bioskop di 17
Gatra, 9 Januari 2012, “Peta Awal Industri Film Indonesia”,
Indonesia, Jakarta: Megindo Tunggal Sejahtera, 2008, hal.9. (online), (http://arsip.gatra.com/2012-01-
09/majalah/artikel. php?id=150907 diakses 6 Februari
2017.
Handrini Ardiyanti Perfilman Indonesia: Perkembangan dan Kebijakan Sebuah Telaah dari Perspektif Industri Budaya 167
dikenal oleh masyarakat awam sebagai jaringan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta
bioskop 21 Cineplex Group.18 jiwa. Sebagai perbandingan, Beijing dengan jumlah
Namun konsentrasi kepemilikian jaringan penduduk sekitar 15 juta jiwa memiliki 5.000 screen.
bioskop 21 mendapatkan perlawanan dari kelompok Jumlah layar bioskop untuk Indonesia perlu sama
konglomerasi usaha lainnya yang mulai merambah dengan Beijing, tapi minimal kebutuhan layar
ke bisnis bioskop pada tahun 2014. Group Lippo bioskop Indonesia, menurut Badan Ekonomi Kreatif
membentuk anak usaha berupa jaringan bioskop adalah 5.000–6.000 screen.
23
baru di Indonesia dengan nama Cinemaxx. Beberapa Perkembangan bioskop di Indonesia hingga
hak sewa bioskop 21 di sejumlah pusat perbelanjaan saat ini masih menjadi momok yang cukup
yang dimiliki Group Lippo sudah tak lagi diperpanjang mengkhawatirkan bagi sineas, mengingat pola
dan akan diganti oleh Cinemaxx. Konglomerasi ini penyebaran bioskop di Indonesia secara
hingga 2014 memiliki 40 pusat perbelanjaan di demografis dinilai tidak merata dan terpusat di kota
seluruh Tanah Air.19 Hingga Desember 2015 bioskop besar dan mayoritas di Pulau Jawa. Sineas dan
Cinemaxx berjumlah 72 layar dengan mengunakan produser film Indonesia Sheila Timothy
sistem digital.20 mengungkapkan ketersediaan bioskop yang belum
Hingga saat ini, jumlah bioskop terus merata, berimbas pada volume layar yang terbatas
bertambah. Hingga saat ini masih terdapat menjadi permasalahan krusial yang dihadapi insan
kesimpangsiuran data jumlah bioskop di Indonesia. perfilman nasional untuk tetap bersaing dengan
Pada tahun 2010, Badan Perimbangan Perfilman film impor asal Hollywood maupun non-
Nasional menyebutkan, jumlah bioskop di Indonesia Hollywood.
24
18
Hukum Online, 17 Juli 2002, “Cerita Monopoli di Balik Sukses
Bisnis Grup 21 Cineplex”, (online), (http://www.
hukumonline.com/berita/baca/hol6035/cerita-monopoli-
di-balik-sukses-bisnis-grup-21-cineplex diakses 7 Februari
2017).
19
Merdeka, 23 Mei 2014, “Cerita Monopoli di Balik Sukses
Bisnis Grup 21 Cineplex”, (online), (https://www.
merdeka.com/uang/lippo-bikin-jaringan-bioskop-saingi- 23
Viva co.id, 1 April 2016, “Abu Dhabi Incar Investasi Bioskop
21-dan-blitz.html diakses 7 Februari 2017). di Indonesia”, (online), (http://bisnis.news.viva.co.id/
20
Cinemaxxtheater.com, 11 Desember 2015, “Cinemaxx news/read/755096-abu-dhabi-incar-investasi-bioskop-di-
Resmikan Bioskop Baru Di Metropolis Town Square”, Kota indonesia diakses 6 Februari 2017).
Tangerang, (online), 24
Bisnis Indonesia, 17 April 2013, “Ironi Industri Perfilman Tanah
(https://www.cinemaxxtheater.com/NewsDetails.aspx?id= Air”, (online),
23 diakses 7 Februari 2017). (http://koran.bisnis.com/read/20130417/250/9160/ ironi-
21
Majalah Delta Film No. 4 Tahun I, 31 Agustus 2010. industri-perfilman-tanah-air diakses 3 Februari 2017)
22
Varia.id, 6 Februari 2015, “Pajak Film Indonesia Tidak 25
Garin Nugroho dan Herlina, Dyna Krisis dan Paradoks Film
Bersahabat”, (online), Indonesia, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2015, hal
(http://www.varia.id/2015/02/06/pajak-film-indonesia- v- vi.
tidak-bersahabat/#ixzz4Y4LH47q2 diakses 8 Februari
2017).
168 Kajian Vol. 22 No. 2 Juni 2017 hal. 79 - 95
26
Dari tabel perkembangan perfilman di Indonesia
Berbagai sumber yang digunakan antara lain Garin Nugroho
dan Dyna Herlina, Krisis dan Paradoks Film Indonesia, tersebut dapat kita lihat pasang surut perfilman di
Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2015; Annisa Nur Indonesia yang dipengaruhi kebijakan yang
Muslimah, Handrini Ardiyanti dkk, “Praktek-Praktek diterapkan pada masa itu. Pada masa pendudukan
Industri Budaya Pada Industri Perfilman di Indonesia (PPT)”, Jepang misalnya keberadaan urusan film di bawah
2016; Krishna Shen, “Persoalan-persoalan Sosial dalam Film Ganseikanbu Sendenbu (Jawatan Propaganda) yang
Indonesia” dalam Prisma no. 5, Tahun 1990; J.B Kristanto,
1995, Katalog Film Indonesia 1926-1995, Jakarta: Badan
mendirikan Nippon Eigasha membuat jumlah
Pertimbangan Perfilman Nasional, halaman 51-78; (online), produksi film meningkat. Hal tersebut dikarenakan
(http:// news.liputan6.com/ read/ 139521 /petualangan- Nippon Eigasha bertugas membuat film propaganda
sherina-menandai-kebangkitan-film-nasional diakses 6 dan Nichei yang bertugas memproduksi film berita.
Februari 2017); “Pajak Film Indonesia Tak Bersahabat”,
(online), (http:// www.varia.id/2015/02/06/pajak-film-
indonesia-tidak- bersahabat/#ixzz4Y4FrcweB diakses 8
Februari 2016. Dll).
Handrini Ardiyanti Perfilman Indonesia: Perkembangan dan Kebijakan Sebuah Telaah dari Perspektif Industri Budaya 169
Tercatat Nippon Eigasha mampu memproduksi C. Perkembangan Kebijakan Perfilman di
delapan judul film dalam setahun.27 Indonesia.
Dari tabel sejarah perkembangan film di Kebijakan tentang perfilman di Indonesia
Indonesia tersebut kita juga dapat mengetahui sebenarnya sudah ada pada masa kolonial Belanda
kondisi film Indonesia yang terpuruk akibat serbuan dengan dikeluarkannya Film Ordonnantie, Staatblad
film impor terjadi pada 1950-an hingga tahun 1956. van Nederlaandsch Indie No.276 tanggal 18 Maret
Tahun 1953 pasaran film nasional semakin terpojok 1916.31 Kebijakan selanjutnya yang dikeluarkan
dengan membanjirnya film-film impor. Para artis pemerintah kolonial Belanda adalah Filmordonnantie
melakukan pawai ke Istana Merdeka guna 1940 (Staatsblad 1940 No.507). Kebijakan perfilman
menyampaikan resolusi mendesak pemerintah di Indonesia selanjutnya pasca kemerdekaan diatur
supaya meninjau kembali peraturan mengenai dengan UU No.1 Pnps/1964 tentang Pembinaan
perdagangan film impor dan memperhatikan wajib Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia
putar film Indonesia.28 Hingga tahun 1956, produksi Tahun 1964 No.11, Tambahan Lembaran Negara
film Indonesia turun hingga mencapai 36 judul film Republik Indonesia No.2622), pada masa orde baru
karena dominasi film impor. Film Malaysia dan India diatur dengan UU No.8 tahun 1992 tentang Perfilman
menjadi pesaing utama film Indonesia di bioskop (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
kelas dua, sedang film Amerika mendominasi bioskop No.32, Tambahan Lembaran Negara Republik
kelas satu.29 Indonesia No.3473), dan terakhir diatur dalam UU
Dari tingkat produksi film, industri perfilman No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman (UU Perfilman)
Indonesia mengalami pasang surut. Pada tahun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
1992-1993, produksi film mencapai 42 film. Produksi No.141, Tambahan Lembaran Negara Republik
film Indonesia mencapai titik nadir pada tahun 2001- Indonesia No.5060).32
2002 yaitu hanya memproduksi 4 film. Berikut tabel Pada masa orde lama, tidak ada ada satu
produksi film Indonesia dari kurun waktu 1992-2012. departemen pun yang ditunjuk untuk mengurus
masalah perfilman. Kebijakan penyensoran pada
masa Orde Lama sangat berlebihan. Sensor yang
berlebihan biasanya berhubungan dengan isi yang
radikal baik sayap kanan maupun sayap kiri. Sebagai
contoh adalah film “Daerah Hilang” karya Bachtiar
Siagian, seorang sutradara dan tokoh Lekra33.
Akibatnya produksi film Indonesia terpuruk.
Kebijakan perfilman yang menarik adalah
kebijakan pada tahun 1956 yaitu adanya kebijakan
wajib putar film Indonesia tersebut dikeluarkan oleh
Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam Indonesia’s
Movie Industry: Impediments to Growth 30 Walikota Jakarta, Soediro. Kewajiban wajib putar film
Indonesia tersebut di berlakukan pada bioskop Kelas
Gambar 1.. Produksi Film Indonesia Dari Kurun Waktu 1992-
I yang biasanya hanya memutar film-film impor
2012
terutama dari Amerika. Kebijakan tersebut dilakukan
Pada era reformasi produksi film Indonesia karena produksi film Indonesia turun hingga
bertambah secara signifikan. Namun pada mencapai 36 judul film karena dominasi film impor.
kenyataannya, jika kita lihat secara cermat Film Malaysia dan India menjadi pesaing utama film
perkembangan industri film di Indonesia lebih Indonesia di bioskop kelas dua, sedang film Amerika
disebabkan karena daya juang dari insan perfilman mendominasi bioskop kelas satu.34 Kemudian
Indonesia. Sementara kebijakan perfilman di Kementerian Perdagangan berhasil pula dimintai
Indonesia masih sangat minim dalam memberikan oleh PPFI untuk membendung masuknya film Malaya
dorongan bagi perkembangan industri film Indonesia. dan Filipina. Tapi wajib putar pelaksanaannya kurang
lancar. Bukan saja ada hambatan-hambatan dari
pihak bioskop, tapi juga perlahan-lahan terasa
31 “
27
Nugroho Garin, opcit, hal.67 Lembaga Sensor Film Dan Kelayakan Film Di Indonesia”,
28
Merdeka 13 Maret 1956. (online), (http://eprints. walisongo. ac.id/
29
Tjasmadi, H.M. Johan, 100 Tahun Bioskop Indonesia (1999- 2575/4/081211024_Bab3. pdf. diakses 6 Februari 2017).
32
2000). Bandung: Megindo Tunggal Utama. 2008: hal.56 . Penjelasan Umum UU. No.8 Tahun 1992 tentang Perfilman.
33
30
Titik Anas, Haryo Aswicahyono and Dandy Rafitrandi, Shen, “Persoalan-persoalan Sosial dalam Film Indonesia”
Indonesia’s Movie Industry: Impediments to Growth, Policy dalam Prisma no. 5, tahun 1990.
34
Research Paper was prepared for the Indonesia Services Tjasmadi, op.cit. hal.56 .
Dialogue under the USAID-SEADI project, hal.1.
170 Kajian Vol. 22 No. 2 Juni 2017 hal. 79 - 95
bahwa terkadang film Indonesia lebih cocok diputar Tidak adanya departemen yang ditunjuk untuk
di Kelas II.Tercatat pada tahun 1956 film Indonesia mengurus film juga terjadi pada masa pemerintahan
mengalami masalah distribusi karena terdapat 50 Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur).
judul film Indonesia yang bertumpuk karena tidak Pembubaran Departemen Penerangan pada masa
ada pesanan untuk memutar.35 Gus Dur menimbulkan kekisruhan birokrasi dalam
Hancurnya infrastruktur perfilman sejak dunia film. Profuksi film tidak lagi harus melalui ijin
peristiwa 1965 membuat pemerintah merasa perlu negara namun harus mendapatkan persetujuan dari
untuk segera membangkitkan kembali industri. Lembaga Sensor Film (LSF) berdasarkan ketentuan
Menteri Penerangan B.M Diah mengeluarkan SK UU No.8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Namun
nomor 71 Tahun 1967 yang menyatakan bahwa untuk demikian, dibubarkannya Departemen Penerangan
setiap film yang diimpor, importir harus menyetor menyebabkan mekanisme pertanggungjawaban LSF
uang untuk dihimpun sebagai biaya pembuatan film menjadi rancu.37
nasional. Langkah selanjutnya adalah Yayasan Film Dunia perfilman Indonesia sejak tahun 1992
yang berkewajiban mengelola dana dan Dewan Film mengalami kemunduran luar biasa. Kondisi tersebut
yang ditunjuk sebagai pemberi arah. Berkat surat ditandai dengan terus ditutupnya gedung-gedung
keputusan ini empat film nasional telah dibiayai. bioskop dalam 10 tahun terakhir hampir di seluruh
Kebijakan perfilman selanjutnya yang menarik Indonesia dan hampir satu dekade tampak seperti
adalah Menteri Penerangan (Menpen) Boediharjo dalam keadaan mati suri. Dari sisi kebijakan terjadi
(1971-1975) mengeluarkan Surat Keputusan Menteri benturan antara UU No.8 tahun 1992 tentang
Penerangan No.74/Kep/Menpen/73 yang Perfilman dengan diberlakukannya otonomi daerah
meneruskan kebijakan yang menghimpun dana dari yang memperlakukan kebijakan lokal dalam upaya
importir film. Namun kebijakan kali ini lebih mengejar target daerah. Adanya kebijakan berbeda-
menekankan pada quantity approach yang beda yang diberlakukan oleh pemerintah daerah oleh
mengutamakan pertumbuhan industri film. Karena kalangan stakeholder perfilman sering dipandang
itu, pemerintah melalui Departemen Penerangan sebagai hambatan serius.38
membagi-bagikan kredit dari dana film impor kepada Perkembangan kebijakan sensor adalah salah
para pembuat film. Kendatipun jumlah produksi film satu substansi yang harus diperhatikan dalam
meningkat pesat, kredit tak pernah kembali karena menelaah perkembangan kebijakan perfilman.
umumnya kredit itu jatuh ke tangan mereka yang Komisi sensor film pertama kali didirikan pada 1916
tidak berpengalaman memproduksi film. di empat kota yaitu Batavia (Jakarta), Semarang,
Kebijakan selanjutnya dimasa Menpen Mashuri Surabaya dan Medan. Uniknnya, film yang lolos
(1975-1978) yang mengeluarkan Surat Keputusan sensor di satu daerah, belum pasti lolos sensor di
Menteri Penerangan No.47/Kep/Menpen/76 yang daerah lainnya. Hal tersebut terjadi karena adanya
memperluas penggunaan dana yang dihimpun dari perbedaan pendapat. Sensor film dilakukan pada
para importir. Dana impor itu tidak hanya sebatas kata-kata yang tertulis di layar putih dan pembicaraan
digunakan untuk produksi film, melainkan untuk para pemain. Pada tagun 1932 sensor yang dilakukan
perfilman, media massa dan dana yaktis Menpen. oleh Komisi Sensor Film dipusatkan di Batavia untuk
Yang berbeda dengan keputusan Menpen memperketat pengawasan.
sebelumnya, melalui surat keputusan yang baru ini Pada 1942, pemerintahan Hindia-Belanda
Menpen Mashuri memberlakukan “wajib produksi” menyerah kepada tentara pendudukan Jepang. Film
kepada para importir. Implikasi kebijakan ini adalah Commissie dibubarkan.39 Pada tahun 1945-1946 tidak
jumlah produksi film yang melimpah tanpa diikuti ada lembaga yang secara resmi menangani
peningkatan kualitas (karena keterbatasan para penyensoran film. Pada tahun 1948 diberlakukan
pekerja film) serta tidak tertatanya peredaran film kembali Film Ordonnantie 1940 yang lebih
disempurnakan dan dimuat dalam Staadblad No.155,
nasional. Berangkat dari situasi inilah, maka berdirilah
37
PT Perfin yang didukung oleh Surat Keputusan Haris Jauhari, Layar Perak: 90 tahun Bioskop di Indonesia,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Dewan Film
Bersama (SKB) Tiga Menteri (Menteri Penerangan,
Nasional, 1992, hal.53.
Menteri Pendidikan, dan Menteri Dalam Negeri) 38
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang
yang mewajibkan bioskop memutar film Indonesia Seni dan Film Asisten Deputi Urusan Pengembangan
dua kali sebulan.36 Perfilman. Kajian Peredaran dan Pemasaran Film Indonesia.
Jakarta: Asisten Deputi Urusan Pengembangan Perfilman
35
Alkhajar, Eka Nada Shofa op.cit., hal.10 Deputi Bidang Seni dan Film Kementerian Kebudayaan dan
36
FilmIndonesia.or.id, 1 September 2014, “Kredit Produksi Pariwisata, 2004, hal.1-2.
Film Untuk Menumbuhkan Mutu dan Industri Sekaligus”, 39
Mahariana, Laila, “Peranan Lembaga Sensor Film (LSF)
(online), (http://filmindonesia.or.id diakses 8 Februari Dalam Menegakkan Perlindungan Konsumen di Indonesia”,
2017). Skripsi, Fakultas Hukum UI, 2010, hal. 53-55.
Handrini Ardiyanti Perfilman Indonesia: Perkembangan dan Kebijakan Sebuah Telaah dari Perspektif Industri Budaya 171
yang menyatakan bahwa urusan pengawasan film ketentuan dalam UU No. 33 Tahun 2009 Tentang
dilakukan oleh Panitia Pengawas Film di bawah Perfilman. 43
Directeur van Binnenlandsche Bestuur40 atau Menteri Namun hingga saat ini kebijakan sensor film masih
Dalam Negeri. Alasan pengaturan urusan sensor film menjadi permasalahan bagi perfilman di Indonesia.
tersebut diletakkan dibawah Menteri Dalam Negeri Insan perfilman daerah Makasar misalnya menilai
adalah karena penilikan film terutama didasarkan sebaiknya LSF melakukan sensor sejak pembuatan
atas pendirian, bahwa pertunjukan-pertunjukan film mulai dari sinopsis sampai dengan skenario film
pilem dapat menimbulkan pengaruh yang kurang dan dibuat Berita Acaranya. Jika sensor dilakukan
baik atas keamanan dan ketertiban umum41 setelah film dibuat, dapat mengakibatkan alur cerita
sebagaimana diatur dalam “Undang-undang Pilem film menjadi tidak benar dari segi sinematografi
1940” (Filmordonnantie 1940, Staatsblad 1940 No. karena sinematografi bukan hanya cerita tetapi juga
507), “Peraturan Pilem 1940” (Filmverordening 1940, cahaya dan simbol. Setelah film dibuat tidak dilakukan
Staatsblad 1940 No. 539 yang telah diubah dengan sensor lagi. Jika pembuat film melanggar apa yang
Staatsblad 1948 No. 155 dan Lembaran Negara No. sudah ditetapkan maka pembuat film dapat dituntut
38/1951) dan “Keputusan pilem 1940” (Film besluit secara hukum. Selain itu kedudukan LSF diharapkan
1940, Bijblad 14490, yang telah diubah dengan tidak terpusat, dengan kata lain ada LSF Daerah yang
Putusan Menteri Dalam Negeri No.S.U.4/2/41 tahun terdiri atas orang-orang yang mengerti perfilman
1951). Namun kemudian urusan film dipindahkan ke yaitu tokoh agama, pendidikan, dan hukum. Jika film
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan kebudayaan. yang berasal dari daerah dan akan dipertunjukan di
Perubahan kepengurusan film dari Menteri Dalam daerah yang melakukan sensor adalah LSF daerah.
Negeri kepada Kementerian Pendidikan, Penjaran Jadi sensor terhadap film tersebut dapat dilakukan
dan Kebudayaan tersebut dilakukan melalui Undang- segera tidak perlu menunggu LSF pusat.
44
film yang sedang laris, tanpa perlu bersusah payah untung, sebagian untung dikembalikan ke investor
memikirkan bagaimana sisi estetikanya.45 yang akan digunakan untuk film lain.48
Namun sayangnya, komodifikasi film ini tidak Pada tahapan distribusi, permasalahan utama
dilakukan secara sadar. Artinya, produsen film tidak yang harus menjadi perhatian pengambil kebijakan
memperlakukan film sebagai komoditas dalam arti adalah monopoli masih menjadi permasalahan besar
keseluruhan, sebagaimana ada dalam industri yang harus segera diselesaikan. Dalam hal ini,
budaya. Dengan menempatkan film sebagai sebuah menurut Monopoly Watch, aktivitas Grup 21
komoditas dalam perspektif industri budaya, maka Cineplex yang melanggar pasal tentang integrasi
produsen harus mempelajari tentang reaksi individu vertikal adalah bahwa Grup 21 Cineplex memiliki hak
sebagai penonton yang mengkonsumsi film. Kondisi tunggal dalam pendistribusian film-film dari major
ini tidak terlepas dari minimnya dukungan terhadap company yang diberikan oleh pihak distributor film-
keberadaan sekolah film. film hollywood. Pendistribusian dilakukan melalui
Perhatian pemerintah untuk mengembangkan 3 perusahaan yang terafiliasi, yaitu PT Camila
sekolah perfilman berkualitas masih jauh dari Internusa Film, PT Satrya Perkasa Esthetika Film, dan
harapan. Tidak hanya sekolah yang berkualitas dari PT Nusantara Film. Akibatnya, pelaku usaha lain yang
sisi teknik, dari sisi kepiawaian memuaskan emosi memiliki potensi sebagai pesaing tidak dapat masuk
penonton dari sisi kemampuan berakting misalnya, dalam bidang ini.49 Dominasi grup besar dalam bisnis
lahirnya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) bioskop pun mulai merambah ke kota-kota di seluruh
yang didirikan oleh Usmar Ismail dan Asrul Sani pada Indonesia. Di Padang misalnya, kehadiran group 21
tahun 1955 hingga saat ini tidak ada dukungan yang Cineplex mengancam keberlangsungan hidup
berarti dari pemerintah. Padahal dari berbagai bioskop Raya dan bioskop Karya yang sudah
sekolah perfilman tersebut – misalnya dari ATNI beroperasi sejak tahun 1950.50
inilah kemudian muncul – star – yang penting dalam Buruknya kebijakan perfilman pada tahapan
dunia perfilman di Indonesia seperti Teguh Karya, distribusi ini juga terlihat kondisi ironis dialami film-
Wahyu Sihombing, Tatiek Maliyati, Pramana film Indonesia pada tahun 1990. Kompas, 2 Maret 1990
Patmadarna, Galeb Husein - yang dalam konsep memberitakan ada 60 judul fim Indonesia yang tidak
industri budaya merupakan elemen penting yang bisa diputar di Indonesia karena tidak ada pengedar
mendorong berkembangnya sebuah industri fim.46 film yang mau membeli dan mengedarkannya. Pada
Dari tahapan produksi, permasalahan lainnya saat itu Subentra Twenty One yang notabene
adalah pemerintah tidak memberikan stimuli untuk merupakan importir film telah menguasai 283 layar
mendorong perkembangan industri perfilman bioskop di seluruh Indonesia, baik yang tergabung
Indonesia. Berdasarkan penjelasan Deputi VI Bidang dalam Cineplex 21 atau merupakan usaha patungan
Hubungan Antar Lembaga dan Wilayah Badan dengan pengusaha bioskop yang sudah ada.51
Ekonomi Kreatif (Bekraf), Endah Sulistianti, selama Selain itu monopoli tersebut juga mempengaruhi
ini dana untuk perfilman dari pemerintah belum ada pola kerja sama dengan produsen film dimana
sama sekali. Dari dana APBN juga belum bisa.47 seluruh biaya promosi dibebankan kepada pihak
Kondisi ini jauh berbeda dengan kebijakan yang produser film. Sedangkan, pembagian hasil dilakukan
dilakukan pemerintah Korea Selatan. Direktur dengan pola bagi hasil 50% - 50% setelah dipotong
Penelitian Kebijakan Korean Film Council (Kofic), pajak tontonan. Negosiasi bagi hasil tersebut
Hyoun-soo Kim mengungkapkan, karena kondisi dilakukan oleh kedua belah pihak untuk melakukan
perfilman Korea Selatan pernah mengalami pemutaran film perdana produsen film. Akan tetapi,
keterpurukan yaitu keuntungan dari pemutaran film 48
M. Andika Putra, 10 Agustus 2016, “Industri Film Korea
lokalnya hanya mencapai 20 persen, maka Selatan Juga Pernah Alami 'Kiamat'”, (online), (http://www.
pemerintah segera mengambil serangkaian mediaindonesia.com/news/read/57529/belajar-dari-
kebijakan. Pemerintah Korea Selatan mengeluarkan industri-film-korea/2016-07-22#sthash. MEFNUOtN. dpuf
kebijakan mengenai proteksi film lokal agar bisa CNN Indonesia, diakses 8 Februari 2017).
49
Hukum Online, Rabu, 17 Juli 2002, “Cerita Monopoli di Balik
bersaing dengan film asing. Pemerintah juga Sukses Bisnis Grup 21 Cineplex”, (online),
mengumpulkan dana dari berbagai pihak swasta (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6035/c
yang disebut fund of funds. Sistem pendanaan itu erita-monopoli-di-balik- sukses-bisnis-grup-21-cineplex
bersifat investasi. Ketika film yang didanai mendapat diakses 7 Februari 2017).
50
Info Sumbar 20 April 2016, “Padang Akhirnya Mempunyai
45
Kristanto, JB. Nonton Film Nonton Indonesia. Bioskop Yang Representatif”, (online),
Jakarta:Kompas. 2004. hlm.xiii xiv (http://www.infosumbar.net/berita/berita-
46
Penjelasan Umum UU. No.8 Tahun 1992 tentang Perfilman. sumbar/padang-akhirnya-mempunyai- bioskop-yang-
47
Ibid. representatif/ diakses 8 Februari 2017).
51
Ade Armando, Televisi Indonesia di Bawah Kapitalisme
Global, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2016,
hal.138
Handrini Ardiyanti Perfilman Indonesia: Perkembangan dan Kebijakan Sebuah Telaah dari Perspektif Industri Budaya 173
produsen tidak memiliki bargaining position dan mengubah pola bisnis layar atau bioskop di
semua hasil negosiasi tidak tertuang dalam bentuk Indonesia.54
surat perjanjian alias tidak tertulis. 52 Di sisi lain, pajak yang dibebankan untuk film luar
Masih pada tahapan distribusi juga terdapat negeri masuk ke Indonesia sangat minim. Pajak film
permasalahan beragam pajak yang dikenakan pada impor hanya Rp.21.450 per menit. Jika rata- rata film
film Indonesia. Film Indonesia dikenakan beragam impor berdurasi 90 menit, berarti satu film hanya
pajak yaitu mulai dari bahan baku hingga pajak dibebani pajak sekitar Rp 2 juta.55 Padahal jumlah
hiburan yang dikenakan pada bioskop, sedangkan keuntungan yang diraup dari pemutaran film impor
pada film impor hanya dikenai pajak impor. sangat besar. Pada 2014 misalnya, Indonesia berada
Pemerintah menerapkan pajak film lokal yang lebih di peringkat ke-20 sebagai negara yang diminati
tinggi dibanding film impor menyulitkan pelaku investor film asing atau senilai US$200 juta dan
industri film. Sementara biaya yang dikeluarkan meningkat pada 2015 menjadi US$300 juta.56
pelaku industri film untuk pajak, rata- rata Sementara sebagai perbandingan, film Indonesia
mencapai 10 persen dari biaya produksi. Biaya yang yang mencapai box office seperti “Warkop DKI
ditanggung mencakup pajak produksi dan promosi. Reborn: Jangkrik Boss! part 1” hanya mampu meraup
Jika dianalogikan, biaya produksi satu film pendapatan kotor Rp.205 miliar, Film “Ada Apa
mencapai Rp.3 miliar. Artinya, produser harus Dengan Cinta 2” hanya meraup pendapatan
menyiapkan dana hanya untuk pajak sebesar kotorRp.109 miliar dan film ”My Stupid Boss” hanya
Rp.300 juta. meraup pendapatan kotor Rp.91 miliar.57
Ironisnya, meski sudah ditetapkan aturan
tentang kuota jam pertunjukan film di bioskop sudah E. Kebijakan Perfilman Yang Ideal
jelas diatur Pasal 32 Undang-Undang No 33 Tahun Kebijakan perfilman ideal yang mampu
2009 tentang Perfilman. Klausul di UU tersebut mendorong perkembangan perfilman Indonesia
menyebut kewajiban pelaku usaha pertunjukan film adalah kebijakan yang memberikan dukungan penuh
untuk mempertunjukkan film Indonesia sekurang- terhadap perkembangan industri perfilman
kurangnya 60 persen, dari seluruh jam pertunjukan Indonesia dari hulu hingga hilir dalam skema industri
film yang dimiliki selama enam bulan bertutut- turut. budaya Hesmondhalgh yaitu mencakup: produksi,
Namun,kuota tersebut belum dapat dipenuhi distribusi, promosi dan konsumsi. Pada tahapan
pengusaha bioskop. Selain itu ada tim seleksi film produksi, kisah kesuksesan Film Laskar Pelangi
khusus di jaringan bioskop XXI. Film yang tidak layak membuktikan bahwa kemampuan menguasai dan
tonton tidak diberi jatah layar.53 Karena itu perlu mempraktekan berbagai konsep dalam industri
dipikirkan sejumllah instrumen yang lebih tegas budaya merupakan salah satu kunci sukses dari
dalam UU Perfilman agar berbagai pengaturan industri film. Hal ini terbukti dari kesuksesan film
distribusi film dapat dipatuhi pengusaha bioskop Laskar Pelangi yang sukses melakukan proses
tanpa mematikan usaha. simulasi hingga mampu menghadirkan simulakra dan
Akan tetap pada tahun 2016, kebijakan hiperealistas. Simulakra yang dilakukan dalam film
perfilman mengalami peningkatan yang Laskar Pelangi merupakan konstruksi pikiran imajiner
mengembirakan. Kebijakan yang mengembirakan terhadap sebuah realitas yang dialami Andrea Hirata
tersebut adalah pemerintah akhirnya mencabut sebagai penulis. Film yang diproduksi oleh Miles
daftar negatif investasi (DNI) untuk bisnis industri Films dan Mizan Production, dan digarap oleh
film. Kebijakan ini bertujuan untuk memotong sutradara Riri Riza ini mampu manipulasi kenyataan
oligarki, kartel yang hanya dimiliki pihak tertentu. yang menenggelamkan representasi ke dalam
Dampak dari dikuasainya bioskop oleh kartel simulasi yang mereduksi keseimbangan antara citra
tertentu, hingga per-Februari 2016, baru hanya
dan realitas. Hal ini terasa ketika tokoh-tokoh yang menuntun setiap insan film untuk terus mencari
ada dalam Film Laskar Pelangi seolah nyata. Padahal teknik baru untuk berkomunikasi tentang apa yang
sosok Lintang yang digambarkan sangat jenius tetapi menjadi fokus perhatian masyarakat. 60
miskin ini masih menjadi misteri dan tidak dikenal Sedangkan untuk mengatasi masalah produksi
oleh tokoh-tokoh asli anggota Laskar Pelangi. terkait dengan kesulitan permodalan yang dihadapi
Kebijakan perfilman yang mendukung di tahapan industri perfilman Indonesia, pemerintah dapat
produksi lain adalah memberikan dukungan anggaran membantu mengumpulkan dana dari berbagai pihak
penuh bagi keberadaan sekolah-sekolah film yang swasta yang disebut fund of funds. Direktur Penelitian
berkualitas. Berkaca dari dukungan pemerintah Kebijakan Korean Film Council (Kofic), Hyoun-soo Kim
Korea Selatan yang mendorong penuh keberadaan mengungkapkan, karena kondisi perfilman Korea
sekolah-sekolah film di Korea Selatan, dukungan Selatan pernah mengalami keterpurukan yaitu
terhadap sekolah-sekolah film mampu mendongkrak keuntungan dari pemutaran film lokalnya hanya
secara signifikan terhadap perbaikan kualitas film mencapai 20 persen, maka pemerintah segera
produksi Korea Selatan. Tercatat hingga 2010, Korea mengambil serangkaian kebijakan. Pemerintah Korea
Selatan telah memiliki 300 sekolah film formal dan Selatan mengeluarkan kebijakan mengenai proteksi
nonformal. Tak hanya itu, anggaran perfilman Korea film lokal agar bisa bersaing dengan film asing.
Selatan mencapai Rp3,18 triliun per-tahun.58 Pemerintah juga mengumpulkan dana dari berbagai
Karena itu diperlukan kebijakan yang mampu pihak swasta yang disebut fund of funds. Sistem
melahirkan dan menjaga dari sisi creative personel pendanaan itu bersifat investasi. Ketika film yang
yang merupakan satu aset utama dalam industri film. didanai mendapat untung, sebagian untung
Elemen kreatif tidak dapat lahir begitu saja, dikembalikan ke investor yang akan digunakan untuk
melainkan memerlukan pendidikan dan bekal yang film lain.61
memadai. Produksi film berbeda dengan industri Pada tahapan distribusi, belajar dari strategi
lainnya. Faktor kuat yang mempengaruhi distribusi film Amerika, dapat dipikirkan untuk
keberhasilan sebuah industri film adalah bagaimana mengadopsi sejumlah langkah distribusi film yang
“memuaskan” emosi penonton dengan berbagai dilekatkan dapat kebijakan perdagangan. Industri
teknik. Film Jurassic Park misalnya, sebagaimana film Hollywood melakukan strategi dengan cara
diungkapkan Warren Buckland, selama dalam kurun menerapkan berbagai rangkaian tahapan dalam
wkatu 2 menit 30 detik, Jurassic Park menayangkan skema industri budaya tersebut secara terintegrasi.
adegan yang terdiri dari 43 shot. Artinya dalam setiap Hal ini dapat dilihat dari didirikannya MPEAA (Motion
shot berubah tiap 3 menit. Sama halnya dengan Picture Association of America) pada tahun 1945.
Spielberg, Alferd Hitchcock juga mengunakan MPEAA merupakan wadah berhimpunnya para
berbagai teknik untuk memuaskan emosi penonton produsen besar di dunia perfilman Amerika. Anggota
antara lain dengan teknik long takes dan deep focus MPEAA antara lain: 20th Century Fox, Paramount
shots.59 Teknik-teknik semacam itu membutuhkan Pictures, Universal Pictures, Walt Disney Pictures, dan
skill yang harus dikuasai dan memerlukan perhatian Warner Bros Pictures. Pada awalnya MPEAA
khusus. Untuk itu perlu ada kebijakan khusus dari berfungsi untuk menanggani urusan ekspor film.
pemerintah yang mendukung keberadaan sekolah Namun perkembangannya kemudian MPEAA
film yang mampu melahirkan insan kreatif yang sebagaimana diberitakan Kompas, 19 Mei 1991, tidak
mampu menguasai teknik film dengan baik. hanya menanggani ekspor film saja, melainkan juga
Masih dari sisi produksi, apa yang membuat film merambah ke bidang diplomasi, ekonomi dan politik,
menjadi film hebat, menurut Amy Villarejo adalah sehingga MPEAA mendapat julukan the little state
dari “nilai” sebagaimana dikemukakan Karl Marx. departement atau Departemen Luar Negeri “Kecil”.
Untuk mampu menghasilkan film yang bernilai, maka Akibatnya MPEAA dapat mempengaruhi kebijakan
kita harus mampu mengugah motivasi insan lain guna mendukung distribusi film- film produksi
perfilman dalam memproduksi sebuah film dan Amerika. Salah satu contohnya adalah pada tahun
dimasukkan dalam bahasan akademis. Film sama 1992, ketika pemerintah Amerika menunda
halnya dengan media lainnya, memiliki rules of the penandatanganan kesepakatan
Wawancara
Wawancara dengan Andrew Parinussa, Mahasiswa
Institut Kesenian Makassar sekaligus peraih
nominasi pada International Students Creative
Awards (ISCA) 2013 di Osaka, Japan untuk film
yang disutradarainya berjudul Adoption.
Wawancara tersebut dalam kerangka kegiatan
Pengumpulan Data guna penyusunan Draft
Revisi UU Perfilman oleh Sekretariat Jenderal
DPR RI Tahun 2015.
Bahan Lain
Surat Dewan Film Indonesia No: Srt/330/18/
DFI/1964, tentang Penutupan Bioskop, 18 April
1964.
UU No.33 Tahun 1999 Tentang Perfilman.