You are on page 1of 14

83

KONTRAVENSI NILAI SOLIDARITAS DAN NILAI KUASA


DALAM PEMENTASAN REOG PONOROGO

Oleh: Muhammad Suyudi


Institut Agama Islam Sunan Giri Ponorogo
Email: alkiso57@gmail.com

Abstract
This study aims to determine the controversy of the solidarity values and power values
in the performance of the reog Ponorogo. The reog Ponorogo performance was
classified into two: first, reog obyog or obyogan which was performed in the villages
during the celebration event, the commemoration of the Republic of Indonesia
Anniversary, the cleanup of the village and others. Secondly, the regency reog, its
whose staging was arranged by the Department of Culture and Tourism of Ponorogo
Regency, the performances included: (1) performing a full moon night, which was
shown were delegates from the sub-district, and each sub-district had to prepare; (2)
Festival of reog mini, for elementary and junior high school levels which are displayed
on every anniversary of Ponorogo Regency; (3) National Reog Festival, which is held
every Grebeg Suro event; and (4) Festival held once every two years before Grebeg
Suro. This type of research is qualitative research using a phenomenological approach
that describes data in accordance with existing phenomena. The technique of collecting
data uses interview techniques and documentation. Data analysis technique uses data
reduction, data display, and conclusion. The results obtained from this study are that the
value of solidarity among members of the reog Ponorogo group is very high, it is
proven that they are willing to sacrifice costs, time and energy for a good performance
for the group. However, the Regional Government of Ponorogo Regency also has the
power to regulate the performance of the Ponorogo regency. And sometimes this
solidarity values and power values creates controversy even though the form of
controversy is small.
Keywords: contravention, solidarity value, power value, performance of reog Ponorogo
A. Pendahuluan
Reog Ponorogo sudah tidak asing lagi baik bagi masyarakat Indonesia, bahkan
sampai ke manca negara. Terbukti Pada tanggal 16 Agustus 1997 sebuah
kelompok reog Ponorogo berangkat ke Jepang sebagai duta bangsa. Pada
tanggal 10 - 21 Agustus mereka tampil dalam acara pertukaran budaya Indonesia
- Jepang.1 Dari tahun ke tahun baik pemerintah maupun kelompok paguyuban seni
reog Ponorogo berusaha memperbaiki penampilan group reognya masing-masing
agar menjadi perhatian banyak orang. Hasilnya memang tidak seratus persen seperti
yang diharapkan, tetapi secara bertahap reog Ponorogo mulai menarik perhatian
berbagai kalangan. Tidak hanya bagi para penikmat seni dan budaya saja, tetapi

1
M. Zamzam Fauzanafi, “Reog Ponorogo; Antara Identitas, Komoditas, Dan Resisensi” dalam
Jurnal I-Lib UGM. Retrieved from http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=1306.

: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 10. No. 2 2017


84

reog juga menjadi perhatian para ilmuwan dan peneliti. Publikasi hasil penelitian
tentang reog Ponorogo-pun juga sudah banyak ditemukan di berbagai media, antara
lain:
Aris Andri Purwanto, 1998. Interaksi Sosial Dalam Kelompok Seni Reog
Singo Mulyo Dan Songgo Buwono (Studi Deskriptif tentang kerjasama persaingan
dan konflik dalam kelompok seni reog di Kelurahan Bangunsari Kecamatan
Ponorogo Kabupaten Ponorogo) dalam penelitiannya Purwanto mengungkapkan
adanya konflik antar anggota kelompok grup reog. Konflik ini berawal dari
persaingan antar anggota yang sama-sama ingin mendapat pengakuan dari
masyarakat. Tetapi para warga justru menganggap bahwa persaingan semacam ini
adalah hal yang wajar.2
Asmoro Achmadi, 2012. Reog Ponorogo Dalam Tinjauan Aksiologi
Relevansinya Dengan Pembangunan Karakter Bangsa mahasiswa Program Doktor
Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini dalam disertasinya meneliti
tentang Aksiologi yang ada dalam Reog Ponorogo dengan pandangan Max
Scheller. Sementara M. Zamzam Fauzanafi, 1999. Reog Ponorogo: Antara
Identitas, Komoditas, Dan Resistensi. Dalam penelitiannya Zamzami menemukan
bahwa Reog bisa dijadikan identitas bagi Kabupaten Ponorogo, dan komoditas
ekonomi bagi masyarakat Ponorogo. Namun dibalik itu semua reog Ponorogo juga
mengandung resistensi atau perlawanan. Terutama ketika kebijakan pemerintah
tentang bentuk penampilan reog tidak sesuai dengan penampilan reog yang biasa
dipertunjukkan oleh kelompok paguyuban reog di desa-desa. Menurut Zamzami ini
menimbulkan resistensi atau perlawanan meskipun bentuk resistensi itu hanya
dalam hati atau berupa pembicaraan antar sesama anggota paguyuban.3
Dalam penelitiannya Zamzam Fauzanafi tidak menyinggung masalah
solidaritas antar anggota kelompok reog Ponorogo ketika mereka sedang tampil.
Maka penulis tertarik untuk menulis artikel dengan judul: Kontravensi nilai
solidaritas dan nilai kuasa dalam pementasan reog Ponorogo. Kontravensi adalah

2
Aris Andri Purwanto, Interaksi Sosial Dalam Kelompok Seni Reog Singo Mulyo Dan Songgo Buwono
(Studi Deskriptif tentang kerjasama persaingan dan konflik dalam kelompok seni reog di Kelurahan
Bangunsari Kecamatan Ponorogo Kabupaten Ponorogo) dalam http://repository.unair.ac.id/47510/
(diakses tanggal 18 November 2017).
3
Suryaningsih, R. B. (Filantropi Penopang Solidaritas. Republika Online. Retrieved from
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/14/03/17/n2kre1-filantropi-penopang-solidaritas-
bagian1. (2015).

: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 10. No. 2 2017


85

suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dengan konflik.
Kontravensi ditandai dengan gejala-gejala adanya ketidakpastian mengenai diri
seseorang atau suatu rencana, perasaan tidak suka yang disembunyikan, kebencian,
atau keragu-raguan terhadap kepribadian seseorang. Kontravensi dapat tertuju pada
suatu pandangan, pikiran, keyakinan, atau rencana yang dikemukakan oleh
seseorang atau kelompok lain.4
Proses yang umum dari kontravensi meliputi perbuatan-perbuatan seperti:
1) Penolakan, keengganan, perlawanan, menghalang-halangi protes, kekerasan, dan
perbuatan mengacaukan rencana pihak lain. 2) Bentuk-bentuk kontravensi yang
sederhana, seperti menyangkal pernyataan orang lain di muka umum, memaki
orang lain, mencerca, memfitnah, atau melemparkan beban pembuktian kepada
pihak lain. 3) Bentuk-bentuk kontravensi intensif yang mencakup penghasutan,
menyebar desas-desus, atau mengecewakan pihak lain. 4) Kontravensi yang bersifat
rahasia, seperti menyebarkan rahasia orang lain dan berkhianat. 5) Kontravensi
yang bersifat taktis misalnya mengejutkan lawan, mengganggu atau
membingungkan pihak lain.5
Nilai adalah konsep, sikap dan keyakinan seseorang terhadap sesuatu yang
dipandang berharga olehnya.6 Ada pula yang mengartikan nilai sebagai standart
atau ukuran (norma) yang digunakan untuk mengukur segala sesuatu.7 Contohnya
orang itu sangat solid sehingga rela berkorban apapun demi kemajuan kelompok
reognya. Berarti orang itu nilai solidaritasnya besar.
Pengertian Nilai menurut Spranger adalah suatu tatanan yang dijadikan
panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam
situasi sosial tertentu. Dalam pandangan Spranger, kepribadian manusia terbentuk
dan berakar pada tatanan nilai-nilai kesejarahan. Meskipun menempatkan konteks
sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, namun Spranger mengakui
akan kekuatan individual yang dikenal dengan istilah roh subjektif. Sementara itu,
kekuatan nilai-nilai kebudayaan merupakan roh objektif. Kekuatan individual atau
roh subjektif didudukkan dalam posisi primer karena nilai-nilai kebudayaan hanya

4
http://www.berpendidikan.com/2015/06/pengertian-dan-contoh-kontravensi.html
5
http://www.berpendidikan.com/2015/06/pengertian-dan-contoh-kontravensi.html.
6
Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung: Alfabeta, 2004), 106.
7
Fuad Farid Isma’il dan Abdul Hamid Mutawali, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat (Yogyakarta: IRCiSoD,
2003), 197.

: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 10. No. 2 2017


86

akan berkembang dan bertahan apabila didukung dan dihayati oleh individu. 8
Macam-macam Nilai Menurut Spranger.
Spranger membagi nilai menjadi: (1) Nilai keilmuan, merupakan salah satu
dari macam-macam nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok
orang yang bekerja terutama atas dasar pertimbangan rasional. (2) Nilai agama
ialah salah satu dari macam-macam nilai yang mendasari perbuatan seseorang atas
dasar pertimbangan kepercayaan bahwa sesuatu itu dipandang benar menurut ajaran
agama. (3) Nilai ekonomi adalah salah satu dari macam-macam nilai yang
mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang atas dasar pertimbangan ada
tidaknya keuntungan finansial sebagai akibat dari perbuatannya itu. (4) Nilai Seni
merupakan salah satu dari macam-macam nilai yang mendasar perbuatan seseorang
atau sekelompok orang atas dasar pertimbangan rasa keindahan atau rasa seni yang
terlepas dari berbagai pertimbangan material. (5) Nilai Solidaritas ialah salah satu
dari macam-macam nilai yang mendasari perbuatan seseorang terhadap orang lain
tanpa menghiraukan akibat yang mungkin timbul terhadap dirinya sendiri, baik itu
berupa keberuntungan maupun ketidakberuntungan. Nilai solidaritas ini kadang-
kadang kontras dengan nilai kuasa. (6) Nilai Kuasa adalah salah satu dari macam-
macam nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang atas dasar
pertimbangan baik buruknya untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya.9
Dari macam-macam nilai yang disebutkan di atas, nilai yang dominan pada
masyarakat tradisional adalah nilai solidaritas, nilai seni dan nilai agama. Nilai
yang dominan pada masyarakat modern ialah nilai keilmuan, nilai kuasa dan nilai
ekonomi. Anggota kelompok reog Ponorogo yang kebanyakan tinggal di desa-desa
dengan corak masyarakat tradisional umumnya masih memiliki rasa solidaritas
yang tinggi.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan
pendekatan fenomenologi. Yaitu memaparkan data sesuai dengan fenomena yang
ada. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, dan dokumentasi data
yang terkumpul kemudian dianalisa menggunakan teknik reduksi data, penyajian
data, dan conclusion drawing/verification, yaitu penarikan kesimpulan dan
ferifikasi.
8
http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-nilai-dan-macam-macam-nilai.html
9
http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-nilai-dan-macam-macam-nilai.html

: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 10. No. 2 2017


87

B. Hasil dan Pembahasan


1. Sekilas Tentang Kesenian Reog Ponorogo
Ponorogo merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Timur dengan batas-
batas: sebelah utara Kab. Madiun dan kab. Magetan, sebelah Timur berbatasan
dengan kab. Trenggalek dan Kab. Nganjuk, Selatan berbatasan dengan Kab.
Pacitan, serta sebelah Barat berbatasan dengan Kab. Wonogiri. Kesenian yang
paling terkenal di Kabupaten Ponorogo adalah Reog Ponorogo. Menurut
catatan Kabupaten Ponorogo Dalam Angka Th. 2007 di Kabupaten Ponorogo
ada 234 unit reog dan 21 unit reog mini.10
Sebenarnya ada beberapa versi tentang asal mula terjadinya reog
Ponorogo. Namun, cerita yang paling terkenal adalah ketika Punggawa kerajaan
Majapahit yang mengasingkan diri dan membuat suatu tempat yang diberi
nama kademangan Suru Kubeng, dengan gelar Ki Demang Kutu atau Ki Suryo
Alam. Dengan berdirinya Kademangan Suru Kubeng, maka lama kelamaan
banyak pengikutnya yang menjadi murid dari Ki Ageng Kutu, untuk berlatih
kanoragan. Meskipun telah mengasingkan diri dari kerajaan Majapahit tetapi
Ki Surya Alam tetap mengikuti perkembangan di kerajaan Majapahit. Dalam
pengamatannya ki Demang Kutu tidak sependapat dengan apa yang dilakukan
raja, karena setiap tindakan dan keputusan besar yang diambil kerajaan selalu
dipengaruhi sang permaisuri. Raja tidak memiliki pendirian yang tegas dalam
mengambil keputusan dan tergantung kepada permaisuri raja, posisi raja sangat
lemah dan tidak memiliki prinsip yang kuat dan tidak mandiri.11
Demikian juga yang terjadi pada barisan prajurit kerajaan Majapahit,
bala tentara sangat lemah, tidak memiliki keberanian berperang untuk
menyerang. Ketangguhan prajurit Majapahit tidak seperti ketika Ki Surya
Alam masih menjadi Tamtama di Majapahit, yang gagah berani dan selalu siap
bertempur di mana dan kapan saja dibutuhkan kerajaan. Tidak demikian halnya
sekarang, prajurit Majapahit lemah dan tidak pemberani seperti pada
masanya dulu. Ki Demang Kutu sangat kecewa dengan keadaan kerajaan

10
Soemarta, Melihat Ponorogo Lebih Dekat (Ponorogo: Opix offset, 2011), 1-2.
11
Imam Gunawan dan Rina Trisulityoningrum, “Menggali Nilai-Nilai Keunggulan Lokal Kesenian Reog
Ponorogo Guna Mengembangkan Materi Keragaman Suku Bangsa Dan Budaya Pada Mata Pelajaran Ips
Kelas IV Sekolah Dasar” dalam e-journal.unipma.ac.id/index.php/PE/article/view/59, 63.

: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 10. No. 2 2017


88

yang demikian itu, maka dia memprotes dengan membuat sindiran terhadap
raja dan prajurit Majapahit. Wujud dari ketidakpuasannya dituangkan dalam
bentuk pertunjukan rakyat dengan menciptakan sebuah topeng kepala
harimau sebagai simbol seorang raja dan di atasnya diberi simbol burung
merak yang sedang membentangkan sayap- sayap indahnya sebagai simbol
dari sang permaisuri raja.12
Bentuk permainan itu dinamakan barongan, yang kemudian
terkenal dengan sebutan reog. Yaitu lambang atau simbol bahwa sang raja
dalam menjalankan pemerintahannya disetir oleh sang permaisuri. Untuk
menyindir prajurit Majapahit, Ki Demang Surya Alam menciptakan tarian
yang dilakukan oleh anak muda yang tampan dengan menunggang kuda
berpakaian keprajuritan tetapi baju yang digunakan adalah kebaya perempuan
dengan rambut panjang dan dirias cantik seperti seorang perempuan, dengan
gerakan tarian yang feminin dan lemah gemulai seperti wanita yang sedang
menari. Hal ini sangat ironis sekali dengan jiwa seorang prajurit yang
seharusnya tegas, sigap, dan penuh semangat. Dalam pertunjukannya,
permainan ini disebut barongan dengan diiringi oleh penabuh beberapa bende,
ketipung, kendang, dan bunyi-bunyian yang mengeluarkan suara gemuruh,
yang jika dibunyikan akan mengundang banyak orang untuk datang
menyaksikan tontonan ini. Setiap mengadakan pertunjukan tontonan ini akan
banyak disaksikan masyarakat yang ingin melihat pertunjukan baru yang
diciptakan oleh Ki Demang Kutu. Merasa banyak yang menyaksikan akan
simbol kritikannya terhadap Majapahit, maka timbul kekhawatiran dari Ki
Demang. Maka dikumpulkanlah para pengikut-pengikutnya untuk waspada dan
berjaga-jaga terhadap kemungkinan jika kerajaan Majapahit marah
13
dan menyerang Kademangan Kutu.
Guna mengantisipasi kemungkinan tersebut, para pengikutnya dilatih
olah kanoragan, yaitu ilmu beladiri dan berperang seperti yang dia miliki
ketika masih menjadi prajurit pilihan di Majapahit. Yang tua dikelompokkan

12
Imam Gunawan dan Rina Trisulityoningrum, “Menggali Nilai-Nilai Keunggulan Lokal Kesenian Reog
Ponorogo.., 63.
13
Imam Gunawan dan Rina Trisulityoningrum, “Menggali Nilai-Nilai Keunggulan Lokal Kesenian Reog
Ponorogo.., 64.

: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 10. No. 2 2017


89

dengan yang tua untuk diajarkan ilmu kadigdayan dari dalam, agar memiliki
kesaktian luar dalam yang tinggi. Sedangkan yang muda dikelompokkan
dengan yang muda untuk berlatih adu kekuatan luar, agar kebal terhadap
senjata apapun. Ki Demang memang orang yang kuat dan sakti terbukti dengan
ajaran yang diberikan kepada semua murid dan pengikutnya. Untuk
melengkapi kesiapan para murid dan pengikutnya mereka dibekali dengan
kolor, yaitu seutas tali pengikat celana yang diikatkan dipinggang menyerupai
sabuk. Kolor ini dapat digunakan sebagai alat dan senjata ketika menghadapi
musuh dalam suatu pertempuran, sehingga selain ada kekuatan badan dan
tenaga dalam, dapat pula menggunakan kolor sebagai senjata andalan
pengikut dari Ki Demang Kutu. Inilah awal mula munculnya Reog
Ponorogo. Reog Ponorogo dimainkan oleh beberapa orang penari. Masing-
masing penari membawakan tarian sesuai dengan karakter tokoh yang
diperankannya. Tokoh dalam Reog Ponorogo ada lima, yaitu: (1) Singo
Barong; (2) Klono Sewandono; (3) Bujangganong; (4) Jatil atau Gemblak; dan
(5) Warok.14
Barongan (Dadak merak) merupakan peralatan tari yang paling
dominan dalam kesenian Reog Ponorogo. Bagian-bagiannya antara lain;
Kepala Harimau (caplokan), terbuat dari kerangka kayu, bambu, rotan ditutup
dengan kulit Harimau Gembong. Dadak merak, kerangka terbuat dari bambu
dan rotan sebagai tempat menata bulu merak untuk menggambarkan seekor
merak sedang mengembangkan bulunya dan menggigit untaian manik - manik
(tasbih). Krakap terbuat dari kain beludru warna hitam disulam dengan monte,
merupakan aksesoris dan tempat menuliskan identitas group reog. Dadak
merak ini berukuran panjang sekitar 2,25 meter, lebar sekitar 2,30 meter, dan
beratnya hampir 50 kilogram.
Jathil adalah prajurit berkuda dan merupakan salah satu tokoh dalam
seni Reog. Jathilan merupakan tarian yang menggambarkan ketangkasan
prajurit berkuda yang sedang berlatih di atas kuda. Tarian ini dibawakan oleh
penari di mana antara penari yang satu dengan yang lainnya saling

14
Imam Gunawan dan Rina Trisulityoningrum, “Menggali Nilai-Nilai Keunggulan Lokal Kesenian Reog
Ponorogo.., 65.

: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 10. No. 2 2017


90

berpasangan. Ketangkasan dan kepiawaian dalam berperang di atas kuda


ditunjukkan dengan ekspresi atau greget sang penari.
Jathilan ini pada mulanya ditarikan oleh laki-laki yang halus, berparas
ganteng atau mirip dengan wanita yang cantik. Gerak tarinya pun lebih
cenderung feminin. Sejak tahun 1980-an ketika tim kesenian Reog Ponorogo
hendak dikirim ke Jakarta untuk pembukaan PRJ (Pekan Raya Jakarta), penari
jathilan diganti oleh para penari putri dengan alasan lebih feminin. Ciri-ciri
kesan gerak tari Jathilan pada kesenian Reog Ponorogo lebih cenderung pada
halus, lincah, genit. Hal ini didukung oleh pola ritmis gerak tari yang silih
berganti antara irama mlaku (lugu) dan irama ngracik.
"Warok" yang berasal dari kata wewarah adalah orang yang
mempunyai tekad suci, memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih.
Warok adalah wong kang sugih wewarah (orang yang kaya akan wewarah).
Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau
pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik.Warok iku wong kang
wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa (Warok adalah orang
yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan
batin). Warok merupakan karakter/ciri khas dan jiwa masyarakat Ponorogo
yang telah mendarah daging sejak dahulu yang diwariskan oleh nenek moyang
kepada generasi penerus. Warok merupakan bagian peraga dari kesenian Reog
yang tidak terpisahkan dengan peraga yang lain dalam unit kesenian Reog
Ponorogo. Warok adalah seorang yang betul-betul menguasai ilmu baik lahir
maupun batin.
Bujang Ganong (Ganongan) atau Patih Pujangga Anom adalah salah
satu tokoh yang enerjik, kocak sekaligus mempunyai keahlian dalam seni bela
diri sehingga disetiap penampilannya senantiasa di tunggu - tunggu oleh
penonton khususnya anak-anak. Bujang Ganong menggambarkan sosok
seorang Patih Muda yang cekatan, berkemauan keras, cerdik, jenaka dan sakti.
Klono Sewandono atau Raja Kelono adalah seorang raja sakti
mandraguna yang memiliki pusaka andalan berupa Cemeti yang sangat ampuh
dengan sebutan Kyai Pecut Samandiman kemana saja pergi sang Raja yang
tampan dan masih muda ini selalu membawa pusaka tersebut. Pusaka tersebut

: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 10. No. 2 2017


91

digunakan untuk melindungi dirinya. Kegagahan sang Raja di gambarkan


dalam gerak tari yang lincah serta berwibawa, dalam suatu kisah Prabu Klono
Sewandono berhasil menciptakan kesenian indah hasil dari daya ciptanya
untuk menuruti permintaan Putri (kekasihnya). Karena sang Raja dalam
keadaan mabuk asmara maka gerakan tarinyapun kadang menggambarkan
seorang yang sedang kasmaran.
2. Pementasan Reog Ponorogo
Bentuk pementasan reog Ponorogo saat ini ada beberapa versi yang berbeda.
Perbedaan itu terlihat pada pola gerakan, jumlah personel atau tokoh reog, serta
kostum. Menurut Bapak Sugiono, penari reog di desa Bulu Kecamatan Sambit
Ponorogo, perbedaan itu sesuai kondisi kemampuan ekonomi dan SDM masing-
masing group reog. Untuk group reog yang masih baru biasanya tokoh yang
ditampilkan tidak selengkap group reog yang sudah lama. Seperti group reog desa
Bulu Kecamatan Sambit misalnya, mereka hanya memantaskan warok, penari dadak
merak, ganongan, dan jathil. Jathilnya-pun masih menyewa jathil dari desa lain
karena SDM yang dimiliki masih terbatas.15
Sementara menurut Sutrisno, perbedaan pementasan reog Ponorogo
disebabkan kepercayaan masing-masing group reog tentang asal usul reog Ponorogo.
Karena kenyataan yang beredar di masyarakat, asal usul reog Ponorogo ada beberapa
versi yang berbeda, maka pementasan reog-pun juga berbeda-beda.16 Perbedaan pola
gerakan dan kostum pertunjukan kesenian reog Ponorogo pada masa sekarang
dengan masa dulu yang sangat mencolok adalah munculnya dua versi pertunjukan
reyog yaitu reyog yang disajikan di Festival Reyog Nasional (FRN) dan Reyog
Obyog atau reyog yang biasa dilakukan oleh masyarakat atau obyogan.
Pada pentas reyog yang ditampilkan di Festival Reyog Nasional
(FRN) terdiri dari formasi lengkap dari cerita reyog. Karakter yang ada meliputi
penari jathil atau jaranan yang diperankan oleh perempuan. Biasanya dalam
pertunjukan festival terdapat sekitar 10 penari. Selain itu ada karakter warok
atau laki-laki paruh baya berpakaian serba hitam dengan mengenakan
jenggot yang tebal.

15
Wawancara dengan Sugiono tanggal 19 November 2017.
16
Wawancara dengan Sutrisno tanggal 21 November 2017.

: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 10. No. 2 2017


92

Karakter lain dalam pertunjukan ini adalah bujang ganong atau patih raja.
Ketiga karakter penari itu dipimpin oleh satu raja bernama Prabu Klono
Sewandono. Sementara inti dari pertunjukan reyog ini terletak pada Dhadak
Merak atau topeng yang sangat besar berbentuk kepala singa dan bermahkota
burung merak. Kelima karakter itu muncul secara bergiliran pada pentas Festival
Reyog Nasional. Pada Festival Reyog Nasional alur pertunjukan yang disajikan
sangat rapi dan teratur.
Berbeda dengan Reyog Festival, Reyog Obyog atau Obyogan biasa
dipentaskan pada saat masyarakat setempat memiliki acara atau hajatan. Pemilik
rumah hajatan akan menyewa pemain Reyog Obyog untuk melakukan
pementasan. Pertunjukan ini tentu sangat dinanti oleh masyarakat karena dengan
adanya Reog Obyog atau obyogan masyarakat menjadi terhibur. Pentas Reyog
Obyog biasanya tidak banyak membutuhkan pemain, sebagaimana pada
festival. Di dalam reyog obyog biasanya hanya terdiri dari Dhadak merak, jathil,
dan bujang ganong. Nuansa pementasan Reyog Obyog didominasi oleh: penari
jathil yang erotis, kegagahan (kekuatan) barongan, spontanitas, dan “ kebrutalan”
para penonton yang hampir seluruhnya adalah lak-laki.17
Reog Obyog adalah salah satu jenis pertunjukan Reog Ponorogo yang
muncul di pertunjukan reog rakyat tradisional. Reog Obyog adalah bentuk seni
pertunjukan rakyat yang dapat ditanggap, dimainkan dan ditonton kapan saja, di
manapun dan oleh siapapun. Reog Obyog sangat dekat dengan masyarakat. Jenis
pertunjukan ini menyatu dengan nilai dan kehidupan masyarakat seperti acara
pernikahan, khitanan, slametan atau bersih desa.18
3. Nilai Solidaritas dalam Pementasan Reog Ponorogo
Nilai solidaritas dalam pementasan reog Ponorogo terlihat pada antosias
anggota grop reog desa. Pemeran Dhadak merak membawa topeng kepala singa
yang beratnya mencapai 50 kg hanya menggunakan giginya. Menurut Sutrisno,
agar bisa kuat mengangkat beban seberat itu harus sering-sering latihan. Latihannya
dengan menggigit tali yang dihubungkan dengan roda berporos dan Untuk latihan
awalnya, bebannya tidak terlalu berat kemudian berat beban itu ditambah sedikit

17
Muhammad Zamzam Fauzanafi, Menari Diantara Dominasi dan Keberagaman (Yogyakarta: Kepel
Press, 2005), 113.
18
Muhammad Zamzam Fauzanafi, Menari Diantara Dominasi dan Keberagaman, 10.

: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 10. No. 2 2017


93

demi sedikit. Ketika ditanya mengenai alasan kenapa ia mau melakukan itu,
Sutrisno mengaku hanya sebagai hobby atau kegemaran saja.19
Solidaritas anggota kelompok reog juga ditunjukkan oleh Basori, seorang
penari Bujang Ganong (ganongan). Jika group reognya akan pentas ia latihan
menari setiap malam. Dan untuk sementara ia meninggalkan belajarnya, agar
latihan menarinya bisa maksimal. Ia mengaku pernah pentas di kecamatan Sambit
dalam acara Karnaval memperingati HUT RI, selain itu juga pentas dalam acara-
acara hajatan desa.20
4. Nilai Kuasa dalam Pementasan Reog Ponorogo
Pemerintah Ponorogo memiliki kebijakan agar masyarakat juga
membantu melestarikan kebudayaan Reog Ponorogo. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Bapak Bambang Wibisono, untuk melestarikan Reog Ponorogo
ada kebijakan-kebijakan dalam hal mengadakan pementasan Reog Ponorogo,
diantaranya: (1) pentas Reog Malam Purnama, yang ditampilkan adalah utusan
dari kecamatan, dan masing-masing kecamatan harus mempersiapkan; (2) Festival
Reog Mini, untuk jenjang SD dan SMP yang ditampilkan di setiap hari jadi
Kabupaten Ponorogo; (3) Festival Reog Nasional, yang dilaksanakan setiap acara
Grebek Suro; dan (4) Festival yang diadakan setiap dua tahun sekali menjelang
Grebek Suro. Kebijakan ini disampaikan melalui pihak Kecamatam, kemudia pihak
Kecamatan menyampaikannya ke grop atau kelompok reog di masing-masing
desa.21
Kebijkan itu sesuai dengan Peraturan Bupati Ponorogo Nomor 63 Tahun
2008 Tentang Uraian Tugas dan Fungsi Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda
dan Olah Raga Kabupaten Ponorogo, tugas Bidang Kebudayaan adalah
mengumpulkan bahan pembinaan, pemantauan, pelaksanaan perizinan, dan
koordinasi di bidang kebudayaan. Uraian tersebut dijelaskan sebagai berikut:
(1) pelaksanaan pendataan kegiatan kesenian, sejarah, nilai tradisional,
museum dan kepurbakalaan; (2) pelaksanaan koordinasi dengan instansi terkait
untuk memajukan kesenian serta melestarikan sejarah, nilai tradisional, museum,

19
Wawancara dengan Sutrisno Penari Reog Desa Bulu Sambit Ponorogo, tanggal 19 Novemebr 2017.
20
Wawancara dengan Basori, Penari Bujang Ganong Group reog Desa Bulu Sambit Ponorogo, tanggal 20
November 2017.
21
Wawancara dengan Bambang Wibisono, Ka. Sub. Bidang Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Ponorogo, Tanggal 22 November 2017.

: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 10. No. 2 2017


94

dan benda-benda kepurbakalaan; (3) pelaksanaan di bidang seni budaya; (4)


pelaksanaan pemantauan terhadap kegiatan seni budaya; (5) penyaluran subsidi
atau bantuan kepada kegiatan kesenian, sejarah, nilai tradisional, museum
kepurbakalaan, serta memantau pelaksanaan dan pemanfaatannya; (6)
pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas di bidang kebudayaan; dan
(7) pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh kepada dinas. 22
Untuk tempat pementasan reog sudah disediakan yaitu di aloon-aloon
Kabupaten Ponorogo, tepatnya di panggung utama aloon-aloon Ponorogo.23 Apa
yang disampaikan oleh Bapak Bambang itu sesuai dengan yang ditulis oleh
Soemarto, bahwa pentas reyog di malam purnama diselenggarakan setiap satu
bulan sekali bertempat di panggung utama aloon-aloon juga didukung tari-tarian
oleh siswa SD, SMP,dan juga SLTA dilaksanakan sejak 2004.24
5. Kontravensi Nilai Solidaritas Dan Nilai Kuasa Dalam Pementasan Reog
Ponorogo
Reog adalah sebuah legenda yang tertuang dalam karya seni pada tangan
pencipta Reog terdahulu. Karena Reog adalah sebuah legenda, maka cerita reog
antara seseorang dengan orang lainnya tidak sama. Banyak sekali perbedaan
pendapat antara informan satu dengan yang lainnya, namun jika dicermati
ternyata inti dari uraian pendapat tersebut sebenarnya sama.
Berdasarkan penjelasan dari Bapak Bambang Wibisono, dapat dipahami
bahwa Bidang Kebudayaan Kabupaten Ponorogo mempunyai wewenang untuk
mendata, memajukan, serta melestarikan seluruh kegiatan kesenian, sejarah, nilai
tradisional Kabupaten Ponorogo, termasuk kesenian reog Ponorogo. Untuk
pementasan reog Ponorogo, ia mengatur waktu dan tempat pementasan. Jika dalam
reog obyog atau reog desa para anggota group reog bisa bebas menampilkan
gerakan tari mereka, maka penampilan mereka dipanggung aloon-aloon Kabupaten
Ponorogo tidak demikian.
Group reog yang tampil di panggung utama aloon-aloon Kabupaten juga

22
Peraturan Bupati Ponorogo Nomor 63 Tahun 2008 Tentang Uraian Tugas dan Fungsi Dinas
Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga Kabupaten Ponorogo. Ponorogo: Pemkab
Ponorogo.
23
Wawancara dengan Bambang Wibisono, Ka. Sub. Bidang Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Ponorogo, Tanggal 22 November 2017.
24
Soemarto, Melihat Ponorogo Lebih Dekat (Ponorogo: Opix Offset, 2011), 68.

: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 10. No. 2 2017


95

tidak sembarang group reog, melainkan group reog yang dipilih mewakili
kecamatan. Jika tokoh group reog yang terpilih untuk tampil di panggung utama
aloon-aloon Kabupaten Ponorogo itu belom lengkap, tentu mereka harus
melengkapi tokoh-tokohnya, yaitu Barong (dhadak merak), warok, bujang ganong,
jathil dan klono sawendono. Karena versi cerita reog yang yang tampil di
Kabupaten memang lengkap menampilkan ke-lima tokoh tersebut. Ini tentunya
akan menambah pengeluaran biaya bagi group reog yang bersangkutan, karena
masing-masing tokoh membutuhkan kostum, latihan, biaya akomodasi dan lain-
lain. Ini menunjukkan adanya nilai solidaritas group reog tersebut dalam
memantaskan group reognya.
Sebaliknya, bagi group reog yang masih kecil, atau masih baru,
pementasan mereka hanya terbatas di acara-acara hajatan desa dan Kecamatan.
Tidak sampai ke panggung utama aloon-aloon kabupaten Ponorogo. Namun
demikian jika melihat paparan dari Bapak Sutrisno, dan Basori yang rela latihan
demi kebaikan pementasan group reog mereka, ini menujukkan bahwa nilai
solidaritas mereka tinggi.
Dari hasil wawancara dengan Sugiono, Sutrisno dan Basori, dapat
disimpulkan bahwa tidak hanya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Ponorogo saja yang berusaha melestarikan reog Ponorogo. Masyarakat Ponorogo-
pun juga antusias melestarikan reog Ponorogo. Bahkan masyarakat memiliki rasa
solidaritas dalam pemantasan reog Ponorogo, seperti penari reog yang rela
membawa dadak seberat mencapai 50 Kg hanya dengan menggunakan giginya,
penari bujang ganong yang biasanya usia anak sekolah yang harus meninggalkan
belajarnya, para warog dan pengiring reog yang rela makan beling (pecahan kaca)
demi menarik perhatian penonton, serta solidaritas unsur-unsur lain dalam
kelompok reog. Solidartas anggota kelompok reog itu kadang-kadang bertentangan
dengan kebijakan penguasa tentang pementasan reog, sehingga menimbulkan
kontravensi.
C. Penutup
Berdasakan pemaparan di atas terlihat bahwa bentuk atau wujud pementasan
reog antara kebijakan pemerintah daerah Ponorogo dengan pementasan reog yang
biasadilakukan oleh kelompok reog Ponorogo kadang-kadang berbeda. Perbedaan

: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 10. No. 2 2017


96

itu dirasakan oleh masing-masing tokoh dalam penari reog sebagai batasan gerak.
Tetapi yang mereka lakukan selama ini cuma mengikuti aturan. Terutama jika
kelompok reog mereka diundang tampil di panggung Kabupaten. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa nilai kuasa dalam pementasan reog Ponorogo ternyata
lebih dominan.
Daftar Pustaka
Fauzanafi, Muhammad Zamzam. 2005. Menari Diantara Dominasi dan Keberagaman
Yogyakarta: Kepel Press,

Gunawan, Imam dan Trisulityoningrum, Rina. “Menggali Nilai-Nilai Keunggulan Lokal


Kesenian Reog Ponorogo Guna Mengembangkan Materi Keragaman Suku
Bangsa Dan Budaya Pada Mata Pelajaran Ips Kelas IV Sekolah Dasar” dalam
e-journal.unipma.ac.id/index.php/PE/article/view/59.

Hidayanto, A. F. Topeng Reog Ponorogo dalam Tinjauan Seni Tradisi. Jurnal


Eksis, Vol. 8 No. 1 2012.

Isma’il, Fuad Farid dan Mutawali, Abdul Hamid. 2003. Cepat Menguasai Ilmu
Filsafat. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.

Isyanti. Seni Pertunjukan Reog Ponorogo sebagai Aset Pariwisata. Jantra


Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. II No. 4, 2007.

Maryono. Reog Kemasan sebagai Aset Pariwisata Unggulan Kabupaten


Ponorogo. Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, V o l . VIII
No. 2, 2007.

Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta, 2004.

Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo Dalam Pentas Budaya Bangsa.


Ponorogo: Pemkab Ponorogo.

Peraturan Bupati Ponorogo Nomor 63 Tahun 2008 Tentang Uraian Tugas dan Fungsi
Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga Kabupaten
Ponorogo. Ponorogo: Pemkab Ponorogo.

Suryaningsih, R. B. Filantropi Penopang Solidaritas. Republika Online. Retrieved from


http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/14/03/17/n2kre1-
filantropi-penopang-solidaritas-bagian1. (2015).

: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 10. No. 2 2017

You might also like