You are on page 1of 10

Upaya Penurunan Risiko Stunting Melalui Pendekatan Interproffesional

Collaboration (IPC)

Sri Mulyanti1*, Athanasia Budi Astuti2


1,2
Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Surakarta
*Email: yantidion96@gmail.com

Abstract
Background: Indonesia still ranks in the 10th largest stunting rate in the world. Research seeks to find
new approaches to improve the quality of maternal behavior in providing nutrition to babies. Purpose of
this study is to know the effectiveness of Interproffesional Collaboration. Methods: The study was
conducted in Karanganom Klaten, Central Java, March-August 2019. This study was an experimental
study with a quasi-experimental design on 90 respondents who had babies less than 2 years. The
treatment is in the form of an Interproffesional Collaboration program (doctors, nurses, midwives,
nutritionists, and sanitarians) which provide health promotion programs according to their respective
professions for 3 months. The research instrument was a cognitive test, a questionnaire, and a of infants
under two years of ageantrompomary examination sheet. Data were analyzed using Dependent t-test.
Results: The mean value of knowledge about stunting increased from 31.44 to 80.22 (p = 0.001),
knowledge about how to give nutrition to of infants under two years of age increased from 48.81 to 70.74
(p = 0.001), the attitude towards stunting changed from 9.68 to 16.52 (p = 0.001), and the behavior of
providing nutrition was also getting better from 76.53 to 87.73 (p = 0.001). The results of the Dependent
Paired t-test p = 0.001, proved that the Interproffesional Collaboration program (nurses, doctors,
midwives, nutrition, and sanitarians) was effective in increasing the knowledge, attitudes and behavior of
residents in preventing the risk of stunting. Conclusion: Interproffesional Collaboration is effective to
increase knowledge, attitudes, and behavior of mothers of infants under two years of age (baduta) in an
effort to prevent the risk of stunting and improve the nutritional status.

Keywords: interproffesional collaboration, stunting

PENDAHULUAN (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan


Saat ini Indonesia masih menempati angka kejadian stunting di Indonesia
peringkat 10 terbesar angka stunting masih mencapai 29,9%. Masalah gizi lain
sedunia. Indonesia termasuk negara terkait dengan stunting adalah anemia
dengan tingkat stunting tertinggi di Asia, pada ibu hamil (37,1%), Berat Bayi Lahir
di bawah Timor Leste, Laos dan Kamboja. Rendah (BBLR 10,2%), balita kurus atau
Kejadian stunting di Indonesia tercatat 7,8 wasting (10,1%) dan anemia pada balita.
juta dari 23 juta balita adalah penderita Hanya 48,6% anak balita yang tidak
stunting atau sekitar 35,6%. Sebanyak menderita gangguan gizi (Khosiah &
18,5% kategori sangat pendek dan 17,1% Muhardini, 2019).
kategori pendek (Kemenkes RI, 2018). Ini Hasil penelitian Ardian, Hertanto,
juga yang mengakibatkan WHO dan Ani (2016) menunjukkan faktor sosio-
menetapkan Indonesia sebagai negara ekonomik mempengaruhi intake energi
dengan status gizi buruk. Prevalensi dan protein pada balita yang mengalami
stunting di Indonesia selama 10 tahun sunting (Utami et al., 2017). Kondisi
terakhir menunjukkan tidak adanya sosial ekonomi dibandingkan dengan
perubahan, sehingga perlu ditangani faktor lain seperti riwayat penyakit dan
segera. Hasil Riset Kesehatan Dasar pendidikan keluarga merupakan

64
Sri Mulyanti, The Effectiveness Of Interprofessional Collaboration Towards Knowledge 65

determinan utama resiko terjadinya stunting (Uliyanti, Tamtomo Didik


stunting (Waroh, 2019). Kenyataan Gunawan, 2010).
memberikan bukti bahwa kebijakan atau Dampak dari stunting tidak hanya
policy pemerintah tentang pendidikan ibu terjadi pada masa anak-anak, tetapi dapat
hamil dan immunisasi juga merupakan berlanjut pada masa pertumbuhan dan
faktor determinan kejadian stunting perkembangan selanjutnya dan bahkan
(Abuya et al., 2011). Penelitian Thesome sampai dewasa. Kondisi ini jika tidak
et.all (2009) juga memberikan bukti segera di atasi, maka bonus demografi
pemberian nutrisi yang tidak adekuat pada yang semestinya dinikmati bangsa
anak balita di daerah surplus makanan di Indonesai akan berubah menjadi musibah,
negara Ethiopia ternyata sangat karena banyak generasi penerus yang
mempengaruhi kejadian stunting mengalami stunting. Pemerintah Indonesia
(Teshome et al., 2010). telah berupaya mengendalikan dan
Penelitian Adani dan Windya (2017) menurunkan prevalensi stunting sejak
menambah bukti bahwa asupan nutrisi 2005. Namun dalam kenyataanya
pada balita sangat mempengaruhi prevalensi stunting pada lima tahun
stunting, dimana balita non-stunting terakhir tidak menunjukkan penurunan,
mempunyai asupan energi, protein, Fe, bahkan cenderung meningkat atau
Zink yang tinggi dan stimulasi psikososial stagnan. Khusus stunting pemerintah telah
serta perkembangan yang baik daripada mengeluarkan program intervensi gizi
balita stunting (Lestari et al., 2018). spesifik dan intervensi gizi sensitif.
Penelitian Rah et.al. juga memberikan Namun semua program tersebut pada
bukti kalau faktor makanan pada balita kenyataanya belum mampu menurunkan
merupakan faktor resiko stunting, dimana prevalensi stunting sesuai target yang
berkurangnya keragaman makanan adalah telah ditetapkan (Sekretariat Wakil
prediktor kuat terjadinya stunting di Presiden RI, 2017). Oleh karena itu perlu
pedesaan Bangladesh (Rah et al., 2010.) dicari akar permasalahan yang
Dimasukkannya berbagai kelompok menghambat pencapaian target tersebut.
makanan ke dalam makanan pelengkap Penelitian terkait upaya peningkatan
mungkin penting untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap stunting
status gizi anak untuk mencegah stunting sudah pernah dilakukan. Penelitian
(Rah et al., 2010). Simanjuntak (2019) tentang pengetahuan
Salah satu nutrisi yang esensial pada dan sikap ibu terhadap pemanfatan
anak balita adalah ASI (Air Susu Ibu). makanan tradisional mempunyai
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan erat terhadap risiko terjadinya
hubungan antara panjang badan lahir stunting (Simanjuntak et al., 2019).
balita, riwayat ASI eksklusif, pendapatan Pendidikan kesehatan juga efektif untuk
keluarga, pendidikan ibu dan pengetahuan meningkatkan pengetaauan dan sikap ibu
gizi ibu terhadap kejadian stunting pada terhadap stunting (Rosmalina et al., 2018).
balita. Perlunya program yang terintegrasi Pelatihan perangkat desa untuk ikut
dan multisektoral untuk meningkatkan beperan dalam penaggulangan stunting
pendapatan keluarga, pendidikan ibu, juga cukup efektif untuk mengubah
pengetahuan gizi ibu dan pemberian ASI pengetahuan dan sikap perangkat desa
eksklusif untuk mengurangi kejadian sebagai saumber daya manusia di desa
66 Jurnal Keperawatan Global, Volume 5, No 2, Desember 2020, hlm 56-117

(Khosiah & Muhardini, 2019). Program 90 Ibu yang mempunyai bayi berusia
WHO juga sangat menekankan perlunya dibawah dua tahun (baduta) dan 30 kader
upaya yang keras dari berbagai kesehatan. Perlakuan berupa program
stakeholder dalam penanganan stunting Interprofesional Collaboration (dokter,
(WHO, 2018). Pada penelitian tersebut perawat, bidan, ahli gizi, dan sanitarian)
mayoritas pendidikan kesehatan dilakukan selama 3 bulan. Data dianalisis dengan t-
secara mandiri sesuai profesinya, dan test. Penelitian dilaksanakan di wilayah
belum diintegrasikan dalam tim kesehatan kerja Puskesmas Karanganom Kabupaten
atau kolaborasi antar profesi. Klaten Jawa Tengah. Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti dilaksanakan mulai bulan Maret –
berupaya menemukan strategi baru untuk Agustus 2019.
mencegah stuting yaitu dengan
Interprofessional Collaboration (IPC), HASIL PENELITIAN
apakah dapat merubah pengetahuan, Tabel 1. di bawah ini memberikan
sikap, perilaku warga, dalam hal ini ibu gambaran umur ibu yang paling banyak
dan kader kesehatan tentang stunting. adalah pada kategori 20 – 30 tahun yaitu
Interprofessional Collaboration adalah 52,22% dan yang paling kecil adalah pada
kerjasama yang baik dan saling kelompok umur 41 – 50 tahun sebesar
menguntungkan antara dua atau lebih 6,67%. Gambaran tingkat pendidikan
organisasi atau profesi untuk mencapai terakhir dari ibu, yang paling banyak
tujuan tertentu (Green & Johnson, 2015). adalah pendidikan menengah (SMP,
Penelitian ini bertujuan mengetahui SMK, SMU) sebanyak 84,44% sedangkan
efektifitas program Interprofessional yang paling kecil adalah pada tingkat
Collaboration terhadap pengetahuan, pendidikan tinggi yaitu 5,56%. Pekerjaan
sikap, perilaku ibu dengan baduta beserta ibu mayoritas tidak bekerja yaitu sebagai
kader kesehatan tentang stunting. ibu rumah tangga yaitu 94,44% sedang
yang bekerja hanya 5,56%. Jenis kelamin
METODE PENELITIAN baduta hampir merata yaitu laki-laki
Penelitian eksperimen dengan sebanyak 46,67% dan yang perempuan
desain eksperimen semu (quasi lebih banyak yaitu sejumlah 53,33%
eksperimen pre test-post test design) pada

Tabel 1. Karaktersitik Ibu dan Baduta (n=90)


Kategori F %
Umur Ibu
20 – 30 Tahun 0 52,22
31 – 40 Tahun 0 41,11
41 – 50 Tahun 5 6,67
Pendidikan Ibu
Dasar 9 10,00
Menengah 76 84,44
Tinggi 5 5,56
Pekerjaan Ibu
Bekerja 5 5,56
Sri Mulyanti, The Effectiveness Of Interprofessional Collaboration Towards Knowledge 67

Tidak Bekerja (IRT) 95 94,44


Jenis Kelamin Baduta
Laki-laki 42 46,67
Perempuan 48 53,33
Tabel 1 menunjukkan bahwa usia (84%). Sebagian besar Ibu tidak bekerja
Ibu tertinggi adalah 20-30 tahun. (95%), dan jenis kelamin anak tertinggi
Pendidikan Ibu tertinggi yaitu menengah yaitu perempuan (53,3%).

Tabel 2. Deskripsi Kader Kesehatan


Kategori F %
Umur Kader
20 - 30 2 06,67
31 - 40 19 63,33
41 - 50 9 30,00
Pendidikan Kader
Dasar 3 10,00
Menengah 25 83,33
Tinggi 2 6,67
Pekerjaan Kader
Bekerja 10 33,33
Tidak Bekerja (IRT) 20 66,67
Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki pendidikan
sebagian besar kader kesehatan memiliki menengah (83,3%), dan pekerjaan kader
usia 31-40 tahun (63,33%). Kader sebagian besar tidak bekerja (66,67%).

Tabel 3. Deskripsi Pengaruh Program IPC Terhadap Sikap Ibu Baduta pada Stunting
Pre Post t-test
Kategori
F % F % Sig.2 tailed
Baik 51 56,67 84 93,33
Kurang 39 43,33 6 6,67 p=0,001
Jumah 90 100 90 100
Tabel 3 memberikan informasi menurun menjadi 6,67 % dan yang baik
sebelum perlakuan (program IPC) meningkat dari 56,67 menjadi 93,33%.
kategori sikap ibu baduta terhadap Hasil t-test p=0,001 membuktikan
stunting yang kurang sebanyak 43,33 % terdapat perbedaan yang bermakna dari
dan setelah pelaksanaan program IPC sebelum IPC dengan setelah IPC.

Tabel 4. Deskripsi Pengaruh Program IPC Terhadap Sikap Kader Kesehatan pada
Stunting
Pre Post t-test
Kategori
F % F % Sig.2 tailed
Baik 12 40,00 28 93,33
Kurang 18 60,00 2 6,67 p=0,001
Jumah 30 100 30 100
68 Jurnal Keperawatan Global, Volume 5, No 2, Desember 2020, hlm 56-117

Tabel 4 memberikan informasi sebelum Hasil penelitian membuktikan


perlakuan (program IPC) sikap kader sebagaimana terlihat tabel 4 yaitu sebelum
kesehatan terhadap stunting paling banyak perlakuan (program IPC) kategori sikap
pada kategori kurang yaitu sebesar ibu baduta terhadap stunting yang kurang
60,00%, setelah pelaksanaan program baik sebanyak 43,33 % dan setelah
IPCmenurun menjadi 6,67 %, sedangkan pelaksanaan program IPC menurun
yang baik meningkat dari 40% menjadi menjadi 6,67 % dan yang baik meningkat
93,33%. Hasil t-test p=0,001 dari 56,67 menjadi 93,33%. Uji statistik
membuktikan terdapat perbedaan yang dengan SPSS seri 18 memberikan hasil
bermakna dari sebelum IPC dengan mean sikap pre perlakuan 9,67, mean post
setelah IPC, dengan kesimpulan bahwa atau setelah perlakuan 16,52 dengan mean
program IPC efektif untuk merubah sikap differences -6,84 dan sig-2 tailed p=0,001
kader kesehatan pada stunting. membuktikan secara signifikan program
IPC dapat meningkatkan pengetahuan,
PEMBAHASAN sikap, perilaku ibu baduta terhadap
Perilaku manusia dipengaruhi oleh stunting. Sikap yang baik dan positif
pengetahuan dan sikap. Persepsi atau terhadap stunting akan memudahkan tenga
sikap yang positif terhadap suatu obyek kesehatan untuk mengajak ibu baduta
atau kejadian akan berpengaruh besar bekerja sama secara bersama-sama untuk
dalam pembentukan perilaku. Program mengeliminir faktor risiko stunting yang
IPC secara prinsip berupaya ada di dalam keluarganya. Pada program
meningkatkan kerjasama antar profesi IPC, 5 (lima) profesi kesehatan yaitu
kesehatan, sehingga setiap profesi dokter, perawat, bidan, gizi, dan sanitarian
kesehatan mempunyai persepsi dan berkoordinasi dan bergerak bersama
perhatian yang sama terhadap stunting. memberikan pendidikan kesehatan atau
Pemahaman dan perhatian yang penyuluhan tentang stunting sesuai
sama ini dapat membantu masyarakat dengan kompetensi dan wewenangnya
dalam menilai dan berpendapat tentang masing-masing. Pada penelitian ini
stunting sehingga persepsi atau sikap penyuluhan dilakukan langsung oleh
masyarakat dapat berubah. Proses kerja narasumber baik dari dokter, perawat,
dalam interprofessional kolaborasi secara bidan, gizi, maupun kesehatan
pinsip harus memenuhi minimal 3 lingkungan.
komponen atau kriteria yaitu harus Penyuluhan dilakukan sebanyak 1
melibatkan tenaga ahli dengan bidang kali dengan kelompok kecil, dimana 90
keahlian yang berbeda yang dapat responden dibagi 3 kelompok sebanyak
bekerjasama timbal balik secara mulus, masing-masing 30 responden. Walaupun
anggota kelompok harus bersikap tegas pemberi materi setiap kelompok berbeda,
dan mau bekerjasama, kelompok harus namun karena materi dan media sudah
memberikan pelayanan yang keunikannya dibuat sama, ternyata terbukti dapat
dihasilkan dari kombinasi pandangan dan meningkatkan pengetahuan ibu baduta
keahlian yang diberikan oleh setiap tentang stunting dan gizi baduta. Melalui
anggota tim tersebut (Leathard, n.d., penyuluhan kesehatan ini dapat
2018). meningkatkan pengetahuan ibu baduta
Sri Mulyanti, The Effectiveness Of Interprofessional Collaboration Towards Knowledge 69

tentang stunting dan gizi pada baduta. masyarakat yang mempunyai peran besar
Pengetahuan yang baik secara langsung dalam memandu dan mendampingi ibu
maupun tidak langsung dapat baduta dalam pencegahan stunting. Hal
mempengaruhi atau merubah perilaku ibu ini sesuai dengan konsep Interprofessional
baduta dalam pencegahan stunting. Collaboration yang mengedepankan
Hal ini sesuai konsep teori terdahulu kerjasama yang baik dan saling
dimana stunting dapat dicegah dengan menguntungkan antara dua atau lebih
upaya mengeliminir faktor resiko yang organisasi atau profesi untuk mencapai
dapat menyebabkan stunting, baik pada tujuan tertentu. Hubungan tersebut
ibu, bayi maupun lingkungan. Hasil mencakup komitmen terhadap definisi
penelitian ini juga semakin memperkuat hubungan dan tujuan bersama, yang
temuan penelitian terdahulu dimana faktor dikembangkan bersama struktur dan
penyebab atau faktor risiko stunting tanggung jawab bersama, otoritas bersama
sangat bervariasi yang erat hubungannya dan akuntabilitas untuk keberhasilan, dan
dengan status pendidikan dan budaya pembagian sumber daya dan penghargaan
masyarakat (Kementerian Desa (Green & Johnson, 2015).
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Menurut Permenkes RI No. 25
Transmigrasi, 2018). Data hasil penelitian Tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan
ini menunjukkan tingkat pendidikan Anak, kader kesehatan adalah setiap orang
responden yang paling banyak adalah yang dipilih oleh masyarakat dan dilatih
pendidikan menegah (SMP/SMA/SMK), untuk menangani masalah-masalah
namun melalui penyuluhan kesehatan kesehatan perorangan atau masyarakat
yang intens mampu meningkatkan serta bekerja di tempat-tempat yang
pemahaman ibu baduta mengenai stuting berkaitan dengan pemberian pelayanan
dan gizi baduta. Hasil penelitian Ardian, kesehatan dalam hubungan yang amat
Hertanto, dan Ani (2016) juga sesuai dekat dengan tempat-tempat pemberian
dengan hasil penelitian ini, yang pelayanan kesehatan.
menunjukkan bahwa pendidikan dan Kader kesehatan adalah anggota
faktor sosio-ekonomik mempengaruhi masyarakat yang secara sukarela menjadi
intake energi dan protein pada balita yang seorang petugas kesehatan untuk
mengalami sunting (Utami et al., 2017). membantu program peningkatan
Kondisi sosial ekonomi kesehatan (Kesehatan, 2018). Kader
dibandingkan dengan faktor lain seperti kesehatan dipilih oleh masyarakat, bekerja
riwayat penyakit dan pendidikan keluarga oleh dan untuk masyarakat. Dalam
merupakan determinan utama resiko praktiknya kader mempunyai peran yang
terjadinya stunting (Met al., 2016). cukup penting dalam upaya
Program IPC selain berfokus pemberantasan stunting. Hal ini karena
meningkatkan pengetahuan masyarakat para kaderlah yang hampir setiap hari
terutama ibu baduta, namun pada bertemu dan berinteraksi dengan para ibu
penelitian ini juga ada upaya yang mempunyai bayi. Para kader
meningkatkan pengetahuan dan kesehatan menjadi rujukan pertama untuk
pemahaman kader kesehatan tentang mencari informasi terkait masalah
stunting dan gizi baduta. Kader kesehatan kesehatan, termasuk stunting. Salah satu
merupakan salah satu komponen lembaga faktor yang mempengaruhi kejadian
70 Jurnal Keperawatan Global, Volume 5, No 2, Desember 2020, hlm 56-117

stunting adalah faktor budaya masyarakat Intervensi untuk ibu menyusui dan anak
terutama ibu. Budaya yang sudah usia 7-23 bulan dapat dlakukan dengan
mengakar lama dan dipegang teguh oleh mendorong penerusan pemberian ASI
masyarakat sangat menentukan pola pikir hingga usia 23 bulan didampingi oleh
dan perilaku masyarakat termasuk dalam pemberian MP-ASI, menyediakan obat
pencegahan stuting. Negara Indonesia cacing, menyediakan suplementasi zink,
faktor budaya ini sangat berpengaruh, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam
terutama di daerah pedesaan. Rata–rata makanan, memberikan perlindungan
ibu berperilaku sesuai dengan budaya terhadap malaria, memberikan imunisasi
turun temurun. Peran kader sangat penting lengkap, dan melakukan pencegahan dan
dalam merubah persepsi dan budaya ini, pengobatan diare. Kader juga mempunyai
karena kader dipilih oleh masyarakat peran penting dalam menyediakan dan
sendiri, sehingga sudah muncul rasa memastikan akses ibu pada air bersih,
percaya. Kepercayaan terhadap kader menyediakan dan memastikan akses pada
inilah yang sangat mebantu dalam sanitasi, melakukan fortifikasi bahan
merubah sikap ibu pada stunting. pangan, menyediakan akses kepada
Perubahan sikap tidaklah mudah, layanan kesehatan dan keluarga berencana
dibutuhkan kontiunitas pemberian (KB), dan menyediakan Jaminan
pengetahuan serta yang utama adalah Kesehatan Nasional (JKN) (Kementerian
sumber informasi yang berasal dari Desa Pembangunan Daerah Tertinggal
anggota masyarakat yang dipercaya oleh dan Transmigrasi, 2018).
para ibu dan keluarga. Intervensi–intervensi tersebut tidak
Salah satu upaya pencegahan dan akan berjalan dengan baik tanpa adanya
penanganan stunting adalah dengan kerjasama atau kolaborasi antar profesi
melakukan intervensi gizi spesifik dan kesehatan yang langsung bersentuhan
intervensi gizi sensitif pada sasaran 1.000 dengan kader kesehatan. Pada penelitian
hari pertama kehidupan seorang anak ini secara subyektif, kader kesehatan
sampai berusia 6 tahun. Intervensi ini merasa lebih nyaman dan lebih paham
membutuhkan pengawasan dan mengenai masalah stunting, karena semua
pendampingan yang terus menerus dan profesi kesehatan secara kontinyu
pemantauan secara kontinyu dan memberi informasi pada kader kesehatan
terjadwal. Pemantauan ini membutuhkan tentang program pengendalian stunting.
peran kader kesehatan yang langsung Melalui program IPC, karena masing
dekat degan masyarakat. Minimal setiap 1 masing profesi kesehatan menjalankan
bulan sekali pasti bayi akan dibawa ke semua program penanggulangan stunting
posyandu, dimana pada kegiatan tersebut sesuai dengan uraian tugas dan wewenang
kader kesehatan dapat memantau dan masing-masing, sehingga pengetahuan
mengevaluasi pertumbuhan dan kader kesehatan meningkat dan merubah
perkembangan bayi. Kader kesehatan sikap para kader kesehatan, dari sikap
mempunyai peran penting dalam kurang peduli menjadi lebih peduli,
intervensi pada anak usia 0-6 bulan sehingga dapat membantu proses
dengan mendorong inisiasi menyusui dini pemberian nutrisi pada bayi. Hasil analisis
(pemberian ASI jolong atau colostrum), data menunjukan sikap kader meningkat
mendorong pemberian ASI Eksklusif. dari 76,53 menjadi 87,53 dengan nilai
Sri Mulyanti, The Effectiveness Of Interprofessional Collaboration Towards Knowledge 71

p=0,001 membuktikan bahwa program terdapat hubungan antara panjang badan


IPC efektif untuk merubah sikap ibu dari lahir balita, riwayat ASI eksklusif,
kurang baik menjadi baik atau peduli. pendapatan keluarga, pendidikan ibu dan
Perubahan sikap ini mendorong para pengetahuan gizi ibu terhadap kejadian
kader menjadi lebih peduli dalam stunting pada balita. Perlunya program
membimbing para ibu dalam pemberian yang terintegrasi dan multisektoral untuk
nutrisi atau gizi pada bayi, karena perilaku meningkatkan pendapatan keluarga,
pemberian gizi inilah merupakan salah pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu dan
satu faktor utama peningkatan risiko pemberian ASI eksklusif untuk
stunting. Hasil penelitian ini sejalan mengurangi kejadian stunting (Uliyanti,
dengan penelitian stunting di beberapa Tamtomo Didik Gunawan, 2010).
negara lain, yang memberikan bukti Hasil penelitian Sholehan (2012)
bahwa kebijakan atau policy pemerintah menunjukkan status ekonomi keluarga
tentang pendidikan ibu hamil dan yang rendah merupakan faktor risiko yang
immunisasi juga merupakan faktor bermakna terhadap kejadian stunting pada
determinan kejadian stunting(Abuya et al., balita usia 2-3 tahun. Anak dengan status
2011). Demikian juga penelitian Teshome ekonomi keluarga yang rendah lebih
et.all (2009) juga memberikan bukti berisiko 4,13 kali mengalami stunting,
pemberian nutrisi yang tidak adekuat pada sedangkan tingkat pendidikan tidak
anak balita di daerah surplus makanan di mempunyai hubungan yang signifikan
negra Ethiopia ternyata sangat terhadap resiko stunting (Solehan, 2012).
mempengaruhi kejadian stunting Penelitian tersebut membuktikan faktor
(Teshome et al., 2010). pola pemberian nutrisi pada bayi
Penelitian Adani dan Windya (2017) merupakan salah satu faktor penentu
menambah bukti bahwa asupan nutrisi keberhasilan mencegah stunting, karena
pada balita sangat mempengaruhi nutrisi yang kurang pada bayi sangat
stunting, dimana balita non-stunting mempengaruhi pertumbuhan dan
mempunyai asupan energi, protein, Fe, perkembangan panjang badan bayi
Zink yang tinggi dan stimulasi psikososial
serta perkembangan yang baik daripada KESIMPULAN DAN SARAN
balita stunting (Lestari et al., 2018). Program Interprofessional
Penelitian Rah et.al. juga memberikan Collaboration (IPC) dapat
bukti kalau faktor makanan pada balita meningkatkan pengetahuan, sikap
merupakan faktor risiko stunting, dimana (kepedulian), perilaku pemberian gizi
berkurangnya keragaman makanan adalah stunting dan gizi pada baduta. Program
prediktor kuat terjadinya stunting di Interprofessional Collaboration (IPC)
pedesaan Bangladesh. Dimasukkannya dapat menurunkan risiko stunting melalui
berbagai kelompok makanan ke dalam peningkatan pengetahuan, sikap, dan
makanan pelengkap mungkin penting perilaku pemberian gizi pada baduta.
untuk meningkatkan status gizi anak Walupun secara HAZ (Height Age
untuk mencegah stunting (Rah et al., Z Score) tidak ada perbedaan secara
2010). Salah satu nutrisi yang esensial sigifikan, program Interprofessional
pada anak balita adalah ASI (Air Susu Collaboration dapat meningkatkan
Ibu). Hasil penelitian menunjukkan panjang badan baduta. Perlunya
72 Jurnal Keperawatan Global, Volume 5, No 2, Desember 2020, hlm 56-117

peningkatan secara kualitas maupun Desa Dan Kader Pembangunan


kuantitas pelaksanaan Interprofesional Manusia Se-Kecamatan Aikmel
Collaboration di Puskesmas atau fasilitas Kabupaten Lombok (Stunting Dan
kesehatan lainya. Perlu dilakukan Konvergensi Pencegahan Stunting).
penelitian lanjutan tentang manfaat JUPE : Jurnal Pendidikan Mandala,
Interprofesional Collaboration pada 4(5).https://doi.org/10.36312/jupe.v
program yang lain. 4i5.985

DAFTAR RUJUKAN Leathard, A. (Ed.). (n.d.).


Abuya, B. A., Onsomu, E. O., Kimani, J. Interprofessional Collaboration from
K., & Moore, D. (2011). Influence Policy to Practice in Heath and
of maternal education on child Social Care (V). Taylor and Francis
immunization and stunting in Group.
Kenya. Maternal and Child Health
Journal, 15(8), 1389–1399. Lestari, W., Rezeki, S. H. I., Siregar, D.
https://doi.org/10.1007/s10995-010- M., & Manggabarani, S. (2018).
0670-z Faktor Yang Berhubungan dengan
Kejadian Stunting Pada Anak
Green, B. N., & Johnson, C. D. (2015). Sekolah Dasar Negeri 014610 Sei
Interprofessional collaboration in Renggas Kecamatan Kisaran Barat
research, education, and clinical Kabupaten Asahan. Jurnal Dunia
practice: working together for a Gizi, 1(1), 59–64.
better future. Journal of Chiropractic
Education, 29(1), 1–10. M, C. A., Subagio, H. W., & Margawati,
https://doi.org/10.7899/JCE-14-36 A. (2016). Determinan Kejadian
Stunting pada Bayi Usia 6 Bulan di
Kemenkes RI. (2018). Buletin Jendela Kota Semarang. Jurnal Giizi
Data dan Informasi Kesehatan. Indonesia, 4(2), 82–88.
Jendela Data Dan Informasi https://doi.org/ISSN : 1858-4942
Kesehatan, 1(Situasi Balita Pendek
(Stunting) di Indonesia), 56. Rah, J. H., Akhter, N., Semba, R. D., Pee,
S. D., Bloem, M. W., Campbell, A.
Kementerian Desa Pembangunan Daerah A., Moench-Pfanner, R., Sun, K.,
Tertinggal dan Transmigrasi. Badham, J., & Kraemer, K. (2010).
(2018). Buku saku desa dalam Low dietary diversity is a predictor
penanganan stunting. 2–13. of child stunting in rural
Bangladesh. European Journal of
Kesehatan, R. K. (2018). Buku KIE Kader Clinical Nutrition, 64(12), 1393–
Kesehatan Remaja. Kementerian 1398.https://doi.org/10.1038/ejcn.20
Kesehatan RI. 10.171

Khosiah, K., & Muhardini, S. (2019). Rosmalina, Y., Luciasari, E., Aditianti, A.,
Pengembangan Sumberdaya & Ernawati, F. (2018). Upaya
Manusia (PSDM) Unsur Perangkat Pencegahan Dan Penanggulangan
Sri Mulyanti, The Effectiveness Of Interprofessional Collaboration Towards Knowledge 73

Batita Stunting: Systematic Review. Nutrient Intake and Socioeconomic


Gizi Indonesia, 41(1), 1. Factor toward Stunting Incidence
https://doi.org/10.36457/gizindo.v41 among Primary School Students in
i1.221 Surakarta. 2(1), 1–10.

Sekretariat Wakil Presiden RI. (2017). Waroh, Y. K. (2019). Pemberian Makanan


100 Kabupaten/kota prioritas untuk Tambahan Sebagai Upaya
intervensi anak kerdil (stunting). 2. Penanganan Stunting Pada Balita Di
Indonesia. Embrio, 11(1), 47–54.
Simanjuntak, B. Y., Haya, M., Suryani, https://doi.org/10.36456/embrio.vol
D., Khomsan, A., & Ahmad, C. A. 11.no1.a1852
(2019). Maternal knowledge,
attitude, and practices about WHO. (2018). Reducing Stunting In
traditional food feeding with Children. In Equity considerations
stunting and wasting of toddlers in for achieving the Global Nutrition
farmer families. Kesmas, 14(2), 58– Targets 2025.
64.https://doi.org/10.21109/kesmas. https://apps.who.int/iris/bitstream/ha
v14i2.2712 ndle/10665/260202/9789241513647
-eng.pdf?sequence=1
Solehan, L. F. dan M. (2012). of Nutrition
College , Volume 2 Nomor 4 Tahun
2013 Halaman 523-530. Journal Of
Nutrition College, 1, 127–133.

Teshome, B., Kogi-Makau, W., Getahun,


Z., & Taye, G. (2010). Magnitude
and determinants of stunting in
children underfive years of age in
food surplus region of Ethiopia: The
case of West Gojam Zone.
Ethiopian Journal of Health
Development, 23(2).
https://doi.org/10.4314/ejhd.v23i2.5
3223

Uliyanti, Tamtomo Didik Gunawan, A. S.


(2010). Faktor yang berhubungan
dengan kejadian. Media Gizi
Indonesia, 1(2), 13–19.
https://doi.org/10.1109/INPAC.2014
.6981136

Utami, A. D., Indarto, D., Lanti, Y., &


Dewi, R. (2017). The Effect of

You might also like