Professional Documents
Culture Documents
Collaboration (IPC)
Abstract
Background: Indonesia still ranks in the 10th largest stunting rate in the world. Research seeks to find
new approaches to improve the quality of maternal behavior in providing nutrition to babies. Purpose of
this study is to know the effectiveness of Interproffesional Collaboration. Methods: The study was
conducted in Karanganom Klaten, Central Java, March-August 2019. This study was an experimental
study with a quasi-experimental design on 90 respondents who had babies less than 2 years. The
treatment is in the form of an Interproffesional Collaboration program (doctors, nurses, midwives,
nutritionists, and sanitarians) which provide health promotion programs according to their respective
professions for 3 months. The research instrument was a cognitive test, a questionnaire, and a of infants
under two years of ageantrompomary examination sheet. Data were analyzed using Dependent t-test.
Results: The mean value of knowledge about stunting increased from 31.44 to 80.22 (p = 0.001),
knowledge about how to give nutrition to of infants under two years of age increased from 48.81 to 70.74
(p = 0.001), the attitude towards stunting changed from 9.68 to 16.52 (p = 0.001), and the behavior of
providing nutrition was also getting better from 76.53 to 87.73 (p = 0.001). The results of the Dependent
Paired t-test p = 0.001, proved that the Interproffesional Collaboration program (nurses, doctors,
midwives, nutrition, and sanitarians) was effective in increasing the knowledge, attitudes and behavior of
residents in preventing the risk of stunting. Conclusion: Interproffesional Collaboration is effective to
increase knowledge, attitudes, and behavior of mothers of infants under two years of age (baduta) in an
effort to prevent the risk of stunting and improve the nutritional status.
64
Sri Mulyanti, The Effectiveness Of Interprofessional Collaboration Towards Knowledge 65
(Khosiah & Muhardini, 2019). Program 90 Ibu yang mempunyai bayi berusia
WHO juga sangat menekankan perlunya dibawah dua tahun (baduta) dan 30 kader
upaya yang keras dari berbagai kesehatan. Perlakuan berupa program
stakeholder dalam penanganan stunting Interprofesional Collaboration (dokter,
(WHO, 2018). Pada penelitian tersebut perawat, bidan, ahli gizi, dan sanitarian)
mayoritas pendidikan kesehatan dilakukan selama 3 bulan. Data dianalisis dengan t-
secara mandiri sesuai profesinya, dan test. Penelitian dilaksanakan di wilayah
belum diintegrasikan dalam tim kesehatan kerja Puskesmas Karanganom Kabupaten
atau kolaborasi antar profesi. Klaten Jawa Tengah. Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti dilaksanakan mulai bulan Maret –
berupaya menemukan strategi baru untuk Agustus 2019.
mencegah stuting yaitu dengan
Interprofessional Collaboration (IPC), HASIL PENELITIAN
apakah dapat merubah pengetahuan, Tabel 1. di bawah ini memberikan
sikap, perilaku warga, dalam hal ini ibu gambaran umur ibu yang paling banyak
dan kader kesehatan tentang stunting. adalah pada kategori 20 – 30 tahun yaitu
Interprofessional Collaboration adalah 52,22% dan yang paling kecil adalah pada
kerjasama yang baik dan saling kelompok umur 41 – 50 tahun sebesar
menguntungkan antara dua atau lebih 6,67%. Gambaran tingkat pendidikan
organisasi atau profesi untuk mencapai terakhir dari ibu, yang paling banyak
tujuan tertentu (Green & Johnson, 2015). adalah pendidikan menengah (SMP,
Penelitian ini bertujuan mengetahui SMK, SMU) sebanyak 84,44% sedangkan
efektifitas program Interprofessional yang paling kecil adalah pada tingkat
Collaboration terhadap pengetahuan, pendidikan tinggi yaitu 5,56%. Pekerjaan
sikap, perilaku ibu dengan baduta beserta ibu mayoritas tidak bekerja yaitu sebagai
kader kesehatan tentang stunting. ibu rumah tangga yaitu 94,44% sedang
yang bekerja hanya 5,56%. Jenis kelamin
METODE PENELITIAN baduta hampir merata yaitu laki-laki
Penelitian eksperimen dengan sebanyak 46,67% dan yang perempuan
desain eksperimen semu (quasi lebih banyak yaitu sejumlah 53,33%
eksperimen pre test-post test design) pada
Tabel 3. Deskripsi Pengaruh Program IPC Terhadap Sikap Ibu Baduta pada Stunting
Pre Post t-test
Kategori
F % F % Sig.2 tailed
Baik 51 56,67 84 93,33
Kurang 39 43,33 6 6,67 p=0,001
Jumah 90 100 90 100
Tabel 3 memberikan informasi menurun menjadi 6,67 % dan yang baik
sebelum perlakuan (program IPC) meningkat dari 56,67 menjadi 93,33%.
kategori sikap ibu baduta terhadap Hasil t-test p=0,001 membuktikan
stunting yang kurang sebanyak 43,33 % terdapat perbedaan yang bermakna dari
dan setelah pelaksanaan program IPC sebelum IPC dengan setelah IPC.
Tabel 4. Deskripsi Pengaruh Program IPC Terhadap Sikap Kader Kesehatan pada
Stunting
Pre Post t-test
Kategori
F % F % Sig.2 tailed
Baik 12 40,00 28 93,33
Kurang 18 60,00 2 6,67 p=0,001
Jumah 30 100 30 100
68 Jurnal Keperawatan Global, Volume 5, No 2, Desember 2020, hlm 56-117
tentang stunting dan gizi pada baduta. masyarakat yang mempunyai peran besar
Pengetahuan yang baik secara langsung dalam memandu dan mendampingi ibu
maupun tidak langsung dapat baduta dalam pencegahan stunting. Hal
mempengaruhi atau merubah perilaku ibu ini sesuai dengan konsep Interprofessional
baduta dalam pencegahan stunting. Collaboration yang mengedepankan
Hal ini sesuai konsep teori terdahulu kerjasama yang baik dan saling
dimana stunting dapat dicegah dengan menguntungkan antara dua atau lebih
upaya mengeliminir faktor resiko yang organisasi atau profesi untuk mencapai
dapat menyebabkan stunting, baik pada tujuan tertentu. Hubungan tersebut
ibu, bayi maupun lingkungan. Hasil mencakup komitmen terhadap definisi
penelitian ini juga semakin memperkuat hubungan dan tujuan bersama, yang
temuan penelitian terdahulu dimana faktor dikembangkan bersama struktur dan
penyebab atau faktor risiko stunting tanggung jawab bersama, otoritas bersama
sangat bervariasi yang erat hubungannya dan akuntabilitas untuk keberhasilan, dan
dengan status pendidikan dan budaya pembagian sumber daya dan penghargaan
masyarakat (Kementerian Desa (Green & Johnson, 2015).
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Menurut Permenkes RI No. 25
Transmigrasi, 2018). Data hasil penelitian Tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan
ini menunjukkan tingkat pendidikan Anak, kader kesehatan adalah setiap orang
responden yang paling banyak adalah yang dipilih oleh masyarakat dan dilatih
pendidikan menegah (SMP/SMA/SMK), untuk menangani masalah-masalah
namun melalui penyuluhan kesehatan kesehatan perorangan atau masyarakat
yang intens mampu meningkatkan serta bekerja di tempat-tempat yang
pemahaman ibu baduta mengenai stuting berkaitan dengan pemberian pelayanan
dan gizi baduta. Hasil penelitian Ardian, kesehatan dalam hubungan yang amat
Hertanto, dan Ani (2016) juga sesuai dekat dengan tempat-tempat pemberian
dengan hasil penelitian ini, yang pelayanan kesehatan.
menunjukkan bahwa pendidikan dan Kader kesehatan adalah anggota
faktor sosio-ekonomik mempengaruhi masyarakat yang secara sukarela menjadi
intake energi dan protein pada balita yang seorang petugas kesehatan untuk
mengalami sunting (Utami et al., 2017). membantu program peningkatan
Kondisi sosial ekonomi kesehatan (Kesehatan, 2018). Kader
dibandingkan dengan faktor lain seperti kesehatan dipilih oleh masyarakat, bekerja
riwayat penyakit dan pendidikan keluarga oleh dan untuk masyarakat. Dalam
merupakan determinan utama resiko praktiknya kader mempunyai peran yang
terjadinya stunting (Met al., 2016). cukup penting dalam upaya
Program IPC selain berfokus pemberantasan stunting. Hal ini karena
meningkatkan pengetahuan masyarakat para kaderlah yang hampir setiap hari
terutama ibu baduta, namun pada bertemu dan berinteraksi dengan para ibu
penelitian ini juga ada upaya yang mempunyai bayi. Para kader
meningkatkan pengetahuan dan kesehatan menjadi rujukan pertama untuk
pemahaman kader kesehatan tentang mencari informasi terkait masalah
stunting dan gizi baduta. Kader kesehatan kesehatan, termasuk stunting. Salah satu
merupakan salah satu komponen lembaga faktor yang mempengaruhi kejadian
70 Jurnal Keperawatan Global, Volume 5, No 2, Desember 2020, hlm 56-117
stunting adalah faktor budaya masyarakat Intervensi untuk ibu menyusui dan anak
terutama ibu. Budaya yang sudah usia 7-23 bulan dapat dlakukan dengan
mengakar lama dan dipegang teguh oleh mendorong penerusan pemberian ASI
masyarakat sangat menentukan pola pikir hingga usia 23 bulan didampingi oleh
dan perilaku masyarakat termasuk dalam pemberian MP-ASI, menyediakan obat
pencegahan stuting. Negara Indonesia cacing, menyediakan suplementasi zink,
faktor budaya ini sangat berpengaruh, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam
terutama di daerah pedesaan. Rata–rata makanan, memberikan perlindungan
ibu berperilaku sesuai dengan budaya terhadap malaria, memberikan imunisasi
turun temurun. Peran kader sangat penting lengkap, dan melakukan pencegahan dan
dalam merubah persepsi dan budaya ini, pengobatan diare. Kader juga mempunyai
karena kader dipilih oleh masyarakat peran penting dalam menyediakan dan
sendiri, sehingga sudah muncul rasa memastikan akses ibu pada air bersih,
percaya. Kepercayaan terhadap kader menyediakan dan memastikan akses pada
inilah yang sangat mebantu dalam sanitasi, melakukan fortifikasi bahan
merubah sikap ibu pada stunting. pangan, menyediakan akses kepada
Perubahan sikap tidaklah mudah, layanan kesehatan dan keluarga berencana
dibutuhkan kontiunitas pemberian (KB), dan menyediakan Jaminan
pengetahuan serta yang utama adalah Kesehatan Nasional (JKN) (Kementerian
sumber informasi yang berasal dari Desa Pembangunan Daerah Tertinggal
anggota masyarakat yang dipercaya oleh dan Transmigrasi, 2018).
para ibu dan keluarga. Intervensi–intervensi tersebut tidak
Salah satu upaya pencegahan dan akan berjalan dengan baik tanpa adanya
penanganan stunting adalah dengan kerjasama atau kolaborasi antar profesi
melakukan intervensi gizi spesifik dan kesehatan yang langsung bersentuhan
intervensi gizi sensitif pada sasaran 1.000 dengan kader kesehatan. Pada penelitian
hari pertama kehidupan seorang anak ini secara subyektif, kader kesehatan
sampai berusia 6 tahun. Intervensi ini merasa lebih nyaman dan lebih paham
membutuhkan pengawasan dan mengenai masalah stunting, karena semua
pendampingan yang terus menerus dan profesi kesehatan secara kontinyu
pemantauan secara kontinyu dan memberi informasi pada kader kesehatan
terjadwal. Pemantauan ini membutuhkan tentang program pengendalian stunting.
peran kader kesehatan yang langsung Melalui program IPC, karena masing
dekat degan masyarakat. Minimal setiap 1 masing profesi kesehatan menjalankan
bulan sekali pasti bayi akan dibawa ke semua program penanggulangan stunting
posyandu, dimana pada kegiatan tersebut sesuai dengan uraian tugas dan wewenang
kader kesehatan dapat memantau dan masing-masing, sehingga pengetahuan
mengevaluasi pertumbuhan dan kader kesehatan meningkat dan merubah
perkembangan bayi. Kader kesehatan sikap para kader kesehatan, dari sikap
mempunyai peran penting dalam kurang peduli menjadi lebih peduli,
intervensi pada anak usia 0-6 bulan sehingga dapat membantu proses
dengan mendorong inisiasi menyusui dini pemberian nutrisi pada bayi. Hasil analisis
(pemberian ASI jolong atau colostrum), data menunjukan sikap kader meningkat
mendorong pemberian ASI Eksklusif. dari 76,53 menjadi 87,53 dengan nilai
Sri Mulyanti, The Effectiveness Of Interprofessional Collaboration Towards Knowledge 71
Khosiah, K., & Muhardini, S. (2019). Rosmalina, Y., Luciasari, E., Aditianti, A.,
Pengembangan Sumberdaya & Ernawati, F. (2018). Upaya
Manusia (PSDM) Unsur Perangkat Pencegahan Dan Penanggulangan
Sri Mulyanti, The Effectiveness Of Interprofessional Collaboration Towards Knowledge 73