You are on page 1of 22

KONSEP DASAR ILMU

(Kajian dalam Filsafat Yunani, Filsafat Islam, dan Filsafat Modern)

Moch. Khafidz Fuad Raya1


STAI Al-Falah As-Sunniyyah Kencong Jember
Email: hafidzraya@yahoo.co.id

Abstract
Speaking of science, the science is endless to be discussed, because it is the
principal basis of the times. A civilization is formed in a contribution that science
continues to evolve. Theoretical and empirical studies in the science of generating scientific
method. Provides basic theoretical study and / or kerangak think that generate
hypotheses, while empirical studies are testing hiptesis digging through the facts on
the ground as a basis for conclusions.
The paradigm then generate knowledge, and the emergence of a disciplines such as
science, social sciences and humanities, resulting from the expansion of the perspective
and discussion of the highly evolved of the meaning of science itself. The basic concept of the
science of obtaining a special discussion, so that in the realm of philosophy into a
discourse in shaping the basic concepts of the disciplines of birth. The development of
the basic concepts of science has expanded in several studies of philosophy, both in
philosophy western world (Greece), medieval philosophy (Islamic philosophy), and
modern philosophy.
So great was the role of science in the development of the age and the progress of
civilization. So in this paper will discuss how the basic concepts of science in terms of
philosophy, both in terms of Greek philosophy, medieval philosophy (Islamic
philosophy), and modern philosophy, so it will obtain a comprehensive discussion
related to the basic concepts of science.

Keywords: science, basic concepts, philosophy

A. Hakekat Ilmu
1. Pengertian Hakikat Ilmu
Ketika berbicara tentang hakekat, maka yang muncul dalam
pikran adalah dasar dari segala dasar yang ada dalam sesuatu yang

1
Dosen Tetap STAI Al-Falah As-Sunniyyah Kencong Jember dan Kandidat Doktor
Manajemen Pendidikan Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

|1
dimaksud. Pengertian secara bahasa, hakikat adalah inti sari atau
dasar, kenyataan yang sebenarnya (sesungguhnya).2
Kemudian, selanjutnya pengertian ilmu Kata ‘ilm berasal dari
bahasa Arab yang berarti “pengetahuan” dan merupakan lawan kata
dari jahl yang berarti “ketidaktahuan atau kebodohan”. Kata ilmu
biasanya disepadankan dengan kata Arab lainnya, yaitu ma’rifah
(pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), dan syu’ur
(perasaan).3 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu diartikan
sebagai pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara
sistematis menurut metode-metode tertentu yang dapat dipergunakan
untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu.4
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali
dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian
pengetahuan dan objek pengetahuan, Ilmu adalah pengetahuan yang
jelas tentang sesuatu. Dalam istilah inggris, ilmu diartikan sebagai
science yang mempunyai arti “the study of the structure and behaviour of
the physical and natural world and society, aspecially through observation and
experiment” (studi struktur dan perilaku dari dunia fisik dan alam dan
masyarakat, terutama melalui pengamatan dan percobaan).5
Ilmu dan pengetahuan itu berbeda. Jika ilmu adalah
pengetahuan tentang sesuatu bidang tertentu yang disusun secara
sistematis menurut metode-metode tertentu yang dapat dipergunakan
untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu,
sedangkan pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui. 6 Jadi ilmu

2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008), hlm. 503.
3
Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Houve, hlm. 161
4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 544.
5
A. S, Homby. (1984). Oxford Advanced Learner Dictionary Of Current English (p.
136). Oxford University Press. New York.
6
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 1414.
sifatnya lebih luas dan mempunyai fondasi yang kuat dalam segala
aspeknya.
Lebih lanjut Koento Wibisono, mengemukakan bahwa
hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu
keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab
pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal
mula sehingga seseorang akan memilih pandangan
yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan
lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam
pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan
diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya,
serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang
akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.7 Jika
dirangkaikan, maka pengertian hakekat ilmu adalah dasar
dari segala pengetahun. Artinya hakekat ilmu adalah jawaban atas
pertanyaan tentang apakah ilmu tersebut, materi kajian ilmu,
bagaimanakah mencari ilmu, dan apa nilai guna ilmu. Beberapa
kajian pertanyaan tersebut merupakan dasar filosofis tentang ilmu
yang nantikan akan didiskusikan secara ontologi, epistimologi, dan
aksiologi. Dalam konsep filsafat, ilmu mempunyai diskursus
tersendiri yang membedakan ilmu dengan yang lainnya, baik dari
segi ontologinya, epistomologinya, dan aksiologinya.
2. Hubungan antara Ilmu dan Filsafat
Lebih lanjut Nuchelmans mengemukakan bahwa dengan
munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah
terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. 8 Dengan
demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut

7
Koento Wibisono S., Filsafat Ilmu Pengetahuan Dan Aktualitasnya Dalam Upaya
Pencapaian Perdamaian Dunia Yang Kita Cita-Citakan, (Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana
UGM,1984), hlm. 3.
8
G.Nuchelmans, Berfikir Secara Kefilsafatan, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta:
Fakultas Filsafat-PPPT UGM, 1982), hlm. 6-7.
ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut
sejalan dengan pemikiran Van Peursen, yang mengemukakan bahwa
dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang
ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.9
Menurut Koento Wibisono, filsafat itu sendiri telah
mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan
bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-
bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari
batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing
mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.10
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau
pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626)
mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat
mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan
manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan.
Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono, adalah
bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu
yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni
atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.11
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin
lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada
akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan
kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-
spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh
Van Peursen, bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu
sistem
9
C.A. Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, terj.
J.Drost, (Jakarta: Gramedia,1985), hlm. 1.
10
Koento Wibisono S. dkk., Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, (Klaten: Intan Pariwara, 1997), hlm. 6-7.
11
Koento Wibisono S., Filsafat Ilmu Pengetahuan Dan Aktualitasnya Dalam Upaya
Pencapaian Perdamaian Dunia Yang Kita Cita-Citakan, (Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana
UGM,1984), hlm. 3.
yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-
ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.12
Mohammad Hatta menyatakan bahwa ilmu pengetahuan itu
lahir karena manusia dihadapkan pada dua masalah yaitu alam luar
(kosmos) dan sikap hidup (etik).13 Sedangkan John Ziman dalam
tulisannya menyatakan bahwa ilmu pengetahuan seperti agama,
hukum, filsafat dan sebagainya, dalam bentuk yang kurang lebih
terpadu, terdiri dari rangkaian-rangkaian ide-ide. Dalam bahasa
teknisnya, ilmu pengetahuan adalah informasi.14 Ia tidak
berhubungan secara langsung dengan tubuh. Banyak ilmuwan yang
memberikan definisi tentang ilmu pengetahuan, tetapi definisi yang
paling banyak digemari oleh banyak filosof adalah bahwa ilmu
pengetahuan akan menunjukkan pada kebenaran melalui kesimpulan
logis yang berasal dari pengalaman empiris.15
Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang
lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani
serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka
bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini
senada dengan pendapat Immanuel kant yang menyatakan bahwa
filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-
batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. 16 Oleh
sebab itu Francis Bacon menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-
ilmu (the great mother of the sciences).17

12
C.A. Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, hlm. 4.
13
Mohammad Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan, Cetakan VI, (Jakarta:
Mutiara, 1979), hlm. 17-23.
14
C.A Qadir (Editor), Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1988), hlm. 9.
15
C.A Qadir (Editor), Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, hlm. 12.
16
Koento Wibisono S. dkk., Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, hlm.9.
17
The Liang Gie., Pengantar Filsafat Ilmu, Cet. IV, (Yogyakarta: Penerbit Liberty,
1999), hlm.31.
Lebih lanjut Koento Wibisono menyatakan bahwa
pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of
knowledge”, sehinga lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan
pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang
filsafat menempatkan objek sasarannya, yaitu Ilmu (Pengetahuan).
Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-
komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu:
ontologi, epistemologi dan aksiologi. 18 Hal ini didukung oleh Israel
Scheffler yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan
umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan
oleh ilmu.19
Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa
filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah
dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari
filsafat. Oleh karena itu, hakikat ilmu pengetahuan dalam kajian
filsafat ini penting untuk dipelajari dan dianalisis, agar diketahui
secara pondasi yang utuh hakekat kebenaran ilmu tersebut.
3. Landasan Ontologi Ilmu
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang
membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Istilah ontologi berasal dari
bahasa Yunani, yaitu onta berarti “yang berada”, dan logos berarti ilmu
pengetahuan atau ajaran. Ontologi merupakan salah satu diantara
lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Dalam ranah
ontologi, cakupannya terdiri dari bagaimana kita menerangkan
menerangkan hakikat dari sesuatu.20 Dalam artian, istilah ontologi
ilmu bisa dikatakan sebagai “apanya ilmu” yang mengadung
pengertian tentang hakekat dasar apa yang dimaksud ilmu itu sendiri.

18
Koento Wibisono S. dkk., Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, hlm. 16.
19
The Liang Gie., Pengantar Filsafat Ilmu, hlm. 37.
20
Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan
Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 90
Ontologi berkaitan dengan bidang kajian dalam ilmu atau
materi yang dikaji oleh ilmu. Esensinya, ilmu membahas tentang
pengalaman manusia, benda, kejadian, situasi, proses, dan fakta yang
bisa dijangkau oleh pengalaman manusia dengan menggunakan
panca indera.21 Obyek cakupan ontologi adalah yang ada; yaitu ada
umum, ada individu, ada yang terbatas, tak terbatas, ada universal,
ada mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika, kehidupan setelah
kematian, keberadaan adanya Tuhan Yang Maha Esa sebagai sang
pencipta dan sang pengatur, itu semua merupakan obyek kajian
ontologi.22 Maka dalam hal ini, obyek kajian dalam ontologi ilmu
adalah berkaitan dengan apa saja yang dikajia dalam ilmu, dilihat
dari segi identifikasi pengertian ontologi di atas.
Pengalaman manusia yang disebutkan berupa benda,
kejadian, proses, dan fakta yang bisa dijangkau oleh pengalaman
manusia. Pengalaman manusia tersebit disebut empiri, sifatnya
disebut empiris. Fakta empiris adalah fakta yang bisa dialami oleh
manusia dengan menggunakan panca indera. Ilmu membatasi diri
obyek penelaahan pada fakta yang bersifat empiris.23
Dari kajian ontologi ilmu ini, untuk memperoleh keilmuan,
ilmu menyusun beberapa asumsi yang melandasi pengetahuan yang
hendak ditelaah/dipelajari. Kalsifikasi tersebut berbunyi bahwa
kesimpulan pengetahuan bisa berbeda hasilnya pada suatu obyek
telaah yang sama, jika asumsinya berbeda. Jadi aspek ontologi ilmu
berangkat dari asumsi pemahaman itu sendiri.

21
Hendyat Soetopo, Filsafat Ilmu Kajian Ilmu Sosial, Program Studi Manajemen
Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, (Malang: PPs-UM, 2009), hlm. 5
22
Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan
Aksiologis, hlm. 91.
23
Hendyat Soetopo, Filsafat Ilmu Kajian Ilmu Sosial, hlm. 5

| 234
4. Landasan Epsitimologi Ilmu
Epistimologi sering disebut juga sebagai teori pengetahuan
(theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistimologi berasal dari
kata Yunani: episteme, yang artinya pengetahuan, dan logos yang
artinya ilmu atau teori.24 Istilah-istilah lain yang setara dengan
epistemologi adalah:
a. Kriteriologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan ukuran
benar atau tidaknya pengetahuan.
b. Kritik pengetahuan, yaitu pembahasan mengenai pengetahuan
secara kritis
c. Gnosiologi, yaitu perbincangan mengenai pengetahuan yang bersifat
ilahiyah (gnosis).
d. Logika material, yaitu pembahasan logis dari segi isinya,
sedangkan logika formal lebih menekankan pada segi
bentuknya.25
Jadi epistimologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat
yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode, dan
syahnya (validitasnya) pengetahuan.
Objek material epistemologi adalah pengetahuan, objek
formalnya adalah hakikat pengetahuan.26 Sedangkan objek material
filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan yaitu pengetahuan yang telah
disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. Dalam
hal ini nampak perbedaan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Pengetahuan lebih bersifat umum dan didasarkan atas pengalaman
sehari-hari, sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang
bersifat khusus dengan ciri-ciri: sistematis, metode ilmiah tertentu,
serta

24
Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan
Aksiologis, hlm. 102.
25
Soejono Soemargono, Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Nurcahaya, 1987), hlm. 5
26
Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Cetakan IV, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hlm. 17
diuji kebenarannya. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat
(esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh
perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan,
seperti apa hakikat ilmu? Bagaimana cara memperoleh kebenaran?
dan apa fungsi ilmu pengetahuan itu bagi manusia?.27
Epistemologi bisa mempertimbangkan dimensi sosial-histori
pengetahuan di dalam dua cara: pertama, sebagai kesulitan di dalam
membuktikan bahwa kita mencapai kebenaran objektif; kedua,
sebagai sumbangan terhadap pemahaman arti dari objektivitas. Bagi
epistemologi, pertanyaan pertamalah yang menjadi perhatian
khusus.28
Ilmu dalam menggali sebuah pengetahuan harus berdasarkan
pada metode keilmuan29, oleh karena itu ilmu tidak hanya dipahami
sebagai sesuatu yang statis melainkan sebagai proses yang dinamis.
Hakekat ilmu ditentukan oleh proses berfikir yang dilakukan dengan
memenuhi persyaratan tertentu.
Metode keilmuan berkembang dari dua sisi cara, yaitu
rasionalisme dan empirisme.30 Cara rasionalisme didasarkan bahwa
pengetahuan didapatkan dari pernyataan terdahulu yang dianggap
benar yang bergantung pada ide-ide yang rasional, cara ini bersifat
subyektif karena kebenaran rasional seseorang tentang fakta tertentu
belum tentu benar dimata orang lain. Hal ini bergantung pada sis
pandang masing- masing subyek terhadap kebenaran yang ditelaah.
Cara kedua adalah dari sudut pandang empirisme yang menggali
pengetahuan keilmuan dengan pengujian melalui pengalaman yang
didasarkan pada fakta atau obyek yang ditelaah. Suatu fakta atau
obyek

27
Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, hlm. 44-45.
28
Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius,1994), hlm.
129.
29
Dikarenakan konsep dasar ilmu sejatinya disusun secara sistematis menurut metode-
metode tertentu yang dapat dipergunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu.

| 236
30
Hendyat Soetopo, Filsafat Ilmu Kajian Ilmu Sosial, hlm. 6.

| 237
tertentu disebut obyektif jika menjadi sama setelah melalui pengujian
dari orang lain. Dikatakan obyektif karena kebergantungannya kepada
obyek yang ditelaah.
Kebenaran dalam ilmu terbatas benar dari sudut pengujian
empiris. Kebenaran keilmuan disebut sah apabila telah diuji secara
empiris berdasarkan fakta-fakta. Oleh karena fakta-fakta yang bisa
berupa keberwujudan benda, keadaan, dan kejadian itu selalu
berubah, maka kebenaran keilmuan bisa berubah dan bersirkulasi.
Kebenaran rasional dijadikan dasar sebagai pembuatan hipotesis
terhadap sesuatu, dan hipotesis menjadi benar apabila apabila diuji
secara empiris berdasarkan fakta-fakta yang dikaji di lapangan. Hasil
dari pengujian hipotesis ini menjadi pengetahuan baru sebagai
khasanah bagi pengetahuan selanjutnya. Pada saatnya pengetahuan
baru tersebut mejadikan ide dalam pembuatan hipotesis baru.
Begilah siklus dari sebuah epistimologi dalam ilmu pengetahuan.
5. Landasan Aksiologi Ilmu
Istilah Aksiologis berasal dari dialektika Yunani, axios yang
berarti nilai dan logos yang berarti ilmu atau teori. Jadi aksiologi
adalah teori tentang nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang
dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang
apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu
pada permasalahan etika dan estetika.31
Dalam filsafat Yunani, studi mengenai nilai ini
mengedepankan pemikiran Plato mengenai idea tentang kebaikan,
atau yang lebih dikenal sebagai Summun Bonun (kebaikan
tertinggi).32
Aksiologi ilmu didefinisikan sebagai kemanfaatan ilmu atau
nilai/value dari sebuah ilmu. Ilmu bersifat netral karena ilmu tiada

31
Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan
Aksiologis, hlm. 116.
32
Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, hlm. 26.
keberpihakan kepada siapapun dan apapun33, ilmu akan menemukan
kebenarannya sesuai dengan esensi dari sesuatu tersebut.
Kemanfaatan ilmu bergantung pada pengguna ilmu itu sendiri. Jika
yang memegang adalah individu yang memang baik dan benar, maka
ilmu tersebut dapat menjadikan sesuatu yang bermanfaat, begitu juga
sebaliknya. Maka dalam kajian aksiologi ini ilmu dianalogikan
sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan sebuah kemanfaatan.
Dengan ilmu orang bisa menghemat waktu, tenaga, dan
biaya, sehingga disebut efisien, karena ilmu meletakkan dasar-dasar
teroritis berdasarkan kajian empirik tentang berbagai strategi untuk
mempermudah kehidupan.
Adapun obyek aksiologisnya ilmu berkaitan dengan dua hal,
dimana keduanya ini merupakan bagian umum dari aksiologi untuk
membangun sebuah filsafat ilmu, kedua obyek ini adalah etika dan
estetika. Etika berkaitan dengan hakikat tentang moral/ prinsip/
standar perilaku manusia, etika juga merupakan suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan
manusia, atau juga merupakan predikat yang dipakai untuk
membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan dan lain sebagainya.
Aksiologi ilmu adalah bagaimana sebuah ilmu atau pengetahuan
tersebut memberikan kemanfaatan dalam kehidupan manusia.

B. Metode Ilmiah Ilmu


Kata metode berasal dari dialektika Yunani, “methodos” berarti
jalan, cara, arah. Metode dapat pula diartikan uraian ilmiah penelitian
atau metode ilmiah. Dengan demikian metode dapat pula diartikan cara
bertindak menurut aturan tertentu dengan tujuan agar aktivitas dapat

33
Hendyat Soetopo, Filsafat Ilmu Kajian Ilmu Sosial, hlm. 7.
terlaksana dan terarah untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya. 34
Kemudian istilah ilmiah berasal dari kata dasar ilmu. Sifat ilmu adalah
ilmiah. Ilmu dikaji berangkat dari ragu-ragu menuju ke percaya.
Metode yang dimaksud disini adalah suatu cara untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan yang benar. Metode merupakan cara-
cara penyelidikan yang bersifat keilmuan yang sering disebut dengan
metode ilmiah (scientific methods). Metode ini perlu agar tujuan
keilmuan yang berupa kebenaran objektif dapat dibuktikan. Dengan
metode ilmiah kedudukan pengetahuan berubah menjadi ilmu
pengetahuan, yang menjadi lebih khusus dan terbatas studinya. Proses
kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.35
Metode ilmiah merupakan penggabungan kajian teoritis dan
kajian empiris. Kajian teoritis memberikan dasar dan/ atau kerangak
berfikir sehingga menghasilkan hipotesa, sementara kajian empiris
merupakan pengujian hiptesis melalui penggalian fakta-fakta di
lapangan sebagai dasar untuk mengambil kesimpulan. Ketika
menggunakan kajian teoritis, logika yang digunakan adalah logika
deduktif dengan kriteria kebenaran koherensi, senjata yang digunakan
dalam metode ini adalah logika matematik; teori yang ada sebelumnya
sebagai suatu pernyataan yang dianggap benar kemudian dideduksi
menjadi pernyataan-pernyataan yang lebih kecil yang dikaitkan antar
hubungannya, sehingga menghasilkan premis-premis minor yang juga
benar.
Sedangkan kajian empiris berusaha mengumpulkan fakta-fakta
di lapangan kemudian diakumulasikan untuk mendasari kesimpulan,
senjata yang digunakan dalam mengkajinya adalah logika statistika. Logika
statistika bermanfaat untuk menemukan kecenderungan umum
berdasarkan

34
Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan
Aksiologis, hlm. 83-84.
35
Ritchie Calder, Science in Our Life (New York: New A American Library, 1955), hlm.
37.
akumulasi fakta-fakta yang ada di lapangan, sehingga dalam kajian
empiris ini menggunakan logika berfikir induktif dengan kriteria
kebenaran korespondensi.
Kajian keilmuan yang merupakan paduan kegiatan teoritis dan
empiris sebagai suatu siklus dapat digambarkan sebagai berikut:
Logika Matematika

Khazanah
Teori Deduksi
Ilmu

Dunia Rasional

Masalah

Dunia Empiris

Induksi Fakta Pengujian

Metode Penelitian Keilmuan


Logika Statistika

Gambar 1.1. Proses Kegiatan Ilmiah

Metode ilmiah merupakan proses logiko-dedukto-hipotetiko-verifikatif.


Proses ini merupakan perkawinan yang berkesinambungan antara
deduksi- induksi. Proses bersinambungan ini memerikan gambaran
bahwa ketika manusia menghadapi suatu masalah, maka metode ilmiah
yang digunakan terjadi kesenjangan apa yang diharapkan dengan
sesuatu yang bersifat realitas, dari sinilah terjadilah sebuah masalah,
sehingga seseorang tersebut berfikir secara deduktif dan kemudian
menghasilkan sebuah hipotesis.
Hipotesis yang muncul ini kemudian berusaha diverifikasi dan diuji
secara empirik di lapangan. Adapun langkah-langkah metode ilmiah ini
adalah: (1) perumusan masalah, (2) menyusun kerangka berfikir, (3)
merumuskan hipotesis, (4) pengujian hipotesis, (5) penarikan
kesimpulan.36

Perumusan Masalah

Khasanah Ilmu Pengetahuan Deduksi Penyusunan Kerangka Berfikir

Koherensi

Perumusan HipotesisInduksi
Korespondensi

Diterima
Pengujian Hipotesis
Kesimpulan

Ditolak

Dari sinilah sebenarnya bahwa metodologi penelitian itu


berangkat dan mengikuti langkah-langkah metode ilmiah. Penelitian
merupakan kegiatan keilmuan dalam memperoleh pengetahuan ilmiah.
Langkah- langkah penelitian yang apda hakekatnya mencakup apa yang
diteliti (ontologi), bagaimana penelitian dilakukan (epistiomologi), dan
untuk apa penelitian digunakan (aksiologi) merupakan kajian filosofis
metodologi penelitian.

36
Hendyat Soetopo, Filsafat Ilmu Kajian Ilmu Sosial, hlm. 8.
C. Struktur Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan
pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan, sehingga bisa
disebut sebagai pengetahuan ilmiah. Hasil dari kajian ilmiah tersebut
menemukan teori, teori terdahulu bisa diverifikasi dengan fakta-fakta
baru yang hasilnya bisa menerima atau menolak teori yang telah ada.
Hasil kajian baru menjadi kekayaan khazanah teori baru, begitu
seterusnya sehingga terus menerus teori-teori berkembangan dengan
pesatnya melalui pengkajian keilmuan dengan menerapkan metode
ilmiah. Metode ilmiah mempunyai mekanisme umpan balik yang
bersifat korektif yang memungkinkan upaya keilmuan menemukan
kesalahan yang mungkin diperbuatnya. Oleh karena itu, pengetahuan
ilmiah merupakan sebuah proses siklus yang selalu berputar dan
memiliki sinergitas antar hubungannya.
Syarat untuk mengetahuai struktur pengetahuan ilmiah adalah
perlu dipahami beberapa konsep dasar yang berkaitan dengan
pengetahuan keilmuan. Konsep dasar yang berkaitan tersebut akan
dipaparkan dalam bentuk pemilahan yang menjadi kesatuan sebagai
berikut:
1. Teori merupakan suatu hubungan antar konsep yang terpadu dalam
suatu sistem yang bermakna, antar konsep bisa saling berhubungan,
tetapi kalau tidak menjadi satu rangkaian kesatuan makna, maka
bukan disebut sebagai teori. Teori merupakan pengatahuan ilmiah
yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari
sebuah disiplin ilmu.
2. Konsep merupakan hakekat suatu hal (benda, peristiwa, sarwa,
istilah, dan lain-lain) yang merupakan paduan kontruk yang
membentuk suatu arti yang utuh. Sehingga terlihat jelas sebuah
bangunan keilmuannya, yang kadang disebut sebagai bangunan
konsep.
3. Konstruk adalah gambaran dari sosok/ bangun yang menjelaskan
wujud dan/ atau kandungan makna keilmuan.
4. Teori juga terdiri atas hukum-hukum. Hukum adalah suatu
pernyataan yang menjelaskan hubungan sebab akibat antar dua
variabel. Hubungan demikian biasa disebut sebagai hubungan
kausalitas. Hubungan kausalitas ini membuat kita bisa meramalkan
akibat tertentu dari suatu sebab tertentu. Makin tinggi tingkat
keumuman sebuah konsep, maka makin teoritis kandungan konsep
itu.
5. Penjelasan ilmiah juga didasarkan pada prinsip-prinsip. Prinsip
adalah pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok
gejala dan mendasari berprosesnya gejala itu.
Dari paparan tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa
struktur pengetahuan ilmiah dapat diketahui dengan cara memahami
konsep dasar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan pada dasarnya terdiri
dari teori yang menjelaskan sesuatu menajdi satu kesatuan rangkaian
yang bermakna, sehingga nantinya akan terbentuk sebuah paduan
bangunan konsep yang membentuk suatu arti utuh, apa dan bagaimana
bentuk dari konstruk tersebut akan memberikan gambaran wujud dari
sebuah pengetahuan ilmiah, sehingga akan terlihat jelas bagaimana
hubungan kusalitas yang terjadi antar sebab-akibat yang memunculkan
sebuah hukum- hukum yang bisa menjelaskan hal tersebut. Hasil dari
proses tersebut terbentuklah sebuah prinsip dasar pondasi keilmuan
yang bisa mendasari proses dari terbentuknya sebuan pengetahuan.
Pengetahuan ilmiah dapat diperoleh melalui kegiatan penelitian.
Dalam penelitian disebutkan beberapa pengetahuan yang harus dikuasai
pengertiannya yang biasa mendasari dalam menerapkan metode ilmiah.
Dalam penelitian keilmuan, ada dua pendekatan besar yang biasa
digunakan sebagai acuan, yaitu pendekatan positivis dan pendekatan
fenomenologis. Pendekatan positivis berusaha meneliti fakta-fakta di
lapangan sebagai pembenar dan penyalah teori-teori yang telah ada
sebelumnya., sehingga ditemukan pengetahuan ilmiah baru atau
memperkaya pembuktian teori sebelumnya yang telah ada. Pendekatan
fenomenologis berangkat dari fakta-fakta kemudian diangkat menjadi
proposisi-proposisi yang pada akhirnya menemukan teori baru atau teori
yang sama dengan teori lama yang sebelumnya telah ada. Proposisi
adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyata atau statement.37
Beberapa pengetahuan itu yang dimaksudkan antara lain tentang
postulat, asumsi, dan hipotesis.
1. Postulat adalah asumsi dasar yang kebenarannya diterima tanpa dituntut
pembuktian, jika kebenaran ilmiah diperoleh melalui penerapa
prosedur keilmuan, maka dalam postulat ini tidak perlu melalui
prosedur tersebut, yang biasanya pembuatan postulat dibekali
dengan pengetahuan tentang sesuatu yang akan dibahas.
2. Asumsi adalah anggapan dasar atau pernyataan yang telah dianggap
benar karena mengandung kebenaran secara empirik yang dalam
penelitian tidak perlu diuji kebenarannya.
3. Hipotesis adalah suatu praduga yang kebenarannya masih harus diuji
di lapangan. Ada juga yang mengartikan hipotesis sebagai jawaban
sementara terhadap masalah yang kebenarannya masih harus diuji di
lapangan. Hipotesis memberikan tuntunan kepada peneliti bahwa
penelitiannya terfokus pada pengujian terhadeap jawaban sementara
itu.

37
Koentowibisono Siswomihardjo, Filsafat Ilmu, (Klaten: Intan Parawira, 1997), hlm. 85-
92.
DAFTAR RUJUKAN

Al-Ghazali, 1984. al-Munqidh min al-Dalal, Pembebas dari Kesesatan, alih bahasa
Abdullah bin Nuh. Jakarta: Tinta Mas.
Calder, Ritchie. 1995. Science in Our Life. New York: New A American
Library. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Fakhry, Majid. 1987. Sejarah Filsafat Islam, alih bahasa R. Mulyadhi Kartanegara.
Jakarta: PT. Dunia pustaka Jaya.
Gie, The Liang. 1999. Pengantar Filsafat Ilmu, Cet. IV. Yogyakarta:
Penerbit Liberty.
Hardono, Hadi. 1994. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:
Kanisius. Hatta, Mohammad. 1979. Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan,
Cetakan VI.
Jakarta: Mutiara.
Homby. 1984. Oxford Advanced Learner Dictionary Of Current English (p. 136).
Oxford University Press. New York.
Imam, Mawardi. 2008. Kebenaran dalam Perspektif Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Lkis. Muntasyir, Rizal dan Misnal Munir. 2004. Filsafat Ilmu, Cetakan IV.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nuchelmans, G. 1982. Berfikir Secara Kefilsafatan, terj. Soejono Soemargono.
Yogyakarta: Fakultas Filsafat-PPPT UGM.
Qadir, C.A (Editor). 1988. Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Siswomihardjo, Koentowibisono. 1997. Filsafat Ilmu. Klaten: Intan
Parawira. Soemargono, Soejono. 1987. Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:
Nurcahaya.
Soetopo, Hendyat. 2009. Filsafat Ilmu Kajian Ilmu Sosial. Program Studi
Manajemen Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Negeri
Malang. Malang: PPs-UM.
Susanto. 2011. Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis,
dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara.
Titus, Harold H. 1984. (editor). Persoalan-persoalan Filsafat, alih bahasa H.
M. Rosidi. Jakarta: Bulan Bintang.
Van Peursen, C.A.. 1985. Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar
Filsafat Ilmu, terj. J.Drost. Jakarta: Gramedia,1985)
Wibisono, Koento S. et.al.,. 1997. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan. Klaten: Intan Pariwara.
. 1984. Filsafat Ilmu Pengetahuan Dan
Aktualitasnya Dalam Upaya Pencapaian Perdamaian Dunia Yang Kita
Cita-Citakan. Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana UGM.

You might also like