You are on page 1of 85

MANAJEMEN KESEHATAN DAN KESEJAHTERAAN TERNAK

Kumpulan Jurnal Materi Presentasi Viral Ruminansia

Disusun oleh :
Kelompok 3
Kelas E
Fitri Anti Siti Khoppipah 200110200096
Noufal Ramadhani Rizki 200110200097
Dhita Nofitri 200110200098
Diki Arif Saputra 200110200182
Bianca Celeste Dwinov 200110200183
Meliani Anggia Putri 200110200220
Widzar Ramadhan 200110200221
Fikri Satria Dirgantara Darmawan 200110200222

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2021
Jurnal Peternakan Terapan Vol. 1 (1): 16-20 pISSN xxxx-xxxx eISSN xxxx-xxxx
https://jurnal.polinela.ac.id/index.php/PETERPAN/index

Penyakit Orf Pada Kambing (Studi Kasus di CV Mitra Farm, Bogor, Jawa
Barat)

Orf Disease in Goats (Case study in CV Mitra Farm, Bogor, West Java)

N Kotimah1, N Irwani 1, K Magfiroh 3


1
Jurusan Peternakan Politeknik Negeri Lampung,
Jln. Soekarno Hatta No 10 Rajabasa Bandar Lampung, 35144
* E-mail korespondensi: naniirwani@polinela.ac.id

Abstract: Goats are livestock that is classified as small ruminants. One of the factors that
influence goat productivity is health management. Health management is a disease
control process so that livestock productivity can be maximized. One of the goat diseases
in CV Mitra Tani Farm is an 'orf' disease. "Orf" is a scab that attacks the area around
the goat's mouth. The ‘orf’ disease is caused by a zoonotic virus. Orf can cause goats to
have difficulty in consuming food, so that the goats become thin, and increase morbidity.
The purpose of this Final Project was to determine the occurrence of 'orf' disease in
goats in CV Mitra Tani Farm. PE goats and pea goats were used as observation
material. Observation, interviews, and secondary data collection were used to collect
data in the CV. Mitra Tani Farm. Based on the observations of ‘orf’ disease in CV Mitra
Tani Farm can be concluded that the clinical symptoms seen are blisters in the area
around the mouth on the edge of the right lip. Orf disease management in the CV. Mitra
Tani Farm was cleaning scabs around the mouth and administration of drugs in the form
of gusanex® and vitamin B-complex.

Keywords: Goat, orf disease, management

Diterima: Disetujui:

PENDAHULUAN
Kambing adalah hewan ternak yang tergolong ruminansia kecil yaitu hewan mamalia yang menyusui
anaknya dan bertubuh kecil. Kambing dipelihara dengan beberapa sistem yaitu sistem intensif, ekstensif,
dan semi intensif. Salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas kambing adalah manajemen
kesehatan. Manajemen kesehatan adalah proses pengendalian penyakit agar produktivitas ternak dapat
dimaksimalkan dan produk hasil ternak memiliki kualitas yang sesuai dengan standar yang diinginkan.
Penyakit tidak hanya mengakibatkan kerugian ekonomis karena menurunnya produktivitas ternak, namun
dapat menurunkan minat peternak untuk mengembangkan usahanya.
Salah satu penyakit kambing di CV. Mitra Tani Farm adalah penyakit ‘orf’. Penyakit ‘orf’
adalah penyakit keropeng yang menyerang pada daerah sekitar mulut kambing. Penyakit ‘orf’ disebabkan
oleh virus yang bersifat zoonosis. Penyakit ‘orf’ dapat menyebabkan kerugian pada peternak kambing.
Kerugian yang terjadi yaitu dapat menyebabkan kambing mengalami kesulitan mengkonsumsi pakan,
sehingga kambing menjadi kurus serta tingkat morbiditas semakin tinggi dan dapat menularkan ke ternak
lain, selain itu penyakit ‘orf’ juga dapat menyebabkan kerugian lain seperti penurunan produksi, waktu
penyembuhan yang lama, tidak ada kemauan untuk bergerak, dan pertumbuhan yang lambat. Penyakit ‘orf’
Khotimah dkk : Penyakit Orf Pada Kambing/Peterpan 1(1): 16-20

perlu dilakukan penanganan berkelanjutan dan tepat agar dampak negatif dari penyakit ini dapat
diminimalkan (Simanjuntak et al.,1984). Pemahaman kejadian penyakit ‘orf’ pada kambing di CV. Mitra
Tani Farm, Tegal Waru, Ciampea Bogor Jawa Barat perlu dilakukan secara mendalam.

MATERI DAN METODE

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan adalah sepatu bot, masker, dan sarung tangan. Bahan yang digunakan : vitamin
B-kompleks, obat anti lalat berupa gusanex®, kambing PE dan kambing kacang.

Metode Pelaksanaan
Metode pelaksanaan yang digunakan antara lain
a. Observasi, proses pengumpulan data primer dengan memantau, melihat, dan menganalisa
secara langsung setiap hari sehingga objek yang diamati akan lebih jelas.
b. Mengamati langsung dengan melakukan pemeliharaan rutin
c. Wawancara, yaitu berkomunikasi dan berdialog langsung dengan pegawai, pembimbing lapang,
kepala kandang di CV. Mitra Tani Farm.
d. Pengumpulan data sekunder melalui recording di CV Mitra Tani Farm dan literatur dengan
menggunakan sumber-sumber dari berbagai buku

Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan yaitu dengan mengamati dan memahami kejadian penyakit ‘orf’ pada
kambing dengan metode yang diterapkan CV. Mitra Tani Farm, Ciampea Bogor Jawa Barat, diantaranya
yaitu: kejadian penyakit ‘orf’ di CV. Mitra Tani Farm dan penanganan dan pengobatan di CV. Mitra Tani
Farm.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kejadian Penyakit ‘orf’ di CV. Mitra Tani Farm
Penyakit ‘orf’ atau Ecthyma contagiosa adalah jenis penyakit kulit terutama pada ternak kambing.
Penyakit ini merupakan penyakit menular yang bersifat zoonosis. Penyakit ‘orf’ disebabkan oleh virus
parapox dan mulai terlihat 2-3 hari setelah kambing datang. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulyono
(2004), bahwa masa inkubasi virus berlangsung selama 2-3 hari. Masa inkubasi adalah waktu masuknya
patogen (penyebab penyakit) ke dalam tubuh sampai menimbulkan gejala pertama kali.

Gejala Penyakit ‘orf’ di CV. Mitra Tani Farm


Penyakit ‘orf’ adalah jenis penyakit keropeng yang menyerang daerah sekitar mulut, kelopak mata,
ambing, dan bagian tubuh yang tidak ditumbuhi bulu. Gejala klinis yang terlihat di CV. Mitra Tani Farm
yaitu adanya lepuhan di daerah sekitar mulut di bagian pinggir bibir sebelah kanan. Ternak yang terserang
penyakit ‘orf’ terdapat lepuhan di daerah sekitar mulut yang berisi cairan berwarna putih kekuningan,
kemudian cairan tersebut pecah dan membentuk keropeng. Ternak yang sakit ditandai dengan kurangnya
nafsu makan dan tidak tenang seperti menggesekkan daerah sekitar mulut ke dinding kandang untuk
mengurangi rasa gatal. Hal ini sesuai dengan pendapat Darmono (2011) bahwa penyakit ‘orf’ adalah
penyakit kulit yang menyebabkan gejala melepuh pada kulit terutama pada daerah sekitar mulut dan sering
menyerang ternak kambing dan domba.
Menurut Mulyono (2004), gejala yang terlihat yaitu sekitar bibir dan lubang hidung terjadi

17
Jurnal Peternakan Terapan

peradangan yang menimbulkan benjolan menyerupai bunga kol dan hidung mengeluarkan bau busuk.
Peradangan juga dapat terjadi pada ambing, kaki, kelopak mata, dan alat kelamin. Kemudian peradangan
akan berubah menjadi lepuh-lepuh dan mengeluarkan cairan dan membentuk kerak. Setelah 7-14, hari kerak
mengelupas. Kambing yang terserang penyakit ‘orf’ mengalami pelepuhan pada daerah di sekitar mulut.
Menurut data yang diperoleh, kambing yang terserang penyakit ‘orf’ di CV. Mitra Tani Farm sebanyak 2
ekor dari populasi 500 ekor. Persentase kambing yang terserang penyakit ‘orf’ di CV. Mitra Tani Farm
adalah 0,4%. Pada keadaan ini perlu pencegahan dan penanganan yang lebih optimal agar penyakit ‘orf’
tidak terulang kembali. Jika dibiarkan atau tidak ditangani akan terjadi kerugian bagi peternak karena
penyakit dapat menular ke ternak lain, ternak menjadi kurus dan dapat menurunkan produktivitas ternak.

Penanganan dan Pengobatan Penyakit ‘orf’


Identifikasi penyakit ‘orf’ di CV. Mitra Tani Farm dilakukan setelah ternak datang dan diperiksa
kembali setelah 3 hari. Pemeriksaan setelah 3 hari terjadi peradangan pada daerah sekitar mulut dan menjadi
lepuh-lepuh. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Mulyono (2004) bahwa peradangan juga dapat
terjadi pada daerah sekitar mulut, ambing, kaki, kelopak mata, dan alat kelamin. Kemudian peradangan akan
berubah menjadi lepuh-lepuh dan mengeluarkan cairan dan membentuk kerak. Penanganan penyakit ‘orf’ di
CV. Mitra Tani Farm yaitu dengan membersihkan keropeng pada sekitar mulut. Caranya adalah
memisahkan ternak sakit atau diisolasi dari ternak yang sehat, membersihkan keropeng pada daerah sekitar
mulut dengan mengupas keropeng tersebut hingga berdarah, kemudian menyemprotkan obat gusanex® di
daerah sekitar mulut. Menurut Adjid (2009), pada ternak yang menderita penyakit ‘orf’ diisolasi dari ternak
sehat, keropeng di daerah sekitar mulut dibersihkan hingga berdarah dan diolesi iodin, kemudian diulang
setelah 3 hari.
Keropeng dibersihkan kemudian menyemprotkan obat anti lalat pada daerah keropeng tersebut. Obat
anti lalat yang digunakan adalah gusanex® yang mengandung 1% dichlofenthion. Menurut PT. Pimaimas
Citra (2008), kandungan 1% dichlofenthion memiliki beberapa manfaat yaitu kemampuan insektisida dan
larvasida, mengandung antiseptik untuk meningkatkan penyembuhan, dan mampu mengusir lalat.
Penggunaan 1% dichlofenthion yang sedikit tidak berbahaya bagi ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat
Abu Elzein et al. (1997) bahwa obat anti lalat dianjurkan penggunaannya pada penyakit ‘orf’ untuk
mencegah miasis oleh larva lalat. Cara pengaplikasian gusanex® adalah dengan membersihkan keropeng
pada daerah sekitar mulut, kocok gusanex® dengan pelan, kemudian semprotkan pada daerah sekitar
mulut secara merata dalam posisi tegak dengan jarak 10 cm dari luka hingga basah. Selain pemberian
gusanex®, ternak yang sakit di CV. Mitra Tani Farm juga diberi vitamin B-kompleks untuk membantu
penyembuhan penyakit, pertumbuhan ternak, dan kekebalan tubuh ternak. Dosis pemberian B-kompleks
yaitu 1 ml/10kg bobot ternak melalui injeksi intramuskular pada paha. Hal ini sesuai dengan pendapat Adjid
(2010) bahwa penanganan penyakit ‘orf’ dilakukan secara simptomatis untuk mencegah infeksi sekunder
oleh bakteri dan miasis oleh larva serta mempercepat kesembuhan, seperti penggunakan antibiotik
berspektrum luas dan pemberian multivitamin. Bakteri yang berperan sebagai infeksi sekunder yaitu
Staphylococcus aureus, S. epidermis dan Corynebacterium pyogenes.

Pencegahan
Pencegahan penyakit adalah segala tindakan yang dilakukan untuk melindungi tubuh ternak sebelum
penyakit menyerang ternak. Tujuan pencegahan penyakit adalah untuk menekan perkembangan penyakit,
memperlambat penyakit dan melindungi tubuh ternak dari pengaruh yang berbahaya. Salah satu upaya yang
dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ‘orf’ di CV. Mitra Tani Farm adalah dengan menjaga
kebersihan kandang dan lingkungan sekitar. Kebersihan kandang yaitu dengan cara sanitasi kandang serta
mencuci kandang dengan air bersih, menjaga kandang tidak lembab dan tidak tergenang air. Hal ini sesuai

18
Khotimah dkk : Penyakit Orf Pada Kambing/Peterpan 1(1): 16-20

pendapat Sarwono (2009) bahwa kambing yang sakit dipisahkan dengan kambing yang sehat dan kandang
hindarkan dari keadaan lembab dan tergenang air.

KESIMPULAN
Berdasarkan pengamatan kejadian penyakit ‘orf’ di CV. Mitra Tani Farm dapat disimpulkan bahwa
gejala klinis yang terlihat yaitu adanya lepuhan di daerah sekitar mulut di bagian pinggir bibir sebelah
kanan. Penanganan penyakit ‘orf’ di CV. Mitra Tani Farm dengan membersihkan keropeng pada sekitar
mulut serta pemberian obat anti lalat berupa gusanex® dan vitamin B-Kompleks.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Elzein, E.M.E, Gameel, A.A., Al Afaleq, A.I., Al Gundi, O., dan Bukhari, A. 1997. Bovine
epheral fever in Saudi Arabia. Veterinary Record. 140 : 630-631.

Adjid, R.M.A. 2009. Penyakit ‘orf’ pada Ternak Kambing dan Domba Serta Cara
Pengendaliannya di Indonesia. Wartazoa. 3(1) : 7-10.

. 2010. Studi Penyakit ‘orf’ (dakangan) di Indonesia : Isolasi Virus Penyebab Pada
Biakan Sel Domba. Penyakit Hewan. 24(44) : 85-92.

Darmono, H. 2011. Penyakit Utama yang Sering Ditemukan pada Ruminansia Kecil (Kambing dan
Domba). Workshop Nasional Diverifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil.

Effriyansyah, Y. 2012. Sanitasi Kandang Ternak. Program Peternakan Fakultas Pertanian


Universitas Sriwijaya. Indramayu.

Mulyono, S. 2009. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Penebar Swadaya. Jakarta.

. 2009. Ternak Pembibitan Kambing dan Domba. Penebar Swadaya. Jakarta.

Mulyono, S. dan B. Sarwono. 2010. Penggemukan Kambing Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.

Prabowo, A. 2010. Budidaya Ternak Kambing. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatra
Selatan. Palembang.

PT. Pimaimas Citra. 2018. Aturan Pakai Gusanex. PT Pimaimas Citra. Jakarta.

Sarwono, B. 2009. Beternak Kambing Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.

19
Penanganan kasus Orf pada Kambing Potong
di Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih
Muammar Khadafi, S.KH
Dibimbing oleh drh. Anwar

DEFINISI
Salah satu penyakit yang sering dilaporkan menyerang ternak kambing dan Domba di
Indonesia adalah penyakit Ektima Kontagiosa (Orf). Orf atau ektima kantagiosa adalah sejenis
penyakit kulit sangat menular yang disebabkan oleh virus dari genus virus parapox dari keluarga
virus Poxviridae (Fauquet dan Mayo, 1991). Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Van Der
Laan tahun 1914 pada kambing di Medan, Sumatra Utara, Kemudian Bubberman dan Kraneveld
(1931) melaporkan kejadian penyakit tersebut di Bandung, Jawa Barat. Penyebaran penyakit Orf
juga terjadi di daerah Jawa, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, Bali dan Papua. Menurut data lain
yang menyebutkan bahwa sebanyak 20 provinsi sebagai daerah tertular sampai tahun 1988
(Adjid, 1992). Propinsi-propinsi yang tidak mendapat penyakit orf adalah NTT, NTB, Timor-
Timor, Irian Jaya, Maluku, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara .Virus ini sangat menular dan
bersifat zoonosis dan menyebabkan lepuh pada kulit orang. Penyakit ini pada umumnya
menyerang hewan muda setelah disapih, yaitu pada umur 3 – 5 bulan, tetapi kadang-kadang yang
dewasa juga terinfeksi. Nama lain dari penyakit Orf di beberapa daerah di Indonesia seperti
penyakit dakangan (Bali), puru atau muncung (Sumatera Barat), atau Bintumen (Jawa Barat).
Orf adalah dermatitis akut yang menyerang domba dan kambing, ditandai oleh
terbentuknya papula, vesikula, pustule dan keropeng pada kulit di daerah bibir, lubang hidung,
kelopak mata, putting susu, ambing, tungkai, perineal dan pada selaput lender di rongga mulut.

VIRUS PENYEBAB
Virus orf berukuran antara 220-250 nm panjang dengan lebar antara 120-140 nm
(Hessami dkk ., 1979) . Precausta dan Stellrhann (1973) melaporkan bahwa virus orf tahan
terhadap pemanasan pada suhu 50°C selama 30 menit. Virus ini tahan terhadap proses
pembekuan dan pencairan dan juga tahan terhadap getaran ultrasonik, tetapi tidaktahan terhadap
sinar ultra violet (Sawhney, 1972). Precausta dan Stellmann (1973) juga melaporkan bahwa virus
orf tidak tahan terhadap chloroform, tetapi sedikit tahan terhadap eter . Virus orf memiliki
antigen presipitasi, fiksasi komplement, serta netralisasi, tetapi tidak memiliki antigen aglutinasi
sel darah merah (Abdussalam, 1958) .
GEJALA KLINIS
Masa inkubasi berlangsung selama 2 – 3 hari. Mula-mula terbentuk papula, vesikula atau
pustule pada daerah sekitar mulut. Vesikula hanya terlihat selama beberapa jam saja, kemudian
pecah / Isi vesikula ini berwarna putih kekuningan. Kira-kira pada hari ke 10 terbentuk keropeng
tebal dan berwarna keabu-abuan. Bila lesi di mulut luas, maka hewan sulit makan dan menjadi
kurus. Terjadi peradangan pada kulit sekitar mulut, kelopak mata, alat genital, ambing pada
hewan yang sedang menyusui dan medial kaki, pada tempat yang jarang ditumbuhi bulu (Adjid,
1989, dan Watt, 1983). Selanjutnya peradangan ini berubah menjadi eritema, lepuh-lepuh pipih
mengeluarkan cairan, membentuk kerak-kerak. yang mengelupas setelah 1 – 2 minggu
kemudian. Pada selaput lendir mulut yang terserang, tidak terjadi pergerakan. Apabila lesi
tersebut hebat, maka pada bibir yang terserang terdapat kelainan yang menyerupai bunga kool.
Kalau tidak terkena Orf dan infeksi sekunder, lesi - lesi ini biasanya sembuh setelah penyakit
tersebut berlangsung 4 minggu. Pada hewan muda, keadaan ini bias sangat mengganggu,
sehingga dapat menimbulkan kematian. Selain itu, adanya infeksi sekunder, memperhebat
keparahan penyakit. Pada bedah bangkai, tidak terlihat adanya kelainan - kelainan menyolok
pada alat tubuh bagian bagian dalam, kecuali kelainan-kelainan pada kulit.

CARA PENULARAN
Cara penularan terjadi melalui kontak, melalui luka-luka kulit waktu menyusui, kontak
kelamin, atau kontak dengan bahan-bahan yang mengandung virus penyakit ini. Penularan pada
manusia juga terjadi melalui kontak dengan hewan yang sakit atau bahan-bahan yang tercemar
oleh penyakit ini. Cara virus penyakit orf masuk ke dalam tubuh hewan yaitu melalui luka-luka
kecil seperti goresan-goresan yang terjadi pada kulit akibat rumput yang tajam / duri atau luka
karena proses mekanik lainnya (McKeever dkk ., 1988) .

DIAGNOSA BANDING
Penyakit yang mirip dengan Orf adalah cacar pada kambing dan domba. Pada penyakit
cacar lesi biasanya mulai dengan haemoragik dan terjadi pada kulit bagian luar, serta ada
tendensi meluas keseluruh tubuh, termasuk ke organ-organ tubuh bagian dalam. Dengan
mikroskop electron, kedua jenis virus tadi dapat dibedakan. Pada cacar kambing, lesi yang terjadi
tidak separah seperti pada cacar domba, dan lebih mirip Orf. Pada hewan yang menderita
penyakit Orf di isolasi dari hewan yang sehat, keropeng pada bagian mulut dibersihkan sampai
berdarah dan diolesi iodin atau methylen blue kemudian diulang setelah 3 hari. Pengendalian
penyakit Orf dengan cara sanitasi kandang dan lingkungan pemeliharaan. Vaksinasi diperlukan
untuk mencegah penularan penyakit orf (Adjid, 1992).

PENCEGAHAN PENYAKIT
Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan pemberian autovaksin pada daerah - daerah
enzootic.Vaksin ini dibuat dari keropeng kulit yang menderita, dibuat tepung halus dan
disuspensikan menjadi 1 % dalam 50 % gliserin. Vaksinasi pada hewan muda dilakukan berupa
pencacaran kulit, diadakan pada kulit di daerah sebelah dalam paha, sedangkan pada hewan
dewasa dilakukan disekitar leher, beberapa minggu sebelum masa penyusuan. Anak domba
biasanya divaksinasi pada umur 1 bulan dan divaksinasi ulang pada umur 2 – 3 bulan agar
memperoleh kekebalan yang maksimal. Reaksi timbul 7 hari setelah vaksinasi dan kekebalan
berlangsung selama 8 – 28 bulan. Hewan di daerah endemic sebaiknya divaksinasi setiap tahun.
Vaksin harus diperlakukan hati-hati agar tidak menginfeksi tangan. Sedang botol bekas awetan
segera dibakar agar tidak mengkontaminasi tanah atau tempat diadakan vaksinasi. Pada daerah
yang belum dijangkiti penyakit ini, tidak dianjurkan mengadakan vaksinasi. Karena Orf dapat
menular pada manusia, maka pada waktu vaksinasi harus memakai sarung tangan.

PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAAN


Hewan yang menunjukkan gejala sakit segera dipisahkan dari hewan yang sehat, agar
perluasan penyakit dapat dibatasi. Di samping itu, tempat penggembalaan yang tertulari
sebaiknya tidak dipakai lagi untuk jangka waktu lama, mengingat bahwa virus Orf masih dapat
hidup beberapa bulan di udara luar. Daerah sekitar terjangkit segera diberi vaksinasi massal agar
penyakit dapat dikendalikan dan tidak menjalar lebih luas. Hewan yang mati karena penyakit ini
segera dibakar atau dikubur dalam.
PENGOBATAN
Hewan yang sakit dapat diobati dengan antibiotic berspektrum luas untuk infeksi
sekunder. Di samping itu dapat juga diberikan multivitamin agar kondisi tubuh dapat diperbaiki.
Sedang pada kulit yang sakit dapat diberikan pengobatan lokal dengan salep atau jood tincture.
Kambing yang sakit sebaiknya dipisahkan sendiri dan diberi pakan rumput segar dan lunak.
Hewan muda yang telah sembuh,menjadi kebal seumur hidup. Mengingat bahwa penyakit ini
dapatmenular ke manusia, sebaiknya daging yang berasal dari hewan sakit tidak untuk
dikonsumsi. Karena itu pemotongan hewan sakit tidak diperbolehkan. Pemotongan hewan yang
sakit atau tersangka sakit tidak dilarang dengan syarat harus di bawah pengawasan dokter hewan
yang berwenang.
Gambar 1 : Keropeng pada sekitar mulut

Gambar 2 : Keropeng di cabut dengan pinset hingga berdarah


Gambar 3 : Luka keropeng setelah di cabut dan ditetesin iodone

KESIMPULAN DAN SARAN


Dari gambaran penyakit serta petunjuk dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit,
sudah waktunya penyakit orf pada ternak kambing dan domba di Indonesia diperhatikan secara
seksama . Daerah bebas dan daerah tertular selayaknya diketahui secara jelas. Mengingat sifat
virus penyebab penyakit orf yang sangat tahan hidup di alam, serta sifat peternakan kambing dan
domba di Indonesia yang umumnya berskala kecil, berkelompok – kelompok serta dipelihara
secara tradisional, maka kebijakan pengendalian dan pemberantasan penyakit orf yang berlaku
pada saat ini sebaiknya dikaji ulang.
Pengendalian dan pemberantasan penyakit harus didukung dengan data cukup dan
pengetahuan tentang epidemilogi penyakit orf yang terjadi di Indonesia . Kejadian penyakit orf
sering dilaporkan di karantina hewan ataupun di lokasi penerima ternak kiriman . Oleh karena itu
pengawasan yang ketat pada setiap kegiatan pengumpulan ternak kambing atau domba perlu
dilakukan guna mencegah penyebaran penyakit orf yang lebih luas lagi di wilayah Indonesia.
Daftar Pustaka

Abdussalam, M. 1958. Contagious pustular dermatitis. IV. Immunological reaction . J .


Comp. Path. 68: 23-35.

Adjid, A. 1989 . Penyakit Orf di Jawa Barat: Infeksi alam dan buatan. Proceedings Pertemuan
Ilmiah Ruminansia, Cisarua Bogor 8-10 Nopember 1988. Jilid 2., Ruminansia
Kecil . pp. 123-128.

ADJID, R. M. A. 1992. Studi penyakit orf (dakangan) di Indonesia : Isolasi virus penyebab
pada biakan sel domba. Penyakit Hewan. 24 (44): 85-92.

Bubberman, C. and Kraneveld, F.C. 1931 . Over een besmettelijke peristomatitis bij schapen .
N.I .BI . v. Dierg. 43: 564-592.

Fauquet, C. and Mayo, M.A. 1991 . Virus Families and Groups . In Classification and
Nomenclature of Viruses. Fifth Report of the International Committee on
Taxonomy of Viruses, pp . 63-79 (eds . R.B. Francki, C.M. Fauquet, D.L .
Knudson, and F. Brown) Archives of Virology Supplement 2. Springer-verlag .
Wien, New York.

Hessami, M., Keney, D.A., Pearson, L .D., and Stroz, J. 1979. Isolation of parapoxviruses
from man and animals : Cultivation and cellular changes in bovine foetal spleen
cells . Comp . Immun. Microbiol . Infect . Dis . 2: 1-7.

McKeever, D.J ., Jenkinson, M.D ., Hutchinson, G. and Reid, H.W . 1988 . Studies of the
pathogenesis of orf virus infention in sheef . J. Comp. Path . 99 : 317-328 .

Precausta, P., and Stellmann, Ch . 1973. Isolation and comperative study in vitro of 5 strains
of contagious ecthyma of sheep. Zbl . Vet . Med. B. 20 : 340-355.

Sawhney, A.N . 1972. Studies on the virus of contagious pustular dermatitis: Physicochemical
properties . Indian Vet . J. 49: 14-19.

Watt, J .A .A. 1983. Contagious pustular dermatitis. In Diseases of sheep, pp. 185-188
(ed.W.B. Martin) . Blackwell Sci . Publ ., Melbourne.
WARTAZOA Vol. 30 No. 2 Th. 2020 Hlm. 61-70 DOI: http://dx.doi.org/10.14334/wartazoa.v30i2.2490

Penyakit Mulut dan Kuku: Penyakit Hewan Eksotik yang Harus Diwaspadai
Masuknya ke Indonesia
(Foot and Mouth Disease: An Exotic Animal Disease that Must Be Alert of
Entry into Indonesia)

RM Abdul Adjid

Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata No. 30, Bogor 16114
Kontributor utama: rmabduladjid1@gmail.com

(Diterima 13 April 2020 – Direvisi 9 Juni 2020 – Disetujui 9 Juni 2020)

ABSTRACT

Foot and Mouth Disease (FMD) is a highly contagious disease that attacks cloven hoofed animals. Among the animals
primarly livestock that sensitive to FMD include cattle, bufalloes, pigs, sheep, and goats. The causative agent of FMD is the Foot
and Mouth Disease Virus (FMDV). This disease is greatly feared by all countries because it may cause great loss of economic
impact. There are still many countries in the world that are not yet free from FMD. The World Animal Health Organization (OIE/
Office des Internationale Epizootis) has included this disease in the list of disease that must be reported as “notifiable disease”.
This FMD has become exotic for Indonesia since 1990, and currently it is included in the list of strategic infectious animal
diseases in Indonesia. With current situation where the traffic of people and goods between countries in the world is very fast and
frequent, it is possible for the disease to enter Indonesian territory. This paper discusses the FMD with aim of increasing alertness
and readiness in preventing the entry and spread of the disease to Indonesia.
Key words: Foot and Mouth Disease, livestock, ruminants, exotic disease, virus

ABSTRAK

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) merupakan penyakit yang sangat menular menyerang hewan berkuku belah. Ternak
berkuku belah yang peka terhadap PMK diantaranya adalah sapi, kerbau, domba, kambing dan babi. Agen penyebab PMK adalah
Virus Foot Mouth Disease (FMDV). Penyakit ini sangat ditakuti oleh semua negara di dunia karena menyebabkan dampak
ekonomi yang tidak sedikit dan saat ini masih banyak negara di dunia yang belum bebas dari PMK. Badan Kesehatan Hewan
Dunia (OIE/Office des Internationale Epizootis) memasukkan penyakit PMK ke dalam daftar penyakit yang harus dilaporkan.
Penyakit ini menjadi eksotik bagi Indonesia sejak tahun 1990, dan saat ini masuk dalam daftar penyakit hewan menular strategis
(PHMS). Dengan situasi saat ini dimana lalu lintas orang dan barang antar negara di dunia yang sangat tinggi dan cepat, maka
tidak menutup kemungkinan penyakit ini bisa masuk ke wilayah Indonesia. Tulisan ini membahas tentang PMK dengan tujuan
untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapan dalam mencegah masuk dan menyebarnya penyakit ini ke Indonesia.
Kata kunci: Penyakit Mulut dan Kuku, ternak, ruminansia, penyakit hewan eksotik, virus

PENDAHULUAN pengendalian wabah PMK di Inggris yang menelan


biaya sekitar £2,7 miliar diluar kerugian miliaran
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) atau Foot and poundsterling yang diakibatkan oleh turunnya jumlah
Mouth Disease adalah penyakit hewan yang cepat turis, serta terganggunya industri-industri peternakan di
menular menyerang hewan berkuku belah (cloven pedesaan. Chaters et al. (2018) memperlihatkan bahwa
hoop), seperti sapi, kerbau, domba, kambing, babi, wabah PMK di daerah endemik menurunkan fertilitas
rusa/kijang, onta dan gajah. Hewan yang sakit akibat pada sapi perah. Berdasarkan pada sifat penyakit,
infeksi virus PMK memperlihatkan gejala klinis yang sebaran penyakit dan dampak kerugiannya, Badan
patognomonik berupa lepuh/lesi pada mulut dan pada Kesehatan Hewan Dunia, atau Office des Internationale
seluruh teracak kaki. Agen penyebab PMK adalah virus Epizootis (OIE), menempatkan penyakit ini dalam
Foot and Mouth Disease (FMDV) yang masuk dalam Daftar “OIE Listed Diseases and Other Diseases of
famili Picornaviridae dan genus Aphtovirus Importance” sebagai penyakit yang harus dilaporkan
(MacLachlan & Dubovi 2017). kejadiannya oleh semua negara di dunia ke OIE (OIE
Penyakit ini sangat menular dan masih terjadi di 2019a).
banyak negara di dunia, serta mengakibatkan kerugian Indonesia pernah menjadi negara tertular PMK
ekonomi yang besar. Davies (2002) memaparkan (Ronohardjo et al. 1984), dan penyakit ini pertama kali

61
WARTAZOA Vol. 30 No. 2 Th. 2020 Hlm. 61-70

dilaporkan pada pada tahun 1887 di Malang, yang dahulu dilakukan penyusunan gen virus (Carter &
kemudian menyebar ke berbagai wilayah Indonesia. Saunders 2013).
Pengendalian PMK dilakukan secara terus menerus Virus FMD memiliki 7 serotipe, yaitu serotipe A,
saat itu untuk pembebasan penyakit, namun pada tahun O, C, Asia 1, SAT1, SAT2, dan SAT3. Untuk serotipe
1983, PMK meletup kembali di Kabupaten Blora Jawa A, O, dan C disebut serotipe Euroasiatic, sementara
Tengah. Pemberantasan PMK kemudian dilakukan Asia1 adalah serotipe untuk wilayah Asia1 dan serotipe
secara masif dengan melakukan vaksinasi SAT adalah untuk wilayah Afrika Selatan. Selanjutnya
berkelanjutan selama tiga tahun berturut-turut hingga dalam satu serotipe, virus mempunyai banyak subtipe
akhirnya penyakit ini berhasil dibebaskan kembali dan (McLachlan & Dubovi 2017). Kemampuan proteksi
status bebas PMK dinyatakan dalam Resolusi OIE no silang akibat infeksi atau vaksinasi dari serotipe atau
XI tahun 1990 (Ditkeswan 2014). Pada tahun 2013 subtipe terhadap serotipe ataupun subtipe yang berbeda
pemerintah Indonesia menetapkan bahwa PMK sangatlah rendah (Haskell 2014). Lebih lanjut,
merupakan penyakit hewan menular strategis (PHMS) tingginya variasi antigen virus FMD ini menjadi
yang harus diwaspadai dan dicegah (Menteri Pertanian masalah besar dalam seleksi strain vaksin untuk
2013). Sampai saat ini Indonesia masih dinyatakan pengendalian wabah PMK (Singh 2011). Oleh karena
bebas dari PMK dan tanpa program vaksinasi yang itu, vaksinasi dalam rangka pengendalian penyakit
diputuskan dengan Resolusi OIE no XV tahun 2019 yang efektif adalah melakukan vaksinasi menggunakan
(OIE 2019c). vaksin yang mengandung virus yang homolog pada
Mengamati situasi dan kondisi yang berkembang tingkat subtipe atau kesamaan imunologis virus FMD
pada saat ini, seperti tinggi dan cepatnya transportasi dengan virus yang bersirkulasi di lapang atau penyebab
global manusia maupun barang, sementara masih wabah penyakit di wilayah tersebut.
banyak negara di dunia yang statusnya tertular PMK, Secara fisik virus FMD berbentuk icosahedral
maka kemungkinan ternak dan/atau produknya dari symmetry dengan ukuran capsid (pembungkus RNA
negara yang belum bebas PMK masuk ke Indonesia antara 25-30 nm. Capsid virus Picorna tersusun oleh
dapat terjadi, sehingga sangat diperlukan sikap kehati- 60 subunit protein yang identik, masing-masing unit
hatian dan kewaspadaan masuknya kembali penyakit mengandung 4 protein virus (VP1-4). Masing-masing
ini ke Indonesia. Naipospos & Suseno (2017) protein VP1-3 mengandung 8-stranded β-barrel,
memperkirakan bahwa jika Indonesia terserang wabah seperti halnya dengan yang dimiliki oleh capsid virus
PMK maka akan terjadi kerugian sebesar Rp. 9,9 lainnya (Carter & Saunders 2013).
triliun. Genom dari Picornavirus tersusun oleh 7-8 kb
Informasi tentang PMK di Indonesia sudah lama ssRNA. Secara kovalen RNA virus ini bertautan
tidak dimunculkan dan sangat sedikit dipublikasikan, dengan 5’ ujung dari RNA berupa protein kecil (2-3
oleh karena itu terkait keterkinian situasinya di dunia kD) dikenal sebagai VPg (virus protein, genome
dan sudah dilakukannya impor daging dari negara linked). Tautan kovalen ini melalui grup OH dari residu
belum bebas PMK seperti India maka tulisan ini tyrosine pada posisi 3’ dari VPg, dan ujung 3’ dari
bertujuan untuk menyegarkan kembali informasi RNA adalah polyadenylated. Genom virus terdiri dari
tentang PMK di dunia guna meningkatkan satu ORF (open reading frame) yang sangat besar
kewaspadaan terhadap masuk dan menyebarnya PMK diapit oleh daerah yang tidak bisa diterjemahkan
di Indonesia. (untranslated region). Dalam daerah ini pada 5’ ujung
RNA terdapat banyak struktur kedua (secondary
structure) seperti internal ribosome entry site dan lain-
ETIOLOGI PENYAKIT MULUT DAN KUKU lain (Carter & Saunders 2013).
Virus FMD tahan hidup dalam lingkungan/alam
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) disebabkan oleh tergantung pada situasi dan kondisi suhu dan tingkat
virus Foot Mouth Disease (FMDV) termasuk kemasaman. Virus FMD lebih stabil dan infektif jika
dalamfamili Picornaviridae dan genus Aphtovirus virus masih berada di dalam lapisan kulit, cairan lendir
(MacLachlan & Dubovi 2017). Picornavirus masuk dan terhindar dari paparan sinar matahari atau pada
dalam virus klas IV, memiliki genom plus-strand-RNA suhu relatif rendah di lingkungan. Virus FMD dalam
yang berfungsi sebagai mRNA. Sel yang terinfeksi oleh aerosol kurang stabil, tetapi pada kondisi kelembaban
virus PMK akan membentuk protein virus dan terjadi tinggi virus dapat bertahan hidup dalam waktu lama
perbanyakan RNA virus. Jika jumlah RNA ini telah (McLachlan & Dubovi 2017). Stabilitas virus FMD
mencukupi atau sudah cukup banyak, maka fungsi tertinggi pada pH 7,4-7,6 tetapi segera mati pada PH
RNA ini berubah menjadi mRNA sebagai pola untuk asam. Virus FMD mati dengan desinfektan yang
perbanyakan RNA virus. Pola perbanyakan seperti ini mengandung sodium carbonate/ washing soda (Pereira
berbeda dengan virus lainnya dimana sebelum & Wildy 1974; Haskell 2014), sehingga desinfektan
dimulainya pembuatan protein virus, umumnya terlebih tersebut sangat baik digunakan untuk dekontaminasi.

62
RM Abdul Adjid: Penyakit Mulut dan Kuku: Penyakit Hewan Eksotik yang Harus Diwaspadai Masuknya ke Indonesia

Suhu tubuh (oC) dari 3 ternak yang rentan


setelah diinfeksi dengan FMDV

Gambar 1. Gejala klinis PMK pada sapi Bali yang diinfeksi dengan virus PMK Ojava83

Sumber: Foto dan data koleksi Dr. R.M.A. Adjid.

HEWAN RENTAN DAN GEJALA KLINIS terjadi hiper salivasi disertai busa (Soeharsono et al.
2010; OIE 2019a).
Semua hewan berkuku belah atau cloven hoop Laporan oleh Adjid (1983, data tidak
rentan terhadap infeksi PMK, baik hewan domestik dipublikasikan) ketika dilakukan uji vaksin
maupun liar, seperti sapi, kerbau, domba, kambing, menunjukkan bahwa sapi Bali yang tidak memiliki
babi, rusa, dan onta. Lebih dari 70 spesies mamalia liar kekebalan ketika diinfeksi oleh virus PMK
rentan terhadap infeksi virus PMK (McLachlan & memperlihatkan hipersalivasi dan berbusa, hewan lebih
Dubovi 2017). senang berbaring, perdarahan/lesi pada mulut, pada
Gejala klinis PMK pada hewan rentan sedikit seluruh teracak kaki dan suhu tubuh mencapai 40°C
bervariasi antar spesies hewan dengan masa inkubasi (Gambar 1) dan hewan sembuh 3-4 minggu setelah
penyakit berkisar antara 2-8 hari. Secara umum, gejala klinis muncul.
gejala klinis PMK adalah demam mencapai 39°C
selama beberapa hari, tidak nafsu makan dan lesi-lesi
DIAGNOSIS PENYAKIT
pada daerah mulut dan keempat kakinya. Lesi-lesi
dalam bentuk lepuh-lepuh pada permukaan selaput
Diagnosis PMK dilakukan dengan pengamatan
lendir mulut, termasuk lidah, gusi, pipi bagian dalam
gejala klinis dan pengujian laboratorium melalui isolasi
dan bibir. Pada kaki lesi akan terlihat jelas pada tumit,
dan identifikasi agen penyebab, materi genetik virus
celah kuku dan sepanjang coronary bands kuku. Lesi
atau secara serologis dengan mengacu pada pedoman
juga bisa terjadi pada liang hidung, moncong, dan
OIE (2019a).
puting susu. Gejala klinis PMK pada babi lebih
dominan berupa lesi-lesi pada kaki/teracak kaki dan Pengamatan gejala klinis yang terlihat pada hewan
terinfeksi belum dapat dijadikan sebagai alat diagnosis
biasanya babi mengalami kelemahan. Pada sapi perah
PMK, namun dapat mengarahkan pada dugaan infeksi
disamping gejala tersebut di atas, terjadi penurunan
PMK. Hal ini dikarenakan beberapa penyakit hewan
produksi susu, sedangkan pada domba, kambing dan
menular lainnya memiliki kemiripan gejala klinis
rusa, lesi-lesi berupa lepuh-lepuh kecil dan sulit dilihat
menyerupai PMK, seperti lepuh atau vesikel di daerah
sehingga diperlukan pengamatan yang teliti. Pada
selaput lendir pada penyakit vesicular stomatitis (VS),
beberapa kasus, gejala PMK dapat dikelirukan dengan
swine vesicular disease (SVD) pada babi, bovine
penyakit busuk kuku atau foot rot. Pada sapi, umumnya
papular stomatitis, bovine herpes mammilitis,

63
WARTAZOA Vol. 30 No. 2 Th. 2020 Hlm. 61-70

infectious bovine rhinotracheitis, bovine mucosal memperlihatkan gejaka klinis) dilakukan dengan
disease, malignant catarrhal fever (MCF), dan mengambil contoh cairan dari daerah esofageal-
rinderpest pada sapi Gejala klinis PMK pada domba faringeal menggunakan alat probang cup dan dilakukan
mirip dengan penyakit bluetongue, parapox-virus, isolasi dan identifikasi agen atau deteksi virus dengan
peste des petits ruminants dan footroot. Terdapat uji ELISA, CFT atau deteksi materi genetik virus
perbedaan kepekaan spesies hewan terhadap infeksi dengan RT-PCR (OIE 2019a).
PMK dengan penyakit hewan menular vesikuler Pengujian PMK di Indonesia dilakukan di Pusat
lainnya, seperti infeksi SVD, VS dan VES (Mclachlan Veteriner Farma (Pusvetma) dengan menggunakan
& Dubovi 2017). Perbedaan kepekaan hewan pada uji teknik RT-PCR untuk mendeteksi materi genetik virus,
infeksi dengan virus PMK tercantum pada Tabel 1. dan teknik ELISA untuk mendeteksi adanya antibodi
Virus PMK tidak dapat mengakibatkan sakit pada kuda akibat infeksi, baik untuk deteksi antibodi terhadap SP
begitu juga dengan infeksi vesicular stomatitis, namun maupun NSP (Ditkeswan 2014).
pada babi hanya penyakit vesikuler dapat
mengakibatkan sakit. Oleh karena ada kemiripan gejala
CARA PENULARAN DAN PENYEBARAN
klinis PMK dengan penyakit infeksi lainnya, maka
pemeriksaan secara laboratorium mutlak dilakukan PENYAKIT
untuk diagnosis PMK.
Diagnosis PMK secara laboratorium dapat Virus PMK masuk ke dalam tubuh hewan melalui
ditetapkan berdasarkan salah satu dari kriteria: a) mulut atau hidung dan virus memperbanyak diri pada
isolasi virus yang telah diidentifikasi sebagai virus sel-sel epitel di daerah nasofaring (Arzt et al. 2011),
PMK, b) pembuktian adanya antigen virus atau RNA dan virus PMK kemudian masuk ke dalam darah dan
spesifik virus PMK dari sampel hewan rentan dengan memperbanyak diri pada kelenjar limfoglandula dan
klinis PMK, atau secara epidemiologi terkait dengan sel-sel epitel di daerah mulut dan kaki (teracak kaki)
suspek kasus/wabah c) pembuktian adanya antibodi mengakibatkan lesi-lesi. Arzt et al. (2011) dalam
terhadap virus PMK dari hewan yang tidak divaksin penelitian patogenesis PMK pada sapi memperlihatkan
(OIE 2019b). adanya keunikan dan persisten infeksi dari virus PMK
Teknik diagnosis PMK yang digunakan dari pada sel-sel epitel di nasofaring yang hanya mengalami
sampel maupun dari hasil isolasi virus pada kultur sel peradangan minimal, tidak membentuk lepuh/vesikel
adalah Enzyme-linked Immnuosortbent Assay (ELISA), dan degenerasi acantholityc.
Complement Fixation Test (CFT), Reverse Penularan PMK dari hewan sakit ke hewan lain
Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) yang peka terutama terjadi karena adanya kontak
menggunakan panel primer tipe spesifik. Teknik langsung dengan hewan sakit, kontak dengan sekresi
sekuensing dapat mengetahui kekerabatan genetik virus dan bahan-bahan yang terkontaminasi virus PMK, serta
PMK dengan virus PMK lainnya. Secara serologis, hewan karier. Penularan PMK dapat terjadi karena
Structural Protein (SP)-Enzyme Link-Immuno Assay kontak dengan bahan/alat yang terkontaminasi virus
(SP-ELISA) dapat mendeteksi hewan yang tidak PMK, seperti petugas, kendaraan, pakan ternak, produk
divaksin. Penggunaan Non-structural Protein (NSP- ternak berupa susu, daging, jerohan, tulang, darah,
ELISA) dapat mengetahui adanya infeksi oleh viurs semen, embrio, dan feses dari hewan sakit. Penyebaran
PMK (OIE 2019a). Teknik Virus Netralization Test PMK antar peternakan ataupun antar wilayah/negara
(VNTs) dan SP-ELISA dapat digunakan untuk umumnya terjadi melalui perpindahan atau transportasi
mengetahui kompatibilitas immunologis dalam ternak yang terinfeksi, produk asal ternak tertular dan
penetapan serotipe virus. Penggunaan ELISA hewan karier. Hewan karier atau hewan pembawa virus
umumnya untuk mendeteksi status infeksi PMK dalam infektif dalam tubuh (dalam sel-sel epitel di daerah
populasi atau untuk studi epidemiologi seperti yang esofagus, faring) untuk waktu lebih dari 28 hari setelah
dilakukan oleh Nthiwa et al. (2020). terinfeksi sangat penting dalam penyebaran PMK (Salt
Diagnosiss hewan karier PMK (hewan yang 1993; OIE 2019a).
secara persisten terinfeksi oleh agen penyebab tanpa Terkait dengan hewan karier, maka lamanya
hewan bertindak sebagai karier tergantung pada spesies
Tabel 1. Perbedaan kepekaan berbagai spesies ternak terhadap penyakit beberapa virus sebagai diagnosis banding

Nama penyakit Sapi Domba Babi Kuda


Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) Sensitif Sensitif Sensitif Resisten
Swine Vesicular Disease (SVD) Resisten Resisten Sensitif Resisten
Vesicular Stomatitis Sensitif Sensitif Sensitif Sensitif
Vesicular Exanthema of Swine Resisten Resisten Sensitif Resisten
Sumber: McLachlan & Dubovi (2017)

64
RM Abdul Adjid: Penyakit Mulut dan Kuku: Penyakit Hewan Eksotik yang Harus Diwaspadai Masuknya ke Indonesia

hewan, strain virus, dan individu hewan. Babi dapat babi dengan limbah dapur (swill feeding) dari angkutan
dipastikan tidak menjadi karier PMK karena tidak ada kapal laut yang berasal dari luar negara Inggris. Toma
bukti kuat keberadaan virus setelah hewan sembuh dari et al. (2002) memberikan indikasi bahwa untuk
penyakit. Pada kelompok sapi tertentu, keberadaan mencegah penyebaran PMK ke suatu negara bebas
virus PMK dapat tetap bertahan paling tidak untuk maka cara yang tepat adalah dengan tidak memasukkan
selama 3 tahun. Domba dan kambing dapat menyimpan ternak rentan PMK dan ternak yang divaksin dari
virus PMK untuk selama 9 bulan (Stenfeldt et al. negara tertular PMK. Hal ini sangat terkait dengan
2016). Condy et al. (1985) menyatakan bahwa kerbau kemungkinan adanya hewan karier terbawa masuk
Afrika (Syncerus caffer) pada pemeliharaan sistim yang dapat menjadi sumber penular PMK ke ternak
individu dapat membawa virus PMK paling tidak untuk rentan di negara bebas.
selama 5 tahun, namun pada pemeliharaan hewan
sistim kelompok maka virus PMK dapat bertahan
dalam populasi paling tidak untuk selama 24 tahun. SEBARAN GEOGRAFIS PMK DI DUNIA
Selanjutnya Jori et al. (2016) menegaskan bahwa
kerbau Afrika ini merupakan hewan reservoir utama Sampai saat ini PMK telah tersebar di banyak
untuk virus FMD tipe SAT di Afrika Selatan. Peranan negara di dunia. Sebanyak 68 negara, termasuk
hewan karier ini sangat penting dalam epidemiologi Indonesia dilaporkan bebas PMK tanpa vaksinasi
PMK dan harus menjadi pertimbangan pada saat berdasarkan OIE (2019c) dalam Resolusi no 15 tahun
melakukan upaya pembebasan penyakit. 2019 yang ditetapkan pada bulan Mei 2019. Paraguay
Masuknya kembali PMK ke dalam suatu negara dan Uruguay merupakan negara bebas PMK dengan
dengan status bebas PMK adalah sangat perlakuan vaksinasi, sementara Argentina, Bolivia,
memungkinkan, sebagai contoh kasus PMK yang Botswana, Brazil, Columbia, Equador, Kazakhstan,
terjadi di Inggris pada bulan Februari tahun 2001 yang Malaysia, Moldova, Namibia dan Rusia adalah negara-
sebelumnya merupakan negara bebas PMK (Davies negara tertular yang memiliki zona bebas PMK tanpa
2002). Pada awal wabah, PMK dikonfirmasi terjadi vaksinasi. Tujuh negara memiliki zona bebas PMK
pada babi di rumah potong di Essex, South East dengan vaksinasi, yaitu Argentina, Bolivia, Brazil,
England, yang kemudian menyebar ke banyak wilayah Cina Taiwan, Equador, Kazakhstan, dan Turki.
di Inggris dan ke negara-negara di sekitarnya, yaitu Sementara sisanya masih tertular PMK, dimana 6
Jerman, Prancis dan Belanda. Hasil penelusuran negara diantaranya sedang melaksanakan program
penyakit menunjukkan bahwa masuknya virus PMK ke pengendalian yang didaftarkan ke OIE. Sebaran
Inggris tersebut diakibatkan karena pemberian pakan geografis PMK di dunia dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Sebaran geografis PMK di dunia

Sumber: OIE (2019c)

65
WARTAZOA Vol. 30 No. 2 Th. 2020 Hlm. 61-70

Tabel 2. Sebaran serotipe virus PMK di beberapa negara di kawasan Asia

Nama Negara Serotipe Keterangan/referensi


Malaysia A, O Ramanoon et al. (2013)
Thailand A, O, Asia1 Qiu & Abila (2017)
Vietnam A, O, Asia1 Qiu & Abila (2017)
China A, O, Asia1 Qiu & Abila (2017)
India A, O, Asia1 Pattnaik et al. (2012); Subramaniam et al. (2013).
Bangladesh A, O, Asia1 Siddique et al. (2018)

Pada Gambar 2 terlihat bahwa daerah di belahan Siddique et al. (2018) melaporkan bahwa di
dunia yang masih banyak tertular PMK adalah Afrika, Bangladesh serotipe virus PMK yang paling
Asia Tengah dan Asia Selatan. Negara terdekat bertanggungjawab mengakibatkan penyakit adalah
Indonesia yang masih tertular PMK adalah Malaysia, serotipe O sebanyak 82% wabah penyakit daripada
kecuali provinsi Sabah dan Sarawak yang telah serotipe A dan Asia1.
dinyatakan oleh OIE sebagai zona bebas PMK tanpa
vaksinasi. Negara lain yang relatif dekat dengan
Indonesia seperti Thailand, Kambodia, Vietnam, India, SITUASI PMK DI INDONESIA
Pakistan, Bangladesh, Nepal, dan China masih tertular
PMK. Sementara itu, negara di kawasan Asia yang Indonesia sampai dengan saat ini masih
bebas PMK tanpa vaksinasi, yaitu Brunei, Jepang, dinyatakan sebagai negara bebas PMK tanpa vaksinasi
Filipina dan Indonesia (OIE 2019c). oleh OIE (2019c). Sejarah PMK di Indonesia
Risiko masuknya PMK ke Indonesia tentunya berdasarkan Ronohardjo et al. (1984) dan Ditkeswan
tidak bisa didasarkan karena dekat atau jauhnya jarak, (2014) dilaporkan pertama kali kejadiannya oleh
namun juga lebih banyak terkait dengan lalu lintas Bosma ketika letupan penyakit terjadi di Malang pada
orang dan barang, utamanya ternak dan produknya dari tahun 1887. Selanjutnya, penyakit menyebar ke daerah
negara tertular ke Indonesia. Hal ini juga menjadi lainnya kearah Timur sampai ke pantai Banyuwangi.
ancaman bagi negara di belahan selatan seperti Laporan kejadiannya secara berturut-turut dimulai di
Australia (Vosloo 2013). Kejadian wabah di Malaysia Jakarta pada tahun 1889, Aceh tahun 1892, Medan dan
memperlihatkan bahwa faktor utama terjadinya wabah Kalimantan tahun 1906, Sulawesi dan Medan pada
adalah lalu lintas/pergerakan hewan yaitu sebesar 66% tahun 1907. Pada tahun 1907 tercatat 1.201 ternak di
dari wabah yang terjadi (Ramanoon et al. 2013). Pulau Jawa terserang PMK, yaitu di Jakarta, Cirebon,
Virus PMK terdiri dari 7 strain, yaitu strain A, O, Priangan, Pasuruan, Besuki, Banyumas, Kedu, Malang
C, Asia 1, SAT 1, SAT 2, dan SAT 3 (OIE 2019a; dan Madura. Pada saat itu kejadian PMK di luar pulau
Nthiwa et al. 2020). Serotipe C sudah tidak dilaporkan Jawa terbatas hanya di Sumatera Timur dan Sulawesi.
kejadiannya di Pakistan dan Afganistan (Jamal et al. Pemerintah melakukan “crash program” vaksinasi
2011) dan serotipe O di India tidak dilaporkan lagi dimulai tahun 1974 untuk memberantas PMK dengan
sejak tahun 1995 (Biswallet et al. 2012). Qiu & Abila mengutamakan vaksinasi dilakukan di daerah sumber
(2017) melaporkan bahwa serotipe Asia 1 sudah tidak ternak, yaitu Bali, Sulawesi Selatan dan Jawa.
terdeteksi lagi di kawasan Asia, termasuk Asia Selatan Upaya pemberantasan penyakit dengan vaksin O1
dalam beberapa tahun terakhir. Serotipe tersebut BFS memperlihatkan hasil yang memuaskan karena
terakhir dideteksi di Lao PDR pada tahun 1999, pada tahun 1980 tidak ada lagi kasus PMK dilaporkan.
Myanmar pada tahun 2001, Malaysia pada tahun 2005, Pada tahun berikutnya Bali dan Sulawesi Selatan
Thailand pada tahun 1998, Cambodia pada tahun 1997, berhasil dibebaskan dan pulau Jawa yang direncanakan
Vietnam pada tahun 2008 dan di China pada tahun bebas PMK pada tahun 1984, namun PMK meletup
2009 (Qiu & Abila 2017). kembali di Kabupaten Blora yang kemudian dengan
Khusus di kawasan Asia, negara bebas PMK tanpa cepat merambat ke wilayah Barat sampai ke Banten.
vaksinasi, yaitu Brunei, Jepang, Filipina, dan Indonesia Untuk daerah Jawa Timur penyebaran PMK terbatas di
(OIE 2019c), sementara negara-negara lainnya masih daerah-daerah yang berbatasan dengan Jawa Tengah.
banyak tertular PMK dengan beragam serotipe. Negara Dalam kurun waktu yang singkat PMK dilaporkan
di kawasan Asia yang masih tertular PMK dan menyerang 13.987 ekor ternak sapi dan kerbau dengan
serotipenya dapat terlihat dalam Tabel 2. angka kematian 1%. Beberapa ekor domba dan babi
Nagendrakumari et al. (2009) menyatakan bahwa dilaporkan terjangkit PMK. Hasil pengujian virus oleh
PMK endemik di India dan serotipe yang paling sering Animal Virus Research Institute (AVRI) di Pirbright,
muncul adalah serotipe A, O dan Asia 1. Sementara Inggris menunjukkan bahwa penyebabnya adalah virus

66
RM Abdul Adjid: Penyakit Mulut dan Kuku: Penyakit Hewan Eksotik yang Harus Diwaspadai Masuknya ke Indonesia

PMK tipe O, dan isolat virus dikenal dengan nama O asal ternak harus dinyatakan bebas penyakit hewan
ISA 3/83 atau O java 83. Ronohardjo et al. (1986) menular oleh otoritas veteriner negara asal sesuai
mengutarakan upaya pemberantasan penyakit dengan ketentuan OIE dan diakui oleh Otoritas
dilakukan melalui vaksinasi massal menggunakan virus Veteriner Indonesia. Dipersyaratkan tempat pemasukan
PMK O java 83 mulai tahun 1983-1985. Dalam waktu ternak tersebut di pulau karantina sebagai instalasi
tiga bulan setelah vaksinasi terakhir, PMK telah dapat karantina hewan pengamanan maksimal. Pulau
dikendalikan bahkan tidak ada kasus lagi. Hasil studi karantina belum dibangun, namun pemerintah telah
serologik memperlihatkan bahwa vaksinasi yang menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 2019
dilaksanakan telah membuahkan hasil yang tentang pulau karantina. Bahri (2017) menyatakan
memuaskan dan disarankan untuk dapat diikuti dengan perlunya melakukan tindakan pengamanan maksimum
keputusan pembebasan penyakit pada tahun 1987. (maximum security) bagi ternak yang diimpor dari zona
Upaya pemerintah membebaskan kembali Indonesia bebas dengan menempatkan ternak tersebut di pulau
dari PMK telah berhasil dan Indonesia dinyatakan karantina dalam waktu tertentu sehingga dapat
bebas PMK pada tahun 1990 dengan Resolusi OIE no dipastikan bahwa ternak tersebut benar-benar tidak
XI (Ditkeswan 2014). membawa agen penyebab wabah PMK. Selanjutnya,
untuk operasional pengendalian dan penanggulangan
penyakit hewan maka pelaksanaannya mengacu pada
KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PP No. 47 tahun 2014.
PENGENDALIAN MASUKNYA PMK DI Dalam UU RI No. 21 Tahun 2019 tentang
INDONESIA Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, hal yang terkait
dengan penyelenggaraan karantina untuk hama
Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) telah penyakit hewan karantina (HPHK) adalah sistem
memberikan panduan umum untuk pencegahan dan pencegahan masuk, keluar dan tersebarnya HPHK.
pengendalian PMK agar tidak masuk ke suatu negara Setiap media pembawa yang masuk dari luar negeri
dan menyebar ke negara lain Setiap negara dapat wajib dilengkapi sertifikat kesehatan atau sertifikat
membuat peraturan atau ketentuan yang disesuaikan sanitasi dari negara asal serta dilakukan tindakan
dengan kondisi di masing-masing negara mengacu karantina. Media pembawa yang pada saat di atas alat
pada Artikel 8.8.7, selanjutnya pada Artikel 8.8.40 - angkut tertular oleh hama penyakit hewan tertentu atau
8.8.42 (OIE 2019b). mengandung jenis yang dilarang pemasukannya, maka
Untuk mempertahankan negara Indonesia agar dilakukan penolakan. Demikian halnya jika media
tetap bebas dari PMK, pemerintah menerbitkan empat pembawa setelah diturunkan dari alat angkut terbukti
peraturan dan perundang-undangan, yaitu 1) UU RI tertular oleh hama penyakit hewan karantina yang
No. 41/2014 tentang Perubahan atas Undang Undang ditetapkan oleh menteri, maka media pembawa tersebut
No. 16 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan dimusnahkan. Hal yang dipandang sangat strategis
Hewan, 2) UU RI No. 21 Tahun 2019 tentang yang diatur dalam UU ini adalah yang terkait dengan
Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, 3) Peraturan limbah asal alat angkut di tempat pemasukan, dimana
Pemerintah No. 47 tahun 2014 tentang Pengendalian melarang setiap orang untuk menurunkan atau
dan Penanggulangan Penyakit Hewan, serta 4) membuang bangkai hewan, sisa pakan, sampah dari
Instruksi Presiden RI No. 4 tahun 2019 tentang alat angkut yang pernah berhubungan dengan hewan.
Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Selanjutnya, media pembawa yang berupa sisa pakan,
Mendeteksi, dan Merespon Wabah Penyakit, Pandemi bangkai hewan dan ikan, barang atau bahan yang
Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia. pernah berhubungan dengan hewan, dan sampah yang
Dalam UU RI No. 41/2014, terkait dengan berupa sisa-sisa makanan yang mengandung bahan asal
pencegahan penyakit hewan menular (PHM), termasuk hewan, yang diturunkan dari alat angkut di tempat
PMK, telah diatur mulai dari pemasukan benih pemasukan atau tempat transit harus dimusnahkan oleh
dan/atau bibit, pemasukan ternak dan produk hewan penanggung jawab alat angkut di bawah pengawasan
dari luar negeri yang harus sesuai dengan persyaratan Pejabat Karantina. Ketentuan yang masih diperlukan
teknis keswan, bebas dari PHM yang ditetapkan, dan sebagai turunan dari UU RI No. 21/2019 ini adalah
sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang penetapan jenis HPHK dan media pembawa yang
karantina hewan). Khusus untuk pemasukan ternak dilarang masuk ke Indonesia yang sampai ditulisnya
ruminansia indukan persyaratannya tercantum pada makalah ini belum diterbitkan. Hal ini dapat saja
Pasal 36C dan 36D, secara garis besar adalah menjadi bahan perdebatan dalam pemasukan media
pemasukan ternak ke dalam wilayah Indonesia berasal pembawa yang tentunya berisiko akan masuknya agen
dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang penyakit baru ke Indonesia.
telah memenuhi persyaratan dan tata cara Ketentuan untuk pemasukan karkas, daging
pemasukannya didasarkan pada hasil analisis risiko dan/atau jeroan dari luar negeri harus berasal dari
kesehatan hewan oleh Otoritas Veteriner, serta tempat

67
WARTAZOA Vol. 30 No. 2 Th. 2020 Hlm. 61-70

negara yang telah memenuhi syarat status Penyakit tahun 2019 oleh pihak-pihak yang ditetapkan dalam
Hewan Menular Utama (PHMU), salah satunya adalah Inpres. Terkait dengan pengendalian PMK jika telah
negara bebas PMK. Selanjutnya daging ruminansia masuk ke Indonesia, yang masih diperlukan adalah: 1)
besar tanpa tulang, dan daging ruminasia besar olahan mengkaji ulang serta melakukan sosialisasi dan
dapat dipertimbangkan pemasukannya dari zona bebas simulasi KIAT Vetindo PMK secara
PMK setelah melalui penilaian sistem pelayanan berkesinambungan; 2) meningkatkan kesiapan deteksi
veteriner dan analisis risiko oleh Tim yang ditunjuk dini PMK, penunjukan laboratorium regional sebagai
oleh Kementerian Pertanian (Menteri Pertanian 2009). penguji, serta laboratorium rujukan nasional; 3)
Penerbitan Instruksi Presiden RI No. 4 tahun 2019 meningkatkan kesiapan pihak-pihak yang terlibat
tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, dalam pencegahan, deteksi dini dan merespon wabah
Mendeteksi, dan Merespon Wabah Penyakit, Pandemi penyakit hewan sesuai Inpres No. 4 tahun 2019.
Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia
merupakan langkah maju yang dilakukan oleh
Pemerintah. Intruksi Presiden (Inpres) ini KESIMPULAN
menggerakkan dan mendorong 22 institusi Pemerintah
Pusat mulai dari Kementerian/Lembaga/Badan, dan Penyakit Mulut dan Kuku merupakan penyakit
Pemerintah Daerah meliputi seluruh Gubernur, pada hewan berkuku belah yang sangat menular dan
Bupati/Walikota untuk berkoordinasi dan bersinergi sangat merugikan. Penyakit yang disebabkan oleh virus
sesuai tugas pokok dan fungsinya untuk meningkatkan FMD ini masih terjadi di banyak negara dan eksotik
kemampuannya dalam Peningkatan Kemampuan dalam bagi Indonesia. Dengan situasi lalu lintas dan
Mencegah, Mendeteksi, dan Merespon Wabah perdagangan global ternak dan produknya yang
Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, sedemikian cepat, ada kemungkinan penyakit ini masuk
Biologi, dan Kimia. Instruksi tersebut termasuk ke Indonesia. Pengenalan penyakit dan kewaspadaan
menetapkan kebijakan atau menyempurnakan peraturan oleh semua pihak terkait, termasuk peternak, sangat
perundang-undangan yang diperlukan untuk langkah diperlukan untuk mengantisipasi masuk dan
operasional. Dengan adanya Inpres ini maka menyebarnya penyakit ini ke wilayah Indonesia.
diharapkan pencegahan dan pengendalian wabah Penguatan peraturan dan perundangan yang ada masih
penyakit hewan menular, termasuk penyakit eksotik diperlukan dengan melengkapi turunan-turunannya
PMK dapat dilaksanakan secara efektif. serta implementasi kebijakan dan operasionalnya
Untuk operasional pengendalian PMK di secara konsisten. Sosialisasi dan simulasi
Indonesia, jika terjadi, Pemerintah telah memiliki Buku kewaspadaan, pencegahan dan pengendalian PMK
Kesiagaan Darurat Penyakit Mulut dan Kuku (Kiat yang melibatkan pihak terkait perlu dilakukan secara
Vetindo PMK). Buku ini memberikan pedoman berkelanjutan. Terbitnya Inpres No. 4 tahun 2019
tindakan aksi yang harus dilakukan jika terjadi wabah merupakan langkah maju dari pemerintah yang masih
PMK, pihak yang terlibat dan perannya, serta harus ditindaklanjuti oleh semua pihak yang ditunjuk
pelaksanaan koordinasinya antar pihak terkait untuk meningkatkan kemampuannya dalam mencegah,
(Ditkeswan 2014). Buku Kiat Vetindo PMK ini perlu mendeteksi dini, dan merespon wabah penyakit yang
terus menerus disosialisasikan dan disimulasikan terjadi, sehingga Indonesia dapat tetap bebas dari PMK.
sehingga pihak yang dilibatkan dalam operasional
pengendalian PMK semakin memahami dan terampil DAFTAR PUSTAKA
jika wabah PMK terjadi. Dengan adanya Inpres no 4
tahun 2019, Buku Kiat Vetindo PMK yang disusun Arzt J, Juleff N, Zhang Z, Rodriguez LL. 2011. The
tahun 2014 ini perlu dikaji ulang dan disempurnakan pathogenesis of Foot and Mouth Disease I: Viral
sehingga operasional pengendalian PMK semakin pathways in cattle. Transbound Emerg Dis. 58:291-
efektif, efisien dan tuntas. 304.
Dalam rangka mencegah masuknya PMK ke Bahri S. 2017. Adakah resiko PMK dari impor sapi asal zona
Indonesia, dari peraturan dan perundang-undangan bebas?. Dalam: Sawit HM, Soedjana TD, Hermanto,
yang ada tersebut diatas, yang masih diperlukan adalah: penyunting. Memperkokoh kebijakan pembangunan
1) penetapan jenis HPHK dan media pembawa yang pertanian. Jakarta (Indonesia): IAARD Press. Hal.
dilarang masuk ke Indonesia sebagai turunan UU RI 175-179.
No. 21/2019; 2) penetapan jenis PHMS yang terkini Biswall JK, Sanyal A, Rodriguez LL, Subramaniam S, Arzt J,
sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini; 3) Sharma GK, Hammond JM, Parida S, Mohapatra JK,
optimalisasi pemusnahan limbah organik asal alat Mathapati BS, Dash BB, Ranjan R, Rout M.
angkut di tempat pemasukan atau tempat transit; 4) Venketaraman R, Misri J, Krishna, L, Prasad G,
percepatan prosedur penetapan wabah penyakit hewan Pathak KML, Pattnaik B. 2012. Foot and Mouth
oleh Menteri Pertanian; 5) implementasi Inpres no. 4 Disease: Global status and Indian perspective. Indian
J Sci. 82:109-131.

68
RM Abdul Adjid: Penyakit Mulut dan Kuku: Penyakit Hewan Eksotik yang Harus Diwaspadai Masuknya ke Indonesia

Carter JB, Saunder VA. 2013. Virology: Principles and Naipospos TSP, Suseno PP. 2017. Cost benefit analysis of
application. 2nd ed. West Sussex (UK): John Willey maintaining FMD freedom status in Indonesia. A
& Sons Ltd. report submitted to the World Organisation of Animal
Health (OIE). Jakarta (Indonesia): Ministry of
Chaters G, Rushton J, Dulu TD, Lyons NA. 2018. Impact on Agriculture of Indonesia.
foot and mouth disease on fertility performance in a
large dairy herd in Kenya. Prevent Vet Med. 159:57- Nthiwa D, Bett B, Odong D, Kenya, E, Wainina M, Grazioli
64. S, Foglia E, Brocchi E, Alonso S. 2020.
Seroprevalence of foot and mouth disease virus in
Condy JB, Hedger RS, Hamblin C, Barnett ITR. 1985. The cattle herds raised in Maasai Mara ecosystem in
duration of the foot-and-mouth disease virus carrier Kenya. Prevent Vet Med. 176:1-8.
state in African buffalo (i) in the individual animal
and (ii) in a free-living herd. Comp Immun Microbiol [OIE] Office des Internationale Epizootis. 2019a. Manual of
Infect Dis. 8:259-265. diagnostic test and vaccines for terrestrial animals
2019. Paris (Prancis): Office des Internationale
Davies G. 2002. The Foot and Mouth Disease (FMD) Epizootis.
epidemic in the United Kingdom 2001 Comparative
Immunology. Microbiol Infect Dis. 25:331-334. [OIE] Office des Internationale Epizootis. 2019b. Terresterial
animal health code. 28th ed. Volume II. Paris
[Ditkeswan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan (Prancis): Office des Internationale Epizootis.
Hewan. 2014. Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia
(KIAT VETINDO): Penyakit Mulut dan Kuku. Edisi [OIE] Office des Internationale Epizootis. 2019c. Official
3.0. Jakarta (Indonesia): Direktorat Jenderal disease status [Internet]. [accessed 14 march 2020].
Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Available from: https://www.oie.int/animal-health-in-
Pertanian RI. the-world/official-disease-status/.
Haskell SRR. 2014. Blackwell’ Five-Minute Veterinary Pattnaik B, Subramaniam S, Sanyal A, Mohapatra JK, Dash
Consult: Ruminant. West Sussex (UK): Willey- BB, Ranjan R, Rout M. 2012. Foot and mouth
Blackwell, A Jhon Willey & Sons Ltd. disease: Global status and future road map for control
and prevention in India. Agric Res. 1:132-147.
Jamal SM, Ferrari G, Ahmed S, Normann P, Curry S,
Belsham GJ. 2011. Evolutionary analysis of serotypes Peraturan Pemerintah. 2014. Peraturan Pemerintah No. 47
A Foot-and-Mouth Disease Viruses circulating in tahun 2014 tentang Pengendalian dan
Pakistan and Afghanistan during 2002-2009. J Gen Penanggulangan Penyakit Hewan. Jakarta
Virol. 92:2849-2864. (Indonesia): Kementerian Sekretariat Negara.
Jori F, Caron A, Thompson PN, Dwarka R, Foggin C, de Peraturan Pemerintah. 2014. Undang-undang Republik
Garine-Wichatitsky M, Hofmeyr M, Van Heerden J, Indonesia No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan
Heath L. 2016. Characteristics of Foot-and–Mouth Kesehatan Hewan. Jakarta (Indonesia): DPR RI.
Disease viral strains circulating at the
wildlife/livestock interface of the Great Limpopo Peraturan Pemerintah. 2019. Undang-undang Republik
Transfrontier conservation area. Transbound Emerg Indonesia No. 21 Tahun 2019 tentang Karantina
Dis. 63:e58-e70. Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Jakarta (Indonesia):
DPR RI.
MacLachlan NJ, Dubovi EJ. 2017. Fenner’s Veterinary
Virology. 5th ed. Elsevier. Oxford (UK): The Peraturan Pemerintah. 2019. Peraturan Pemerintah No. 69
Boulevard, Langford Lane, Kidlington. tahun 2019 tentang Pulau Karantina. Jakarta
(Indonesia): Kementerian Sekretariat Negara.
Menteri Pertanian. 2013. Keputusan Menteri Pertanian No.
4026/Kpts/OT.140/4/2013 tentang Penetapan Jenis Peraturan Pemerintah. 2019. Instruksi Presiden RI No. 4
Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) yang tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam
sudah ada di Indonesia. Jakarta (Indonesia): Mencegah, Mendeteksi, dan Merespon Wabah
Kementerian Pertanian RI. Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir,
Biologi, dan Kimia. Jakarta (Indonesia): Kementerian
Menteri Pertanian. 2009. Peraturan Menteri Pertanian No. Sekretariat Negara.
20/Permentan/OT.140/4/2009 tentang Pemasukan dan
Pengawasan Peredaran Karkas, Daging dan/atau Pereira AW. 1974. Viruses of vertebrates. 4th ed. Bailiere.
Jeroan dari Luar Negeri. Jakarta (Indonesia): United Kingdom
Kementerian Pertanian RI. Qiu Y, Abila R. 2017. FMD current status in Southeast Asia
Nagendrakumari SB, Madhanmoha1 M, Pangarajan PN, and China. Bangkok (Thailand): OIE Sub-Regional
Srinivasan V.A. 2009. Genetic analysis of foot-and- Representation for South-East Asia
mouth disease virus serotype A of Indian origin and Ramanoon SZ, Robertson ID, Edwards J, Hassan L, Isa KM.
detection of positive selection and recombination in 2013. Outbreaks of foot-and-mouth disease in
leader protease-and capsid-coding regions. J Biosci Peninsular Malaysia from 2001 to 2007. Trop Anim
34:85-101. Health Prod. 45:373-377.

69
WARTAZOA Vol. 30 No. 2 Th. 2020 Hlm. 61-70

Ronohardjo P, Hendardi, Adjid A, Wiryono A, Abubakar M. Soeharsono, Syafriati T, Naipospos TSP. 2010. Atlas
1984. Potensi berbagai vaksin Mulut dan Kuku yang penyakit hewan di Indonesia. Denpasar (Indonesia):
dipakai dalam pemberantasan wabah penyakit. Udayana Press University.
Penyakit Hewan. 16:189-196.
Stenfeldt C, San Segundo FD, de los Santos T, Rodriguez,
Ronohardjo P, Nari J, Abubaka, M, Sarosa A, Darminto, LL, Arzt J. 2016. The pathogenesis of Foot and
Adjid A, Wiryono A. 1986. Studi serologik penyakit Mouth Disease in pigs. Frontiers Vet Sci. 3:41.
Mulut dan Kuku selama penanggulangan wabah
penyakit yang meletup Bulan Juli 1983 di Jawa. Subramaniam S, Pattnaik B, Sanyal A, Mohapatra JK, Pawar
Penyakit Hewan. 18:94-117. SS, Sharma GK, Das B, Dash BB. 2013. Status of
foot and mouth disease in India. Transbound Emerg
Salt JS, 1993. The carrier state in foot and mouth disease*/an Dis. 60:197-203.
immunological review. Br Vet J. 149:207-223.
Toma B, Moutoub F, Dufour B, Durand B. 2002. Ring
Siddique MA, Ali MR, Alam ASMRU, Ullah H, Rahman A, vaccination against foot-and-mouth disease.
Chakrabarty RP, Amin MA, Hoque SA, Nandi SP, Comparat Immunol Microbiol Infect Dis. 25:365–
Sultana M, Hossain MA. 2018. Emergence of two 372.
novel sublineages Ind2001BD1 and Ind2001BD2 of
foot-and-mouth disease virus serotype O in Vosloo W. 2013. Foot-and mouth disease: a persistent threat.
Bangladesh. Transbound Emerg Dis. 65:1009-1023. Microbiol Aust. 2013:18-21.

Singh SN. 2011. Foot and Mouth Disease control strategies


global frame work. Virol. 1:63-70.

70
Mengenal Lebih Jauh mikron, terbentuk dari asam inti
ribo yang diselubungi protein. Virus
Penyakit Mulut dan Kuku ini sangat labil, antigenisitasnya
cepat, dan mudah berubah.

PMK merupakan salah satu penyakit hewan menular yang paling


ditakuti oleh dunia internasional. Indonesia telah berhasil bebas dari Gejala Penyakit pada Ternak
penyakit tersebut, dan status bebas ini harus dipertahankan dengan
menerapkan sistem kewaspadaan dini secara konsisten dan disiplin. Secara klinis, tanda-tanda hewan
yang terserang PMK adalah lesu/
lemah, suhu tubuh meningkat (da-
pat mencapai 410C), hipersalivasi,

P enyakit mulut dan kuku, atau


sering disebut PMK, adalah sa-
lah satu penyakit menular pada he-
Apabila PMK masuk kembali
ke Indonesia, penyakit tersebut
akan menyebabkan kerugian eko-
nafsu makan berkurang, enggan
berdiri, pincang, bobot hidup ber-
kurang, produksi susu menurun
wan dan sangat ditakuti oleh hampir nomi yang sangat besar, bukan bagi ternak penghasil susu, dan
semua negara di dunia, terutama hanya karena mengancam keles- tingkat kesakitan sampai 100%.
negara-negara pengekspor ternak tarian populasi ternak di dalam Tingkat kematian pada hewan
dan produk ternak. Indonesia per- negeri, tetapi juga mengakibatkan dewasa umumnya rendah, namun
tama kali tertular PMK pada tahun hilangnya peluang ekspor ternak biasanya tinggi pada hewan muda
1887 di daerah Malang, Jawa Ti- dan hasil ternak. Oleh karena itu, akibat myocarditis. Tanda khas
mur. peran aktif dari berbagai pihak di- PMK adalah lepuh-lepuh berupa
Upaya pemberantasan dan perlukan untuk mewaspadai ke- tonjolan bulat yang berisi cairan
pembebasan PMK di Indonesia mungkinan masuknya kembali pe- limfe pada rongga mulut, lidah
terus dilakukan sejak tahun 1974 nyakit tersebut ke Indonesia melalui sebelah atas, bibir sebelah dalam,
hingga 1986. Pada tahun 1990, pengetahuan yang cukup tentang gusi, langit-langit, lekukan antara
penyakit tersebut benar-benar di- PMK dan langkah-langkah yang kaki dan di ambing susu.
nyatakan hilang dan secara resmi perlu diambil.
Indonesia telah diakui bebas PMK
oleh Badan Kesehatan Hewan Du-
nia atau Office International des Hewan yang Terserang dan Kerugian Akibat PMK
Epizooties (OIE). Keberhasilan In- Penyebabnya
donesia bebas dari PMK merupa- PMK akan mendatangkan kerugian
kan hasil kerja keras berbagai pihak Pada umumnya PMK menyerang yang cukup besar karena hal-hal
dalam penanggulangan wabah hewan berkuku genap, seperti sapi, berikut ini:
PMK serta didukung oleh kondisi kerbau, kambing, domba, babi, ga- 1. Penurunan produktivitas kerja
geografis Indonesia yang berupa jah, jerapah, dan menjangan. Pe- ternak. Pada sapi potong, pro-
kepulauan sehingga memudahkan nyebab PMK adalah virus yang duktivitas kerja ternak pende-
dalam melokalisasi penyakit ini. sangat kecil, berdiameter ±20 mili- ritan PMK akan menurun.

Lesi terbuka antara teracak ternak (kiri) dan lesi terbuka pada bantalan gigi kerbau penderita PMK (kanan).

9
Bila ada kasus yang dicurigai,
segera melapor ke Dinas Peter-
nakan/Kehewanan setempat.
3. Dalam waktu 24 jam petugas
wajib lapor ke Dinas Peternak-
an/Kehewanan setempat bila
ada kasus yang dicurigai, ke-
mudian diteruskan ke Dinas Pe-
ternakan/Kehewanan Kabupa-
ten, Propinsi dan ke Pusat.

Pemantauan dan Antisipasi oleh


Petugas Laboratorium

Laboratorium Pusat Veterinaria


Farma (Pusvetma) di Surabaya dan
Balai Penyidik Penyakit Hewan
(BPPH) Wilayah I, bekerja sama
dengan Dinas Peternakan/Kehe-
wanan setempat, setiap tahun se-
kali mengadakan pemantauan ke
lapang, terutama di daerah-daerah
Sapi penderita PMK yang tidak mampu menelan air liurnya. yang berbatasan dengan negara
tetangga atau lokasi yang pernah
timbul wabah. Pemantauan secara
laboratoris oleh Pusvetma dan
2. Penurunan bobot hidup. Ternak kerja di pasar hewan dan RPH, BPPH ditujukan terutama untuk uji
yang menderita PMK sulit pedagang ternak, serta pengum- serologis. Pengamatan laboratorium
mengonsumsi, mengunyah dan pul rumput akan kehilangan ma- lebih lanjut dengan pemeriksaan
menelan pakan, bahkan pada ta pencaharian selama jangka biologis dan isolasi virus perlu di-
kasus yang sangat parah, ter- waktu yang tidak menentu. lakukan bila ada kasus yang dicu-
nak tidak dapat makan sama 5. Hilangnya peluang ekspor ter- rigai.
sekali. Akibatnya, cadangan nak, hasil ikutan ternak, hasil
energi tubuh akan terpakai te- bahan hewan, dan pakan.
rus hingga akhirnya bobot hidup Pemantauan oleh Masyarakat
menurun dan ternak menjadi
lemas. Tindakan Kewaspadaan PMK Masyarakat wajib melapor dalam
3. Gangguan fertilitas. Ternak pro- waktu 24 jam ke Dinas Peternakan/
duktif yang terserang PMK Pemantauan dan Antisipasi oleh Kehewanan setempat bila ada
akan kehilangan kemampuan Petugas Dinas Peternakan/ kasus yang dicurigai. Pelaporan bisa
untuk melahirkan setahun se- Kehewanan dan Karantina langsung ke petugas Dinas Peter-
telah terserang penyakit ter- nakan/Kehewanan, atau melalui pa-
sebut. Ternak baru dapat ber- Petugas Dinas Peternakan/Kehe- mong desa atau petugas penyuluh
anak kembali setelah dua tahun wanan dan Karantina dapat meng- pertanian setempat (A. Adjid).
kemudian. Jika pada awalnya antisipasi masuknya PMK melalui
seekor ternak mampu beranak impor ternak dan hasil ternak serta
lima ekor, karena penyakit ini timbulnya kembali kejadian PMK
kemampuan melahirkan menu- dengan melakukan tindakan seba-
run menjadi tiga ekor atau ke- gai berikut: Untuk informasi lebih lanjut
mampuan menghasilkan anak 1. Pengamatan aktif di lapang, di hubungi:
menurun 40%. tingkat kecamatan atau desa,
4. Kerugian ekonomi akibat pe- terutama pada lokasi yang per- Balai Penelitian Veteriner
nutupan pasar hewan dan dae- nah timbul wabah PMK serta Jln. R.E. Martadinata No. 30
rah tertular. Dalam keadaan tempat-tempat rawan seperti Bogor 16114
terjadi serangan PMK, seluruh pasar hewan, RPH, dan daerah Telepon : (0251) 334456
kegiatan di pasar hewan dan penggembalaan. 331048
rumah pemotongan hewan 2. Sosialisasi kepada peternak me- Faksimile : (0251) 336425
(RPH) ditutup. Akibatnya, pe- ngenai tanda-tanda khas PMK. E-mail : balivet@indo.net.id

10
DIARE GANAS PADA SAPI

Sinonim : Bovine Viral Diarrhea-Mucosal Disease (BVD-MD), Bovine Virus


Diarrhea

A. PENDAHULUAN

Diare ganas pada sapi adalah penyakit viral yang infeksius pada sapi, ditandai
stomatitis erosif akut, gastroenteritis dan diare. Laju infeksi penyakit ini pada
kebanyakan populasi sapi sangat tinggi, tetapi kejadian klinisnya rendah. Virus
ini bersifat teratogenik dan imunosupresif yang banyak didapat pada bentuk
penyakit kronis. Penyakit ini terdiri dari dua bentuk penyakit, yakni bovine virus
diarrhea (BVD) dan mucosal disease (MD), yang secara klinis berbeda, tetapi
penyebabnya sama.

B. ETIOLOGI

Virus Diare Ganas (DG) merupakan virus RNA, termasuk anggota genus
Pestivirus, famili Flaviviridae. Virus DGS BVD memiliki hubungan antigenik yang
mirip dengan virus penyebab Sampar Babi (Hog Cholera). Semua strain virus
DGS BVD menunjukkan reaksi silang. Partikel virus berbentuk bulat, mempunyai
tiga macam ukuran. Pertama berukuran 80 -100 nm, pleomorf, merupakan
virion matang yang mempunyai selaput. Kedua berukuran 30 - 50 nm, dan ketiga
partikel kecil dengan ukuran 15-20 nm yang dianggap mengandung antigen larut.
Diduga virion besar itu pecah dan menjadi sejumlah partikel-partikel kecil yang
masing-masing masih tetap infeksius.

Gambar 1. Struktur virus BVD.


(Sumber : Heinrich Pette Institue, Leibniz Istitue for Experimental Viroolgy)

Manual Penyakit Hewan Mamalia 11


C. EPIDEMIOLOGI

1. Sifat Alami Agen

Virus DGS BVD peka terhadap RNAse dan dapat diektraksi dengan fenol
dari virionnya. Partikel virus yang matang peka terhadap ether, kloroform dan
pelarut lemak lainnya. Virus juga peka terhadap pH rendah dan segera inaktif
pada suhu 56°C. Virus stabil pada suhu rendah dan dapat hidup bertahun-
tahun bila dikeringbekukan dan disimpan pada suhu -70° C.

2. Spesies Rentan

Sapi merupakan spesies yang peka terhadap DGS BVD. Penyakit sering
ditemukan pada sapi umur 6-24 bulan. Hewan berkuku genap lainnya, seperti
kambing, domba, kerbau dan rusa juga rentan terhadap DGS BVD.

3. Pengaruh Lingkungan

Diperkirakan kejadian penyakit meningkat pada musim dingin, dan kasus


dapat terjadi baik pada hewan yang dilepas maupun yang dikandangkan.
Penyakit DGS BVD lebih umum terjadi pada sapi potong dibanding pada sapi
perah. Pada anak sapi, penyakit biasanya terjadi pada umur 6 -10 bulan.

4. Sifat Penyakit

Bentuk penyakit ini sangat variatif. Penyakit dapat berupa diare (39%),
radang paru (35%), lesi pada mulut (11%), lesi mata (10%) dan keguguran
(5%). Pada sekelompok ternak yang belum terserang penyakit ini, jika terjadi
wabah DGS BVD, morbiditas mencapai 25 % dan mortalitas dapat mencapai
90 - 100 %. Jika penyakit sudah masuk pada satu peternakan, maka kasus
baru yang terjadi bersifat sporadik. Pada sapi yang digemukkan, penyakit
biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah sapi datang dan bersifat
sporadik, hal ini terjadi jika sapi berasal dari peternakan bebas DGS BVD
bercampur dengan sapi yang sakit atau sapi pembawa penyakit.

5. Cara Penularan

Penyebaran penyakit terjadi secara kontak langsung dan tidak langsung


melalui makanan yang terkontaminasi feses dan secara aerosol. Walaupun
cara utama penyebaran penyakitnya melalui makanan yang tercemar feses,
penyakit juga dapat menyebar melalui urin dan leleran hidung hewan sakit.
Sapi dapat tertular virus dari domba dan sebaliknya. Sapi dapat menjadi
sumber penularan bagi hewan liar yang ada di sekitar peternakan.

12 Manual Penyakit Hewan Mamalia


6. Distribusi Penyakit

Di Indonesia penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1985 di


Sulawesi dan Kalimantan, ketika terjadi wabah berat yang dikenal sebagai
wabah diare ganas pada sapi (DGS). Selanjutnya dalam kurun waktu yang
tidak lama penyakit ini timbul di tempat lain, baik di pulau Sulawesi ataupun
di pulau lainnya.

D. PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala klinis

a. Bentuk subklinis

Bentuk ini merupakan bentuk yang paling banyak dijumpai di Amerika


Serikat dan daerah enzootik lainnya. Gejalanya meliputi demam yang
yang tidak begitu tinggi, lekopenia, diare ringan dan secara serologis
ditemukan antibodi dengan titer yang tinggi.

b. Bentuk akut

Bentuk akut penyakit terjadi pada sapi muda umur 6 – 24 bulan. Sapi
muda kurang dari 6 bulan atau sapi dewasa lebih dari 2 tahun terserang
DGS bentuk akut ini. Secara alami masa inkubasi penyakit berjalan 1-3
minggu, pada infeksi percobaan gejala klinis terlihat setelah 4-10 hari.
Suhu hewan sakit sedikit meningkat disertai dengan menurunnya jumlah
leukosit hingga 50 %. Kenaikan suhu tubuh terulang kembali pada hari
ke 7-8 setelah percobaan. Kedua kenaikan suhu tubuh ini pada kasus di
alam jarang teramati, gejala klinis yang segera terlihat adalah turunnya
produksi susu, kelesuan yang sangat, nafsu makan turun, dan temperatur
tinggi 410C kelihatan bersamaan. Diare biasanya profuse dan berair,
berbau busuk berisi mukus dan darah. Lesi pada mukosa pipi terbentuk
sebagai akibat nekrosis epitel mukosa. Erosi ini tejadi pada bagian
bibir, bagian belakang langit-langit keras, gusi, sudut mulut dan lidah.
Pada kasus akut seluruh rongga mulut terlihat seperti dimasak, dengan
epithel nekrosis berwarna abu-abu menutupi bagian dasar berwarna
merah muda. Biasanya air liur dikeluarkan dalam jumlah banyak, dan
bulu sekitar mulut terlihat basah. Lesi yang sama didapatkan juga pada
cuping hidung. Jika hewan cepat sembuh, lesi pada mukosa menyembuh
dalam waktu 10 - 14 hari, tetap pada DGS kronis erosi yang baru akan
muncul kembali, terutama pada sudut mulut. Biasanya terlihat adanya
leleran hidung mukopurulen akibat adanya erosi pada hidung bagian luar
dan erosi pada faring. Edema korneal dan Iakrimasi kadang terlihat juga.
Pada bentuk akut ini, dehidrasi dan kelesuan berlangsung sangat cepat,
dan kematian terjadi pada 5 - 7 hari setelah gejala klinis terlihat. Pada
kasus perakut kematian terjadi pada hari ke 2. Beberapa hewan yang

Manual Penyakit Hewan Mamalia 13


sakit dapat berkembang ke bentuk DGS kronis yang berlangsung sampai
beberapa bulan. Kepincangan terlihat pada beberapa hewan sakit akut,
dan ini nampaknya akibat radang pada teracak (Iaminitis) dan lesi erosif
kulit pada celah interdigital yang umumnya terjadi pada keempat kakinya.
Radang korona kaki (coronitis) dan kelainan teracak akan terlihat pula.
Sapi betina bunting dapat mengalami keguguran sebagai akibat infeksi,
biasanya setelah fase akut terlewati, dan kadang-kadang sampai 3 bulan
setelah sembuh, tetapi keguguran ini jarang terjadi.

c. Bentuk sub akut atau kronis

Pada sapi yang bertahan hidup, tetapi tidak sembuh benar, terlihat
diare, kekurusan yang berlangsung cepat, bulu terlihat kasar dan kering,
kembung kronis, kelainan teracak dan erosi kronis pada rongga mulut
dan pada kulit.

Pada kasus kronis hewan dapat bertahan hidup hingga 18 bulan, dan
selama itu hewan mengidap dengan anemia, Ieukopenia,neutropenia
dan lymphopenia (pancitopenia).

d. Bentuk neonatal

Bentuk ini banyak dijumpai pada pedet dengan umur kurang dari 1
bulan, yang ditandai dengan suhu yang tinggi, diare, serta gangguan
pernafasan. Pedet penderita kebanyakan berasal dari induk yang sakit
atau induk dengan kekebalan rendah. Infeksi umumnya terjadi pasca
kelahiran dan pada infeksi prenatal terjadi sindrom kelemahan pedet dan
diikuti dengan diare.

Gambar 2. Anak sapi menunjukkan diare profus.


(Sumber : Merck Animal Health)

2. Patologi

Bangkai penderita tampak kurus, dehidrasi, di daerah sekitar anus kotor dan
mata cekung. Lesi ditemukan terutama pada alat pencernaan berupa erosi,
bercak-bercak atau tukak yang jelas terbatas dengan tepi yang tidak teratur

14 Manual Penyakit Hewan Mamalia


dengan diameter 1-5 µm. Lesi tersebut terdapat pada moncong, hidung,
pipi bagian dalam, gusi, langit-langit bagian lateral dari lidah, rongga tekak,
kerongkongan, abomasum dan usus halus. Erosi dalam selaput lendir mulut
paling jelas pada langit-langit keras dan gusi sekitar gigi. Lesi yang khas
terdapat pada kerongkongan berupa erosi yang jelas berbatas tersusun
berderet-deret dengan dasar yang berwarna merah.

Abomasum mengalami pendarahan, edema dan nekrosis. Pada usus


halus ulser ditemukan pada selaput lendir peyer patches. Ulser dapat meluas
ke jaringan limfoid, sehingga menyebabkan pendarahan ke dalam rongga
usus. Perdarahan dapat terjadi pula pada abomasum. Perdarahan kadang-
kadang dijumpai pada jaringan bawah kulit, selaput vagina dan epikardium.
Kelenjar limfe pada usus biasanya normal atau sedikit udematus, sedang
kelenjar limfe servikal retrofaringeal membesar.

Secara histopatologik tampak perubahan yang mendasar berupa


degenerasi sel. Di tempat yang mempunyai epitel berlapis, sel yang dekat
dengan lapisan basal mengalami degenerasi hidropik, membengkak dan
akhirnya nekrotik yang jika lepas timbul erosi. Pada abomasum tampak
kelenjar lambung mengalami atropi dan membentuk kista. Pada Iamina
propia dan submukosa biasanya terjadi edema, pembendungan atau
pendarahan, serta infiltrasi leukosit. Pada usus halus perubahan yang nyata
terjadi pada peyer petches dengan epitel yang nekrotik sedangkan kelenjar
menjadi cystic. Jaringan limfoid mengalami nekrosis terutama pada germinal
center, populasi limfosit berkurang secara menyolok dan dapat pula terjadi
pendarahan. Pembuluh darah yang mengalami perubahan dapat dijumpai
pada media arteriole di submukosa alat pencernaan dan yang sering
menonjol pembuluh darah pada germinal center. Perubahan seperti pada
usus halus dapat pula dijumpai pada selaput lendir kolon, sekum, dan rektum
yang bervariasi dari radang kataral sampai radang nekrotik.

Gambar 3. Erosi pada usus halus


(Sumber : Merck Anmal Health)

Manual Penyakit Hewan Mamalia 15


3. Diagnosa

Secara klinis dan patologik anatomik tidak mudah ditetapkan, oleh karenanya
diagnosa yang pasti dapat dilakukan dengan uji serologik dan isolasi virus
dengan kultur jaringan. Pada stadium demam, virus dapat diisolasi dari
leukosit, limpa, kelenjar limfe, selaput lendir dan usus halus. Isolasi biasanya
dilakukan dengan kultur jaringan sel lestari yang berasal dari ginjal embrio
sapi (Mardin Darby Bovine Kidney), jaringan limpa dan testis dengan
ditandai cytopathogenic effect (CPE) (tipe patogenik) dan ada yang non CPE
(non patogenik). Virus diidentifikasi dengan uji virus neutralization (VN) atau
dengan fluorescene antibody technique (FAT). Diagnosa kawanan ternak
dapat dilakukan dengan pasangan serum dengan complement fixation test
(CFT).

4. Diagnosa Banding

DGS secara klinis bisa dikelirukan dengan malignant catharal fever (MCF).
MCF merupakan penyakit yang sporadik, demam yang lama, disertai radang
mata dan radang saluran pencernaan.

Sering pula dikelirukan dengan infectious bovine rhinotrachetis (IBR),


tetapi di sini perubahan terutama pada saluran pernafasan tanpa erosi pada
mulut, esofagus dan usus, sedangkan pada rinderpest penyakit berlangsung
lebih hebat dan cepat meluas dengan mortalitas yang tinggi. Penyakit lain
yang perlu dipertimbangkan dalam diagnosa adalah penyakit jembrana pada
sapi bali.

5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen

Bahan pemeriksaan yang dapat diambil adalah darah, urin, lendir dari hidung
atau mulut pada stadium akut. Bahan lain yang mengandung virus yang
dapat diambil waktu nekropsi adalah limpa, sumsum tulang kelenjar limfe
dan usus. Bahan-bahan tersebut diambil secara steril dan dikirim sesuai
dengan pengiriman bahan untuk isolasi dan identifikasi virus.

E. PENGENDALIAN

1. Pengobatan

Pengobatan secara khusus terhadap DGS tidak ada. Pengobatan dapat


dilakukan secara sistematis untuk mencegah, mengurangi infeksi sekunder
dan mengurangi kekurusan yang melanjut. Makanan diganti dengan makanan
yang lunak tapi bergizi (konsentrat).

16 Manual Penyakit Hewan Mamalia


2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan

Langkah yang perlu diambil adalah kebersihan lingkungan dan alat-


alat kandang. Kelompok sapi yang sakit diisolasi dan dilarang dipindahkan
ke kelompok sapi yang sehat. Pemasukan sapi atau spesies rentan dari
negara tertular harus bebas dari DGS. Vaksin yang dibuat dari virus yang
dipasasekan pada kelinci atau vaksin yang dibuat dari sel kultur ginjal sapi
sangat efektif, tetapi sering timbul komplikasi sesudah vaksinasi. Vaksin
yang dibuat dari virus yang dibiakkan pada sel ginjal babi dewasa ternyata
sangat efektif dan tidak menimbulkan efek samping.

Untuk daerah yang sebelumnya belum tertular dilakukan stamping


out. Kalau oleh sesuatu hal penyakit tersebut telah menjadi berkembang,
tindakan pemberantasan terutama dilakukan terhadap penderita klinis.

F. DAFTAR PUSTAKA

Anonimus 1999. Manual Diagnostik Penyakit Hewan. Direktorat Jenderal


Peternakan dan Japan International Cooperation Agency (JICA),
Jakarta.

Blood DC, OM Radostis, JA Henderson, JH Arundel and CC Gay 1985. Veterinary


Medicine. 6”’ Ed. Balliere Tindall. London. England.

Heinrich Pette Institue, Leibniz Istitue for Experimental Virology.

Merck Anmal Health.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 17


WARTAZOA Vol. 26 No. 3 Th. 2016 Hlm. 103-114 DOI: http://dx.doi.org/10.14334/wartazoa.v26i3.1391

Penyakit Malignant Catarrhal Fever di Indonesia dan Upaya Pengendaliannya


(Malignant Catarrhal Fever in Indonesia and Its Control Strategy)

Rini Damayanti

Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata No. 30, Bogor 16114
agusrini@indo.net.id

(Diterima 25 Agustus 2016 – Direvisi 2 September 2016 – Disetujui 5 September 2016)

ABSTRACT

Malignant catarrhal fever (MCF) is an immunoproliferative and lethal disease of many species of the order Artiodactyla
(such as families Bovidae, Cervidae and Suidae) caused by a member of the MCF virus (MCFV) group belongs to the genus
Macavirus in the subfamily Gammaherpesvirinae. There are two types of MCF i.e. Wildebeest-Associated MCF (WA-MCF)
which is caused by Alcelaphine Herpesvirus-1 (AlHV-1) with wildebeest as reservoir animal; and Sheep-Associated MCF (SA-
MCF) which is caused by Ovine herpesvirus 2 (OvHV-2) with sheep and goats as reservoir animals. AlHV-1 virus has already
been isolated whereas OvHV-2 has not been isolated so that vaccines are not yet available. Both types cannot be differentiated by
clinical and pathological findings. This disease was previously diagnosed based on the epidemiological information and
clinicopathological findings, but now it can be diagnosed by using molecular biological tests. This paper describes the
epidemiology of MCF virus, MCF cases in Indonesia and efforts to control this disease. In Indonesia, SA-MCF cases have been
reported almost in all provinces as endemic as well as epidemic nature. Separation of reservoir animal with susceptible species,
"producing" a SA-MCF virus free sheep and attempt to develop a recombinant vaccine against SA-MCF is the main control
strategy that can be suggested.
Key words: Malignant catarrhal fever, disease control, Indonesia

ABSTRAK

Malignant catarrhal fever (MCF) adalah penyakit yang bersifat imunoproliferatif dan menyebabkan kematian pada hewan
peka yang tergabung pada Ordo Artiodactyla (misalnya famili Bovidae, Cervidae dan Suidae) yang disebabkan oleh salah satu
anggota grup virus MCF (MCFV) yang termasuk dalam genus Macavirus dan sub-famili Gammaherpesvirinae. Terdapat dua
macam MCF, yaitu Wildebeest-Associated MCF (WA-MCF) yang disebabkan oleh virus Alcelaphine Herpesvirus-1 (AlHV-1)
dengan hewan reservoir wildebeest dan Sheep-Associated MCF (SA-MCF) yang disebabkan oleh virus Ovine Herpesvirus-2
(OvHV-2) dengan reservoir domba dan kambing. Agen penyebab WA-MCF sudah dapat diisolasi sedangkan agen penyebab SA-
MCF belum dapat diisolasi sehingga saat ini vaksin juga belum tersedia. Kedua bentuk MCF tidak dapat dibedakan secara klinis
dan patologis. Penyakit ini semula didiagnosis berdasarkan informasi epidemiologi dan gambaran klinis, serta patologis, namun
saat ini dapat dilakukan dengan pengujian biologi molekuler. Tujuan penulisan ini adalah memberikan gambaran tentang
epidemiologi penyakit MCF, perkembangan kasus di Indonesia dan upaya pengendaliannya. Di Indonesia, SA-MCF dilaporkan
kejadiannya hampir di seluruh provinsi, baik bersifat endemis maupun epidemis. Memisahkan hewan reservoir dengan hewan
peka, “memproduksi” domba bebas virus SA-MCF dan upaya pengembangan vaksin rekombinan untuk SA-MCF adalah
alternatif pengendalian yang dapat disarankan.
Kata kunci: Malignant catarrhal fever, pengendalian penyakit, Indonesia

PENDAHULUAN Selain itu, ruminansia kecil yang semula diduga hanya


sebagai reservoir, ternyata dapat tertular MCF yaitu
Penyakit Malignant catarrhal fever (MCF) atau pada domba Stone's (Ovis dalli stonei) dengan gejala
snotsiekte atau malignant head catarrh, di Indonesia klinis dan perubahan histopatologis MCF, dan dengan
disebut dengan penyakit ingusan, adalah penyakit polymerase chain reaction (PCR) virus penyebab MCF
imunolimfoproliferatif yang bersifat fatal dan (Himsworth et al. 2008) dapat dideteksi. Jacobsen et al.
menyerang bangsa sapi seperti Bos taurus, Bos indicus, (2007) melaporkan perubahan histopatologis yang
Bos javanicus (Zamila et al. 2011), kerbau (Bubalus sama dengan MCF pada tiga ekor kambing. Pada
bubalis), bison (Bos bonasus) (Li et al. 2006) dan penularan buatan, inokulum yang berasal dari domba
beberapa jenis rusa (Gasper et al. 2012), babi (Alcaraz berhasil diinfeksikan secara aerosol ke domba lainnya
et al. 2009), bahkan pada kuda (Costa et al. 2009). (Li et al. 2005).

103
WARTAZOA Vol. 26 No. 3 Th. 2016 Hlm. 103-114

Penyakit MCF pertama ditemukan di Afrika pada 2011a). Menurut Ackermann (2006) agen penyebab
sapi yang digembalakan dengan sekawanan wildebeest, MCF dapat diisolasi dari induk semang dari ordo
sehingga disebut wildebeest-associated MCF Artiodactyla (hewan berteracak) dan dari hewan
(WA-MCF) (Whitaker et al. 2007). Selanjutnya reservoir dari subfamili Caprinae (virus OvHV-2) dan
penyakit dengan gejala klinis dan patologis serupa subfamili Alcelaphinae (virus AlHV-1) serta pada
ditemukan di luar Afrika pada sapi yang dipelihara hewan peka yang berasal dari famili Bovidae, Cervidae
berdekatan dengan domba, sehingga disebut dan Suidae.
sheep-associated MCF (SA-MCF) (Schultheiss et al. Hasil sekuen terkini dari OvHV-2 yang berasal
2007). Dengan demikian secara epidemiologis, dikenal dari large granular lymphocyte (LGL) cell line sapi
dua bentuk MCF, yakni WA-MCF dan SA-MCF yang mengindikasikan bahwa genome sangat mirip dengan
secara klinis dan patologis tidak dapat dibedakan AlHV-1 dan bersifat co-linear dengan Rhadinovirus
(Russell et al. 2009). dimana genom bersegmen unik 130 kbp tersusun dari
Agen penyebab WA-MCF pertama kali diisolasi terminal repeats 1.1 kbp pada AlHV-1 atau 4.2 kbp
dari wildebeest oleh Plowright pada tahun 1960 dan pada OvHV-2 dengan 73 predicted open reading
selanjutnya disebut dengan Alcelaphine Herpesvirus-1 frames (ORFs) pada sekuen OvHV-2 dan 71 pada
(AlHV-1) (Davison et al. 2009). Virus penyebab SA- sekuen AIHV-1 (Hart et al. 2007). Dari 10 gen unik
MCF hingga saat ini belum dapat diisolasi, namun pada AIHV-1 (A1-A10), 8 gen bersifat homolog
berdasarkan sel limfoblastoid yang diisolasi dari kasus dengan OvHV-2 tetapi tidak ekuivalen untuk A1 dan
SA-MCF diperoleh genom virus penyebabnya yang A4 sedangkan virus OvHV-2 diberi kode tambahan
disebut Ovine Herpesvirus-2 (OvHV-2) (Davison et al. dengan Ov2.5, Ov3.5, Ov4.5 dan Ov8.5 yang
2009). Genom virus penyebab SA-MCF ini telah secara menandakan posisinya (Haig et al. 2008).
lengkap disekuen oleh Hart et al. (2007).
Penyakit MCF ini masih menjadi masalah di
Indonesia, selain bersifat fatal, MCF juga sporadis dan Sifat fisik dan kimia virus
bahkan mewabah terutama pada sapi Bali yang
digembalakan berdekatan dengan domba. Hal ini Virus penyebab MCF dapat bertahan sampai 13
disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap hari pada kondisi lingkungan yang lembab dan stabil
epidemiologi penyakit dan belum tersedianya vaksin antara pH 5,5-8,5. Virus akan mati dengan penambahan
karena agen penyebabnya belum dapat diisolasi. disinfektan, antara lain sodium hipokhlorite (3%). Cell-
Makalah ini diharapkan dapat memberikan gambaran associated virus dapat bertahan di luar sel selama 72
tentang epidemiologi penyakit, perkembangan kasus jam di luar induk semangnya (OIE World Organization
MCF di Indonesia dan upaya pengendaliannya. for Animal Health 2013c).

ETIOLOGI PENGENALAN PENYAKIT

Virus-virus penyebab malignant catarrhal fever Spesies rentan

Virus penyebab MCF disebut grup virus MCF Penyakit MCF secara umum dapat menyerang
(MCFV) termasuk ke dalam genus Macavirus sapi dan hewan ungulata lainnya, termasuk bison (Li et
(Rhadinovirus), famili Herpesviridae, subfamili al. 2006), rusa (Schultheiss et al. 2007) dan babi (Costa
Gammaherpesvirinae, (Li et al. 2011a). Secara et al. 2010). Di Indonesia, urutan kepekaan hewan
epidemiologi molekuler, terdapat 10 jenis virus terhadap MCF berturut-turut adalah sapi Bali (Bos
penyebab MCF yang terdiri dari dua golongan. javanicus), sapi Bali persilangan, kerbau (Bubalus
Kelompok pertama, 6 jenis virus yang dapat bubalis), sapi Ongole (Bos indicus) dan sapi Brahman
menyebabkan MCF klinis, yaitu virus AHV-1 (Bos taurus) (Daniels et al. 1988; Dettwiler et al. 2011).
penyebab WA-MCF dengan reservoir wildebeest, virus Selain itu, kelinci adalah hewan percobaan yang sangat
OvHV-2 penyebab SA-MCF dengan reservoir domba, peka terhadap MCF melalui infeksi buatan (Cunha et al.
virus Caprine Herpesvirus-2 (CpHV-2) dengan 2013). Bison jauh lebih peka dibandingkan dengan sapi
reservoir kambing, virus MCFV-WTD pada rusa ekor (Li et al. 2006; Taus et al. 2006) dan domba (O’Toole
putih (white-tailed deer), virus MCFV dengan et al. 2007). Hewan peka MCF merupakan dead-end-
reservoir ibex dan virus Alcelaphine Herpesvirus-2 host, yakni tidak menularkan ke hewan peka lainnya dan
(AlHV-2)-like dengan reservoir Jackson hartebeest hanya ditularkan via hewan reservoirnya (Ackermann
(Whitaker et al. 2007; Schultheiss et al. 2007). 2006). Hewan reservoir pada umumnya tidak
Kelompok kedua, terdiri atas empat jenis virus MCF menunjukkan gejala klinis MCF, namun dilaporkan
dengan hewan reservoir roan antelope, oryx, muskox pernah terjadi kasus MCF-like disease pada domba (Li
dan aoudad menyebabkan MCF asimptomatis (Li et al. et al. 2005) dan kambing (Jacobsen et al 2007).

104
Rini Damayanti: Penyakit Malignant Catarrhal Fever di Indonesia dan Upaya Pengendaliannya

Cara penularan ke sapi lainnya menggunakan inokulum darah sejumlah


satu liter (Wiyono & Damayanti 1999).
Penularan MCF terjadi terutama karena terjadi
kontak langsung antara hewan peka dan reservoir
Gejala klinis
(Benetka et al. 2009). Cara penularan dari domba ke
sapi belum diketahui dengan pasti dan kemungkinan
Manifestasi MCF secara klinis muncul pada hewan
besar terjadi melalui sekresi hidung, mata dan vagina.
peka jika virus MCF ditemukan dalam jumlah/dosis
Li et al. (2008) menyatakan bahwa penyebaran virus
memadai yang ditularkan oleh hewan reservoir.
MCF dari jarak jauh (1-5 km) dapat ditularkan dari
Penyakit pada umumnya bersifat akut dengan spektrum
peternakan domba ke ranch bison. Transmisi buatan
dengan inokulasi darah utuh pernah dilaporkan oleh gejala klinis yang sering dijumpai berupa demam,
Wiyono & Damayanti (1999) dan dapat menyebabkan eksudat kental dari mata dan hidung, kekeruhan kornea,
diare, dan gejala syaraf (O’Toole & Li 2014). Jumlah
MCF klinis dan patologis pada sapi Bali dan kerbau,
virus yang masuk tidak mempengaruhi derajat
tetapi tidak pada Sapi Bali cross breed dan sapi PO.
keparahan penyakit melainkan berpengaruh pada masa
Cara penularan SA-MCF mirip dengan WA-MCF
inkubasi, dan penetapan kapan dapat dideteksi virus
dimana domba dan wildebeest berperan sebagai
reservoir virus. Menurut Whitaker et al. (2007) anak MCF pada sel darah putih (O’Toole et al. 2007).
wildebeest memperoleh virus AIHV-1 baik secara Meskipun ada dua bentuk MCF, secara klinis dan
patologis tidak dapat dibedakan (Whitaker et al. 2007).
vertikal dari induknya maupun secara horizontal dari
Gejala klinis yang sering dijumpai berupa demam,
sesama anak wildebeest. Penularan di antara wildebeest
eksudat mukopurulenta dari mata dan hidung,
menurut Swai et al. (2013) adalah melalui aerosol,
hipersalivasi, kekeruhan kornea mata, diare,
tertelan limbah, cairan atau bulu anak wildebeest yang
baru lahir. Secara alami MCF tidak ditularkan dari pembengkakan limfoglandula superfisial dan gejala
hewan peka ke hewan peka lainnya tetapi pada infeksi syaraf (O’Toole & Li 2014). Gambar 1 memperlihatkan
beberapa gejala klinis khas MCF.
buatan penyakit ini dapat ditularkan dari sapi terinfeksi

Gambar 1. Sapi yang terserang MCF, (A) Kekeruhan kornea mata, eksudat mukopurulenta dari hidung; (B) Hipersalivasi;
(C) Pembengkakan limfoglandula superfisial
Sumber: Koleksi pribadi

105
WARTAZOA Vol. 26 No. 3 Th. 2016 Hlm. 103-114

Infeksi subklinis

Secara alami hewan peka yang tertular MCF


bersifat fatal terutama pada bison, sapi dan beberapa
jenis rusa, namun infeksi subklinis dapat ditemukan
(Løken et al. 2009). Studi pada 300 bison dengan klinis
sehat menunjukkan 23,7% (71/300) memiliki antibodi
terhadap MCF dan 11,3% (8/71) dari hewan sero-
positif tersebut berhasil dideteksi DNA OvHV-2 pada
sel darah putihnya dengan uji PCR (O’Toole et al.
2007). Hasil penularan buatan pada sapi dan bison
dengan virus OvHV-2 secara aerosol membuktikan
bahwa hewan peka dapat terinfeksi virus tanpa
menunjukkan gejala klinis (infeksi subklinis) (Taus et
al. 2006). Hasil survei di rumah potong hewan (RPH)
juga menunjukkan bahwa kasus subklinis dapat terjadi
(Damayanti 1994).

Patologi anatomi dan histopatologi

Walaupun ada dua bentuk MCF, akan tetapi


secara klinis dan patologis kedua bentuk MCF tersebut
tidak dapat dibedakan (Whitaker et al. 2007). Lesi PA
yang khas yaitu pembengkakan limfoglandula
superfisial, perdarahan pada trakhea, pneumonia,
petekhi pada epikardium dan pericardium, perdarahan
dan ulserasi mukosa abomasum dan vesika urinaria
serta perdarahan usus (O’Toole & Li 2014). Gambar 2
menunjukkan kelainan PA yang paling sering dijumpai Gambar 2. Gambaran PA pada sapi Bali yang terserang MCF
pada MCF yaitu perdarahan difus pada mukosa alami. Perdarahan hebat pada (A) Mukosa trakea;
trakhea, abomasum dan vesika urinaria (Damayanti & (B) Abomasum; (C) Vesika urinaria
Wiyono 2005). Sumber: Damayanti & Wiyono (2005) yang dimodifikasi
Secara histopatologis, lesi patognomonik berupa
peradangan pada dinding pembuluh darah (vaskulitis) Derajat keparahan lesi yang ditentukan secara
pada berbagai organ, dengan derajat keparahan lesi kualitatif berdasarkan banyaknya sel radang yang
bervariasi (Luvizotto et al. 2010), disertai dengan menginfiltrasi tiap organ sangat bervariasi untuk tiap
peradangan non-supuratif pada rete mirabile, otak, individu hewan (Neimanis et al. 2009). Lesi ringan dan
trakhea, paru-paru, jantung, hati, ginjal, kandung lesi sedang secara histopatologik berkorelasi dengan
kemih, abomasum dan usus halus (Dettwiler et al. gejala klinik dan PA-nya. Hewan yang sakit dan
2011). Vaskulitis didominasi oleh infiltrasi limfosit dan dipotong di TPH perseorangan secara darurat biasanya
makrofag, disertai sel plasma pada beberapa organ tergolong ke dalam MCF dengan lesi ringan atau
seperti kornea mata, otak, meningen, rete mirabile, sedang untuk menghindari kerugian ekonomi
ginjal, hati, kelenjar adrenal dan pada kulit (Jacobsen et (Damayanti 1995). Sebaliknya kasus MCF pada infeksi
al. 2007). Sampel rete mirabile yang dikoleksi untuk alami yang tidak sempat dipotong di RPH dan
histopatologi dianggap paling mewakili untuk ditemukan sekarat atau mati biasanya menunjukkan lesi
konfirmasi diagnosis MCF (O’Toole & Li 2014). parah (Damayanti 1996b). Gambar 3 dan Gambar 4
Vaskulitis pada organ selain rete hampir selalu disertai menunjukkan lesi berupa peradangan non supuratif
dengan vaskulitis pada rete. Sebaliknya vaskulitis pada yang disertai lesi patognomonik berupa vaskulitis pada
rete belum tentu disertai vaskulitis pada organ lain beberapa organ.
(Damayanti 1995). Hal ini menunjukkan bahwa pada
infeksi MCF vaskulitis berasal dari rete lalu menyebar Patogenesis
ke organ lain. Meskipun vaskulitis tergolong lesi
patognomonik untuk MCF, derajat keparahannya Patogenesis MCF diuraikan berdasarkan lesi PA
sangat bervariasi per organ per kasus, dan dapat dan HP yang berkorelasi satu sama lain. Infektifitas
bersifat segmental maupun difus (Damayanti & kedua bentuk MCF hanya dapat dideteksi pada sel (cell
Wiyono 2005). associated) dan virusnya tidak pernah ditemukan bebas

106
Rini Damayanti: Penyakit Malignant Catarrhal Fever di Indonesia dan Upaya Pengendaliannya

Aksi sitolitik langsung dari virus terhadap jaringan


dan reaksi imunologi dimana hewan yang terinfeksi
menjadi hipersensitif terhadap antigen yang
bersangkutan diduga berperan dalam menimbulkan
vaskulitis (Neimanis et al. 2009). Reaksi immune
complex, cell mediated immunity dan virus
menyebabkan disfungsi sel yang mengatur mekanisme
sistem kekebalan (Zajac & Harrington 2014). Infiltrasi
sel limfosit pada vaskulitis bersifat proliferatif dan
virus MCF hanya menyerang limfosit tertentu yaitu CD
8+ (Damayanti 1996a).
Virus penyebab WA-MCF sudah berhasil diisolasi
(Swai et al. 2013), sedangkan virus SA-MCF belum
dapat diisolasi karena jumlah virus yang bersirkulasi
sangat terbatas (Meier-Trummer et al. 2009).
Mekanisme cytotoxic T-lymphocyte line pada
Gambar 3. Lesi peradangan non supuratif dan vaskulitis pada limfoglandula kelinci yang diinfeksi buatan dengan
(A) Otak; (B) Rete mirabile; (C) Paru paru; (D) virus SA-MCF menunjukkan bahwa cell line tersebut
Hati diidentifikasi sebagai subset limfosit T dengan
Sumber: Koleksi pribadi limfoblastoid yang disebut dengan large granular
lymphocyte (LGL) yang bersifat sitotoksik pada biakan
sel (Anderson et al. 2007). Melalui PCR, sel LGL ini
terbukti mengandung DNA virus SA-MCF namun
isolasi virus utuh tidak berhasil dilakukan. Analisis
fenotipik pada LGL sapi dan rusa membuktikan bahwa
sel yang berperan adalah reseptor sel T (CD2+),
limfosit sitotoksik/supresor (CD4-/CD8+/T19-), sel T
penolong (helper cell) CD4+/CD8-/T19-, sedangkan
pada rusa tidak ditemukan fenotip baik berupa supresor
maupun penolong (CD4-/CD8-/T19+) (Anderson et al.
2007).
Teknik imunohistokimia menunjukkan bahwa
CD8(+), CD4(+) dan Major Histocompatibility
Complex type I (MHC-I) mendominasi lesi vaskular
pada MCF (Damayanti 1999) dimana MHC-I adalah
antigen permukaan yang berfungsi mengontrol
kekebalan dan terbukti lebih dominan daripada limfosit
Gambar 4. Lesi peradangan non-supratif dan vaskulitis pada B dan MHC-II pada limfoglandula sapi Bali yang
(A) Kornea mata; (B) Mukosa trakea; (C) Ginjal; terserang MCF. MHC-I hanya berperan jika berikatan
(D) Vesika urinaria dengan CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Hal ini
Sumber: Koleksi pribadi menjelaskan mengapa pada hewan yang terserang MCF
hampir selalu berakibat fatal karena tidak ada
di luar sel sehingga MCF tidak dapat menular dari kekebalan yang terbentuk (Damayanti 1999).
hewan yang terserang MCF ke hewan peka lainnya (Li Berdasarkan analisis polikromatik fentotip,
et al. 2011b). CD8(+)/perforin(+) gammadelta sel T, CD4(+)/
Lesi HP yang patognomonik adalah vaskulitis perforin(-) alphabeta sel T dan sel B yang
(Luvizotto et al. 2010) yang salah satunya dapat menginfiltrasi lesi vaskular pada vesika urinaria, ginjal
ditemukan pada rete mirabile (Jacobsen et al. 2007). dan hati, membuktikan bahwa dominasi subset limfosit
Karena dari rete mirabile keluar cabang-cabang antara CD8(+) bersifat sitotoksik dan bukan berasal dari
lain berupa arteri carotid cerebral dan arteri ophtalmic subset limfosit CD8(+) alphabeta sel T sehingga lesi
interna, sehingga beralasan jika infeksi awal yang MCF merupakan penyakit yang disebabkan oleh
ditandai vaskulitis pada rete berkembang menjadi MCF disregulasi kekebalan (Nelson et al. 2010). Selain itu,
klinis. Dinding pembuluh pada vaskulitis akan predileksi jaringan yang disukai oleh virus OvHV-2
menebal dan lumen menyempit sehingga mengganggu berkaitan erat dengan derajat keparahan lesinya, yang
sirkulasi darah ke organ-organ yang mendapat suplai diduga diperantarai oleh fragmen 25 (ORF25) transkrip
darah dari rete (Luvizotto et al. 2010). yang mengkode protein kapsid virus pada jaringan

107
WARTAZOA Vol. 26 No. 3 Th. 2016 Hlm. 103-114

yang dapat dideteksi pada fibroblast perivaskular yang complement fixation (CF), immunodiffusion (ID),
menjelaskan patogenesis vaskulitis pada SA-MCF counter immunoelectrophoresis (CIE), indirect
(Nelson et al. 2013). immunoperoxidase (IIP) (OIE World Organization for
Penelitian yang dilakukan oleh Meier-Trummer et Animal Health 2013a). Namun uji VN pada AIHV-1
al. (2009) pada kelinci yang diinfeksi dengan SA-MCF sangat memakan waktu maka alternatif lain digunakan
menunjukkan bahwa secara histopatologis antigen tidak enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dengan
dapat dideteksi tetapi dengan in situ hybridization antigen spesifik yang sudah distandardisasi (Fraser et
dapat dibuktikan bahwa replikasi OvHV-2 terjadi pada al. 2006). Uji IIP tergolong non-spesifik, namun
jaringan tertentu. Infeksi MCF pada kelinci dengan uji ini dapat diketahui virus serupa yang
membuktikan perbedaan infeksi yang disebabkan oleh bertanggung jawab pada infeksi WA-MCF maupun
OvHV-2 dan AlHV-1, dimana lesi pada OvHV-2 lebih SA-MCF, yang dibuktikan oleh Li et al. (2011a)
dominan pada jaringan limfoid organ viseral sedangkan melalui ELISA dimana sejumlah antigen AIHV-1 dapat
lesi pada AIHV-1 lebih sering terjadi pada dideteksi pada serum wildebeest dan domba dari kasus
limfoglandula perifer, serta lesi berupa nekrosis lebih SA-MCF. Diantara uji serologis di atas, yang paling
sering ditemukan pada OvHV-2 daripada pada AIHV-1 efektif adalah uji ELISA (Fraser et al. 2006).
(Anderson et al. 2007). Uji serologis bermanfaat untuk mengetahui
Menurut Ackermann (2006), domba sebagai prevalensi hewan reservoir dan hewan peka yang
reservoir tetap sehat walaupun membawa virus terinfeksi secara subklinis di lapang. Uji ini sebaiknya
penyebab MCF, sedangkan sapi pada umumnya tidak digunakan untuk menguji titer antibodi anak
sakit/mati karena virus MCF Gammaherpesvirus yang domba kurang dari empat bulan karena masih
cenderung bersifat laten dan lisis, tergantung pada jenis mengandung maternal antibody tetapi memakai teknik
hewan dan jenis sel yang diinfeksi. Pada hewan PCR (Cunha et al. 2008). Pada hewan reservoir dewasa
reservoir, terjadi keseimbangan antara sel-sel terinfeksi uji serologis dapat digunakan untuk mengetahui status
secara laten dengan mekanisme pertahanan tubuh dan infeksi walaupun tidak dapat membedakan virus-virus
biasanya virus diekskresikan dalam jumlah kecil secara MCFnya. Demikian pula halnya terhadap hewan peka
terus menerus maupun intermitten, sedangkan pada yang sedang terinfeksi. Namun demikian mengingat
hewan peka keseimbangan ini tidak terjadi, sehingga terdapat fenomena subklinis maka pengujian serologis
virus bersifat mematikan sel. ini harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan
histopatologi (Løken et al. 2009). Uji serologis dapat
juga digunakan sebagai acuan untuk menetapkan
DIAGNOSIS persyaratan pre-shipment pada lalu lintas ternak domba
dengan menggunakan pengujian serologis.
Diagnosis epidemiologis, klinis, patologis

Diagnosis SA-MCF di lapang ditentukan Diagnosis biologi molekuler


berdasarkan pada kombinasi data epidemiologis dan
gambaran klinis. Di laboratorium, konfirmasi diagnosis Virus penyebab SA-MCF belum dapat diisolasi
dilakukan dengan pemeriksaan patologi anatomi dan hingga saat ini maka uji PCR nested menjadi sangat
histopatologi serta dengan pengujian Polymerase penting untuk diagnosis molekuler untuk mendeteksi
Chain Reaction (PCR) (Cunha et al. 2008). agen penyebab tanpa harus mengisolasi virus SA-MCF.
Untuk WA-MCF diagnosis dapat dikonfirmasi Target primer adalah fragmen DNA pada ORF 75 virus
melalui uji serologi dan isolasi virus AIHV-1 OvHV-2 yang mengkode tegumen protein virus (Cunha
(Whitaker et al. 2007). Perkembangan teknik biologi et al. 2008).
molekuler seperti PCR juga dimanfaatkan untuk Pengujian PCR ini sudah banyak digunakan,
mendiagnosis WA-MCF (Cunha et al. 2009). Pada termasuk di Indonesia (Wiyono et al. 1994). Selain itu,
WA-MCF isolasi virus dapat dilakukan pada biakan sel pengembangan quantitative PCR (qPCR)/real time
sapi yang berasal dari sel dari organ thyroid, ginjal, PCR SA-MCF dengan primer-probe set DNA yang
paru dan limpa. Keberadaan virus dapat dideteksi berasal dari lymphoblastoid cell line asal sapi yang
dengan pewarnaan imunofluoresen atau imuno terinfeksi akut SA-MCF telah dilakukan. Uji PCR
peroksidase, neutralisasi virus (VN) atau dengan nested lebih sensitif dibandingkan dengan uji real time
mikroskop elektron (Whitaker et al. 2007). PCR, maka uji PCR nested terutama digunakan untuk
menguji sampel dari hewan reservoir dan untuk
mendeteksi infeksi subklinis (Cunha et al. 2008).
Diagnosis serologis Sedangkan uji real time PCR terutama untuk menguji
sampel klinis MCF dalam jumlah banyak (Traul et al.
Terdapat beberapa uji serologi untuk mendeteksi 2007).
antibodi terhadap AIHV-1 pada WA-MCF:

108
Rini Damayanti: Penyakit Malignant Catarrhal Fever di Indonesia dan Upaya Pengendaliannya

Langkah penting berikutnya dalam hal PCR MCF EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MALIGNANT
yaitu pengembangan multiplex PCR untuk mendeteksi CATARRHAL FEVER DI INDONESIA
dan membedakan virus-virus MCF (Cunha et al. 2009),
terutama untuk sampel yang berasal dari kelompok Di Indonesia, penyakit MCF dilaporkan untuk
hewan peka dan reservoir dari berbagai spesies yang pertama kali oleh Paszotta pada tahun 1894 di Kediri,
bercampur (mixed-species operations) seperti di kebun Jawa Timur (Mansjoer 1954). Saat ini penyakit telah
binatang dan taman marga satwa. tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia (Dit
Keswan Ditjen PKH 2014). Namun demikian, di
beberapa daerah banyak kejadian MCF tidak
DIAGNOSIS BANDING
terdiagnosis atau tidak dilaporkan (Daniels et al. 1988).
Diagnosis penyakit yang dapat dikelirukan dengan
MCF antara lain rinderpest, septicaemia epizootica Kejadian endemis malignant catarrhal fever
(SE), infectious bovine rhinotracheitis (IBR), bovine
viral diarrhoea-mucosal disease (BVD-MD), Penyakit endemik adalah penyakit yang terus
Bluetounge, Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), menerus terjadi di suatu tempat atau prevalensi suatu
stomatitis vesikular dan keracunan tanaman (OIE penyakit biasa terdapat di suatu tempat. Kejadian alami
World Organization for Animal Health 2013a). Pada SA-MCF yang bersifat endemis di luar negeri banyak
sapi Bali, MCF harus dibedakan dari penyakit dilaporkan selain di Asia juga di Amerika, yakni di
Jembrana dan pada kerbau dapat dikelirukan dengan negera-negara yang tidak memiliki wildebeest, antara
Surra oleh Trypanosoma evansi (Daniels et al. 1988). lain dilaporkan terjadi pada sapi Bali di Malaysia
Penyakit SE ditandai dengan konjungtivitis, (Zamila et al. 2011), pada babi di Amerika Utara
lakrimasi, dyspnoea, odema daerah kepala dan enteritis (Alcaraz et al. 2009), pada satwa liar Moose (Alces
bersifat hemoragik seperti pada MCF akut. alces) di Kanada (Neimanis et al. 2009) dan satwa liar
Perbedaannya, pada SE tidak ditemukan eksudat rusa mule (free-ranging mule deer) di Amerika
mukopurulenta pada mata dan hidung seperti pada (Schultheiss et al. 2007). Sedangkan kejadian endemi
MCF dan pada SE demam tidak setinggi pada MCF WA-MCF di luar negeri terutama di negara-negara
(OIE World Organization for Animal Health 2013b). yang memiliki wildebeest, misalnya kejadian WA-
Infectious bovine rhinotracheitis (IBR) bentuk MCF ternak sapi di padang gembalaan Masai, Kenya,
respirasi mempunyai gejala klinis mirip MCF pada Afrika (Swai et al. 2013).
stadium awal yaitu demam tinggi, konjungtivitis, Data kejadian SA-MCF di Indonesia yang
eksudat serous dari mata dan hidung dan dyspnoea dilaporkan oleh Daniels et al. (1988) merupakan data
(Damayanti & Sudarisman 2005). Bovine viral tahun 1980-1986 yang berasal dari 13 provinsi di
diarrhoea-mucosal disease (BVD-MD) juga dapat Indonesia yaitu Sumatera Barat, Riau, Jambi,
dikelirukan dengan MCF karena ditemukan demam Lampung, Sumatera Selatan Bengkulu, Jawa Barat,
tinggi, diare, lesi mukosal, lakrimasi hebat dan Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa
konjungtivitis seperti halnya pada MCF, tetapi Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tenggara dan
mortalitasnya rendah (Bachofen et al. 2010). Sulawesi Selatan. Dari ke-13 provinsi tersebut terdapat
Infeksi oleh Trypanosoma evansi (Surra) empat provinsi yang tingkat kejadiannya cukup tinggi,
menyerupai MCF dengan gejala demam tinggi, eksudat yaitu NTB, Jawa Timur, NTT dan Bali.
mukopurulenta dari mata dan hidung, hipersalivasi dan Penyakit MCF sering disebut sebagai kasus
pembengkakan limfoglandula superfisial, namun Surra sporadik karena berlangsung singkat di beberapa
juga ditandai oleh anaemia, kurus dan ikterus membran tempat dan pada waktu pengamatan masing-masing
mukosa (Laha & Sasmal 2009). Secara histopatologik, kejadian tidak saling berhubungan, terutama dalam
ensefalitis dijumpai pada Surra dan MCF tetapi proses penyebarannya. Data kasus MCF antara tahun
vaskulitis tidak ada pada Surra (Damayanti et al. 1994). 2006 hingga 2013 diperoleh dari Direktorat Kesehatan
Penyakit lain yang menyerupai MCF karena Hewan (2014) seperti tertera pada Tabel 1. Data kasus
ditandai dengan demam dan encefalitis adalah tersebut didiagnosis berdasarkan pada gejala klinis,
Bluetounge yang merupakan infeksi virus Arbo (OIE dapat disertai/tidak disertai dengan data PA dan HP.
World Organization for Animal Health 2013c). Pada tabel tersebut terlihat bahwa MCF bersifat
Penyakit Jembrana pada sapi Bali secara klinis sulit sporadis pada tahun 2010, terutama pada sapi dan
dibedakan dari MCF namun setelah agen etiologi kerbau di delapan provinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa
Jembrana dapat diisolasi dan diidentifikasi sebagai Timur, NTB, NTT, Aceh, Kalimantan Timur,
Lentivirus maka konfirmasi diagnosis menjadi lebih Bengkulu dan Jambi dengan kasus tertinggi terjadi di
mudah ditentukan (Tenaya et al. 2012). NTB dan Jawa Tengah. Dari tahun 2006 hingga 2013

109
WARTAZOA Vol. 26 No. 3 Th. 2016 Hlm. 103-114

jumlah provinsi dengan kasus MCF terus meningkat, Kejadian epidemis malignant catarrhal fever
dimana pada tahun 2006 MCF hanya dilaporkan di
Provinsi NTB tetapi pada tahun 2013 terdapat di Penyakit bersifat epidemis jika kejadian suatu
delapan provinsi. penyakit (wabah) meningkat dengan cepat dan insiden
Berdasarkan jenis ternaknya pada Tabel 1 terlihat kejadiannya dapat diperkirakan. Di luar negeri,
bahwa kasus tidak hanya dilaporkan pada sapi dan kejadian wabah SA-MCF dilaporkan terjadi di taman
kerbau saja melainkan pada pada kambing, domba dan margasatwa yang memelihara domba di Carolina Utara
babi. Dari total 1751 kasus MCF pada kurun waktu itu, yakni menyerang rusa Pere David's (Elaphurus
terjadi 1063 kasus pada sapi, 480 kasus pada kerbau, davidianus), rusa axis (Axis axis), antelope blackbuck
201 kasus pada kambing, 6 ekor pada domba dan 1 (Antelope cervicapra), rusa white-tailed (Odocoileus
ekor babi. Laporan MCF pada domba, kambing dan virginianus) dan elk Rocky Mountain (Cervus elaphus)
babi masih sangat jarang dilaporkan. Namun mengingat (Cooley et al. 2008). Selain itu, juga dilaporkan pada
kasus MCF memang pernah dilaporkan pada domba peternakan kerbau Murrah di Brazil (Costa et al. 2009),
(Himsworth et al. 2008), kambing (Jacobsen et al. pada peternakan bison di Kanada (Li et al. 2006; Li et
2007) dan babi (Alcaraz et al. 2009), maka selanjutnya al. 2008). Sedangkan wabah WA-MCF terjadi pada
diagnosis MCF pada domba, kambing dan babi di sapi Ankole di kebun binatang di Inggris (Whitaker et
Indonesia perlu dilakukan. Konfirmasi diagnosis dapat al. 2007).
dilakukan dengan dengan teknik biologi molekuler Wabah MCF di Indonesia terjadi jika sekumpulan
guna mengetahui jenis/cluster virus MCF sebagaimana hewan peka MCF seperti sapi Bali dan rusa dipelihara
diuraikan sebelumnya (Li et al. 2011a). berdekatan dengan hewan reservoir MCF yaitu domba

Tabel 1. Kasus malignant catarrhal fever di Indonesia pada tahun 2006-2013

Tahun
Provinsi Jenis ternak Total
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
NTB Sapi 13 74 48 75 298 194 59 99 860
Kerbau 3 22 9 8 24 20 7 25 118
Kambing 2 3 0 0 4 0 0 5 14
Jatim Sapi 0 8 31 29 13 12 0 0 93
Kerbau 0 0 3 0 0 0 0 0 3
Kambing 0 0 0 0 0 0 7 0 7
NTT Sapi 0 4 2 1 8 7 13 7 42
Kerbau 0 0 0 11 0 0 7 0 18
Babi 0 0 0 0 1 0 0 0 1
Jateng Sapi 0 0 3 45 0 0 0 9 57
Kerbau 0 0 0 0 338 0 0 0 338
Kambing 0 0 0 0 103 72 0 4 179
Domba 0 0 0 0 5 0 0 1 6
NAD Sapi 0 0 0 0 8 1 0 1 10
Kerbau 0 0 0 0 1 0 0 1 2
Kaltim Kerbau 0 0 0 0 0 1 0 0 1
Bengkulu Kambing 0 0 0 0 0 0 0 1 1
Jambi Sapi 0 0 0 0 0 0 0 1 1
Total Sapi 13 86 84 150 327 214 72 117 1.063
Kerbau 3 22 12 19 363 21 14 26 480
Kambing 2 3 0 0 107 72 7 10 201
Domba 0 0 0 0 5 0 0 1 6
Babi 0 0 0 0 1 0 0 0 1

Sumber: Dit Keswan Ditjen PKH (2014)

110
Rini Damayanti: Penyakit Malignant Catarrhal Fever di Indonesia dan Upaya Pengendaliannya

atau kambing. Wabah MCF dilaporkan terjadi pada pengamatan epidemiologi penyakit di sekitar kasus
sapi Bali dan rusa (Cervus timorensis) di Timor Barat, MCF. Meskipun tidak diperlukan teknologi tinggi
Nusa Tenggara Timur yang terjadi pada saat namun dalam praktek di lapang, hal ini tidak mudah
sekelompok domba dipindahkan pada kelompok sapi untuk dilaksanakan, karena (1) Hingga saat ini tidak
Bali dan rusa yang belum pernah kontak dengan domba ada acuan yang pasti seberapa jauh hewan yang peka
dimana tingkat kematian MCF mencapai 65, sedangkan MCF harus dipisahkan dari hewan reservoir; dan (2)
pada sapi Bali mencapai 20% (Daniels et al. 1988). Keterbatasan lahan menyebabkan domba digembalakan
Wabah MCF pada sapi dan kerbau juga dilaporkan bersama dengan hewan peka. Upaya pengendalian
pada fasilitas penelitian di Balai Penelitian Ternak, dengan memisahkan hewan reservoir dengan hewan
Balai Penelitian Veteriner dan di daerah sekitarnya di peka harus dilakukan melalui pendekatan sosial budaya
Bogor, pada saat sapi dan kerbau dipelihara di kandang setempat.
yang berdekatan dengan kandang domba (Damayanti &
Wiyono 2005). Wabah terakhir dilaporkan telah terjadi
kematian pada 25 ekor sapi Bali (dari total populasi “Memproduksi” domba yang bebas virus SA-MCF
200 ekor) yang dipelihara berdekatan dengan kandang
domba di Mataram, NTB (Dinas PKH Provinsi NTB Cooley et al. (2008) melaporkan tentang
2016). keberhasilan “memproduksi” anak domba mouflon
(Ovis musimon) yang bebas dari virus SA-MCF yaitu
dengan cara anak domba Mouflon dipisahkan dari
UPAYA PENGENDALIAN induk dan lingkungannya sebelum tertular virus dan
diuji dengan nested PCR (Traul et al. 2007). Hanya
Pengendalian MCF diupayakan dengan anak domba Mouflon yang bebas virus OvHV-2 lah
mempertimbangkan beberapa aspek epidemiologi yang dimasukkan ke dalam taman margasatwa bersama
penyakit yang telah diuraikan di atas, antara lain (1) satwa lainnya yang peka MCF (Cooley et al. 2008).
kejadian penyakit MCF di Indonesia hingga saat ini Upaya pengendalian menurut Cooley et al. (2008) ini
merupakan jenis SA-MCF (Wiyono et al. 1994); (2) cenderung tidak “cost-effective” untuk diterapkan pada
hewan reservoir domba membawa virus penyebab SA- peternakan rakyat. Namun upaya ini dapat dilakukan
MCF tanpa menunjukkan gejala klinis MCF (Cunha et misalnya di lokasi unit yang terpisah dari ternak rakyat
al. 2008); (3) kasus MCF-like disease dapat terjadi seperti Unit Perbibitan sapi potong, Balai/Loka
pada domba (Gasper et al. 2012) dan kambing Penelitian dengan ternak sapi/kerbau, kebun binatang,
(Jacobsen et al. 2007); (4) belum diketahui jarak yang taman margasatwa dengan fasilitas yang memiliki
pasti untuk memisahkan hewan reservoir dengan satwa liar yang harus dilindungi.
hewan peka agar tidak terjadi penularan virus MCF
dengan mengacu pada Li et al. (2008) yang melaporkan
domba masih dapat menularkan penyakit ke peternakan Upaya mengembangkan vaksin terhadap SA-MCF
bison yang berjarak 1-5 km; (5) domba yang bebas
virus SA-MCF berhasil “diproduksi” oleh (Cooley et Vaksinasi merupakan salah satu cara untuk
al. 2008); (6) hewan peka yang terinfeksi secara sub- pengendalian penyakit, namun karena virus penyebab
klinis tidak dapat berubah menjadi kasus klinis, dan SA-MCF belum dapat diisolasi secara utuh maka upaya
sangat kecil kemungkinan terjadi penularan dari hewan pengembangan vaksin masih dalam proses penelitian
subklinis ke hewan peka lainnya (Li et al. 2006); (7) dengan menggunakan virus rekombinan (Russell et al.
secara alami virus MCF tidak pernah dilaporkan 2009). Khusus untuk vaksin rekombinan, sebagai
ditularkan dari hewan peka yang sedang terinfeksi ke produk rekayasa genetika (PRG), maka apabila
hewan peka sehat di sekitarnya karena hewan yang memasuki proses registrasi masih memerlukan
tertular MCF merupakan dead-end hosts (Ackermann, beberapa tahap kajian keamanan lingkungan sehingga
2006); dan (8) kasus MCF klinis muncul pada hewan upaya ini memerlukan waktu cukup panjang untuk
peka jika jumlah/dosis virus MCF memadai untuk dapat diproduksi dan digunakan di lapang.
ditularkan oleh hewan reservoir (Benetka et al. 2009).
Dengan mengacu pada kedelapan pertimbangan di atas KESIMPULAN
maka upaya pengendalian yang dapat dilaksanakan
antara lain: Malignant catarrhal fever (MCF) yang terdapat di
Indonesia merupakan SA-MCF dan agen penyebabnya
Memisahkan hewan reservoir dengan hewan peka belum dapat diisolasi. Penyakit bersifat
imunoproliferatif dan menyebabkan kematian pada
Upaya pengendalian dengan memisahkan hewan hewan peka yang disebabkan oleh virus OvHV-2
reservoir dengan hewan peka dengan cara melakukan dengan reservoir domba dan kambing. Penyakit ini
didiagnosis berdasarkan informasi epidemiologi,

111
WARTAZOA Vol. 26 No. 3 Th. 2016 Hlm. 103-114

gambaran klinis, lesi patologis, serta dengan pengujian asymptomatic boars to sows. Emerg Infect Dis.
biologi molekuler. Di Indonesia, SA-MCF dilaporkan 16:2011-2012.
kejadiannya hampir di seluruh provinsi, baik bersifat Cunha CW, O’Toole D, Taus NS, Knowles DP, Li H. 2013.
endemis maupun epidemis. Upaya pengendalian Are rabbits a suitable model to study sheep-associated
penyakit MCF yang dapat dilakukan yaitu dengan cara malignant catarrhal fever in susceptible hosts? Vet
pemisahan hewan reservoir dengan hewan peka dengan Microbiol. 163:358-363.
pendekatan sosial budaya kepada peternak; usaha untuk Cunha CW, Otto L, Taus NS, Knowles DP, Li H. 2009.
“memproduksi” domba bebas virus SA-MCF yang Development of a multiplex real-time PCR for
dapat dilakukan pada unit yang terpisah dari ternak detection and differentiation of malignant catarrhal
rakyat; dan upaya pengembangan vaksin rekombinan fever viruses in clinical samples. J Clin Microbiol.
untuk SA-MCF yang masih memerlukan penelitian 47:2586-2589.
lebih lanjut dan beberapa tahap kajian keamanan Cunha CW, Traul DL, Taus NS, Oaks JL, O’Toole D, Davitt,
lingkungan sebelum dipasarkan. CM, Li H. 2008. Detection of ovine herpesvirus 2
major capsid gene transcripts as an indicator of virus
DAFTAR PUSTAKA replication in shedding sheep and clinically affected
animals. Virus Res. 132:69-75.
Ackermann M. 2006. Pathogenesis of gammaherpesvirus Damayanti R. 1994. Kasus malignant catarrhal fever
infections. Vet Microbiol. 113:211-222. subklinis pada sapi Bali di beberapa rumah potong
Alcaraz A, Warren A, Jackson C, Gold J, McCoy M, Cheong hewan. JITV. 1:129-135.
SH, Li H. 2009. Naturally occurring sheep-associated Damayanti R. 1995. Prevalensi histopatologik malignant
malignant catarrhal fever in North American pigs. J catarrhal fever pada kerbau yang dipotong di tempat
Vet Diagn Investig. 21:250-253. pemotongan hewan perseorangan di Kabupaten
Anderson IE, Buxton D, Campbell I, Russell G, Davis WC, Bogor. JITV. 1:206-211.
Hamilton MJ, Haig DM. 2007. Immunohistochemical Damayanti R. 1996a. Deteksi fenotipik subset limfosit pada
study of experimental malignant catarrhal fever in limfoglandula sapi Bali yang terserang penyakit
rabbits. J Comp Pathol. 136:156-166. ingusan dengan teknik imunohistokimiawi. JITV.
Bachofen C, Braun U, Hilbe M, Ehrensperger F, Stalder H, 2:120-126.
Peterhans E. 2010. Clinical appearance and pathology Damayanti R. 1996b. Evaluasi histopatologik pada 70 kasus
of cattle persistently infected with bovine viral malignant catarrhal fever pada kerbau dan sapi Bali.
diarrhoea virus of different genetic subgroups. Vet Dalam: Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang
Microbiol. 141: 258-267. Veteriner. Bogor (Indonesia): Balai Penelitian
Benetka V, Krametter-Froetscher R, Baumgartner W, Moestl Veteriner. hlm. 889-896.
K. 2009. Investigation of the role of Austrian Damayanti R. 1999. Deteksi fenotipik antigen permukaan
ruminant wildlife in the epidemiology of malignant limfosit B, MHC I dan MHC II pada limfoglandula
catarrhal fever viruses. J Wildl Dis. 45:508-511. sapi Bali yang terserang malignant catarrhal fever
Brown CC, Baker DC, Baker IK. 2007. Alimentary system- dengan teknik imunohistokimiawi. JITV 4:1-9.
bovine malignant catarrh. In: Maxie MG, editor. Damayanti R, Graydon RJ, Ladds PW. 1994. The pathology
Jubb, Kennedy, and Palmer’s. Pathology of domestic of experimental Trypanosoma evansi infection in the
animals. 5th Edition. Edinburgh, Elsevier Saunders. p. Indonesian buffalo (Bubalus bubalis). J Comp Pathol.
152-158. 110:237-252.
Carter GR, Wise DJ, Flores E. 2005. A concise review of Damayanti R, Sudarisman. 2005. Patogenitas isolat lokal
veterinary virology. In: Carter GR, Wise DJ, Flores virus BHV-1 sebagai penyebab infectious bovine
EF, editors. International Veterinary Information rhinotracheitis (IBR) pada sapi Bali. 10:227-235.
Service. New York (US): IVIS.
Damayanti R, Wiyono A. 2005. Infeksi alami malignant
Cooley AJ, Taus NS, Li H. 2008. Development of a catarrhal fever pada sapi Bali: Sebuah studi kasus.
management program for a mixed species wildlife JITV 10:150-159.
park following an occurrence of malignant catarrhal
fever. J Zoo Wildl Med. 39:380-385. Daniels P, Sudarisman, Ronohardjo P. 1988. Malignant
catarrhal fever in Asian lLivestock. Canberra (AUS):
Costa ÉA, Bastianetto E, Vasconcelos AC, Bomfim MRQ, Australian Center for Agricultural Research Center.
dafonseca FG, Gomes AD, Leite RC, Resende M.
2009. An outbreak of malignant catarrhal fever in Davison AJ, Eberle R, Ehlers B, Hayward GS, McGeoch DJ,
Murrah buffaloes in Minas Gerais, Brazil. Pesquisa Minson AC, Thiry E. 2009. The order herpesvirales.
Vet Brasileira, 29:395-400. Arch Virol. 154:171-177.
Costa ÉA, deViott AM, deMachado GS, Bomfim MRQ, Dettwiler M, Stahel A, Kruger S, Gerspach C, Braun U,
Coelho FM, Lobato ZIP, Guedes RMC. 2010. Engels M, Hilbe M. 2011. A possible case of caprine-
Transmission of ovine herpesvirus 2 from associated malignant catarrhal fever in a domestic

112
Rini Damayanti: Penyakit Malignant Catarrhal Fever di Indonesia dan Upaya Pengendaliannya

water buffalo (Bubalus bubalis) in Switzerland. Bmc Li H, Karney G, O’Toole D, Crawford TB. 2008. Long
Vet Res 7:1-6. distance spread of malignant catarrhal fever virus
from feedlot lambs to ranch bison. Canadian Vet J.
Dinas PKH Provinsi NTB. 2016. Laporan kasus malignant 49:183-185.
catarrhal fever di Mataram. Mataram (Indonesia):
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Provinsi Li H, O’Toole D, Kim O, Oaks JL, Crawford TB. 2005.
Nusa Tenggara Barat. Malignant catarrhal fever-like disease in sheep after
intranasal inoculation with ovine herpesvirus-2. J Vet
Dit Keswan Ditjen PKH. 2014. Laporan kasus malignant Diagn Invest. 17:171-175.
catarrhal fever di Indonesia pada tahun 2006-2013.
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Li H, Taus NS, Jones C, Murphy B, Evermann JF, Crawford
Peternakan dan Kesehatan Hewan. TB. 2006. A devastating outbreak of malignant
catarrhal fever in a bison feedlot. J Vet Diagn Invest
Fraser SJ, Nettleton PF, Dutia BM, Haig DM, Russell GC. 18:119-123.
2006. Development of an enzyme-linked
immunosorbent assay for the detection of antibodies Løken T, Bosman AM, vanVuuren M. 2009. Infection with
against malignant catarrhal fever viruses in cattle ovine herpesvirus 2 in Norwegian herds with a
serum. Vet Microb. 116:21-28. history of previous outbreaks of malignant catarrhal
fever. J Vet Diagn Invest . 21:257-261.
Gasper D, Barr B, Li H, Taus N, Peterson R, Benjamin G,
Pesavento PA. 2012. Ibex-associated malignant Luvizotto MCR, Ferrari HF, Cardoso TC. 2010. Malignant
catarrhal fever-like disease in a group of bongo catarrhal fever-like lesions associated with ovine
antelope (Tragelaphus eurycerus). Vet Pathol. herpesvirus-2 infection in young calves (Bos indicus):
49:492-497. A case report. J Venomous Anim Toxins Including
Trop Dis. 16:178-185.
Haig DM, Grant D, Deane D, Campbell I, Thomson J, Jepson
Mansjoer M. 1954. Penyidikan tentang penyakit ingusan pada
C, Russell GC. 2008. An immunisation strategy for
sapi dan kerbau di Indonesia, terutama di Pulau
the protection of cattle against alcelaphine
Lombok [Tesis]. [Bogor (Indonesia)]: Fakultas
herpesvirus-1-induced malignant catarrhal fever.
Kedokteran Hewan, Universitas Indonesia.
Vaccine. 26:4461-4468.
Meier-Trummer CS, Tobler K, Hilbe M, Stewart JP, Hart J,
Hart J, Ackermann M, Jayawardane G, Russell G, Haig DM,
Campbell I, Ackermann M. 2009. Ovine herpesvirus
Reid H, Stewart JP. 2007. Complete sequence and
2 structural proteins in epithelial cells and M-cells of
analysis of the ovine herpesvirus 2 genome. J General the appendix in rabbits with malignant catarrhal fever.
Virol. 88:28-39. Vet Microbiol. 137:235-242.
Himsworth CG, Harms JN, Wobeser G, Hill J. 2008. Bilateral Neimanis AS, Hill JE, Jardine CM, Bollinger TK. 2009.
perirenal hemorrhage in two stone’s sheep (Ovis dalli Sheep-associated malignant catarrhal fever in free-
stonei): A possible manifestation of malignant ranging moose (Alces alces) in Saskatchewan,
catarrhal fever. J Vet Diagn Investig. 20:676-678. Canada. J Wildl Dis. 45:213-217.
Jacobsen B, Thies K, von Altrock A, Förster C, König M, Nelson DD, Davis WC, Brown WC, Li H, O’Toole D, Oaks
Baumgärtner W. 2007. Malignant catarrhal fever-like JL. 2010. CD8+/perforin+/WC1-gammadelta T cells,
lesions associated with ovine herpesvirus-2 infection not CD8+ alphabeta T cells, infiltrate vasculitis
in three goats. Vet Microbiol. 124:353-357. lesions of American bison (Bison bison) with
Laha R, Sasmal NK. 2009. Detection of Trypanosoma evansi experimental sheep-associated malignant catarrhal
infection in clinically ill cattle, buffaloes and horses fever. Vet Immunol Immunopathol. 136:284-291.
using various diagnostic tests. Epidemiol Infect. Nelson DD, Taus NS, Schneider DA, Cunha CW, Davis WC,
137:1583-1585. Brown WC, Oaks JL. 2013. Fibroblasts express
Lankester F, Lugelo A, Mnyambwa N, Ndabigaye A, Keyyu OvHV-2 capsid protein in vasculitis lesions of
J, Kazwala R, Russell GC. 2015. Alcelaphine American bison (Bison bison) with experimental
herpesvirus-1 (malignant catarrhal fever virus) in sheep-associated malignant catarrhal fever. Vet
Microbiol. 166:486-492.
wildebeest placenta: Genetic variation of ORF50 and
A9.5 alleles. PLoSONE. 10:2015. O’Toole D, Li H. 2014. The pathology of malignant catarrhal
fever, with an emphasis on ovine herpesvirus 2. Vet
Li H, Cunha CW, Taus NS. 2011a. Malignant catarrhal fever:
Pathol. 51:437-452.
Understanding molecular diagnostics in context of
epidemiology. Int J Mol Sci. 12:6881-6893. O’Toole D, Taus NS, Montgomery DL, Oaks JL, Crawford
TB, Li H. 2007. Intra-nasal inoculation of American
Li H, Cunha CW, Gailbreath KL, O’Toole D, White SN,
bison (Bison bison) with ovine herpesvirus-2 (OvHV-
Vanderplasschen A, Taus NS. 2011b.
2) reliably reproduces malignant catarrhal fever. Vet
Characterization of ovine herpesvirus 2-induced
Pathol. 44:655-662.
malignant catarrhal fever in rabbits. Vet Microbiol.
150:270-277. OIE World Organization for Animal Health. 2013a. Chapter
2.4.14. Malignant catarrhal fever [Internet]. [cited 13
October 2016]. Available from http://www.oie.int/

113
WARTAZOA Vol. 26 No. 3 Th. 2016 Hlm. 103-114

fileadmin/Home/eng/Health_standards/tahm/2.04.14_ Bali cattle experimentally infected with Jembrana


MCF.pdf disease virus. Vet Immunol Immunopathol. 149:167-
176.
OIE World Organization for Animal Health. 2013b.
Haemorrhagic septicaemia. [Internet]. [cited 13 Traul DL, Taus NS, Oaks JL, Toole DO, Rurangirwa FR,
October 2016]. Available from Baszler TV, Li H. 2007. Validation of nonnested and
http://doi.org/10.1016/0007-1935(92)90101-6 real-time PCR for diagnosis of sheep-associated
malignant catarrhal fever in clinical samples. J Vet
OIE World Organization for Animal Health. 2013c.
Diagn Invest. 19:405-408.
Malignant catharral fever. [Internet]. [cited 13
October 2016]. Available from http://www.oie.int/ Whitaker, KA, Wessels ME, Campbell I, Russell GC. 2007.
fileadmin/Home/eng/Animal_Health_in_the_World/d Outbreak of wildebeest-associated malignant
ocs/pdf/Disease_cards/MALIGNANT_CATHARRA catarrhal fever in Ankole cattle. Vet Record.
L_FEVER.pdf 161:692–695.
Russell GC, Stewart JP, Haig DM. 2009a. Malignant Wiyono A, Baxter SIF, Saepulloh M, Damayanti R, Daniels
catarrhal fever: A review. Vet J. 179:324-335. P, Reid HW. 1994. PCR detection of ovine
herpesvirus-2 DNA in Indonesian ruminants - Normal
Schultheiss PC, van Campen H, Spraker TR, Bishop C, sheep and clinical cases of malignant catarrhal fever.
Wolfe L, Podell B. 2007. Malignant catarrhal fever Vet Microbiol. 42:45-52.
associated with ovine herpesvirus-2 in free-ranging
mule deer in Colorado. J Wildl Dis. 43:533-537. Wiyono A, Damayanti R. 1999. Studies on the transmission
of malignant catarrhal fever in experimental animals:
Swai ES, Kapaga AM, Sudi F, Loomu PM, Joshua G. 2013. A serial infection of cattle and buffalo by means of
Malignant catarrhal fever in pastoral Maasai herds whole blood inoculation. JITV 4:264-272.
caused by wildebeest associated alcelaphine
herpesvirus-1: An outbreak report. Vet Res Forum. Zajac AJ, Harrington LE. 2014. Immune response to viruses:
4:133-136. Cell-mediated immunity. In: Reference module in
biomedical research.
Taus NS, Oaks JL, Gailbreath K, Traul DL, O’Toole D, Li H.
2006. Experimental aerosol infection of cattle (Bos Zamila Z, Azila Z, Shuhaini A, Esdy A, Yusniza M. 2011.
taurus) with ovine herpesvirus 2 using nasal Malignant catarrhal fever (MCF) in Bali cattle (Bos
secretions from infected sheep. Vet Microbiol. javanicus) in a commercial farm in Malaysia. Malays
116:29-36. J Vet Res 2:35-39.
Tenaya IWM, Heel K, Stumbles PA, Wilcox GE. 2012. Flow
cytometric analysis of lymphocyte subset kinetics in

114
WARTAZOA Vol. 26 No. 3 Th. 2016 Hlm. 103-114 DOI: http://dx.doi.org/10.14334/wartazoa.v26i3.1391

Penyakit Malignant Catarrhal Fever di Indonesia dan Upaya Pengendaliannya


(Malignant Catarrhal Fever in Indonesia and Its Control Strategy)

Rini Damayanti

Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata No. 30, Bogor 16114
agusrini@indo.net.id

(Diterima 25 Agustus 2016 – Direvisi 2 September 2016 – Disetujui 5 September 2016)

ABSTRACT

Malignant catarrhal fever (MCF) is an immunoproliferative and lethal disease of many species of the order Artiodactyla
(such as families Bovidae, Cervidae and Suidae) caused by a member of the MCF virus (MCFV) group belongs to the genus
Macavirus in the subfamily Gammaherpesvirinae. There are two types of MCF i.e. Wildebeest-Associated MCF (WA-MCF)
which is caused by Alcelaphine Herpesvirus-1 (AlHV-1) with wildebeest as reservoir animal; and Sheep-Associated MCF (SA-
MCF) which is caused by Ovine herpesvirus 2 (OvHV-2) with sheep and goats as reservoir animals. AlHV-1 virus has already
been isolated whereas OvHV-2 has not been isolated so that vaccines are not yet available. Both types cannot be differentiated by
clinical and pathological findings. This disease was previously diagnosed based on the epidemiological information and
clinicopathological findings, but now it can be diagnosed by using molecular biological tests. This paper describes the
epidemiology of MCF virus, MCF cases in Indonesia and efforts to control this disease. In Indonesia, SA-MCF cases have been
reported almost in all provinces as endemic as well as epidemic nature. Separation of reservoir animal with susceptible species,
"producing" a SA-MCF virus free sheep and attempt to develop a recombinant vaccine against SA-MCF is the main control
strategy that can be suggested.
Key words: Malignant catarrhal fever, disease control, Indonesia

ABSTRAK

Malignant catarrhal fever (MCF) adalah penyakit yang bersifat imunoproliferatif dan menyebabkan kematian pada hewan
peka yang tergabung pada Ordo Artiodactyla (misalnya famili Bovidae, Cervidae dan Suidae) yang disebabkan oleh salah satu
anggota grup virus MCF (MCFV) yang termasuk dalam genus Macavirus dan sub-famili Gammaherpesvirinae. Terdapat dua
macam MCF, yaitu Wildebeest-Associated MCF (WA-MCF) yang disebabkan oleh virus Alcelaphine Herpesvirus-1 (AlHV-1)
dengan hewan reservoir wildebeest dan Sheep-Associated MCF (SA-MCF) yang disebabkan oleh virus Ovine Herpesvirus-2
(OvHV-2) dengan reservoir domba dan kambing. Agen penyebab WA-MCF sudah dapat diisolasi sedangkan agen penyebab SA-
MCF belum dapat diisolasi sehingga saat ini vaksin juga belum tersedia. Kedua bentuk MCF tidak dapat dibedakan secara klinis
dan patologis. Penyakit ini semula didiagnosis berdasarkan informasi epidemiologi dan gambaran klinis, serta patologis, namun
saat ini dapat dilakukan dengan pengujian biologi molekuler. Tujuan penulisan ini adalah memberikan gambaran tentang
epidemiologi penyakit MCF, perkembangan kasus di Indonesia dan upaya pengendaliannya. Di Indonesia, SA-MCF dilaporkan
kejadiannya hampir di seluruh provinsi, baik bersifat endemis maupun epidemis. Memisahkan hewan reservoir dengan hewan
peka, “memproduksi” domba bebas virus SA-MCF dan upaya pengembangan vaksin rekombinan untuk SA-MCF adalah
alternatif pengendalian yang dapat disarankan.
Kata kunci: Malignant catarrhal fever, pengendalian penyakit, Indonesia

PENDAHULUAN Selain itu, ruminansia kecil yang semula diduga hanya


sebagai reservoir, ternyata dapat tertular MCF yaitu
Penyakit Malignant catarrhal fever (MCF) atau pada domba Stone's (Ovis dalli stonei) dengan gejala
snotsiekte atau malignant head catarrh, di Indonesia klinis dan perubahan histopatologis MCF, dan dengan
disebut dengan penyakit ingusan, adalah penyakit polymerase chain reaction (PCR) virus penyebab MCF
imunolimfoproliferatif yang bersifat fatal dan (Himsworth et al. 2008) dapat dideteksi. Jacobsen et al.
menyerang bangsa sapi seperti Bos taurus, Bos indicus, (2007) melaporkan perubahan histopatologis yang
Bos javanicus (Zamila et al. 2011), kerbau (Bubalus sama dengan MCF pada tiga ekor kambing. Pada
bubalis), bison (Bos bonasus) (Li et al. 2006) dan penularan buatan, inokulum yang berasal dari domba
beberapa jenis rusa (Gasper et al. 2012), babi (Alcaraz berhasil diinfeksikan secara aerosol ke domba lainnya
et al. 2009), bahkan pada kuda (Costa et al. 2009). (Li et al. 2005).

103
WARTAZOA Vol. 26 No. 3 Th. 2016 Hlm. 103-114

Penyakit MCF pertama ditemukan di Afrika pada 2011a). Menurut Ackermann (2006) agen penyebab
sapi yang digembalakan dengan sekawanan wildebeest, MCF dapat diisolasi dari induk semang dari ordo
sehingga disebut wildebeest-associated MCF Artiodactyla (hewan berteracak) dan dari hewan
(WA-MCF) (Whitaker et al. 2007). Selanjutnya reservoir dari subfamili Caprinae (virus OvHV-2) dan
penyakit dengan gejala klinis dan patologis serupa subfamili Alcelaphinae (virus AlHV-1) serta pada
ditemukan di luar Afrika pada sapi yang dipelihara hewan peka yang berasal dari famili Bovidae, Cervidae
berdekatan dengan domba, sehingga disebut dan Suidae.
sheep-associated MCF (SA-MCF) (Schultheiss et al. Hasil sekuen terkini dari OvHV-2 yang berasal
2007). Dengan demikian secara epidemiologis, dikenal dari large granular lymphocyte (LGL) cell line sapi
dua bentuk MCF, yakni WA-MCF dan SA-MCF yang mengindikasikan bahwa genome sangat mirip dengan
secara klinis dan patologis tidak dapat dibedakan AlHV-1 dan bersifat co-linear dengan Rhadinovirus
(Russell et al. 2009). dimana genom bersegmen unik 130 kbp tersusun dari
Agen penyebab WA-MCF pertama kali diisolasi terminal repeats 1.1 kbp pada AlHV-1 atau 4.2 kbp
dari wildebeest oleh Plowright pada tahun 1960 dan pada OvHV-2 dengan 73 predicted open reading
selanjutnya disebut dengan Alcelaphine Herpesvirus-1 frames (ORFs) pada sekuen OvHV-2 dan 71 pada
(AlHV-1) (Davison et al. 2009). Virus penyebab SA- sekuen AIHV-1 (Hart et al. 2007). Dari 10 gen unik
MCF hingga saat ini belum dapat diisolasi, namun pada AIHV-1 (A1-A10), 8 gen bersifat homolog
berdasarkan sel limfoblastoid yang diisolasi dari kasus dengan OvHV-2 tetapi tidak ekuivalen untuk A1 dan
SA-MCF diperoleh genom virus penyebabnya yang A4 sedangkan virus OvHV-2 diberi kode tambahan
disebut Ovine Herpesvirus-2 (OvHV-2) (Davison et al. dengan Ov2.5, Ov3.5, Ov4.5 dan Ov8.5 yang
2009). Genom virus penyebab SA-MCF ini telah secara menandakan posisinya (Haig et al. 2008).
lengkap disekuen oleh Hart et al. (2007).
Penyakit MCF ini masih menjadi masalah di
Indonesia, selain bersifat fatal, MCF juga sporadis dan Sifat fisik dan kimia virus
bahkan mewabah terutama pada sapi Bali yang
digembalakan berdekatan dengan domba. Hal ini Virus penyebab MCF dapat bertahan sampai 13
disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap hari pada kondisi lingkungan yang lembab dan stabil
epidemiologi penyakit dan belum tersedianya vaksin antara pH 5,5-8,5. Virus akan mati dengan penambahan
karena agen penyebabnya belum dapat diisolasi. disinfektan, antara lain sodium hipokhlorite (3%). Cell-
Makalah ini diharapkan dapat memberikan gambaran associated virus dapat bertahan di luar sel selama 72
tentang epidemiologi penyakit, perkembangan kasus jam di luar induk semangnya (OIE World Organization
MCF di Indonesia dan upaya pengendaliannya. for Animal Health 2013c).

ETIOLOGI PENGENALAN PENYAKIT

Virus-virus penyebab malignant catarrhal fever Spesies rentan

Virus penyebab MCF disebut grup virus MCF Penyakit MCF secara umum dapat menyerang
(MCFV) termasuk ke dalam genus Macavirus sapi dan hewan ungulata lainnya, termasuk bison (Li et
(Rhadinovirus), famili Herpesviridae, subfamili al. 2006), rusa (Schultheiss et al. 2007) dan babi (Costa
Gammaherpesvirinae, (Li et al. 2011a). Secara et al. 2010). Di Indonesia, urutan kepekaan hewan
epidemiologi molekuler, terdapat 10 jenis virus terhadap MCF berturut-turut adalah sapi Bali (Bos
penyebab MCF yang terdiri dari dua golongan. javanicus), sapi Bali persilangan, kerbau (Bubalus
Kelompok pertama, 6 jenis virus yang dapat bubalis), sapi Ongole (Bos indicus) dan sapi Brahman
menyebabkan MCF klinis, yaitu virus AHV-1 (Bos taurus) (Daniels et al. 1988; Dettwiler et al. 2011).
penyebab WA-MCF dengan reservoir wildebeest, virus Selain itu, kelinci adalah hewan percobaan yang sangat
OvHV-2 penyebab SA-MCF dengan reservoir domba, peka terhadap MCF melalui infeksi buatan (Cunha et al.
virus Caprine Herpesvirus-2 (CpHV-2) dengan 2013). Bison jauh lebih peka dibandingkan dengan sapi
reservoir kambing, virus MCFV-WTD pada rusa ekor (Li et al. 2006; Taus et al. 2006) dan domba (O’Toole
putih (white-tailed deer), virus MCFV dengan et al. 2007). Hewan peka MCF merupakan dead-end-
reservoir ibex dan virus Alcelaphine Herpesvirus-2 host, yakni tidak menularkan ke hewan peka lainnya dan
(AlHV-2)-like dengan reservoir Jackson hartebeest hanya ditularkan via hewan reservoirnya (Ackermann
(Whitaker et al. 2007; Schultheiss et al. 2007). 2006). Hewan reservoir pada umumnya tidak
Kelompok kedua, terdiri atas empat jenis virus MCF menunjukkan gejala klinis MCF, namun dilaporkan
dengan hewan reservoir roan antelope, oryx, muskox pernah terjadi kasus MCF-like disease pada domba (Li
dan aoudad menyebabkan MCF asimptomatis (Li et al. et al. 2005) dan kambing (Jacobsen et al 2007).

104
Rini Damayanti: Penyakit Malignant Catarrhal Fever di Indonesia dan Upaya Pengendaliannya

Cara penularan ke sapi lainnya menggunakan inokulum darah sejumlah


satu liter (Wiyono & Damayanti 1999).
Penularan MCF terjadi terutama karena terjadi
kontak langsung antara hewan peka dan reservoir
Gejala klinis
(Benetka et al. 2009). Cara penularan dari domba ke
sapi belum diketahui dengan pasti dan kemungkinan
Manifestasi MCF secara klinis muncul pada hewan
besar terjadi melalui sekresi hidung, mata dan vagina.
peka jika virus MCF ditemukan dalam jumlah/dosis
Li et al. (2008) menyatakan bahwa penyebaran virus
memadai yang ditularkan oleh hewan reservoir.
MCF dari jarak jauh (1-5 km) dapat ditularkan dari
Penyakit pada umumnya bersifat akut dengan spektrum
peternakan domba ke ranch bison. Transmisi buatan
dengan inokulasi darah utuh pernah dilaporkan oleh gejala klinis yang sering dijumpai berupa demam,
Wiyono & Damayanti (1999) dan dapat menyebabkan eksudat kental dari mata dan hidung, kekeruhan kornea,
diare, dan gejala syaraf (O’Toole & Li 2014). Jumlah
MCF klinis dan patologis pada sapi Bali dan kerbau,
virus yang masuk tidak mempengaruhi derajat
tetapi tidak pada Sapi Bali cross breed dan sapi PO.
keparahan penyakit melainkan berpengaruh pada masa
Cara penularan SA-MCF mirip dengan WA-MCF
inkubasi, dan penetapan kapan dapat dideteksi virus
dimana domba dan wildebeest berperan sebagai
reservoir virus. Menurut Whitaker et al. (2007) anak MCF pada sel darah putih (O’Toole et al. 2007).
wildebeest memperoleh virus AIHV-1 baik secara Meskipun ada dua bentuk MCF, secara klinis dan
patologis tidak dapat dibedakan (Whitaker et al. 2007).
vertikal dari induknya maupun secara horizontal dari
Gejala klinis yang sering dijumpai berupa demam,
sesama anak wildebeest. Penularan di antara wildebeest
eksudat mukopurulenta dari mata dan hidung,
menurut Swai et al. (2013) adalah melalui aerosol,
hipersalivasi, kekeruhan kornea mata, diare,
tertelan limbah, cairan atau bulu anak wildebeest yang
baru lahir. Secara alami MCF tidak ditularkan dari pembengkakan limfoglandula superfisial dan gejala
hewan peka ke hewan peka lainnya tetapi pada infeksi syaraf (O’Toole & Li 2014). Gambar 1 memperlihatkan
beberapa gejala klinis khas MCF.
buatan penyakit ini dapat ditularkan dari sapi terinfeksi

Gambar 1. Sapi yang terserang MCF, (A) Kekeruhan kornea mata, eksudat mukopurulenta dari hidung; (B) Hipersalivasi;
(C) Pembengkakan limfoglandula superfisial
Sumber: Koleksi pribadi

105
WARTAZOA Vol. 26 No. 3 Th. 2016 Hlm. 103-114

Infeksi subklinis

Secara alami hewan peka yang tertular MCF


bersifat fatal terutama pada bison, sapi dan beberapa
jenis rusa, namun infeksi subklinis dapat ditemukan
(Løken et al. 2009). Studi pada 300 bison dengan klinis
sehat menunjukkan 23,7% (71/300) memiliki antibodi
terhadap MCF dan 11,3% (8/71) dari hewan sero-
positif tersebut berhasil dideteksi DNA OvHV-2 pada
sel darah putihnya dengan uji PCR (O’Toole et al.
2007). Hasil penularan buatan pada sapi dan bison
dengan virus OvHV-2 secara aerosol membuktikan
bahwa hewan peka dapat terinfeksi virus tanpa
menunjukkan gejala klinis (infeksi subklinis) (Taus et
al. 2006). Hasil survei di rumah potong hewan (RPH)
juga menunjukkan bahwa kasus subklinis dapat terjadi
(Damayanti 1994).

Patologi anatomi dan histopatologi

Walaupun ada dua bentuk MCF, akan tetapi


secara klinis dan patologis kedua bentuk MCF tersebut
tidak dapat dibedakan (Whitaker et al. 2007). Lesi PA
yang khas yaitu pembengkakan limfoglandula
superfisial, perdarahan pada trakhea, pneumonia,
petekhi pada epikardium dan pericardium, perdarahan
dan ulserasi mukosa abomasum dan vesika urinaria
serta perdarahan usus (O’Toole & Li 2014). Gambar 2
menunjukkan kelainan PA yang paling sering dijumpai Gambar 2. Gambaran PA pada sapi Bali yang terserang MCF
pada MCF yaitu perdarahan difus pada mukosa alami. Perdarahan hebat pada (A) Mukosa trakea;
trakhea, abomasum dan vesika urinaria (Damayanti & (B) Abomasum; (C) Vesika urinaria
Wiyono 2005). Sumber: Damayanti & Wiyono (2005) yang dimodifikasi
Secara histopatologis, lesi patognomonik berupa
peradangan pada dinding pembuluh darah (vaskulitis) Derajat keparahan lesi yang ditentukan secara
pada berbagai organ, dengan derajat keparahan lesi kualitatif berdasarkan banyaknya sel radang yang
bervariasi (Luvizotto et al. 2010), disertai dengan menginfiltrasi tiap organ sangat bervariasi untuk tiap
peradangan non-supuratif pada rete mirabile, otak, individu hewan (Neimanis et al. 2009). Lesi ringan dan
trakhea, paru-paru, jantung, hati, ginjal, kandung lesi sedang secara histopatologik berkorelasi dengan
kemih, abomasum dan usus halus (Dettwiler et al. gejala klinik dan PA-nya. Hewan yang sakit dan
2011). Vaskulitis didominasi oleh infiltrasi limfosit dan dipotong di TPH perseorangan secara darurat biasanya
makrofag, disertai sel plasma pada beberapa organ tergolong ke dalam MCF dengan lesi ringan atau
seperti kornea mata, otak, meningen, rete mirabile, sedang untuk menghindari kerugian ekonomi
ginjal, hati, kelenjar adrenal dan pada kulit (Jacobsen et (Damayanti 1995). Sebaliknya kasus MCF pada infeksi
al. 2007). Sampel rete mirabile yang dikoleksi untuk alami yang tidak sempat dipotong di RPH dan
histopatologi dianggap paling mewakili untuk ditemukan sekarat atau mati biasanya menunjukkan lesi
konfirmasi diagnosis MCF (O’Toole & Li 2014). parah (Damayanti 1996b). Gambar 3 dan Gambar 4
Vaskulitis pada organ selain rete hampir selalu disertai menunjukkan lesi berupa peradangan non supuratif
dengan vaskulitis pada rete. Sebaliknya vaskulitis pada yang disertai lesi patognomonik berupa vaskulitis pada
rete belum tentu disertai vaskulitis pada organ lain beberapa organ.
(Damayanti 1995). Hal ini menunjukkan bahwa pada
infeksi MCF vaskulitis berasal dari rete lalu menyebar Patogenesis
ke organ lain. Meskipun vaskulitis tergolong lesi
patognomonik untuk MCF, derajat keparahannya Patogenesis MCF diuraikan berdasarkan lesi PA
sangat bervariasi per organ per kasus, dan dapat dan HP yang berkorelasi satu sama lain. Infektifitas
bersifat segmental maupun difus (Damayanti & kedua bentuk MCF hanya dapat dideteksi pada sel (cell
Wiyono 2005). associated) dan virusnya tidak pernah ditemukan bebas

106
Rini Damayanti: Penyakit Malignant Catarrhal Fever di Indonesia dan Upaya Pengendaliannya

Aksi sitolitik langsung dari virus terhadap jaringan


dan reaksi imunologi dimana hewan yang terinfeksi
menjadi hipersensitif terhadap antigen yang
bersangkutan diduga berperan dalam menimbulkan
vaskulitis (Neimanis et al. 2009). Reaksi immune
complex, cell mediated immunity dan virus
menyebabkan disfungsi sel yang mengatur mekanisme
sistem kekebalan (Zajac & Harrington 2014). Infiltrasi
sel limfosit pada vaskulitis bersifat proliferatif dan
virus MCF hanya menyerang limfosit tertentu yaitu CD
8+ (Damayanti 1996a).
Virus penyebab WA-MCF sudah berhasil diisolasi
(Swai et al. 2013), sedangkan virus SA-MCF belum
dapat diisolasi karena jumlah virus yang bersirkulasi
sangat terbatas (Meier-Trummer et al. 2009).
Mekanisme cytotoxic T-lymphocyte line pada
Gambar 3. Lesi peradangan non supuratif dan vaskulitis pada limfoglandula kelinci yang diinfeksi buatan dengan
(A) Otak; (B) Rete mirabile; (C) Paru paru; (D) virus SA-MCF menunjukkan bahwa cell line tersebut
Hati diidentifikasi sebagai subset limfosit T dengan
Sumber: Koleksi pribadi limfoblastoid yang disebut dengan large granular
lymphocyte (LGL) yang bersifat sitotoksik pada biakan
sel (Anderson et al. 2007). Melalui PCR, sel LGL ini
terbukti mengandung DNA virus SA-MCF namun
isolasi virus utuh tidak berhasil dilakukan. Analisis
fenotipik pada LGL sapi dan rusa membuktikan bahwa
sel yang berperan adalah reseptor sel T (CD2+),
limfosit sitotoksik/supresor (CD4-/CD8+/T19-), sel T
penolong (helper cell) CD4+/CD8-/T19-, sedangkan
pada rusa tidak ditemukan fenotip baik berupa supresor
maupun penolong (CD4-/CD8-/T19+) (Anderson et al.
2007).
Teknik imunohistokimia menunjukkan bahwa
CD8(+), CD4(+) dan Major Histocompatibility
Complex type I (MHC-I) mendominasi lesi vaskular
pada MCF (Damayanti 1999) dimana MHC-I adalah
antigen permukaan yang berfungsi mengontrol
kekebalan dan terbukti lebih dominan daripada limfosit
Gambar 4. Lesi peradangan non-supratif dan vaskulitis pada B dan MHC-II pada limfoglandula sapi Bali yang
(A) Kornea mata; (B) Mukosa trakea; (C) Ginjal; terserang MCF. MHC-I hanya berperan jika berikatan
(D) Vesika urinaria dengan CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Hal ini
Sumber: Koleksi pribadi menjelaskan mengapa pada hewan yang terserang MCF
hampir selalu berakibat fatal karena tidak ada
di luar sel sehingga MCF tidak dapat menular dari kekebalan yang terbentuk (Damayanti 1999).
hewan yang terserang MCF ke hewan peka lainnya (Li Berdasarkan analisis polikromatik fentotip,
et al. 2011b). CD8(+)/perforin(+) gammadelta sel T, CD4(+)/
Lesi HP yang patognomonik adalah vaskulitis perforin(-) alphabeta sel T dan sel B yang
(Luvizotto et al. 2010) yang salah satunya dapat menginfiltrasi lesi vaskular pada vesika urinaria, ginjal
ditemukan pada rete mirabile (Jacobsen et al. 2007). dan hati, membuktikan bahwa dominasi subset limfosit
Karena dari rete mirabile keluar cabang-cabang antara CD8(+) bersifat sitotoksik dan bukan berasal dari
lain berupa arteri carotid cerebral dan arteri ophtalmic subset limfosit CD8(+) alphabeta sel T sehingga lesi
interna, sehingga beralasan jika infeksi awal yang MCF merupakan penyakit yang disebabkan oleh
ditandai vaskulitis pada rete berkembang menjadi MCF disregulasi kekebalan (Nelson et al. 2010). Selain itu,
klinis. Dinding pembuluh pada vaskulitis akan predileksi jaringan yang disukai oleh virus OvHV-2
menebal dan lumen menyempit sehingga mengganggu berkaitan erat dengan derajat keparahan lesinya, yang
sirkulasi darah ke organ-organ yang mendapat suplai diduga diperantarai oleh fragmen 25 (ORF25) transkrip
darah dari rete (Luvizotto et al. 2010). yang mengkode protein kapsid virus pada jaringan

107
WARTAZOA Vol. 26 No. 3 Th. 2016 Hlm. 103-114

yang dapat dideteksi pada fibroblast perivaskular yang complement fixation (CF), immunodiffusion (ID),
menjelaskan patogenesis vaskulitis pada SA-MCF counter immunoelectrophoresis (CIE), indirect
(Nelson et al. 2013). immunoperoxidase (IIP) (OIE World Organization for
Penelitian yang dilakukan oleh Meier-Trummer et Animal Health 2013a). Namun uji VN pada AIHV-1
al. (2009) pada kelinci yang diinfeksi dengan SA-MCF sangat memakan waktu maka alternatif lain digunakan
menunjukkan bahwa secara histopatologis antigen tidak enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dengan
dapat dideteksi tetapi dengan in situ hybridization antigen spesifik yang sudah distandardisasi (Fraser et
dapat dibuktikan bahwa replikasi OvHV-2 terjadi pada al. 2006). Uji IIP tergolong non-spesifik, namun
jaringan tertentu. Infeksi MCF pada kelinci dengan uji ini dapat diketahui virus serupa yang
membuktikan perbedaan infeksi yang disebabkan oleh bertanggung jawab pada infeksi WA-MCF maupun
OvHV-2 dan AlHV-1, dimana lesi pada OvHV-2 lebih SA-MCF, yang dibuktikan oleh Li et al. (2011a)
dominan pada jaringan limfoid organ viseral sedangkan melalui ELISA dimana sejumlah antigen AIHV-1 dapat
lesi pada AIHV-1 lebih sering terjadi pada dideteksi pada serum wildebeest dan domba dari kasus
limfoglandula perifer, serta lesi berupa nekrosis lebih SA-MCF. Diantara uji serologis di atas, yang paling
sering ditemukan pada OvHV-2 daripada pada AIHV-1 efektif adalah uji ELISA (Fraser et al. 2006).
(Anderson et al. 2007). Uji serologis bermanfaat untuk mengetahui
Menurut Ackermann (2006), domba sebagai prevalensi hewan reservoir dan hewan peka yang
reservoir tetap sehat walaupun membawa virus terinfeksi secara subklinis di lapang. Uji ini sebaiknya
penyebab MCF, sedangkan sapi pada umumnya tidak digunakan untuk menguji titer antibodi anak
sakit/mati karena virus MCF Gammaherpesvirus yang domba kurang dari empat bulan karena masih
cenderung bersifat laten dan lisis, tergantung pada jenis mengandung maternal antibody tetapi memakai teknik
hewan dan jenis sel yang diinfeksi. Pada hewan PCR (Cunha et al. 2008). Pada hewan reservoir dewasa
reservoir, terjadi keseimbangan antara sel-sel terinfeksi uji serologis dapat digunakan untuk mengetahui status
secara laten dengan mekanisme pertahanan tubuh dan infeksi walaupun tidak dapat membedakan virus-virus
biasanya virus diekskresikan dalam jumlah kecil secara MCFnya. Demikian pula halnya terhadap hewan peka
terus menerus maupun intermitten, sedangkan pada yang sedang terinfeksi. Namun demikian mengingat
hewan peka keseimbangan ini tidak terjadi, sehingga terdapat fenomena subklinis maka pengujian serologis
virus bersifat mematikan sel. ini harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan
histopatologi (Løken et al. 2009). Uji serologis dapat
juga digunakan sebagai acuan untuk menetapkan
DIAGNOSIS persyaratan pre-shipment pada lalu lintas ternak domba
dengan menggunakan pengujian serologis.
Diagnosis epidemiologis, klinis, patologis

Diagnosis SA-MCF di lapang ditentukan Diagnosis biologi molekuler


berdasarkan pada kombinasi data epidemiologis dan
gambaran klinis. Di laboratorium, konfirmasi diagnosis Virus penyebab SA-MCF belum dapat diisolasi
dilakukan dengan pemeriksaan patologi anatomi dan hingga saat ini maka uji PCR nested menjadi sangat
histopatologi serta dengan pengujian Polymerase penting untuk diagnosis molekuler untuk mendeteksi
Chain Reaction (PCR) (Cunha et al. 2008). agen penyebab tanpa harus mengisolasi virus SA-MCF.
Untuk WA-MCF diagnosis dapat dikonfirmasi Target primer adalah fragmen DNA pada ORF 75 virus
melalui uji serologi dan isolasi virus AIHV-1 OvHV-2 yang mengkode tegumen protein virus (Cunha
(Whitaker et al. 2007). Perkembangan teknik biologi et al. 2008).
molekuler seperti PCR juga dimanfaatkan untuk Pengujian PCR ini sudah banyak digunakan,
mendiagnosis WA-MCF (Cunha et al. 2009). Pada termasuk di Indonesia (Wiyono et al. 1994). Selain itu,
WA-MCF isolasi virus dapat dilakukan pada biakan sel pengembangan quantitative PCR (qPCR)/real time
sapi yang berasal dari sel dari organ thyroid, ginjal, PCR SA-MCF dengan primer-probe set DNA yang
paru dan limpa. Keberadaan virus dapat dideteksi berasal dari lymphoblastoid cell line asal sapi yang
dengan pewarnaan imunofluoresen atau imuno terinfeksi akut SA-MCF telah dilakukan. Uji PCR
peroksidase, neutralisasi virus (VN) atau dengan nested lebih sensitif dibandingkan dengan uji real time
mikroskop elektron (Whitaker et al. 2007). PCR, maka uji PCR nested terutama digunakan untuk
menguji sampel dari hewan reservoir dan untuk
mendeteksi infeksi subklinis (Cunha et al. 2008).
Diagnosis serologis Sedangkan uji real time PCR terutama untuk menguji
sampel klinis MCF dalam jumlah banyak (Traul et al.
Terdapat beberapa uji serologi untuk mendeteksi 2007).
antibodi terhadap AIHV-1 pada WA-MCF:

108
Rini Damayanti: Penyakit Malignant Catarrhal Fever di Indonesia dan Upaya Pengendaliannya

Langkah penting berikutnya dalam hal PCR MCF EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MALIGNANT
yaitu pengembangan multiplex PCR untuk mendeteksi CATARRHAL FEVER DI INDONESIA
dan membedakan virus-virus MCF (Cunha et al. 2009),
terutama untuk sampel yang berasal dari kelompok Di Indonesia, penyakit MCF dilaporkan untuk
hewan peka dan reservoir dari berbagai spesies yang pertama kali oleh Paszotta pada tahun 1894 di Kediri,
bercampur (mixed-species operations) seperti di kebun Jawa Timur (Mansjoer 1954). Saat ini penyakit telah
binatang dan taman marga satwa. tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia (Dit
Keswan Ditjen PKH 2014). Namun demikian, di
beberapa daerah banyak kejadian MCF tidak
DIAGNOSIS BANDING
terdiagnosis atau tidak dilaporkan (Daniels et al. 1988).
Diagnosis penyakit yang dapat dikelirukan dengan
MCF antara lain rinderpest, septicaemia epizootica Kejadian endemis malignant catarrhal fever
(SE), infectious bovine rhinotracheitis (IBR), bovine
viral diarrhoea-mucosal disease (BVD-MD), Penyakit endemik adalah penyakit yang terus
Bluetounge, Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), menerus terjadi di suatu tempat atau prevalensi suatu
stomatitis vesikular dan keracunan tanaman (OIE penyakit biasa terdapat di suatu tempat. Kejadian alami
World Organization for Animal Health 2013a). Pada SA-MCF yang bersifat endemis di luar negeri banyak
sapi Bali, MCF harus dibedakan dari penyakit dilaporkan selain di Asia juga di Amerika, yakni di
Jembrana dan pada kerbau dapat dikelirukan dengan negera-negara yang tidak memiliki wildebeest, antara
Surra oleh Trypanosoma evansi (Daniels et al. 1988). lain dilaporkan terjadi pada sapi Bali di Malaysia
Penyakit SE ditandai dengan konjungtivitis, (Zamila et al. 2011), pada babi di Amerika Utara
lakrimasi, dyspnoea, odema daerah kepala dan enteritis (Alcaraz et al. 2009), pada satwa liar Moose (Alces
bersifat hemoragik seperti pada MCF akut. alces) di Kanada (Neimanis et al. 2009) dan satwa liar
Perbedaannya, pada SE tidak ditemukan eksudat rusa mule (free-ranging mule deer) di Amerika
mukopurulenta pada mata dan hidung seperti pada (Schultheiss et al. 2007). Sedangkan kejadian endemi
MCF dan pada SE demam tidak setinggi pada MCF WA-MCF di luar negeri terutama di negara-negara
(OIE World Organization for Animal Health 2013b). yang memiliki wildebeest, misalnya kejadian WA-
Infectious bovine rhinotracheitis (IBR) bentuk MCF ternak sapi di padang gembalaan Masai, Kenya,
respirasi mempunyai gejala klinis mirip MCF pada Afrika (Swai et al. 2013).
stadium awal yaitu demam tinggi, konjungtivitis, Data kejadian SA-MCF di Indonesia yang
eksudat serous dari mata dan hidung dan dyspnoea dilaporkan oleh Daniels et al. (1988) merupakan data
(Damayanti & Sudarisman 2005). Bovine viral tahun 1980-1986 yang berasal dari 13 provinsi di
diarrhoea-mucosal disease (BVD-MD) juga dapat Indonesia yaitu Sumatera Barat, Riau, Jambi,
dikelirukan dengan MCF karena ditemukan demam Lampung, Sumatera Selatan Bengkulu, Jawa Barat,
tinggi, diare, lesi mukosal, lakrimasi hebat dan Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa
konjungtivitis seperti halnya pada MCF, tetapi Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tenggara dan
mortalitasnya rendah (Bachofen et al. 2010). Sulawesi Selatan. Dari ke-13 provinsi tersebut terdapat
Infeksi oleh Trypanosoma evansi (Surra) empat provinsi yang tingkat kejadiannya cukup tinggi,
menyerupai MCF dengan gejala demam tinggi, eksudat yaitu NTB, Jawa Timur, NTT dan Bali.
mukopurulenta dari mata dan hidung, hipersalivasi dan Penyakit MCF sering disebut sebagai kasus
pembengkakan limfoglandula superfisial, namun Surra sporadik karena berlangsung singkat di beberapa
juga ditandai oleh anaemia, kurus dan ikterus membran tempat dan pada waktu pengamatan masing-masing
mukosa (Laha & Sasmal 2009). Secara histopatologik, kejadian tidak saling berhubungan, terutama dalam
ensefalitis dijumpai pada Surra dan MCF tetapi proses penyebarannya. Data kasus MCF antara tahun
vaskulitis tidak ada pada Surra (Damayanti et al. 1994). 2006 hingga 2013 diperoleh dari Direktorat Kesehatan
Penyakit lain yang menyerupai MCF karena Hewan (2014) seperti tertera pada Tabel 1. Data kasus
ditandai dengan demam dan encefalitis adalah tersebut didiagnosis berdasarkan pada gejala klinis,
Bluetounge yang merupakan infeksi virus Arbo (OIE dapat disertai/tidak disertai dengan data PA dan HP.
World Organization for Animal Health 2013c). Pada tabel tersebut terlihat bahwa MCF bersifat
Penyakit Jembrana pada sapi Bali secara klinis sulit sporadis pada tahun 2010, terutama pada sapi dan
dibedakan dari MCF namun setelah agen etiologi kerbau di delapan provinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa
Jembrana dapat diisolasi dan diidentifikasi sebagai Timur, NTB, NTT, Aceh, Kalimantan Timur,
Lentivirus maka konfirmasi diagnosis menjadi lebih Bengkulu dan Jambi dengan kasus tertinggi terjadi di
mudah ditentukan (Tenaya et al. 2012). NTB dan Jawa Tengah. Dari tahun 2006 hingga 2013

109
WARTAZOA Vol. 26 No. 3 Th. 2016 Hlm. 103-114

jumlah provinsi dengan kasus MCF terus meningkat, Kejadian epidemis malignant catarrhal fever
dimana pada tahun 2006 MCF hanya dilaporkan di
Provinsi NTB tetapi pada tahun 2013 terdapat di Penyakit bersifat epidemis jika kejadian suatu
delapan provinsi. penyakit (wabah) meningkat dengan cepat dan insiden
Berdasarkan jenis ternaknya pada Tabel 1 terlihat kejadiannya dapat diperkirakan. Di luar negeri,
bahwa kasus tidak hanya dilaporkan pada sapi dan kejadian wabah SA-MCF dilaporkan terjadi di taman
kerbau saja melainkan pada pada kambing, domba dan margasatwa yang memelihara domba di Carolina Utara
babi. Dari total 1751 kasus MCF pada kurun waktu itu, yakni menyerang rusa Pere David's (Elaphurus
terjadi 1063 kasus pada sapi, 480 kasus pada kerbau, davidianus), rusa axis (Axis axis), antelope blackbuck
201 kasus pada kambing, 6 ekor pada domba dan 1 (Antelope cervicapra), rusa white-tailed (Odocoileus
ekor babi. Laporan MCF pada domba, kambing dan virginianus) dan elk Rocky Mountain (Cervus elaphus)
babi masih sangat jarang dilaporkan. Namun mengingat (Cooley et al. 2008). Selain itu, juga dilaporkan pada
kasus MCF memang pernah dilaporkan pada domba peternakan kerbau Murrah di Brazil (Costa et al. 2009),
(Himsworth et al. 2008), kambing (Jacobsen et al. pada peternakan bison di Kanada (Li et al. 2006; Li et
2007) dan babi (Alcaraz et al. 2009), maka selanjutnya al. 2008). Sedangkan wabah WA-MCF terjadi pada
diagnosis MCF pada domba, kambing dan babi di sapi Ankole di kebun binatang di Inggris (Whitaker et
Indonesia perlu dilakukan. Konfirmasi diagnosis dapat al. 2007).
dilakukan dengan dengan teknik biologi molekuler Wabah MCF di Indonesia terjadi jika sekumpulan
guna mengetahui jenis/cluster virus MCF sebagaimana hewan peka MCF seperti sapi Bali dan rusa dipelihara
diuraikan sebelumnya (Li et al. 2011a). berdekatan dengan hewan reservoir MCF yaitu domba

Tabel 1. Kasus malignant catarrhal fever di Indonesia pada tahun 2006-2013

Tahun
Provinsi Jenis ternak Total
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
NTB Sapi 13 74 48 75 298 194 59 99 860
Kerbau 3 22 9 8 24 20 7 25 118
Kambing 2 3 0 0 4 0 0 5 14
Jatim Sapi 0 8 31 29 13 12 0 0 93
Kerbau 0 0 3 0 0 0 0 0 3
Kambing 0 0 0 0 0 0 7 0 7
NTT Sapi 0 4 2 1 8 7 13 7 42
Kerbau 0 0 0 11 0 0 7 0 18
Babi 0 0 0 0 1 0 0 0 1
Jateng Sapi 0 0 3 45 0 0 0 9 57
Kerbau 0 0 0 0 338 0 0 0 338
Kambing 0 0 0 0 103 72 0 4 179
Domba 0 0 0 0 5 0 0 1 6
NAD Sapi 0 0 0 0 8 1 0 1 10
Kerbau 0 0 0 0 1 0 0 1 2
Kaltim Kerbau 0 0 0 0 0 1 0 0 1
Bengkulu Kambing 0 0 0 0 0 0 0 1 1
Jambi Sapi 0 0 0 0 0 0 0 1 1
Total Sapi 13 86 84 150 327 214 72 117 1.063
Kerbau 3 22 12 19 363 21 14 26 480
Kambing 2 3 0 0 107 72 7 10 201
Domba 0 0 0 0 5 0 0 1 6
Babi 0 0 0 0 1 0 0 0 1

Sumber: Dit Keswan Ditjen PKH (2014)

110
Rini Damayanti: Penyakit Malignant Catarrhal Fever di Indonesia dan Upaya Pengendaliannya

atau kambing. Wabah MCF dilaporkan terjadi pada pengamatan epidemiologi penyakit di sekitar kasus
sapi Bali dan rusa (Cervus timorensis) di Timor Barat, MCF. Meskipun tidak diperlukan teknologi tinggi
Nusa Tenggara Timur yang terjadi pada saat namun dalam praktek di lapang, hal ini tidak mudah
sekelompok domba dipindahkan pada kelompok sapi untuk dilaksanakan, karena (1) Hingga saat ini tidak
Bali dan rusa yang belum pernah kontak dengan domba ada acuan yang pasti seberapa jauh hewan yang peka
dimana tingkat kematian MCF mencapai 65, sedangkan MCF harus dipisahkan dari hewan reservoir; dan (2)
pada sapi Bali mencapai 20% (Daniels et al. 1988). Keterbatasan lahan menyebabkan domba digembalakan
Wabah MCF pada sapi dan kerbau juga dilaporkan bersama dengan hewan peka. Upaya pengendalian
pada fasilitas penelitian di Balai Penelitian Ternak, dengan memisahkan hewan reservoir dengan hewan
Balai Penelitian Veteriner dan di daerah sekitarnya di peka harus dilakukan melalui pendekatan sosial budaya
Bogor, pada saat sapi dan kerbau dipelihara di kandang setempat.
yang berdekatan dengan kandang domba (Damayanti &
Wiyono 2005). Wabah terakhir dilaporkan telah terjadi
kematian pada 25 ekor sapi Bali (dari total populasi “Memproduksi” domba yang bebas virus SA-MCF
200 ekor) yang dipelihara berdekatan dengan kandang
domba di Mataram, NTB (Dinas PKH Provinsi NTB Cooley et al. (2008) melaporkan tentang
2016). keberhasilan “memproduksi” anak domba mouflon
(Ovis musimon) yang bebas dari virus SA-MCF yaitu
dengan cara anak domba Mouflon dipisahkan dari
UPAYA PENGENDALIAN induk dan lingkungannya sebelum tertular virus dan
diuji dengan nested PCR (Traul et al. 2007). Hanya
Pengendalian MCF diupayakan dengan anak domba Mouflon yang bebas virus OvHV-2 lah
mempertimbangkan beberapa aspek epidemiologi yang dimasukkan ke dalam taman margasatwa bersama
penyakit yang telah diuraikan di atas, antara lain (1) satwa lainnya yang peka MCF (Cooley et al. 2008).
kejadian penyakit MCF di Indonesia hingga saat ini Upaya pengendalian menurut Cooley et al. (2008) ini
merupakan jenis SA-MCF (Wiyono et al. 1994); (2) cenderung tidak “cost-effective” untuk diterapkan pada
hewan reservoir domba membawa virus penyebab SA- peternakan rakyat. Namun upaya ini dapat dilakukan
MCF tanpa menunjukkan gejala klinis MCF (Cunha et misalnya di lokasi unit yang terpisah dari ternak rakyat
al. 2008); (3) kasus MCF-like disease dapat terjadi seperti Unit Perbibitan sapi potong, Balai/Loka
pada domba (Gasper et al. 2012) dan kambing Penelitian dengan ternak sapi/kerbau, kebun binatang,
(Jacobsen et al. 2007); (4) belum diketahui jarak yang taman margasatwa dengan fasilitas yang memiliki
pasti untuk memisahkan hewan reservoir dengan satwa liar yang harus dilindungi.
hewan peka agar tidak terjadi penularan virus MCF
dengan mengacu pada Li et al. (2008) yang melaporkan
domba masih dapat menularkan penyakit ke peternakan Upaya mengembangkan vaksin terhadap SA-MCF
bison yang berjarak 1-5 km; (5) domba yang bebas
virus SA-MCF berhasil “diproduksi” oleh (Cooley et Vaksinasi merupakan salah satu cara untuk
al. 2008); (6) hewan peka yang terinfeksi secara sub- pengendalian penyakit, namun karena virus penyebab
klinis tidak dapat berubah menjadi kasus klinis, dan SA-MCF belum dapat diisolasi secara utuh maka upaya
sangat kecil kemungkinan terjadi penularan dari hewan pengembangan vaksin masih dalam proses penelitian
subklinis ke hewan peka lainnya (Li et al. 2006); (7) dengan menggunakan virus rekombinan (Russell et al.
secara alami virus MCF tidak pernah dilaporkan 2009). Khusus untuk vaksin rekombinan, sebagai
ditularkan dari hewan peka yang sedang terinfeksi ke produk rekayasa genetika (PRG), maka apabila
hewan peka sehat di sekitarnya karena hewan yang memasuki proses registrasi masih memerlukan
tertular MCF merupakan dead-end hosts (Ackermann, beberapa tahap kajian keamanan lingkungan sehingga
2006); dan (8) kasus MCF klinis muncul pada hewan upaya ini memerlukan waktu cukup panjang untuk
peka jika jumlah/dosis virus MCF memadai untuk dapat diproduksi dan digunakan di lapang.
ditularkan oleh hewan reservoir (Benetka et al. 2009).
Dengan mengacu pada kedelapan pertimbangan di atas KESIMPULAN
maka upaya pengendalian yang dapat dilaksanakan
antara lain: Malignant catarrhal fever (MCF) yang terdapat di
Indonesia merupakan SA-MCF dan agen penyebabnya
Memisahkan hewan reservoir dengan hewan peka belum dapat diisolasi. Penyakit bersifat
imunoproliferatif dan menyebabkan kematian pada
Upaya pengendalian dengan memisahkan hewan hewan peka yang disebabkan oleh virus OvHV-2
reservoir dengan hewan peka dengan cara melakukan dengan reservoir domba dan kambing. Penyakit ini
didiagnosis berdasarkan informasi epidemiologi,

111
WARTAZOA Vol. 26 No. 3 Th. 2016 Hlm. 103-114

gambaran klinis, lesi patologis, serta dengan pengujian asymptomatic boars to sows. Emerg Infect Dis.
biologi molekuler. Di Indonesia, SA-MCF dilaporkan 16:2011-2012.
kejadiannya hampir di seluruh provinsi, baik bersifat Cunha CW, O’Toole D, Taus NS, Knowles DP, Li H. 2013.
endemis maupun epidemis. Upaya pengendalian Are rabbits a suitable model to study sheep-associated
penyakit MCF yang dapat dilakukan yaitu dengan cara malignant catarrhal fever in susceptible hosts? Vet
pemisahan hewan reservoir dengan hewan peka dengan Microbiol. 163:358-363.
pendekatan sosial budaya kepada peternak; usaha untuk Cunha CW, Otto L, Taus NS, Knowles DP, Li H. 2009.
“memproduksi” domba bebas virus SA-MCF yang Development of a multiplex real-time PCR for
dapat dilakukan pada unit yang terpisah dari ternak detection and differentiation of malignant catarrhal
rakyat; dan upaya pengembangan vaksin rekombinan fever viruses in clinical samples. J Clin Microbiol.
untuk SA-MCF yang masih memerlukan penelitian 47:2586-2589.
lebih lanjut dan beberapa tahap kajian keamanan Cunha CW, Traul DL, Taus NS, Oaks JL, O’Toole D, Davitt,
lingkungan sebelum dipasarkan. CM, Li H. 2008. Detection of ovine herpesvirus 2
major capsid gene transcripts as an indicator of virus
DAFTAR PUSTAKA replication in shedding sheep and clinically affected
animals. Virus Res. 132:69-75.
Ackermann M. 2006. Pathogenesis of gammaherpesvirus Damayanti R. 1994. Kasus malignant catarrhal fever
infections. Vet Microbiol. 113:211-222. subklinis pada sapi Bali di beberapa rumah potong
Alcaraz A, Warren A, Jackson C, Gold J, McCoy M, Cheong hewan. JITV. 1:129-135.
SH, Li H. 2009. Naturally occurring sheep-associated Damayanti R. 1995. Prevalensi histopatologik malignant
malignant catarrhal fever in North American pigs. J catarrhal fever pada kerbau yang dipotong di tempat
Vet Diagn Investig. 21:250-253. pemotongan hewan perseorangan di Kabupaten
Anderson IE, Buxton D, Campbell I, Russell G, Davis WC, Bogor. JITV. 1:206-211.
Hamilton MJ, Haig DM. 2007. Immunohistochemical Damayanti R. 1996a. Deteksi fenotipik subset limfosit pada
study of experimental malignant catarrhal fever in limfoglandula sapi Bali yang terserang penyakit
rabbits. J Comp Pathol. 136:156-166. ingusan dengan teknik imunohistokimiawi. JITV.
Bachofen C, Braun U, Hilbe M, Ehrensperger F, Stalder H, 2:120-126.
Peterhans E. 2010. Clinical appearance and pathology Damayanti R. 1996b. Evaluasi histopatologik pada 70 kasus
of cattle persistently infected with bovine viral malignant catarrhal fever pada kerbau dan sapi Bali.
diarrhoea virus of different genetic subgroups. Vet Dalam: Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang
Microbiol. 141: 258-267. Veteriner. Bogor (Indonesia): Balai Penelitian
Benetka V, Krametter-Froetscher R, Baumgartner W, Moestl Veteriner. hlm. 889-896.
K. 2009. Investigation of the role of Austrian Damayanti R. 1999. Deteksi fenotipik antigen permukaan
ruminant wildlife in the epidemiology of malignant limfosit B, MHC I dan MHC II pada limfoglandula
catarrhal fever viruses. J Wildl Dis. 45:508-511. sapi Bali yang terserang malignant catarrhal fever
Brown CC, Baker DC, Baker IK. 2007. Alimentary system- dengan teknik imunohistokimiawi. JITV 4:1-9.
bovine malignant catarrh. In: Maxie MG, editor. Damayanti R, Graydon RJ, Ladds PW. 1994. The pathology
Jubb, Kennedy, and Palmer’s. Pathology of domestic of experimental Trypanosoma evansi infection in the
animals. 5th Edition. Edinburgh, Elsevier Saunders. p. Indonesian buffalo (Bubalus bubalis). J Comp Pathol.
152-158. 110:237-252.
Carter GR, Wise DJ, Flores E. 2005. A concise review of Damayanti R, Sudarisman. 2005. Patogenitas isolat lokal
veterinary virology. In: Carter GR, Wise DJ, Flores virus BHV-1 sebagai penyebab infectious bovine
EF, editors. International Veterinary Information rhinotracheitis (IBR) pada sapi Bali. 10:227-235.
Service. New York (US): IVIS.
Damayanti R, Wiyono A. 2005. Infeksi alami malignant
Cooley AJ, Taus NS, Li H. 2008. Development of a catarrhal fever pada sapi Bali: Sebuah studi kasus.
management program for a mixed species wildlife JITV 10:150-159.
park following an occurrence of malignant catarrhal
fever. J Zoo Wildl Med. 39:380-385. Daniels P, Sudarisman, Ronohardjo P. 1988. Malignant
catarrhal fever in Asian lLivestock. Canberra (AUS):
Costa ÉA, Bastianetto E, Vasconcelos AC, Bomfim MRQ, Australian Center for Agricultural Research Center.
dafonseca FG, Gomes AD, Leite RC, Resende M.
2009. An outbreak of malignant catarrhal fever in Davison AJ, Eberle R, Ehlers B, Hayward GS, McGeoch DJ,
Murrah buffaloes in Minas Gerais, Brazil. Pesquisa Minson AC, Thiry E. 2009. The order herpesvirales.
Vet Brasileira, 29:395-400. Arch Virol. 154:171-177.
Costa ÉA, deViott AM, deMachado GS, Bomfim MRQ, Dettwiler M, Stahel A, Kruger S, Gerspach C, Braun U,
Coelho FM, Lobato ZIP, Guedes RMC. 2010. Engels M, Hilbe M. 2011. A possible case of caprine-
Transmission of ovine herpesvirus 2 from associated malignant catarrhal fever in a domestic

112
Rini Damayanti: Penyakit Malignant Catarrhal Fever di Indonesia dan Upaya Pengendaliannya

water buffalo (Bubalus bubalis) in Switzerland. Bmc Li H, Karney G, O’Toole D, Crawford TB. 2008. Long
Vet Res 7:1-6. distance spread of malignant catarrhal fever virus
from feedlot lambs to ranch bison. Canadian Vet J.
Dinas PKH Provinsi NTB. 2016. Laporan kasus malignant 49:183-185.
catarrhal fever di Mataram. Mataram (Indonesia):
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Provinsi Li H, O’Toole D, Kim O, Oaks JL, Crawford TB. 2005.
Nusa Tenggara Barat. Malignant catarrhal fever-like disease in sheep after
intranasal inoculation with ovine herpesvirus-2. J Vet
Dit Keswan Ditjen PKH. 2014. Laporan kasus malignant Diagn Invest. 17:171-175.
catarrhal fever di Indonesia pada tahun 2006-2013.
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Li H, Taus NS, Jones C, Murphy B, Evermann JF, Crawford
Peternakan dan Kesehatan Hewan. TB. 2006. A devastating outbreak of malignant
catarrhal fever in a bison feedlot. J Vet Diagn Invest
Fraser SJ, Nettleton PF, Dutia BM, Haig DM, Russell GC. 18:119-123.
2006. Development of an enzyme-linked
immunosorbent assay for the detection of antibodies Løken T, Bosman AM, vanVuuren M. 2009. Infection with
against malignant catarrhal fever viruses in cattle ovine herpesvirus 2 in Norwegian herds with a
serum. Vet Microb. 116:21-28. history of previous outbreaks of malignant catarrhal
fever. J Vet Diagn Invest . 21:257-261.
Gasper D, Barr B, Li H, Taus N, Peterson R, Benjamin G,
Pesavento PA. 2012. Ibex-associated malignant Luvizotto MCR, Ferrari HF, Cardoso TC. 2010. Malignant
catarrhal fever-like disease in a group of bongo catarrhal fever-like lesions associated with ovine
antelope (Tragelaphus eurycerus). Vet Pathol. herpesvirus-2 infection in young calves (Bos indicus):
49:492-497. A case report. J Venomous Anim Toxins Including
Trop Dis. 16:178-185.
Haig DM, Grant D, Deane D, Campbell I, Thomson J, Jepson
Mansjoer M. 1954. Penyidikan tentang penyakit ingusan pada
C, Russell GC. 2008. An immunisation strategy for
sapi dan kerbau di Indonesia, terutama di Pulau
the protection of cattle against alcelaphine
Lombok [Tesis]. [Bogor (Indonesia)]: Fakultas
herpesvirus-1-induced malignant catarrhal fever.
Kedokteran Hewan, Universitas Indonesia.
Vaccine. 26:4461-4468.
Meier-Trummer CS, Tobler K, Hilbe M, Stewart JP, Hart J,
Hart J, Ackermann M, Jayawardane G, Russell G, Haig DM,
Campbell I, Ackermann M. 2009. Ovine herpesvirus
Reid H, Stewart JP. 2007. Complete sequence and
2 structural proteins in epithelial cells and M-cells of
analysis of the ovine herpesvirus 2 genome. J General the appendix in rabbits with malignant catarrhal fever.
Virol. 88:28-39. Vet Microbiol. 137:235-242.
Himsworth CG, Harms JN, Wobeser G, Hill J. 2008. Bilateral Neimanis AS, Hill JE, Jardine CM, Bollinger TK. 2009.
perirenal hemorrhage in two stone’s sheep (Ovis dalli Sheep-associated malignant catarrhal fever in free-
stonei): A possible manifestation of malignant ranging moose (Alces alces) in Saskatchewan,
catarrhal fever. J Vet Diagn Investig. 20:676-678. Canada. J Wildl Dis. 45:213-217.
Jacobsen B, Thies K, von Altrock A, Förster C, König M, Nelson DD, Davis WC, Brown WC, Li H, O’Toole D, Oaks
Baumgärtner W. 2007. Malignant catarrhal fever-like JL. 2010. CD8+/perforin+/WC1-gammadelta T cells,
lesions associated with ovine herpesvirus-2 infection not CD8+ alphabeta T cells, infiltrate vasculitis
in three goats. Vet Microbiol. 124:353-357. lesions of American bison (Bison bison) with
Laha R, Sasmal NK. 2009. Detection of Trypanosoma evansi experimental sheep-associated malignant catarrhal
infection in clinically ill cattle, buffaloes and horses fever. Vet Immunol Immunopathol. 136:284-291.
using various diagnostic tests. Epidemiol Infect. Nelson DD, Taus NS, Schneider DA, Cunha CW, Davis WC,
137:1583-1585. Brown WC, Oaks JL. 2013. Fibroblasts express
Lankester F, Lugelo A, Mnyambwa N, Ndabigaye A, Keyyu OvHV-2 capsid protein in vasculitis lesions of
J, Kazwala R, Russell GC. 2015. Alcelaphine American bison (Bison bison) with experimental
herpesvirus-1 (malignant catarrhal fever virus) in sheep-associated malignant catarrhal fever. Vet
Microbiol. 166:486-492.
wildebeest placenta: Genetic variation of ORF50 and
A9.5 alleles. PLoSONE. 10:2015. O’Toole D, Li H. 2014. The pathology of malignant catarrhal
fever, with an emphasis on ovine herpesvirus 2. Vet
Li H, Cunha CW, Taus NS. 2011a. Malignant catarrhal fever:
Pathol. 51:437-452.
Understanding molecular diagnostics in context of
epidemiology. Int J Mol Sci. 12:6881-6893. O’Toole D, Taus NS, Montgomery DL, Oaks JL, Crawford
TB, Li H. 2007. Intra-nasal inoculation of American
Li H, Cunha CW, Gailbreath KL, O’Toole D, White SN,
bison (Bison bison) with ovine herpesvirus-2 (OvHV-
Vanderplasschen A, Taus NS. 2011b.
2) reliably reproduces malignant catarrhal fever. Vet
Characterization of ovine herpesvirus 2-induced
Pathol. 44:655-662.
malignant catarrhal fever in rabbits. Vet Microbiol.
150:270-277. OIE World Organization for Animal Health. 2013a. Chapter
2.4.14. Malignant catarrhal fever [Internet]. [cited 13
October 2016]. Available from http://www.oie.int/

113
WARTAZOA Vol. 26 No. 3 Th. 2016 Hlm. 103-114

fileadmin/Home/eng/Health_standards/tahm/2.04.14_ Bali cattle experimentally infected with Jembrana


MCF.pdf disease virus. Vet Immunol Immunopathol. 149:167-
176.
OIE World Organization for Animal Health. 2013b.
Haemorrhagic septicaemia. [Internet]. [cited 13 Traul DL, Taus NS, Oaks JL, Toole DO, Rurangirwa FR,
October 2016]. Available from Baszler TV, Li H. 2007. Validation of nonnested and
http://doi.org/10.1016/0007-1935(92)90101-6 real-time PCR for diagnosis of sheep-associated
malignant catarrhal fever in clinical samples. J Vet
OIE World Organization for Animal Health. 2013c.
Diagn Invest. 19:405-408.
Malignant catharral fever. [Internet]. [cited 13
October 2016]. Available from http://www.oie.int/ Whitaker, KA, Wessels ME, Campbell I, Russell GC. 2007.
fileadmin/Home/eng/Animal_Health_in_the_World/d Outbreak of wildebeest-associated malignant
ocs/pdf/Disease_cards/MALIGNANT_CATHARRA catarrhal fever in Ankole cattle. Vet Record.
L_FEVER.pdf 161:692–695.
Russell GC, Stewart JP, Haig DM. 2009a. Malignant Wiyono A, Baxter SIF, Saepulloh M, Damayanti R, Daniels
catarrhal fever: A review. Vet J. 179:324-335. P, Reid HW. 1994. PCR detection of ovine
herpesvirus-2 DNA in Indonesian ruminants - Normal
Schultheiss PC, van Campen H, Spraker TR, Bishop C, sheep and clinical cases of malignant catarrhal fever.
Wolfe L, Podell B. 2007. Malignant catarrhal fever Vet Microbiol. 42:45-52.
associated with ovine herpesvirus-2 in free-ranging
mule deer in Colorado. J Wildl Dis. 43:533-537. Wiyono A, Damayanti R. 1999. Studies on the transmission
of malignant catarrhal fever in experimental animals:
Swai ES, Kapaga AM, Sudi F, Loomu PM, Joshua G. 2013. A serial infection of cattle and buffalo by means of
Malignant catarrhal fever in pastoral Maasai herds whole blood inoculation. JITV 4:264-272.
caused by wildebeest associated alcelaphine
herpesvirus-1: An outbreak report. Vet Res Forum. Zajac AJ, Harrington LE. 2014. Immune response to viruses:
4:133-136. Cell-mediated immunity. In: Reference module in
biomedical research.
Taus NS, Oaks JL, Gailbreath K, Traul DL, O’Toole D, Li H.
2006. Experimental aerosol infection of cattle (Bos Zamila Z, Azila Z, Shuhaini A, Esdy A, Yusniza M. 2011.
taurus) with ovine herpesvirus 2 using nasal Malignant catarrhal fever (MCF) in Bali cattle (Bos
secretions from infected sheep. Vet Microbiol. javanicus) in a commercial farm in Malaysia. Malays
116:29-36. J Vet Res 2:35-39.
Tenaya IWM, Heel K, Stumbles PA, Wilcox GE. 2012. Flow
cytometric analysis of lymphocyte subset kinetics in

114
BOVlNE EPHEMERAL FEVER (BEF)

Sinonim : Ephemeral Fever, Bovine Epizootic Fever, Three-day Sickeness,


Penyakit Demam Tiga Hari, Stiff Zsickness, Penyakit Kaku

A. PENDAHULUAN

Bovine Ephemeral Fever (BEF) adalah suatu penyakit viral pada sapi yang
ditularkan oleh serangga (arthropod borne viral disease), bersifat benign non
contagius, yang ditandai dengan demam mendadak dan kaku pada persendian.
Penyakit dapat sembuh kembali beberapa hari kemudian.

Dari segi mortalitas penyakit ini tidak memiliki arti penting, tetapi dari segi produksi
dan tenaga kerja cukup berarti karena hewan yang sedang laktasi akan turun
produksi susunya dan pada hewan pekerja menurunkan kemampuan bekerja
sekitar 35 hari.

B. ETIOLOGI

Penyebab BEF merupakan virus Double Stranded Ribonucleic Acid (ds-RNA),


memiliki amplop, berbentuk peluru dengan ukuran 80 x 120 x 140 nm yang
mempunyai tonjolan pada amplopnya. Virus BEF diklasifikasikan sebagai
Rhabdovirus dari famili Rhabdoviridae, dan masih satu kelompok dengan virus
rabies dan vesicular stomatitis. Strain (galur) yang ada memiliki kesamaan
secara antigenik, tetapi berbeda dalam hal virulensi.

Gambar 1. Gambaran elektron mikroskop virus BEF.


(Sumber : www.springerimages.com)

6 Manual Penyakit Hewan Mamalia


C. EPIDEMIOLOGI

1. Sifat Alami Agen

Virus BEF peka terhadap pelarut lemak, seperti ethyl ether 20%,
kloroform 5% dan deoxycolate 0,1%. Virus juga dapat diinaktifkan dengan
penambahan defco trypsin 1:250 pada konsentrasi 1 % dan 0,5%. Virus BEF
tahan selama 8 hari jika berada dalam darah bersitrat yang disimpan dalam
suhu 2 - 4° C. Dalam suspensi otak mencit terinfeksi di dalam PBS yang
mengandung serum sapi 10% menunjukkan sedikit penurunan titer setelah
disimpan selama 30 hari pada 4°C. Pada suhu -70° C atau beku kering pada
4°C dapat bertahan dalam beberapa tahun.

Virus BEF akan kehilangan infektivitas pada pH rendah (2,5) atau pH


tinggi (12) dalam waktu 10 menit. Virus menjadi inaktif pada suhu 56° C
selama 10 menit; suhu 30° C selama 18 jam dan suhu 25° C selama 120
jam . Virus BEF dapat ditumbuhkan pada otak anak mencit atau hamster
yang masih menyusu, telur ayam berembrio dan kultur sel. Setelah pasase
6-9 kali secara intraserebral pada anak mencit yang masih menyusu, virus
menyebabkan paralisa dan kematian dalam 2-4 hari pasca inokulasi. Virus
juga dapat tumbuh pada kultur sel BHK-21 (baby hamster kidney) dan ginjal
kera. Cytopathogenic efect (CPE) timbul 48-72 jam pasca inokulasi.

2. Spesies Rentan

Virus BEF hanya menginfeksi sapi, tetapi pernah dilaporkan pada


kerbau. Sapi muda dan sapi dewasa dapat terserang penyakit ini. Sapi yang
sembuh dari penyakit BEF dapat kebal selama 2 tahun.

3. Pengaruh Lingkungan

Pada musim penghujan banyak ditemukan kasus BEF. Penyebaran secara


epizootik dipengaruhi oleh vektor dan angin. Angin yang bersifat lembab dan
basah dapat memindahkan serangga sejauh 100 km atau lebih.

4. Sifat Penyakit

Penyakit BEF bersifat sporadik. Masa inkubasi penyakit berkisar antara


2-10 hari dan kebanyakan penderita menunjukkan gejala dalam waktu 2-
4 hari. Angka morbiditas biasanya tinggi, tetapi angka mortalitas rendah
(2-5%). Gejala klinis bervariasi dan bahkan tidak semua sapi atau kerbau
yang terinfeksi menunjukkan tanda klinik. Di daerah endemik BEF dapat
menginfeksi sapi-sapi muda setelah antibodi maternal habis atau hilang,
yaitu pada umur 3 - 6 bulan. Di daerah non endemik sapi semua umur sangat
rentan terhadap BEF.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 7


5. Cara Penularan.

Nyamuk dari golongan Culicoides sp., Aedes sp. dan Culex sp. dapat
bertindak sebagai vektor penyakit. Kejadian penyakit biasanya pada musim
hujan, di mana banyak ditemukan serangga. Penyakit dipindahkan dari sapi
sakit ke sapi sehat melalui gigitan serangga. Penularan secara langsung
belum pernah dilaporkan. Secara buatan penyakit dapat ditularkan dengan
menyuntikkan 0,002 ml darah sapi sakit yang sedang menunjukkan gejala
demam, secara intravena.

6. Distribusi Penyakit

Penyakit BEF pertama kali ditemukan tahun 1867 pada sapi di Afrika
Tengah. Selain di Afrika, penyakit ini juga ditemukan di Asia dan Australia.
Penyakit dilaporkan di Australia tahun 1936. Pada tahun 1920 di Sumatera
pernah dilaporkan kejadian penyakit ini. Pada tahun 1979 penyakit yang
sama muncul kembali di Kabupaten Tuban. Penyakit BEF dapat ditemukan
di daerah tropis maupun subtropis. Penyakit bersifat sporadis di beberapa
daerah di Indonesia, seperti Nusa Tenggara, Jawa dan Kalimantan.

D. PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala Klinis

Gejala awal yang muncul adalah demam tinggi secara mendadak (40,5 –
41°C), nafsu makan hilang, peningkatan pernafasan dan kesulitan bernafas
(dyspneu), diikuti dengan keluarnya Ieleran hidung dan mata (lakrimasi) yang
bersifat serous. Jalan kaku dan pincang karena rasa sakit yang sangat,
kemudian dapat terjadi kelumpuhan dan kesakitan pada kaki, otot gemetar
serta lemah. Kekakuan mulai dari satu kaki ke kaki yang lain, sehingga
hewan tidak dapat berdiri selama 3 hari atau lebih. Leher dan punggung
mengalami pembengkakan. Produksi susu menurun dengan tajam. Kadang-
kadang pada tahap akhir kebuntingan diikuti adanya keguguran. Gambaran
darah dalam fase demam menunjukkan adanya kenaikan jumlah neutrofil
dan penurunan limfosit. Biasanya dijumpai lekositosis pada awal penyakit,
kemudian diikuti dengan lekopenia.

Gambar 2. Gejala klinis sapi penderita BEF


(Sumber : Rowlands, 2010; www.lookfordiagnosis.com; www.cattletoday.com)

8 Manual Penyakit Hewan Mamalia


2. Patologi

Pada persendian sapi yang diserang BEF banyak ditemukan penimbunan


cairan keruh kekuningan yang segera membeku apabila kapsul persendian
dibuka. Jumlah cairan yang berlebih dalam rongga badan dan kantong
perikard, bendungan selaput lendir abomasum, nekrosis fokal pada otot
kerangka dan kulit. Seringkali ditemukan pembengkakan limfoglandula,
emfisema pulmonum dan bronkhitis.

3. Diagnosa

Diagnosa penyakit dapat didasarkan atas gejala klinis, isolasi dan identifikasi
virus. Secara serologi antibodi dapat dideteksi dengan CFT (complemnt
fixation test), serum neutralization test (SNT), Agar Gel Precipitation Test
(AGPT) dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) yang diambil
pada saat kondisi akut dan konvalesen. Secara molekuler virus BEF dapat
didiagnosa dengan Polymerase Chain Reaction (PCR), dot blot hybridization
dan sequencing.

4. Diagnosa Banding

Seringkali BEF dikelirukan dengan infeksi Septicaemia Epizootica (SE),


Surra, Infectious Bovine Rhinotracjheitis (IBR), virus Parainfluenza-3, virus
respiratory syncytial dan bovine adenovirus.

5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen

Untuk isolasi virus dengan cara inokulasi pada otak mencit, spesimen yang
diambil berupa darah dengan antikoagulan Ethylene Di-amine Tetra Acetic
acid (EDTA). Sementara itu untuk uji serologi, diperlukan sepasang serum
yang diambil pada fase akut dan konvalesen dengan jarak pengambilan 2 - 3
minggu. Hewan yang sembuh dari sakit biasanya menghasilkan titer antibodi
yang tinggi dan dapat dideteksi dengan AGPT, SNT dan ELISA.

6. Pengobatan

Sampai saat ini tidak ada pengobatan yang efektif untuk penyakit BEF.
Pemberian antibiotika berspektrum luas dianjurkan untuk mencegah infeksi
sekunder dan multi vitamin untuk mengatasi adanya stress.

E. PENGENDALIAN

Pencegahan terhadap BEF dilakukan dengan pemberian vaksin hidup yang


dilemahkan dan vaksin inaktif. Pengendalian dan pemberantasan harus
diperhatikan peranan serangga pengisap darah yang diduga memegang peranan
dalam penyebaran penyakit dan pemakaian insektisida untuk membunuh
serangga di sekitar daerah terjangkit dan mengisolasi hewan sakit.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 9


DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 1995. Manual Laboratorium, Isolasi dan Identifikasi Agen enyakit


Mamalia dan Unggas. Eastern Island Veterinary Service Project dan
BPPH VI, Denpasar, Bali.

Anonimus 1999. Manual Diagnostik Penyakit Hewan. Direktorat Jenderal


Peternakan dan Japan International Cooperation Agency (JICA),
Jakarta.
Rowkands S 2010. Double take on bovine illness threat. The Land.

www.cattletoday.com/forum/viewtopic.php?f=7&t=63565.

www.lookfordiagnosis.com

www.springerimages.com

10 Manual Penyakit Hewan Mamalia

You might also like