Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT PENGANTAR
Background and Objective: A retrospective descriptive study Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
of anti-tuberculosis drugs in patients with TB - HIV/AIDS who
were hospitalized Nusa Indah Sanglah Hospital 2009 aims to
berpengaruh pada peningkatan epidemi tuberkulosis
determine suitability of the use of anti-tuberculosis (OAT) to (TB) di seluruh dunia yang berakibat pada
the National Treatment Guidelines 2008 which consists of types meningkatnya jumlah penderita TB di tengah
of drugs, combination drug and dosage, also to identify drug masyarakat. Pandemi ini merupakan tantangan
interactions that do occur based on the level of significance.
Results and Conclusions: The results showed that the use
terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti
of OAT category 1 has the largest percentage of 61.7% and menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak akan
then use of a combination of streptomycin with ethambutol berhasil dengan baik tanpa keberhasilan
which is 12%, then use of isoniasid and rifampin which has a pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan
percentage of 6%. The percentage of the correct dose 60.9%,
8.7% is not appropriate, and not identified was 30.4%. Usage
penyebab utama kematian pada Orang Dengan HIV/
of the appropriate OAT that is equal to 74% and 26% did not AIDS (ODHA).1
deserve. Drug interactions occurred in 23 patients with a Peningkatan infeksi HIV yang sangat cepat di
significant percentage of drugs that interact with a percentage banyak tempat di dunia menimbulkan masalah besar
of 11.1%, the importance of 2 namely 33.3%, the importance
of 3 namely 0%, significance 4 namely 16.7%, and the
pada diagnosis dan pengobatan TB. Hal ini juga
significance was 5 of 55, 6%. menimbulkan masalah besar dalam pengendalian
penyakit TB. Kenyataan ini didukung dengan
Keywords: tuberculosis, TB-HIV/AIDS, suitability banyaknya penderita yang tidak menyelesaikan
pengobatannya dikarenakan merasa tidak ada
ABSTRAK
Latar Belakang dan Tujuan: Studi deskriptif retrospektif
perubahan (sembuh) sehingga sakitnya bertambah
penggunaan obat anti tuberkulosis pada pasien TB-HIV/AIDS parah.²
di Ruang rawat Inap Nusa Indah RSUP Sanglah Denpasar tahun Pengobatan TB dengan obat anti TB (OAT) lebih
2009 terhadap 23 pasien bertujuan untuk mengetahui pola sulit pada pasien HIV-positif. Hal ini dikarenakan
penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT) dan kesesuaiannya
terhadap Pedoman Pengobatan Nasional tahun 2008 yang
adanya interaksi OAT dengan Antiretroviral (ARV)
terdiri atas jenis obat, kombinasi obat dan dosis, serta untuk maupun interaksi dengan obat-obat lain yang
mengidentifikasi interaksi obat yang terjadi berdasarkan tingkat digunakan oleh pasien TB-HIV, banyaknya obat yang
signifikansi. harus diminum, kepatuhan pasien dalam minum obat
Hasil Penelitian dan Kesimpulan: Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan OAT kategori 1 mempunyai
dan toksisitas obat. Adanya interaksi obat dapat
persentase terbesar yaitu 61,7% kemudian penggunaan menimbulkan toksisitas atau turunnya efek terapi
kombinasi streptomisin dengan etambutol yaitu 12%, pengobatan sehingga pasien tidak merasa sehat
selanjutnya penggunaan jenis OAT isoniasid dan rifampisin kembali atau tidak cepat sembuh sebagaimana
mempunyai persentase masing-masing 6%. Penggunaan OAT
yang sesuai yaitu sebesar 74% dan yang tidak sesuai 26%.
seharusnya. Protease inhibitor (PI) dan non-
Persentase dosis yang sesuai 60,9%, tidak sesuai 8,7%, dan nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRT1)
yang tidak teridentifikasi yaitu 30,4%. Interaksi obat terjadi pada yang merupakan ARV akan diuraikan oleh hati dan
ke 23 pasien dengan persentase signifikansi yaitu signifikansi mengakibatkan banyak interaksi.3 Interaksi obat
1 dengan persentase jenis obat yang berinteraksi yaitu 11,1%,
signifikansi 2 yaitu 33,3%, signifikansi 3 yaitu 0%, signifikansi
merupakan salah satu drug related problems (DRPs)
4 dengan persentase 16,7%, dan untuk signifikansi 5 dengan yang dapat mempengaruhi outcome terapi pasien
persentase 55,6%. Jankel & Speedie4 mengemukakan kejadian interaksi
obat pada pasien rawat inap 2,2% hingga 30%, dan
Kata Kunci: tuberkulosis, TB-HIV/AIDS, kesesuaian
berkisar 9,2% - 70,3% pada pasien di masyarakat. berjumlah 9 pasien (39,1%). Penelitian ini sesuai
Di antaranya terdapat 11% pasien mengalami gejala dengan data dari WHO yang menyatakan bahwa
efek samping akibat interaksi obat. Stanton, et al5 prevalensi TB paru 2,3 lebih banyak pada laki-laki
menyatakan bahwa dari penelitian terhadap 691 dibanding perempuan terutama pada negara yang
pasien, ditemukan 68 (9,8%) pasien masuk rumah sedang berkembang karena laki-laki dewasa lebih
sakit karena penggunaan obat dan 3 (0,4%) pasien sering melakukan aktivitas. Angka kejadian TB pada
disebabkan oleh interaksi obat. Untuk itu, laki-laki lebih tinggi diduga akibat perbedaan pajanan
mendapatkan terapi yang optimal, rasionalitas dan risiko infeksi yang lebih tinggi.
penggunaan obat-obat TB pada kasus koinfeksi TB- Menurut Rahmawati6, laki-laki mempunyai risiko
HFV perlu dipastikan untuk mencegah drug related lebih tinggi untuk menderita TB dengan infeksi HIV/
problem (DRP) yang mungkin terjadi. AIDS. Hal ini dikarenakan laki-laki lebih banyak
melakukan mobilisasi, mengkonsumsi alkohol dan
BAHAN DAN CARA PENELITIAN rokok yang dapat menurunkan sistem pertahanan
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif tubuh, sehingga lebih mudah terpapar oleh agen
evaluatif dengan rancangan retrospektif. Penelitian penyebab TB. Akan tetapi dalam penelitian ini tidak
ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan obat dapat dipastikan bahwa merokok, mengkonsumsi
anti TB pada pasien TB-HIV/AIDS kemudian alkohol dan tingginya aktivitas merupakan penyebab
mengidentifikasi kemungkinan terjadinya interaksi laki-laki mempunyai risiko lebih tinggi untuk terinfeksi
obat. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini TB. Hal ini dikarenakan tidak terdapatnya data
adalah rekam medik dari pasien TB yang menjalani pendukung yang meliputi riwayat kebiasaan
rawat inap dengan kasus HIV/AIDS yang tercatat merokok, mengkonsumsi alkohol dan aktivitas pada
pada periode 1 Januari -31 Desember 2009. rekam medis pasien.
1. Demografi pasien
Deskripsi mengenai demografi dari pasien
mencakup jenis kelamin dan usia.
Jenis kelamin
Gambar 2. Persentase pasien koinfeksi TB-HIV/AIDS
berdasarkan usia
100 z Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
dewasa terjadi melalui dua mekanisme yaitu yang signifikan. Alasan terpenting mengapa sering terjadi
pertama terhirupnya basil TB yang kemudian komplikasi pulmonologis pada infeksi HIV adalah
berkembang biak dalam paru dan merusaknya dan konsekuensi anatomis paru sehingga terpapar
yang kedua penyakit TB paru timbul akibat aktifnya secara kronis terhadap bahan-bahan infeksius
kembali basil TB ketika masih anak-anak.7 maupun noninfeksius dari luar (eksogen). Di sisi lain
juga terjadi paparan secara hematogen terhadap
2. Penyakit infeksi yang menyertai pasien virus HIV (endogen) yang melemahkan sistem imun.
Adapun beberapa penyakit infeksi yang Hampir 65% penderita AIDS mengalami komplikasi
menyertai pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS dapat pulmonoiogis dimana pneumonia karena P carinii
dilihat pada Tabel 1. merupakan IO tersering, diikuti oleh infeksi
M.tuberkulosis, pneumonia bakterial dan jamur,
Tabel 1. Persentase menyertai pasien penyakit sedangkan pneumonia viral lebih jarang terjadi.10
infeksi yang menyertai pasien TB Infeksi sepsis yang terjadi pada pasien TB
dengan infeksi HIV/AIDS
dengan infeksi HIV/AIDS menduduki peringkat ketiga
Penyakit infeksi penyerta Jumlah Persentase
terbesar. Sepsis merupakan suatu respons inflamasi
Kandidiasis 18 43,9%
sistemik terhadap infeksi, dimana patogen atau
Pneumonia 8 19,5%
Sepsis 6 14,6% toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga
Hepatitis B 1 6,7% terjadi aktivasi proses inflamasi.11 Adapun faktor
Hepatitis C 1 2,4% risiko utama terjadinya sepsis mencakup
Varicela 1 2,4%
Lymphadenitis 1 2,4% pemasangan kateter, infus, alat-alat mekanis yang
Kriptosporidbsis 1 2,4% dibiarkan di ternpatnya (indwelling), luka bakar,
Kolisitis akut 1 2,4% penyuntikan obat intravena, pemasangan alat-alat
Hopes 1 2,4%
Toksoptosma 1 2,4% prostese misalnya pada katup jantung, pemberian
Meningitis 1 2,4% obat kemoterapi atau yang bersifat imunosupresif,
Total 41 100% usia lanjut, penyakit metabolik, keganasan dan
defek imun.12
Dari Tabel 1 tersebut dapat diamati bahwa
penyakit infeksi ataupun kondisi awal yang paling 3. Penggunaan terapi farmakologis suportif
banyak menyertai pasien TB dengan infeksi HIV/ Adapun terapi fermakologis suportif yang
AIDS adalah kandidiasis sebanyak 18 kasus digunakan pada pasien TB dengan infeksi HIV dapat
(43,9%). Pada pasien dengan infeksi AIDS terjadi dilihat pada Tabel 2 yang merupakan persentase
kerusakan imunitas yang menetap sehingga penggunaan terapi farmakologis suportif.
mekanisme imunitas pada penderita AIDS tidak dapat Dari keseluruhan pengobatan yang dilakukan,
melawan infeksi yang terjadi. persentase penggunaan terapi farmakologis suportif
Dengan demikian, penderita AIDS akan mudah terbesar adalah penggunaan flukonazol 10,5%.
terkena infeksi termasuk infeksi kuman yang dalam Secara garis besar, flukonazol digunakan untuk
keadaan normal sebenarnya tidak berbahaya yang pengobatan kandidiasis mulut dan tenggorokan.13
disebut IO.8 Kandidiasis merupakan mikosis dengan Kandidiasis merupakan infeksi jamur oportunistik
insidens tertinggi pada IO. Hal tersebut disebabkan tersering pada pasien HIV/AIDS. Pada pasien AIDS
karena jamur tersebut merupakan bagian dari terjadinya penurunan jumlah CD4 menyebabkan
mikroba flora normal yang beradaptasi dengan baik mekanisme imunologi tidak dapat melawan infeksi
untuk hidup pada inang manusia terutama pada kandida, dimam spesies kandida ini merupakan flora
saluran cerna, saluran urogenital, dan kulit.9 normal pada manusia terutama pada saluran cerna
Adapun penyakit infeksi kedua yang banyak maupun saluran urogenital, serta kulit. Flukonazol
menyertai pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS adalah juga digunakan untuk mencegah relaps meningitis
pneumonia sebanyak 8 kasus (19,5%). Pneumonia yang disebabkan oleh Cryptococcus pada pasien
adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, AIDS setelah pengobatan dengan ampoterisin B.13
distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup Kotrimoksazol adalah kombinasi dua obat
bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta artibiotik yaitu trimetoprim dan sulfametoksazol yang
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan dipakai untuk banyak infeksi bakteri dan beberapa
gangguan pertukaran gas setempat. 9 Data ini infeksi yang disebabkan jamur, termasuk beberapa
menunjukkan bahwa berbagai IO yang ditemukan IO pada ODHA.14 Salah satu IO paling umum pada
pada infeksi HIV/AIDS bahwa HTV ini dapat ODHA adalah pneumocystis pneumonia (PCP) yang
melumpuhkan mekanisme pertahanan paru secara berdampak pada paru. Tanpa pengobatan, lebih dari
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011 z 101
Novi Lisiana, dkk.: Studi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis
85% orang dengan HIV/AIDS pada akhirnya akan utama untuk penyakit infeksi. Secara umum terapi
mengidap penyakit PCP. Pneumocystis pneumonia untuk infeksi ini dilakukan dengan menggunakan
(PCP) menjadi salah satu pembunuh utama ODHA. sefotaksim (9%), sefiksim (6%), azitromisin (4,6%),
Pneumocystis pneumonia (PCP) disebabkan oleh eritromisin (3%), siprofloksasin (2,3%), sulperazon
jamur yang ada dalam tubuh hampir setiap orang. (1,2%), sefoperazon (0,6%), seftazJdim (0,6%),
Sistem kekebalan yang sehat dapat mengendalikan seftriakson (0,6%). Penggunaan sefiksim sebesar
jamur ini. Namun, PCP menyebabkan penyakit pada 9% digunakan untuk terapi bronchitis akut dan kronik
orang dewasa dan anak dengan sistem kekebalan yang disebabkan oleh streptococcus pneumoniae,
yang lemah, jamur pneumocystis hampir selalu pharingitis yang disebabkan oleh streptococcus
mempengaruhi paru, menyebabkan pneumonia pyogenes dan infeksi saluran kemih ringan yang
(radang paru).15 Penggunaan parasetamol sebesar disebabkan oleh escherichia coli.19
6,4% digunakan sebagai analgesik dan antipiretik
yang digunakan pada hampir semua pasien TB yang 4. Pola Penggunaan OAT pada pasien TB-HIV/
terinfeksi HIV. Tuberkulosis (TB) dapat menimbulkan AIDS
sindroma Pulmonary Infiltration - with Eosinophilia Adapun pola penggunaan OAT pada pasien
(PIE) yang ditandai dengan adanya batuk, sesak, dengan koinfeksi TB-HIV/AIDS dapat dilihat pada
demam, berkeringat, malaise dan eosinofili.16 Hampir Gambar 3.
semua pasien dengan HIV/AIDS mengalami demam Dari keseluruhan penggunaan OAT, persentase
sebagai akibat adanya infeksi dari berbagai jenis penggunaan OAT kategori 1 fase intensif mempunyai
bakteri, virus, jamur dan parasit. Penyebab lain persentase terbesar yaitu 61,7%. Tingginya
munculnya demam yang umum pada ODHA yaitu persentase penggunaan OAT kategori 1 fase intensif
reaksi alergi pada obat, infeksi, dan kanker kulit ini dikarenakan paduan OAT ini digunakan untuk
disebut sarkoma kaposi (KS).17 pasien baru TB paru dengan BTA positif dan negatif
Pada penderita AIDS karena mengalami serta untuk pasien dengan TB ekstra paru berat.
penurunan sistem imun agen penginleksi akan Adapun jumlah kasus TB terbanyak yaitu kasus baru
mudah menyerang dan mengganggu simbiosis TB paru sebanyak 11 pasien, kemudian kasus baru
antara flora normal dengan tubuh yang TB ekstra paru sebanyak 6 pasien. Penggunaan OAT
menyebabkan flora normal akan berubah menjadi kedua terbanyak yaitu penggunaan Streptomisin dan
pathogen.18 Artibiotika merupakan pilihan terapi etambutol dengan masing-masing persentase 12%,
102 z Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011 z 103
Novi Lisiana, dkk.: Studi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis
bersifat hepatotoksik seperti Pirazimmid, Isoniasid, selama 12 hari kemudian karena dari tes fungsi hati
dan Rifampisin yang merupakan komponen utama menunjukkan nilai yang normal, pengobatan
dari OAT kategori 1 fase intensif.22 Selain pasien ditambah dengan isoniasid dan etambutol.
nomor 1, sebanyak 14 pasien sudah mendapatkan Adapun total jumlah pasien yang mendapatkan
pengobatan yang sesuai yaitu mendapatkan OAT pengobatan yang tidak sesuai yaitu sebanyak 6
kategori 1 karena pada pasien-pasien tersebut tidak kasus. Untuk kasus baru TB sebanyak dua pasien
terdapat kasus peningkatan enzim hati ataupun mendapatkan terapi yang tidak sesuai. Pada salah
terjadi peningkatan serum kreatinin yang satu pasien tersebut diawal pengobatan pasien
mengindikasikan adanya gagal ginjal. mendapatkan terapi yang sesuai yaitu OAT kategori
Jumlah pasien yang mendapatkan pengobatan 1 fase intensif akan tetapi setelah lima hari menjalani
yang tidak sesuai sebanyak 6 pasien. Sebagai rawat inap hasil tes fungsi hati menunjukkan
contoh yaitu pasien nomor 17 yang mendapatkan peningkatan serum transaminase yaitu AST
terapi OAT kategori 1 fase intensif sedangkan data mengalami peningkatan tiga kali dari kadar normal
laboratorium pasien menunjukkan kadar serum sehingga seharusnya penggunaan dari OAT kategori
aspartate amino transaminase (AST) dan alanine 1 dihentikan dan diganti dengan OAT Streptomisin
amino transferee (ALT) yang masing-masing dan Etambutol, akan tetapi pengobatan dengan OAT
meningkat 2 kali dari kadar normal yaitu dari 5-40IU/ kategori 1 tetap diberikan. Pemberian OAT kategori
I menjadi 108 IU/I untuk AST dan dari 5-35 IU/I 1 pada pasien dengan peningkatan serum
menjadi 70 IU/I untuk ALT, sehingga seharusnya OAT transaminase dapat menyebabkan kerusakan hati
yang diberikan berdasarkan pedoman TB yaitu yang lebih parah yang disebabkan oleh kombinasi
Streptomisin dan Etambutol. Kerusakan hati dapat obat yang terdapat pada OAT kategori 1 yaitu
diakibatkan oleh toksisitas langsung obat atau Pirazinamid, Isoniasid, dan Rifampisin mempunyai
metabolitnya atau sebagai tanggapan idiosinkrasi efek hepatotoksik.22 Hal yang sama terjadi pada
pada orang yang mempunyai gen khusus yang pasien baru TB ekstra paru yaitu pasien nomor 21
mempengaruhinya.23 bahwa penggunaan OAT kategori 1 seharusnya
Adapun jenis-jenis pasien TB dan kesesuaian dihentikan dan diganti dengan OAT Streptomisin dan
pengobatannya terhadap PPN dapat dilihat pada Etambutol.
Tabel 5. Untuk kasus TB on treatment hanya 1 pasien
yang mendapatkan terapi yang tidak sesuai. Pada
Tabel 5. Jenis pasien TB dan kesesuaian tanggal 17 pasien mendapatkan terapi OAT kategori
pengobatannya dengan standar PPN
1 fase lanjutan sampai tanggal 21, pada tanggal 22
Jumlah kesesuaian
No Jenis pasien
pengobatan pasien sampai tanggal 30 pasien mendapatkan pengobatan
Tidak tambahan yaitu Streptomisin, Etambutol, Isoniasid,
Sesuai sesuai dan Rifampisin bahwa seharusnya tidak diperlukan
1 Kasus baruTB paru 9 2
2 Kasus baru TB ekstra para 5 1
penambahan dari obat-obat ini. Penggunaan obat
3 TB on treatment 3 1 yang berlebih ini dapat meningkatnya toksisitas obat
4 TB putus obat 0 2 dan dapat menyebabkan terjadinya resistensi obat
Total 17 6 oleh M. tuberculosis. Untuk kasus pasien putus obat
contohnya, pasien mendapatkan terapi OAT kategori
Jumlah pasien TB yang mendapat pengobatan 1 fase intensif yang seharusnya mendapat OAT
sesuai untuk kasus baru TB paru yaitu 9 pasien, kategori 2, akan tetapi karena terjadi peningkatan
kasus baru TB ekstra paru yaitu 5 pasien, kasus TB kadar dari serum transaminase dalam hal ini yaitu
on treatment yaitu sebanyak 3 pasien dan semua nilai AST meningkat 5 kali dari kadar normal sehingga
kasus TB putus obat mendapatkan pengobatan yang pasien seharusnya mendapatkan OAT Stieptomisin
tidak sesuai. Sebagai contoh yaitu pasien nomor 7 dan Etambutol.22
yaitu dengan kasus TB on treatment bahwa dari
pertama diagnosis dan data laboratorium Kesesuaian dosis
menujukkan hepatitis sebagai akibat induksi obat.
Pasien yang sebelum masuk rumah sakit Tabel 6. Persentase kesesuaian dosis OAT
memperoleh pengobatan OAT kategori 1 dikarenakan Kesesuaian dosis Jumlah Persentase
terjadi hepatitis drug interaction terapi menggunakan Sesuai 14 60,9%
Tidak sesuai 2 8,7%
OAT kategori 1 ini dihentikan kemudian diganti Tidak teridentifikasi 7 30,4%
dengan menggunakan Streptomisin dan Etambutol Total 23 100%
104 z Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Dari 17 pasien yang mendapatkan OAT yang Pemberian dosis yang melebihi dosis dari rentang
sesuai, sebanyak 14 pasien (60,9%) yang terapetik dapat meningkatkan toksisitas obat.23
mendapatkan dosis terapi yang sesuai, sebanyak 2
pasien (8,7%) yang mendapatkan dosis terapi yang 6. Kajian interaksi obat
tidak sesuai dan sebanyak 7 pasien (30,4%) Kajian mengenai interaksi obat dalam terapi
dosisnya tidak bisa diidentifikasi karena tidak adanya pada pasien TB dengan infeksi HIV dilakukan dengan
data berat badan dari pasien dan kategori atau jenis melakukan suatu tinjauan menurut literatur Drug
pemberian obat yang salah. Interaction Facts.24
Pasien yang mendapatkan dosis yang sesuai Dari hasil penelitian, berdasarkan literatur Drug
yaitu pasien yang mendapatkan OAT dalam bentuk Interaction Facts diperoleh interaksi obat terjadi pada
kombinasi dosis tetap (KDT). Semua pasien yang 23 pasien rawat inap TB dengan infeksi HIV dengan
mendapatkan OAT KDT mendapatkan dosis 3 tablet 21 jenis interaksi obat dan 490 kejadian interaksi
4 KDT. Adapun masing-masing dosis kombinasi dari obat yang dapat dilihat pada lampiran 3 halaman
KDT yaitu 75 mg INH, 150 mg Rifampisin, 400 mg 76. Tingginya angka kejadian interaksi obat ini
Pirazinamid, 275 mg Etambutol. Penentuan dosis berkaitan dengan banyaknya obat yang dikonsumsi
terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan pasien akibat beragam penyakit yang muncul pada
rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS. Akan tetapi tidak
merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk semua interaksi obat bermakna secara klinis,
dalam batas dosis terapi dan non toksik.22 walaupun secara teoritis mungkin terjadi. Perubahan
Pasien yang mendapatkan dosis terapi yang efek obat akibat interaksi obat sangat bervariasi
tidak sesuai yaitu dua pasien. Pada pasien pertama diantara individu karena dipengaruhi oleh berbagai
pemberian jenis obat streptomisin, etambutol, faktor seperti dosis, kadar obat dalam darah, rute
isoniasid, dan rifampisin dosisnya berada di luar pemberian obat, metabolisme obat, durasi terapi dan
rentang terapetik dari dosis OAT yang karakteristik pasien seperti umur, jenis kelamin,
direkomendasikan. Pemberian dosis yang berada unsur genetik dan kondisi kesehatan pasien.
di bawah rentang terapetik tidak dapat memberikan Berikut ini merupakan interaksi obat
efek atau bahkan dapat menyebabkan resistensi dari berdasarkan tingkat signifikansi. yang mengacu pada
kuman M tuberculosis yang berakibat pada Drug Interaction Facts.
kegagalan pengobatan atau kekambuhan.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011 z 105
Novi Lisiana, dkk.: Studi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis
Tabel 7 menunjukkan tingkat signifikansi dari menurunankan kadar plasma dari flukonazol sehingga
interaksi obat yang terjadi berdasarkan literatur. mengurangi aktivitasnya sebagai antifungi.24 Dari data
Dengan mengetahui tingkat signifikasi interaksi obat yang ada tidak dilaporkan mengenai efek penurunan
dapat ditentukan prioritas dalam hal monitoring kadar flukonazol dalam darah.
pasien.24 Signifikansi interaksi ditinjau dari 3 raktor, Untuk signifikansi 3 efek dapat ditoleransi pada
yaitu onset (waktu yang dibutuhkan sehingga efek sebagian kasus yang dilaporkan. Penanganan
interaksi obat muncul), severity (keparahan yang khusus biasanya tidak dibutuhkan.24 Dari data
ditimbulkan oleh interaksi tersebut) dan dokumentasi interaksi obat yang diperoleh tidak terdapat interaksi
(jumlah dan kualitas literatur atau penelitian yang obat dengan tingkat signifikansi 3.
menerangkan interaksi tersebut).24 Jumlah jenis obat yang mengalami interaksi
Signifikansi interaksi obat menggunakan dengan tingkat signifikansi 4 yaitu 23 (16,7%) jenis
kisaran angka 1 hingga 5. Angka signifikansi 1,2,3 obat dengan jumlah pasien yaitu 5 pasien dan 24
menggambarkan kejadian interaksi akan jumlah kasus. Tingkat signifikansi 4 ini menunjukkan
mengakibatkan keparahan, kemungkinan efek yang dihasilkan dapat berbahaya dimana
mengancam jiwa dan data-datanya telah respons farmakologi dapat berubah sehingga
terdokumentasi dengan baik. Adapun angka diperlukan terapi tambahan akan tetapi interaksi obat
signifikansi 4 dan 5 menunjukkan tingkat keparahan belum pasti terjadi dengan data sangat terbatas.
rendah serta tidak didukung dengan data yang Interaksi yang paling banyak terjadi yaitu interaksi
memadai.24 Tingkat signifikansi 1 menunjukkan risiko antara etambutol dengan antasida dengan jumlah
yang ditimbulkan berpotensial mengancam individu kasus yaitu 20 kasus yang terjadi pada 3 pasien.
atau dapat mengakibatkan kerusakan yang Interaksi dari etambutol dengan antasida
permanen.24 Dari Tabel 7 dapat ditihat untuk tingkat menyebabkan penghambatan dan pengurangan
signifikansi 1 jumlah jenis obat yang berpotensi absorbsi etombutol oleh garam alumunium.24
mengalami interaksi yaitu 2 (11,1%) dengan jumlah Untuk tingkat signifikansi 5 efek dapat ditoleransi
pasien yaitu 28 pasien dan 139 jumlah kasus. Untuk dan penanganan khusus biasanya tidak dibutuhkan
tingkat signifikansi ini interaksi yang paling banyak Jumlah jenis obat yang mengalami interaksi dengan
terjadi yaitu interaksi antara riiampisin dengan tingkat signifikansi 5 yaitu 10 (55,6%) jenis obat
isoniasid dengan jumlah kasus yaitu 133 kasus yang dengan jumlah pasien yaitu 49 pasien dan 239 jumlah
terjadi pada 21 pasien. Banyaknya jumlah kasus kasus. Interaksi yang paling banyak terjadi yaitu
yang terjadi ini dikarenakan riiampisin dan isoniasid interaksi antara rifampisin dengan pirazinamid.
merupakan komponen mayor dari kombinasi OAT Mekanisme interaksi dari rifampisin dengan
yang diberikan pada pasien TB. Rifampisin dapat pirazinamid tidak diketahui akan tetapi interaksi ini
meningkatkan hepatotoksisitas dari INH, kombinasi dpat menyebabkan penurunan kadar serum dari
ini tidak menyebabkan hepatotoksitas pada sebagian rifampisin sehingga dapat mengurangi efek dari
besar penderita akan tetapi tetap diperlukan moni- rifampisin.24
toring hepatotoksisitas terutama bagi penderita
penyakit hati dan penderita dengan asetylator lambat KESIMPULAN DAN SARAN
untuk isoniasid. Dari 21 pasien yang teridentifikasi Pola penggunaan OAT pada pasien dengan
terdapat 4 pasien dengan interaksi aktual dan koinfeksi TB-HIV/AIDS didapatkan yaitu penggunaan
sisanya dengan interaksi potensial. OAT kategori 1 fase intensif dengan persentase 61,7%,
Untuk tingkat signifikansi 2, efek yang kemudian disusul dengan penggunaan kombinasi
ditimbulkan sedang, dapat menyebabkan kerusakan streptomisin dengan etambutol yaitu dengan
organ. Pengobatan tambahan, perawatan di rumah persentase 12%. Adapun penggunaan jenis OAT
sakit diperlukan.24 Jumlah jenis obat yang berpotensi isoniasid dan rifampisin mempunyai persentase
mengalami interaksi yaitu 6 (333%) dengan jumlah masing-masing yaitu 6%, sedangkan penggunaan OAT
pasien yaitu 23 pasien dan 90 jumlah kasus. Untuk kategori 1 fase lanjutan mempunyai persentase 3%.
tingkat signifikansi ini interaksi yang paling banyak Berdasarkan standar Pedoman Pengobatan
terjadi yaitu interaksi antara rifampisin dengan Nasional (PPN) tahun 2008 persentase pengobatan
flukonazol, dimana rifampisin dapat menginduksi yang sesuai yaitu 74% dan yang tidak sesuai yaitu
sitokrom P-450 khususnya tipe 3 A (CYP 3A) yang 26%. Persentase kesesuaian untuk dosis yaitu dosis
mengakibatkan turunnya kosentrasi serum obat- yang sesuai 60,9%, tidak sesuai yaitu 8,7% dan
obatan yang dimetabolisme deh isoenzim tersebut. persentase dosis yang tidak bisa diidentifikasi yaitu
Interaksi flukonazol dengan rifampisin dapat 30,4%.
106 z Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Interaksi obat terjadi pada ke-23 pasien TB-HIV/ 11. Murzalina C. Procalcitonin Pada Pasien Sepsis
AIDS dengan persentase jenis obat yang berinteraksi Yang Telah Mendapat Perawatan di Ruang
yaitu signifikansi 1 dengan persentase 11,1%, Rawat Intensif. Departeman Patologi Klinik
signifikansi 2 yaitu 33,3%, signifikansi 3 yaitu 0%, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
signifikansi 4 dengan persentase 16,7%, dan untuk Utara, Medan, 2007.
signifikansi 5 dengan persentase 55,6% 12. Ismiyati, Veri. Faktor Risiko Bakteremia Pada
Pasien Bangsal Infeksi Penyakit Dalam Disertai
KEPUSTAKAAN Pola Kuman dan Pola Kepekaan. Fakultas
1. Departemen Kesehatan RI. Kebijakan Nasional Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang,
Kolaborasi TB-HIV. 1st ed. Departemen 2006.
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta, 2007. 13. Gunawan SG. Famakologi dan Terapi Edisi 5.
2. Herryanto et al. Riwayat Pengobatan Penderita Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
TB Paru Meninggal di Kabupaten Bandung. Jakarta, 2006.
2002 Available at: http://www.ekologi.litbang. 14. Anonim a. PCP (Pneumonia Pneumocystis).
Departemen Kesehatan.go.id /data/voll%203/ Yayasan Spiritia, Jakarta, 2009.
Herryanto_l.pdf 15. Anonim b. Kotrimoksazol. Yayasan Spiritia,
3. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Jakarta, 2009.
Terapi Antiretroviral. Direktorat Jenderal 16. Oehadian, Amaylia. Aspek Hematologi
Pemberantasan Penyakit Menular dan Tuberkulosis. Fakultas Kedokteran Universitas
Penyehatan Lingkungan Departemen Padjajaran, Bandung, 2003.
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 2004. 17. Shulman et al. Dasar Biologis dan Klinis
4. Jankel CA, Speedie SM. Detecting Drug Penyakit Infeksi, Edisi IV Universitas Gadjah
Interactions: A Review of Literature. Ann Mada, Yogyakarta, 1994.
Pharmacother, 1990;24:982-9. 18. Hasibuan, Poppy Anjelisa Z. Pemantauan
5. Stanton LA, Peterson GM, Rumble RH, Cooper Efektivitas Terapi Gentamisin Dosis Berganda
GM, Polack AE. Drug-Related Admissions to Bolus Intra Venus Terhadap Infeksi Pada
an Australian Hospital. J. Clin Pharm Ther, Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Universitas
1994;19:341–7. Sumatera Utara, Medan, 2008.
6. Rahmawati F, R. Handayani, V. Gosal, Kajian 19. BPOM. Informatorium Obat nasional Indonesia,
Retrospektif Interaksi Obat di Rumah Sakit BPOM, Jakarta, 2008.
Pendidikan Dr. Sardjito Yogyakarta, Majalah 20. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional
Farmasi Indonesia, 2006;17(4):177-83. Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2".
7. Sinaga BJ. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
paru Basil Tahan Asam Positif Yang Mengalami Jakarta, 2007.
Drop Out di Balai Pengobatan Penyakit Paru- 21. Departemen Kesehatan RI. Pharmaceutical
Paru (BP4) Medan Tahun 2004-2008. Fakultas Care untuk Penyakit Tuberkulosis. Direktorat
Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat
Utara, Medan, 2009. Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
8. Hanum SYM. Hubungan Kadar CD4 Dengan Jakarta, 2005.
Infeksi Jamur Suferficialis pada Penderita HIV 22. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional
Di RSUP Hadam Malik Medan. Departemen Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Universitas Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. 2008.
Sumatera Utara, Sumatera, 2009. 23. Prihatni D, Ida P, Idaningroem S, Coriejati R.
9. Sudoyo AW, et al. Ilmu Penyakit Dalam. Efek Hepatotoksik Anti Tuberkulosis Terhadap
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kadar Aspartate Aminotransferase dan Alanine
Jakarta, 2007. Aminotransferase Serum Penderita
10. Agustriadi, Ommy, Sutha. Aspek Pulmonologis Tuberkulosis Paru. Laboratorium Patologi Klinik
Infeksi Oportunistik Pada Infeksi HIV/AIDS. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/RS.
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Hasan Sadikin Bandung, Bandung, 2005.
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP 24. Tatro D S. Drug Interaction Facts. 9th ed. Facts
Sanglah, Denpasar, 2008. and Comparisons. S t. Louis. 2001.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011 z 107