You are on page 1of 20

Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

KEDUDUKAN KEPONAKAN SEBAGAI AHLI WARIS PENGGANTI


DALAM SENGKETA WARIS MELAWAN ANAK ANGKAT
PENERIMA WASIAT WAJIBAH

Ika Febriasari1, Afdol2


1
Mahasiswa Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Narotama Surabaya
Jl. Arief Rahman Hakim 51 Surabaya
Email : ika.febriasari207@gmail.com
2
Dosen Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Narotama Surabaya
Jl. Arief Rahman Hakim 51 Surabaya
Email : afdol@narotama.ac.id

Abstract
Distribution of inheritance commonly stimulates the occurrence of dispute. The
disputeistypically caused by void of norm within the Compilation of Islamic Law concerning
distribution of rights in related to nephew/niece who becomes surrogate heir if there was
dispute with adopted child. The present study tries to elaborate further about position coupled
with inheritance rights of nephew/niece as surrogate heir and adopted child as the mandatory
heir. The method used in the present study is a normative legal research, namely legal
research which is conducted by examining the library materials or secondary law while in
finding and collecting the data is done by two approaches, namely the law and conceptual
approaches. The present study concludes that portion of adopted child is one-third from the
inheritance property. Meanwhile, the portion of nephew/niece as surrogate heir is based on
the position of the heir that is replaced. When the heir that replaced is Ashobah, therefore
surrogate heir will receive all the inheritance property if he/she is the only heir within the
family. Furthermore, he/she will receive remainder of inheritance property after all parts of
the inheritance property are given to Dzawil Furud. When he/she has the same position as
Dzawil Furudtherefore the inheritance property will be divided equally with the nephew/niece
as the surrogate heir.

Keywords : Inheritance, Will, Mandatory Will.

Abstrak
Pembagian waris seringkali menjadi awal timbulnya sengketa. Dalam pembagian waris
berdasarkan hukum Islam permasalahan pembagian waris dapat disebabkan kekosongan
norma dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang pembagian haknya seperti halnya pada
hak waris keponakan yang menjadi ahli waris pengganti jika terjadi sengketa dengan anak
angkat penerima wasiat wajibah. Penulisan penelitian ini akan menelaah dan menganalisa
lebih lanjut tentang kedudukan serta hak waris keponakan sebagai ahli waris pengganti dan
hak waris anak angkat penerima wasiat wajibah. Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau bahan hukum sekunder sedangkan dalam mencari dan mengumpulkan
data dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan undang-undang, pendekatan
konseptual dan pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak waris anak
angkat penerima wasiat wajibah adalah sejumlah sepertiga dari harta warisan pewaris. Hak
waris dari keponakan sebagai ahli waris pengganti didasarkan pada kedudukan ahli waris
yang digantikannya. Apabila yang digantikan adalah ahli waris Ashobah maka ahli waris

69
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

pengganti akan mendapatkan semua harta waris jika sebagai satu-satunya ahli waris dan
memperoleh sebesar sisa sesudah bagian-bagian harta waris diberikan kepada Dzawil Furud.
Apabila yang digantikan adalah ahli waris Dzawil Furud maka bagiannya adalah sama dengan
bagian yang diterima ahli waris yang digantikannya.

Kata Kunci : Waris, Wasiat, Wasiat Wajibah.

LATAR BELAKANG MASALAH keluarga telah mendapat kehidupan yang


Manusia sebagai subyek hukum yang layak, maka diharapkan anak-anaknya kelak
memiliki hak dan kewajiban serta memiliki mampu mempertahankan atau bahkan
kepentingan yang berbeda-beda. Perbedaan melebihi pencapaian dari kedua orang
kepentingan yang berbeda-beda antara tuanya. Sedemikian berartinya kehadiran
manusia yang satu dengan manusia yang anak dalam keluarga membuat banyak
lainnya seringkali menimbulkan konflik keluarga yang tidak bisa memiliki anak
dalam interaksi manusia itu sendiri. Konflik biologis memilih jalan untuk mengangkat
dalam kehidupan manusia dapat terjadi anak, baik dengan cara adopsi maupun tanpa
dalam segala hal termasuk pula dalam hal adopsi.
pewarisan. Adanya pengangkatan anak tidak
Pewarisan dimaknai sebagai serta merta membawa pengaruh hukum
pemindahan harta peninggalan dari orang terhadap status anak angkat khusnya dalam
yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. hal pewarisan. Pewarisan ditentukan melalui
Dalam hukum waris yang berlaku di adanya hubungan darah atau hubungan
Indonesia baik itu hukum waris perdata, perkawinan, sehingga apabila seorang anak
hukum waris islam maupun hukum waris bukan merupakan anak biologis yang
adat menempatkan anak-anak dari pewaris memiliki hubungan darah dengan pewaris
sebagai golongan ahli waris yang utama, maka anak tersebut tidak dapat mewarisi dari
dalam, arti sanak saudara yang lain tidak orang yang telah mengangkat anak tersebut.
menjadi ahli waris apabila pada saat Kondisi sebagaimana tersebut diatas
meninggal dunia pewaris memiliki anak- menjadi hal yang seringkali terjadi dalam
anak. kehidupan sehari-hari sehingga sebagai
Pentingnya kehadiran anak dalam solusinya diaturlah dalam Kompilasi Hukum
kehidupan manusia berkaitan dengan Islam (selanjutnya ditulis KHI), yaitu dalam
kelanjutan generasi dari suatu keluarga. Anak Pasal 209 ayat (2) KHI yang memberikan
diharapkan mampu menjadi penerus dari bagian kepada anak angkat melalui jalan
ayah ibunya terlebih jika dalam suatu pemberian "wasiat wajibah" dengan syarat

70
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga) bagian bagaimana kedudukan hak waris masing-
harta warisan orang tua angkatnya. masing pada saat terjadi sengketa waris yang
Meskipun wasiat wajibah telah diakibatkan oleh wasiat dari pewaris yang
menjadi sarana bagi anak angkat untuk dapat memberikan seluruh harta warisannya
menerima warisan, namun demikian haruslah kepada anak angkat melalui wasiat wajibah,
diperhatikan pula hak waris dari ahli waris serta bagian yang menjadi hak masing-
yang lain. Apabila seorang meninggal dunia masing.
tanpa meninggalkan ayah, anak dan
RUMUSAN MASALAH
janda/duda maka haruslah dilihat terlebih
Berdasarkan uraian tersebut diatas,
dahulu golongan ahli waris menurut
maka penelitian ini didasarkan atas
hubungan darah yang lain yaitu anak laki-
permasalahan sebagai berikut: Pertama,
laki dari saudara laki-laki pewaris dan kakek
bagaimana kedudukan hak waris keponakan
atau saudara perempuan dan nenek
sebagai ahli waris pengganti dan hak waris
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 174
anak angkat penerima wasiat wajibah?
ayat (1) KHI.
Kedua, bagaimana bagian hak waris
Dari gambaran tersebut diatas maka
keponakan dan bagian hak waris anak angkat
apabila pewaris meninggal dunia tanpa
penerima wasiat wajibah yang sesuai dengan
adanya ahli waris yaitu anak, duda/janda,
hukum waris islam?
ayah, ibu dan saudara sedarah, maka dalam
hal ini keponakan pewaris yang merupakan
METODE PENELITIAN
anak dari saudara perempuan atau saudara
Metode yang digunakan dalam
laki-laki termasuk menjadi ahli waris yang
penelitian ini adalah metode penelitian
menggantikan kedudukan dari orang tuanya.
yuridis normatif yang menekankan pada
Hal ini telah ditegaskan pula dalam Pasal 185
norma-norma hukum dengan menganalisa
ayat (1) KHI yang menyatakan bahwa ahli
peraturan perundang-undangan terkait.
waris yang meninggal terlebih dahulu
Dalam Penelitian ini peneliti menggunakan
daripada pewaris maka kedudukannya dapat
dua metode pendekatan masalah yaitu 1)
digantikan oleh anaknya.
Statute Approach, pendekatan dengan
Hak waris dari anak angkat penerima
menelaah semua peraturan perundang-
wasiat wajibah dan hak waris keponakan
undangan yang bersangkut paut dengan
pewaris tersebut menjadi pokok
permasalahan (isu hukum) yang sedang
permasalahan pewarisan yang akan dibahas
dihadapi. 2) Conseptual Approach, yaitu
dalam penelitian ini, khususnya terkait

71
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

pendekatan yang beranjak dari pandangan- dengan istilah Legitieme Portie 3 atau dalam
pandangan dan doktrin-doktrin yang KHI yang menentukan bahwa wasiat wajibah
berkembang di dalam ilmu hukum.1 maksimal adalah 1/3 dari harta kekayaan
pewaris.4
PEMBAHASAN
Ketentuan mengenai pewarisan di
Pewarisan Menurut Hukum Waris Islam
Indonesia bersifat plural. Secara umum
Pengertian pewarisan banyak
ketentuan mengenai pewarisan di Indonesia
dijelaskan dalam berbagai referensi yang
diatur dalam hukum waris perdata, hukum
pada intinya adalah menggantikan posisi dari
waris islam dan hukum waris adat.
orang yang meninggal dunia khususnya di
Abdulkadir Muhammad mendefinisikan
lingkup harta kekayaan. Berkaitan dengan
hukum waris sebagai segala peraturan hukum
hal ini H.F.A. Vollmar berpendapat bahwa
yang mengatur tentang beralihnya harta
pewarisan adalah penggantian orang yang
pewarisan dari pewaris karena kematian
mewariskan oleh para waris mengenai
kepada ahli waris atau orang yang ditunjuk.
hubungan-hubungan hukum harta kekayaan
Dari rumusan ini dapat diketahui unsur-unsur
yang bersifat pribadi saja.2
yang terdapat dalam pengertian hukum waris
Secara prinsip, seseorang yang
terdiri dari subjek hukum waris, peristiwa
memiliki hak atas suatu benda mempunyai
hukum waris, hubungan hukum waris, dan
kebebasan untuk melakukan segala macam
objek hukum waris.5
perbuatan hukum satas harta benda yang
Pendapat lain dikemukakan oleh A.
dimilikinya tersebut. Perbuatan yang
Pitlo sebagaimana dikutip oleh Sudikno
dilakukan oleh seseorang pemilik harta
Mertokusumo, yang berpendapat bahwa
kekayaan untuk melakukan segala perbuatan
hukum waris merupakan kumpulan peraturan
hukum terhadap harta benda miliknya hanya
yang mengatur hukum mengenai kekayaan
dibatasi oleh ketentuan Peraturan Perundang-
karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai
Undangan yang bertujuan untuk menjaga
pemindahan kekayaan yang ditinggalkan
kepentingan dari ahli waris pemilik harta
oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini
tersebut nantinya. Bentuk pembatasan itu
dapat dilihat antara lain dalam ketentuan 3
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyati,
Hukum Warisan Perdata Barat, Prenada Media,
dalam sistem kewarisan perdata disebut Jakarta, 2004, hlm.13.
4
Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam
Secara Adil, Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair,
1
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Surabaya, 2010, hlm. 85.
5
Kencana Prenada Media, Jakarta, 2010, hlm. 95-97. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata
2
H.F.A Vollmar, Pengantar Studi Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm.
Perdata, Rajawali, Jakarta, 1992, hlm. 375 267.

72
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

bagi orang-orang yang memperolehnya, baik peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan


dalam hubungan antara mereka dengan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris
mereka, maupun dalam hubungan antar dan berapa bagian masing-masing”.
6
mereka dengan pihak ketiga. Pendapat yang Pengertian tersebut difokuskan kepada ruang
dikemukakan Pitlo tersebut agak luas, karena lingkup hukum kewarisan Islam. Hukum
didalam pemindahan kekayaan itu tidak kewarisan ini hanya berlaku bagi orang
hanya hubungan antara ahli waris yang satu Islam. Ruang lingkupnya meliputi
dengan ahli waris lainnya, namun juga diatur pemindahan hak pemilikan, penentuan siapa-
tentang hubungan antara ahli waris dengan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
pihak ketiga. bagiannya masing-masing.
Hukum waris merupakan bidang Ketentuan dalam Pasal 171 huruf b
hukum yang sensitif atau rawan. Keadaan KHI menyatakan : “Pewaris adalah orang
inilah yang mengakibatkan sulitnya diadakan yang pada saat meninggalnya atau yang
unifikasi di bidang Hukum Waris. Unifikasi dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
yang menyeluruh dalam perkawinan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan
khususnya yang berkaitan dengan Hukum ahli waris dan harta peninggalan”. Dari
Waris di Indonesia hampir tidak mungkin ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa
7
dicapai Hal tersebut disebabkan dalam proses pewarisan terdapat 3 (tiga)
kemajemukan suku, adat dan agama yang ada unsur, yaitu 1) pewaris; 2) harta warisan,
di Indonesia yang mengakibatkan masing- dan; 3) ahli waris.
masing mempunyai hukum warisnya sendiri. Pewaris atau peninggal warisan
Khusus bagi umat islam, menegakkan adalah orang yang meninggal dunia dan
syariah adalah wajib hukumnya sehingga meninggalkan harta kekayaan pada orang
dalam hal hukum kewarisan umat islam yang masih hidup. Dalam pengertian ini
berpedoman pada KHI. unsur yang penting ialah unsur harta
Di dalam KHI telah diatur dan kekayaan dan unsur orang yang masih hidup.
dimasukkan pengertian Hukum Waris. Pasal Unsur meninggalnya orang tidak perlu
171 huruf a KHI menyatakan “Hukum dipersoalkan sebabnya.8
kewarisan adalah hukum yang mengatur Harta warisan adalah segala harta
tentang pemindahan hak pemilikan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris
setelah dikurangi dengan semua hutangnya.
6
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum :
Suatu Pengantar. Liberty, Yogyakarta, 2002, hlm.180. Harta warisan menjadi hak ahli waris.
7
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyati,
8
Op.Cit., hlm.4. Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 270.

73
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

Pengertian ini jelas bahwa pokok yang menjadi milik bersama ahli waris
permasalahan dalam pewarisan adalah hak disebut Boedel.10 Menurut Ali Afandi, harta
atas harta warisan bukan kewajiban warisan merupakan segala harta kekayaan
membayar hutang pewaris. Kewajiban yang ditinggalkan oleh pewaris yang berupa
membayar hutang pewaris tetap ada pada semua harta kekayaan dari pewaris setelah
pewaris, yang pelunasannya dilakukan oleh dikurangi dengan semua hutangnya. Harta
ahli waris dari harta kekayaan yang warisan sering disebut dengan warisan saja.
ditinggalkannya. Dalam pelunasan kewajiban Harta warisan tersebut menjadi hak ahli
pewaris termasuk pelunasan wasiat yang waris.11
ditetapkan oleh pewaris. Harta warisan Unsur terakhir dari pewarisan adalah
adalah harta kekayaan yang sudah bebas dari adanya ahli waris. Ahli waris adalah setiap
segala beban pewaris, yang menjadi hak ahli orang yang berhak atas harta peninggalan
waris.9 pewaris dan berkewajiban menyelesaikan
Ketentuan dalam KHI membedakan hutang-hutangnya. Hak dan kewajiban
antara harta peninggalan dan harta warisan, tersebut timbul setelah pewaris meninggal
yang diatur dalam Pasal 171 huruf d KHI dunia. Hak waris ini didasarkan pada
yang menyatakan bahwa harta peninggalan hubungan perkawinan, hubungan darah, dan
adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris surat wasiat, yang diatur dalam undang-
baik yang berupa harta benda yang menjadi undang.12 Pasal 171 huruf c KHI menyatakan
miliknya maupun hak-haknya. Selanjutnya bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat
dalam Pasal 171 huruf e KHI disebutkan pula meninggal dunia mempunyai hubungan
bahwa harta warisan adalah harta bawaan darah atau hubungan perkawinan dengan
ditambah bagian dari harta bersama setelah pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
digunakan untuk keperluan pewaris selama karena hukum untuk menjadi ahli waris.
sakit sampai meninggalnya, biaya Ahli Waris merupakan anggota
pengurusan jenazah, pembayaran utang, dan keluarga orang yang meninggal dunia yang
pemberian untuk kerabat. menggantikan kedudukan pewaris dalam
Harta warisan terdiri dari kekayaan bidang hukum kekayaan karena
yang berupa keseluruhan aktiva dan passiva meninggalnya pewaris. Dalam garis besarnya
yang ditinggalkan pewaris dan berpindah 10
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyati,
kepada para ahli waris. Keseluruhan Op.Cit., hlm.4.
11
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum
kekayaan yang berupa aktiva dan passiva Keluarga, Hukum Pembuktian, Bina Aksara,
Bandung, 1997, hlm.7.
9 12
Ibid., hlm. 292. Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 282.

74
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

ada dua kelompok orang yang layak untuk orang tua angkat hanya berkewajiban
disebut sebagai ahli waris. Kelompok pemberian biaya pemeliharaan untuk
pertama adalah orang atau orang-orang yang hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan
oleh hukum telah ditentukan sebagai ahli sebagainya. Sehingga anak angkat hanya
waris dan kelompok kedua adalah orang atau memperoleh hak atas kesejahteraan dari
orang-orang yang menjadi ahli waris karena orang tua angkat. Anak angkat tidak
pewaris dikala hidupnya melakukan mempunyai hak mewaris harta orang tua
perbuatan-perbuatan hukum tertentu, angkatnya. Selain itu pengangkatan anak
misalnya perbuatan hukum pengakuan anak, harus berdasarkan pada putusan pengadilan.
perbuatan hukum pengangkatan anak atau Rujukan lain yang dapat dijadikan
adopsi, dan perbuatan hukum lain yang dasar dalam pengangkatan anak berdasarkan
disebut testamen atau surat wasiat.13 hukum islam adalah fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI). MUI dalam Musyawarah
Anak Angkat Dalam Persepektif Hukum
Kerja Nasional yang diselenggarakan pada
Islam
bulan Maret 1984 memfatwakan sebagai
Pengangkatan anak umumnya
berikut : 15
dilakukan oleh berbagai kalangan dalam
a. Islam mengakui keturunan (nasab)
masyarakat guna memenuhi keinginan yang sah, ialah anak yang lahir dari
perkawinan ( pernikahan ).
manusia untuk menyalurkan kasih sayangnya
b. Mengangkat anak (adopsi) dengan
kepada anak yang dirasakan akan merupakan pengertian anak tersebut putus
14 hubungan nasab dengan ayah dan ibu
kelanjutan hidupnya. Hukum Islam
kandungnya adalah bertentangan
mengatur mengenai pengangkatan anak, dengan syari’at Islam.
c. Adapun pengangkatan anak dengan
yaitu dalam Pasal 171 huruf h KHI, yang
tidak mengubah status nasab nasab
menyatakan : “Anak angkat adalah anak dan agamanya, dilakukan atas rasa
tanggung jawab sosial untuk
dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya
memelihara mengasuh, dan mendidik
sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagai mereka dengan penuh kasih sayang,
seperti anak sendiri adalah perbuatan
beralih tanggung jawabnya dari orang tua
terpuji dan termasuk amal saleh yang
asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan dianjurkan oleh agama Islam.
d. Pengangkatan anak Indonesia oleh
putusan pengadilan”. Hal ini berarti agama
Warga Negara Asing selain
Islam mengenal pengangkatan anak, namun bertentangan UUD 1945 Pasal 34,
juga merendahkan martabat bangsa.
13
Ibid
14 15
Ahmad Azhar Basyir,cKawin Campur, Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan
Adopsi, Wasiat Menurut Islam, Al-Maa’rif, Bandung, Haji Depag RI, 2003, Himpunan Fatwa Mejelis
1972, hlm. 19. Ulama Indonesia, tnp, Jakarta, hlm. 178.

75
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

Hal tersebut di atas dapat maka pengangkatan anak didalam hukum


menjelaskan bahwa dalam hukum Islam Islam tidak perlu dilakukan tindakan hukum
dikenal adanya pengangkatan anak, namun yang mengesahkan pengangkatan anak
dari pengangkatan anak tersebut tidak tersebut.
mengakibatkan putusnya hubungan nasab Untuk landasan hukum
dari anak yang telah diangkat tadi dengan praktik penerimaan memeriksa dan
ayah dan ibu kandungnya. Pengangkatan mengadili serta menyelesaikan perkara
anak tidaklah mengubah status nasab nasab permohonan pengangkatan anak berdasarkan
dan agamanya. Selain itu dalam semangat Hukum Islam oleh Pengadilan
pengangkatan anak haruslah dilakukan atas Agama, serta merespons kuat dan aspirasi
rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara masyarakat muslim Indonesia untuk
mengasuh, dan mendidik mereka dengan mengangkat anak yang sesuai dengan nilai-
penuh kasih sayang, seperti anak sendiri nilai hukum Islam, maka Undang-Undang
adalah perbuatan terpuji dan termasuk amal Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
saleh yang dianjurkan oleh agama Islam. Kedua Atas Undang-Undang nomor 7 Tahun
Di dalam hukum Islam, mengenal 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam
pengangkatan anak, namun tidak menjadikan Penjelasan Pasal 49 dinyatakan bahwa
anak angkat masuk dalam lingkup keluarga Pengadilan Agama berwenang untuk
orang tua angkatnya, karena tidak ada menerima, memeriksa dan mengadili serta
hubungan nasab, sehingga antara orang tua menyelesaikan perkara ’’asal usul anak dan
angkat dengan anak angkat harus menjaga pengangkatan anak berdasarkan Hukum
mahramnya. Pengangkatan anak Islam’’. Produk hukum Pengadilan Agama
dimaksudkan untuk peningkatan tentang Pengangkatan Anak yang dilakukan
kesejahteraan anak, jadi orang tua angkat berdasarkan hukum Islam juga berbentuk ’’
hanya berkewajiban pemberian biaya Penetapan’’.
pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, Justifikasi terhadap anak angkat
biaya pendidikan, dan sebagainya. Sehingga dalam Hukum Islam tidak menjadikan anak
anak angkat hanya memperoleh hak atas angkat itu sebagai anak kandung atau anak
kesejahteraan dari orang tua angkat. yang dipersamakan hak-hak dan
Anak angkat tidak mempunyai hak kewajibannya seperti anak kandung dari
mewaris harta orang tua angkatnya. Oleh orang tua angkatnya, hubungan hukum antara
karena tidak terjadi peralihan kekuasaan dari anak angkat dengan orang tua angkatnya
orang tua kandung kepada orang tua angkat, seperti hubungan anak asuh dan orang tua

76
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

asuh yang diperluas, maka akta kelahiran Di dalam hukum Islam


anak angkat tersebut tidak gugur atau hapus mengenal pengangkatan anak dan dibuktikan
dengan sendirinya setelah ditetapkannya dengan penetapan pengadilan agar mendapat
Penetapan Pengangkatan Anak oleh suatu kepastian hukum. Meskipun demikian
Pengadilan Agama. Konsekwensi logisnya dalam hal pewarisan, sebagaimana
tidak perlu pencatatan anak angkat yang disebutkan dalam Pasal 174 KHI, tidak ada
ditetapkan berdasarkan Hukum Islam oleh penyebutan bahwa anak angkat sebagai ahli
orang tua angkatnya ke Kantor Catatan waris. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
Sipil.16 hukum Islam anak angkat bukan sebagai ahli
Perihal keabsahan waris karena tidak mempunyai hubungan
pengangkatan anak dalam hukum Islam, di darah dengan pewaris. Meskipun demikian
mana tujuan pengangkatan anak melalui sebagaimana merujuk pada ketentuan Pasal
lembaga pengadilan adalah untuk 209 ayat (2) KHI, bahwa terhadap anak
memperoleh kepastian hukum, keadilan angkat yang tidak menerima wasiat diberi
hukum, legalisasi hukum dan dokumen wasiat wajibah.
hukum. Dokumen hukum yang menyatakan
Kedudukan Ahli Waris Mawali Dalam
bahwa telah terjadi pengangkatan secara
Hukum Islam
legal sangat penting dalam hukum keluarga,
Setiap makhluk pasti mengalami
karena akibat hukum dari pengangkatan anak
kematian dan tidak tiada seorangpun yang
tersebut akan berdampak jauh ke depan
mengetahui kapan dia mati karena waktu
sampai beberapa generasi keturunan yang
kematian merupakan salah satu yang
mengangkut aspek hukum kewajiban,
dirahasiakan Allah. Bagi umat islam
tanggung jawab hukum dan lain-lain.17 Hal
kematian bukan akhir kehidupan karena
ini berarti bahwa penetapan hakim dalam
kehidupan itu abadi. Dalam hidupnya
pengangkatan anak secara Islam untuk
manusia akan menempuh 4 (empat) alam ,
mendapatkan kepastian hukum kelak di
yaitu alam rahim, alam dunia, alam kubur
kemudian hari yang menyangkut masalah
dan alam akhirat, sehingga sebuah kematian
kewarisan, tanggung jawab hukum dan lain-
hanya merupakan akhir dari alam dunia dan
lain. Pengangkatan anak melalui penetapan
merupakan dari alam akhirat.18
hakim adalah salah satu dokumen hukum
yang sangat penting.
18
H.R. Otje Salman dan Mustofa Haffas,
16
Ibid, hlm. 52. Hukum Waris Islam, Refika Aditama, Bandung, 2001,
17
Ibid., hlm. 53. hlm. 1.

77
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

Berakhirnya kehidupan manusia di dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 1 Tahun


alam dunia dengan kematiannya membawa 1974, yaitu perkawinan yang dilangsungkan
keterkaitan terhadap harta yang dimilikinya. menurut hukum agamanya atau
Harta beserta segala hak dan kewajibannya kepercayaannya dan dicatatkan sesuai
akan beralih kepada ahli warisnya dengan peraturan perundang-undangan.
berdasarkan hukum kewarisan. Di dalam Mengenai nazab terdiri atas 3 (tiga)
hukum Islam sebab-sebab seseorang macam, yaitu : 1) Furu, adalah nazab
menerima warisan ada empat sebab, yaitu: berdasarkan keturunan pewaris, misalnya
a. Hubungan darah (nasab), yaitu anak dan cucu;`2) Ushul, adalah nasab
keluarga terdekat dan masih
berdasarkan kerabat pewaris dalam garis
mempunyai kesatuan dalam sedarah
secara turun-temurun baik laki-laki lurus ke atas, misalnya bapak, ibu dan kakek,
maupun perempuan.
dan; 3) Hawasyi, adalah nasab berdasarkan
b. Perkawinan yang sah menurut hukum
Islam, yaitu suatu perkawinan yang kerabat pewaris dalam garis ke samping,
sah menurut hukum Islam kalau
misalnya saudara, paman, dan kemenakan.20
memenuhi rukun-rukun dan syarat-
syarat yang diperlukan dalam Di dalam KHI pada dasarnya terdapat
perkawinan itu.
3 (tiga) macam golongan ahli waris, yaitu:
c. Pemberi kemerdekaan kepada hamba
(budak belian), yaitu perbudakan 1. Dzawil Furud, sebagaimana yang disebut
merupakan suatu pemerasan tenaga, dalam Pasal 192 KHI. Ahli waris ini
pikiran dan hak orang lain. antara lain : ayah, ibu, janda, duda, anak
d. Hubungan kesamaan agama Islam, perempuan. Bagian warisan mereka
yaitu kalau terjadi peristiwa hukum masing-masing sudah ditentukan menurut
kematian, tetapi yang meninggal itu Alqur’an dan Sunnah Nabi Muhammad
tidak mempunyai keturunan dalam SAW.
hubungan nasab berarti nasib harta 2. Ashabah, disebut dalam pasal 193 KHI,
warisan yang ditinggalkan tidak dapat ahli waris ini antara lain : anak-anak laki-
dilanjutkan kepemilikannya kepada laki, baik sendiri maupun bersama-sama
yang berhak.19 anak perempuan, dan kalau tidak ada anak
laki-laki maka ayah sebagai Ashbah. Ahli
Ahli waris yang mempunyai waris Ashabah mendapat semua harta
waris ketika ia sebagai satu-satunya ahli
hubungan darah dengan pewaris yang berarti waris, dan memperoleh sebesar sisa
terdapat hubungan yang dekat dengan sesudah bagian-bagian harta waris
diberikan kepada Dzawil Furud.
pewaris. Termasuk ahli waris adalah adanya 3. Mawali atau ahli waris pengganti, terdapat
hubungan perkawinan dengan pewaris, di dalam pasal 185 KHI. Ahli waris
pengganti adalah ahli waris yang
tentunya perkawinan yang sah sebagaimana menggantikan seseorang untuk

19 20
Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Amir Hamzah dan Rachmad Budiono,
Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum, Hukum Kewarisan dalam kompilasi HukumIslam,
Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 113-115. IKIP Malang, 1994, hlm. 6.

78
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

memperoleh bagian warisan yang tidinya ahli waris asabah lain, seperti anak
akan diperoleh oleh orang yang digantikan perempuan ditarik menjadi ahli
itu seandainya ia masih hidup. Orang yang waris asabah oleh anak laki-laki,
digantikan itu ialah penghubung antara cucu perempuan ditarik menjadi
ahli waris pengganti dengan pewaris.21 ahli waris asabah oleh cucu laki-
laki, saudara perempuan kandung
Selain hal tersebut di atas Ahmad
atau seayah ditarik menjadi ahli
Azhar Basyir mengenal adanya 3 (tiga) waris asabah oleh saudara laki-laki
kandung atau seayah dan
macam ahli waris, yaitu:
sebagainya. Ahli waris asabah
(1) Ahli waris yang memperoleh bagian semacam ini disebut asabah
tertentu menurut Al Quran atau bilghairi.
Sunnah Rosul disebut ahli waris (3) Ahli waris yang mempunyai
Dzawil Furud. Macam-macam ahli hubungan famili dengan pewaris,
waris Dzawil Furud yaitu: Suami, tetapi termasuk golongan ahli waris
isteri, ayah, ibu, anak perempuan, Dzawil Furud dan asabah disebut ahli
cucu perempuan (dari anak laki-laki), waris dzawil arham. Yang masuk ahli
saudara perempuan kandung, saudara waris dzawil arham ialah:
perempuan seayah, saudara laki-laki a. cucu laki-laki atau perempuan,
dan perempuan seibu, nenek dan anak dari perempuan;
b. kemenakan laki-laki atau
kakek;
perempuan, anak dari saudara
(2) Ahli waris yang ditentukan perempuan kandung seayah atau
bagiannya, tetapi akan menerima seibu;
seluruh harta warisan jika tidak ada c. saudara sepupu perempuan, anak
ahli waris Dzawil Furud sama sekali. perempuan dari saudara laki-laki
Jika ada ahli waris Dzawil Furud, ia kandung atau seayah;
d. saudara sepupu perempuan, anak
berhak atas sisanya dan apabila tidak
perempuan paman (saudara laki-
ada sisa sama sekali ia tidak laki ayah);
mendapat bagian apapun disebut ahli e. paman seibu (paman laki-laki ayah
waris asabah. Ahli waris asabah ada 2 seibu);
(dua) macam, yaitu: f. paman, saudara laki-laki ibu;
a. yang berkedudukan ahli waris g. bibi, saudara perempuan ayah;
asabah dengan sendirinya, tidak h. bibi, saudara perempuan ibu;
karena ditarik oleh ahli waris i. kakek, ayah ibu;
asabah lain atau tidak karena j. nenek buyut, ibu kakek
bersama-sama dengan ahli waris k. kemenakan seibu, anak-anak
lain, seperti anak laki-laki, cucu saudara laki-laki seibu.22
laki-laki (dari anak laki-laki), Dari macam-macam golongan ahli
saudara laki-laki kandung atau waris sebagaimana telah disebutkan diatas
seayah, paman dan sebagainya.
Ahli waris asabah ini disebut salah satunya adalah ahli waris mawali. Ahli
asabah bin nafsi; waris mawali adalah ahli waris pengganti,
b. yang berkedudukan sebagai ahli
waris asabah karena ditarik oleh
22
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam,
21
Afdol, Op. Cit., hlm. 75. UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm.. 25-27.

79
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

yaitu ahli waris yang kedudukannya lisan maupun tertulis. 24 Sedangkan menurut
menggantikan hak waris dari penerima hak Sayuti Thalib, wasiat merupakan nasihat-
waris yang telah terlebih dahulu meninggal nasihat atau kata-kata bik yang disampaikan
dunia. Orang yang digantikan ini hendaklah seseorang kepada dan untuk orang lain, yang
merupakan penghubung antara ia yang berupa kehendak orang yang berwasiat itu
menggantikan dengan dengan pewaris yang untuk dikerjakan terutama nanti sesudah ia
meninggalkan harta peninggalan.23 meninggal dunia.25
Ahli waris mawali ini adalah Dari beberapa pengertian tentang
keturunan dari pewaris, keturunan saudara wasiat apabila dipahami secara mendalam
pewaris (keponakan) atau keturunan orang tidak terdapat perbedaan subtansial secara
yang mengadakan perjanjian mewaris dengan prinsip, akan tetapi saling melengkapi antara
pewaris. Kedudukan ahli waris mawali ini yang satu dengan yang lainnya. Apabila
hanya akan ada jika ahli waris yang pengertian wasiat diuraikan maka akan
seharusnya menerima warisan telah terdapat beberapa unsur, antara lain
meninggal dahulu. Dalam hal ahli waris :Pertama, wasiat itu merupakan bentuk
mawali ini adalah keponakan maka hak perikatan yang berkaitan dengan harta benda
warisnya baru terbuka jika pewaris tidak atau manfaatnya. Kedua, wasiat itu perbuatan
memiliki ahli waris dalam garis lurus keatas yang dilakukan atas inisiatif atau kehendak
dan kebawah. sendiri secara sukarela. Ketiga, adanya
perpindahan hak kepemilikan dari orang
Kedudukan Wasiat Wajibah Dalam
yang berwasiat kepada yang menerima
Hukum Waris Islam
wasiat. Keempat, pelaksanaan perpindahan
Secara etimologi wasiat didefinisikan
hak kepemilikan terjadi setelah matinya
sebagai pesan terakhir yang disampaikan
orang yang berwasiat.26
oleh orang yang akan meninggal, biasanya
Dari pengertian sebagaimana telah
berkenaan dengan harta kekayaan dan
diuraikan diatas, wasiat mengandung
sebagainya. Abdul Ghofur Anshori
pengertian sebagai pernyataan kehendak oleh
mendefinisikan wasiat sebagai pemberian
seseorang mengenai apa yang dilakukan
hak secara sukarela yang dikaitkan dengan
terhadap hartanya sesudah meninggal kelak,
keadaan setelah mati, baik diucapkan secara
24
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian
Islam Di Indonesia, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2001, hlm. 178.
23 25
Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Sayuti Thalib, Op. Cit., hlm. 127.
26
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 103. Ibid.

80
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

akan tetapi pelaksanaan wasiat itu harus bergantung kepada kemauan atau kehendak
tunduk kepada beberapa syarat dan ketentuan si yang meninggal dunia.30
yang harus dipenuhi. Secara teori, wasiat wajibah
Hukum islam telah mengatur bahwa didefinisikan sebagai tindakan yang
hanya ada dua jalur untuk menjadi ahli waris dilakukan penguasa atau hakim sebagai
yaitu adanya hubungan darah atau keturunan aparat negara untuk memaksa atau memberi
dan adanya hubungan perkawinan. Selain putusan wajib wasiat bagi orang yang telah
kedua jalur tersebut dimungkinkan untuk meninggal dunia yang diberikan kepada
menjadi ahli waris lainnya melalui wasiat orang tertentudalam keadaan
31
wajibah. Menurut Otje Salman dan Mustofa tertentu. Lembaga Wasiat Wajibah dikenal
Haffas, “wasiat wajibah adalah suatu wasiat dalam sistem hukum kewarisan Islam di
yang tidak dibuat tetapi diduga keras akan Indonesia melalui ketentuan di dalam KHI.
dibuat sekiranya si mati masih Bentuk kaidah hukum yang digunakan oleh
hidup”. 27 Wasiat wajibah ini dapat menjadi para hakim dalam menentukan pemberian
dasar bagi seseorang yang sebenarnya Wasiat Wajibah adalah menggunakan kaidah
terhalang menjadi ahli waris untuk wasiat umum sebagaimana yang ditentukan
mendapatkan hak waris dalam KHI.32
Wasiat wajibah merupakan kebijakan Penerapan kaidah wasiat yang diatur
penguasa yang bersifat memaksa untuk KHIdilakukandengan 2 (dua) alasan, yaitu
memberikan wasiat kepada orang tertentu alasan pertamaadalah untuk mengisi
dalam keadaan tertentu.28Wasiat wajib adalah kekosongan hukum.Argumentasi ini
suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli dibangun atas dasar bahwa Wasiat Wajibah
waris atau kerabat yang tidak memperoleh merupakan sistem pemberian wasiat yang
bagian harta warisan dari orang yang wafat, diatur oleh negara dan memiliki dasar hukum
karena adanya suatu halangan melalui KHI, namun di saat yang sama KHI
syara’. 29 Wasiat wajib sebagai wasiat yang
pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak 30
Suparman, e.all., Fiqih Mawaris (Hukum
Kewarisan Islam), Gaya Media Pratama, Jakarta,
1997, hlm. 163.
31
Abdul Manan, Beberapa Masalah Hukum
Tentang Wasiat Dan Permasalahannya Dalam Konteks
27
Otje Salman dan Mustofa Haffas, Op. Cit, Kewenangan Peradilan Agama, Jurnal Mimbar
hlm. 68. Hukum : Aktualisasi Hukum Islam, Nomor 38 Tahun
28
Fathur Rahman, Ilmu Waris, Bulan IX, 1998, hlm. 23.
32
Bintang, Jakarta, 1979, hlm. 63. Achmad Rustandi & Muchjidin Effendi,
29
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Komentar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989,
Islam, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000, hlm. Tentang Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum
1930. Islam, Nusantara Press, Jakarta, 1991, hlm. 46.

81
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

tidak mengatur secara rinci tentang Wasiat wasiat adalah paling banyak sepertiga dari
Wajibah itu sendiri. Untuk mengatasi hal harta warisan, dengan pengecualian dapat
tersebut, maka hakim menggunakan aturan diberikan lebih melalui persetujuan para ahli
wasiat secara umum sebagai dasar putusan waris lainnya.
pemberian Wasiat Wajibah. Alasan yang Menurut Sayuti Thalib, apabila terjadi
kedua terkait penerapan kaidah hukum wasiat adanya wasiat wajibah yang melebihi jumlah
pada Wasiat Wajibah adalah demi untuk sepertiga bagian dari harta peninggalan,
mewujudkan rasa keadilan bagi maka dapat diselesaikan dengan dua cara,
masyarakat.33 Pertama, dikurangi sampai dengan batas
Kaidah hukum wasiat umum yang sepertiga harta peninggalan. Kedua, diminta
berlaku pada Wasiat Wajibah adalah kesediaan semua ahli waris yang pada saat
ketentuan tahapan yang harus dilalui sebelum itu berhak menerima waris, apakah mereka
dilakukan pembagian wasiat sebagaimana mengikhlaskan kelebihan wasiat atas
yang diatur dalam Al Qur’an surat An Nisa sepertiga harta peninggalan itu. Apabila
ayat 11 dan 12 serta Pasal 175 ayat (1) KHI. mereka mengikhlaskannya, maka halal dan
Ketentuan tersebut mengatur bahwa harta ibahah hukumnya pemberian wasiat yang
peninggalan pewaris harus terlebih dahulu melebihi sepertiga harta peninggalan itu.34
dikurangi dengan biaya pengurusan jenazah Sebagian dari ahli faraidh umumnya
pewaris, biaya pengobatan, dan hutang- berpendapat bahwa wasiat wajibah diberikan
hutang Pewaris. Selanjutnya barulah terbatas kepada cucu pewaris yang orang
ditunaikan wasiat dari Pewaris apabila tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu
pewaris meninggalkan wasiat atau dalam dan mereka tidak mendapatkan bagian harta
bentuk wasiat wajibah. warisan disebabkan kedudukannya sebagai
Hal penting untuk dicermati dzawil arham atau terhijab oleh ahli waris
mengenai penerapan kaidah wasiat umum lain. 35 Ibn Hazm dalam hal ini berpendapat
terhadap Wasiat Wajibah adalah penentuan “Diwajibkan atas setiap muslim untuk
bagian bagi penerima wasiat. Pada dasarnya, berwasiat bagi kerabatnya yang tidak
bila melihat pada ketentuan mengenai wasiat mewarisi disebabkan adanya perbudakan,
di dalam KHI, besar bagian yang adanya kekufuran (Non-Muslim), karena
diperbolehkan untuk diberikan melalui terhijab atau karena tidak mendapat warisan

34
Sayuti Thalib, Op. Cit, hlm. 134.
33 35
Nugraheni, Ilhami, &Harahap, “Pengaturan Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum
Dan Implementasi Wasiat Wajibah”, Jurnal Mimbar Kewarisan Islam, Syafi’i , Hazairin dan HKI, Romeo
Hukum, Volume 22, Nomor 2, Juni 2010, hlm. 316. Grafika, Pontianak, 2006, hlm. 98.

82
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

(karena bukan ahli waris), maka hendaknya (ukuran harta) wasiat wajibah bagi setiap
ia berwasiat untuk mereka serelanya, dalam kerabat, tetapi beliau sendiri telah sepakat
hal ini tidak ada batasan tertentu. Apabila ia bahwa wasiat wajibah tidak boleh melebihi
tidak berwasiat (bagi mereka), maka tidak dan 1/3 harta untuk keseluruhannya. Apabila
boleh tidak ahli waris atau wali yang kerabat yang tidak mewarisi banyak, maka
mengurus wasiat untuk memberikan wasiat tiga orang kerabat yang diberi wasiat wajibah
tersebut kepada mereka (kerabat) menurut sudah dianggap memadai, sebagaimana
kepatutan.” 36 dalam kutipan di atas.
Dari uraian Ibn Hazm di atas tampak
Bagian Hak Waris Keponakan Dan Anak
jelas bahwa mereka yang tidak mewaris
Angkat Penerima Wasiat Wajibah
karena bukan sebagai ahli waris seperti
Pembagian waris seringkali berujung
halnya anak angkat dapat diberi wasiat
pada terjadinya sengketa akibat adanya
wajibah. Apabila seorang Muslim sewaktu
ketidakpuasan terhadap pembagian yang
hidupnya tidak berwasiat, maka ahli waris
diterima. Sengketa tersebut masih sering
atau wali yang mengurus wasiat harus
terjadi meskipun telah ada hukum yang
melaksakan wasiat tersebut. Dengan
mengatur tentang hak waris. Pada suatu
demikian kewajiban berwasiat tidak hanya
aturan hukum waris yang secara eksplisit
bersifat diyani akan tetapi juga bersifat
telah disebutkan saja masih sering
qodloi, artinya tidak hanya sebagai tanggung
melahirkan permasalahan, sehingga untuk
jawab seseorang dalam melaksanakan
ketentuan waris yang hanya implisit akan
perintah agama (berwasiat) akan tetapi juga
cenderung berpotensi menimbulkan
dapat dipaksakan apabila ia lalai
permasalahan di kemudian hari. Sebuah
melaksanakannya karena sudah menyangkut
contoh perkara waris yang terjadi dan
kepentingan masyarakat.37
menjadi pembahasan dalam penelitian ini
Adapun yang dimaksud kerabat
adalah sengketa waris yang timbul akibat
menurut Ibnu Hazm adalah semua keturunan
adanya perselisihan mengenai pembagian
yang memiliki hubungan nasab dengan ayah
waris antara keponakan dengan anak angkat
dan Ibu sampai terus ke bawah, maksudnya
penerima wasiat wajibah.
sampai ke cucu dan seterusnya. Sekalipun
Mengenai bagian dari anak angkat
Ibnu Hazm tidak menentukan batasan
penerima wasiat wajibah telah jelas
36
H.M Hasballah Thaib, Iman Jauhari, Kapita disebutkan dalam Pasal 209 ayat (2) KHI
Selekta Hukum Islam, Pustaka Bangsa Press Medan,
2004, hlm.169. yang menyatakan bahwa terhadap anak
37
Ibid.

83
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

angkat yang tidak menerima wasiat wajibah yang digantikan. Kedua, keponakan yang
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan menjadi ahli waris pengganti laki-laki atau
orang tua angkatnya. Ketentuan mengenai perempuan. Dari hal yang menjadi penentu
sebanyak-banyaknya 1/3 bagian dari harta bagian waris tersebut diatas akan dapat
warisan tersebut dapat disimpangi jika ahli diketahui bagian keponakan sebagai ahli
waris yang lain menyatakan secara tegas waris pengganti, yaitu :
ikhlas menerima adanya bagian wasiat 1. Apabila ahli waris yang digantikan
wajibah yang melebihi 1/3 bagian tersebut. adalah saudara perempuan pewaris
Namun apabila ahli waris yang lain tidak maka yang menjadi bagian dari
menerima maka pembagian tersebut hanya keponakan adalah ½ bagian. Hal ini
boleh dilakukan sesuai dengan ketentuan merujuk pada ketentuan Pasal 182
yang ada. KHI.
Pada bagian lain mengenai bagian 2. Apabila ahli waris yang digantikan
keponakan tidak disebutkan dalam KHI. Hal adalah saudara laki-laki pewaris,
ini disebabkan karena keponakan bukan maka akan kedudukan keponakan
merupakan ahli waris karena terhijab oleh sebagai ahli waris adalah:
kedudukan orang tuanya, yang juga terhijab a. Apabila keponakan yang
apabila masih ada anak atau orang tua dari menjadi ahli waris pengganti
pewaris. Keponakan hanya dapat menjadi adalah perempuan, maka
ahli waris jika sudah tidak ada ahli waris bagiannya adalah ½ bagian
lainnya. Kondisi ini dapat terjadi jika pewaris jika ia mewaris sendiri atau
pada saat meninggal tidak memiliki anak, 2/3 bagian jika ia mewaris
istri dan orang tuanyapun telah meninggal bersama-sama saudara
dunia terlebih dahulu. perempuan lainnya.
Untuk mengetahui bagian waris Kedudukan keponakan
darikeponakan sebagai ahli waris pengganti perempuan yang menjadi ahli
harus terlebih dahulu memperhatikan dua waris pengganti tidak boleh
hal, yaitu : Pertama, kedudukan ahli waris melebihi bagian dari bagian
yang digantikan dan bagian dari ahli waris saudara perempuan pewaris.
yang digantikannya. Hal ini berdasarkan b. Apabila keponakan yang
ketentuan Pasal 185 ayat (2) KHI yang menjadi ahli waris pengganti
menyatakan bagian dari ahli waris pengganti adalah laki-laki, maka ia akan
tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris menjadi ahli waris ashobah,

84
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

yang bagiannya menghabiskan adanya bagian wasiat wajibah yang melebihi


sisa bagian setelah dikurangi 1/3 bagian tersebut.
dengan 1/3 bagian yang telah Bagian keponakan sebagai ahli waris
diberikan kepada anak angkat pengganti disesuaikan dengan 4 (empat)
pewaris melalui wasiat kondisi, yaitu : Pertama, apabila ahli waris
wajibah. yang digantikan adalah saudara perempuan
c. Apabila keponakan yang pewaris maka yang menjadi bagian dari
menjadi ahli waris tersebut keponakan adalah ½ bagian. Hal ini merujuk
adalah keponakan laki-laki pada ketentuan Pasal 182 KHI. Kedua,
bersama saudara apabila ahli waris yang digantikan adalah
perempuannya, maka saudara laki-laki pewaris, maka kedudukan
bersama-sama akan menjadi keponakan sebagai ahli waris apabila ia
ahli waris ashobah yang keponakan perempuan, maka bagiannya
bagiannya ditentukan dua adalah ½ bagian jika ia mewaris sendiri atau
banding satu. 2/3 bagian jika ia mewaris bersama-sama
saudara perempuan lainnya. Ketiga, apabila
Dari pembagian hak waris anak
ahli waris yang digantikan adalah saudara
angkat penerima wasiat wajibah dengan
laki-laki pewaris maka kedudukan
keponakan sebagai ahli waris pengganti
keponakan yang menjadi ahli waris
tersebut, apabila keponakan yang menjadi
pengganti apabila keponakan tersebut laki-
ahli waris pengganti adalah keponakan
laki, maka ia akan menjadi ahli waris
perempuan maka masih akan ada sisa bagian
ashobah, yang bagiannya menghabiskan sisa
waris yang belum terbagi. Sisa bagian waris
bagian harta warisan. Keempat, apabila ahli
yang belum terbagi habis tersebut dapat
waris yang digantikan adalah saudara laki-
dibagi lagi dengan cara aul dan rad.
laki pewaris maka kedudukan keponakan
PENUTUP yang menjadi ahli waris pengganti apabila
Bagian dari anak angkat penerima terdapat keponakan laki-laki bersama saudara
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari perempuannya, maka bersama-sama akan
harta warisan orang tua angkatnya. menjadi ahli waris ashobah yang bagiannya
Ketentuan mengenai sebanyak-banyaknya ditentukan dua banding satu.
1/3 bagian dari harta warisan tersebut dapat
disimpangi jika ahli waris yang lain
menyatakan secara tegas ikhlas menerima

85
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

DAFTAR PUSTAKA Amir Hamzah dan Rachmad Budiono, 1994,


Buku-Buku Hukum Kewarisan dalam kompilasi
Hukum Islam, IKIP Malang.
Abdul Aziz Dahlan, 2000, Ensiklopedi
Hukum Islam, Ikhtiar Baru Van Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan
Hoeve, Jakarta. Haji Depag RI, 2003, Himpunan
Fatwa Mejelis Ulama Indonesia, tnp,
Abdul Djamali, 2002,Hukum Islam
Jakarta.
Berdasarkan Ketentuan Kurikulum
Konsorsium Ilmu Hukum, Mandar Fathur Rahman, 1979, Ilmu Waris, Bulan
Maju, Bandung. Bintang, Jakarta.

Abdul Ghofur Anshori, 2010, Hukum H.F.A Vollmar, 1992, Pengantar Studi
Perjanjian Islam Di Indonesia, Hukum Perdata, Rajawali, Jakarta.
Gadjah Mada University Press, H.M Hasballah Thaib, Iman Jauhari, 2004,
Yogyakarta. Kapita Selekta Hukum Islam, Pustaka
Abdulkadir Muhammad, 2005, Hukum Bangsa Press, Medan.
Perdata Indonesia, Citra Aditya H.R. Otje Salman dan Mustofa Haffas, 2001,
Bakti, Bandung Hukum Waris Islam, Refika Aditama,
Achmad Rustandi & Muchjidin Effendi, Bandung, 2001.
1991, Komentar Undang-Undang Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian
Nomor 7 Tahun 1989, Tentang Hukum, Kencana Prenada Media,
Peradilan Agama Dan Kompilasi Jakarta.
Hukum Islam, Nusantara Press,
Sayuti Thalib, 2016, Hukum Kewarisan
Jakarta.
Islam Di Indonesia, Sinar Grafika,
Afdol, 2010, Penerapan Hukum Waris Islam Jakarta.
Secara Adil, Pusat Penerbitan dan
Sudikno Mertokusumo, 2002,Mengenal
Percetakan Unair, Surabaya.
Hukum : Suatu Pengantar. Liberty,
Ahmad Azhar Basyir, 1972, Kawin Campur, Yogyakarta.
Adopsi, Wasiat Menurut Islam, Al-
Suparman, e.all., 1997, Fiqih Mawaris
Maa’rif, Bandung.
(Hukum Kewarisan Islam), Gaya
Ahmad Azhar Basyir, 2001,Hukum Waris Media Pratama, Jakarta.
Islam, UII Press, Yogyakarta.
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyati,
Ahmad Zahari, 2006, Tiga Versi Hukum 2004, Hukum Warisan Perdata Barat,
Kewarisan Islam,Syafi;I, Hazairin Prenada Media, Jakarta.
dan HKI, Romeo Grafika, Pontianak.
2006.
Jurnal
Ali Afandi, 1997, Hukum Waris, Hukum
Keluarga, Hukum Pembuktian, Bina Abdul Manan, “Beberapa Masalah Hukum
Tentang Wasiat Dan Permasalahannya
Aksara, Bandung.
Dalam Konteks Kewenangan Peradilan
Agama”, Jurnal Mimbar Hukum :

86
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

Aktualisasi Hukum Islam, Nomor 38


Tahun IX, 1998.
Nugraheni, Ilhami, & Harahap, “Pengaturan
Dan Implementasi Wasiat Wajibah”,
Jurnal Mimbar Hukum Volume 22,
Nomor 2, Juni 2010.

87
Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018 ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124

88

You might also like