Professional Documents
Culture Documents
PEMIKIRAN MAHBUB DJUNAIDI TENTANG AGAMA DAN POLITIK PADA TAHUN 1970-1995
Oleh:
Ulfiyana Latifah, Agus Mulyana1
ABSTRACT
Mahbub Djunaidi is a thinker figure from Nahdlatul Ulama. When he became a columnist
in 1970-1995, many of his thoughts poured in the newspapers. In the article, Mahbub
Djunaidi talked about things related to religious and political aspects. This study
outlined the question “How was Mahbub Djunaidi’s thought about religion and politics
in 1970-1995?” To answer the question, this study used historical methods which consist
of the heuristic stage, source criticism, interpretation and historiography as well as the
research technique of literature study and interviews with some relevant sources from
the problems researched. Based on the results, it could be found that Mahbub Djunaidi
was a columnist from the Nahdlatul Ulama circle which in his writing poured many
thoughts on religion and politics. His thought towards religion in 1970-1995 discussed
many things social life that can not be separated from Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Whilst his thought about politics discussed many things about the relationship between
Islam and the state, as well as the relationship between Nahdlatul Ulama and the
state that can not be separated from the democracy school of thought. This research is
expected to be a reference for the next research, so it can present new facts that have not
been revealed from this research.
Agus Mulyana adalah Dosen Pembimbing. Penulis dapat dihubungi di alamat email :
Ulfiyanalatifah@gmail.com
71
FACTUM
Volume 8 N0.1, April 2019
72
Ulfiyana Latifah dan Agus Mulyana
PEMIKIRAN MAHBUB DJUNAIDI TENTANG AGAMA DAN POLITIK PADA TAHUN 1970-1995
73
FACTUM
Volume 8 N0.1, April 2019
74
Ulfiyana Latifah dan Agus Mulyana
PEMIKIRAN MAHBUB DJUNAIDI TENTANG AGAMA DAN POLITIK PADA TAHUN 1970-1995
“Pada tahun 1946 sampai dengan Kolombo, Srilangka pada tahun 1960.
tahun 1949, tepatnya ketika masa Mahbub Djunaidi yang menggeluti dunia
revolusi fisik terjadi yaitu Agresi jurnalistik mendapatkan kesempatan
Militer Belanda I, keluarga Mahbub untuk study banding dalam bidang
mengungsi ke Solo. Mahbub mulai jurnalistik. Pengalamannya dalam hal
pendidikannya di Solo dari Sekolah jurnalistik semakin diasah dan dipertajam
Dasar sampai lulus Sekolah Menengah sewaktu beliau belajar di Kolombo,
Pertama (SMP)”. Srilangka (Setiawan, 2016, hlm. 23).
Mahbub Djunaidi sangat aktif di dalam
Pada tahun 1952 Mahbub Djunaidi organisasi Persatuan Wartawan Indonesia
dan keluarganya kembali lagi ke Jakarta (PWI). Pada tahun 1963 di dalam Kongres
dan meneruskan pendidikan Sekolah XI PWI bulan Agustus di Jakarta Mahbub
Menengah Atas di Budi Utomo. Ketika Djunaidi terpilih menjadi Wakil Ketua
duduk di bangku SMA mulai aktif PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)
mengikuti organisasi dan kegemaran dan diketuai oleh Karim DP. Lalu, pada
menulisnya pun semakin meningkat. tanggal 4 sampai 7 November 1965 terpilih
Banyak tulisannya yang dimuat di menjadi ketua umum PWI Pusat dari
berbagai media massa. Hal ini diperkuat tahun 1965-1970 menggantikan Karim DP
oleh pernyataan Budairy (dalam Djunaidi, dan kemudian pada tahun 1978 terpilih
1996, hlm. xx) yang mengatakan bahwa “di menjadi Dewan Kehormatan PWI.
sekolah itu Mahbub Djunaidi mengambil Sejak tahun 1970 selain aktif di dalam
prakarsa mengusulkan agar sekolah PWI, Mahbub Djunaidi pun menjadi
menerbitkan majalah. Kemudian terbitlah kolumnis di Harian Kompas dan majalah
majalah Siswa. Terbitan perdananya Tempo. Ketika menjadi penulis tetap di
bertanggal 6 Desember 1954. Pemimpin kolom Harian Kompas, terlihat kentara
redaksi pertamanya Mahbub Djunaidi kemampuan Mahbub menulis. Kolomnya
sendiri”. mengandung humor, sinisme, bersifat
Setelah lulus SMA, Mahbub Djunaidi santun, terkadang menyengat, berpihak
melanjutkan pendidikan di Perguruan kepada wong cilik dan kerakyatan. Ia
Tinggi di Fakultas Hukum Universitas menulis secara memikat dan disenangi
Indonesia, akan tetapi tidak selesai hanya oleh pembaca. Ia lancar bertutur, pintar
pada sampai tingkat II. Hal tersebut bercakap-cakap, menyentuh aneka ragam
dikarenakan ayahnya sakit dan ketiadaan topik, seperti kata orang Perancis: Le
biaya. Mahbub Djunaidi rela drop out Causeur (Anwar, 2002, hlm. 401).
karena memiliki rasa sayang dan tanggung Di dalam organisasi Islam Mahbub
jawab terhadap adik-adiknya sebagai Djunaidi sangat aktif di Nahdlatul
anak pertama yang menjadi tulang Ulama (NU). Dalam organisasi mula-
punggung keluarga. Ia memutuskan untuk mulanya menjadi ketua Ikatan Pemuda
menghentikan pendidikannya. Pelajar Indonesia (IPPI) pada tahun 1952
Selain pernah mengeyam pendidikan di sewaktu masih duduk di bangku SMP.
Perguruan Tinggi di Universitas Indonesia, Lalu, ketika SMA mulai bergabung ke
Mahbub Djunaidi juga pernah belajar di dalam Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
75
FACTUM
Volume 8 N0.1, April 2019
(IPNU) yang merupakan kader partai NU. menjadi ketua umum PMII setelah keluar
Ketika menjadi mahasiswa UI, Mahbub dari HMI.
Djunaidi memilih untuk menjadi aktivis Ketika menjadi seorang kolumnis,
di kalangan mahasiswa. Di perguruan pemikiran Mahbub Djunaidi tentang agama
Tinggi tersebut ia mengikuti organisasi pada tahun 1970-1995 banyak ditungkan ke
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pada dalam tulisannya di koran. Pemikirannya
saat itu HMI menjadi satu-satunya wadah tentang agama tidak terlepas dari paham
mahasiswa Islam. Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) yang
Pada tahun 1958 Mahbub Djunaidi telah melekat di dalan organisasi NU.
bekerja sebagai wartawan di Harian Secara garis besar Aswaja merupakan
Duta Masyarakat yang merupakan suatu aliran pemahaman keagamaan yang
koran partai NU. Kepandaiannya dalam bertujuan untuk mengamalkan syariat
menulis akhirnya terpilih menjadi Islam secara murni sesuai dengan yang di
direktur Harian Duta Masyarakat pada kehendaki oleh Allah SWT. Ajaran Islam
tahun 1960-1970. Hal ini diperkuat oleh yang murni ialah ajaran yang diamalkan
pernyataan Puspitasari (2013, hlm. 3) yang oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
mengatakan bahwa : Cahlim (2012, hlm. 24) mengatakan
“Dunia pers Indonesia tidak akan bisa bahwa “Ahlussunnah Wal Jama’ah
melupakam nama Mahbub Djunaidi merupakan kelangsungan yang alami dari
yang pernah tiga kali memimpin kaum muslimin generasi pertama yang
organisasi kewartawanan, PWI, mengikuti dan menerapkan ajaran Nabi
Mahbub juga dikenal sebagai pemikir dalam prinsip-prinsip keagamaan”.
NU. Ia terjun ke dunia jurnalistik Aziz dkk. (2004, hlm. 61) mengatakan
pada tahun 1958 mengisi Harian Duta bahwa istilah Aswaja dimaknai sebagai
Masyarakat yang kemudian ia menjadi suatu konstruksi pemikiran (pemahaman)
Pemimpin Redaksinya pada tahun dan sekaligus praktek keagamaan (Islam)
1960-1970”. yang didasarkan pada tradisi (sunnah)
Rasulullah, para sahabatnya dan para
Ulama mazhab. Yang terpenting dari
Pada tanggal 14-17 Maret 1960 IPNU
pemikiran keagamaan Aswaja adalah
mengadakan konferensi besar di Kaliurang
konsistensinya dengan tradisi keagamaan
Yogjakarta yang didalamnya membahas
yang dipraktekan Rasulullah dan para
tentang perlunya didirikan suatu
sahabatnya.
organisasi mahasiswa yang terlepas dari
IPNU baik secara struktur oganisatoris Mahbub Djunaidi berpandangan
maupun administratif (Alfas, 2015, hlm. bahwa Aswaja merupakan suatu ideologi
8). Setelah itu, dilaksanakan kembali dan prinsip berpikir yang penting bagi
konferensi besar I IPPNU pada tanggal 14- seorang kaum muslim untuk menghadapi
16 April di Surabaya yang melangsungkan persoalan-persoalan keagamaan maupun
musyawarah mahasiswa NU se-Indonesia urusan sosial kemasyarakatan. Sebagai
untuk membidani lahirnya Pergerakan seorang muslim yang taat harus membawa
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). kehangatan kepada sesama manusia dan
Pada akhirnya Mahbub Djunaidi terpilih toleransi yang mengandung rasa saling
76
Ulfiyana Latifah dan Agus Mulyana
PEMIKIRAN MAHBUB DJUNAIDI TENTANG AGAMA DAN POLITIK PADA TAHUN 1970-1995
menghargai sesuai dengan yang terdapat Islam ala Ahlussunnah Wal Jama’ah.
dalam prinsip-prinsip Aswaja (K.H. Nuril Dengan sekuat tenaga, Nahdlatul
Huda, Wawancara, 15/3/2018). Ulama berusaha menempatkan diri
Pemikirannya tentang Aswaja tidak sebagai pengamal setia dan mengajak
terlepas dari organisasi Nahdlatul seluruh kaum Muslimin, terutama
Ulama (NU) yang diikutinya sejak duduk para warganya untuk menggolongkan
di bangku SMP. Selain itu ayahnya diri pada Ahlussunnah Wal Jama’ah”.
merupakan seorang tokoh NU yang banyak Di dalam Aswaja terdapat beberapa
mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam sikap yang patut dicontoh seperti
sejak kecil kepada dirinya. Sehingga pada tawasuth (mengambil jalan tengah atau
akhirnya Mahbub Djunaidi mengikuti moderat), tawazun (seimbang di dalam
jejak ayahnya untuk masuk ke dalam menyelesaikan setiap persoalan) dan
organisasi NU yang menganut paham tazamuh (bersikap toleran, adil dan netral
Aswaja. Paham tersebut dijadikan sebagai di dalam menghadapi perselisihan).
landasan berfikir organisasi NU untuk Menurut Mahbub Djunaidi sikap-sikap
menentukkan arah perjuangan dalam tersebut dapat diimplementasikan di dalam
rangka memperbaiki umat. kehidupan nyata. Hal ini diperkuat oleh
Pemikirannya tentang Aswaja pun pernyataan dari Isfandiari (Wawancara,9
tidak terlepas dari kedekatannya dengan Maret 2018) yang mengatakan bahwa
beberapa Kiai atau Ulama-Ulama di “sebagai seorang muslim yang taat
Indonesia yang menganut paham tersebut. terhadap agama Islam menurut Mahbub
Pada umumnya para Kiai dibesarkan dan Djunaidi semua tindakan harus mencontoh
didik di dalam lingkungan pesantren yang tabiat Rasulullah dan dipraktikan dengan
secara tegas memegang teguh paham nyata di kehidupan sehari-hari.
Aswaja (Islam tradisional). Oleh karena Mahbub Djunaidi tidak hanya
itu hampir semua Kiai atau Ulama menjadi menerapkan paham Aswaja di dalam
pembela yang tangguh paham tersebut. kehidupan sehari-harinya saja, akan
Dhofier (2011, hlm. 229) mengatakan tetapi diterapkan pula di dalam organisasi
bahwa sewaktu kaum Islam modern Islam yang pernah diketuainya selama
menganjurkan pembaruan ajaran-ajaran dua periode. Organisasi Islam tersebut
Islam, antara lain agar umat Islam tidak bernama Pergerakan Mahasiswa Islam
terbelenggu oleh ajaran-ajaran empat Indonesia (PMII). Salah satu peran yang
madzhab, yang mulai diperkenalkan di sangat berkesan yang dilakukan oleh
Jawa pada permulaan abad ke-20, para Kiai Mahbub Djunaidi di PMII adalah ketika
menentang gerakan pembaruan tersebut menerapkan dasar Aswaja. Mahbub
dengan membentuk suatu organisasi Djunaidi yang memelopori bahwa PMII
bernama “Jami’yyah Nahdlatul Ulama”. harus berhaluan paham tersebut. Jika
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Siddiq tidak ada Mahbub Djunaidi belum
(2005, hlm. 27) yang mengatakan bahwa : tentu PMII berasaskan paham tersebut.
“Nahdlatul Ulama semenjak pertama Penerapan bahwa PMII harus berhaluan
berdirinya menegaskan diri sebagai Aswaja pun tidak hanya dilakukan oleh
penganut pengemban dan pengembang Mahbub Djunaidi seorang diri, akan
77
FACTUM
Volume 8 N0.1, April 2019
78
Ulfiyana Latifah dan Agus Mulyana
PEMIKIRAN MAHBUB DJUNAIDI TENTANG AGAMA DAN POLITIK PADA TAHUN 1970-1995
79
FACTUM
Volume 8 N0.1, April 2019
rumah-rumah, bahkan dokter-dokter yang tinggal ketuk pintu dan semua kesempatan
berada di sekitar daerah gawat pasang tersedia baginya. Si pejabat menganak
tulisan “milik pribumi” atau “milik bangsa tirikan si asli tapi menganak emaskan
Indonesia asli”, bahkan ada pula yang tak si bukan asli. Ringkasnya masyarakat
kepalang tanggung lagi menuliskan “milik menganggap adanya diskiriminasi kepada
orang Sunda”. mayoritas, bukannya kepada minoritas
Asal mulanya terjadi sebuah insiden (Djunaidi, 1986, hlm. 29-31).
yakni seorang tukang gerobak yang Berdasarkan tulisannya tersebut
terkena pukulan seorang keturunan dapat dilihat bahwa Mahbub Djunaidi
Tionghoa karena mobilnya keserempet. orang yang anti rasialisme. Rasialisme
Penghancuran total toko dan harta merupakan istilah yang digunakan untuk
benda orang-orang keturunan Tionghoa menekankan perbedaan sosial dan budaya
hampir seantero Bandung itu tak lain antar ras. Menurutnya bangsa ini tidak
dari pada suatu huru-hara rasialis. akan menjadi bangsa yang kuat selama rasa
Peristiwa penghancuran itu tidaklah kesukuan, rasa asli dan bukan asli, rasa
bisa disebut spontan karena jarak waktu mendeskriminasi sesama warga negara
antara terjadinya pemukulan dan gerakan masih terdapat di dalam kalbu masyarakat.
penghancuan lebih dari tiga jam. Apalagi Sehingga, hal ini akan membuat bangsa
sifat penghancurannya yang begitu cepat rapuh dan mudah patah.
total, begitu luas daerah jangkauannya Dalam kehidupan sosial
, berkilo-kilo meter dari daerah asal kemasyarakatan, Mahbub Djunaidi sangat
kejadian tidaklah patut disebut “perbuatan menjunjung tinggi Hak Asasi Manuisa.
spontan”. Ini merupakan suatu bukti Pembelaannya pada penghargaan Hak
paling nyata tentang rasialisme, rasa benci Asasi Manusia sangat terlihat jelas di
yang terpendam, yang pada suatu waktu dalam tulisannya yang mengatakan
meledak secara membabi buta hanya bahwa “tanamkanlah ke kepala anak-
karena soal-soal sepele. anakmu bahwa Hak Asasi itu sama
Jarak yang memisahkan si asli dan pentingnya dengan sepiring nasi”.
si bukan asli itu, bukanlah semata-mata Sepanjang hidupnya baik di dalam
lantaran warna kulit. Bukan lantaran yang lisan maupun tulisan Mahbub Djunaidi
satu asli dan yang lain keturunan asing. mempunyai sikap yang jelas dan tegas
Dorongan utama yang mempertajam dalam hal memperjuangkan kepentingan
jurang itu adalah perbedaan tingkat rakyat dan Hak Asasi demi kemajuan
hidup ekonominya. Dan anggapan umum negeri yang dicintainya karena dirinya
sekarang ini sudah begitu rupa si asli merasa prihatin terhadap kelemahan
keadaan ekonominya semakin lama jiwa bangsa dan rakyat Indonesia yang
makin jelek, sedangkan si bukan asli terjebak dalam irasionalitas, feodalisme,
makin lama makin bagus. Si asli ibarat dan ketidakadilan. Joe (dalam Djunaidi
mati langkah dalam usaha ekonominya, dan Rasta, 2017, hlm. 51) mengatakan
si bukan asli makin gampang dan makin bahwa beberapa hal penting saya ingat
licih jalannya. Si asli sulit dapat kredit dan sebelum Mahbub Djunaidi wafat adalah
fasilitas obyekan pemerintah, si bukan asli betapa ia memperjuangkan hak-hak para
80
Ulfiyana Latifah dan Agus Mulyana
PEMIKIRAN MAHBUB DJUNAIDI TENTANG AGAMA DAN POLITIK PADA TAHUN 1970-1995
jurnalis yang berjuang membela tanah kam, kebebasan berpendapat dan lain-
air dan sangat pedas mengkritik jurnalis lain.
yang takut dan jadi boneka Orde Baru. Mahbub Djunaidi mengkritik sistem
Hal yang sangat luar biasa lainnya adalah pemerintahan Orde Baru yang dianggapnya
kejujurannya. Lewat ucapan juga tulisan tidak sejalan dengan sistem demokrasi
ia berjuang sendiri meluruskan sejarah yang ada di Indonesia. Hal ini dikarenakan
yang banyak diplintirkan rezim Orde Baru dalam praktiknya yang menjalankan
saat itu. Ia sangat berani menentang itu pemerintahan bukan rakyat melainkan
sendirian, seorang single fighter. para elite. Pemerintah yang baik ialah
Ketika menjadi seorang kolumnis yang berorientasi kepada kepentingan
pun, Mahbub Djunaidi banyak rakyat banyak, bukan berorientasi kepada
menuangkan pemikirannya tentang sekelompok kecil tuan-tuan besar yang
politik. Pemikirannya tentang politik hidup di gedung bertingkat dikelilingi kaca
berlandaskan politik ala Islam yang seperti permen dalam toples (Djunaidi,
selalu berbicara tentang hubungan Islam, 1986, hlm. 16)
demokratis dan negara. Sebagai seorang Pemikiran Mahbub Djunaidi tentang
pemikir politik Mahbub Djunaidi sangat politik pada tahun 1970-1995 pun selalu
menjunjung tinggi demokrasi. Agama berbicara tentang hubungan antara NU
Islam dan demokrasi memiliki hubungan dan negara. Pada tahun 1945 merupakan
yang sangat erat yang memberikan awal perjalanan politik praktis NU. Ketika
petunjuk bagi manusia dalam mencapai itu, NU bersama dengan organisasi Islam
kehidupan yang damai dan sejahtera. Bagi lainnya membentuk partai yang bernama
Indonesia, demokrasi yang penuh dengan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin
nilai kemanusiaan akan lebih terwujud Indonesia) yang berdiri pada tanggal 7
bila Islam serta dalam kegiatannya. Kita November 1945. Pada saat itu, NU menjadi
sebut Islam karena ia merupakan agama anggota istimewa dan mendapat jatah kursi
yang terbanyak penganutnya di negeri di Masyumi. Hal ini pun diperkuat oleh
ini, juga karena nasionalisme kita dahulu pernyataan dari Feillard (dalam Shobacha,
berkembang lebih mudah karena ajaran 2012, hlm. 106) yang mengatakan bahwa
Islam yang dianutnya oleh sebagian besar pada saat Masyumi didirikan untuk
rakyat (Karni, 2006, hlm. 266). pertama kalinya NU memasuki urusan
Ketika Indonesia berada di bawah pemerintahan sebab ditempatkan sebagai
pemerintahan Orde Baru, Mahbub Djunai- subordinasi di dalamnya. Namun, ketika
di banyak mengkritik pemerintahan terse- Nahdlatul Ulama menjadi partai politik,
but lewat tulisan-tulisannnya pada saat NU tetap tidak meninggalkan urusan-
menjadi seorang kolumnis. Bersebrangan urusan yang selalu ditanganinya seperti
dalam beberapa hal prinsipil dirinya me- urusan pendidikan, urusan sosial, dakwah
nentang rezim Soeharto, menentang ke- dan muamalah.
sewenang-wenangan, menentang prilaku Ketika diadakannya fusi partai pada
rezim yang sangat kapitalis birokrat me- tahun 1973 NU harus berfusi dengan
nentang bisnis keluarga yang menggurita, kelompok Islam lain dalam Partai
menentang kebebasan Pers yang dibung- Pembangunan Persatuan (PPP). Fusi
81
FACTUM
Volume 8 N0.1, April 2019
partai-partai Islam ini pada awalnya Hal ini pun diperkuat oleh pernyataan dari
menguntungkan NU namun semakin Setiawan (2016, hlm. 50) yang mengatakan
lama NU merasa menjadi pihak yang bahwa NU memang tidak bisa dipisahkan
di rugikan oleh PPP. Hingga akhirnya dengan urusan politik, karena memang
pada tahun 1984 NU beserta para Kiai sejak tahun 1952 NU yang mengganti
banyak menelan banyak kekecewaan dan baju dari Jami’yah keagamaan menjadi
keputusasaan. Melihat situasi politik yang sebuah partai politik. Budaya politik sudah
semakin pelik, akhirnya pada muktamar mengakar kuat dalam tubuh NU dan para
ke-25 di Surabaya, Rais Amm Kiai Wahab tokoh-tokohnya.
Hasbullah menghimbau agar para aktivis Mahbub Djunaidi beranggapan
kembali ke Khittah 1926. Kembalinya NU bahwa masih banyak warga NU yang
ke Khittah 1926 merupakan istilah yang menginginkan ormas keagamaannya
berarti NU kembali menjadi organisasi menjadi partai politik. Ia tidak bisa
masyarakat dan keagamaan. Gagasan ini membayangkan warga NU yang sekitar
banyak mendapatkan respon positif dari 20 jutaan umat pada tiap pemilu hanya
kalangan NU lainnya seperti Abdurrahman berdiri di luar pagar dan cukup terbatas
Wahid dan pendukung lainnya. Hal ini pada tukang beri suara. Menurut Mahbub
pun diperkuat oleh pernyataan yang Djunaidi sejak kelahirannya NU selalu
diungkapkan oleh Ubaid dan Bakir bersentuhan dengan politik. NU dalam
(2015, hlm. 177) yang mengatakan bahwa dunia politik baik dalam partai maupun
sejumlah kalangan di dalam maupun di kursi pemerintahan akan memudahkan
luar NU meminta supaya warga NU tidak cita-cita NU dan umat Islam untuk
terlu berpolitik, baik secara individual mencapai tujuan karena menurutnya
maupun organisasi. Mereka menilai politik merupakan jalan satu-satunya
jika jagat politik hanya mendatangkan untuk mencapai tujuan tanpa harus
“banjir” kemafsadahan atau kemadaratan dibatasi oleh keputusan Khittah NU 1926
dibanding kemanfaatannya. Mereka yang melarang NU untuk ikut berpolitik
memvonis keterlibatan “punggawa” NU praktis.
dalam berpolitik sebagai suatu kesalahan
besar yang membuat citra NU semakin SIMPULAN
karut-karut.
Mahbub Djunaidi merupakan seorang
Melihat hasil muktamar NU di kolumnis yang sudah gemar menulis sejak
Situbondo, Mahbub Djunaidi tidak setuju kecil. Keikutsertannya di dalam organisasi
terhadap hasil keputusan Khittah NU 1926 Nahdlatul Ulama (NU) membuat tulisan-
yang menginginkan NU kembali kepada tulisannya yang dimuat di dalam koran
organisasi Islam dan kemasyarakatan tidak terlepas dari pemikiran agama dan
serta melepaskan keterkaitan dari dunia politik. Pemikiran Mahbub Djunaidi
politik secara organisatoris. Mahbub tentang agama pada tahun 1970-1995
Djunaidi beranggapan bahwa politik tidak terlepas dari paham Ahlussunnah
adalah jalan yang efektif untuk mencapai Wal Jama’ah yang telah menjadi ideologi
sebuah tujuan. Karena bila dilihat dari organisasi NU. Ahlussunnah Wal Jama’ah
arti kata politik secara singkat ialah usaha merupakan suatu aliran pemahaman
untuk menggapai kehidupan yang baik.
82
Ulfiyana Latifah dan Agus Mulyana
PEMIKIRAN MAHBUB DJUNAIDI TENTANG AGAMA DAN POLITIK PADA TAHUN 1970-1995
83
FACTUM
Volume 8 N0.1, April 2019
dan Pasca Orde Baru). Jurnal: Ulumul Shobacha, N. (2012). Strategi Politik
Qur’an, 19 (1), 89-105. Nahdlatul Ulama di Era Orde Baru.
Putra, O.E. (2008). Hubungan Islam Jurnal: Review Politik. 2(1), 99-113.
Politik Masa Orde Baru. Jurnal:
Dakwah, 9 (2), 185-201.
84