You are on page 1of 8

ATTHULAB:

Islamic Religion Teaching & Learning Journal


Volume ... Nomor ... Tahun ...
http://journal.uinsgd.ac.id./index.php/atthulab/

Pemikiran Filsafat Ibnu Thufail

Siti Rofiko1), Tya Shofarina M. Nur2) dan Wiwit Awaliyah3)


1) Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Jl. Soekarno Hatta, Cimencrang,
Kota Bandung, Indonesia, 40292
Email: sitirofiqoh5037@gmail.com
2) Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas

Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Jl. Soekarno Hatta, Cimencrang,
Kota Bandung, Indonesia, 40292
Email: tyashofarina1700@gmail.com
3) Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas

Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Jl. Soekarno Hatta, Cimencrang,
Kota Bandung, Indonesia, 40292
Email: wiwitawaliah874@gmail.com

Abstract: In the golden age of Islam, many great thinkers were born in the Islamic world, one of
them was Ibnu Thufail. He is one of the great thinkers (read: philosophers) of Islam in the Middle
Ages. His thinking lies in his work, namely the fictional Hayy Ibn Yaqzhan. In the story, he
expressed his philosophical views on the universe, God, religion, morals, human beings and their
dispositions, the culture of formal society and the harmony between religion and philosophy. He
also tries to explain the human ability to live alone and independently, without the help of
language, religion, culture and traditions that color it, meaning that all the things mentioned
above do not always affect the development of the human mind. In Hayy bin Yaqzhan's romance
story, Ibnu Thufail also tries to prove the truth of the thesis of the unity of rational and mystical
wisdom through a fictional story, that humans with all their weaknesses can communicate with
God with the strength of their reason (philosophy) or with the strength of their heart (sufism).
Keywords:
Ibnu Thufail, Islamic philosophy, Greece philosophy.

Abstrak: Pada masa keemasan Islam, banyak terlahir pemikir besar di dunia Islam, salah satunya
Ibnu Thufail. Ia merupakan salah satu pemikir (baca:Filosof) besar Islam pada abad pertengahan
itu. Pemikirannya terletak pada karyanya yaitu kisah fiksi Hayy Ibn Yaqzhan. Dalam kisah itu,
dia menyatakan pandangan filsafatnya tentang alam semesta, Tuhan, agama, moral, manusia
dan wataknya, budaya masyarakat formal serta adanya keserasian antara agama dan filsafat. Dia
juga mencoba untuk menjelaskan tentang kemampuan manusia untuk hidup sendiri dan
mandiri, tanpa adanya bantuan bahasa, agama, budaya dan tradisi yang mewarnainya, artinya
semua hal yang disebutkan diatas itu tidak sepenuhnya selalu mempengaruhi perkembangan
akal manusia. Dalam cerita roman Hayy bin Yaqzhan tersebut, Ibnu Thufail juga mencoba
membuktikan kebenaran tesis kesatuan kebijaksanaan rasional dan mistis melalui kisah fiktif,
bahwa manusia dengan segala kelemahannya dapat saja berkomunikasi dengan Tuhan dengan
kekuatan akalnya (filsafat) maupun dengan kekuatan kalbunya (tasawuf).
Kata Kunci:
Ibnu Thufail, Filsafat islam, Filsafat Yunani.

DOI: http://dx.doi.org/10.15575/ath.xxx.xxx
Received: mm, yyyy. Accepted: mm, yyyy. Published: mm,yyyy.

1
Judul artikel

PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang mendorong dan mendukung pendayagunaan akal dan
pemikiran di dalam berbagai aspek kehidupan. Ini dibuktikan dengan termaktubnya
lebih dari seratus enam puluh dua ayat di dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang akal
dan pemikiran. (Nasution, 1983)
Peradaban Islam mencapai kejayaannya atau yang biasa disebut dengan
zaman keemasan pada saat pemerintahan daulah Bani Abbasyiah. Hal ini terjadi di
belahan Timur dan Barat. Pada masa-masa tersebut, banyak tokoh intelektual Islam
yang kemudian karya-karya mereka menjadi rujukan bahkan bahan kajian hingga
saat ini. Tidak sedikit pula di antara mereka yang menjadi inspirator bahkan kemudian
diadopsi oleh para intelektual Eropa modern. Dalam belantara pemikiran intelektual
Muslim zaman tersebut, banyak di antara mereka adalah pemikir-pemikir handal
dan filosof besar pada zamannya bahkan hingga saat ini. Hingga filsafat oleh para
intelektual Muslim kemudian dijadikan sebagai sarana dalam mengenal Tuhan
(Pencipta), sampai pada jalan pencapaian kepada-Nya dengan melihat hasil
ciptaannya.
Ada banyak teori yang kemudian lahir dari para pemikir muslim tersebut,
diantaranya adalah teori pancaran, emanasi, isyraqiyah, dan sebagainya. Dalam jurnal
ini akan mengkaji satu di antara sekian banyak tokoh tersebut beserta pemikiran
filsafatnya, yaitu Ibnu Thufail. Pembahasan ini ingin mengetahui ciri atau corak
pemikiran filsafat salah satu filosof muslim yang terkenal dengan roman
filosofisnya: Hayy ibn Yaqzhan. Ibnu Thufail, seorang filosof muslim yang hidup pada
masa khalifah Abu Ya’kub Yusuf Dinasti Al-Muwahhid Spanyol. Karya ini merupakan
kisah yang memuat berbagai aspek. Seperti pendidikan, sistem pengetahuan, filsafat,
tasawuf dan sastra.(Mansuri, 2005)
Tujuan penelitian ini untuk mengatahui dan memperdalam salah satu pemikiran
filsafat dari filosof yang mana didudukkan sebagai generasi yang bersinggungan
dengan pemikiran Yunani adalah Ibnu Thufail. Dia adalah satu di antara sekian banyak
filosof Islam yang mampu menghasilkan karya fenomenal yang berbau filosofis-mistis
mengenai bagaimana akal pikiran mampu menangkap, merenungkan dan
menyimpulkan bahwa segala sesuatu ada yang menggerakkan dan penggerak itu tiada
lain adalah Tuhan Pencipta Alam Semesta. Pemikiran Islam pada masa itu berada dalam
perkembangan yang positif. Hal ini terbukti dengan berkembangnya dunia filsafat Islam
yang tidak berkutat di daerah Timur saja melainkan merambah ke daerah Barat tepatnya
di daerah Spayol yang salah satu filosofnya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Abd Al-
Malik ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibnu Thufail Al-Qaisyi atau dikenal dengan
Ibnu Thufail.
Urgensi pembahasan ini adalah untuk mengkaji pemikiran filsafat Ibnu Thufail
yang tergambar jelas dalam karya novelnya “Hayy ibnu Yaqzhan” meski akal
mendominasi filsafat ketuhanannya dan disebutkan dalam berbagai literatur bahwa
Hayy ibnu Yaqzhan sebagai reka ulang yang terpengaruhi oleh pemikiran filsafat Ibn
Shina, namun karya tersebut mendapat tempat di dunia filsafat sebagai karya pencarian
jati diri seorang anak manusia bukan hanya sebagai curahan pemikiran atau khayalan
Ibnu Thufail belaka.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini membahas permasalahan falsafah dan pemikiran, maka metode
yang digunakan adalah metode kualitatif, yaitu mempelajari dan menganalisa
pandangan-pandangan dasar tokoh yang diteliti tentang pemikiran tokoh tersebut.

2 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Penulis Kesatu, Penulis Kedua dan Penulis Ketiga

Penulis menggunakan metode penelitian pustaka (Library Research) yaitu penelitian


yang obyek utamanya adalah buku-buku dan literatur lainnya yang berkenaan dengan
pokok pembahasan dalam tulisan ini (Hadi, 1995).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua sumber data, yaitu sumber
primer dan sumber sekunder (Ahmad, 1978). Sebagai sumber primer dalam kajian ini
adalah tulisan Ibnu Thufail yang berjudul “Hayy Ibn Yaqzhan”, sedangkan sumber atau
data sekunder dalam kajian ini terdiri dari buku-buku yang mempunyai hubungan
dalam pembahasan penelitian ini.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengumpulkan
berbagai literatur yang berkaitan dengan pemikiran Ibnu Thufail yaitu mengenai
pemikirannya tentang peranan akal, khususnya dalam kisah Hayy Ibn Yaqzhan. Data
yang telah diperoleh kemudian diteliti dan dianalisa untuk diklasifikasikan sesuai
dengan keperluan dalam pembahasan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Biografi dan Sejarah Hidup Ibnu Thufail
Ibnu Thufail terkenal sebagai filosof Muslim yang gemar menuangkan
pemikiran kefilsafatannya melalui kisah-kisah yang ajaib dan penuh dengan nilai- nilai
kebenaran. Biasanya disebut dalam bahasa Latin dengan sebutan Abu Bacer, nama
lengkapnya ialah Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Thufail al- Qaisi,
dilahirkan di Guadix dekat Granada pada tahun 506 H (1110 M) dari keluarga suku Arab
Bani Qais Lewat ketenarannya sebagai dokter ia diangkat menjadi sekretaris gubernur
di provinsi itu. Kemudian, Ibnu Thufail menjadi sekretaris pribadi Gubernur Cueta
(Arab: Sabtah) dan Tangier (Arab: Thanjah/ Latin: Tanger) oleh putra Al Mukmin,
penguasa Al-Muwahhid Spanyol. Selanjutnya menjadi dokter pemerintah dan sekaligus
menjadi qadhi.(Ali, 1991)
Sebagai seorang tokoh penting perintis filsafat Muwahidin dari Spanyol, Ibnu
Thufail telah memulai karirnya sebagai seorang dokter praktek di Granada dan lewat
ketenarannya dalam jabatan itu dia diangkat menjadi sekretaris pribadi gubernur di
provinsi itu. Pada tahun 549 H (1147 M), dia menjadi sekretaris Gubernur Ceuta dan
Tangier, putra penguasa ‘Abdul al-Ma’mun (Syarif, 1996), penguasa Muwahidin
Spanyol pertama yang merebut Maroko pada tahun 542 H (1147 M). Akhirnya dia
menjadi dokter tinggi dan menjadi Qadhi di pengadilan serta menjadi wazir khalifah
Muwahidin Abu Ya’qub Yusuf (memerintah tahun 558 H). (Syarif, 1996)

Karya Ibnu Thufail


Sebagai seorang dokter, filosof, ahli matematika, ahli astronomi, metafisika,
penyair, dan lain sebagainya tentu Ibnu Thufail memiliki banyak karya. Beberapa tema
sempat ditulisnya, misalnya kedokteran, astronomi, dan filsafat. Dari sekian buah
karyanya, yang masih ada sampai sekarang hanyalah sebuah karya saja yaitu roman
filsafat yang berjudul Hayy Ibn Yaqzhan Fil Asrar al-Hikmati’l Masyriqiyyah (Hayy Ibn
Yaqzhan tentang Rahasia Filsafat Timur), yang merupakan representasi pemikiran inti
Ibnu Thufail dalam ranah filsafat.
Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa tidak banyak karya Ibnu Thufail, bahkan
hanya satu yang tersisa sampai hari ini, yaitu Rislah Hayy Ibnu Yaqzan. Terdapat dua
tulisan dengan judul Hayy Ibnu Yaqzan, yakni versi Ibnu Thufail dan Ibnu Sina.
Namun, Ibnu Sina yang lebih dulu memakai judul tersebut, kendati versinya berbeda.
Hayy ibnu Yaqzhan merupakan kisah yang memuat berbagai aspek. Seperti
pendidikan, sistem pengetahuan, filsafat, tasawuf dan sastra. Dari aspek sastra

Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 3
Judul artikel

misalnya, karya ini mengandung nilai sastra yang sangat tinggi. Dengan segala bahasa
metaforis dan simbolisasi yang kuat dalam kisah ini dan tradisi sastra tersebut sudah
lama berkembang di dunia Timur lalu berkembang dan berpindah ke bagian Barat
dunia Islam dalam satu lintas generasi.
Risalah Hayy ibnu Yaqzan (kehidupan anak kesadaran), di Barat dikenal sebagai
“Philosophus Autodidactus” telah menorehkan tinta emas di atas lembaran sejarah sebagai
salah satu karya paling berharga yang pernah ada di bidang filsafat
Dengan judul yang sama, sebenarnya Ibnu Shina juga pernah menggunakan
roman ini sebagai ilustrasi perjalanan manusia menuju pengetahuan sejati. Tapi Ibnu
Shina menempatkan tokoh Hayy sebagai seorang kakek yang bijak dan mempunyai
pengetahuan luar bisa. Ibnu Shina juga menulis roman yang bertajuk sama yang
berjudul Salman wa Absal, tapi sudah hilang tak terlacak.
Kisah Hayy ibn Yaqzhan dalam Risalah Ibnu Shina, bertujuan untuk
menegaskan kekuatan akal dan keutamaannya dari segala yang dimiliki manusia,
termasuk naluri instingnya, semua itu tunduk pada akal. Selain itu Ibnu Shina
menunjukkan bagaimana hubungannya dan koherensinya antara akal atas sampai
bawah dengan teorinya berkembangnya akal sampai sepuluh. Sedangkan dalam
karyanya Ibnu Thufail, lebih berkembang dengan tidak hanya mengandalkan akal
sebagai pencari pengetahuan sejati, tetapi juga intuisi.
Perlu diketahui bahwa subtansi gagasan yang di usung roman ini bukanlah
sesuatu yang sama sekali baru yang pernah ditulis. Yang berbeda dari karya ini adalah
bagaimana Ibnu Thufail menampilkan gagasan filsafat yang dikemas dalam bentuk
sebuah roman. Subtansi gagasannya sendiri adalah perjumpaan manusia dengan fitrah
primordialnya ditengah alam yang primitif, dan pengembaraan intelektualnya yang
mencapai kebenaran puncak tanpa pengaruh sosial sedikitpun.
Buku roman filsafat tersebut sangat berpengaruh pada zaman pertengahan. Hal
ini terbukti dengan banyaknya penterjemahan buku tersebut dalam berbagai bahasa:
bahasa Ibrani, Latin, Inggris, Belanda, Perancis, Spanyol, Jerman dan Rusia. Pada zaman
modernpun minat terhadap karya Ibnu Thufail itu tetap ada.

Tahap-tahap Pemikiran dalam Kisah Hayy Ibn Yaqzan


a. Tahap Pengetahuan Empiris
Pengetahuannya masih terbatas dengan hal-hal yang terinderakan saja dengan
pengamatan yang sederhana. Dari apa yang diperolehnya itu, dia semakin
berusaha meningkatkan pengetahuannya.
Hayy meneruskan pengamatannya pada semua jenis binatang, tumbuhan,
bebatuhan, tanah, air dan segalanya yang ada di alam bawah dengan segala sifat
dan atributnya. Tidak hanya itu, dia juga mengamati benda-benda angkasa
denga segala siklus yang dimilikinya.Hal tersebut menunjukkan adanya
metode-metode berfikir yang digunakan, yaitu metode eskperimentasi dengan
komparasi sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan deduktif.
b. Tahap Pengetahuan Rasionalis
Dari wilayah empiris lalu bergerak pada sesuatu yang tidak berbau materi. Pada
tahapan ini dia mendalami pencariannya dengan kontemplasi (renungan).
Pemikirannya pada wilayah ini terlihat juga ketika dia telah memahami bahwa
alam ini ada permulaannya, alam ini adalah sesuatuyang baru. Maka dari itu ada
suatu proses dari ada menjadi tiada. Proses itu memerlukan subyek yang sama
sekali diluar sifat yang diadakan. Membuat ia dapat kesimpulan bahwa semua

4 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Penulis Kesatu, Penulis Kedua dan Penulis Ketiga

itu ada sebabnya, yang mengaturnya dan ada Wujud lain dibalik semua
fenomena itu.
c. Tahap pengetahuan Mistis-Tasawuf
Tahapan terakhir dari perjalanan intelektual Ibnu Thufail dalam kisah Hay Ibnu
Yaqzan adalah tahapan tasawuf mistis melalui jalan intuitif. Hal ini dapat dilihat
dari pencapaiannya ke titik penyaksian. Pencapaiannya dalam maqam tertinggi
dimana ia mendapatkan pengetahuan sejati. Kisah Hay ibnu Yaqzan sampai
disini mewakili pemikirannya tentang jalan mencari kebenaran tidak cukup
sampai pada pengetahuan teoritik dan penalaran rasio atau akal saja.

Kebenaran-kebenaran dalam Kisah Hayy Ibn Yaqzhan


Dari keringkasan isi cerita tersebut dan dari rumusan-rumusan dibalik cerita tersebut,
sebenarnya Ibnu Thufail hendak mengemukan kebenaran-kebenaran berikut ini seperti
yang disimpulkan oleh Syekh Nadim al-Jisr dalam buku “Qisshatul Iman”.(Nadim Al-
Jisr, 1999)
1. Urut-urutan tangga ma’rifat (pengetahuan) yang ditempuh oleh akal, di mulai
dari obyek-obyek inderawi yang khusus sampai kepada pikiran-pikiran
universal.
2. Tanpa pengajaran dan petunjuk, akal manusia bisa mengetahui wujud Tuhan,
yaitu dengan melalui tanda-tandanya pada makhluk-Nya, dan menegakkan
dalil-dalil atas wujud-Nya itu.
3. Akal manusia ini kadang-kadang mengalami ketumpulan dan ketidakmampuan
dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu ketika hendak menggambarkan
keazalian mutlak, ketidak-akhiran zaman, qadim, hadits (baharu), dan hal-hal lain
yang sejenis dengan itu.
4. Baik akal menguatkan qadimnya alam atau kebaharuannya namun kelanjutan
dari kepercayaan tersebut adalah satu juga, yaitu adanya Tuhan.
5. Manusia dengan akalnya sanggup mengetahui dasar-dasar keutamaan dan
dasar-dasar akhlak yang bersifat amali dan kemasyarakatan, serta berhiaskan
diri dengan keutamaan dasar akhlak tersebut, di samping menundukkan
keinginan-keinginan badan kepada hukum pikiran, tanpa melalaikan hak badan,
atau meninggalnya sama sekali.
6. Apa yang diperintahkan oleh syari’at Islam, dan apa yang diketahui oleh akal
yang sehat dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan dan keindahan
dapat bertemu dalam satu titik, tanpa diperselisihkan lagi.
7. Pokok dari semua hikmah ialah apa yang telah ditetapkan oleh syara’, yaitu
mengarahkan pembicaraan kepada orang lain menurut kesanggupan akalnya,
tanpa membuka kebenaran dan rahasia-rahasia filsafat kepada mereka, juga
pokok pangkal segala kebaikan ialah menetapi batas-batas syara’ dan
meninggalkan pendalaman sesuatu.

Pemikiran Filsafat Ibnu Thufail


Filsafat Ibnu Thufail merupakan pemikiran yang baru dalam filsafat Islam yang belum
pernah dilakukan para Filosof Muslim sebelumnya. Terutama dalam hal pembuktian
adanya tuhan. Penjabaran yang diberikan ibnu Thufail cukup gamlang dan dapat
dipahami oleh semua golongan orang. Mengenai pemikiran filsafat Ibnu Thufail dapat
dilihat dalam karyanya yang berjudul Hayy Ibn Yaqzhan sebagaimana yang disebutkan
terdahulu, yang meliputi metafisika (ketuhanan), fisika, jiwa, epistimologi, dan
rekonsiliasi antara filsafat dan agama.

Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 5
Judul artikel

1. Metafisika (Ketuhanan)
Pemikiran mengenai metafisika (ketuhanan) merupakan salah satu
bagian dari pokok pemikiran Ibnu Thufail. Di dalam kisah Hayy Ibn Yaqzhan,
Ibnu Thufail menyatakan bahwa dengan menggunakan kekuatan nalardan
renungan terhadap alam sekitarnya, dia meyakini adanya pencipta. Penciptaan
dunia yang berlangsung lambat laun ini, mensyaratkan adanya suatu pencipta,
sebab dunia tidak bisa maujud dengan sendirinya.(Syarif, 1996)
Dalam membuktikan adanya Tuhan, Ibnu Thufail mengemukakan tiga dalil
yaitu:
a. Dalil gerak (al-harakat)
Gerak alam ini menjadi bukti tentang adanya Tuhan, baik bagi orang yang
meyakini alam baharu maupun bagi orang yang meyakini alam Qadim. Bagi
orang yang meyakini alam baharu (hâdits), berarti alam ini sebelumnya tidak
ada, kemudian menjadi ada.Untuk menjadi ada mesti ada penciptanya dan
pencipta inilah yang menggerakkan alam dari tidak ada menjadi ada, yang
disebut dengan Tuhan.Sementara itu, bagi orang yang yang meyakini alam
kadim, adanya alam tidak didahului oleh tidak adanya tetapi selalu ada,
maka gerak alam itu kadim, tidak berawal dan tidak berakhir karena tidak
didahului oleh suatu zaman.Adanya gerak ini menunjukkan adanya
penggerak yaitu Tuhan.(Zar, 2010)
b. Dalil materi (al-mâdât) dan bentuk (al-shȗrat)
Bagi orang yang meyakini alam qadim, maka Pencipta dalam hal ini berfungsi
mengeksistensikan wujud dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Sementara
itu, bagi orang yang meyakini alam baharu, Pencipta berfungsi menciptakan
alam dari tidak ada menjadi ada, artinya Pencipta merupakan ‘illat (sebab)
dan alam merupakan ma’lul (akibat).(Zar, 2010)
c. Dalil al-Ghaiyyat dan al-‘inâyat al-Ilahiyyat
Maksudnya segala sesuatu yang ada di alam ini mempunyai tujuan tertentu,
dan ini merupakan inayah dari Allah. Ibnu Thufail juga filosof lain yang
berpegang pada argumen ini sesuai dengan Qur’ani, dan menolak bahwa
alam diciptakan oleh Allah secara kebetulan. Menurut Ibn Tufail alam ini
tersusun sangat rapi dan sangat teratur, semua planet seperti matahari,
bulan, bintang dan lain-lainnya beredar secara teratur.
2. Fisika
Menurut Ibnu Thufail, alam ini qadim juga baharu. Alam dikatakan qadim karena
Allah menciptakannya sejak azali, tidak didahului oleh suatu zaman, sehingga
dapat dikatakan alam itu taqaddum zaman. Sedangkan alam dikatakan baharu
karena alam bergantung pada zat Allah sebagai ‘illat, artinya karena alam itu
diciptakan maka alam itu sudah tentu baharu. (Husain Siddiqi, 1943)
3. Jiwa
Ibnu Thufail berpendapat bahwa jiwa manusia adalah makhluk yang tertinggi
martabatnya. Lebih lanjut dikatakan, manusia terdiri atas dua unsur yaitu jasad
dan roh (al-mâdât wa al-rȗh), atau juga dapat dikatakan bahwa manusia terdiri
dari materi dan non materi. Badan manusia terdiri atas unsur-unsur, sedangkan
jiwa tidak.
Ibnu Thufail mengelompokkan jiwa ke dalam tiga bagian, yaitu dalam hal
keabadian jiwa manusia dan hubungannya dengan Tuhan: (Zar, 2010)

6 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Penulis Kesatu, Penulis Kedua dan Penulis Ketiga

1) Jiwa yang sebelum kematian jasad telah mengenal Tuhan, mengagumi


kebesaran dan keagungan-Nya. Jiwa yang seperti ini akan kekal dalam
kebahagiaan.
2) Jiwa yang telah mengenal Tuhan, tapi melakukan maksiat dan melupakan
Tuhan. Jiwa yang seperti ini akan abadi dalam kesengsaraan.
3) Jiwa yang tidak pernah mengenal Tuhan selama hidup di bumi. Jiwa yang
seperti ini akan berakhir seperti hewan.
Dari apa yang diungkapkan atau dikemukakan oleh Ibnu Thufail tentang
masalah jiwa, maka dapat dikatakan pula bahwa Ibnu Thufail meletakkan
tanggung jawab di hadapan Tuhan atas dasar pengetahuannya tentang Tuhan.
Bagi orang yang mengetahui Tuhan dan menjalankan kebaikan, akan kekal
dalam kebahagiaan. Sementara orang yang mengetahui Tuhan dan terus
melakukan perbuatan maksiat akan kekal di dalam kesengsaraan. Sedangkan
orang yang samasekali tidak pernah mengetahui Tuhan, jiwanya akan lenyap
seperti lenyapnya jiwa binatang.
4. Epistimologi
Dalam epistemologi, Ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari
panca indra, dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan
indrawi, hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal intuisi.
Ma’rifah dilakukan dengan dua cara, pikiran atau perenungan akal seperti yang
dilakukan oleh para filosof, dan kasyf ruhani seperti yang biasa dilakukan oleh
kaum sufi. Kesesuaian antara nalar dan intuisi membentuk esensi epistemologi
Ibnu Thufail, hal ini dapat diraih oleh seseorang tergantung kepada latihan
rohani, tingkat pemikiran dan renungan akal. (Husain Siddiqi, 1943)
5. Rekonsiliasi (tawfîq) antara filsafat dan agama
Melalui roman filsafat Hayy Ibn Yaqzhan, Ibnu Thufail menekankan bahwa
antara filsafat dan agama tidak bertentangan, dengan kata lain, akal dan wahyu
tidak bertentangan dengan wahyu. Allah tidak hanya dapat diketahui dengan
wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal. Hayy yang bebas dari pengaruh
ajaran Nabi, dapat sampai ke tingkat tertinggi dari ma’rifah terhadap Allah,
melalui akalnya dan melalui kasyf ruhani yang ia peroleh dengan jalan latihan
kerohanian, seperti berpuasa, shalat, dan lainnya. Ibnu Thufail menyadari,
mengetahui, dan berhubungan dengan Allah melalui pemikiran akal murni,
yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang khusus (ahl al-ma’rifat).Orang
awam tidak mampu melakukannya. Karena itu, bagi orang awam sangat
diperlukan adanya ajaran agama yang dibawa oleh Nabi.

KESIMPULAN
Karya Hayy Ibn Yaqzhan adalah karya alegori falsafah bercorak kesufian atau alegori
sufi bercorak falsafah. Karya ini merupakan refleksi perjalanan intelektual dan
spiritualitasnya. Ibnu Thufail berusaha dengan penuh kesungguhan untuk memadukan
antara filsafat dan agama.
Hayy dalam roman filsafatnya, ia lambangkan sebagai akal yang dapat
berkomunikasi dengan Allah. Sedangkan Absal, ia lambangkan sebagai wahyu (agama)
dalam bentuk esoteris, yang membawa hakikat (kebenaran). Sementara Salaman, ia
lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk eksoteris, yang juga membawa
kebenaran. Kebenaran yang dihasilkan filsafat tidak bertentangan dengan kebenaran
yang dikehendaki agama karena sumbernya sama, yaitu Allah SWT.

Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 7
Judul artikel

Akal manusia ini kadang-kadang mengalami ketumpulan dan ketidakmampuan


dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu ketika hendak menggambarkan
keazalian mutlak, ketidak-akhiran zaman, qadim, hadits (baharu), dan hal-hal lain yang
sejenis dengan itu. Pengetahuan yang ditempuh oleh akal, di mulai dari obyek-obyek
inderawi yang khusus sampai kepada pikiran-pikiran universal. Tanpa pengajaran dan
petunjuk, akal manusia bisa mengetahui wujud Tuhan, yaitu dengan melalui tanda-
tandanya pada makhluk-Nya, dan menegakkan dalil-dalil atas wujud-Nya itu.
Struktur filsafat Ibnu Thufail dibangun di atas dua model pengetahuan sekaligus
yaitu pengetahuan diskursif yang dibangun di atas dasar rasio (al-‘aql) dan pengetahuan
intuitif mistis (kasyfiyyah-dzauqiyyah) yang didasarkan pada ketajaman intuisi. Struktur
inilah yang disebut oleh Ibnu Thufail sebagai rahasia-rahasia filsafat Timur (Asrar al-
Hikmat al-Masyriqiyyah)

REFERENSI
Ahmad, W. (1978). Dasar dan Tehnik Research. Bandung: Tarsito.
Ali, Y. (1991). Perkembangan Falsafi Dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Hadi, S. (1995). Metodologi Research I. Yogyakarta: Andi Offset.
Husain Siddiqi, B. (1943). A History of Muslim Philosophy. Wisbaden: Otto, Harrossowitz,
I, 256.
Mansuri, M. H. (2005). Ibnu Thufail; Jalan Pencerah Menuju Tuhan. Yogyakarta: LkiS.
Nadim Al-Jisr, S. (1999). Kisah Mencari Tuhan. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, H. (1983). Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press.
Syarif, M. (1996). Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.
Zar, S. (2010). Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Rajawali Pers.

8 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...

You might also like