You are on page 1of 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/329673544

FENOMENOLOGI AGAMA DALAM PERSPEKTIF HASAN HANAFI

Article · December 2018

CITATIONS READS

0 2,579

1 author:

Robiatul Adawiyah
Miftahul Ulum Sumber Jaya Kalimantan Selatan
2 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Tugas Filsafat Ilmu View project

All content following this page was uploaded by Robiatul Adawiyah on 15 December 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


FENOMENOLOGI AGAMA DALAM PERSPEKTIF HASAN HANAFI

Rabiatul Adawiyah
PP. Miftahul Ulum Sumber Jaya Kintap Kalimantan Selatan
Email: nangaem@gmail.com

Abstract
Philosophy has important role in improving knowledge. By philosophy human
being could analyze everything around the world radically, included themself.
There are many sociologist has conducted some research use philosophy as media
in their research and then improved philosophy its self. One branch of philosophy
which was used in analyzing socio-culture is Phenomenoly. Phenomenology was
considered as the best method used to understand something. By phenomenology
someone will get some radically undersntanding about he object will be
researched based on phenomena or everything appear of the object. Hasan Hanafi
is an islamic modern scientist who has conducted an effort to compromise
traditional and contemporary though based on phenomenology. According Hanafi,
resurrection of islam will be happened when moslem could conduct the critical
analyze about western culture based on islamic perspective.
This research will discuss about phenomenology of religion in Hasan hanafi’s
perspetive. To support this reserch, the researcher used many sources about
phenomenology wether islamic phenomenology that has formulated by Hasan
Hanafi as main topic or another sources as supporting refrences and then compere
them. This research resulted some understanding that the interpretation of Al-
Qur’an which has done by Hasan Hanafi was not based on Qur’anic Knowledge
but based on Philosophy so that resulted new knowledge namely social
hermeunetic in which prioritize the reality than revelation its self. However, the
revelation has given to control social phenomena so the dialogue between reality
and revelation is always needed.
Keyword: Fenomenologi, Agama, Hasan Hanafi.
Latar Belakang
Dari sekian banyak cabang ilmu filsafat, fenomenologi dianggap sebagai
metode terbaik yang digunakan untuk memahami sesuatu. Dengan fenomenologi
seseorang akan mendapatkan gambaran umum dan mendalam dari obyek yang
akan ia teliti berdasarkan fenomena atau penampakan-penampakan pada diri
obyek. Dengan memakai media filsafat seseorang akan mencapai kemampuan
intelektual yang cukup untuk memahami apa-apa yang ia lihat dan ia alami.
Selanjutnya filsafat menciptakan kategori-kategori atas berbagai fenomena,
mencari kesatuan makna dari berbagai hal yang beragam (craving for generality),
dan melakukan penunggalan atas kemajemukan (craving for unity).1
Fenomena sudah menjadi sebuah kata yang sudah tidak asing lagi di telinga
kita. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah fenomena hanya sekedar kata

1
Eko Ariwidodo, “Logosentrisme Jacques Derrida Dalam Filsafat Bahasa”, Karsa, 21 (December
2013), 343.
yang sudah biasa dipakai atau hanya sebuah istilah yang menjadi kata penghias
dalam pembicaraan, atau hanya pengalaman panca indra seseorang yang ia
ungkapkan kepada orang lain?
Dalam Studi Islam, Fenomenologi telah mendorong perhatian banyak
sarjana. Awalnya, Fenomenologi hanya memperoleh tempat yang sangat terbatas
dan hanya dikaji dalam konteks sejarah agama, atau studi agama komparatif pada
umumnya. Dalam kaitanya dengan studi agama, makna istilah fenomenologi tidak
pernah terbekukan secara tegas. Maka perlu suatu kecermatan dalam upaya
menentukan faktor-faktor yang mencakup dalam pendekatan fenomenologis
karena pendekatan fenomenologis memiliki karekteristik tersendiri yang berbeda
dengan pendekatan lainya dalam memahami agama. Para pemerhati Studi Islam
tentu sudah tidak asing lagi dengan nama Hasan Hanafi, terutama yang gemar
membaca karya tentang kebangkitan Islam. Dalam pemikirannya ia dapat
disejajarkan dengan tokoh pemikir Islam yang lain seperti Fazlur Rahman,
Mohammad Arkoun, Ali Syariati, M. Sahrur, Ismail Raji Al Faruqi, Sayyed
Hossein Nasr, Salman Rushdie, Ali Asghar E. dan lain-lain.
Hasan Hanafi merupakan tokoh yang berbeda dengan pemikir Islam yang
lain, pemikirannya lebih mengedepankan al-turats wa al-tajdid (tradisi dan
pembaharuan). Dalam golongan intelektual, Hasan Hanafi dikategorikan sebagai
sosok intelektual yang bersifat kritis. Kebangkitan Islam bagi Hasan Hanafi
adalah kebangkitan rasionalisme dan menghidupkan kembali khasanah klasik,
melakukan wacana perlawanan terhadap kebudayaan barat dan menganalisis
realitis dunia Islam.
Hasan Hanafi adalah salah satu dari beberapa orang yang mengkaji tentang
fenomenologi. Dengan fenomenologinya, Hanafi berusaha untuk memahami apa
pesan tersirat agama dan apa yang menyebabkan keterbelakangan, kemiskinan,
kebodohan, dan stagnasi sosial yang terjadi pada umat Islam.

Pengertian Fenomenologi

Fenomenologi adalah studi tentang Phenomenon. Kata ini berasal dari


bahasa Yunani Phainein berarti menunjukkan. Dari kata ini timbul kata
Pheinomenon berarti yang muncul dalam kesadaran manusia. Dalam
fenomenologi, ditetapkan bahwa setiap gambaran pikir dalam pikiran sadar
manusia, menunjukkan pada suatu hal keadaan yang disebut intentional
(berdasarkan niat atau keinginan).2 Fenomenologi juga berarti uraian tentang
sesuatu yang sedang menampilkan diri, atau sesuatu yang sedang menggejala.
Dengan keterangan ini mulai tampaklah tendensi yang terdalam dari aliran
phenomenologi yang sebenarnya merupakan jiwa dan cita-cita dari semua filsafat,
yaitu mendapatkan pengertian yang benar, yang menangkap realitas itu sendiri.3
Dengan penertian ini seolah fenomenologi menjadi instrumen untuk kita melihat
realitas yang tampak.

2
Syamsul Arifin, Fenomenologi Agama (Pasuruan: Garoeda Buana Indah,1996), 1.
3
N. Diyarkara, Percikan Filsafat (Jakarta: PT. Pembangunan,1962), 122.
Dalam bahasa Arab, Filsafat Fenomenologi disebut sebagai ‫الفلسفة الظاهراتية‬
(al-Falsafah al-Zhāhirātiyah) yang masih masuk dalam ruang lingkup ‫منهج التفكير‬
(manhaj al-Tafkīr). Jadi, Fenomenologi merupakan filsafat sekaligus metode.4
Sebagai sebuah metode berfikir, fenomenologi berfungsi untuk membentangkan
langkah-langkah yang harus diambil sehingga sampai pada fenomena yang benar-
benar murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri sebuah gejala
sebagaimana gejala-gejala itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita
harus bertolak dari subyek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk
kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita
harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari.5

Dengan demikian, fenomenologi berarti faham yang menganggap bahwa


sebuah fenomena adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenologi
merupakan sebuah faham yang berpendapat bahwa kemauan yang kuat untuk
mengetahui dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau gejala
yang nampak.6 Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia
sebagai subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Ketika berbicara tentang
makna dan pemaknaan yang dilakukan, maka hermeneutik terlibat di dalamnya.
Pada intinya, bahwa aliran fenomenologi mempunyai pandangan bahwa
pengetahuan yang kita ketahui sekarang ini merupakan pengetahuan yang kita
ketahui sebelumnya melalui hal-hal yang pernah kita lihat, rasa, dengar oleh alat
indera kita. Fenomenologi merupakan suatu pengetahuan tentang kesadaran murni
yang dialami manusia.7

Edmund Husserl (1859-1938) pelopor dari gerakan filsafat fenomenologi,


Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Sebut saja
para filosof seperti Ernst Cassier, Mc.Taggart, Fregge, Dilthey, Kierkergaard, dan
Derrida, semuanya sedikit banyak mendapat pengaruh dari fenomenologi Husserl.
Fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi
pengalaman konkret manusia, ini mengapa fenomenologi disebut sebagai cara
berfilsafat yang radikal.8 Husserl berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua
orang, dan manusia dapat mencapainya. Adapun inti pemikiran fenomenologi
menurut Husserl adalah bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar,
seseorang harus kembali kepada “benda-benda” itu sendiri. Husserl
mengungkapkan teori tersebut dalam sebuah slogan yang berbunyi zu den sachen
(to the things).9 Kembali kepada “benda-benda” dimaksudkan adalah bahwa
“benda-benda” diberi kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya.
Pernyataan tentang hakikat “benda-benda” tidak lagi bergantung kepada orang
yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh “benda-benda” itu sendiri.

Akan tetapi, “benda-benda” tidaklah secara langsung memperlihatkan


hakikat dirinya. Apa yang kita temui pada “benda-benda” itu dalam pemikiran

4
Antwan Khoury, Madkhal ilā al-Falsafah al-Zhāhirātiyah (Beirut: Dār al-Tanwīr,1984), 27.
5
Ibid
6
Arifin, Fenomenologi Agama, 1.
7
Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa klasik hingga Postmodern (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),
368.
8
Khoury, al-Zhāhirātiyah, 32.
9
Harry Hammersma, Tokoh-Tokoh Filsafat (Jakarta: PT. Gramedia,1983), 116.
biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada di balik yang kelihatan itu. Karena
pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka
diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk
menemukan hakikat pada pemikiran kedua ini adalah intuisi. Istilah yang
digunakan Husserl menunjukkan penggunaan intuisi dalam menemukan hakikat
adalah Wesenschau (melihat secara intuitif) hakikat gejala-gejala.

Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat difahami bahwa fenomenologi


berarti ilmu tentang fenomenon-fenomenon apa saja yang nampak. Sebuah
pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang
menampakkan diri pada kesadaran kita.

Biografi Hasan Hanafi

Hasan Hanafi adalah seorang cendikiawan Muslim-Mesir kelas dunia.


Aktifitas dia sebagai akademisi plus aktivis dengan segudang tulisan di berbagai
media telah menarik perhatian kalangan intelektual Arab, Barat, Eropa, dan
bahkan Indonesia sendiri. Gebrakan Hanafi paling tidak memancing beberapa
kajian dari sederet tokoh-tokoh besar seperti Kazuo Shimogaki, Muhsin Mili, Issa
J. Boullata, Ali Harb, Abdurrahman Wahid, Azyumardi Azra, Komaruddin
Hidayat, serta diskusi-diskusi serius yang diadakan LKiS dan Yayasan
Paramadina semenjak tahun 1993.10 Di samping interest dari beberapa intelektual
sebagai indikasi reputasi internasionalnya, jabatannya sebagai guru besar di
berbagai universitas terkemuka di banyak negara dan bahkan sebagai accademic
consultant di Universitas Perserikatan Bangsa-bangsa di Tokyo juga tidak dapat
diabaikan.11

Hasan Hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia
lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah
perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa
muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar.
Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi
keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir
memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun,
Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa
moderen. Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai
arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hasan Hanafi.

Pendidikan Hasan Hanafi diawali pada tahun 1948, kemudian dilanjutkan


pada Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha Kairo yang diselesaikannya selama
empat tahun. Semasa Tsanawiyah, ia aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok
Ikhwan al-Muslimin. Karena itu, sejak kecil ia telah mengetahui pemikiran-
pemikiran yang dikembangkan oleh Ikhwan al-Muslimin dan aktifitas- aktifitas
sosialnya. Hasan Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran- pemikiran

10
Moh. Nurhakim, Islam, Tradisi, dan Reformasi: “Pragmatisme” Agama dalam Pemikiran Hasan Hanafi
(Surabaya: Bayu Media Publishing, 2003), 19.
11
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Alquran Menurut Hasan Hanafi
(Jakarta: Teraju, 2002), 94.
Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dan Islam. Sejak itu, ia berkonsentrasi untuk
mendalami pemikiran agama, revolusi dan perubahan sosial.12 Tahun 1956,
Hanafi mendapatkan gelar kesarjanaan pertamanya di Fakultas Sastra Jurusan
Filsafat Universitas Kairo. Selanjutnya, selama sepuluh tahun ia menghabiskan
waktu belajar di Prancis, di Sorbonne University dan menyelesaikan disertasi
monumental dengan judul Essai sur la Methode d’Exegetse. Disertasi yang
didaulat sebagai karya ilmiyyah terbaik di Mesir pada tahun 1961 dan berkuantitas
900 halaman ini merupakan upaya Hanafi untuk melakukan dialektika filsafat
hukum Islam (Ushul al-Fiqh) dengan teori fenomenologi Edmund Husserl.13
Pemikiran Hassan Hanafi tersebar di dunia Arab sampai ke Eropa. Pada tahun
1981, ia memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal
ilmiah al-Yasar al-Islami. Pemikiran yang terkenal dengan al-Yasar al-Islami
sempat mendapat reaksi dari penguasa Mesir, Anwar Sadat, yang memasukkannya
ke dalam penjara.14

Fenomenologi Agama Hasan Hanafi


Dalam perkembangan Islam modern salah satu tokoh yang menjadi pengkaji
fenomenologi adalah Hasan Hanafi. Hanafi terilhami dari seorang tokoh
fenomenologi, yakni Edmund Husserl. 15 Fenomenologi menurut Hasan Hanafi
merupakan metode yang paling baik dalam memahami keagamaan dan realitas
yang ada. Dengan analisis Fenomenologinya, Hanafi berkesimpulan bahwa untuk
memperoleh kemajuan kembali umat Islam diperlukan rekontruksi teologi, namun
rekonstruksi yang beliau ajukan tidak hanya bersifat dekonstruksi, yang Hanafi
ajukan adalah mengkaji kembali hasil pemikiran masa lampau dan
mengapresiasinya dengan konteks yang sesuai dengan masa sekarang.16 Maka dari
itu, pemikirannya tidak lantas menolak corak pemikiran klasik namun
menganalisanya kemudian dikomporomikan atau didialogkan dengan realitas
kontemporer.

Hanafi menggunakan pendekatan fenomenologi yang ia adopsi dari teori


fenomenologi Edmund Husserl dalam mengembangkan teori hermeneutikanya.
Hanafi menawarkan pendekatan sosial dalam menafsirkan Al-Qur’an (al-Manhaj
al-Ijtimā’ī fī al-Tafsīr). Dengan metode tafsir Al-Qur’an seperti ini, menurut
Hanafi, seorang mufassir yang ingin mendekati makna Al-Qur’an tidak saja
mendeduksi makna dari teks, tapi sebaliknya, dapat juga menginduksi makna dari
realitas kedalam teks. Seorang mufassir bukan hanya menerima, tapi memberi
makna. Ia menerima makna dan meletakannya dalam struktur rasional dan
nyata.17 Teori penafsiran seperti ini bertentangan dengan konsep penafsiran yang
telah mapan dan disepakati para ulama terdahulu. Yaitu, realita mendeduksi

12
Achmad Khudori Sholeh, “Mencermati Hermenutika Humanistik Hasan Hanafi” dalam M. Alfatih
Suryadilaga, (Jurnal Studi Ilmu-ilmu Alquran & Hadis Vol. 11, No. 1, Januari 2010),42.
13
Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hasan Hanafi: Menggugat Kemapanan Agama dan Politik (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2005), 42.
14
Moh. Nurhakim, Islam, Tradisi, dan Reformasi: “Pragmatisme” Agama dalam Pemikiran Hasan Hanafi
(Surabaya: Bayu Media Publishing, 2003), 28.
15
Hasan Hanafi, Dirasah Islamiyyah (terj. Miftah Faqih dengan judul Islamologi), (Yogyakarta: LKiS, 2004),
5.
16
Saenong, Hermeneutika Pembebasan, 12.
17
Ibid, 146.
makna dari teks.18 Dalam pemikirannya, Hanafi senantiasa merepresentasikan
hubungan dialektis antara subyek (self) dan yang lain (other) dalam proses
sejarah. Hal tersebut dilakukan untuk reinterpretasi terhadap tradisi yang relevan
dengan tuntutan kontemporer. Baginya pemikiran harus berkaitan dengan realitas,
artinya orientasi pemikiran harus senantiasa ditujukan pada kesadaran atas realitas
untuk melakukan perubahan yang signifikan dan terdapat relasi unifikatif antara
subyek, obyek, dan kesadaran.19 Dalam usaha melihat hakekat intuisi, Hanafi
memperkenalkan pendekatan reduksi. Yang dimaksud dengan reduksi dalam hal
ini adalah penundaan segala pengetahuan yang ada tentang objek sebelum
pengamatan intuisi dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau
pengecilan. Istilah lain yang digunakan adalah epoche, yang artinya sebagai
penempatan sesuatu di antara dua kurung.20

Reduksi ini adalah salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis.
Untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenologis harus bersifat netral. Tidak
menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang ada dalam hal ini diberi
kesempatan “berbicara tentang dirinya sendiri”.21 Agar mencapai hakekat obyek,
diperlukan tiga tahap reduksi yang fungsinya adalah menyingkirkan semua hal
pengganggu. Reduksi Fenomenologis, reduksi kedua Reduksi Eidetis dan reduksi
ketiga Transendental.22

Reduksi Fenomenologis merupakan tahap penyaringan terhadap semua


pengalaman-pengalaman kita, dengan maksud agar mendapatkan fenomena yang
semurni-murninya.23 Singkatnya ini merupakan reduksi dari pengalaman sehari-
hari tentang dunia yang dicampuri pengertian ilmiah dan kultural, guna
memandang kembali dunia dalam arti aslinya. 24 Atau dengan kata lain, reduksi ini
adalah “pembersihan diri” dari segala subyektivitas yang dapat mengganggu
perjalanan mencapai realitas itu.25

Hanafi menggunakan pendekatan fenomenologi dalam menafsirkan al-


Qur'an. Menurutnya, ada lima tahapan yang harus dilakukan seorang mufassir
dalam melakukan penafsiran al-Qur’an. Langkah-langkah tersebut adalah:

1. Wahyu diletakkan dalam "tanda kurung" (ditunda), tidak diterima, tidak


pula ditolak. Penafsir tidak perlu lagi mempertanyakan keabsahan dan
keaslian al-Qur’an, apakah ia dari Allah atau dari pandangan
Muhammad. Lalu penafsiran dimulai dari teks apa adanya tanpa
mempertanyakan keasliannya terlebih dahulu.26

18
Fathi Muhammad Gharib, Raudhah al-Bāhitsīn fī manāhij al-Mufassirīn (Kairo: Al-Azhar University,
2007), 109.
19
Hanafi, Dirāsah Islāmiyyah, 5.
20
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsaat dan Etika (Jakarta: Penerbit Kencana, 2005), 180.
21
Ibid
22
Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat, 117.
23
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Rineka Cipta,1993), 340.
24
Teo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah (Jogjakarta: Pustaka Filsafat Kanisius, 1982), 228-
229.
25
Juhaya, Filsaat dan Etika, 181.
26
Saenong, Hermeneutika Pembebasan 147.
2. Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti karya
sastra, teks filosofis, dokumen sejarah dan sebagainya. Al-Qur’an tidak
memiliki kedudukan istimewa secara metodologis, semua teks ditafsirkan
berdasarkan aturan yang sama.27
3. Tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau salah.
4. Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas penafsiran
yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman penafsir. Teks hanyalah
alat kepentingan, bahkan ambisi manusia. Penafsirlah yang memberinya
isi sesuai ruang dan waktu dalam masa mereka.
5. Konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio politik. Setiap penafsiran
mengungkapkan sosio-politik penafsir.28
Analisa
Secara asal, Ilmu Kalam (ilmu filsafat) adalah ilmu yang sangat dibenci dan
dikritik oleh para ulama Ahlussunnah sejak dahulu hingga saat ini. Sebagian di
antara mereka bahkan secara khusus menulis kitab-kitab berisi bantahan terhadap
ilmu filsafat dan tokoh-tokohnya. Sederet ulama-ulama seperti Imam al-Dzahabi,
Imam Ibnul Jauzi, Imam al-Baihaqi, bahkan para Imam madzhab yang empat
seluruhnya sepakat membenci filsafat dan tokohnya. Kebencian para Ulama
Ahlussunnah terhadap ilmu filsafat bukan tanpa alasan. Kerasnya celaan mereka
terhadap ilmu filsafat dan para tokohnya tidak lain adalah karena akibat yang
sangat buruk dari mempelajari ilmu tersebut, yaitu merendahkan firman Allah dan
sabda Rasulullah. Hal ini terjadi karena para penganut filsafat lebih mendahulukan
akal dan pendapat para filosof daripada nash.

Penggunaan teori Fenomenologi dalam penafsiran yang dibangun Hanafi di


atas, bercorak hermeneutika sosial yang lebih mengedepankan realitas
kontemporer yang terjadi saat al-Quran itu ditafsirkan. Hal ini terkait dengan latar
belakang turunnya (asbāb an-nuzūl) ayat atau surat Al-Qur'an. Menurut Hanafi,
tidak ada ayat atau surat yang tanpa didahului latar belakang pewahyuan. Latar
belakang ini menurut Hanafi, harus dipahami dalam pengertian yang luas, asbāb
an-nuzūl dapat berupa kondisi, peristiwa, atau lingkungan yang didalamnya
sebuah ayat atau surat diturunkan. Setiap latar belakang tercermin dalam kuantitas
surat. Surat yang panjang menggambarkan suatu peristiwa yang besar adapun
surat pendek menggambarkan sebaliknya.29 Dengan pendapat seperti ini, Hanafi
membangun teori Hermeneutika sosial yang bersifat humanisme karena berbasis
realitas yang terjadi pada manusia dan alam sekitar manusia serta menghilangkan
unsur-unsur teosentris (ketuhanan) yang tidak memihak manusia seperti yang
telah dipaparkan diatas. Menurut Hanafi, seorang mufassir yang ingin mendekati
makna al-Qur’an tidak saja mendeduksi makna dari teks, tapi sebaliknya, dapat
juga menginduksi makna dari realitas kedalam teks. Bukan sekedar menjelaskan,

27
Hasan hanafi, Humūm al-Fikr al-Wathan: al-Turāts wa al-’Ashr wa al-Hadātsah (Kairo: Dār Qubā`,1997),
23.
28
Hasan Hanafi, al-Dīn wa l-Tsawrah fī Mishr 1952-1981, al-Yamīn wa al-Yasār fī fikri al-Dīn Vol. 7 (Kairo:
Maktabah Madbuli,1989), 102.
29
Hasan Hanafi, Al-Wahyu wa al-Waqi': Dirasat fi asbab al-nuzul, (Nadwah mauqif al-Islam wa al-hadatsah,
Dar as-saqa), 135-136.
tapi juga memahami. Bukan hanya mengetahui, tapi sekaligus menyadari. Seorang
mufassir bukan hanya menerima, tapi memberi makna. Ia menerima makna dan
meletakannya dalam struktur rasional dan nyata. 30

Dalam konteks ini Hanafi mengikuti teori yang dikembangkan oleh


golongan Mu’tazilah yang membangun teori penafsiran al-Qur’an di atas pokok
yang lima, yaitu Ushul al-Khams, maka dari itu, teori penafsiran yang mereka
bangun adalah, menjadikan teks mengikuti apa yang mereka kehendaki sesuai
dengan pokok-pokok yang lima diatas. Begitupula teori yang dikembangkan
Hanafi, dengan dalih untuk lebih membumikan Teks al-Qur'an supaya lebih
humanis, maka Hanafi mengedepankan realitas, lalu mencari ayat-ayat al-Qur'an
yang sesuai dengan realitas itu. Teori penafsiran seperti ini bertentangan dengan
konsep penafsiran yang telah disepakati para ulama terdahulu yaitu realita
mendeduksi makna dari teks, bukan sebaliknya. 31

Pendapat Hanafi bahwa semua ayat dan surat al-Qur'an ada asbab an-nuzul
nya sangat bertentangan dengan teori asbāb an-nuzūl yang telah dikoodifikasikan
dengan mapan oleh ulama-ulama 'ulūm a-Qur'an terdahulu yang sangat
menguasai 'ulūm al-Qur'an. Langkah penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh
Hanafi jelas sekali merupakan implikasi dari teori fenomenologi Husserl yaitu
dengan melakukan epoche (penundaan) atau dikenal juga dengan teori reduksi.
Yang mana bagi Husserl metode yang benar-benar ilmiah adalah metode yang
sanggup membuat fenomena menampakkan diri sesuai dengan realitas yang
sesungguhnya tanpa memanipulasinya. Berangkat dari proses pemikiran inilah,
maka lahirlah metode fenomenologis.32 Dengan demikian, pemahaman terhadap
realita yang ada serta pemahaman terhadap teks-teks agama menjadi mutlak
diperlukan sehinga teka-teks kitab suci tersebut tidak menjadi barang antik yang
sepi dari dialog dengan realita atau fenomena sosial. Dengan pemahaman ini pula
maka realitas sosial dengan berbagai bentuk fenomena lainnya akan mudah
dimengerti serta mudah diatasi kemudian dikembangkan menjadi wadah baru bagi
kemajuan ummat manusia.

Kesimpulan

Teori Fenomenologi yang dibangun Hanafi sebagaimana penulis paparkan


diatas, bukanlah hal baru. Hanafi menyusun metodologi penafsiran Al-Qur'an
bukan dengan teori 'ulūm Al-Qur'ān yang selama ini telah mapan dan banyak
dipergunakan oleh ulama-ulama Islam dalam menafsirkan Al-Qur'an, melainkan
dengan pendekatan filsafat. Sehingga lahirlah Hermeneutika sosial yang lebih
mengutamakan realitas daripada wahyu itu sendiri. Ayat-ayat Al-Qur'an
menginduksi makna dari realitas yang ada dan berkembang saat penafsiran Al-
Qur'an. Hanafi juga mencoba untuk menghilangkan otoritas para ulama yang telah
berjasa mengkoodifikasikan aturan-aturan bagi seorang mufassir. Hal ini Hanafi
lakukan dengan mengadopsi teori fenomenologi Husserl. Sehingga penafsiran
dapat dilakukan oleh semua orang.

30
Saenong, Hermeneutika Pembebasan, 146.
31
Gharib, 109.
32
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,1996), 118-119.
DAFTAR PUSTAKA

Ariwidodo, Eko. 2013. Logosentrisme Jacques Derrida Dalam Filsafat Bahasa,


Karsa, 21 (2): 343.
Arifin, Syamsul, 1996. Fenomenologi Agama, Pasuruan: Garoeda Buana Indah.
Badruzzaman, Abad, 2005. Kiri Islam Hasan Hanafi: Menggugat Kemapanan
Agama dan Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Diyarkara ,N., 1962. Percikan Filsafat, Jakarta: PT. Pembangunan.
Gharib, Fathi Muhammad, 2007. Raudhah al-Bāhitsīn fī manāhij al-Mufassirīn,
Kairo: Al-Azhar University.
Hammersma, Harry, 1983. Tokoh-Tokoh Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia.
Hanafi, Hasan, 1989. al-Dīn wa l-Tsawrah fī Mishr 1952-1981, al-Yamīn wa al-
Yasār fī fikri al-Dīn Vol. 7, Kairo: Maktabah Madbuli.
___________, Al-Wahyu wa al-Waqi': Dirasat fi asbab al-nuzul, Nadwah mauqif
al-Islam wa al-hadatsah, Dar as-saqa.
___________, 2004. Dirasah Islamiyyah, terj. Miftah Faqih dengan judul
Islamologi, Yogyakarta: LkiS..
__________, 1997. Humūm al-Fikr al-Wathan: al-Turāts wa al-’Ashr wa al-
Hadātsah Kairo: Dār Qubā`.
Khoury, Antwan, Madkhal ilā al-Falsafah al-Zhāhirātiyah, Beirut: Dār al-
Tanwīr,1984.
Khudori Sholeh, Achmad, “Mencermati Hermenutika Humanistik Hasan Hanafi”
dalam M. Alfatih Suryadilaga, Vol. 11, No. 1, Januari 2010.
Maksum, Ali, 2011. Pengantar Filsafat dari Masa klasik hingga Postmodern,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Nurhakim, Moh., 2003. Islam, Tradisi, dan Reformasi: “Pragmatisme” Agama
dalam Pemikiran Hasan Hanafi, Surabaya: Bayu Media Publishing.
Nurhakim, Moh., 2003. Islam, Tradisi, dan Reformasi: “Pragmatisme” Agama
dalam Pemikiran Hasan Hanafi, Surabaya: Bayu Media Publishing.
Praja, Juhaya S., 2005. Aliran-Aliran Filsaat dan Etika, Jakarta: Penerbit
Kencana.
Rapar, Jan Hendrik, 1996. Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
Saenong, Ilham B., 2002. Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Alquran
Menurut Hasan Hanafi, Jakarta: Teraju.
Sudarsono, 1993. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Teo Huijbers, 1982. Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Jogjakarta: Pustaka
Filsafat Kanisius.

View publication stats

You might also like