You are on page 1of 113

KARAKTERISASI PENANDA GENETIK

mtDNA COI DAN DAERAH ITS rDNA KARANG


Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) DALAM UPAYA
PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI PERAIRAN
PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

JUSAK WIRA HARDJA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakterisasi Penanda Genetik


mtDNA COI dan Daerah ITS rDNA Karang Goniopora spp. (Cnidaria:
Scleractinia) dalam Upaya Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Pulau
Pramuka, Kepulauan Seribu adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2009

Jusak Wira Hardja


NIM C252070284
ABSTRACT

JUSAK WIRA HARDJA. Characterization of mtDNA COI and rDNA ITS


Region as the Genetic Markers of Coral Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia)
in Coral Reef Management Efforts in Pramuka Island, Seribu Islands. Under
direction of ARIO DAMAR, PUTRI ZAMANI and DEDY DURYADI SOLIHIN.

Condition of coral reefs in Seribu Islands have been degraded, particularly


on islands adjacent to Jakarta (hard coral cover < 5%). The largest portion of coral
reef damage due to human activity, including destructive and over fishing, corals
and sand mining, water pollution, run-off, sedimentation and coastal development.
In Indonesia, during the period 1999-2003 which corals live as coral trade is a
kind of colored or have a large polyp that can be seen throughout the day, such as
Euphyllia spp. and Goniopora spp. are included in Appendix II of CITES
(Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora).obtained from various regions in Indonesia. Ornamental coral export
development in Indonesia in general tends to increase every year along with the
increasing number of importing countries International trade of corals, reef fish,
live coral reefs and other organisms are activities that contribute to the decline and
degradation of coral reefs. Efforts to conserve and rehabilitation of coral reefs
have been carried out, such as coral transplantation, but there are problems in
systematic, taxonomy, and identification of coral species level, due to frequent
changes and plasticity morphology. DNA Barcoding is one solution to overcome
this problem. However the genetic markers based on Cytochrome c oxidase sub-
unit 1 (COI) seemly cannot be applied to species level of coral, so that other
genetic markers is required. In this study was used two genetic markers of
mtDNA COI (mitochondrial DNA COI) and ITS rDNA (nuclear ribosomal intra
transcribed spacer region) as a comparison. Coral samples were taken from the
Seribu Islands waters at Pramuka Island and Panggang Island at different
locations, then performed morphological identification, isolation of DNA, PCR-
based DNA amplification, and sequence analysis genomic DNA using the Mega
4.0. program and using Porites spp. nucleotide sequence from GenBank as an out-
group. The research concluded that based on the genotypic characteristics
suggested that the COI genes of corals were relatively can only be used at the
level of genus or higher level. Whereas ITS rDNA genes were relatively can be
used as genetic markers at the species level, but should be used the other gene
markers as a control or comparison. By knowing the genotypic differences of
coral species, is expected to be a reference in determining the donor that can be
used in coral reef transplantation, especially in management coral reefs efforts in
the waters of Pramuka and Panggang Islands, and as generally in the Seribu
Islands waters. Furthermore, genetic markers as DNA Barcode has potentially to
be used as one of identification tool in the regulation of corals trading, especially
ornamental coral such as Goniopora spp.
Key words: coral reef, coral, DNA barcoding, genetic marker, COI, ITS,
Goniopora spp.
RINGKASAN

JUSAK WIRA HARDJA. Karakterisasi Penanda Genetik mtDNA COI dan


Daerah ITS rDNA Karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) dalam Upaya
Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Dibimbing oleh ARIO DAMAR, NEVIATY PUTRI ZAMANI dan DEDY
DURYADI SOLIHIN.

Kondisi terumbu karang Kepulauan Seribu telah mengalami degradasi,


terutama di pulau-pulau yang berdekatan dengan Jakarta (tutupan karang keras
< 5%). Porsi terbesar kerusakan terumbu karang akibat ulah manusia, di
antaranya penangkapan berlebih dan merusak, polusi air laut, sampah,
penambangan karang dan pasir, sedimentasi serta pembangunan pesisir. Kepulauan
Seribu masih memiliki sumber daya yang beragam berupa terumbu karang, ikan
terumbu, invertebrata, mangrove, lamun, rumput laut, penyu, dan burung laut yang
patut kita jaga kelestariannya (Estradivari et al. 2007). Kondisi ini yang membuat
kawasan ini menjadi menarik untuk diamati dan sebagai lokasi penelitian terumbu
karang. Di perairan Kepulauan Seribu ini banyak dilakukan kegiatan rehabilitasi
terumbu karang, transplantasi karang, kebun karang dan juga budidaya karang hias,
yaitu di antaranya adalah di sekitar Pulau Pari, Pulau Pramuka, dan Pulau Panggang
(Johan 2000; Aziz 2002; Respati 2005; Margono 2009; Nggajo 2009).
Di Indonesia, selama periode 1999-2003 karang hidup yang
diperdagangkan merupakan jenis karang yang berwarna atau memiliki polip
berukuran besar yang dapat dilihat sepanjang hari, seperti Euphyllia spp. dan
Goniopora spp. yang diperoleh dari berbagai daerah di Indonesia. Perkembangan
ekspor karang hias di Indonesia secara umum cenderung terus meningkat setiap
tahunnya bersamaan dengan semakin banyaknya jumlah negara pengimpor.
Sampai tahun 2003 jumlah negara pengimpor karang hias dari Indonesia sudah
mencapai 45 negara (Kudus 2005).
Transplantasi karang merupakan salah satu alternatif upaya untuk pemulihan
terumbu karang melalui pencangkokan atau pemotongan karang hidup untuk
ditanam di tempat lain atau di tempat yang karangnya telah mengalami kerusakan.
Beberapa negara telah mengembangkan lebih lanjut teknologi transplantasi karang
dan marine culture (coral farming), yang tujuannya selain restorasi dan
rehabilitasi juga budidaya untuk memenuhi kebutuhan pasar akan karang hias
(Clark dan Edward 1999; Green dan Shirley 1999; Berzin et al. 2008). Yang harus
diingat adalah minimalisasi kerusakan terhadap kawasan yang lebih baik yang
menjadi donor transplantasi, dan memaksimalkan kemungkinan hidup transplan
pada terumbu karang yang akan dipulihkan.
Keanekaragaman genetik transplan hasil budidaya juga harus
dipertimbangkan dengan hati-hati, karena adanya perubahan genotipik dapat
mengakibatkan perbedaan ketahanan terhadap transplantasi. (Edwards dan Gomez
2007). Kerusakan atau perubahan genetik oleh hibridisasi populasi karang dan
memburuknya keanekaragaman genetik komunitas karang dapat disebabkan oleh
kegiatan rehabilitasi yang tidak tepat. Jika jumlah koloni donor sangat terbatas
atau kurangnya keanekaragaman kelompok genetik (genetic pool), komunitas
karang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan atau suatu penyakit. Biologi
molekuler, yang saat ini sedang berkembang dapat dipertimbangkan untuk
diterapkan dalam memperkirakan besarnya keanekaragaman genetik dalam
komunitas karang. Hasilnya dapat digunakan sebagai referensi untuk
menghasilkan larva di laboratorium dan dalam melakukan transplantasi fragmen
karang dari sumber asalnya. (Omori dan Fujiwara 2004).
Penggunaan barkode DNA (DBC) sebagai alat untuk mengidentifikasi
spesies dan menilai keanekaragaman hayati baru-baru ini menarik banyak
perhatian. Barkode DNA adalah urutan basa-basa pendek yang mengkode gen
Sitokrom Oksidase sub unit I (COI) (Herbert et al. 2003). Urutan basa ini dapat
digunakan untuk mengidentifikasi spesies, karena setiap spesies memiliki urutan
yang unik untuk gen COI tersebut. Aspek yang menarik dari sebuah metode
barkode untuk mengidentifikasi spesies-spesies karang scleractinia adalah bahwa
hal itu dapat dimanfaatkan pada setiap tahapan hidup (larva, juvenil atau dewasa)
dan tidak dipengaruhi oleh plastisitas fenotipik tidak seperti metode identifikasi
morfologi spesies yang konvensional. Walaupun masih belum jelas apakah
standar sistem barkode DNA yang berdasarkan Sitokrom Oksidase subunit 1
(COI) tersebut cocok untuk mengidentifikasi semua spesies karang scleractinia
tersebut (Shearer dan Coffroth 2006). Karena masih belum jelasnya apakah
standar sistem penanda DNA, berdasarkan COI cocok untuk mengidentifikasi
semua spesies karang scleractinia, maka dalam penelitian ini digunakan dua
penanda genetik yaitu COI dan ITS (Intra Transcribed Spacer) sebagai
pembanding dalam menyandi DNA karang Goniopora spp., yang juga sering
dipakai sebagai penanda molekuler pada karang scleractinia.
Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Menganalisa karakteristik morfologik
dan genotipik keragaman jenis karang Goniopora spp. intra genus dan inter
spesies pada habitat yang berbeda di perairan Pulau Pramuka dan Pulau
Panggang, Kepulauan Seribu. 2)Mengetahui perbedaan karakteristik penanda
genetik COI dan ITS yang dipergunakan untuk analisa genetik karang Goniopora
spp. 3) Mengetahui perbedaan dan kesamaan karakteristik genetika karang
Goniopora spp dengan pendekatan perbedaan susunan nukleotida dan jarak
genetik masing-masing species karang Gonipora yang nantinya dapat dijadikan
dasar dalam penentuan donor karang yang akan ditransplantasikan. Sedangkan
manfaatnya adalah diharapkan analisa genetika molekuler ini akan memberikan
informasi dasar tentang keragamanan genetik karang dan penanda genetik (genetik
marker) karang yang dapat menunjang perencanaan pengelolaan, rehabilitasi,
transplantasi, pemanfaatan, perdagangan dan konservasi terumbu karang yang ada
di Indonesia, khususnya di Kepulauan Seribu yaitu di Pulau Pramuka dan Pulau
Panggang ..
Dalam penelitian ini digunakan dua penanda genetik, COI mtDNA dan
daerah ITS rDNA sebagai pembanding. Sampel karang diambil dari perairan
Kepulauan Seribu di P. Pramuka dan P. Panggang pada lokasi yang berbeda,
kemudian dilakukan identifikasi morfologi, isolasi DNA, amplifikasi DNA
berbasis PCR dan perunutan DNA, sedangkan analisis genom menggunakan
program Mega 4.0. dengan menggunakan runutan nukleotida Porites spp. dari
GenBank sebagai out-group. Berdasarkan hasil karakteristik morfologik dapat
diketahui bahwa kelima spesimen karang tersebut adalah spesies yang berbeda,
yaitu: G. norfolkensis, G. palmensis, G. stokesi, G. tenuidens dan G. columna.
Berdasarkan hasil analisis karakteristik genotipik, pada gen COI mempunyai lebih
sedikit perbedaan basa nukleotida daripada gen ITS, artinya gen COI pada karang
mempunyai lebih banyak nukleotida yang kekal (conserve) dibandingkan dengan
gen ITS yang lebih variabel. Berdasarkan dendrogram kedua penanda genetik
pada Porites spp. dapat dilihat bahwa penanda genetik COI belum dapat
membedakan karakteristik genetik inter spesies karang Porites, sedangkan
penanda genetik ITS dapat membedakan karakteristik genetik inter dan intra
spesies pada karang Porites. Pada penelitian ini, COI mempunyai tingkat
polimorfisme yang sangat rendah dan memiliki keterbatasan sebagai alat yang
berguna untuk membedakan spesies karang Goniopora, tetapi dapat dipakai
sebagai penyaring (scanner) yang digunakan untuk membedakan jenis karang
pada tingkat genus ke atas, dan akan sangat informatif bila dikombinasikan dan
dibandingkan dengan pendekatan. penanda genetik lainnya seperti daerah ITS
ribosomal.
Dengan mengetahui persamaan dan perbedaan karakteristik genetik ini,
akan sangat berguna dalam upaya pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang
yang rusak, yaitu dalam hal pemilihan atau penempatan donor dalam kegiatan
transplantasi. Jika terdapat variasi genetik yang sangat ekstrim, maka donor harus
dipertimbangkan dengan seksama, karena berpotensi mempunyai efek yang
negatif bagi ekosistem yang telah ada sebelumnya, yaitu dapat terjadi dominansi,
agresivitas spesies karang tertentu, kompetisi intraspesifik, percepatan penyebaran
penyakit pada karang, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, penanda genetik yang
telah disepakati secara ilmiah dapat digunakan sebagai Barkode DNA (DBC).
DBC dapat diaplikasikan dalam perdagangan karang hias untuk membedakan
karang yang berasal dari penangkaran atau dari alam. DBC juga dapat dijadikan
alat bukti jika terjadi perdagangan karang ilegal, dapat dipakai sebagai alat
identifikasi spesies karang yang sulit untuk diamati secara morfologik dan spesies
karang yang langka (endemik).
Kesimpulan yang diperoleh bahwa: 1) Berdasarkan karakteristik morfologi
yang dilakukan, dari lima koloni karang yang diambil di perairan Kepulauan
Seribu ternyata kelima-nya berbeda spesies yaitu : G. stokesi, G. palmensis, G.
columna, G. norfolkensis dan G. tenuidens. 2) Berdasarkan karakteristik genotipik
diduga bahwa gen mtDNA COI pada karang relatif hanya dapat dipakai pada
tingkatan genus atau tingkat yang lebih tinggi. Sedangkan gen rDNA yaitu daerah
ITS ribosomal relatif dapat dipakai sebagai marka genetik pada tingkatan spesies,
tetapi harus digunakan marka gen lainnya sebagai kontrol atau pembanding,
karena hasil dendrogramnya sangat beragam. 3) Dengan mengetahui perbedaan
genotipik spesies karang, diharapkan dapat dijadikan acuan dalam menentukan
donor karang yang akan digunakan transplantasi karang yang mempunyai
kedekatan secara genetik, khususnya dalam upaya rehabilitasi terumbu karang di
perairan P. Pramuka dan P. Panggang, dan umumnya di perairan Kepulauan
Seribu. 4) Lebih lanjut, marka atau penanda genetik yang digunakan dalam
Barkode DNA memiliki potensi untuk digunakan sebagai alat identifikasi dalam
regulasi perdagangan karang, khususnya karang hias seperti Goniopora spp., juga
dalam usaha pengelolaan, rehabilitasi, transplantasi dan konservasi terumbu
karang di Indonesia.

Kata kunci : terumbu karang, karang, barkode DNA, penanda genetik, COI, ITS,
Goniopora spp.
 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar Institut Pertanian Bogor.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
KARAKTERISASI PENANDA GENETIK
mtDNA COI DAN DAERAH ITS rDNA KARANG
Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) DALAM UPAYA
PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI PERAIRAN
PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

JUSAK WIRA HARDJA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc
Judul Tesis : Karakterisasi Penanda Genetik mtDNA COI dan Daerah
ITS rDNA Karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia)
dalam Upaya Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan
Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
Nama : Jusak Wira Hardja
NIM : C252070284

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ario Damar, M.Si


Ketua

Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA
Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 20 November 2009 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala kasih karunia dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil
penelitian mengenai karakterisasi penanda genetik pada karang yang dilaksanakan
pada Bulan Mei hingga Oktober 2009 dan menuangkannya sebagai karya ilmiah
dalam bentuk tesis dengan judul “Karakterisasi Penanda Genetik mtDNA COI
dan Daerah ITS rDNA Karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) dalam
Upaya Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang tinggi kepada: Bapak Dr. Ir. Ario Damar, M.Si., Ibu Dr. Neviaty Putri
Zamani, M.Sc.,dan Bapak Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA. Selaku Komisi
Pembimbing yang telah memberi bimbingan berupa pendalaman materi dan
praktek selama penelitian, serta atas perhatian, masukan, saran dan arahan dalam
penulisan tesis ini. Juga kepada Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. selaku
Dosen Penguji Luar Komisi yang telah memberikan perbaikan dan masukan
dalam penulisan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir.
Mennofatria Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi beserta staf pengajar dan
staf sekretariat SPL atas bimbingan dan bantuan selama masa studi penulis di
SPL-IPB, dan kepada Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku Ketua Departemen
MSP dan penanggung jawab Program SPL Sandwich ADB.
Secara khusus ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Mama
terkasih, Ny. Liliana Tjandra Djaja, yang selalu berdoa dan memberikan nasihat
serta dukungan demi kesuksesan penulis. Terima kasih juga disampaikan kepada
istri tercinta, Ir. Tanti Rahayu dan kepada anakku tersayang Joanne Charmaine
Tania Raharja atas segala pengorbanan, ketulusan kesabaran, kerelaan dan
pengertiannya selama penulis menjalankan tugas belajar. Juga kepada kakak,
Fellicia Riana Hardja dan suami, serta adik Samuel Satria Harja dan istri, yang
memberikan perhatian dan dukungan terus menerus. Kepada rekan-rekan SPL-
SANDWICH yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih untuk
kebersamaan dan kerjasama selama mengikuti masa studi baik di Bogor maupun
di Xiamen-China serta terima kasih kepada teman-teman yang banyak membantu
penulis selama penelitian di Laboratorium Biologi Molekuler PPSHB-LPPM IPB.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu genetika karang,
serta pengelolaan, pemanfaatan dan konservasi terumbu karang di Indonesia.

Bogor, November 2009

Jusak Wira Hardja


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, Propinsi Jawa Barat pada tanggal


26 Desember 1970 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan (Alm)
Bapak Oyo Rahardjo dan Ibu Liliana Tjandra Djaya. Pendidikan sarjana
ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, lulus pada
tahun 1994, Program Profesi Dokter Hewan ditempuh di tempat yang sama, lulus
pada tahun 1996. Pada Tahun 2007 penulis mendapat beasiswa untuk melanjutkan
pendidikan Sandwich Program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor yang merupakan kerjasama Departemen Kelautan dan Perikanan,
dengan IPB Bogor dan Xiamen University Republik Rakyat China, melalui
program COREMAP II ADB.
Penulis menikah dengan Ir. Priskila Margaretha Tanti Rahaju pada tanggal
21 Desember 2002 dan dikaruniai seorang putri bernama Joanne Charmaine Tania
Raharja. Pada tahun 2003 penulis lulus sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di
Pemerintah Kota Batam dan sejak tahun 2004 mengabdi di Dinas Kelautan,
Perikanan, Pertanian dan Kehutanan Pemerintah Kota Batam.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xvii
1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................... 6
1.3 Kerangka Pemikiran..... .............................................................. 7
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 8
1.5 Pendekatan Masalah ................................................................... 9
2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 11
2.1 Terumbu Karang ......................................................................... 11
2.1.1 Anatomi karang.................................................................. 11
2.1.2 Biologi karang..................................................................... 12
2.1.3 Alga simbion-zooxanthellae................................................ 14
2.2 Klasifikasi Karang ...................................................................... 16
2.2.1 Karang pembentuk terumbu .............................................. 16
2.3 Genus Goniopora ....................................................................... 19
2.3.1 Klasifikasi .......................................................................... 19
2.3.2 Deskripsi............................................................................ 20
2.3.3 Daerah penyebaran dan habitat ......................................... 21
2.3.4 Biologi ............................................................................... 21
2.3.5 Ancaman ........................................................................... 21
2.3.6 Konservasi ......................................................................... 22
2.4 Daerah Penyebaran Karang......... ............................................... 22
2.4.1 Sebaran terumbu karang .................................................... 23
2.4.2 Sebaran dan faktor lingkungan.......................................... 24
2.5 Marka Genetik ............................................................................ 25
2.5.1 DNA mitokondria ............................................................. 26
2.5.2 Ribosomal Internal Tanscribed Spacer (ITS) ................... 27
2.6 DNA Barcoding (Barkode DNA) ............................................... 29
2.6.1 Kegunaan barkode DNA ................................................... 30
2.6.2 Resiko karena pewarisan mitokondria .............................. 31
2.6.3 Laju evolusi dalam COI .................................................... 31
3 BAHAN DAN METODE .................................................................... 33
3.1 Lokasi Penelitian dan Waktu ...................................................... 33
3.2 Tahapan Penelitian ..................................................................... 34
3.3 Alat dan Bahan Penelitian .......................................................... 35
3.4 Pelaksanaan Penelitian ............................................................... 36

xii
3.4.1 Pengambilan sampel.......................................................... 36
3.4.2 Karakterisasi morfologi ..................................................... 37
3.4.3 Isolasi, purifikasi dan elektroforesis DNA total ................ 37
3.4.4 Amplikasi COI dan ITS dengan PCR dan elektroforesis
Hasil PCR .......................................................................... 40
3.4.5 Perunutan fragmen COI dan ITS....................................... 41
3.3.6 Analisis data ...................................................................... 41
4 HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................ 42
4.1 Karakteristik Morfologi .............................................................. 42
4.2 Isolasi DNA Total ....................................................................... 43
4.3 Keragaman Genetik Karang Goniopora spp. Berdasarkan Gen
Sitokrom Oksidasi Sub Unit I (COI) .......................................... 44
4.3.1 Amplifikasi gen sitokrom oksidasi sub unit 1 (COI) ........ 44
4.3.2 Perunutan gen COI parsial dan keragaman runutan
nukleotida .......................................................................... 46
4.3.3 Jarak genetik Goniopora spp. dengan Porites spp. sebagai
out-group ........................................................................... 47
4.4 Keragaman Genetik Karang Goniopora spp. Berdasarkan
Daerah Intra Transcribed Spacer (ITS) ..................................... 49
4.4.1 Amplifikasi gen daerah ITS .............................................. 49
4.4.2 Perunutan gen daerah ITS dan keragaman runutan
nukleotida .......................................................................... 51
4.4.3 Jarak genetik Goniopora spp. dengan Porites spp. sebagai
out-group ........................................................................... 52
4.5 Analisis Karakteristik Penanda Genetik COI dan ITS ............... 54

5 PEMBAHASAN UMUM .................................................................... 56


5.1 Penanda Genetik untuk Identifikasi Karang dan Manfaatnya
dalam Pengelolaan Terumbu Karang ......................................... 56
5.2 Peranan Barkode DNA bagi Pengelolaan, Pemanfaatan,
Perdagangan dan Konservasi Terumbu Karang ......................... 59

6 SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 62


6.1 Simpulan ..................................................................................... 62
6.2 Saran ........................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 64
LAMPIRAN ......................................................................................... 72

xiii
DAFTAR TABEL

Halaman
1 Alat yang digunakan dalam penelitian ................................................. 35
2 Bahan yang digunakan dalam penelitian ............................................. 36
3 Lokasi pengambilan sampel koloni karang Goniopora spp.................. 42
4 Hasil pengamatan karakteristik morfologi karang Goniopora spp ...... 43
5 Perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen COI
parsial pada Goniopora spp. hasil dari penelitian ini........................... 46
6 Matriks perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen COI
parsial karang Goniopora spp dengan Porites spp sebagai out-group 47
7 Matriks jarak genetik berdasarkan metoda pairwise distance gen COI
parsial karang Goniopora spp dengan Porites spp sebagai out-group 47
8 Perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen ITS pada
Goniopora spp. hasil dari penelitian ini ............................................... 51
9 Matriks perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen ITS
karang Goniopora spp. dengan Porites spp. sebagai out-group .......... 52
10 Matriks jarak genetik berdasarkan metoda pairwise distance gen ITS
pada karang Goniopora spp dengan Porites spp sebagai out-group ... 52

xiv
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Diagram alir kerangka pemikiran karakterisasi penanda genetik
mtDNA COI dan daerah ITS rDNA karang Goniopora spp
(Cnidaria: Scleractinia) dalam upaya pengelolaan terumbu karang
di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu .................................... 10
2 Anatomi karang .................................................................................... 12
3 Kedudukan taksa karang dalam sistem filum Cnidaria........................ 17
4 a) G. columna b) polip dan tentakel G. columna ................................ 20
5 Peta gen molekul mtDNA Acropora nasuta ........................................ 27
6 Diagram dari keluarga gen ribosomal DNA pada hewan .................... 28
7 Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di perairan P. Pramuka
bagian utara dan P. Panggang bagian barat dan selatan. ...................... 33
8 Diagram alur penelitian karakterisasi penanda genetik mtDNA CO I
dan daerah ITS rDNA karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia)
dalam upaya pengelolaan terumbu karang di peraian Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu ................................................................................. 34
9 Ilustrasi karakteristik morfologik yang diamati pada karang
Goniopora ............................................................................................ 37
10 Hasil purifikasi DNA total pada: (a) G. stokesi, (b) G. palmensis,
(c) G. columna, (d) G. norfolkensis, (e) G. tenuidens setelah
dimigrasikan dalam gel agarose 1.2% pada tegangan 85 volt selama
30 menit ............................................................................................... 44
11 Skema letak penempelan primer GJWCOIF dan GJWCOIR untuk
mengamplifikasi gen COI parsial pada karang Goniopora spp ........... 45
12 Hasil amplifikasi daerah COI dengan menggunakan pasangan
primer GJWCOIF dan GJWCOIR setelah dimigrasikan dalam
gel agarose 1.2% pada tegangan 85 volt selama 45 menit ................... 45
13 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000
kali ulangan dari nukleotida daerah COI parsial pada kelima
sampel karang Goniopora spp. ............................................................ 48
14 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000 kali
ulangan dari nukleotida daerah COI parsial karang Goniopora spp.
dengan Porites spp sebagai out-group ................................................. 49
15 Skema letak penempelan primer ITSZF dan ITSZR untuk
mengamplifikasi gen ITS ribosomal pada karang Goniopora spp ...... 50

xv
16 Hasil amplifikasi daerah COI dengan menggunakan pasangan
primer ITSZF dan ITSZR setelah dimigrasikan dalam gel
agarose 1.2% pada tegangan 85 volt selama 45 menit ......................... 50
17 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000
kali ulangan dari nukleotida daerah ITS ribosomal parsial pada
kelima sampel karang Goniopora spp. ................................................ 53
18 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000
kali ulangan dari nukleotida daerah ITS ribosomal parsial dari
nukleotida daerah ITS ribosomal parsial karang Goniopora spp.
dengan Porites spp sebagai out-group ................................................. 54

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Karakteristik morfologik sampel karang Goniopora spp. yang
diidentifikasi ........................................................................................ 73
2 Lokasi penempelan primer GJWCOIF dan GJWCOIR pada runutan
basa nukleotida gen COI pada Porites porites (kode akses GenBank:
NC_008166) ......................................................................................... 79
3 Lokasi penempelan primer ITSZF dan ITSZR pada runutan basa
nukleotida daerah gen ITS 18S rRNA, ITS1, 5.8S rRNA, ITS2,
28S rRNA, runutan parsial dan lengkap, Goniopora columna
Isolate: KenGonc (kode akses GenBank: AB441414) ......................... 80
4 Penjajaran berganda nukleotida (612 nt) pada gen sitokrom oksidase 1
parsial karang Goniopora spp. ............................................................ 81
5 Penjajaran berganda nukleotida (719 nt) pada gen daerah ITS
ribosomal karang Goniopora spp......................................................... 84
6 Penjajaran berganda nukleotida (599 nt) pada gen sitokrom oksidase 1
parsial karang Goniopora spp. dan Porites spp sebagai out-group .... 87
7 Penjajaran berganda nukleotida (644 nt) pada gen daerah ITS
ribosomal karang Goniopora spp . dan Porites spp sebagai out-group 92
8 Persentase tutupan dan keanekaragaman substrat bentik di lokasi
penelitian di Kepulauan Seribu ............................................................ 96
9 Persentase tutupan genus karang keras di lokasi penelitian di
Kepulauan Seribu ................................................................................. 97

xvii
1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling
kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan
keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem terumbu karang secara ekologis
mempunyai fungsi sebagai tempat untuk mencari makan (feeding ground), daerah
asuhan (nursery ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi
organisme pendukung yang ada di ekosistem tersebut. Ekosistem terumbu karang
menjadi demikian penting karena ekosistem tersebut memiliki kenekaragaman
yang tinggi sehingga dapat memberikan cadangan sumberdaya untuk beberapa
dekade (Knowlton 2001). Terumbu karang juga merupakan ekosistem yang sangat
berharga di bumi. Menurut perkiraan, terumbu karang menyediakan jasa
lingkungan ekonomi dan jasa senilai sekitar $ 375 miliar pertahun bagi jutaan
manusia sebagai pelindung pantai, daerah rekreasi dan pariwisata yang terkenal
karena keindahan alamnya, dan sumber makanan, obat-obatan, sumber mata
pencaharian serta pendapatan bagi manusia. (Constanza et al. 1997). Namun,
terumbu karang sedang mengalami degradasi serius oleh aktivitas manusia,
terutama eksploitasi berlebihan sumber daya alam, praktek penangkapan ikan
yang merusak, pembangunan pesisir dan limpasan akibat penggunaan lahan yang
tidak benar.
Pada tahun 1998 World Resources Institute mengkaji dan menyimpulkan
bahwa hampir 58% dari terumbu karang dunia beresiko dari dampak manusia, dan
banyak yang telah mengalami degradasi dan sulit untuk dipulihkan (Bryant et al.
1998). Selain itu, kejadian pemutihan karang (coral bleaching) dan kematian
karang telah terjadi di seluruh dunia, terkait dengan kenaikan suhu air laut yang
abnormal yang dilaporkan pada tahun 1998. Pada beberapa terumbu karang di
perairan Indo-Pasifik yang dangkal, tercatat 70 hingga 90% karang mati sebagai
akibat peristiwa pemutihan terbesar yang pernah terjadi secara masal (Hoegh-
Guldberg 1999).
Karang keras (hard coral) adalah salah satu contoh peninggalan purba yang
masih hidup sampai saat ini. Kumpulan koloni ini mampu membentuk ruang yang
2

kompleks serta menciptakan berbagai tipe hunian untuk ribuan jenis ikan dan
biota lainnya. Meskipun hanya menempati area yang sangat kecil di lautan dan
pesisir (< 1%), terumbu karang bisa disejajarkan dengan hutan hujan tropis yang ada di
daratan karena keanekaragaman hayati dan kekompleksitasan ekosistem
yang dimilikinya. Dunia mengakui bahwa Indonesia adalah negara terluas yang
memiliki bentangan terumbu (1 8%), terkaya keanekaragaman hayati lautnya (karang
keras 480 spesies, ikan 1 .650 spesies), serta penyumbang terbesar perikanan laut.
Setidaknya 85% terumbu karang Indonesia dinyatakan memiliki ancaman kerusakan
yang sangat tinggi terutama karena aktivitas manusia (antropogenik) dan faktor
alam (Burke et al. 2002).
Kepulauan Seribu berada di kawasan segitiga karang (coral triangle),
kawasan dengan kekayaan terumbu karang tertinggi di dunia, termasuk di
antaranya Indonesia, Filipina, Papua Nugini, dan Australia Utara, membuat
daerah ini sangat kaya akan berbgai kehidupan laut. Meskipun demikian, tidak
bisa dipungkiri terumbu karang di kawasan ini mengalami berbagai ancaman
setiap harinya. Kondisi terumbu karang Kepulauan Seribu sangat
memprihatinkan, terutama di pulau-pulau yang berdekatan dengan Jakarta
(tutupan karang keras < 5%). Porsi terbesar kerusakan terumbu karang akibat
ulah manusia, di antaranya penangkapan berlebih dan merusak, polusi air laut,
sampah, penambangan karang dan pasir, sedimentasi serta pembangunan pesisir.
Meski kondisinya tidak sebaik tahun 1900-an, saat ini Kepulauan Seribu masih
memiliki sumber daya yang beragam berupa terumbu karang, ikan terumbu,
invertebrata, mangrove, lamun, rumput laut, penyu, dan burung laut yang patut kita
jaga kelestariannya (Estradivari et al. 2007). Kondisi ini yang membuat kawasan ini
menjadi menarik untuk diamati dan sebagai lokasi penelitian terumbu karang. Di
perairan Kepulauan Seribu ini banyak dilakukan kegiatan rehabilitasi terumbu
karang, transplantasi karang, kebun karang dan juga budidaya karang hias, yaitu di
antaranya adalah di sekitar Pulau Pari, Pulau Pramuka, dan Pulau Panggang (Johan
2000; Aziz 2002; Respati 2005; Margono 2009; Nggajo 2009)
Karang hias asalah salah satu sumber daya hayati di terumbu karang di
Indonesia yang sudah lama dimanfaatkan sebagai komoditi perdagangan baik
untuk di pasar dalam negeri maupun untuk tujuan eskpor. Karang hias termasuk
3

satwa yang oleh CITES (Konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan


satwa liar spesies terancam) digolongkan ke dalam Apendiks II, dimana dalam
perdagangannya harus diawasi secara ketat untuk mencegah kemungkinan
trejadinya eksploitasi yang berlebihan yang dapat mengakibatkan punahnya jenis-
jenis hewan tersebut (Kudus 2005). (CITES) memantau bahwa lebih dari 2000
spesies karang diperdagangkan di pasar dunia. Ada 70 negara pengimpor karang
pada periode 1985 – 1997 yang mengimpor sebanyak 19 262 ton karang (atau 34
600 000 buah) dan ada 120 negara-negara pengekspor karang pada periode
tersebut. Amerika Serikat mengimpor lebih dari 56% dari berat total karang yang
diperdagangan secara global, dibandingkan dengan Uni Eropa yang hanya sebesar
15%. Sedangkan negara utama pengekspor karang sejak tahun 1980-an adalah
Filipina, Indonesia, Taiwan, dan Cina. Secara regional, pada periode 1985 – 1997
ekspor dari kawasan Asia Tenggara menempati urutan yang lebih besar
dibandingkan dari kawasan Pasifik dan dua kali lipat lebih tinggi dari Karibia dan
Samudra Hindia. (Green dan Shirley 1999).
Di Indonesia, selama periode 1999-2003 karang hidup yang
diperdagangkan merupakan jenis karang yang berwarna atau memiliki polip
berukuran besar yang dapat dilihat sepanjang hari, seperti Euphyllia spp. dan
Goniopora spp. yang diperoleh dari berbagai daerah di Indonesia, dengan
pengiriman ekspor melalui bandara di Bali dan Jakarta. Perkembangan ekspor
karang hias di Indonesia secara umum cenderung terus meningkat setiap tahunnya
bersamaan dengan semakin banyaknya jumlah negara pengimpor. Sampai tahun
2003 jumlah negara pengimpor karang hias dari Indonesia sudah mencapai 45
negara. Ekspor karang hias Indonesia tersebar ke negara-negara Eropa, Amerika
Serikat, Asia, Afrika dan Selandia Baru, dimana Amerika Serikat merupakan
negara yang terus mendominasi impor karang hias Indonesia sampai 60.91% atau
409 745 buah dari 672 711 buah total ekspor karang hias dari Indonesia pada
tahun 2003 (Kudus 2005).
Akibat perdagangan karang dan eksploitasi berlebih tersebut, komunitas
terumbu karang di dunia telah mengalami penurunan yang sangat tajam, tetapi
degradasi tebumbu karang telah meningkat dengan cepat dalam beberapa dekade
terakhir (Mc Clanahan 2001). Krisis ini telah membuat perkembangan pendekatan
4

konservasi terumbu karang yang baru dan lebih efektif menjadi lebih
diprioritaskan (Bellwood et al. 2004). Namun, kemampuan untuk menilai dan
menanggapi perubahan dalam komunitas karang terumbu dibatasi oleh taksonomi
atau penggolongan spesies dan sistematika spesies terumbu karang yang ada saat
ini. Terumbu karang dalah komunitas laut yang paling beragam, dan banyak dari
spesies yang ada tetap tidak dapat dijelaskan secara tepat. Bagi beberapa
kelompok, seperti Porifera dan Scleractinia, pendekatan secara tradisional yang
didasarkan pada morfologi saja telah terbukti tidak dapat diandalkan (Romano dan
Palumbi 1996; Lazoski et al. 2001). Di samping itu, karang memiliki kemampuan
plastisitas morfologik (fenotipik) yang tinggi, sehingga hal ini sering menyulitkan
identifikasi (Veron 1995; Todd et al. 2008). Masalah identifikasi, sistematisasi
dan taksonomi ini juga menunjukkan bias yang ekstrim dalam melakukan survei
keanekaragaman hayati dan struktur komunitas, yang membantu pengelompokan
dan tahapan-tahapan hidup suatu spesies yang relatif mudah untuk identifikasi di
lapangan (Mikkelsen dan Cracraft 2001).
Disamping itu, keanekaragaman hayati karang sebenarnya dapat diketahui
dan dikenali bukan hanya sebatas dari ciri-ciri morfologik saja, tetapi dari
karakteristik genotipik dan variasi genetik serta ekspresi genetik dari spesies
bahkan infra spesies yang kadang-kadang tidak tercermin atau terlihat secara
fenotipik (morfologik), sehingga sangat membantu dalam rencana pengelolaan
terumbu karang (misalnya dalam melakukan transplantasi atau rehabilitasi karang
yang sesuai dengan lokasi dan lingkungan yang spesifik). Menurut Hariot dan
Fisk (1998), transplantasi karang adalah suatu metode penanaman dan
penumbuhan suatu koloni karnag dengan fragmentasi dimana koloni tersebut
diambil dari suatu induk koloni tertentu. Transplantasi karang merupakan salah
satu alternatif upaya untuk pemulihan terumbu karang melalui pencangkokan atau
pemotongan karang hidup untuk ditanam di tempat lain atau di tempat yang
karangnya telah mengalami kerusakan, bertujuan untuk pemulihan atau
pembentukan terumbu karang secara alami.
Beberapa negara telah mengembangkan lebih lanjut teknologi transplantasi
karang, antara lain Amerika Serikat yang tujuannya selain untuk rehabilitasi, juga
melakukan budidaya untuk memenuhi kebutuhan pasar akan karang hias (Clark
5

dan Edward 1999). Yang harus diingat adalah minimalisasi kerusakan terhadap
kawasan yang lebih baik yang menjadi donor transplantasi, dan memaksimalkan
kemungkinan hidup transplant pada terumbu karang yang akan dipulihkan.
Keanekaragaman genetik transplan hasil budidaya juga harus dipertimbangkan
dengan hati-hati. Sumber bibit karang untuk transplantasi didapatkan dari karang
yang masih hidup di terumbu, sehingga selalu ada efek samping yang timbul.
Walaupun koloni utuh lebih tahan terhadap tekanan akibat transplantasi
dibandingkan dengan fragmen, pada beberapa jenis yang sensitif, 50% koloni mati
dalam dua tahun. Bahkan dalam satu jenis, perubahan genotipik dapat
mengakibatkan perbedaan ketahanan terhadap transplantasi. (Edwards dan Gomez
2007).
Berdasarkan penelitian transplantasi fragmen karang yang dilakukan oleh the
Marine Park Center of Japan (1995) di Sekisei Lagoon dan Okinawa General
Bureau di Naha Harbor, Jepang, dari beberapa jenis karang yang
ditransplantasikan yaitu Acropora formosa, Acropora nobilis, Porites cylindrica,
Pocillopora eydouxi, Montipora digitata, Gallaxea fascicularis, Seriatopora
hystrix dan Melliopora sp, diperoleh data bahwa rata-rata tingkat kelangsungan
hidup (survival rate) karang-karang tersebut setelah 4 tahun hanya sebesar 20%.
Hal ini berarti setelah dilakukan transplantasi selama 4 tahun, tidak terjadi
recovery pada terumbu karang tersebut (Omori dan Fujiwara 2004). Kerusakan
atau perubahan genetik oleh hibridisasi populasi karang dan memburuknya
keanekaragaman genetik komunitas karang dapat disebabkan oleh kegiatan
rehabilitasi yang tidak tepat. Transplantasi karang tidak menimbulkan masalah
jika lokasinya masih dalam jarak sebar pemijahan (spawning) alami. Tetapi
pemindahan karang dalam jarak yang jauh dapat mengganggu karakteristik
susunan genetik lokal. Jika jumlah koloni donor sangat terbatas atau kurangnya
keanekaragaman kelompok genetik (genetic pool), komunitas karang sangat
rentan terhadap perubahan lingkungan atau suatu penyakit. Biologi molekuler,
yang saat ini sedang berkembang dapat dipertimbangkan untuk diterapkan dalam
memperkirakan besarnya keanekaragaman genetik dalam komunitas karang.
Hasilnya dapat diugunakan sebagai referensi untuk menghasilkan larva di
6

laboratorium dan dalam melakukan transplantasi fragmen karang dari sumber


asalnya. (Omori et al. 2004).
DNA Barcoding (DBC) merupakan sebuah alternatif untuk metode
taksonomi tradisional yang dapat menjadi alat yang berguna untuk melakukan
monitoring (pengawasan) perdagangan karang hias, karena jenis karang pada
tingkat spesies akan lebih mudah diidentifikasi dan ditandai dengan menggunakan
DNA barkode (penanda DNA) yang lebih tepat dan lebih akurat dibandingkan
dengan hanya menggunakan metode identifikasi morfologi secara konvensional.
Selain itu DBC juga menjadi alat yang berguna bagi konservasi terumbu karang.
Dalam upaya melakukan konservasi karang dan atau terumbu karang perlu
diketahui karakteristik genetiknya, bukan hanya berdasarkan karakteristik
morfologiknya saja. Penggunaan meluas barkode DNA sebagai alat untuk
mengidentifikasi spesies dan menilai keanekaragaman hayati baru-baru ini
menarik banyak perhatian. Barkode DNA adalah urutan basa-basa pendek yang
mengkode gen Sitokrom Oksidase sub unit 1 (COI) Urutan basa ini dapat
digunakan untuk mengidentifikasi spesies, karena setiap spesies memiliki urutan
yang unik untuk gen COI tersebut. Aspek yang menarik dari sebuah metode
barkode untuk mengidentifikasi spesies-spesies karang scleractinia adalah bahwa
hal itu dapat dimanfaatkan pada setiap tahapan hidup (larva, juvenil atau dewasa)
dan tidak dipengaruhi oleh plastisitas fenotipik tidak seperti metode morfologi
identifikasi spesies. Walaupun masih belum jelas apakah standar sistem barkode
DNA yang berdasarkan COI tersebut cocok untuk mengidentifikasi semua spesies
karang scleractinia tersebut (Shearer dan Coffroth 2006).

1.2. Perumusan Masalah


Berdasarkan permasalahan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
yang mendasari penelitian ini yaitu :
a. Di Kepulauan Seribu sudah banyak dilakukan upaya transplantasi karang,
tetapi belum dilakukan kajian dan evaluasi keberhasilan dan dampaknya
terhadap beragam spesies karang yang ditransplantasikan dalam suatu
komunitas yang sama, dalam jangka waktu yang lama, lebih dari lima tahun.
7

b. Belum adanya penelitian-penelitian mengenai genotipik karang, khususnya


untuk spesies karang keras (scelaractinia) yang digunakan sebagai donor
dalam upaya transplantasi species karang di perairan Kepulauan Seribu.
c. Belum adanya sistem yang praktis, cepat dan tepat guna yang mudah
diterapkan dalam pengelolaan, pengawasan, dan pemanfaatan karang dan
terumbu karang.
d. Masih kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai penggunaan Barkode
DNA (Penanda DNA) yang digunakan untuk mengidentifikasi spesies-spesies
karang scleractinia.
e. Belum adanya kajian terhadap karakteristik penanda genetik untuk spesies
karang hias terutama Goniopora spp. yang banyak diperdagangkan,
khususnya yang berasal dari wilayah perairan Kepulauan Seribu.
Dengan adanya berbagai permasalahan tersebut maka sangat diperlukan
penelitian mengenai “Karakterisasi Penanda Genetik mtDNA COI dan Daerah
ITS rDNA Karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) dalam Upaya
Pengelolaan Terumbu Karang”.

1.3. Kerangka Pemikiran


Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini adalah bahwa sudah
banyak upaya transplantasi karang yang dilakukan di Kepulauan Seribu sebagai
salah satu usaha pengelolaan terumbu karang, tetapi belum mempertimbangkan
kajian secara genetik dan kedekatan jarak genetik inter spesies karang yang
digunakan sebagai donor dalam transplantasi tersebut.
Karang hias hidup yang banyak diperdagangkan saat ini adalah spesies
yang berwarna-warni dan mempunyai polip yang besar, salah satu nya adalah
Goniopora spp. yang termasuk dalam daftar appendix II CITES. Karang jenis
Goniopora spp ini juga dapat dilakukan transplantasi untuk tujuan rehabilitasi dan
sebagai komoditi perdagangan karang hias. Oleh karena itu spesies karang ini
dapat digunakan sebagai model dalam kajian karakteristik genetika karang.
Karena adanya kesulitan dalam identifikasi karang jika hanya berdasarkan
morfologi secara konvensional dan bahkan untuk spesies yang telah cukup sering
ditemukan, pedoman identifikasi lapangan sering kali tidak lengkap atau tidak
8

dapat diandalkan. Maka digunakan barkode DNA (Penyandi DNA) sebagai


alternatif metode taksonomi yang dapat menjadi alat yang berguna dalam
pengelolaan terumbu karang, konservasi dan penandaan karang terutama untuk
karang yang banyak diperdagangkan.
Karena masih belum jelasnya apakah standar sistem penanda DNA,
berdasarkan Sitokrom Oksidase subunit 1 (COI) cocok untuk mengidentifikasi
semua spesies karang scleractinia, maka dalam penelitian ini menggunakan dua
penanda genetik yaitu COI dan ITS (Intra Transcribed Spacer) sebagai
pembanding dalam menyandi DNA karang Goniopora spp., yang juga sering
dipakai sebagai penanda molekuler pada karang scleractinia.
Dengan mengetahui struktur genetika karang Goniopora, maka hasilnya
dapat digunakan sebagai model bagi ketersediaan informasi dasar struktur genetik
karang lainnya, sehingga akan sangat bermanfaat dalam mengoptimalkan
pengelolaan, rehabilitasi, transplantasi, serta konservasi terumbu karang.
Informasi ini juga dapat dimanfaatkan sebagai ID (Identity Data) spesies sehingga
dapat dibuat dalam bentuk informasi database spesies yang sangat bermanfaat
untuk legalitas hukum suatu spesies karang dalam perdagangan karang di
kemudian hari.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisa karakteristik keragamanan penanda genetik dan keragaman


jenis karang Goniopora spp. intra genus dan inter spesies pada habitat yang
berbeda (di perairan Pulau Pramuka dan Pulau Panggang) secara morfologik
dan genotipik.

2. Mengetahui perbedaan penanda genetik COI dan ITS yang dipergunakan


untuk analisa karakteristik penanda genetik karang Goniopora spp.

3. Mengetahui perbedaan dan kesamaan karakteristik genetika karang


Goniopora spp dengan pendekatan perbedaan susunan nukleotida dan jarak
genetik masing-masing species karang Gonipora yang nantinya dapat
dijadikan dasar dalam penentuan donor karang yang akan ditransplantasikan.
9

Sedangkan manfaatnya adalah diharapkan analisa genetika molekuler ini akan


memberikan informasi dasar tentang keragamanan genetik karang dan penanda
genetik (genetik marker) karang yang dapat menunjang perencanaan pengelolaan,
rehabilitasi, transplantasi, pemanfaatan, perdagangan dan konservasi terumbu
karang yang ada di Indonesia, khususnya di Kepulauan Seribu yaitu di Pulau
Pramuka dan Pulau Panggang .

1.5. Pendekatan Masalah


Penelitian dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik penanda genetika
karang Goniopora sp yang diambil pada dua lokasi yang berbeda di Perairan
Kepulauan Seribu, yaitu di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang. Penelitian ini
merupakan penelitian pendahuluan mengenai teknik penentuan karakteristik
penanda genetika karang tropis dengan menggunakan dua penanda genetik yang
berbeda, yaitu COI dan ITS yang pada akhirnya nanti luarannya dapat
menghasilkan berbagai macam barkode DNA karang sebagai perangkat ilmiah
dalam menentukan kebijakan pengelolaan, rehabilitasi, transplantasi, pemanfaatan,
perdagangan dan konservasi terumbu karang di Indonesia.
10

Terumbu Karang yang Rusak / Terdegradasi di


Perairan Kepulauan Seribu

Komunitas Karang Goniopora spp di


P. Pramuka dan P. Panggang

Keragaman Species Keragaman Species


Inter Populasi Intra Populasi

Lokasi dan habitat yang


Berbeda

Fenotipik : Genotipik :
Karakteristik Morfologik : - Variasi Genetik :
Bentuk dan Ukuran Intra Genus dan
Inter Spesies

Analisis Karakteristik Karang Goniopora spp.


Berdasarkan Kajian Morfologik dan Penanda
Genetik COI dan ITS

Menghasilkan berbagai macam Barkode DNA


sesuai dengan fungsinya: Barkode Induk,
Turunan F1, F2 dan lain-lain.

Strategi Rehabilitasi Terumbu Karang dan


Transplantasi Karang, sebagai Upaya Pengelolaan
Terumbu Karang yang Berkelanjutan di Perairan
P. Pramuka dan P. Panggang, Kepulauan Seribu

Keterangan : Pada penelitian ini dibatasi hanya sampai pada analisa karakteristik
penanda genetik COI dan ITS yang digunakan.

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran karakterisasi penanda genetik


mtDNA COI dan Daerah ITS rDNA karang Goniopora spp.
(Cnidaria: Scleractinia) dalam upaya pengelolaan terumbu karang di
perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Terumbu Karang

Anatomi Karang

Komponen terpenting terumbu karang adalah karang keras. Karang


merupakan hewan sederhana, berbentuk tabung dengan mulut berada di atas yang
juga berfungsi sebagai anus (Suharsono 1996). Daerah datar yang berada sekitar
mulut disebut oral disc. Mulut karang dikelilingi oleh rangkaian tentakel-tentakel
berkapsul yang dapat menyengat (nematokis) dan berfungsi sebagai penangkap
makanan berupa plankton (Nybakken 1997). Mulut dan rongga perut dihubungkan
oleh tenggorokan yang pendek. Rongga perut berisi semacam usus disebut
filamen mesentari yang berfungsi sebagai alat pencernaan (Suharsono 1996).
Untuk tegaknya seluruh jaringan, polip didukung oleh kerangka kapur sebagai
penyangga. Kerangka kapur ini berupa lempengan-lempengan yang tersusun
secara radial dan berdiri tegak yang disebut septa, septa tersusun dari bahan
organik dan kapur yang merupakan hasil sekresi dari polip karang.
Dinding polip karang terdiri dari 3 lapisan, yaitu ektodermis, mesoglea dan
endodermis.
1. Ektodermis: Jaringan terluar dimana banyak dijumpai sel glandula yang berisi
mukus dan sel knidoblast yang berisi sel nematokis. Nematokis merupakan sel
penyengat yang berfungsi sebagai alat penangkap makanan dan
mempertahankan diri dari pemangsaan.
2. Mesoglea: Merupakan jaringan yang di bagian tengahnya berupa jelly. Di
dalam lapisan jelly terdapat fibril-fibril sedangkan di lapisan luar terdapat sel
semacam otot.
3. Endodermis: Lapisan dalam yang sebagian besar selnya berisi sel algae yang
merupakan simbion karang (zooxanthellae).
Seluruh permukaan jaringan karang juga dilengkapi dengan silia dan
flagella, yang berkembang dengan baik di lapisan luar tentakel dan di dalam sel
mesenteri. Karang mempunyai sistem saraf, jaringan otot dan reproduksi yang
sederhana akan tetapi telah berkembang dan berfungsi secara baik. Selanjutnya
gambaran mengenai anatomi karang dapat dilihat pada Gambar 2 sebagai berikut:
10

Gambar 2 Anatomi karang (Sumber: Veron 2000).

Biologi Karang
Karang tersusun dari bagian lunak dan bagian keras yang berbentuk
kerangka kapur. Jaringan hidup binatang karang relatif sederhana dan menyerupai
anemon. Tubuh seperti anemon itulah yang disebut sebagai polip dan umumnya
berbentuk tabung silinder dengan ukuran diameter yang bervariasi dari satu mm
hingga beberapa cm. Ada yang memanjang atau pipih sehingga membentuk
kerangka yang menyatu. Mulut polip pada atas bagian silinder dikelilingi oleh
banyak tentakel yang dapat dijulurkan keluar dan ditarik masuk. Secara internal
struktur pencernaan terdiri dari mulut terus ke stomodeum atau faring yang pendek
dan terhubung hingga ke rongga gastovascular. Rongga tersebut terbagi secara
longitudinal oleh bagian-bagian yang radial yang disebut mesentri yang
menyimpan gonad juga berperan penting pada proses pencernaan. Dalam proses
pencernaan di mesentri sisa makanan dikeluarkan melalui mulut yang juga
berfungsi sebagai anus (Veron 1986; Suharsono 1996).
Bagian lunak dari karang merupakan jaringan polip terdiri dari
ectodermis, mesoglea dan gastrodermis (endodermis). Ectodermis merupakan
jaringan terluar dan dilengkapi dengan cilia, kantung lendir (mucus) dan sejumlah
11

nematokis. Mesoglea adalah jaringan yang terletak antara ectodermis dan


gastrodermis, berbentuk seperti agar-agar (jelly). Gastrodermis adalah jaringan
terdalam yang memuat sel-sel untuk pencernaan dan sebagian besar berisi
zooxanthellae (Veron 1986; Suharsono 1996).
Pada Gambar 2 menunjukan struktur kerangka keras dari individu polip
yang berbentuk tabung yang berisi lempeng tegak yang menyebar dari tengah
rongganya disebut koralit (corallite). Pada koralit terdapat dasar radial yang
dipisahkan oleh dinding, pada bagian sebelah dalam yang disebut septa (septae)
sedangkan pada bagian luarnya disebut kosta (costae). Pada septa terdapat bagian
bergerigi yang menyerupai pilar pada pinggiran bagian dalam, beberapa bagian
atau seluruh septanya disebut paliform lobe. Pada tengah koralit terdapat bagian
bergerigi halus yang mengarah ke dalam mulut koralit disebut columella. Susunan
lempengan horizontal yang menggabungkan satu koralit dengan koralit lainnya
disebut coenosteum. Pada dinding koralit terdapat suatu lapisan tipis kerangka
menyerupai lapisan kertas disebut epitheca (Veron 1986).
Pola pertumbuhan karang batu mengukuti pola pertumbuhan spesifik dari
spesiesnya, juga dipengaruhi oleh lokasi geografik dari koloni tersebut dan faktor
lingkungan seperti keterbukaan terhadap cahaya, aksi gelombang dan temperatur
serta kelimpahan dari koloni karang disekitarnya yang mempengaruhi bentuk
pertumbuhan koloni (Barnes dan Lough 1992, 1999).
Karang menyediakan kebutuhan alga zooxanthellae dengan suatu
perlindungan lingkungan dan senyawa-senyawa yang diperlukan untuk
fotosintesis. Termasuk di dalamnya karbon dioksida yang dihasilkan dari
respirasi karang, dan materi anorganik seperti nitrat, fosfat sebagai hasil buangan
metabolisme karang. Oksigen yang dihasilkan zooxanthellae dapat membantu
karang memindahkan hasil buangan (metabolit). Zooxanthellae juga mensuplai
karang dengan hasil organik fotosintesis. Senyawa-senyawa tersebut termasuk
glukosa, gliserol dan asam amino yang digunakan oleh karang yang membangun
bagian-bagian dalam sebuah proses yang menghasilkan protein, lemak dan
karbohidrat, seperti proses sintesa pada kalsium karbonat (CaCO3). Mutualisme
antara metabolisme Cnidaria dan fotosintesis alga adalah kunci utama
12

produktivitas biologi dan kapasitas sekresi kapur dari pembentukan terumbu


karang (Barnes dan Lough 1999; Sumich 1992).
Karang dapat berproduksi secara seksual dan aseksual. Reproduksi secara
aseksual dapat terjadi melalui fragmentasi, pelepasan polip dari kerangka dan
produksi aseksual dari larvae. Reproduksi seperti ini dibatasi secara geografi oleh
asal terumbu, bentuk koloni dan pertumbuhan. Pada reproduksi secara seksual sel-
sel gamet akan melekat pada mesenteri-mesenteri biasanya terjadi setiap tahun,
musiman, bulanan atau tidak tentu. Pada karang hermaprodit ataupun gonokoris,
peristiwa spawning dapat terjadi melalui fertilisasi eksternal sedangkan brooding
dapat berlangsung melalui fertilasi internal, keduanya akan menghasilkan planula
bersifat teleplanic atau philopatric (Veron 1995).
Umumnya ¾ dari semua karang hermatifik bersifat hermaprodit yang
dapat melepaskan (spawner) dan mengerami (brooder) gamet-gamet.
Perkembangan gonad dan pelepasan gamet pada karang hermaprodit dapat terjadi
secara simultan ataupun berurutan, sehingga membentuk variasi potensi
fertilisasi. Spawning berhubungan dengan fekunditas yang tinggi, sedangkan
pada brooding nilai fekunditasnya bisa lebih sedikit atau lebih besar dengan
perkembangan larva yang lebih baik (Veron 1995).
Planula yang telah dilepaskan akan berenang ke arah cahaya, kemudian
berenang kembali ke arah dasar, jika kondisi menguntungkan mereka akan
menempel dan membentuk suatu koloni baru. Koloni-koloni tersebut menjadi
matang secara seksual pada ukuran minimum. Karang masif Favia doreyensis
matang secara seksual pada saat koloni berumur 8 tahun dengan diameter 10 cm.
Beberapa karang bercabang seperti jenis Acropora, Pocillipora, dan Stylophora,
mencapai matang seksual pada umur lebih muda (Barnes dan Lough 1999).
Pada tingkat spesies, mekanisme reproduksi karang bervariasi secara
geografi, ekologi, demografi dan anatomi. Terdapat variasi antara spesies karang
ahermatifik dan hermatifik, ukuran polip dan koloni. Variasi-variasi tersebut juga
ditentukan oleh komposisi genetik dan sebaran spesies karang (Veron 1995).

Alga simbion - zooxanthellae


Zooxanthellae merupakan istilah umum yang dipakai untuk
menggambarkan alga simbiotik yang hidup bersimbiosis dengan hewan, termasuk
13

karang. Zooxanthellae termasuk dalam kelas Dinoflagellata dengan nama genus


Symbiodinium, dan yang bersimbiosis dengan karang adalah Symbiodium
midroadriaticum. Selain memiliki klorofil a dan c, zooxanthellae juga memiliki
pigmen (diadinoxanthin dan piridin) yang berguna dalam fotosintesis. Mereka
umumnya berwarna coklat atau merah kecoklatan sehingga umumnya karang
terlihat berwarna coklat (Baker dan Rowan 1997; Rowan 1998 )
Selanjutnya Rowan (1998) menjelaskan bahwa zooxanthellae ditransfer ke
dalam tubuh individu karang baru melalui proses reproduksi, baik reproduksi
aseksual maupun seksual. Dalam reproduksi aseksual, zooxanthellae secara
langsung ditransmisi dalam fragmen dasar koloni baru. Sedangkan melalui
reproduksi secara seksual, zooxanthellae diperoleh secara langsung dari induk
karang atau secara tidak langsung dari lingkungan. Pada saat reproduksi secara
seksual, zooxanthellae langsung ditransfer ke dalam telur atau larva yang
dikeluarkan. Zooxanthellae juga diperoleh secara tidak langsung dari lingkungan
atau sisa dari organisme pemakan karang dan pemakan zooplankton yang
didalamnya mengandung zooxanthellae.
Hubungan simbiosis yang terjadi antara karang dengan zooxanthellae
adalah simbiosis mutualisme atau hubungan yang saling menguntungkan untuk
keduanya. Zooxanthellae mendapatkan beberapa keuntungan dari hubungan ini,
terutama tempat hidup yang cukup baik dan terlindung (jaringan karang). Selain
itu mereka juga memperoleh suplai nutrien dasar yang keberadaannya berlanjut
(PO4 dan NH3) serta produk metabolik lainnya (Urea dan Asam Amino) hasil
ekskresi hewan karang. Polip karang juga mensuplai zooxanthellae dengan CO2
sebagai hasil dari produk respirasi, yang berguna bagi zooxanthellae dalam proses
fotosintesis (Tomascik et al. 1997).
Keuntungan dari hubungan ini bagi hewan karang adalah sejumlah gula
dan oksigen sebagai hasil fotosintetis zooxanthellae yang dibutuhkan karang
sebagai makanan dan respirasi (Byatt et al. 2001). Keuntungan paling penting dari
simbiosis antara karang – zooxanthellae bagi karang adalah dalam proses
kalsifikasi, sebagai proses perkembangan struktur kerangka karang (Pearse dan
Muscatine 1971 dan Muscatine et al. 1977 dalam Tomascik et al. 1997).
14

Pada kondisi lingkungan yang tidak normal, zooxanthellae dapat


mengalami ekspulsi (keluar dari jaringan karang) sebagai indikator stress pada
karang. Penelitian mengenai hilangnya zooxanthellae dari jaringan polip karang
telah banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti. Peristiwa pemutihan karang
(bleaching) sebagai konsekuensi keluarnya zooxanthellae dari jaringan polip
karang disebabkan oleh beberapa faktor seperti perubahan suhu, perubahan
salinitas, limbah panas, masukan lumpur, polusi minyak (Brown dan Howard
1985), serta short-term sedimentasi (Philipp dan Fabricius 2003).

2.2. Klasifikasi Karang


Istilah “karang” merupakan nama popular untuk anggota filum Anthozoa
dan Hydrozoa. Secara umum karang dapat dibedakan menjadi dua taksa yaitu
karang keras yang terdiri dari Scleractinia dan Madreporaria, karang lunak filum
Anthozoa dan hidro-karang filum Hydrozoa. Kelas Scleractinia merupakan jenis
karang hermitipik yang menyusun terumbu karang secara berkoloni. Kelas ini
dicirikan dengan adanya kerangka keras dan simbiosis zooxantellae (Frank dan
Mokady 2002).
Ciri morfologi merupakan karakter yang sering digunakan sistematika
karang. Pendekatan molekuler kini mulai banyak digunakan untuk mempelajari
biodiversitas karang. Menurut Veron (1995), evolusi karang tidak mengikuti
hukum klasik Darwin, melainkan mengikuti kaidah Retikulata. Menurut kaidah
ini, garis evolusi spesies karang secara kontinu bergabung dengan melakukan
hibridisasi/perkawinan dan berpisah karena terjadi isolasi atau genetic drift.

Karang Pembentuk Terumbu Karang


Sebagian besar karang keras pembentuk terumbu merupakan anggota dari
kelas Anthozoa dari Filum Cnidaria. Hanya dua famili yang berasal dari kelas
lain yakni Milleporidae dan Stylasteridae dari kelas Hydrozoa. Kelas Anthozoa
sendiri terdiri dari dua subkelas yakni Hexacorallia (atau Zoantharia) dan
Octocorallia, yang dibedakan dari morfologi dan fisiologi (Gambar 3). Fungsi
pembentukan terumbu kebanyakan oleh karang pembentuk terumbu (atau karang
hermatipik). Karang-karang tersebut membentuk kerangka dari bahan kapur
15

padat atau aragonit. Kelompok karang hermatipik diwakili umumnya oleh ordo
Scleractinia (subkelas Hexacorallia). Dua spesies kelompok hermatipik yang
berasal dari ordo Octocorallia yakni Tubipora musica dan Heliopora coerulea,
sedangkan dari kelas Hydrozoa yang masuk kelompok hermatipik yakni
Millepora sp dan Stylaster roseus (Sorokin dan Yuri 1995).

Keterangan : (----) Taxa karang yang membangun terumbu

Gambar 3 Kedudukan taksa karang dalam sistem filum Cnidaria.

Selanjutnya Schuhmacher dan Zibrowius (1985) menerangkan karang


berdasarkan fungsi pembentukan terumbu (hermatipik dan ahermatipik) dan
hubungannya dengan alga simbion maka dikelompokan kedalam 4 kelompok
yakni :

a. Hermatipik-simbion, kebanyakan karang Scleractinia pembentuk terumbu,


Octocoral dan Hydrocoral.
b. Hermatipik-asimbion, merupakan karang-karang yang pertumbuhannya
lambat dan dapat membangun kerangka kapur masif tanpa mengandung
zooxanthellae, sehingga mereka bisa hidup pada lingkungan yang gelap
misalnya dalam gua, terowongan, daerah terdalam paparan kontinen.
Beberapa diantaranya Scleractinia tanpa simbion seperti Tubastrea,
Dendrophyllia dan Hydrocoral yakni Stylaster rosacea.
16

c. Ahermatipik-simbion, Scleractinia yang termasuk dalam kelompok ini adalah


kelompok Fungia kecil seperti Heteropsammmia dan Diaseris serta karang
Leptoseris (famili Agaricidae) yang berpolip tunggal atau koloninya kecil
sehingga tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok pembangun terumbu.
Kelompok ini termasuk kebanyakan Octocoral – Alcyonaceae dan
Gorgonacea yang mengandung algae simbion tetapi tidak menghasilkan
kerangka kapur masif.
d. Ahermatipik–asimbion, termasuk Scleractinia dari genus Dendrophyllia dan
Tubastrea yang memiliki polip berukuran kecil kecil. Termasuk pula
Hexacorallia dari ordo Antipatharia dan Corallimorpharia serta Octocoral
yang asimbiotik.

Komunitas karang Scleractinia yang hidup dan menempati terumbu karang


di lautan pada berbagai kondisi lingkungan. Kondisi yang berbeda antar regional
dan area terumbu menyebabkan tingkat keragaman karang juga bervariasi.
Menurut Sorokin dan Yuri (1995), menjelaskan karang hermatipik modern sangat
bervariasi dapat di kelompokan menjadi 3 kelompok yakni, sebagai berikut :
a. Kelompok karang Oportunis (r-strategist)
Karang ini memiliki ukuran koloni dari kecil hingga sedang, yang ditentukan
oleh pertumbuhannya, kematangan seksual pada usia muda dan sebagaian
besar energinya untuk pemeliharaan keturunannya. Kebanyakan dari karang-
karang tersebut matang secara seksual setiap bulan, memiliki kecepatan
tumbuh dan berumur pendek. Kelangsungan hidupnya ditingkatkan melalui
pemijahan yang intensif sehingga meningkatkan kesempatan rekrutmen dalam
kompetisi terhadap substrat dan dapat menggandakan secara vegetatif melalui
kepingan percabangannya. Karang-karang oportunis ini dapat bertahan pada
berbagai kondisi tekanan fisik seperti terpapar, salinitas yang rendah akibat
pemanasan, polusi, pemananasan dan kekeruhan pada perairan yang dangkal.
Beberapa diantaranya merupakan karang Indo-Pasifik seperti Stylopora
pistillata, Psammocora contigua, Pocilopora damicornis, Seriotopora histrix
dan beberapa spesies dari Montipora, Acropora dan Pavona.
17

b. Kelompok karang Konservatif (k-strategist)


Sebagian besar energi dari karang ini digunakan untuk metabolisme dan
pertumbuhannya. Koloni-koloni berumur tua dengan diameter 1 – 3 m.
Karang ini menggunakan sedikit energi untuk perambatan, menanggulangi
ketersediaan susbtrat dengan membentuk koloni besar dan berumur panjang,
dapat hidup puluhan hingga ratusan tahun. Siklus pemijahannya secara
periodik setiap tahun seperti karang-karang masif Porites dan Montastrea.
c. Kelompok karang Intermediate
Umumnya merupakan karang peralihan antara dua tipe yang berlawanan
tersebut diatas. Kelompok karang ini dapat hidup pada berbagai lingkungan
dengan tipe substrat yang bervariasi. Karang-karang tersebut dengan sedikit
spesialisasi dan polipnya aktif sepanjang hari. Secara fenotif mereka
termasuk labil, terbentuk pada lingkungan terumbu yang bervariasi dengan
banyak adaptasi ecomorph. Kebanyakan spesies itu merupakan genus
Acropora, umumnya kelompok Faviid, genus Hydronopora, Galaxea dan
Goniopora. Komunitas biotop ini terdapat dalam terumbu yang kondisi
lingkungannya stabil dimana karang yang hidup secara khusus seperti
kelompok Agaricid beberapa genus dari Turbinaria, Echinophyllia, Leptoseris
dan Diaseris.

2.3 Genus Goniopora


Goniopora juga dikenal sebagai flowerpot coral, daisy coral atau
sunflower coral.

Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Cnidaria
Kelas : Anthozoa
Sub Kelas : Hexacorallia
Ordo : Scleractinia
Famili : Poritidae
Genus : Goniopora (Blainville,1830)
18

a) b)

Gambar 4 a) G. columna dan b) polip dan tentakel G. columna.


(Sumber: Veron 2000).

Status : Termasuk dalam daftar lampiran II (Appendix II) CITES (CITES March,
2009).

Deskripsi
Penampilan karang yang cantik ini menutupi perilakunya yang agresif.
Sejumlah individu polip karang membentuk koloni yang bergabung bersama pada
pangkal kerangka kapurnya. Koloni ini dapat tumbuh berbentuk cabang
(branches), kolom (column), koloni masif (massive) yang berbentuk kubah, atau
koloni yang menjalar dekat substrat (encrusting) (Veron 2000). Koloni relatif
besar dan tebal, dinding porus, septa dan kolumela bersatu membentuk struktur
yang kompak. Koloni selalu mempunyai bentuk polip yang panjang dan warna
yang berbeda-beda. Genus ini mempunyai sekitar 20 species yang tersebar di
seluruh perairan Indonesia. (Soeharsono 1996). Koloni dapat tumbuh bermeter-
meter dan kadang-kadang melintasi seluruh bagian dasar terumbu yang tertutup
karang secara eksklusif oleh satu spesies Goniopora bercabang. Salah satu spesies
Goniopora, “daisy corals” yang dinamai demikian karena sangat besar, dengan
polip yang seperti bunga, dapat tumbuh hingga meliputi areal seluas enam sampai
sepuluh meter (Peach dan Hoegh-Guldberg 1999). Setiap polip memiliki 24
tentakel yang panjang dan berdaging yang biasanya menjulur sepanjang siang dan
malam hari (meskipun ini polip-polip dapat dengan cepat ditarik kembali ketika
disentuh bagian bawah kerangka masifnya) (Veron 1986, 2000). Setiap spesies
19

Goniopora berbeda dalam bentuk dan warna polip mereka, yang memungkinkan
identifikasi dilakukan di bawah air (Veron 2000).

Daerah Penyebaran
Terdapat di Samudra Hindia dan Pasifik; dari pantai Mozambik sampai ke
Laut Merah, dan Australia Selatan sampai Australia Utara, Jepang Selatan dan
Hawaii (Veron 2000).

Habitat
Goniopora ditemukan terutama pada perairan keruh yang terlindung dari
arus yang kuat (Veron 2000)

Biologi
Goniopora atau Flowerpot coral, meskipun mereka mempunyai nama
yang indah, umumnya merupakan hewan yang agresif. Mereka dapat
mengembangkan polip 'penyapu' yang panjang, seperti tentakel penyapu pada
karang lainnya, yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan yang parah pada
karang lain dalam jangkauan mereka. Oleh karena itu, tidak lumrah ketika melihat
spesies karang lain dapat tumbuh di dekat Goniopora, dan diyakini bahwa
adaptasi ini menguntungkan Goniopora dalam persaingan yang ketat untuk
mendapatkan ruang pada terumbu karang (Peach dan Hoegh-Guldberg 1999).
Seperti karang hermatifik lainnya, polip Goniopora memiliki alga mikroskopis
(zooxanthellae) yang hidup di dalam jaringan mereka. Melalui fotosintesis,
simbiosis alga ini menghasilkan molekul yang kaya energi sehingga polip karang
dapat menggunakannya sebagai nutrisi. Selain itu, polip-polip besar dapat
menggunakan tentakel mereka untuk menangkap plankton sebagai makanan, dan
dengan demikian karang ini tidak bergantung pada cahaya matahari, yang
diperlukan untuk fotosintesis seperti hal nya pada beberapa jenis karang lainnya
(Veron 1986; Soeharsono 1996). Goniopora memiliki koloni jantan dan betina
yang terpisah (tidak pada semua karang seperti itu) yang melepaskan sperma dan
telur ke dalam air untuk fertilisasi eksternal. Telur yang telah dibuahi berkembang
menjadi larva akan berenang bebas yang pada akhirnya akan menempel di substrat
dan berkembang menjadi koloni baru (Veron 1986).
20

Ancaman
Goniopora menghadapi banyak ancaman akibat dampak pada terumbu
karang secara global. Diperkirakan bahwa 20 persen dari terumbu karang dunia
telah secara efektif dihancurkan dan tidak menunjukkan prospek pemulihan
langsung, dan 24 persen karang di dunia berada di bawah risiko kehancuran akibat
tekanan manusia. Ancaman potensial selanjutnya adalah peningkatan kejadian
coral bleaching, sebagai akibat dari perubahan iklim global (Douglas 2003).
Lebih khusus lagi, Goniopora berpotensi terancam oleh perdagangan
karang hidup. Goniopora adalah salah satu dari genus yang mendominasi
perdagangan karang hidup untuk dipelihara dalam akuarium. Goniopora dan
Euphyllia adalah jenis yang lebih banyak diperdagangkan dari genus lainnya,
karena sebagian dari karang-karang tersebut biasanya tidak bertahan lebih dari
setahun, maka harus diganti cukup sering. Sejumlah kecil flowerpot coral juga
diperdagangkan sebagai ornamen ukiran, dan untuk keperluan biomedis, dan
karena ada kesamaan dalam kerangka karang struktur tulang manusia, mereka
dapat digunakan dalam transplantasi tulang (Green dan Shirley 1999).

Konservasi
Goniopora tercantum pada Apendix II CITES, yang berarti bahwa
perdagangan spesies ini harus diatur secara hati-hati. Indonesia dan Fiji memiliki
kuota ekspor untuk Goniopora. Di Indonesia, karang ini adalah salah satu dari
lima genus dengan kuota tertinggi (data per Maret 2900 kuota untuk penjualan
Goniopora spp. di Indoneisa adalah sekitar 41 400 – 43 200 buah per tahun)
(CITES March, 2009), walaupun tak ada alasan ilmiah untuk menduga mengapa
karang ini dapat mencapai tingkat pengambilan atau pemanenan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan genus lainnya (Green dan Shirley 1999). Goniopora spp.
merupakan bagian dari komunitas terumbu karang di banyak daerah perlindungan
laut (MPA) sehingga perlu dilakukan upaya pengelolaan dan konservasi yang
serius untuk mempertahankan keberadaannya (Wilkinson 1993).

2.4 Daerah Penyebaran Karang


Sebagian besar spesies karang hidup di perairan oligotropik beriklim tropis.
Luasan terumbu karang tropis mencapai 600 000 km2, pada kedalaman antara
21

0 hingga 30 meter antara 35 °LU dan 32 °LS. Sebaran terumbu karang sangat
dipengaruhi oleh lingkungan yaitu suhu, salinitas, tingkat sedimentasi, sementara
faktor biogeorafis yang menggerakkannya dapat berhubungan dengan garis
lintang yaitu suhu, cahaya dan arus atau dengan yang tidak berhubungan dengan
garis lintang yaitu kualitas substrat, kualitas air, nutrient, ekologi dan batas
penyebaran secara regional (Veron 1995; Suharsono 1996).
Terumbu karang Indonesia dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati
dunia dengan luas areal terumbu karang lebih dari 60 000 km2. Hasil pemantauan
Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPO-LIPI)
sampai dengan Desember 1999 hanya sekitar 6.69 % terumbu karang Indonesia
yang berada dalam kondisi sangat baik, selebihnya 26.59 % berada dalam katagori
baik, 37.58 % sedang dan 29.16 % buruk (Estradivari et al. 2007; PPO-LIPI.
2008).

Sebaran Terumbu Karang


Sebaran karang secara vertikal dibatasi oleh kedalaman, dimana
pertumbuhan, penutupan dan kecepatan tumbuh karang berkurang secara
eksponensial dengan bertambahnya kedalaman. Faktor utama yang
mempengaruhi sebaran vertikal adalah intensitas cahaya, oksigen, suhu dan
kecerahan air (Suharsono 1996). Sedangkan sebaran horizontal karang di dunia
dibatasi oleh lintang, yakni antara 35 °LU– 2 °LS yang tersebar di laut dangkal di
daerah tropis hingga subtropis (Suharsono 1996).
Sebaran horizontal terumbu karang memiliki korelasi dengan temperatur
Wells (1954) dalam Veron (1995) mencatat keberadaan genus karang di daerah
Indo-Pasifik sebagai berikut :
a. Kebanyakan genus karang Indo-Pasifik tersebar dengan luas dan seragam,
tetapi beberapa hanya ada dalam wilayah tertentu, dan genus yang lain
tersebar luas tapi jarang ditemukan.
b. Beberapa genus karang tersebar luas tetapi bukan pada habitat terumbu
karang yang sebenarnya.
c. Terdapat daerah-daerah Indo-Pasifik, dimana terbagi ke dalam komposisi
genus karang tertentu.
22

d. Terdapat hubungan yang jelas antara keanekaragaman kontur genus karang


dan temperatur permukaan air.
e. Keanekaragaman genus karang di luar dari daerah Indo-Pasifik diindikasikan
rendah.
Veron (1995) menjelaskan lebih jauh mengenai sebaran spesies karang
Indo-Pasifik dan membangun hipotesis, diantaranya adalah terdapat sentral
keanekaragaman spesies di Indo-Pasifik yang telah dibatasi oleh oleh kondisi
marginal di daerah terluarnya. Hipotesis lain dikemukakan Rosen (1984) dalam
Veron (1995), bahwa batas utama dari sebaran karang adalah lintang dan sebagai
kontrol utamanya adalah temperatur dan iklim; dan secara regional adalah bujur
yang dipengaruhi oleh kejadian geotektonik. Selanjutnya Newell (1971) dalam
Veron (1995) berpendapat bahwa karang memiliki penyebaran yang kosmopolitan
di daerah Indo-Pasifik terutama ditandai adanya pembatasan secara fisiologi.
Tiga daerah besar penyebaran terumbu karang di dunia yaitu Laut Karibia,
Laut Hindia dan Indo-Pasifik (Veron 1995; Suharsono 1996). Menurut Tomascik
(1997) mengemukakan bahwa di Asia Tenggara terdapat 30% dari seluruh
terumbu karang di dunia, pada umumnya berbentuk terumbu karang tepi.
Selanjutnya Burke et al. (2002) memperkirakan Indonesia memiliki luas terumbu
karang kira-kira 51 000 km2 atau 51% dari luas terumbu karang yang ada di Asia
Tenggara atau setara dengan 18% dari luas terumbu karang dunia.
Sebaran karang di Indonesia lebih banyak terdapat di sekitar pulau
Sulawesi, Laut Flores dan Banda. Sebaran karang di sepanjang pantai timur
Sumatera dan Kalimantan Barat dan Selatan dibatasi adanya sedimentasi yang
tinggi dibawa oleh aliran sungai. Demikian juga sebaran karang sepanjang pantai
utara pulau Jawa dipengaruhi adanya sedimentasi yang tinggi. Selanjutnya
dikatakan bahwa karang tumbuh dan berkembang dengan baik di daerah Sulawesi
pada umumnya dan Sulawesi Utara pada khususnya karena adanya arus lintas
Indonesia yang mengalir sepanjang tahun dari lautan Pasifik (Suharsono 1996).

Sebaran dan Faktor Lingkungan


Terumbu karang tersebar di laut dangkal baik daerah tropis maupun
subtropis, yaitu antara 35 oLU dan 32 oLS mengelilingi bumi. Garis lintang
23

tersebut merupakan batas maksimum dimana karang masih dapat tumbuh. Dari
berbagai belahan dunia, terdapat tiga daerah besar terumbu karang yaitu: laut
Karibia, laut Hindia, dan Indo-pasifik. Di laut Karibia terumbu karang tumbuh di
tenggara pantai Amerika sampai sebelah barat laut pantai Amerika Selatan. Di
laut Hindia sebaran karang meliputi pantai timur Afrika, Laut Merah, teluk Aden,
teluk Persia, teluk Oman. Sebaran karang di laut Pasifik meliputi laut Cina Selatan
sampai pantai timur Australia, pantai Panama sampai pantai selatan teluk
California (Suharsono 1996).
Sebaran karang tidak hanya terdapat secara horisontal, tetapi juga secara
vertikal. Pertumbuhan, penutupan, dan kecepatan tumbuh karang berkurang secara
eksponensial dengan kedalaman. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan ekosistem terumbu karang antara lain: suhu, salinitas, cahaya,
sedimentasi, arus dan gelombang (Suharsono 1996).

2.5 Marka Genetik


Karakter suatu organisme dapat diketahui dengan menggunakan berbagai
macam teknik diantaranya dengan menggunakan penanda atau marka. Secara
umum ada tiga jenis marka yang biasa digunakan dalam bidang biologi yaitu
marka morfologi, marka biokimia dan marka molekuler. Marka morfologi adalah
penanda organisme yang diambil dari ciri-ciri fisik yang tampak dari suatu
organisme termasuk turunan yang dihasilkan. Marka biokimia adalah penanda
organisme yang berasal dari senyawa atau enzim yang umum terdapat dalam suatu
lintasan biokimia dan ekspresi gen yang sangat dipengaruhi faktor lingkungan,
sementara marka molekuler atau sering dikenal dengan sidik jari DNA (DNA
Fingerprinting) merupakan penanda organisme yang mengacu pada polimorfisme
fragmen pita DNA (Sunnuck 2000).
Dengan berkembangnya teknologi biologi molekuler, marka molekuler
kini lebih banyak dipilih dan digunakan sebagai penanda suatu organisme. Marka
ini memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi dan tidak dipengaruhi oleh
lingkungan, dapat diuji pada semua tingkat perkembangan organisme, jika
berkaitan dengan masalah ketahanan terhadap hama penyakit, tidak tergantung
24

pada organisme pengganggu tersebut dan juga sekaligus dapat berfungsi menjadi
alat seleksi (Sunnuck 2000).
Analisis molekuler dengan menggunakan penanda moleuler dapat
dilakukan dengan teknik non-PCR maupun berbasis PCR (Polymerase Chain
Reaction). Beberapa jenis teknik analisa yang telah dikembangkan berdasarkan
kedua teknologi diantaranya adalah RFLP (Restriction Fragmen Length
Polymorphism), AFLP (Amplified Fragmen Length Polymorphism), RAPD
(Random Amplified Polymorphism DNA), SSR (Simple Sequence Repeat) dan
lain-lainnya (Sunnuck 2000). Beberapa yang telah dikembangkan untuk spesies
karang adalah AFLP dan mikrosatelit untuk Montastrea annularis (Lopez et
al.1999 ), RAPD untuk Plexaura flexuosa (Kim et al, 2004).

DNA Mitokondria
Materi genetik organisme atau yang dikenal dengan istilah DNA
(Deoxyribose Nucleic Acid) terdapat pada inti dan organel sel mitokondria dan
kloroplas. DNA mitokondria terdapat dalam jumlah lebih banyak daripada DNA
inti, karena dalam setiap sel dapat dihasilkan ratusan hingga ribuan kopi
sementara DNA inti hanya terdiri dari dua kopi setiap selnya (Melton 1999).
Iguchi et al. (1999) menjelaskan bahwa DNA mitokondria memiliki
beberapa kelebihan dibanding DNA inti sehingga banyak digunakan untuk
menganalisa keragaman genetik dan dinamika populasi. Beberapa kelebihan
tersebut diantaranya adalah pertama, ukurannya yang relatif kecil dan kompak
(16 000-20 000 bp). Kedua, lebih sederhana dibandingkan DNA inti. Ketiga,
berevolusi lebih cepat dibandingkan DNA inti yang bermanfaat untuk melihat
hubungan kekerabatan dan perbedaan dalam dan antar populasi, Keempat, bagian-
bagian dari DNA mitokondria memiliki laju evolusi yang berbeda sehingga dapat
digunakan untuk studi sistematika dan penelusuran asal muasal. Kelima,
pewarisannya bersifat uniparental dari tetua betina. Materi COI DNA mitokondria
telah digunakan untuk mengidentifikasi filogenetik spesies Mostastraea annularis
dan Acropora cervicornis (Medina et al. 1999; Vollmer dan Palumbi 2006).
Genom mitokondria dari spesies Acropora nasuta berbentuk sirkuler
tunggal utas ganda terdiri dari 18 338 bp yang tersusun oleh 13 gen penyandi
protein (Gambar 5) : Sitokrom b (Cyt b); subunit I-III Sitokrom c oksidase (COI-
25

COIII), subunit 6 dan 8 komplek F0 ATP Synthase (ATPase 6 dan 8); subunit 1-6
dan 4L rantai NADH dehydrogenase (ND1-6 dan ND4L), 2 gen penyandi rRNA
(s-rRNA dan l-rRNA) sebagaimana yang terdapat pda organisme Metazoa
umumnya dan 2 gen penyandi tRNA (trnf-Met dan trnTrp) seperti yang terdapat
pada karang Acropora lainnya dan anemone laut , Metridium senile. (Fukami et al.
2000; Van Oppen et al. 2002).

Gambar 5. Peta gen molekul mtDNA Acropora nasuta. Tanda bintang mewakili
gen yang ditentukan untuk rangkaian penuh. Tanda panah
menunjukkan arah transkripsi. (Fukami et al. 2000)

Ribosomal Internal Transcribed Spacer (ITS)


Daerah Internal Transribed Spacer (ITS) nuklear RNA ribosomal (nRNA)
unit transkripsi (rDNA) telah terbukti sesuai untuk menangani hubungan pada
atau di bawah tingkat genus pada berbagai kelompok tanaman dan hewan
(misalnya, Lee dan Taylor 1992; Vogler dan Dessale 1994 dalam Odorico dan
Miller 1997) termasuk Cnidaria (Anthozoa) (Chen et al. 1996). Pada eukariota,
26

gen subunit kecil nuklear ribosomal (18S) dipisahkan dari gen 5.8S oleh internal
spacer pertama (ITS-1), dan internal transcribed spacer kedua (ITS-2)
memisahkan gen 5.8S dari gen subunit besar (28S) (Gambar 6). Gen ribosom
dan spacer-nya berevolusi pada tingkat evolusi yang berbeda (Hillis dan
Dixon 1991), membuat keluarga gen ini sebagai kandidat yang sesuai untuk
analisis filogenetik pada banyak tingkat sistematik.
.

Gambar 6. Diagram dari keluarga gen ribosomal DNA pada hewan (dari Hillis &
Dixon 1991). Kode daerah untuk 5,8S, 18S, dan sub-unit 28S rRNA
ditunjukkan oleh batang; NTS = non-transcribed spacer, ETS =
external transcribed spacer, ITS = daerah internal transcribed spacer.

Baik gen 18S maupun gen 28S telah digunakan untuk tingkat sistematika
yang lebih tinggi dari Cnidaria (Chen et al. 1995; Odorico dan Miller 1997).
Daerah ITS memiliki tingkat evolusi yang lebih tinggi karena mereka memiliki
lebih sedikit hambatan fungsional daripada gen ribosom, sehingga membuat
mereka berguna untuk perbandingan taksonomi pada tingkat yang lebih rendah.
Daerah ITS telah berhasil digunakan dalam sistematika Cnidaria (Beauchamp dan
Powers 1996; Chen et al. 1996) dan karang pada khususnya (Odorico dan Miller
1997), serta taksa lain untuk mempelajari hubungan di tingkat populasi (Caporale
et al. 1997) dan tingkat spesies (Fritz et al. 1994).
Variabilitas perunutan di daerah internal transcribed spacer (ITS)
ribosomal DNA (rDNA) pada karang telah dipelajari oleh beberapa peneliti.
Panjang total fragmen rDNA yang teramplifikasi, mencakup 3 'end dari gen 18
SrDNA , ITS-1, gen 5.8 rRNA, ITS-2, dan 5’end dari gen 28S rRNAsangat
bervariasi antara spesies karang yang berbeda. Takabayashi et al. (1998)
melaporkan bahwa penerapan metode daerah internal transcribed spacer (ITS)
ribosomal DNA (rDNA) untuk menganalisis variabilitas DNA populasi karang
karena daerah ITS lebih bervariasi (variable) daripada kebanyakan nukleus
27

lainnya atau runutan (sekuen) DNA mitokondrial (White et al. 1990; O'Donnell
1992; Chen et al. 1996). Selain itu, runutan18S dan 28S rDNA yang mengapit
kawasan ITS adalah sangat kekal (conserve) dan dapat digunakan untuk
merancang primer yang spesifik untuk berbagai taksa. Oleh karena itu, analisis
urutan variasi di daerah ITS secara luas digunakan dalam populasi dan kajian
sistematis berbagai organisme yang berbeda, dan memiliki potensi untuk
diterapkan dalam kajian serupa pada karang (Takabayashi et al. 1998).

2.6 DNA Barcoding (Barkode DNA)


Metode identifikasi molekuler berbasis PCR sudah sering digunakan
dalam bidang yang berhubungan dengan taksonomi, makanan dan identifikasi
forensik molekuler (Teletchea et al. 2008) untuk identifikasi eukariotik patogen
dan vektor pembawa penyakit (Walton et al. 1999). Beberapa sistem universal
untuk identifikasi berbasis molekuler telah digunakan pada taksa yang rendah
(misalnya nematoda, Floyd et al. 2002) tetapi tidak berhasil diterapkan untuk
cakupan yang lebih luas. Proyek Barcode of Life yang bertujuan untuk
menciptakan sistem universal untuk inventarisasi spesies eukariotik berdasarkan
pada pendekatan molekuler standar, dimulai pada tahun 2003 oleh para peneliti di
University of Guelph di Ontario, Kanada dan dipromosikan pada tahun 2004 atas
inisiatif internasional “Consortium for the Barcode of Life "(CBOL,
http://www.barcoding.si.edu). Proyek DNA barcode tidak memiliki ambisi untuk
membangun pohon kehidupan atau untuk melakukan penggolongan atau
taksonomi molekuler melainkan untuk menghasilkan sebuah alat diagnostik
sederhana didasarkan pada pengetahuan taksonomi yang kuat yang dikumpulkan
dalam perpustakaan referensi DNA barcode (Schindel dan Miller 2005). DNA
Barcode of Life Data System (BOLD, http://www.boldsystems.org) secara
progresif telah dikembangkan sejak tahun 2004 dan secara resmi didirikan pada
tahun 2007 (Ratnasingham dan Hebert 2007). Data ini memungkinkan sistem
akuisisi, penyimpanan, analisis dan publikasi catatan barkode DNA.
Proyek Barkode DNA ini awalnya dipahami sebagai sebuah sistem standar
cepat dan akurat untuk mengidentifikasi spesies hewan. Dalam lingkup saat ini
dapat digunakan untuk mengidentifikasi hampir semua spesies eukariotik (Herbert
et al. 2003). Barkode DNA itu sendiri terdiri dari 648 wilayah pasangan basa 58-
28

705 dari 5'-akhir gen sitokrom c oksidase 1 (COI) menggunakan genom


mitokondria mencit sebagai referensi. Hal ini didasarkan pada dalil bahwa setiap
spesies kemungkinan besar memiliki barkode DNA yang unik dan variasi genetik
antar spesies melebihi variasi intra spesies (Herbert et al. 2003).

Kegunaan Barkode DNA


Database taksa sebagai referensi publik akan sangat bermanfaat untuk
mengidentifikasi berbagai species apabila identifikasi taksonomi tersebut akurat.
Dengan cara ini, Barkode DNA dapat sangat mendukung banyak domain ilmiah
(misalnya ekologi, biomedis, epidemiologi, evolusi biologi, biogeografi dan
konservasi biologi) dan dalam bio-industri. Efektivitas waktu dan biaya dari
barkode DNA memungkinkan identifikasi spesies secara otomatis, yang sangat
berguna dalam melakukan kegiatan sampling secara besar-besaran (misalnya
sampling yang dilakukan tim Craig Venter's Global Ocean, Rusch et al. 2007
dalam dalam Frezal dan Lebois 2008).
Dengan cara ini, barkode DNA juga dapat meningkatkan survei yang
bertujuan untuk mengetahui, mendeteksi dan mengidentifikasi spesies pathogen
yang belum diketahui dengan jelas, terutama dalam bidang medis, ekologis dan
agronomi. Selain itu, juga sangat penting untuk dapat mengenali, mendeteksi dan
melacak penyebaran organisme yang telah dipatenkan di bidang agro-bioteknologi,
baik untuk memeriksa keaslian sumber organisme atau untuk menjamin hak atas
kekayaan intelektual untuk sumberdaya hayati (Frezal dan Lebois 2008).
DNA barkode ini juga mempunyai potensi untuk dapat digunakan dalam
industri makanan, analisis diet, dan ilmu-ilmu forensik dalam mencegah
perdagangan ilegal dan perburuan spesies langka (misalnya di bidang perikanan,
kehutanan dan perdagangan daging hewan langka). Yang kedua, identifikasi
berbasis molekuler yang diperlukan ketika tidak ada kejelasan yang berarti untuk
mencocokkan spesimen dewasa dengan spesimen yang belum dewasa (misalnya,
larva ikan, amfibi, dan jamur pada tahap seksual. Kasus ketiga adalah ketika sifat-
sifat morfologis tidak jelas untuk membedakan spesies, misalnya spesies
ganggang merah (Saunders 2005), spesies jamur, dan spesimen nyamuk yang
dikumpulkan di lapangan, terutama bila ukuran hewan menghalangi identifikasi
29

secara visual (misalnya hewan yang tersembunyi (cryptic animals)) atau jika
spesies memiliki siklus hidup polimorfik dan atau menunjukkan plastisitas
fenotipik (misalnya Lamilaria), (Lane et al. 2007).

Resiko karena Pewarisan Mitokondria


Keragaman DNA mitokondria (mtDNA) sangat terkait pada struktur
genetik dari induk (tetua) betina, karena pewarisannya secara maternal.
Penggunaan lokus mitokondria dapat mengakibatkan perkiraan perbedaan
(divergensi) sampel yang terlalu tinggi dan membuat kesimpulan tentang status
spesies menjadi tidak jelas. Pewarisan mitokondria intra spesies juga dapat
dibingungkan oleh adanya infeksi simbion. Pertama, seleksi tidak langsung pada
DNA mitokondria timbul dari ketidakseimbangan hubungan dengan endosimbion,
baik mikroorganisme yang menguntungkan, simbion parasit, atau simbion yang
diwariskan secara maternal (Funk et al. 2000; Whitworth et al. 2007). Kedua,
hibridisasi antar spesies dan infeksi endosimbion dapat memicu transfer gen
mitokondria di luar kelompok individu evolusioner (Dasmahapatra dan Mallet,
2006). Terakhir, salah satu spesies hospes dapat membawa simbion-simbion yang
berbeda menuju variasi intra specifik (inter populasi) dalam perunutan mtDNA
(Frezal dan Lebois, 2008).

Laju Evolusi dalam COI


Laju evolusi genom (mitokondria atau nukleus) tidak sama untuk semua
spesies makhluk hidup. Terutama, moluska memiliki tingkat evolusi yang lebih
tinggi daripada metazoa bilateral lainnya (Strugnell dan Lindgren, 2007).
Sebaliknya, spons diploblast dan cnidaria memiliki tingkat evolusi 10-20 kali
lebih lambat dibandingkan dengan kawan bilateral mereka, yang mengakibatkan
kurangnya variasi runutan COI yang mencegah perbedaan di bawah tingkat famili
(Erpenbeck et al. 2006). Laju evolusi bahkan dapat berbeda pada tingkat ordo.
Dengan cara yang sama, tingkat variasi dalam runutan mitokondria dalam
kerajaan (kingdom) tumbuhan bukan termasuk spesies yang diidentifikasi
berdasarkan pada polimorfisme runutan COI (Kress et al. 2005).
30

Lebih umum, kurangnya kemampuan penyelesaian runutan COI


dilaporkan untuk beberapa taksa telah menghantar CBOL untuk menghadapi
transisi dari metode gen tunggal utama (yaitu BARCODE) ke sistem barcoding
multiregion, bila dibenarkan (yaitu dalam kasus di mana COI bukan spesies
spesifik, atau untuk taksa dengan laju evolusi mitokondria yang rendah) daerah
referensi takson-spesifik (yaitu nuclear plus / atau gen-gen organela), atau disebut
juga non-COI barcode (Bakker, Second International Conference Barcode of Life,
TAIPEI, September 2007 dalam Frezal dan Lebois 2008).
3 BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan, yaitu pada awal Bulan Mei
sampai dengan awal Bulan Oktober 2009. Sampel karang Goniopora spp. diambil
di perairan P. Pramuka bagian utara, P. Panggang bagian barat dan selatan
Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (Gambar 7) yang termasuk dalam zona
pemukiman, masing-masing pada tubir di kedalaman tiga sampai enam meter.
Dasar Pemilihan lokasi ini adalah di sekitar perairan tersebut sudah banyak
dilakukan kegiatan transplantasi karang dan juga ada perkebunan karang serta
masih banyak dijumpai karang masif genus Goniopora (Lampiran 8 dan 9).
Analisa karakteristik genetika karang dilakukan di Laboratorium Biologi
Molekuler, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB),
LPPM, Institut Pertanian Bogor (IPB). Sedangkan sampel karang hidup dipelihara
di Laboratorium Biologi Laut Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB.

Gambar 7 Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di perairan P. Pramuka


bagian utara dan P. Panggang bagian barat dan selatan.
32

3.2 Tahapan Penelitian


Tahapan penelitian yang dilakukan yaitu :
(a) Pengambilan sampel, (b) karakterisasi morfologi, (c) isolasi, purifikasi dan
elektroforesis DNA total, (d) amplifikasi COI dan ITS dengan PCR dan
elektroforesis hasil PCR, (e) perunutan DNA, (f) analisis data. Secara
ringkas alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

Pengambilan sampel karang Goniopora spp.


pada kedalaman 3 - 6 meter di perairan
P. Pramuka dan P. Panggang

Karakterisasi morfologi Goniopora spp.

Isolasi, purifikasi dan elektroforesis DNA total

Amplifikasi gen COI dan ITS dengan teknik PCR dan


elektroforesis hasil PCR

Perunutan DNA

Analisis Data:
karakterisasi penanda
genetik Goniopora spp.

Gambar 8 Diagram alur penelitian karakteristik penanda genetik mtDNA COI


dan daerah ITS rDNA karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia)
dalam upaya pengelolaan terumbu karang di perairan Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu
33

3.3 Alat dan Bahan Penelitian


a. Alat Penelitian
No Uraian Alat
A. Pengambilan Sampel
1. Pengambilan sampel karang untuk Gunting yang tajam dan bersih, pahat,
analisis morfologi dan DNA kantong plastik klip yang telah diberi yang
telah diberi kode tahan air, kontainer, kotak
styrofoam.
2. Penyimpanan sampel untuk Analisis morfologi
analisis morfologi dan DNA Botol sampel berisi larutan air laut
mengandung formalin 10%, akuades, etanol
70%.
Analisis DNA
Kontainer berisi air laut, Termos berisi N2
cair ( -20 oC ) atau botol sampel berisi
larutan alkohol absolute : gliserol (4:1)
3. Analisa morfologi Scalpel steril, penggaris, jangka sorong,
kamera digital, kaca pembesar

B. Isolasi, Purifikasi dan Amplikasi DNA


1. Isolasi dan Purifikasi DNA Ependorf 1.5 ml, mortar, rak ependorf,
sentrifuse, vortex, pipetor berbagai ukuran
volume, tip pipet, waterbath, rak ependorf,
spektrofotometer
2. Amplifikasi DNA Mesin Thermal Cycler, microtube 0.2 ml,
rak ependorf, pipetor berbagai ukuran
volume, tip pipet, sentrifuse.

C. Elektroforesis dan Perunutan DNA


1. Elektroforesis Mesin elektroforesis horizontal, sisir dan
cetakan agarosa, gelas ukur, timbangan
analitis, hot plate, strirer, UV
transluminator, pipetor, tip pipet
2. Perunutan DNA Kolom GFX, mesin perunutan DNA

b. Bahan Penelitian
No Bahan Uraian
1. Analisa morfologi Bayclin (bahan pemutih), akuades steril,
etanol 70%
A. Isolasi dan Purifikasi DNA
1. Digestion Buffer CTAB (hexadesiltrimetil ammonium
bromida) 2%, NaCl 1.4 M, EDTA 20 mM,
100mM Tris-HCl pH 8,0, 2-mercaptoetanol
0,2%, proteinase K, RNAse A
2. Fenol Disimpan pada suhu 4 oC dalam botol gelap
3. Kloroform : Isoamil alcohol Disimpan pada suhu kamar dalam botol
(CIAA 24:1) gelap
4. Etanol absolute atau isopropanol Disimpan pada -20 oC
5. Alkohol 70% Disimpan pada -20 oC
34

6. TE buffer 1 mM EDTA ph 8, 10 mM Tris HCl pH 8


7. Akuabides steril Disimpan pada suhu ruang
B. Amplifikasi DNA dengan PCR
1. PCR kit Disimpan pada -20 oC
2. Primer Disimpan pada -20 oC
3. ddH2O steril atau free nuclease Disimpan pada suhu ruang
water
C. Pembuatan Gel Agarosa dan Buffer
1. 1x TAE bufer Tris base, asam asetat glasial,
0.5M EDTA pH 8
2. Etidium bromide (EtBr) 10 mg EtBr dilarutkan dalam volume 10 ml
3. Agarosa Disimpan pada suhu kamar
4. Loading dye Disimpan pada -20 oC
5. DNA ladder Disimpan pada -20 oC
6. Akuades steril Disimpan pada suhu ruang
D. Perunutan DNA
1. Kit Purifikasi Disimpan pada -20 oC
2. Kit perunutan DNA Disimpan pada -20 oC

3.4. Pelaksanaan Penelitian


a) Pengambilan Sampel
Spesimen Goniopora spp. dikumpulkan dari berbagai habitat di perairan P.
Pramuka dan P. Panggang di daerah Kepulauan Seribu. Masing-masing pada
kedalaman 3 - 6 meter. Dari setiap koloni diambil sampel berukuran ± 10 cm
secara acak. Sampel yang akan digunakan untuk analisa morfologi disimpan
dalam air laut mengandung formalin 4% yang kemudian dalam waktu 24 jam
dibilas dengan akuades steril dan dipindahkan ke dalam larutan alkohol 70%.
Sementara sampel yang akan digunakan untuk analisis DNA berupa karang hidup
yang disimpan kontainer bertutup berisi air laut, dan untuk jaringan polip karang
disimpan dalam kontainer berisi etanol absolute atau di dalam termos berisi
Nitrogen cair.

b) Karakterisasi Morfologi
Karakter morfologi yang akan diamati adalah jumlah tentakel pada setiap
polip karang (24 buah) saat karang masih hidup, bentuk dan kerangka kapur,
diameter koralit (coralite) dan calyx (calice), bentuk koralit, paliform lobe,
columella dan dinding koralit, serta jumlah septa tiap koralit. Metode pengamatan
yang dilakukan mengacu pada Klemm et al. (1995), Veron (2000) dan Kleemann
(2002).
35

Gambar 9 Ilustrasi karakteristik morfologik yang diamati pada karang Goniopora.

c) Isolasi DNA Total, Purifikasi dan Elektroforesis DNA Total

Isolasi dan Purifikasi DNA Total


Isolasi DNA Total dilakukan menggunakan modifikasi metode Duryadi
(1993). Sampel polip karang segar dicacah dan dihaluskan dalam mortar sambil
ditetesi larutan CTAB sebanyak 600 μl sedikit demi sedikit. Setelah itu
dimasukkan ke dalam ependorf 1.5 ml, sambil dikocok sebentar. Kemudian
dinkubasi selama 3 jam dengan suhu 65 ºC. Tambahkan proteinase-K sebanyak
2 μl, dan diinkubasi selama semalaman dengan suhu 55 ºC. ditambah larutan fenol
sebanyak 400 μl dan dikocok manual selama 40 menit, disentrifugasi selama 3
menit dengan kecepatan 13 000 rpm, sedangkan supernatannya dipindahkan ke
ependorf lain, lalu fenolnya dibuang. Kemudian ditambah larutan CIAA sebanyak
600 μl (minimum 500 μl), dikocok lagi secara manual selama 20 menit hingga
berbusa dan terlihat bening, kemudian disentrifugasi selama 3 menit dengan
kecepatan 13 000 rpm, supernatannya dipindahkan ke ependorf lain. Selanjutnya
36

ditambah etanol absolut sebanyak 1000 μl, dikocok lagi secara manual selama 10
menit. Kemuidan dimasukkan ke dalam freezer ± 15 menit, lalu disentrifugasi
selama 2 menit dengan kecepatan 13 000 rpm. Etanolnya dibuang (usahakan agar
endapan DNA yang terbentuk tidak terbuang), kemudian ditambahkan etanol 70%
sebanyak 600 μl. Dikocok lagi secara manual hingga terbentuk endapan selama 5
menit, kemudian disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 13 000 rpm.
Etanol tersebut dibuang sampai menyisakan endapannya saja, lalu dikering-
udarakan dan divakum selama ± 10 menit. Kemudian dimasukkan TE+RNAase
50 μl dan diinkubasi ± 10 menit dengan suhu 37 ºC. Selanjutnya disentrifugasi
selama beberapa detik dengan kecepatan 6 500 rpm, dan dimasukkan ke dalam
freezer dengan suhu -20 ºC.

Elektroforesis Gel
Gel elektroforesis merupakan metode analisis kualitatif untuk
memisahkan dan menganalisis DNA. Untuk membuat satu agar penuh, campurkan
TBE 1 x sebanyak 50 l dicampur dengan 0.6 g bubuk agarosa (1.2% gel agarosa)
dan dipanaskan hingga mendidih. Agarosa merupakan polisakarida yang berasal
dari rumput laut dan akan membentuk gel padat jika diarutkan dengan pemanasan
pada konsentrasi antara 0.5 dan 2% (w/v). Agarosa ini kemudian akan membentuk
pori yang besarnya sesuai dengan konsentrasi agarosa. Molekul DNA yang lebih
kecil akan bergerak lebih cepat di dalam gel agarosa sebaliknya molekul yang
lebih besar akan bergerak lebih lambat. TBE digunakan karena larutan ini
memungkinkan DNA bergerak dengan perlahan di dalam gel. Larutan ini akan
mengoptimalisasi pH dan mengkonsentrasikan ion di dalam gel sekaligus
merendam gel sehingga arus listrik dapat mengalir dalam gel. TBE mengandung
Tris yang merupakan senyawa kimia yang membantu mempertahankan
konsistensi pH dalam larutan. Selain itu juga mengandung asam borat yang
berfungsi untuk menyediakan konsentrasi ion yang tepat untuk buffer dan EDTA
yang berfungsi mengkelat kation divalen Magnesium (Saunders dan Parkes 1999).
Kemudian larutan didinginkan lalu ditambah dengan 2.5 l EtBr
(Ethidium bromide) merupakan pewarna yang digunakan untuk alat identifikasi
dan mengukur semi-kualitatif fragmen DNA yang terseparasi dalam gel. EtBr
37

yang mengandung zat fluorosence akan terikat diantara dua untai ganda DNA
sehingga pita DNA dalam gel agarosa akan berpendar jika diihat menggunakan
UV transluminator (Saunders dan Parkes 1999). Larutan gel ini kemudian dituang
kedalam cetakan gel yang telah diatur posisinya dalam keadaan sejajar (datar) dan
telah dipasangi sisir. Cetakan harus benar-benar datar agar proses migrasi DNA
dapat berjalan baik dan hasil migrasi tidak dipengaruhi oleh kemiringan gel akibat
cetakan yang tidak datar. Gel kemudian didiamkan selama 30 menit hingga
mengeras dan dimasukkan ke dalam bak gel lalu dituang dengan TBE buffer
sampai gel terendam. TBE ini berfungsi sebagai konduktor listrik. Sampel DNA
kemudian diambil 5 l dan dicampur dengan loading dye 0.5 l diatas plastik
bersih sampai merata lalu dipipet kembali dan dimasukkan ke dalam sumuran
(well). Loading dye berfungsi sebagai pemberat untuk meningkatkan densitas
DNA sehingga DNA akan tenggelam dalam sumuran sehingga tidak melayang
dalam larutan TBE. Selain itu, loading dye juga digunakan sebagai penanda visual
untuk mengetahui seberapa jauh pergerakan DNA di dalam gel.
Proses migrasi DNA dengan menggunakan piranti Submarine
Electrophoresis (Hoefer, USA) yang dihubungkan dengan elektroda pada voltase
85 V, 45 Amp selama 30 menit. Pada saat proses migrasi, akan terjadi aliran
listrik. DNA yag bermuatan negatif akan bergerak menuju elektroda positif.
Kecepatan pergerakan DNA dalam gel akan sangat bergantung pada ukuran dan
bentuk DNA, konsentrasi gel dan voltase yang digunakan. Setelah proses migrasi
DNA selesai, power supply dimatikan dan gel diambil kemudian diamati di bawah
UV- transluminator lalu difoto.

d) Amplifikasi COI dan ITS dengan PCR dan Elektroforesis Hasil PCR
Dalam penelitian ini, amplifikasi DNA dengan PCR menggunakan primer
CO1 yang didisain menggunakan soft ware Primer 3 version 0.4.0
(http://frodo.wi.mit.edu/primer3/) berdasarkan modifikasi runutan gen COX1
Porites porites, (kode akses NC_008166) dan gen COX1 Goniopora sp. ZHF-
2009 isolate Wa3 cytochrome oxidase subunit 1 (COX1) (kode akses FJ423995)
yang sudah di-alignment dengan program MEGA versi 4.0 (Tamura et al. 2007).
Amplifikasi primer gen mitokondrial sitokrom c oksidase sub unit 1 (COI) adalah:
38

GJWCO1 F 5’-CTC GGC ACA GCC TTC AGT ATG TTA-3’ (24 bp) dan
GJWCO1 R 5’-AAT ATA AAC TTC AGG ATG CCC AAA-3’ (24 bp)
sedangkan primer gen daerah nuclear intra transcribed spacer ribosomal (ITS)
adalah primer yang dikembangkan oleh Forsman et al. (2009) dengan atau tanpa
modifikasi yaitu : ITSZF 5'-TAA AAG TCG TAA CAA GGT TTC CGT A-3' (25
bp), dan ITSZR 5'-CCT CCG CTT ATT GAT ATG CTT AAA T-3' (25 bp).
Proses amplifikasi COI dan daerah ITS menggunakan mesin GeneAmpR
PCR system 2004 (Perkin Elmer). Strategi dan komposisi larutan menggunakan
modifikasi metode Duryadi (1993). Kondisi PCR yang digunakan untuk
amplifikasi COI adalah : tahap predenaturasi pada suhu 94 ºC selama 5 menit,
dilanjutkan dengan siklus utama yaitu tahap denaturasi pada suhu 94 ºC selama 45
detik, tahap penempelan (annealing) pada suhu 48 ºC selama 1 menit, tahap
polimerasi (extension) pada suhu 72 ºC selama 1 menit, yang diulang sebanyak
35 siklus, dan diakhiri dengan tahap polimerasi (post extension) pada suhu 72 ºC
selama 5 menit dan tahap perpanjangan (elongation) pada suhu 20 ºC. Sedangkan
proses amplifikasi ITS adalah sama dengan amplifikasi COI hanya berbeda pada
tahap penempelan (annealing) yaitu pada suhu 48 ºC selama 1 menit.

e) Perunutan Fragmen CO1 dan ITS


Perunutan (sequencing) DNA hasil PCR dilakukan di PT. CHAROEN
POKPHAN INDONESIA. Dengan menggunakan Mesin ABI Prism 3100-Avant
Genetic Analyzer (Applied Biosystems, USA), yang menggunakan metode Dye-
dideoxy-terminator menggunakan BigDye Terminator Cycle Sequencing Kit v.3.1
(Applied Biosystems, USA).

f) Analisis Data
Sisi homolog dari runutan basa nukleotida gen COI dan ITS kemudian
disejajarkan (multiple alignment) dan dibandingkan dengan runutan-runutan COI
dan ITS dari GenBank kemudian dianalisis menggunakan program MEGA versi
4.0 (Tamura et al. 2007) dengan metode bootstrapped neighbor joining dengan
1000 kali pengulangan.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Morfologi


Pada penelitian ini digunakan lima sampel koloni karang yang diambil dari
tiga lokasi berbeda di sekitar perairan Kepulauan Seribu yaitu di P. Pramuka
sebelah Utara, P. Panggang sebelah Barat, dan P. Panggang sebelah Selatan,
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1 Lokasi pengambilan sampel koloni karang Goniopora spp.


Koordinat
Kode Zona dan Ciri Sampel Koloni
Lokasi Lintang Bujur
Sampel Kedalaman Karang Hidup
Koloni berwarna
P. Pramuka S 05o 44' E 106o 36' putih kecoklatan,
PrXP Tubir 3m
Utara 19.5" 55.6" polip tidak sama
panjang
Koloni berwarna
P. Panggang S 05o 44' E 106o 35'
PaBP Tubir 3m putih kecoklatan,
Barat 39.2" 09.8"
polip panjang
Koloni berwarna
P.Panggang S 05o 44' E 106o 35'
PaBC Tubir 3m coklat tua, polip
Barat 39.2" 09.8"
panjang
Koloni berwarna
P. Panggang S 05o 44' E 106o 35'
PaBH Tubir 3m hijau, polip sama
Barat 39.2" 09.8"
panjang dan padat
P. Panggang S 05o 49' E 106o 35' Koloni berwarna
PaSH Tubir 3m
Selatan 47" 20.3" hijau, polip panjang

Warna koloni dan bentuk polip pada karang Goniopora tidak dapat
dijadikan dasar dalam penentuan spesies Goniopora jika tanpa dilakukan
pengamatan terhadap karakteristik morfologi kerangka kapurnya.
Hasil pengamatan terhadap karakteristik morfologi kerangka kapur karang
Goniopora setelah karang mati, dikeringkan dan diputihkan (bleaching) terdapat
pada Tabel 2 dan Lampiran 1 adalah sebagai berikut :
40

Tabel 2 Hasil pengamatan karakteristik morfologi karang Goniopora spp.

Kode
Karakteristik Morfologik Spesies
Sampel
koloni masif, calice mempunyai columellae yang kecil,
septa terbentuk seragam antara koralit, septa primer tidak
PrXP dapat dibedakan, septa panjang, teratur, dalam dan curam, G. norfolkensis
bentuk koralit seperti dikeruk, lobus paliform absen. Rata-
rata diameter koralit berukuran 4.19 mm.
koloni berbentuk kolom yang pendek dan tebal, koralit
PaBP seragam, dengan gambaran melingkar dengan diameter G. palmensis
rata-rata berukuran 3.5 mm
koloni masif dan setengah bola, calice memiliki dinding
yang tinggi dan memiliki penampilan tidak teratur,
PaBC G. stokesi
dinding koralit tidak rata, columellae lebar dan tidak
teratur. Rata-rata diameter koralit berukuran 3.42 mm
koloni masif dan irregular, perkembangan septa seragam
antara koralit, septa utama khas dan tidak membentuk
G. tenuidens
PaBH delta. koralit melingkar dengan dinding tebal dan
mempunyai 6 lobus paliform yang menonjol. Rata-rata
diameter koralit berukuran 3.62 mm
koloni berbentuk kolom pendek dengan collumella yang
besar, koralit dekat bagian atas kolom mempunyai septa
yang bagus dan tidak teratur dan columellae yang
PaSH G. columna
menyatu. Pada bagian sisi kolom mempunyai columellae
yang kompak dan luas serta septa yang pendek. Rata-rata
diameter koralit berukuran 3.51 mm

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap bentuk koloni dan kerangka kapur,


diameter koralit dan kaliks (calice), bentuk koralit, lobus paliform, columellae
dan dinding koralit, serta jumlah septa tiap koralit, dapat diketahui bahwa kelima
spesimen karang tersebut adalah spesies yang berbeda-beda, yaitu G. norfolkensis,
G. palmensis, G. stokesi, G. tenuidens dan G. columna.

4.2 Isolasi DNA Total


Dari kelima sampel karang Goniopora spp. yang masih hidup, diambil
jaringan polipnya untuk di lakukan isolasi DNA total. Untuk isolasi DNA dapat
digunakan jaringan yang telah diawetkan menggunakan alkohol absolut, tetapi
yang terbaik adalah dengan menggunakan jaringan yang masih segar atau yang
sudah dibekukan pada suhu -20 ºC tanpa ditambahkan bahan pengawet lainnya.
Hasil purifikasi DNA total setelah dimigrasikan pada gel agarose 1.2% dan dilihat
dengan UV iluminator seperti yang terlihat pada Gambar 10. DNA total tersebut
selanjutnya digunakan sebagai cetakan DNA (DNA template) untuk amplifikasi
41

gen COI dan daerah ITS ribosomal dengan menggunakan teknik Polymerase
Chain Reaction (PCR).

(a) (b) (c) (d) (e)


Gambar 10 Hasil purifikasi DNA total pada : (a) G. stokesi, (b) G. palmensis
(c) G. columna, (d) G. norfolkensis (e) G.tenuidens setelah
dimigrasikan dalam gel agarose 1.2% pada tegangan 85 volt selama
30 menit.

4.3 Keragaman Genetik Karang Goniopora spp Berdasarkan Gen


Sitokrom Oksidase Sub Unit I (COI)

4.3.1 Amplifikasi Gen Sitokrome Oksidase I (COI)


Amplifikasi gen COI pada masing-masing sampel karang Goniopora
dilakukan dengan menggunakan pasangan primer GJWCOIF dan GJWCOIR.
Urutan dari primer forward GJWCOIF adalah: 5’-ctcggtacagccttcagtatgtta-3’
sedangkan primer reverse GJWCOIR adalah: 5’-aatataaacttcaggatgcccaaa-3’.
Posisi penempelan primer yang mengamplifikasi fragmen gen COI parsial (652
bp) berdasarkan runutan gen COI utuh Porites porites sepanjang 2544 bp (kode
akses GenBank NC_008166 (Forsman et al. 2009) yang digunakan sebagai
pembanding. Produk PCR hasil amplifikasi pasangan primer GJWCOIF
menempel pada posisi ke-94 sampai dengan 117 (13529 – 13552) sedangkan
primer GJWCOIR menempel pada posisi ke-721 sampai dengan 744 (14156 –
14179) (Lampiran 2). Skema posisi penempelan primer GJWCOIF dan
GJWCOIR disajikan pada Gambar 11.
42

COI GenBank = 2544 bp

93 bp Teramplifikasi 652 bp 745 bp


GJWCOIF GJWCOIR

Hasil penjajaran berganda : 612 nt

Gambar 11 Skema letak penempelan primer GJWCOIF dan GJWCOIR untuk


mengamplifikasi gen COI parsial pada karang Goniopora spp.

Runutan DNA gen COI diperoleh dari hasil amplifikasi dengan primer
GJWCOIF dan GJWCOIR, gen COI parsial teramplifikasi sepanjang 652 bp dan
setelah dilakukan penjajaran berganda (multiple alignment) dengan kelima gen
COI parsial Goniopora spp lainnya menjadi 612 nukleotida (Lampiran 3). Hasil
amplifikasi gen COI tersebut terdapat pada Gambar 12 di bawah ini :

Keterangan: M = Penanda (DNA Marker), 1= G. stokesi; 2 = G. palmensis;


3 = G.norfolkensis; 4 = G. columna; 5 = G. Tenuidens
Gambar 12 Hasil amplifikasi daerah COI dengan menggunakan pasangan primer
GJWCOIF dan GJWCOIR setelah dimigrasikan dalam gel agarose
1.2% pada tegangan 85 volt selama 45 menit.
4.3.2 Perunutan Gen COI Parsial dan Keragaman Runutan Nukleotida
Setelah dilakukan perunutan (sequencing) pada produk PCR dari arah
primer forward dan primer reverse didapatkan hasil runutan (sequence) sepanjang
43

652 bp dan setelah dilakukan penjajaran berganda (multiple alignment) dengan


kelima gen COI parsial Goniopora spp lainnya menjadi 612 nukleotida. Namun
setelah disejajarkan dengan runutan gen COI spesies Goniopora isolat dari
GenBank lainnya yaitu COI Goniopora sp. ZHF-2009 isolat Wa3 (COX1) (kode
akses : FJ423995) dan isolat Porites lainnya (P. asteroides, P. compressa, P.
duerdeni, dan P. cylindrical dengan kode akses berturut-turut : FJ423961,
FJ423970, FJ423976 dan FJ423996; Forsman, 2009) sebagai out group
menunjukkan situs yang beragam. Perbedaan susunan nukleotida yang terdapat
pada kelima sampel karang Goniopora spp dapat dilihat pada Tabel 3 sedangkan
antara Goniopora spp dengan out-group-nya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3 Perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen COI parsial pada
Goniopora spp. hasil dari penelitian ini
G. stokesi G. palmensis G. columna G. norfolkensis G. tenuidens
G. stokesi -
G. palmensis 11 -
G. columna 21 29 -
G. norfolkensis 25 32 13 -
G. tenuidens 20 27 8 5 -

Tabel 3 menunjukkan perbedaan jumlah basa nukleotida di antara kelima


spesies karang Goniopora, yaitu berkisar antara 5 sampai dengan 32 basa
nukleotida (nt). Makin besar angkanya berarti semakin berbeda susunan
nukleotida, sebaliknya, jika semakin kecil, berarti semakin mirip susunan
nukleotidanya. Antara G tenuidens. dan G. norfolkensis hanya berbeda 5 nt (0.8%),
sedangkan antara G. norfolkensis dan G. palmensis berbeda 32 nt (5.2%) dari 612
bp yang disejajarkan.

Tabel 4 Matriks perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen COI parsial
karang Goniopora spp dengan Porites spp sebagai out-group
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Goniopora stok esi -
2 Goniopora palmensis 11 -
3 Goniopora columna 19 27 -
4 Goniopora norfolk ensis 23 30 13 -
5 Goniopora tenuidens 18 25 8 5 -
6 Goniopora sp. ZHF-2009 isolate Wa3 21 28 11 4 3 -
7 P. astreoides isolate aBR6 40 47 30 21 22 19 -
8 P. compressa 39 46 29 20 21 18 3 -
9 P. duerdeni isolate HM28 39 46 29 20 21 18 3 2 -
10 P. cylindrica isolate Wa4 38 45 28 19 20 17 2 1 1 -
44

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada kelompok karang


Goniopora spp mempunyai cukup banyak perbedaan susunan dan jumlah basa
nukleotida-nya dengan kelompok karang Porites spp (15-46 nt). Sedangkan antara
spesies dalam kelompok karang Goniopora terdapat perbedaan jumlah nukleotida
sebanyak 3-30 nt. Tetapi antara spesies dalam kelompok karang Porites sangat
sedikit perbedaan jumlah nukleotida-nya, yaitu dari 600 bp yang disejajarkan,
hanya ada 1-3 nt (0.1 – 0.5%) saja yang berbeda.

4.3.3 Jarak Genetik Goniopora spp. dengan Porites spp. sebagai Out-group
Jarak genetik digunakan untuk melihat kedekatan hubungan genetik antar
spesies pada karang Goniopora spp dan antar genus lainnya, dalam hal ini adalah
Porites spp. dengan menggunakan gen CO1 yang terdapat dalam GenBank.
Melalui penggunaan analisis perhitungan pairwise distance dapat ditunjukkan
pada Tabel 5 berikut ini :

Tabel 5 Matriks jarak genetik berdasarkan metoda pairwise distance gen COI parsial
pada karang Goniopora spp. dan Porites spp. sebagai out-group
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Goniopora stokesi -
2 Goniopora palmensis 0.019 -
3 Goniopora columna 0.033 0.046 -
4 Goniopora norfolkensis 0.039 0.051 0.022 -
5 Goniopora tenuidens 0.031 0.043 0.014 0.009 -
6 Goniopora sp. ZHF-2009 isolate Wa3 0.036 0.048 0.019 0.007 0.005 -
7 P. astreoides isolate aBR6 0.068 0.080 0.051 0.036 0.038 0.033 -
8 P. compressa 0.067 0.079 0.050 0.034 0.036 0.031 0.005 -
9 P. duerdeni isolate HM28 0.067 0.079 0.050 0.034 0.036 0.031 0.005 0.003 -
10 P. cylindrica isolate Wa4 0.065 0.077 0.048 0.033 0.034 0.029 0.003 0.002 0.002 -

Hasil perhitungan berdasarkan daerah COI parsial menunjukkan nilai


jarak genetik berkisar antara 0.002 sampai dengan 0.080. Dari Tabel 5
ditunjukkan bahwa semakin dekat jarak genetik suatu spesies dengan spesies
lainnya berarti semakin dekat kesamaan gen COI-nya. Sebagai contoh antara gen
COI P. cylindrica isolat Wa4 mempunyai jarak genetik 0.002 (0.2%) terhadap P.
duerdeni isolat HM28 dan sebaliknya, gen COI P. asteroides isolat aBR6
mempunyai jarak genetik 0.080 (8%) terhadap gen COI G. palmensis.
Dendrogram inter spesies Goniopora spp. dapat dilihat pada Gambar 13
dan antara genus Goniopora dan Porites. dapat dilihat pada Gambar 14 .
45

Goniopora palmensis
Goniopora stokesi
Goniopora columna
Goniopora tenuidens
Goniopora norfolkensis

Gambar 13 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000


kali ulangan dari nukleotida daerah COI parsial pada kelima sampel
karang Goniopora spp.
Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat bahwa pada kelompok karang
Goniopora terjadi keragaman gen COI yang membentuk dua klaster utama, antara
klaster G. stokesi dan G. palmensis, dengan klaster G. columna, G. tenuidens dan
G. norfolkensis. Sedangkan dendrogram gen COI pada kelompok karang
Goniopora spp dan Porites spp sebagai out-group-nya dapat dilihat pada Gambar
14 sebagai berikut:

Goniopora palmensis
Goniopora stokesi
Goniopora columna
Goniopora tenuidens
Goniopora norfolkensis
Goniopora sp. ZHF-2009 isolate Wa3
P. astreoides isolate aBR6
P. duerdeni isolate HM28
P. cylindrica isolate Wa4
P. compressa

Gambar 14 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000


kali ulangan dari nukleotida daerah COI parsial karang Goniopora
spp. dengan Porites spp. sebagai out-group.
46

Berdasarkan Gambar 14 terlihat bahwa klaster karang Goniopora spp


berbeda dengan klaster Porites spp. Artinya bahwa ada perbedaan gen COI antara
kedua klaster tersebut, dengan demikian gen COI dapat dipakai sebagai penanda
genetik untuk membedakan kelompok antar genus. Meskipun demikian, pada
klaster Porites spp terlihat bahwa tidak ada atau sedikit sekali perbedaan gen COI
antar spesies Porites, sebagai penanda genetik, gen COI tidak mampu
membedakan antara spesies P. asteroides (isolat aBR6), P. duerdeni (isolat
HM28), P. compressa dan P. cylindrica (isolat Wa4) sehingga gen COI
nampaknya belum dapat dipakai sebagai penanda genetik pada tingkat spesies.

4.4 Keragaman Genetik Karang Goniopora spp Berdasarkan Gen Daerah


Intra Transcribed Spacer (ITS)

4.4.1 Amplifikasi Daerah ITS


Amplifikasi daerah ITS parsial pada DNA karang Goniopora spp
menggunakan primer ITSZF dan ITSZR berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Forsman et al. (2009). Posisi penempelan primer yang mengamplifikasi
fragmen gen ITS parsial (706 bp) berdasarkan runutan daerah sub unit gen 18S
rRNA runutan parsial, ITS 1, 5.8S rRNA, dan ITS 2, merupakan runutan lengkap,
dan 28S rRNA runutan parsial berdasarkan runutan nukleotida Goniopora
columna (isolat KENGonc dengan kode akses GenBank: AB441414) sepanjang
1020 bp yang digunakan sebagai pembanding. Produk PCR hasil amplifikasi
pasangan primer ITSZF menempel pada posisi ke-106 sampai dengan 130 (yaitu
di daerah 18S RNA) sedangkan primer ITSZR menempel pada posisi ke-787
sampai dengan 811 (daerah 28 S RNA) (Lampiran 3). Skema posisi penempelan
primer ITSZF dan ITSZR disajikan pada Gambar 15.
47

Gambar 15 Skema letak penempelan primer ITSZF dan ITSZR untuk


mengamplifikasi gen ITS ribosomal pada karang Goniopora spp.

Hasil amplifikasi daerah ITS ribosomal setelah dimigrasikan dalam gel


agarose 1.2% dapat dilihat pada Gambar 16.

Keterangan: M = Penanda (DNA Marker), 1= G. stokesi; 2 = G. palmensis;


3 = G.norfolkensis; 4 = G. columna; 5 = G. Tenuidens
Gambar 16 Hasil amplifikasi daerah ITS ribosomal dengan menggunakan
pasangan primer ITSZF dan ITSZR setelah dimigrasikan dalam gel
agarose 1.2% pada tegangan 85 volt selama 45 menit.
48

4.4.2 Perunutan Gen Daerah ITS dan Keragaman Runutan Nukleotida


Runutan DNA gen daerah ITS ribosomal dengan primer ITSZF dan
ITSZR diperoleh hasil amplifikasi sepanjang 706 bp, dan setelah dilakukan
penjajaran berganda (multiple alignment) dengan kelima gen ITS parsial
Goniopora spp lainnya menjadi 719 nukleotida. Perbedaan susunan nukleotida
yang terdapat pada kelima sampel karang Goniopora spp dapat dilihat pada Tabel
6 berikut ini.

Tabel 6 Perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen ITS pada
Goniopora spp. hasil dari penelitian ini
G. norfolkensis G. stokesi G. palmensis G. columna G. tenuidens
G. norfolkensis -
G. stokesi 158 -
G. palmensis 178 81 -
G. columna 151 35 88 -
G. tenuidens 160 84 129 87 -
Tabel 6 menunjukkan perbedaan jumlah basa nukleotida di antara kelima
spesies karang Goniopora, yaitu G. stokesi berkisar antara 35 sampai dengan 178
basa nukleotida (nt). Makin besar angkanya berarti semakin berbeda susunan
nukleotida, sebaliknya, jika semakin kecil, berarti semakin mirip susunan
nukleotidanya. Antara G. columna dan G. stokesi berbeda 35 nt (4.8%),
sedangkan antara G. palmensis dan G. norfolkensis berbeda 178 nt (24.7%) dari
719 bp yang disejajarkan. Hal menunjukkan adanya perbedaan jumlah dan
susunan basa nukleotida yang cukup banyak pada gen ITS ribosomal inter spesies
Goniopora.
Runutan DNA gen daerah ITS ribosomal Goniopora spp. setelah
disejajarkan dengan runutan gen ITS spesies Goniopora isolat dari GenBank yaitu
Goniopora sp. ZHF-2009 isolat Wa3 (kode akses : FJ416593) dan isolat Porites
lainnya (P. asteroides, P. compressa, P. duerdeni, dan P. cylindrical dengan kode
akses berturut-turut : AY458035-AY458036, FJ426557, FJ416572 dan FJ416594;
Forsman, 2009) sebagai out group menunjukkan situs yang beragam. Perbedaan
susunan nukleotida yang terdapat pada kelima sampel karang Goniopora spp dan
dengan out-group-nya dapat dilihat pada Tabel 7.
49

Tabel 7 Matriks perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen ITS karang
Goniopora spp dengan Porites spp. sebagai out-group
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 Goniopora stokesi -
2 Goniopora palmensis 87 -
3 Goniopora columna 16 88 -
4 Goniopora norfolkensis 103 142 103 -
5 Goniopora tenuidens 51 110 55 105 -
6 Goniopora sp. ZHF-2009 isolate_Wa3 33 100 35 102 64 -
7 P. astreoides isolate aBR6-1 188 210 194 211 197 185 -
8 P. astreoides isolate aBR6-2 186 208 192 209 195 183 3 -
9 P. compressa 172 195 178 201 182 170 54 53 -
10 P. duerdeni isolate_HM28 172 196 177 202 181 170 51 50 10 -
11 P. cylindrica isolate Wa4 172 196 177 202 181 170 52 51 11 3 -

Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa antara genus Goniopora dengan


genus Porites mempunyai cukup banyak perbedaan susunan dan jumlah basa
nukleotida, yaitu antara 170-211 nukleotida (nt) (26.3-32.7%). Sedangkan inter
spesies dalam kelompok karang Goniopora spp. terdapat perbedaan jumlah
nukleotida sebanyak 33-142 nt (5.1-22%), tetapi inter spesies dalam kelompok
karang Porites spp. hanya berbeda sebanyak 3-52 (0.4 – 8%) saja.

4.4.3 Jarak Genetik Goniopora spp dengan Porites spp sebagai Out-group
Jarak genetik digunakan untuk melihat kedekatan hubungan genetik antar
spesies pada karang Goniopora spp. dan antar genus lainnya, dalam hal ini adalah
Porites spp. dengan menggunakan gen ITS yang terdapat dalam GenBank.
Melalui penggunaan analisis perhitungan pairwise distance dapat ditunjukkan
dalam matriks pada Tabel 8 berikut ini :

Tabel 8 Matriks jarak genetik berdasarkan metoda pairwise distance gen ITS
pada karang Goniopora spp. dengan Porites spp. sebagai out-group
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 Goniopora stokesi -
2 Goniopora palmensis 0.169 -
3 Goniopora columna 0.031 0.171 -
4 Goniopora norfolkensis 0.200 0.276 0.200 -
5 Goniopora tenuidens 0.099 0.214 0.107 0.204 -
6 Goniopora sp. ZHF-2009 isolate Wa3 0.064 0.195 0.068 0.198 0.125 -
7 P. astreoides isolate_aBR6-1 0.366 0.409 0.377 0.411 0.383 0.360 -
8 P. astreoides isolate aBR6-2 0.362 0.405 0.374 0.407 0.379 0.356 0.006 -
9 P. compressa 0.335 0.379 0.346 0.391 0.354 0.331 0.105 0.103 -
10 P. duerdeni isolate HM28 0.335 0.381 0.344 0.393 0.352 0.331 0.099 0.097 0.019 -
11 P. cylindrica isolate Wa4 0.335 0.381 0.344 0.393 0.352 0.331 0.101 0.099 0.021 0.006 -
50

Hasil perhitungan berdasarkan daerah ITS ribosomal parsial menunjukkan


nilai jarak genetik berkisar antara 0.006 sampai dengan 0.411. Pada Tabel 8
ditunjukkan bahwa semakin dekat jarak genetik suatu spesies dengan spesies
lainnya berarti semakin dekat kesamaan gen daerah ITS-nya. Sebagai contoh
antara gen ITS P. cylindrica isolat Wa4 mempunyai jarak genetik 0.006 (0.6%)
terhadap P. duerdeni isolat HM28 dan sebaliknya, sedangkan gen ITS P.
asteroides isolat aBR6-1 mempunyai jarak genetik 0.411 (41.1%) terhadap gen
ITS G. norfolkensis. Dendrogram gen ITS ribosomal inter spesies Goniopora
spp. dapat dilihat pada Gambar 17 dan antara genus Goniopora dan Porites
sebagai out-group dapat dilihat pada Gambar 18 .

Goniopora stokesi
Goniopora columna
Goniopora palmensis
Goniopora tenuidens
Goniopora norfolkensis

Gambar 17 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000


kali ulangan dari nukleotida daerah ITS ribosomal parsial pada
kelima sampel karang Goniopora spp.

Berdasarkan Gambar 17 dapat dilihat bahwa dalam kelompok karang


Goniopora terjadi perbedaan gen daerah ITS yang membentuk empat kelompok,
antara kelompok G. stokesi dan G. columna, kelompok G. palmensis, kelompok G.
tenuidens dan kelompok G. norfolkensis. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan
genetik yang cukup jauh pada masing-masing spesies dalam kelompok (genus)
Goniopora menggunakan gen penyandi daerah ITS ribosomal. Sedangkan
dendrogram gen daerah ITS ribosomal pada kelompok karang Goniopora spp dan
Porites spp sebagai out-group-nya dapat dilihat pada Gambar 18.
Berdasarkan Gambar 18 terlihat bahwa kelompok karang Goniopora spp.
berbeda dengan kelompok Porites spp. Artinya bahwa ada perbedaan gen daerah
ITS ribosomal antara kedua kelompok tersebut, dengan demikian gen ITS tersebut
dapat dipakai sebagai penanda genetik untuk membedakan kelompok antar genus.
51

Demikian halnya pada kelompok Porites spp juga terlihat bahwa ada perbedaan
gen ITS antar spesies Porites, sebagai penanda genetik, gen ITS cukup mampu
membedakan antara kelompok spesies P. asteroides (isolat aBR6-1 dan 2) dengan
kelompok P. compressa,, sedangkan kelompok P. duerdeni (isolat HM28) dan P.
cylindrica (isolat Wa4) juga mempunyai gen ITS yang berbeda dengan kelompok
P. compressa, sehingga dengan demikian gen daerah ITS ini dapat dipakai sebagai
penanda genetik pada tingkat spesies.

Goniopora stokesi
Goniopora columna
Goniopora sp. ZHF-2009 isolate Wa3
Goniopora tenuidens
Goniopora palmensis
Goniopora norfolkensis
P. astreoides isolate aBR6-1
P. astreoides isolate aBR6-2
P. compressa
P. duerdeni isolate HM28
P. cylindrica isolate Wa4

Gambar 18 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000


kali ulangan dari nukleotida daerah ITS ribosomal parsial karang
Goniopora spp. dengan Porites spp sebagai out-group.

4.5 Analisa Karakteristik Penanda Genetik COI dan ITS


Berdasarkan hasil analisa karakteristik genotipik, ternyata pada gen COI
tampak lebih sedikit perbedaan basa nukleotida daripada gen ITS, artinya gen COI
pada karang (Cnidaria: Scleractinia) mempunyai lebih banyak nukleotida yang
kekal (conserve) dibandingkan dengan gen ITS yang lebih variabel.
Berdasarkan perbandingan karakteristik morfologik dan hasil dendrogram
penanda genetik COI dan ITS (Gambar 13, Gambar 17 dan Lampiran 1) karang
Goniopora spp. pada penelitian ini dapat dilihat bahwa secara genotipik, penanda
genetik ITS lebih mendekati kemiripan dengan fenotipik (morfologik) kelima
species karang Goniopora spp. yang diidentifikasi. Demikian pula jika
dibandingkan antara dendrogam penanda genetik COI dan ITS pada karang
52

Goniopora spp. dan Porites spp. sebagai out-group (Gambar 14 dan Gambar 17),
ternyata penanda genetik ITS lebih tepat menggambarkan perbedaan kelompok
kedua genus karang tersebut, yaitu terbentuknya dua klaster utama antara genus
Goniopora dan genus Porites.
Pada penelitian ini, berdasarkan dendrogram gen COI dan ITS pada
Goniopora spp, jarak genetik antara COI dan ITS memang masih belum konsisten,
sehingga masih belum dapat dipastikan penanda genetik mana yang lebih akurat
untuk menjelaskan karakteristik genetik spesies karang Goniopora. Walaupun
demikian, berdasarkan dendrogram pada Gambar 14 dan Gambar 17 dapat dilihat
bahwa penanda genetik COI relatif belum dapat membedakan karakteristik
genetik inter spesies karang Porites, sedangkan penanda genetik ITS relatif dapat
membedakan karakteristik genetik inter dan intra spesies pada karang Porites.
Sehingga penanda genetik ITS relatif lebih mampu menggambarkan perbedaan
karakteristik genotipik pada karang (Cnidaria: scleractinia) dengan lebih tepat.
Hal ini memang perlu dibuktikan lagi dengan menambah jumlah sampel
karang Goniopora dari spesies yang sama (intra spesies), dengan lokasi yang
berbeda-beda pada suatu daerah dalam radius yang dekat, untuk meyakinkan
konsistensi karakteristik genotipik dari masing-masing penanda genetik yang
digunakan, baik COI maupun ITS. Setelah itu dapat dibandingkan penanda
genetik mana yang paling konsisten dan yang paling mirip mendekati karakter
morfologi berdasarkan sistematika (taksonomi) yang dijadikan acuan dalam
penentuan spesies karang Goniopora.
Penanda genetik yang paling akurat ini yang nantinya dapat digunakan
sebagai penanda genetik untuk membuat barkode DNA untuk spesies karang
Goniopora. Prinsip ini kemudian dapat dijadikan acuan untuk membuat barkode
DNA pada spesies-spesies karang keras (Scleractinia) lainnya, sebagai alat yang
dapat membantu dalam identifikasi dan sistematisasi taksonomi karang, sekaligus
sebagai alat yang dapat digunakan dalam melakukan pengelolaan terumbu karang,
baik untuk pemanfaatan, perdagangan karang maupun konservasi dan rehabilitasi
terumbu karang, khususnya bagi karang dan terumbu karang yang ada di
Indonesia.
5 PEMBAHASAN UMUM

Penanda Genetik untuk Identifikasi Karang dan Manfaatnya dalam


Pengelolaan Terumbu Karang
Menurut Veron (2000) dan Volmer dan Palumbi (2002), perangkat
molekuler sangat jelas diperlukan untuk menggambarkan batasan spesies, dan
untuk mengungkapkan pola evolusi dan keanekaragaman hayati-nya. Namun,
penelitian molekuler telah menghadapi banyak tantangan teknis, dan memicu
kontroversi tambahan tentang cakupan dan signifikansi evolusi hibridisasi antara
spesies.
van Oppen et al. (1999) dan Shearer et al. (2002) mennyatakan bahwa
DNA mitokondria adalah salah satu penanda molekuler yang paling informatif
dan banyak digunakan pada metazoa, namun genom mitokondria pada Anthozoa
mengalami evolusi yang luar biasa lambat, dan hanya memberikan sedikit
pemecahan filogenetik pada atau di bawah tingkat famili atau genus. Daerah ITS
ribosomal nuklear (bagian dari cistron ribosomal yang terdiri dari dua internal
transcribed spacer dan gen 5.8S yang berevolusi secara cepat) merupakan salah
satu molekul yang paling banyak digunakan sebagai penanda untuk kajian
genetika pada tingkat spesies tanaman (Kress et al. 2005), jamur (O’Donnell.
1997), dan karang (Medina et al. 1998; Takabayashi et al. 1998; Volmer dan
Palumbi 2004). Meskipun daerah ITS digunakan secara luas, penanda multi-copy
ini menimbulkan tantangan, terutama ketika varian yang berbeda ditemukan
dalam satu genom. Salinan ITS yang sangat berbeda ditemukan secara eksklusif
dalam organisme yang memiliki sejarah hibridisasi antara tetua yang berbeda, dan
ribuan salinan dalam genom eukariotik tertentu dianggap homogen oleh proses
rekombinan (evolusi bersamaan) dalam kelompok yang sering terjadi inbreeding.
Vollmer & Palumbi (2004) mengingatkan bahwa sulit untuk membedakan
antara introgressi (transfer informasi genetik dari satu spesies yang lain melalui
hibridisasi) dan backcrossing berulang (hibrid dengan salah satu dari induk atau
suatu organisme dengan karakteristik genetik yang sama dari salah satu induk)
dari garis keturunan hibridisasi dan pemisahan yang tidak lengkap dari
polimorfisme leluhur. Mereka beradu argumentasi dengan peneliti lainnya tentang
54

penggunaan daerah ITS pada karang yang didasarkan pada pengamatan pada
genus Acropora, yang diketahui mempunyai banyak spesies yang berhibridisasi.
Sebuah survei yang dilakukan secara luas terhadap variasi intra-genomik
ITS pada karang menunjukkan bahwa masalah variasi adalah hal yang jarang
terjadi, pengecualiannya hanya ditemukan pada genus Acropora dan bukan
sebagai aturan umum untuk taksa karang lainnya (Flot dan Tillier 2006). Hal ini
juga didukung oleh Forsman et al. 2009 pada penelitan mereka bahwa variasi
intra-genomik ITS pada genus Porites relatif rendah, dan tanda filogenetiknya
relatif cukup kuat terhadap gangguan penyelarasan yang ambigu, menurut mereka,
keadaan ini dapat dikurangi dengan peningkatan jumlah sampling taksonomi.
Forsman et al. (2009) melakukan pengujian evolusi nuklear pada daerah
internal ribosomal spacer (ITS) dan mitokondria (COI, sebagai wilayah control
sementara) pada karang Porites, salah satu genus yang paling menantang dan
penting secara taksonomi dan ekologis karena merupakan genus pembentuk
terumbu karang. Hasilnya, mereka menunjukkan bahwa integrasi analisis
taksonomi dengan penanda molekuler mengungkapkan beberapa pola-pola
tersembunyi dalam keanekaragaman jenis genus Porites. Kajian mereka
menunjukkan bahwa kerangka karang secara evolusioner dapat mengalami
plastisitas yang luar biasa, yang mungkin menjelaskan beberapa kesulitan
taksonomi dan dapat mengaburkan pola-pola yang mendasari endemisitas dan
keanekaragamannya.
Seperti halnya pada penelitian ini, Sitokrom c oxidase subunit 1 (COI)
mempunyai tingkat polimorfisme yang sangat rendah dan memiliki keterbatasan
sebagai alat yang berguna untuk membedakan spesies karang Goniopora, namun,
akan sangat informatif bila dikombinasikan dan dibandingkan dengan pendekatan.
penanda genetik lainnya seperti daerah ITS ribosomal. Menurut Forsman (2009)
Daerah ITS sangat informatif pada genus Porites dalam penelitian mereka, karena
dapat membedakan divergensi pada tingkat spesies dan dapat menjadi alat yang
berharga untuk menjelaskan pola evolusi dan keanekaragaman hayati pada karang.
Karena ekosistem karang semakin terancam, ada kebutuhan untuk
memahami ciri dan spesies karang dalam bentuk kelompok-kelompok
interbreeding sebagai lawan unit .morfologi nominal. Pendekatan yang dilakukan
55

oleh Forsman et al. (2009) menunjukkan bahwa karakter morfologi yang diduga
sebelumnya mampu melukiskan spesies yang diuji, harus diulang secara akurat
untuk dapat memahami pola-pola evolusi, endemik, dan keanekaragaman hayati
pada karang pembentuk terumbu. Definisi spesies hanya berdasarkan evolusi yang
labil, polimorfik, atau sifat-sifat plastisitas fenotipik cenderung menyesatkan dan
mengacaukan usaha-usaha untuk mengidentifikasi, memahami, dan melestarikan
keanekaragaman hayati karang.
Berdasarkan penelitian ini, walaupun masih belum dapat ditentukan secara
tepat, penanda genetik mana yang paling akurat yang mampu menjelaskan
karakteristik genotipik karang Goniopora spp. tetapi paling tidak dalam penerapan
pengelolaan misalnya,untuk merehabilitasi terumbu karang yang rusak, maka pola
dendrogram yang paling mendekati perbedaan dan persamaan fenotipiknya, dapat
dijadikan acuan sementara, species mana saja yang mempunyai kemiripan secara
genotipik yang dapat direkomendasikan jika akan melakukan suatu kegiatan
transplantasi karang Goniopora. Sebagai contoh jika pada lokasi yang rusak dan
perlu dilakukan rehabilitasi hanya ada spesies karang Goniopora stokesi, maka
sebaiknya dilakukan transplantasi karang dari spesies yang sama, tetapi jika tidak
ada spesies donor dari spesies yang sama, maka yang dianjurkan adalah
melakukan transplantasi dari spesies G. columna, karena karang ini mempunyai
kemiripan genotipik yang lebih dekat dengan karang G. stokesi, dan tidak
dianjurkan untuk melakukan transplantasi dengan donor dari G. norfolkensis
karena spesies ini mempunyai jarak genetik yang sangat jauh dari spesies G.
stokesi, walaupun mungkin secara fenotipik dan secara taksonomis, spesies-
spesies ini tidak menunjukkan perbedaan morfologik yang nyata dan masih dalam
genus yang sama.
Dengan mengetahui persamaan dan perbedaan karakteristik genetik ini,
akan berguna dalam upaya pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang yang
rusak, yaitu dalam hal pemilihan atau penempatan donor dalam kegiatan
transplantasi. Jika terdapat variasi genetik yang sangat ekstrim, maka donor harus
dipertimbangkan dengan seksama, karena berpotensi mempunyai efek yang
negatif bagi ekosistem yang telah ada sebelumnya, yaitu dapat terjadi dominansi,
56

agresivitas spesies karang tertentu, kompetisi intraspesifik, percepatan penyebaran


penyakit pada karang, dan lain sebagainya.

Peranan Barkode DNA bagi Pengelolaan, Pemanfaatan, Perdagangan dan


Konservasi Terumbu Karang
Penggunaan Barkode DNA (DNA Barcoding / DBC) dengan penanda
genetik COI bagi perdagangan dan konservasi hewan laut telah diterapkan pada
beberapa spesies baru-baru ini, seperti pada perdagangan ikan hias (Steinke et al.
2009) dan konservasi beberapa spesies penyu (Vargas et al. 2009). Dengan
tersedianya layanan barkode DNA yang mudah diakses dan komprehensif, maka
masalah identifikasi ikan laut tropis yang biasanya sulit dilakukan dan
membutuhkan para ahli taksonomi, menjadi lebih mudah dilakukan dan akan
menguntungkan para pengumpul, grosir dan pengecer, serta lembaga yang
melakukan kontrol pada peraturan perdagangan ikan hias (Steinke et al. 2009).
Selain kegunaannya dalam taksonomi, metoda DBC diharapkan mampu
memberikan manfaat dalam biologi konservasi, misalnya, saat melakukan survei
keanekaragaman hayati. Bisa juga diterapkan ketika metode tradisional tidak
efisien, seperti dalam identifikasi bentuk telur dan larva, dan dalam analisis isi
perut atau ekskreta untuk menentukan jaring makanan (Stoeckle, 2003). Selain itu,
juga mempunyai potensi digunakan dalam kasus forensik untuk mengidentifikasi
sumber contoh jaringan yang diperoleh baik dari perdagangan ilegal atau
penggunaan telur dan daging. Dengan demikian, metoda DBC dapat diterapkan
pada daging dan telur penyu yang dimakan atau diperdagangkan sebagai sumber
untuk mengindentifikasi spesies penyu tersebut. DBC dapat digunakan untuk
melakukan survei dalam rangka konservasi penyu laut dan untuk memberikan
sosialisasi (public awareness) baik bagi penduduk lokal dan konservasionis atas
ancaman spesies pada tingkat lokal (Vargas et al. 2009). Namun hal tersebut
masih belum dapat diterapkan dalam pengelolaan dan konservasi terumbu karang,
karena belum adanya penanda genetik yang dapat diandalkan dan cocok untuk
semua spesies karang.
Niegel et al. (2007) menyatakan bahwa DBC dapat memecahkan beberapa
masalah yang biasanya tidak dapat dipecahkan. Setidaknya, dapat membantu
mengidentifikasi spesimen yang sulit untuk diidentifikasi dan sebagai manfaat
57

lainnya, dapat memfasilitasi penemuan spesies baru. Penggunaan dasar DBC ini
harus memungkinkan untuk memasukkan lebih banyak spesies karang dalam
survei keanekaragaman hayati dan mengurangi bias yang terjadi saat ini. DBC
bisa menjadi alat yang penting dalam konservasi terumbu karang apabila tersedia
database runutan COI yang sesuai.
Selanjutnya Niegel et al. (2007) menambahkan, bagi beberapa kelompok
taxa lainnya, runutan selain COI terbukti telah menjadi standar bagi penggunaan
DBC. Runutan selain COI pasti sangat diperlukan untuk menentukan karakteristik
spesies Porifera, Anthozoa dan kelompok lainnya di mana runutan mitokondria
pada kelompok ini berevolusi terlalu lambat untuk membedakan spesies. Namun,
bahkan untuk kelompok di mana COI tidak dapat memberikan spesifikasi spesies,
tetapi masih dapat berguna untuk menetapkan spesimen pada tingkat genus atau
familia. Untuk beberapa tujuan, hal ini mungkin dapat memadai. Tetapi untuk
tujuan yang memerlukan ketelitian yang lebih tinggi, identifikasi kasar COI bisa
berfungsi sebagai titik awal (starting point) di luar runutan dari lokus tambahan,
yang dapat digunakan untuk memberikan pemecahan masalah pada tingkat spesies.
Penanda genetik yang telah disetujui secara ilmiah dapat digunakan
sebagai Barkode DNA (DBC). DBC dapat diaplikasikan dalam perdagangan
karang (hias), yaitu dapat meminimalisasikan kesalahan dalam penentuan kuota
perdagangan spesies karang (hias) yang direkomendasikan oleh CITES pada
tingkat lokal (regional), membantu dalam pengawasan (monitoring) perdagangan
karang dan pencegahan perdagangan karang ilegal. Dalam usaha pembudidayaan
karang untuk perdagangan dapat diketahui karang yang berasal dari penangkaran
atau karang yang diambil dari alam (wild coral), karena dengan diberlakukannya
DBC untuk semua indukan (parental) karang yang ditangkarkan, maka turunan
berikutnya (F1/F2) juga dapat dikenali berdasarkan barkode DNA yang sesuai
dengan induk nya. DBC juga dapat dijadikan alat bukti jika terjadi perdagangan
karang ilegal, dapat dipakai sebagai alat identifikasi spesies karang yang sulit
untuk diamati secara morfologik dan spesies karang yang langka (endemik), dan
juga dapat dipakai dalam bidang konservasi karang untuk menentukan jenis
karang mana yang tahan terhadap kenaikan temperatur air laut atau tahan terhadap
tekanan lingkungan lainnya.
58

Van Oppen dan Gates (2006) menyatakan bahwa faktor penting bagi
ketahanan (resilience) terumbu karang adalah konektivitas antara dan di dalam
terumbu karang. Pertukaran larva menciptakan dan mempertahankan tingkat
keragaman genetik yang tinggi, yang sangat penting dalam hal ketahanan terhadap
gangguan. Migran dapat membawa alel baru yang akan terintegrasi ke dalam
populasi melalui reproduksi, menciptakan kombinasi gen yang lebih tahan
terhadap gangguan. Penyebaran selektif alel-alel yang menguntungkan pada lokus
DNA yang terlibat dalam tanggapan fisiologis seperti resistensi pemutihan
(bleaching) dan potensi lainnya segagai konsekuensi dari migrasi.
Peran genetika dalam konservasi biologi, dan dalam ekologi secara umum,
telah sangat meningkat selama dua dekade terakhir, dan data yang tersedia dalam
bidang ini mulai berkembang, terutama untuk karang-karang pembentuk terumbu.
Diharapkan bahwa genetika dan biologi molekular dapat dikombinasikan dengan
data fisiologis dan ekologis, sehingga dapat memberikan perspektif multifaset
ketahanan karang pembentuk terumbu. Dengan demikian, data ini merupakan
komponen berharga dalam bidang konservasi terumbu-karang. Filogenetika,
filogeografi populasi dan analisis genetika yang berguna sebagai indikator dari
sejarah populasi di alam dan prognosis untuk masa depan. Lebih lanjut,
karakterisasi tanggapan stres pada tingkat molekuler dapat menyebabkan
pengembangan tes diagnostik untuk deteksi dini tanggapan stres pada karang dan
cepat mengidentifikasi pemicu stress yang tepat dan bertanggung jawab atas
degradasi ekosistem terumbu-terumbu karang tertentu.
6 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
1. Berdasarkan karakteristik morfologi yang dilakukan, ternyata dapat
disimpulkan bahwa lima koloni karang yang diambil dari perairan
Kepulauan Seribu ternyata kelima-nya berbeda species yaitu : Goniopora
stokesi, Goniopora palmensis, Goniopora columna, Goniopora
norfolkensis dan Goniopora tenuidens.
2. Berdasarkan penanda genetik COI dan ITS yang digunakan, terdapat
perbedaan karakteristik genotipik, yaitu susunan dan jumlah nukleotida,
jarak genetik serta phylogenik pada masing-masing spesies karang
Goniopora spp.
3. Berdasarkan dendrogram hasil dari penelitian ini, penanda genetik ITS
lebih mendekati kemiripan dengan fenotipik (morfologik) kelima species
karang Goniopora spp. yang diidentifikasi.
4. Berdasarkan dendrogram hasil dari penelitian ini, penanda genetik ITS
lebih tepat menggambarkan perbedaan kelompok kedua genus karang
yang dibandingkan, yaitu terbentuknya dua klaster utama antara genus
Goniopora dan genus Porites
5. Berdasarkan hasil penelitian ini, gen mtDNA COI pada karang relatif
hanya dapat dipakai pada tingkatan genus atau tingkat yang lebih tinggi.
Sedangkan gen rDNA yaitu daerah ITS ribosomal relatif dapat dipakai
sebagai marka genetik pada tingkatan spesies, tetapi harus digunakan
marka gen lainnya sebagai kontrol atau pembanding, karena hasil
dendrogramnya sangat beragam.
6. Marka atau penanda genetik yang digunakan dalam Barkode DNA
memiliki potensi untuk digunakan sebagai alat identifikasi dalam regulasi
perdagangan karang, khususnya karang hias seperti Goniopora spp., juga
dalam usaha pengelolaan dan konservasi terumbu karang.
60

Saran
1. Saat hendak mengambil sampel sebaiknya sudah ditentukan jenis dan
jumlah spesies target secara detail, serta perlunya pengambilan foto bawah
air untuk masing-masing koloni agar dapat membantu identifikasi
morfologik dengan lebih tepat.
2. Perlu memperbanyak pengambilan sampel inter koloni (intra spesies, intra
genus) di lokasi yang berbeda dalam satu wilayah dalam radius yang dekat
untuk meyakinkan identifikasi secara morfologik dan genetik.
3. Penelitian mengenai genetik karang merupakan suatu hal yang baru,
sebagai tantangan bagi ilmu pengetahuan dan sangat bermanfaat dalam
pengelolaan terumbu karang, sehingga perlu dilakukan kajian genetik jenis
karang lainnya untuk mendapatkan data awal genetik karang yang
selanjutnya dapat dibuat pemetaan filogeografik karang tropis di perairan
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Armstrong J, Crawford J. 1998. Convention on international trade in endangered


species of wild fauna and flora. In: Hatziolos ME, Hooten AJ, Fodor M.
(eds) Coral reefs, challenges and opportunities for sustainable
management. Proc. 5th Annual World Bank Conference on
Environmentally and Socially Sustainable Development,The World Bank,
Washington, D.C., pp. 65-67.

Baker AC, Rowan R. 1997 Diversity of symbiotic dinoflagellates (zooxanthellae)


in scleractinian corals of the Caribbean and Eastern Pacific. Proc 8th Int
Coral Reef Symp 2: 1301–1306

Barnes D, Lough J. 1992. Systematic variations in the depth of skeleton occupied


by coral tissue in massive colonies of Porites from the Great Barrier
Reef. J. exp. mar. Biol. Ecol. 159: 113–128.

Barnes DJ, Lough JM. 1999. Porites Growth Characteristics In A Changed


Environment: Misima Island, Papua New Guinea. Coral Reef 18: 213 –
218.

Beauchamp KA, Powers DA. 1996. Sequence variation of the first internal spacer
(ITS-1) of ribosomal DNA in ahermatypic corals from California. Mol
Mar Biol Biotechnol 5:357–362.

Bellwood DR, Hughes TP, Folke C, Nyström M . 2004. Confronting the coral reef
crisis. Nature 429:827–833

Brown BE, Howard LS. 1985. Assessing the effect of ‘stress’ on coral reefs. Adv.
Mar. Biol. 22: 1-63.

Bryant D, Burke L, McManus J, Spalding M. 1998. Reefs at Risk: A Map-Based


Indicator of Threats to the World's Coral Reefs. Washington, D.C.:
World Resources Institute.

Burke L, Selig E, Splading M. 2002. Reef at Risks in Southeast Asia. World


Resources Institute, Washington DC, USA.40 hlm

Byatt A, Fothergill A , Holmes M. 2001. The Blue Planet: A Natural History of


The Oceans. BBC Worldwide ltd, London.

Caporale DA, Beal BF, Roxby R, Beneden RJ. 1997. Population structure of Mya
arenaria along the New England coastline. Mol Mar Biol Biotechnol
6:33–39.
62

Chen CA, Odorico DM, ten Lohuis M, Veron JE, and Miller DJ. 1995. Systematic
relationships within the Anthozoa (Cnidaria: Anthozoa) using the 5'-end
of the 28S rDNA. Mol. Phylogenet. Evol. 4:175-183.

Chen CA, Willis BL, Miller DJ. 1996. Systematic relationships between tropical
corallimorpharians (Cnidaria: Anthozoa: Corallimorpharia): utility of the
5.8S and internal transcribed spacer (ITS) regions of the RNA
transcription unit. Bull Mar Sci 59:196–208.

[CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna


dan Flora (CITES), dalam http://www.cites.org [26 September 2009].

Constanza R et al. 1998. Principles for Sustainable Governance of the Oceans.


Science Vol 281: 198-199

Dasmahapatra KK, Mallet J. 2006. DNA barcodes: recent successes and future
prospects. Heredity 97: 254–255.

Douglas AE. 2003. Coral bleaching – how and why? Mar Poll Bull 46: 385-392.

Duryadi D. 1993. Role possible du comportement dans l’evolution de Deux Souris


Mus macedonicus et Mus spicilequs en Europe Centrale [thesis doctorat].
France: Montpellier II, Sciences et Technique du Languadoc.

Erpenbeck D, Hooper JNA. Worheide G. 2006. CO1 phylogenies in diploblasts


and the ‘Barcoding of Life’—are we sequencing a suboptimal partition?
Mol Ecol Notes 6: 550–553.

Estradivari, Syahrir, M, SusiloN, Yusri S, Timotius S. 2007. Terumbu Karang


Jakarta Laporan Pengamatan Terumbu Karang Kepulauan Seribu
(2004-2005). Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI), Jakarta.
87 hlm

Flot J, Tillier S. 2006. Molecular phylogeny and systematics of the scleractinian


coral genus Pocillopora in Hawaii. Proc of 10th Int Coral Reef Symp:24-
29.

Floyd R, Abebe E, Papert A, Blaxter M. 2002. Molecular barcodes for soil


nematode identification. Mol Ecol 11: 839–850.

Forsman ZH, Barshis DJ, Hunter CL, Toonen RJ. 2009. Shape-shifting corals:
Molecular marker show morphology is evolutionary plastic in Porites.
BMC Evol Biol 9: 1-9.

Frank U, Mokady O. 2002. Coral Biodiversity and Evolution: recent molecular


contribution. Can. J. Zool. 80:1723-1734.
63

Frezal L, Leblois R. 2008. Four years of DNA Barcoding: Current advances and
prospects. Infect. Genet. 30. MEEGID-450: 1-0.

Fritz GN, Conn J, Cockburn A, Seawright J. 1994. Sequence analysis of the


ribosomal DNA internal transcribed spacer 2 from populations of
Anopheles nuneztovari (Diptera: culicidae). Mol Biol Evol 11:406–416.

Fukami H, Omori M, Hatta M. 2000. Phylogenetic Relationships in the Coral


Family Acroporidae, Reassessed by Inference from Mitochondrial Genes.
Biol Ssi 17: 689-696.

Fukami H, Budd AF, Paulay G, Sole-Cava A, Chen CA, Iwao K, Knowlton N.


2004. Conventional taxonomy obscures deep divergence between Pacific
and Atlantic corals. Nature 427:832-832.

Funk DJ, Helbling L, Wernegreen JJ, Moran NA. 2000. Intraspecific phylogenetic
congruence among multiple symbiont genomes. Proc R Soc B 267:
2517– 2521.

Green EP, Hendry H. 1999. Is CITES an effective toll for monitoring trade in
corals? Coral Reefs 18: 403-407.

Green EP, Shirley F. 1999. The global trade in corals. World Conservation Press,
Cambridge, UK. 70 hlm.

Hebert PDN, Ratnasingham S, deWaard JR. 2003. Barcoding animal life:


cytochrome c oxidase subunit 1 divergences among closely related
species. Proc. R. Soc. Lond. B 270: 596–599.

Hillis DM, Dixon MT. 1991. Ribosomal DNA: Molecular Evolution and
Phylogenetic Inference. Quart Rev Bio 66:411-453

Hodgson G. 1999. A global assessment of human effects on coral reefs. MarPoll


Bull 38: 345-355.

Hoegh-Guldberg, O. 1999. Climate change, coral bleaching and the future of the
world’s coral reefs. Mar Freshwater Res 50: 839–866.

Iguchi K, Tanimura H, Nishida M. 1999. Genetic variation and geographic


population structure of amphidromous Ayu Plecoglossus ativelis as
examined by mitochondrial DNA sequencing. Fish Sci 65: 63-67

Kim E, Lasker HR, Cooforth A, imK K. 2004. Morphological and Genetic


variation across reef habitats in broadcast-spawning octocoral.
Hydrobiologia 530/531:423-432.
64

Kleemann, K. 2002. Tropical Marine Biology II Classification of Scleractinian


(Stony Corals http://www.sbg.ac.at/ipk/avstudio/pierofun/coral/family.
htm [20 Agustus 2009]

Klemm EB, Reed SA, Pottenger FM, Porter C, Speitel TW. 1995 A Closer Look:
Identifying Coral Species. HMSS The Living Ocean. Honolulu,
University of Hawaii. hlm 179-83.

Knowlton N. 2001. The future of coral reefs. Proc Natl Acad Sci: 5419– 5425.

Kress WJ, Wurdack KJ, Zimmer EA, Weigt LA, Janzen DH. 2005. Use of DNA
barcodes to identify flowering plants. Proc Natl Acad Sci USA. 102:
8369– 8374.

Lane CE, Lindstrom SC, Saunders GW. 2007. A molecular assessment of


northeast Pacific Alaria species (Laminariales, Phaeophyceae) with
reference to the utility of DNA barcoding. Mol Phylogenet Evol 44: 634–
648.

Lazoski C, Sole-Cava AM, Boury-Esnault N, Klautau M, Russo CAM. 2001.


Cryptic speciation in a high gene show scenario in the oviparous marine
sponge Chondrosia reniformis. Mar Biol 139:421–429.

Lopez JV, Kersanach R, Rehner SA, Knowlton N. 1999. Molecular determination


of species boundaries in corals: genetic analysis of the Montastraea
annullaris complex using amplified fragment length polymorphisms and
a microsatellite marker. Biol Bull 196: 80–93

McClanahan, Timothy R., 2001. The Near Future of Coral Reefs. Environmental
Conservation vol 2. hlm 460-483.

Medina M, Weil E, Szamnt AM. 1999. Examination of the Montastraea


annularis species complexs (Cnidaria:Scleractinia) using ITS and COI
Sequences. Mar. Biotech. 1: 89-97.

Melton T. 1999. Learn about Mitocondrial DNA. LLC. Mytotyping Tech.

Mikkelsen PM, Cracraft J. 2001. Marine biodiversity and the need for systematic
inventories. Bull Mar Sci 69:525–534

Niegel J, Domingo A, Stake J. 2007. DNA barcoding as a tool for coral reef
conservation. Springer-Verlag. Coral Reefs. DOI 10.1007/s00338-007-
0248-4: 13 hlm.

Nybakken JW. 1997. Marine Biology: An Ecological Approach 4th ed. Addison-
Wesley Educational Publisher Inc. USA. 338-388, 395-403.
65

O'Donnell K, Cigelnik E. 1997. Two divergent intragenomic rDNA ITS-2 types


within a monophyletic lineage of the fungus Fusarium are
nonorthologous. Mol Phylogenet Evol 7:103-116

Odorico DM, Miller DJ .1997. Variation in the Ribosomal Internal Transcribed


Spacers and 5.8S rDNA Among Five Species of Acropora
(Cnidaria;Scleractinia): Patterns of Variation Consistent with Reticulate.
Evol Mol Biol Evol 14:465-473

P20-LIPI. 2008. Kondisi Sebaran Terumbu Karang di Indonesia. LIPI. Jakarta.


(www.coremap.or.id).

Peach MB, Hoegh-Guldberg O. 1999. Sweeper polyps of the coral Goniopora


tenuidens (Scleractinia: Poritidae). Invertebr Biol 118:1–7.

Pearse VB, Muscatine L. 1971. Role of symbiotic algae (zooxanthelalae) in coral


calcification. Biol Bull 141: 350-363.

Philip E, Fabricius KE. 2003. Photophysiological Stress In Sclerectinian Corals In


Response To Short Term Sedimentation. J Exp Mar Biol and Ecol 287:
57 – 78.

Ratnasingham S, Hebert PDN. 2007. BOLD: The Barcode of Life Data System
(www.barcodinglife.org). Mol Ecol Notes 7: 355–364.

Romano SL, Palumbi SR. 1996. Evolution of scleractinian corals inferred from
molecular systematics. Science 271:640–642

Rosen BR. 1984. Reef coral biogeography and climate through th late Cainozoic:
just islands in the sun or a critical pattern of Islands in Brenchey P. (ed).
Fossils and Climate, John Wiley and Sons: hlm 201-262

Rowan R. 1998. Diversity and ecology of zooxanthellae on coral reefs. J. Phycol.


34:407–417.

Saunders GC, Parkes HC. 1999. Analytical Molecular Biology Quality and
Validation. Laboratory of the Government Chemist, Teddington, UK.
hlm 47-57.

Saunders GW. 2005. Applying DNA barcoding to red macroalgae: a preliminary


appraisal holds promise for future applications. Philos Tran R Soc Lond
B 360: 1879–1888.

Schindel DE, Miller SE. 2005. DNA barcoding a useful tool for taxonomists.
Nature 435: 17–117.

Schuhmacher H, Zibrowius H. 1985. What is Hermatipic? A redefinition of


ecological group in corals and other organisms. Coral Reefs 4:1-9.
66

Shearer TL, van Oppen MJ, Romano SL, Worheide G. 2002. Slow mitochondrial
DNA sequence evolution in the Anthozoa (Cnidaria). Mol Ecol 11:2475-
2487.

Shearer TL, Coffroth MA. 2006. Genetic identification of Caribbean scleractinian


coral recruits at the Flower Garden Banks and the Florida Keys. Mar
Ecol Prog Ser 306:133–142

Sorokin, Yuri I. 1995. Coral Reef Ecology. Ecological Studies; vol. 102. Springer
Verlag. Berlin Heidelberg. New York.

Steinke D, Zemlak TS, Hebert PDN. 2009. Barcoding Nemo: DNA-Based


Identifications for the Ornamental Fish Trade. PLoS one 4: 1-5.

Stoeckle M. 2003. Taxonomy, DNA, and the Bar Code of Life. Bioscience
53:796-797.

Strugnell JM, Lindgren AR. 2007. A barcode of life database for the Cephalopoda?
Considerations and concerns. Rev Fish Biol Fish 17: 337–344.

Suharsono. 1996. Jenis-jenis Karang yang Umum Dijumpai di Perairan


Indonesia. P3O- LIPI. Jakarta. hlm. 2-13.

Sumich JL. 1992. An Introduction to the Biology of Marine Life. Fifth Edition.
Wm.C.Brown Publisher. USA.

Sunnuck P. 2000. Efficient genetic markers for population biology. Tree


15:199-205

Tamura K, Dudley J, Nei M, Kumar S. 2007. MEGA4: Molecular Evolutionary


Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0. Mol Biol Evol,
24:1596-1599.

Takabayashi M, Carter DA, Loh WK, Hoegh-Guldberg O. 1998. A coral-specific


primer for PCR amplification of the internal transcribed spacer region in
ribosomal DNA. Mol Ecol 7:928-930

Teletchea F, Bernillon J, Duffraisse M, Laudet V, Hanni C. 2008. Molecular


identification of vertebrate species by oligonucleotide microarray in food
and forensic samples. J. Appl. Ecol. (doi:10.1111/j.1365-2664.2007.
01415.x).

Todd PA. 2008. Morphological plasticity in scleractinian corals. Biol. Rev.


83:315–337.

Tomascik T, Mah AJ, Nontji A. Moosa. MK. 1997. The Ecology of the
Indonesian Seas. Part II. Periplus Edition (HK) Ltd., Singapore. hlm
643-781
67

van Oppen MJH, Willis BL, Miller DJ. 1999. Atypically low rate of cytochrome b
evolution in the scleractinian coral genus Acropora. Proc Biol Sci,
266:179-183.

van Oppen MJH, Catmull J, McDonald BJ, Hislop NR, Hagerman PJ, Miller.
2002. The mitochondrial genome of Acropora tenuis (Cnidaria;
Scleractinia) contains a large group I intron and a candidate control
region. J Mol Evol 55:1-13

van Oppen MJH, Gates RD. 2006. Conservation genetics and the resilience of
reef-building corals. Mol Ecol 15: 3863–3883

Vargas SM, Araújo FCF, Santos FR. 2009. DNA barcoding of Brazilian sea
turtles (Testudines). Genetics and Molecular Biology. Sociedade
Brasileira de Genética, Brazil. hlm 1-4.

Veron JEN. 1986. Coral of Australia and the Pacific. University of Hawaii Press.
Honolulu. 644 hlm

Veron JEN. 1995 Corals in Space and Time The Biogeography and Evolution of
the Scleractinia. Australian Institute of Marine Science, Cape Ferguson,
Townsville, Queensland, UNSW Press, hlm. 17, 26-31, 77-88.

Veron, JEN. 2000. Corals of the World, vol. 3 (ed. M. Stafford-Smith).


Townsville, Australia: Australian Institute of Marine Science, hlm. 348-
379, 399, 457-458.

Vollmer S, Palumbi SR. 2004. Testing the utility of ITS sequences in coral. Mol
Ecol 13: 2763-2772.

Vollmer S, Palumbi SR. 2006. Restricted Gene Flow in the Carribean Staghorn
Coral Acropora cervicornis: Implication for the recovery of endangered
reefs. Journal of Heredity 98:40-50.

Walton C, Sharpe RG, Pritchard SJ, Thelwell NJ. Butlin RK. 1999. Molecular
identification of mosquito species. Biol J Linn Soc 68: 241–256.

[WCMC] World Conservation Monitoring Centre. 1996. A guide to interpreting


outputs from the WCMC CITES trade database version 3.1 September,
World Conservation Monitoring Centre, Cambridge, UK. 25 hlm

White TJ, Gruns TL, Taylor WJ .1990. Amplification and direct sequencing of
fungal ribosomal RNA genes for phylogenetics. In PCR Protocols: A
guide to methods and applications (ed. M. A. Innis, D. H. Gelfand, J. J.
Sninsky, and T. J. White). San Diego: Academic Press
68

Whitworth, TL, Dawson RD, Magalon H, Baudry E. 2007. DNA barcoding


cannot reliably identify species of the blowfly genus Protocalliphora
(Diptera: Calliphoridae). Proc. R. Soc. Lond. B 274: 1731–1739.

Wilkinson C. 1993. Coral reefs are facing widespread devastation: can we prevent
this through sustainable management practices? Proceedings of the 7th
International Coral Reef Symposium, Guam, 1992, Volume 1. hlm11-21.
70

Lampiran 1 Karakteristik morfologik sampel karang Goniopora spp. yang


diidentifikasi

Contoh Koloni karang hidup :

Koloni Goniopora columna Koloni karang saat polip


terjulur menutupi bentuk
lifeform karang. Polip
panjang & berdaging

Koloni karang saat polip


ditrarik kedalam
(retracted)
memperlihatkan bentuk
lifeform karang sub masif

Polip Goniopora columna


Oral disc yang besar
dengan oral cone yang
Polip Goniopora columna berwarna ungu kebiruan

Polip karang yang


panjang dan berdaging
terjulur sepanjang hari

Tentakel pada masing-


masing polip berjumlah
24 buah
Morfometrik kerangka karang Goniopora

Koralit Goniopora palmensis

Lobus Paliform

Calice

Septum (septa)

Columella
Dinding Koralit
(Theca) a) Kerangka kapur G. stokesi
Koralite

3 mm
71

Lampiran 1 lanjutan

a) Kerangka kapur G. stokesi

3mm

b) Perbesaran koralit G. stokesi c) Perbesaran kuat koralit G. stokesi


72

Lampiran 1 lanjutan

a) Kerangka kapur G. palmensis

3mm

b) Perbesaran Koralit G. palmensis c) Perbesaran kuat Koralit G. palmensis


73

Lampiran 1 lanjutan

a) Kerangka kapur G. columna

3mm

b) Perbesaran koralit G. columna c) Perbesaran kuat koralit G. columna


74

Lampiran 1 lanjutan

a) Kerangka kapur G. norfolkensis

3mm

b) Perbesaran koralit G. norfolkensis c) Perbesaran kuat koralit G. norfolkensis


75

Lampiran 1 lanjutan

a) Kerangka kapur G. tenuidens

3mm

b) Perbesaran koralit G. tenuidens c) Perbesaran kuat koralit G. tenuidens


76

Lampiran 2 Lokasi penempelan Primer GJWCOIF dan GJWCOIR pada runutan


basa nukleotida gen COI pada Porites porites (Kode akses GenBank
NC_008166)

Porites porites mitochondrion, NC_008166


="cytochrome c oxidase subunit I"
13436..15978/gene="COX1"

Primer GJWCOIF : 5’-CTCGGTACAGCCTTCAGTATGTTA-3’


Primer GJWCOIR : 3’-TTTGGGCATCCTGAAGTTTATATT-5’

atgaa
13441 aagtttatat ttaattcgct gggcgttttc tactaaccat aaagacattg gtacgttata
13501 tttagtattt gggattgggg caggtatgct cggtacagcc ttcagtatgt taataagatt
13561 agagctctcg gctccggggg ctatgttagg agacgatcat ctttataatg taattgttac
13621 agcacacgct tttattatga tctttttttt ggttatgcca gtaatgatag ggggatttgg
13681 gaattggttg gttccattat atattggggc gcctgatatg gcttttccac ggcttaataa
13741 cattagtttt tggctgttac cccctgcttt aatattgtta ttaggttctg cttttgtcga
13801 acaaggagcg ggtaccggat gaacggttta tcctcctcta tctagcattc aggcccattc
13861 tggcggggcg gtggatatgg ctatttttag tctccactta gctggggcgt cctcgatttt
13921 gggtgcaatg aattttataa caactatatt taatatgagg gcccctgggc taacgttgaa
13981 tagaatgccc ttatttgtgt ggtcaatctt gatcactgct tttttattat tattgtcttt
14041 gcccgtatta gcgggggcca taaccatgct tttaacggat agaaacttta atactacttt
14101 ctttgatccc gcaggggggg gagatccgat tttatttcaa catttgtttt ggttctttgg
14161 gcatcctgaa gtttatattt taatattacc tggctttgga atgatttctc aaataatacc
14221 aacttttgtt gctaaaaagc aaatttttgg atacttaggt atggtttatg caatgctttc
14281 aattggtatt ttaggtttta ttgtgtgggc ccatcatatg tttacggttg tttttagcca
14341 ttgaaaatag taatattttt gagctttgtc ctgctatata ctggcaaaat cttttgaaaa
14401 caaatgtttg gccgacaaga tttttatctt ataaattaag gcggcaaaga ttgggttttc
14461 ctagggtcaa tcagtgggaa actaagaccc tttttggtgg atcttttttt ttctgagaaa
14521 gaggagtttt agggtcctta gagactgcat gcaggagatt tagacttaat aatcagtttt
14581 taatttcgca agatttttat tgatgaatgg ggtttgtgga aattgttggc tggggtttta
14641 ttaccaaaaa aaagttttat ggtgtcagag gctttggtat aatgttttca atctggcgta
14701 gtgtagggga ggctcagctt ctttattaca taaaatgccg atttgaaaat ggacatgtgg
14761 gctttttaaa gtcgaatgtc tcagaaaggt tttatcttat agataaaaag cctacactta
14821 gtttggggtt tttattggct tttactttgg gtggctctca ggggggcttt cctgttgggt
14881 tttttgaaaa ttgatttgtg gggcaagttg atggcggggg tctttttatt attaatttta
14941 agcatagtgg gaagaagggt gctcaaaaag aagtcgtttt gttttttgta atggcacaag
15001 gtcttaaaga ttgatttgtt ttggagcaac ttaaaggtgg attaagtggg gggtatcggt
15061 ttaataaaaa agataatttt tatatttgag agggaaatca gagggggttt ttgattaggg
15121 ccataaatct ttttaagaaa cattctttat gaactaagaa aaaaatagct tttttaaagt
15181 gatgaaaagt aaatgaaaaa ttttaaaacg aaagaagagg ttgagattaa ggtacagtcc
15241 aagctcggat aagttccgac gtggggggga tttctataat ggtttcctta atatattagt
15301 gggatggatg tggacacaag agcatatttt actgcagcaa ctatgattat tgctgtgcca
15361 actggaataa aagtgtttag ttggctggcc actatctttg gaggaacttt aagattagac
15421 actcctatgc tttgggcaat ggggtttgtt tttttattta cattgggtgg tttgactgga
15481 gttgtattag caaatagttc tttggatgtt gttttacatg acacatatta tgttgtggct
15541 cattttcatt atgtgctctc tatgggagcc gtttttgcta tttttggtgg gttttatttt
15601 tgagtaggga aaataacggg gtattgttat aatgagctct atggcaaggt ccatttttgg
15661 ttaatgttta taggtgtcaa tttgactttt ttccctcaac attttttggg cttgtcgggc
15721 ttcccaagac ggtattctga ttttgcagat tcttttgctg gttggaattt ggttagctct
15781 ttgggctcta ctatttcaat aataggagtc atttttttca tatatattat ttatgatatc
15841 tatgtttgag aagagcaatt tgttggttga actgatgagg gcgatgagag ttggacttct
15901 ttagaatggg ttcatgtttc tcctccttta gttcacacat atgaggaatt accttttatt
15961 aaagagaatg aggtatag

Keterangan : primer GJWCOIF menempel pada posisi ke-94 sampai dengan 117
dari gen COI utuh (13529 – 13552) sedangkan primer GJWCOIR
menempel pada posisi ke-721 sampai dengan 744 (14156–14179) gen
COI utuh dari Porites porites (GenBank kode akses NC_008166)
77

Lampiran 3 Lokasi penempelan Primer ITSZF dan ITSZR pada runutan basa
nukleotida daerah gen ITS 18S rRNA, ITS1, 5.8S rRNA, ITS2, 28S
rRNA, runutan parsial dan lengkap, Goniopora columna isolat:
KENGonc (Kode akses GenBank: AB441414)

1 actaccgatt gaatggttta gtgaggcctt ctgactggcg ccgctactct ggcaacagag


61 cggcggatgc cgggaagttg gtcaaacttg atcatttaga ggaagtaaaa gtcgtaacaa
121 ggtttccgta ggtgaacctg cggaaggatc attaccgatc gaggcatcca aaacctgtca
181 tgggttttca gtgtgaattg taaattcaat ttttaggggt cggcgagatg ccgttaaatg
241 gcgcgtgggc gtgtgcgacg cacacgtccg cacgtcagcc ccgccattgt ttttgtcatc
301 gaactgtaac gtttggactg aaagtgaata cgaaaaaaaa gagagacaac ttttgacggt
361 ggatctcttg gctcacgtat cgatgaagaa cgcagccagc tgcgataagt agtgtgaatt
421 gcagaattca gtgaatcatt gaatctttga acgcaaatgg cgctcttggg ttctcccagg
481 agcatgtctg tctgagtgtc ggatatctta cgaagcgatc gtgcatcgat tgcggaattg
541 aggtgtcacg gagagtggaa acaactcagg ccgtgtccct cgaaaggagg cagctgcgga
601 gccgcacgcg ctattatttt ttttaatagc gagtgacctc tatgaaaaag tcatgggttc
661 agtgcgtagg ctaaaataca aattcctccg tgctaccatg atgtagaggt tttgggtccc
721 agtttttgtt catgtttttg aaacaaccta aatcttgacc tcagatcagg caaggctacc
781 cgctgaattt aagcatatta ataagcggag gaaaagaaac taacaaggat tccctcagta
841 acagcgagtg aagcgggaac agctcaaatt tgaaatctcc gacgcttgcg tcggcgactt
901 gtagttgcga gaagcacttt ctaggcggat cggtggtgcc taagttgctt ggaacagtac
961 gtcatagagg gtgacaaccc cgtctgtggc acgaccggcc gctcacgatg tgctttcgaa

KETERANGAN:
Hasil Alignment G. columna dengan G.sp. ZHF-2009
18S rRNA = 1 - 158
ITS 1 = 159 – 344
5.8S rRNA = 345 – 513
ITS 2 = 514 - 752
28S rRNA = 753 – 1020

Forward primer (ITSZF) = 5’-taa aag tcg taa caa ggt ttc cgt a-3’
Reverse primer (ITSZR) = 5’-cct ccg ctt att gat atg ctt aaa t-3’
Product PCR = 706 bp

Keterangan : primer ITSZF menempel pada posisi ke-106 sampai dengan 130 (yaitu
di daerah 18S RNA) sedangkan primer ITSZR menempel pada posisi
ke-787 sampai dengan 811 (daerah 28 S RNA)
Lampiran 4 Penjajaran berganda nukleotida (612 nt) pada gen sitokrom oksidase sub unit 1 (COI) parsial karang Goniopora spp

!Domain=Data property=Coding CodonStart=1;


[ 111 111 111 122 222 222 223 333 333 333 444 444 444 455 555 555 556 666 666 666 ]
[ 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 ]
#Goniopora_stokesi ATA AGA TTA GAG CCC TCG GCT CCA GGG GAC TAT GTT AGG AGA CGA TCA TCT TTA TAA TGT AAT TGT TAC
#Goniopora_palmensis ... ... ... ... .T. ... ..- .A. ... AG. ... ... ... ... ... ... ... ... ... .A. ... ... ...
#Goniopora_columna ... ... ... ... .T. ... ..- T.C ... .CT ... .CC ... ... ... ... ... ... ... ... ... C.. ...
#Goniopora_norfolkensis ... ... ... ... .T. ... ..- T.C ... .G. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_tenuidens ... ... ... ... .T. ... ..- T.C ... .G. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

[ 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 ]
[ 777 777 777 788 888 888 889 999 999 999 000 000 000 011 111 111 112 222 222 222 333 333 333 ]
[ 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 ]
#Goniopora_stokesi GGC ACA CGC TTT TAT TAT GAT CTT TTT TTT AGT TAT GCC AGT GAT GAT AGG GGG ATT TGG AAA TTG GTT
#Goniopora_palmensis ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_columna ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_norfolkensis ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... G.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_tenuidens ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

[ 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 122 222 222 ]
[ 344 444 444 445 555 555 555 666 666 666 677 777 777 778 888 888 888 999 999 999 900 000 000 ]
[ 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 ]
#Goniopora_stokesi GGT TCC ACT ATA TAT TGG GGC CCC TGA ATT GCC TCA TCC CAC GGC GGA TCA ACG GGA ATC CTG GGC TGT
#Goniopora_palmensis ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... A.. ... ... T.T ... ... ... ..C ... ... ... ...
#Goniopora_columna ... ... ... ... ... ... ... ... ... TA. .G. .T- ... ... ... .T. A.. ... TT. G.T T.T ... ...
#Goniopora_norfolkensis ... ... ... ... ... ... ... ... ... TA. .G. .T- ... ... ... TT. AT. ..A TT. G.T T.T ... ...
#Goniopora_tenuidens ... ... ... ... ... ... ... ... ... TA. .G. .T- ... ... ... TT. AT. ..A TT. G.T T.T ... ...

[ 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 ]
[ 001 111 111 111 222 222 222 233 333 333 334 444 444 444 555 555 555 566 666 666 667 777 777 ]
[ 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 ]
#Goniopora_stokesi AGC CCA CTG CTT TAA TAT TGT TAT TAG GTT CTG CTT TTG TTG AAC AAG GGG CGG GTA CCG GAT GAA CGG
#Goniopora_palmensis ..A .T. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_columna T.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_norfolkensis T.. ..C ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_tenuidens T.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

78
Lampiran 4 lanjutan

[ 222 222 222 222 222 222 222 223 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 ]
[ 777 888 888 888 899 999 999 990 000 000 000 111 111 111 122 222 222 223 333 333 333 444 444 ]
[ 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 ]
#Goniopora_stokesi TTT ATC CTC CTC TGT CTA GCA TTC AGG CCC ATT CTG GCG GGG CGG TGG ATA TGG CTA TTT TTA GTC TCC
#Goniopora_palmensis ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_columna ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_norfolkensis ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_tenuidens ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

[ 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 444 444 444 444 444 ]
[ 444 455 555 555 556 666 666 666 777 777 777 788 888 888 889 999 999 999 000 000 000 011 111 ]
[ 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 ]
#Goniopora_stokesi ACT TAG CTG GGG CGT CCT CGA TTT TGG GCG CAA TGA ATT TTA TAA CAA CTA TAT TTA ATA TGC G-G GCT
#Goniopora_palmensis ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .-. ...
#Goniopora_columna ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .C. ...
#Goniopora_norfolkensis ... ... ... ... ... ... .T. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .-. ...
#Goniopora_tenuidens ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .-. ...

[ 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 ]
[ 111 112 222 222 222 333 333 333 344 444 444 445 555 555 555 666 666 666 677 777 777 778 888 ]
[ 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 ]
#Goniopora_stokesi -CC TGG GAT AAC GTT GAA TAG AAT GCC TTT GTT -TG TGT GGT CTA TCT TGA TTA CTG CTT TTT TAT TAT
#Goniopora_palmensis -.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... -.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_columna A.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... G.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_norfolkensis -.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... A.. -.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_tenuidens A.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... -.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

[ 444 444 444 444 444 455 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 ]
[ 888 888 999 999 999 900 000 000 001 111 111 111 222 222 222 233 333 333 334 444 444 444 555 ]
[ 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 ]
#Goniopora_stokesi TAT TGT CTT TGC CCG TA- TTA GCG GGG GCC ATA A-C CAT GCT TTT AAC -GG AC- AGA AAC TTT AAT ACA
#Goniopora_palmensis ... ... ... ... ... ..C ... ... ... ... ... .T. ... ... ... ... -.. ..- ... ... ... ... ...
#Goniopora_columna ... ... ... ... ... ..- ... ... ... ... ... .-. ... ... ... ... C.. ..G ... ... ... ... ...
#Goniopora_norfolkensis ... ... ... ... ... ..- ... ... ... .G. ... .-. ... ... ... ... -.. ..- ... ... ... ... ...
#Goniopora_tenuidens ... ... ... ... ... ..- ... ... ... ... ... .-. ... ... ... ... C.. ..- ... ... ... ... ...

79
Lampiran 4 lanjutan

555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 556 666 666 666 666 ]
[ 555 555 566 666 666 667 777 777 777 888 888 888 899 999 999 990 000 000 000 111 ]
[ 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 ]
#Goniopora_stokesi ACT TTC TTT GAC CCC GCA GGG GGG GGA GAT CCG ATT TTA TTT CAA CAT TTG TTT TGG TTC
#Goniopora_palmensis ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_columna ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_norfolkensis ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_tenuidens ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

80
Lampiran 5 Penjajaran berganda nukleotida (719 nt) pada gen daerah ITS ribosomal karang Goniopora spp

!Domain=Data property=Coding CodonStart=1;


[ 111 111 111 122 222 222 223 333 333 333 444 444 444 455 555 555 556 666 666 666 ]
[ 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 ]
#Goniopora_norfolkensis CCC CGG GGA AGG CTT TAT TTC CGT TTG GGG ATC TTC CAA AAC CCA CCC CAA AGG GGT TTT CAG ?GG G-A
#Goniopora_stokesi ... T.C ... -.. A.C AT. --A .CG A.A .AC GCA .-. ... ... .TG .-- -.. T.. -.. ... ... T.T .-.
#Goniopora_palmensis T.. T.C ... ... A.C AT. --A .CG A.A .AC GCA .-. .CG .C. ..G .-- -.. ... T.. ... ... T.A .G.
#Goniopora_columna A.. A.. ... --. G.C .T. --. ..G A-- .AC GCA .-. ... .-. .TG .-- -.. T.. -.. ... ... T.T .-.
#Goniopora_tenuidens ..T TC. ... G.. G.. GT. .G. ..G GAA ... .C. .A. ... ... .TG .-- -C. ... ... ..C .C. G.. .T.

[ 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 ]
[ 777 777 777 788 888 888 889 999 999 999 000 000 000 011 111 111 112 222 222 222 333 333 333 ]
[ 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 ]
#Goniopora_norfolkensis ATT GTT AAA TTC AA- -TT TTT GGG GGT TGG GGG GGA TTC CCT TTA AAT TGG GGG GCG CGG GGG TTT TGG
#Goniopora_stokesi ... .-. C.. ... ..- -.. ... A.. ... C.. C.A .-. .G. .G. --T ..A ... --C ... T.. .C. .G. GCT
#Goniopora_palmensis ... .C. C.G ... .G- -.. ... AC. .T. C.. C.A .C. .G. .GG .GT ..A ... A-T ... T.. .C. .G. GCT
#Goniopora_columna ... .-. C.. ... ..- -.. ... A.. ... C.. C.A .-. .G. .G. --T ..A ... --C ... T.. .C. .G. GCT
#Goniopora_tenuidens .A. T.C C.. ... ..A T.. ... A.. ... ... ... AA. AC. ..G .-. ..A ... --. .G. T.. ... .G. CCT

[ 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 122 222 222 ]
[ 344 444 444 445 555 555 555 666 666 666 677 777 777 778 888 888 888 999 999 999 900 000 000 ]
[ 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 ]
#Goniopora_norfolkensis CAA CCC ACA AGG GCC GCA AGT TAA ACC CCC GCC ATT GTG -TT TTT TAC TTC GAA CCG TTA AAC GTT TTG
#Goniopora_stokesi TG- A.G CAC GC. TTT ... C.- .C. G-. ... ... ... ..A G.. .G. GT. A.. A.. .T. .-- ... ..C ...
#Goniopora_palmensis TGT A.. C.C GC. TTG ... C.A .C. GT. ... ... ... A.- -.. .G. GT. A.. ... .T. .-- ... ..C ...
#Goniopora_columna TG- A.G CAC GC. TTT ... C.- .C. G-. ... ... ... ..T -.. .G. GT. A.. A.. .T. .-- ... ..C ...
#Goniopora_tenuidens T.. .G. C.C G.. TTT C.. C.- .T. C-. ... C.. ... T.T -.. .G. .C. A.. A.. .T. .-- ... ... ...

[ 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 ]
[ 001 111 111 111 222 222 222 233 333 333 334 444 444 444 555 555 555 566 666 666 667 777 777 ]
[ 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 ]
#Goniopora_norfolkensis GCC CGG AAA GGT GAA TTA GGC AAA AAC AGG GGC CAA CCT TTT GAC GGT GGA TTT TCT GGG CTC CAC CTT
#Goniopora_stokesi A.T --- G.. A.. ... .-. A.. ..T ..A GA. A.A ... .T. ..G -.. ... ... .C. CT. ..- -CT ... G.A
#Goniopora_palmensis A.T --- G.. A.. ... .-. A.. ..T ..A TA. A.A ..G .T. .GG ... ... ... .C. CT. ..- -CT ... G.A
#Goniopora_columna A.T --- G.. A.. ... .-. A.. ..T ..A GA. A.A ... .T. ..G -.. ... ... .C. CT. ..- -CT ... G.A
#Goniopora_tenuidens A.T --- G.. A.G .G. .-. A.. ..T ..A GA. A.A ... .T. ..G -.. C.G ... .C. CT. ..- -CT ... G.A

81
Lampiran 5 lanjutan

222 222 222 222 222 222 222 223 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 ]
[ 777 888 888 888 899 999 999 990 000 000 000 111 111 111 122 222 222 223 333 333 333 444 444 ]
[ 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 ]
#Goniopora_norfolkensis TCG ATG AAG AAC GCA GCC AGC TTG CGA TAA GTA TTG TGA AAT GGC AGA ATT CAG TGA ATC ATT GAA TCT
#Goniopora_stokesi ... ... ... ... ... ... -AG C.. ... ... ... G.. ... .T. .-. ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_palmensis ... ... .G. ... ..? AT. -AG C.. .C. ... ..T ... ... .T. .-. .A. ... ..C ... ... ... ... ...
#Goniopora_columna ... ... ... ... ... ... -AG C.. ... ... ... G.. ... .T. .-. ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_tenuidens ... ... ... ... ... A.. CAG C.. ... ... ... G.. ... .T. .-. ... ... ... ... ... ... ... ...

[ 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 444 444 444 444 444 ]
[ 444 455 555 555 556 666 666 666 777 777 777 788 888 888 889 999 999 999 000 000 000 011 111 ]
[ 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 ]
#Goniopora_norfolkensis TGA ACC GCA AAT GGC GCT CTA GGG TTT CTC CCA GGA GCA TGT CTG TCT GAG CGT CGG ATA TCA CAC GAA
#Goniopora_stokesi .TG .A. ... ... ... ... ..T ... ..C TC. .AG .A- ... ... ... ... ... T.. ... ... ..T T.. ...
#Goniopora_palmensis .TG .G. ... ... .C. ... ..T ... G.C .C. .AG .A. ... ... ... ... ..T T.. .A. ..? ..T A.. ...
#Goniopora_columna .TG .A. ... ... ... ... ..T ... ..C TC. .AG .A- ... ... ... ... ... T.. ... ... ..T T.. ...
#Goniopora_tenuidens .TG .A. ... ... ... ... ..T ... ..C TC. .AG .A- ... ... ... ... ... T.. ... ... ..T T.. ...

[ 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 ]
[ 111 112 222 222 222 333 333 333 344 444 444 445 555 555 555 666 666 666 677 777 777 778 888 ]
[ 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 ]
#Goniopora_norfolkensis GCG ATC GTG CAT CGA GTG CG? AAT TGA AGG TGT CCC CGA AAA GTG AAA ACA ACT CAG G-C CTT GTC CCC
#Goniopora_stokesi ... ... ... ... ... T.. ..G ... ... -.. ... .A. -.G TG. ... ... ... ... .G. .G. .G. ... ..T
#Goniopora_palmensis ... ... ... ... ... T.. .CG ... CC. -A. ... .A. -AG GG. ... ... C.. ... .G. C-. .G. ... ..T
#Goniopora_columna ... ... ... ... ... T.. ..G ... ... -.. ... .A. -.G TG. ... ... ... ... .G. .-. .G. ... ..T
#Goniopora_tenuidens ... ... ... ... ... T.. ..G C.. ... -.. ... .A. -.G TG. ... ... ... ... .G. .-. .G. ... ..T

[ 444 444 444 444 444 455 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 ]
[ 888 888 999 999 999 900 000 000 001 111 111 111 222 222 222 233 333 333 334 444 444 444 555 ]
[ 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 ]
#Goniopora_norfolkensis CCA AAA GAG GCA AGC TTG GAA AAC CCC GCA CGC CTT TTT ATG AAC CTT TTA AGC AAG CGA GG? GAC CCC
#Goniopora_stokesi .G. ..G ... ... --G C.. CGG .G. .G. A.G ... TA. .A. T.. G-- --. ... .-- T.. ... .-T ... ...
#Goniopora_palmensis .?. ... ... ... --. C.. CGG .G. .G. A.T ... TA. .A. T.. --- --. ... .-- ?.. .A. A-A ... .T.
#Goniopora_columna .G. ..G ... ... --A C.. CGG .G. ... C.C ... T.. .A. T.. --- --. ... .-- ..A ... .TG ... .T.
#Goniopora_tenuidens .G. ..G ... ... --G C.. CGG .G. .G. A.G ... TA. .A. T.. --- --. ... .-- T.. ... .-T ... .T.

82
Lampiran 5 lanjutan
[ 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 556 666 666 666 666 666 666 666 ]
[ 555 555 566 666 666 667 777 777 777 888 888 888 899 999 999 990 000 000 000 111 111 111 122 ]
[ 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 ]
#Goniopora_norfolkensis TTT TTA AAA ACC GCT TTG GGT TCA GGG CCC CAA AGC TAA AAA GGG CAA ATT GCC CCC CGG GGC TAG CCA
#Goniopora_stokesi .A. GA. ... GT- --C A.. ... ... --. TG. GT. G.. ... ... T-- AC. .A. T.. ... ... --. C-A ...
#Goniopora_palmensis .A. GA. ... GTG --. C.. ... ..C ACA TG. .T. ..G G.. ..T A-- A.. ... C.. ... ... --. CTA ..T
#Goniopora_columna .A. GA. ... GT- --C A.. ... .TC A-. GG. GT. G.. ... ... A-- ... ... C.. ... ... --. .-A ...
#Goniopora_tenuidens .A. GA. ... GT- --C A.. ... ... --. TG. GT. G.. ... ..T A-- ... ... C.T ... GT. --. ..C ...

[ 666 666 666 666 666 666 666 666 666 666 666 666 666 666 666 666 666 666 666 666 666 666 666 ]
[ 222 222 223 333 333 333 444 444 444 455 555 555 556 666 666 666 777 777 777 788 888 888 889 ]
[ 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 ]
#Goniopora_norfolkensis TGA AGT TAA AAG GTT CCG GTC CCC CCT TTT TTG TTT --T TTT TTT TAA AAA CAA CCC AAT TTT TTT GGA
#Goniopora_stokesi ... ... -.. .GT -.. A.A .GG T.. .AG ... ..A ..G TG. ..G ... .GT ... A.. ..A ..- -.. ..- -..
#Goniopora_palmensis ... .A. -.. ... -.. ..A .G. ... ... ... ..T ..? -G. ... ... .GT ... A.. ..A ..A CC. ..- -..
#Goniopora_columna ... ... -.. ... ... ..A .GG ... .AG ... ..A ... -G. ... ... .GT ... A.. ..A ..A ... ..- -CC
#Goniopora_tenuidens ... T.. -.G .G. -.. ..A .GG T.. .AG ... ..A ... -G. ..G ... .GT ... ... ..A ..A ..C ..- -..

[ 666 666 666 777 777 777 777 777 777 77]
[ 999 999 999 000 000 000 011 111 111 11]
[ 123 456 789 012 345 678 901 234 567 89]
#Goniopora_norfolkensis CCC CCC AAA AAG GGA GGA T?C CCC CCT AA
#Goniopora_stokesi ... .-A ... .C. ..C A.G GA. ... ?.. G.
#Goniopora_palmensis A.. T-T ... ..A ... A.G GC. ... GG? G.
#Goniopora_columna ..A .-A ... .T. ... AAG GT. ... ..C T.
#Goniopora_tenuidens ..T .AT ..C .GT C.. .C. A?. ... ?T. G.

83
Lampiran 6 Penjajaran berganda nukleotida (599 nt) pada gen sitokrom oksidase sub unit 1 (COI) parsial karang Goniopora spp dan
Porites spp sebagai out group

!Domain=Data property=Coding CodonStart=1;


[ 111 111 111 122 222 2 223 333 333 333 444 444 444 455 555 555 556 666 666 666 77]
[ 123 456 789 012 345 678 902 356 7 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 01]
#P._astreoides_isolate_aBR6 ATA AGA TTA GAG CTC TCG GCC CGG G GGC TAT GTT AGG AGA CGA TCA TCT TTA TAA TGT AAT TGT TAC AG
#Goniopora_tenuidens ... ... ... ... ... ... ... ... . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... G.
#P._compressa ... ... ... ... ... ... ... ... . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..
#P._duerdeni_isolate_HM28 ... ... ... ... ... ... ... ... . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..
#P._cylindrica_isolate_Wa4 ... ... ... ... ... ... ... ... . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..
#Goniopora_norfolkensis ... ... ... ... ... ... ... ... . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... G.
#Goniopora_columna ... ... ... ... ... ... ... ... . .CT ... .CC ... ... ... ... ... ... ... ... ... C.. ... G.
#Goniopora_palmensis ... ... ... ... ... ... ... A.. . A.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... .A. ... ... ... G.
#Goniopora_stokesi ... ... ... ... .C. ... ... ... . .A. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... G.
#Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 ... ... ... ... ... ... ... ... . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... G.

[ 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 11]
[ 7 777 777 788 888 888 889 999 999 999 000 000 000 011 111 111 112 222 222 222 333 333 333 34]
[ 2 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 90]
#P._astreoides_isolate_aBR6 C ACA CGC TTT TAT TAT GAT CTT TTT TTT GGT TAT GCC AGT GAT GAT AGG GGG ATT TGG GAA TTG GTT GG
#Goniopora_tenuidens . ... ... ... ... ... ... ... ... ... A.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... A.. ... ... ..
#P._compressa . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .A
#P._duerdeni_isolate_HM28 . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... C.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..
#P._cylindrica_isolate_Wa4 . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..
#Goniopora_norfolkensis . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... A.. ... ... ..
#Goniopora_columna . ... ... ... ... ... ... ... ... ... A.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... A.. ... ... ..
#Goniopora_palmensis . ... ... ... ... ... ... ... ... ... A.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... A.. ... ... ..
#Goniopora_stokesi . ... ... ... ... ... ... ... ... ... A.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... A.. ... ... ..
#Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 . ... ... ... ... ... ... ... ... ... A.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... A.. ... ... ..

84
Lampiran 6 lanjutan
[ 1 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 111 11 111 111 111 111 111 111 111 122 222 222 222 ]
[ 4 444 444 445 555 555 555 666 666 666 677 777 77 778 888 888 888 999 999 999 900 000 000 001 ]
[ 1 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 235 67 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 ]
#P._astreoides_isolate_aBR6 T TCC ATT ATA TAT TGG GGC ACC TGA TAT GGC TTT CC CAC GGC TTA ATA ACA TTA GTT TTT GGC TGT TGC
#Goniopora_tenuidens . ... .C. ... ... ... ... C.. ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#P._compressa . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#P._duerdeni_isolate_HM28 . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#P._cylindrica_isolate_Wa4 . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_norfolkensis . ... .C. ... ... ... ... C.. ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_columna . ... .C. ... ... ... ... C.. ... ... ... ... .. ... ... G.. .C. ..G ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_palmensis . ... .C. ... ... ... ... C.. ... AT. .C. AC. .. ... T.T GG. TC. ..G GGC A.C C.G ... ... A.A
#Goniopora_stokesi . ... .C. ... ... ... ... C.. ... AT. .C. .C. .. ... ... GG. TC. ..G GG. A.C C.G ... ... A..
#Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 . ... .C. ... ... ... ... C.. ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

[ 222 222 222 222 222 22 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 22 22 222 222 222 222 222 222 ]
[ 111 111 111 222 222 22 233 333 333 334 444 444 444 555 555 555 66 66 666 667 777 777 777 888 ]
[ 123 456 789 012 346 78 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 01 24 567 890 123 456 789 012 ]
#P._astreoides_isolate_aBR6 CCC CTG CTT TAA TAT GT TAT TAG GTT CTG CTT TTG TTG AAC AAG GAG GG GA CCG GAT GAA CGG TTT ATC
#Goniopora_tenuidens ..A ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... .G. .. .. ... ... ... ... ... ...
#P._compressa ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... .G. .. .. ... ... ... ... ... ...
#P._duerdeni_isolate_HM28 ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... .G. .. .. ... ... ... ... ... ...
#P._cylindrica_isolate_Wa4 ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... .G. .. .. ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_norfolkensis ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... .G. .. .. ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_columna ..A ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... .G. .. .. ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_palmensis .TA ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... .G. .. .. ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_stokesi ..A ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... .G. .. .. ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... .G. .. .. ... ... ... ... ... ...

85
Lampiran 6 lanjutan
[ 222 222 222 222 222 23 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 3]
[ 888 888 899 999 999 90 000 000 000 111 111 111 122 222 222 223 333 333 333 444 444 444 455 5]
[ 345 678 901 234 567 90 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 901 2]
#P._astreoides_isolate_aBR6 CTC CTC TAT CTA GCA TC AGG CCC ATT CTG GTG GGG CGG TGG ATA TGG CTA TTT TTA GTC TCC ATT TAG C
#Goniopora_tenuidens ... ... .G. ... ... .. ... ... ... ... .C. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .C. ... .
#P._compressa ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .
#P._duerdeni_isolate_HM28 ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .
#P._cylindrica_isolate_Wa4 ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .
#Goniopora_norfolkensis ... ... .G. ... ... .. ... ... ... ... .C. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .C. ... .
#Goniopora_columna ... ... .G. ... ... .. ... ... ... ... .C. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .C. ... .
#Goniopora_palmensis ... ... .G. ... ... .. ... ... ... ... .C. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .C. ... .
#Goniopora_stokesi ... ... .G. ... ... .. ... ... ... ... .C. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .C. ... .
#Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... .C. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .C. ... .

[ 33 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 444 444 444 44 444 44 444 444 ]
[ 55 555 556 666 666 666 777 777 777 788 888 888 889 999 999 999 000 000 000 01 111 11 112 222 ]
[ 34 567 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 789 012 345 678 91 234 67 890 123 ]
#P._astreoides_isolate_aBR6 TG GGG TGT CCT CGA TTT TGG GTG CAA TGA ATT TTA TAA CAA CTA TAT TTA ATA TGA GG GCC CC TGG GCT
#Goniopora_tenuidens .. ... C.. ... ... ... ... .C. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..C .. ..T .. ... .A.
#P._compressa .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. ... .. ... ...
#P._duerdeni_isolate_HM28 .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. ... .. ... ...
#P._cylindrica_isolate_Wa4 .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. ... .. ... ...
#Goniopora_norfolkensis .. ... C.. ... .T. ... ... .C. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..C .. ..T .. ... .A.
#Goniopora_columna .. ... C.. ... ... ... ... .C. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..C .. ..T .. ... .A.
#Goniopora_palmensis .. ... C.. ... ... ... ... .C. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..C .. ..T .. ... .A.
#Goniopora_stokesi .. ... C.. ... ... ... ... .C. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..C .. ..T .. ... .A.
#Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 .. ... C.. ... ... ... ... .C. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..C .. ..T .. ... .A.

86
Lampiran 6 lanjutan
[ 444 444 444 444 444 444 444 444 44 444 444 444 444 444 444 444 444 444 444 44 444 444 444 44]
[ 222 222 333 333 333 344 444 444 45 555 555 555 666 666 666 677 777 777 778 88 888 888 999 99]
[ 456 789 012 345 678 901 234 567 90 123 456 789 012 345 678 901 234 567 891 23 456 789 012 34]
#P._astreoides_isolate_aBR6 AAC GTT GAA TAG AAT GCC CTT ATT TG TGT GGT CTA TCT TGA TCA CTG CTT TTT TAT AT TAT TGT CTT TG
#Goniopora_tenuidens ... ... ... ... ... ... T.. G.. .. ... ... ... ... ... .T. ... ... ... ... .. ... ... ... ..
#P._compressa ... ... ... ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. ... ... ... ..
#P._duerdeni_isolate_HM28 ... ... ... ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. ... ... ... ..
#P._cylindrica_isolate_Wa4 ... ... ... ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. ... ... ... ..
#Goniopora_norfolkensis ... ... ... ... ... ... T.. ... .. ... ... ... ... ... .T. ... ... ... ... .. ... ... ... ..
#Goniopora_columna ... ... ... ... ... ... T.. G.. .. ... ... ... ... ... .T. ... ... ... ... .. ... ... ... ..
#Goniopora_palmensis ... ... ... ... ... ... T.. G.. .. ... ... ... ... ... .T. ... ... ... ... .. ... ... ... ..
#Goniopora_stokesi ... ... ... ... ... ... T.. G.. .. ... ... ... ... ... .T. ... ... ... ... .. ... ... ... ..
#Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 ... ... ... ... ... ... T.. ... .. ... ... ... ... ... .T. ... ... ... ... .. ... ... ... ..

[ 4 444 455 55 555 555 555 555 55 555 555 555 555 55 555 55 555 555 555 555 555 555 555 555 555 ]
[ 9 999 900 00 000 001 111 111 11 222 222 222 233 33 333 34 444 444 444 555 555 555 566 666 666 ]
[ 5 678 902 34 567 890 123 456 79 012 345 678 901 34 568 90 123 456 789 012 345 678 901 234 567 ]
#P._astreoides_isolate_aBR6 C CCG TAT TA GCG GGG GCC ATA AC CAT GCT TTT AAC GG ATA GA AAC TTT AAT ACT ACT TTC TTT GAT CCT
#Goniopora_tenuidens . ... ... .. ... ... ... ... .. ... ... ... ... .. .C. .. ... ... ... ..A ... ... ... ..C ..C
#P._compressa . ... ... .. ... ... ... ... .. ... ... ... ... .. .C. .. ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#P._duerdeni_isolate_HM28 . ... ... .. ... ... ... ... .. ... ... ... ... .. .C. .. ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#P._cylindrica_isolate_Wa4 . ... ... .. ... ... ... ... .. ... ... ... ... .. .C. .. ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_norfolkensis . ... ... .. ... ... .G. ... .. ... ... ... ... .. .C. .. ... ... ... ..A ... ... ... ..C ..C
#Goniopora_columna . ... ... .. ... ... ... ... .. ... ... ... ... .. .C. .. ... ... ... ..A ... ... ... ..C ..C
#Goniopora_palmensis . ... ... .. ... ... ... ... .. ... ... ... ... .. .C. .. ... ... ... ..A ... ... ... ..C ..C
#Goniopora_stokesi . ... ... .. ... ... ... ... .. ... ... ... ... .. .C. .. ... ... ... ..A ... ... ... ..C ..C
#Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 . ... ... .. ... ... ... ... .. ... ... ... ... .. .C. .. ... ... ... ..A ... ... ... ..C ..C

87
Lampiran 6 lanjutan
555 555 555 555 555 555 555 555 555 555 55]
[ 667 777 777 777 888 888 888 899 999 999 99]
[ 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 89]
#P._astreoides_isolate_aBR6 GCA GGG GGG GGA GAT CCG ATT TTA TTT CAA CA
#Goniopora_tenuidens ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..
#P._compressa ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..
#P._duerdeni_isolate_HM28 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..
#P._cylindrica_isolate_Wa4 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..
#Goniopora_norfolkensis ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..
#Goniopora_columna ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..
#Goniopora_palmensis ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..
#Goniopora_stokesi ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..
#Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..

88
Lampiran 7 Penjajaran berganda nukleotida (644 nt) pada gen daerah ITS ribosomal parsial karang Goniopora spp dan Porites spp
sebagai out group

!Domain=Data property=Coding CodonStart=1;


[ 11 11 122 2 223 333 33 344 4 444 44 455 5 555 6 666 66 666 777 777 778 8 888 888 889 9]
[ 23 456 789 02 38 956 7 890 123 46 801 2 345 68 901 4 569 0 124 56 789 012 345 670 1 234 567 890 1]
#P._compressa AA AGA ATC CG TA AAT C ATT AAC CG GTG A ACT GG AAA C AAC T TTA GG GGT CGG CAC AGG C GTG TGT CGT T
#P._astreoides_isolate_aBR6-1 G. TAG ... TA A. ..A . ... ... .. ... . ..C .A ... . ... . ... .. ... ... ... ... . ... ... ... .
#P._astreoides_isolate_aBR6-2 G. TAG ... TA A. ..A . ... ... .. ... . ... .A ... . ... . ... .. ... ... ... ... . ... ... T.. .
#P._duerdeni_isolate_HM28 G. .A. ... .A G. ... . ... ... .. ... . ... .A C.. . ... . ... .. ... ... ... ... . ... ... ... .
#P._cylindrica_isolate_Wa4 G. .A. ... .A G. ... . ... ... .. ... . ... .A C.. . ... . ... .. ... ... ... ... . ... ... ... .
#Goniopora_stokesi G. C.C ... .A AG C.. G GG. TTT .. ... . .T. .T C.. . ..T . ... .. ... ... .GA GAT G CC. .TA AA. G
#Goniopora_palmensis G. C.C ... .. AG C.G G TG. TTT .. .G. . .T. .T C.G . .GT . ... C. .T. ... .GA GC. . CG. ... AAA .
#Goniopora_columna G. C.C ... .A AG C.. G GG. TTT .. ... . .T. .T C.. . ..T . ... .. ... ... .GA GAT G CC. .TA AA. G
#Goniopora_norfolkensis GG .TC T.. .A A. C.G G GG. TTT .. .G. . .T. .T ... . ..T . ..G .. ... T.. GGG G.T . CCT .TA AA. .
#Goniopora_tenuidens GG .CC TA. .A AG CGG G G.. TC. .. .GT . .A. TC C.. . ..T . ... .. ... T.. GGG .AC . CC. .AA AA. G
#Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 G. T.C ... .A AG C.. G GG. TTT .. ... . ... .T C.. . ..T . ... .. ... ... .GA GAT G CC. .TA AA. G

[ 111 111 111 111 1 111 111 11 111 111 111 111 111 111 111 111 1 111 111 111 111 111 111 ]
[ 99 999 000 000 000 011 1 111 112 22 222 222 333 333 344 444 444 445 5 555 555 666 666 667 777 ]
[ 23 456 012 345 678 923 4 567 891 23 456 789 012 378 901 234 567 890 3 456 789 012 345 671 238 ]
#P._compressa AA ATG GAT AGG TTC CCC G CCA GCC CG CCA TTG TGT TGA TAT CAC TTT GAA T TTA AGA CTG AGA ACT GTC
#P._astreoides_isolate_aBR6-1 .. ... ... ... ... ... . ... ... .. ... ... ... .T. ... ... ... ... C .A. ... ... ... ..A ..G
#P._astreoides_isolate_aBR6-2 .. ... ... ... ... ... . ... ... .. ... ... ... .T. ... ... ... ... . .A. ... ... ... ..A ..G
#P._duerdeni_isolate_HM28 .. ... ... ... ... ... . ... ... .. ... ... ... .T. ... ... ... ... . .A. ... ... ... ... ...
#P._cylindrica_isolate_Wa4 .. ... ... ... ... ... . ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... . ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_stokesi GC GC. TGG GC. .GT GTG A .GC A.G .. TTT GCA C.. CAG CCC .G. CA. TGT . ..G T.T .AT CA. ... ..A
#Goniopora_palmensis GG ... TGG GC. .GT GTG T A.C C.G .. TTG GCA C.A ..T CCC .G. CA. T.T . ..G T.T .AT C.. ... ..A
#Goniopora_columna GC GC. TGG GC. .GT GTG A .GC A.G .. TTT GCA C.. CAG CCC .G. CA. TGT . ..G T.T .AT CA. ... ..A
#Goniopora_norfolkensis GG GG. CGG G.. ..T T.A A ..C A.A G. G.C GCA A.. .AC CCC .G. CA. TGT . ..T TT. ..T C.. ..C ..A
#Goniopora_tenuidens GG GG. TGG G.. .GT .TA A .GC C.G G. TTT CCA C.. .AC CCC .C. CA. TTT . ..G TTC .AT CA. ... ..A
#Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 GC GC. TGG G.. .GT G.G A .GC A.A .. TGC GCA C.. CAG CCC .G. CA. TGT . ..G T.T .AT CA. ... ..A

89
Lampiran 7 lanjutan
[ 1 111 111 111 1 111 122 222 2 222 222 2 222 222 222 22 222 222 222 222 222 222 222 222 222 222 ]
[ 8 888 888 889 9 999 900 000 1 111 111 1 222 222 222 33 333 333 334 444 444 444 555 555 566 666 ]
[ 0 123 456 784 5 678 901 289 0 123 478 9 012 345 678 01 234 567 890 123 456 789 345 678 901 234 ]
#P._compressa T GCA TTA AAG T ATG AGA AGA A AGA AAT G AGA GAC AAC TT TTG ACG GTG GAT CTC TTG CTC ACG TAT CGA
#P._astreoides_isolate_aBR6-1 . .TG .GC G.. . GCA TT. .AG . .AG .GA A .A. ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#P._astreoides_isolate_aBR6-2 . .TG .GC G.. . GCA TT. .AG . .AG .GA A .A. ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#P._duerdeni_isolate_HM28 . ... ... ... . ... ... ... . ... ... . ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#P._cylindrica_isolate_Wa4 . ... .G. ... . ... ... ... . ... ... . ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_stokesi C .TC ..G .C. A .A. T.. .T. . GC. ..A . ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_palmensis C .TC ..G .C. A .A. T.. .T. . GC. ..A T ... ... .G. .. GG. ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_columna C .TC ..G .C. A .A. T.. .T. . GC. ..A . ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_norfolkensis C .TT ..G GC. A .A. GTG .T. G GC. ..C A G.G .C. ... .. ... ... ... ... T.T C.. TC. ..C .T. ...
#Goniopora_tenuidens C .TT ..G .C. A .A. G.G .T. . GC. ..A . ... ... ... .. ... ..C .G. ... ... ... ... ... ... ...
#Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 C .TT ..G .C. A .A. T.. .T. . .T. ..A . ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

[ 222 222 222 22 222 2 222 222 222 222 222 223 333 33 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 3]
[ 666 667 777 77 778 8 888 888 899 999 999 990 000 00 000 111 111 111 122 222 222 223 333 333 3]
[ 567 890 123 46 780 2 345 678 901 234 567 890 123 56 789 012 345 678 901 234 567 890 123 456 7]
#P._compressa TGA AGA ACG CG CCG C TGC GAT ATG TAG TGT GAA TTG CA GAA TTC AGT GAA TCA TTG AAT CTT TGA ACG C
#P._astreoides_isolate_aBR6-1 ... ... ... .. ... . ... ... ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .
#P._astreoides_isolate_aBR6-2 ... ... ... .. ... . ... ... ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .
#P._duerdeni_isolate_HM28 ... ... ... .. ... . ... ... ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .
#P._cylindrica_isolate_Wa4 ... ... ... .. ... . ... ... ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .
#Goniopora_stokesi ... ... ... .. ... . ... ... .A. ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .
#Goniopora_palmensis ... G.. ... .A T.. . ... C.. .A. .TT ... ... ... .. A.. ... .C. ... ... ... ... ... ... G.. .
#Goniopora_columna ... ... ... .. ... . ... ... .A. ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .
#Goniopora_norfolkensis ... ... ... .. ... T ... ... .A. ..T ... ... A.. .. ... ... ... ... ... ... ... ... GA. C.. .
#Goniopora_tenuidens ... ... ... .A ..A . ... ... .A. ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .
#Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 ... ... ... .. ... . ... ... .A. ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .

90
Lampiran 7 lanjutan
33 333 333 333 333 333 33 333 333 333 333 333 333 333 333 333 333 33 3 333 333 444 444 444 44]
[ 33 444 444 444 455 555 55 556 666 666 666 777 777 777 788 888 888 89 9 999 999 000 000 001 11]
[ 89 012 345 678 901 234 57 890 123 456 789 012 345 678 901 234 567 80 3 456 789 012 345 670 23]
#P._compressa AA ATG GCG CTC TTG GGT TC TCC CAG GAG CAT GTC TGT CTG AGT GTC GGA TT T ATC GAA CGC ACT CGT GA
#P._astreoides_isolate_aBR6-1 .. ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. . ... ... ... G.A T.. .T
#P._astreoides_isolate_aBR6-2 .. ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. . ... ... ... G.A T.. .T
#P._duerdeni_isolate_HM28 .. ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. . ... ... ... ... ... ..
#P._cylindrica_isolate_Wa4 .. ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. . ... ... ... ... ... ..
#Goniopora_stokesi .. ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. . .CG A.G ..A T.G T.. ..
#Goniopora_palmensis .. ... C.. ... ... ..G .. C.. AG. A.. ... ... ... ... .T. ... A.. .. A .CG A.G ..A T.G T.. ..
#Goniopora_columna .. ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. . .CG A.G ..A T.G T.. ..
#Goniopora_norfolkensis .. ... ... ... .A. ... .. ... ... ... ... ... ... ... ..C ... ... .. C .CG A.G ..A T.G T.. ..
#Goniopora_tenuidens .. ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. . .CG A.G ..A T.G T.. ..
#Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 .. ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. . .CG A.G ..A T.G T.. ..

[ 4 444 44 444 444 44 444 444 44 444 444 444 444 444 44 44 444 444 444 44 444 444 444 444 444 44]
[ 1 111 12 222 222 22 333 333 33 344 444 444 455 556 66 66 677 777 777 78 888 888 888 999 999 99]
[ 4 567 80 123 457 89 012 346 78 901 234 567 823 453 45 68 901 234 567 80 123 456 789 012 345 67]
#P._compressa G TGC GT ATT GAG GT GTC ACG GC GTG TTA GCA AAG CAA AT CC CGT GTC CCT TA AGG ACA GCA GCA TTG GA
#P._astreoides_isolate_aBR6-1 . ... .. ... ... .. ... ... .. ... ... .AT C.. ATT .. .. ... ... ... .. ... ... ... ... ... ..
#P._astreoides_isolate_aBR6-2 . ... .. ... ... .. ... ... .. ... ... .AT C.. ATT .. .. ... ... ... .. ... ... ... ... ... ..
#P._duerdeni_isolate_HM28 . ... .. ... ... .. ... ... .. ... ... ... ... ... .. .. ... ... ... .. ... ... ... ... ... ..
#P._cylindrica_isolate_Wa4 . ... .. ... ... .. ... ... .. ... ... ... ... ... .. .. ... ... ... .. ... ... ... ... ... ..
#Goniopora_stokesi T ... .A ... ... .. ... ... .T .A. .G. AA. C.A .TC GG G. ... ... ... C. .A. GAG ... ..T GC. ..
#Goniopora_palmensis T ... CA ..C C.A .. ... ..A .G .A. .G. AAC C.A .TC GG .. ... ... ... C. .AA GAG ... C.T GC. ..
#Goniopora_columna T ... .A ... ... .. ... ... .T .A. .G. AA. C.A .TC GG G. ... ... ... C. .A. GAG ... A.T GC. ..
#Goniopora_norfolkensis . ... .A ... ... .. ... C.. AA AA. .G. AA. C.A .TC .G G. .T. ... ..C C. .AA GAG ... AGC ... ..
#Goniopora_tenuidens T ... .C ... ... .. ... ... .T .A. .G. AA. C.A .TC GG G. ... ... ... C. .A. GAG ... ..T GC. ..
#Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 T ... .A ... ... .. ... ... .A .A. .G. TA. C.A .TC GG G. ... ... ... C. .A. GAG ... ..T GC. .G

91
Lampiran 7 lanjutan
[ 5 555 555 555 555 555 55 555 555 555 555 55 555 555 555 555 555 555 555 555 555 5 555 555 556 ]
[ 0 000 001 111 111 112 22 222 233 333 344 44 444 555 555 555 566 666 667 777 777 7 888 888 880 ]
[ 4 567 890 123 456 783 45 678 934 567 824 56 789 012 345 678 934 567 890 123 456 9 012 345 691 ]
#P._compressa C GCA TTC TCT ATT GAA AC TTG ATG CGA AGC TA AAG ATA ATA TTT TTC GCT CAA ACA TGC T AGC AGA ACT
#P._astreoides_isolate_aBR6-1 . ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... .. ... ..G ... ... ... ..C .C. .A. .C. . ..G ..G .A.
#P._astreoides_isolate_aBR6-2 . ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... .. ... ..G ... ... ... ..C .C. .A. .C. . ..G ..G .A.
#P._duerdeni_isolate_HM28 . ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ..C ... ... ... . ... ... .A.
#P._cylindrica_isolate_Wa4 . ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ..C ... ... ... . ... ... .A.
#Goniopora_stokesi . ... CG. G.. ... ATG GT ..A .A. ... GA. CC T.T GA. .A. G.C A.G .G. TC. GTG C.T A G.. TA. .TC
#Goniopora_palmensis . ... C.. G.. ... ATT GT ..A .A. .A. .A. .C T.T GA. .A. G.G ..G .G. TCC ... ... A ..G GA. .AC
#Goniopora_columna . C.C CC. G.. T.. ATT GT ..A .AA ... GA. .C T.T GA. .A. G.C AGG .T. TC. GGG C.T A G.. TA. .AC
#Goniopora_norfolkensis . ... CG. CT. T.. ATC TT ..A .A. ... GA. CC TTT T.. .A. ACC G.G .G. TC. GGG CC. A ... TA. .GC
#Goniopora_tenuidens . ... CG. G.. ... ATT GT ..A .A. ... GA. .C T.T GA. .A. G.C A.G .G. TC. GTG C.T A G.. TA. .AC
#Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 . ... CG. G.. ... ATT GT ..A .G. ... GA. .C T.T GA. .A. AG. C.G .G. TC. GTG C.T A G.. TA. .AC
Lampiran 7 lanjutan
[ 66 666 66 666 6 6 666 666 666 66 666 666 66]
[ 00 111 11 111 2 2 222 223 333 33 333 444 44]
[ 23 013 45 678 1 4 567 890 123 46 789 012 34]
#P._compressa CC AAC AA AGC T A GTG ACA ATA AC ATC AAA TC
#P._astreoides_isolate_aBR6-1 .. ... .. ... A G ... ... .A. .A T.. ... ..
#P._astreoides_isolate_aBR6-2 .. ... .. ... A G ... ... .A. .A T.. ... ..
#P._duerdeni_isolate_HM28 .. ... .. ... . . CA. ... ... .. ... ... ..
#P._cylindrica_isolate_Wa4 .. ... .. ... . . CA. .G. ... .. ... ... ..
#Goniopora_stokesi .. C.. C. T.A . . AA. TTT .C. GG TC. C.G .T
#Goniopora_palmensis .. CT. CT T.A . . AAA GTT CC. G. CC. CCT .T
#Goniopora_columna .. T.. C. T.A . . AA. GTT CC. GG CC. C.G .T
#Goniopora_norfolkensis .. T.. C. T.A . . AA. GTT CCG G. CC. CCT .T
#Goniopora_tenuidens T. T.. C. T.A . . .A. GTT CC. GG TC. C.G .T
#Goniopora_sp._ZHF-2009_isolate_Wa3 .T T.. C. T.A . . .A. GTT CGG GT CC. .GT .T

92
96

Lampiran 8 Persentase tutupan dan keanekaragaman substrat bentik di lokasi


penelitian di Kepulauan Seribu (Sumber: Nggajo 2009)

Timur Pramuka Utara Pramuka Barat Panggang Selatan Panggang Utara Belanda Selatan Belanda Timur K. Angin Barat K. Bira
No Kategori
1 2 3 4 5 6 7 8
I KARANG KERAS 18.13 23.84 27.29 54.35 39.41 21.08 28.90 45.18
Acropora
1 ACB-Acropora Branching 0.28 1.26 3.67 4.35 17.01 0.49 7.34 10.09
2 ACD-Acropora Digitate 0.00 0.00 0.37 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00
4 ACS-Acropora Submassive 0.00 1.43 0.00 0.00 0.45 0.21 0.00 0.00
5 ACT-Acropora Tabulate 1.97 3.95 2.92 0.00 0.59 2.08 0.10 0.00
Non-Acropora
6 CB-Coral Branching 1.12 1.76 0.52 0.93 1.39 0.17 3.55 1.07
7 CE-Coral Encrusting 3.98 2.35 0.75 0.93 2.92 10.07 2.16 12.63
8 CF-Coral Foliose 2.86 0.95 0.07 29.50 4.65 3.75 10.96 11.27
9 CM- Coral Massive 4.97 9.01 10.04 17.79 1.94 1.35 1.10 6.04
10 CMR-Coral Mushroom 1.03 0.03 0.22 0.22 8.13 1.42 2.46 0.59
11 CS-Coral Submassive 1.92 2.85 8.70 0.62 2.33 1.53 1.20 3.34
12 CML-Coral Millepora 0.00 0.25 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.15
II KARANG MATI 16.35 24.17 25.11 19.74 16.11 42.19 23.92 35.68
1 Karang mati ber-alga 15.60 9.01 22.94 17.35 14.10 33.85 17.71 26.39
2 Karang mati lama 0.00 13.91 1.87 1.33 1.88 8.30 6.05 8.67
3 Karang mati baru 0.75 1.26 0.30 1.06 0.14 0.03 0.17 0.62
III ALGA 12.04 2.10 0.67 2.26 1.91 0.97 1.73 2.13
1 Alga assemblage 0.14 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06
2 Coralline alga 6.42 0.17 0.00 0.13 1.84 0.42 0.10 0.18
3 Halimeda 0.00 0.00 0.00 0.09 0.00 0.07 0.17 0.00
4 Macroalga 4.40 1.93 0.30 2.00 0.03 0.24 0.56 0.95
5 Turf alga 1.08 0.00 0.37 0.04 0.03 0.24 0.90 0.95
IV FAUNA LAIN 3.19 1.51 12.22 1.06 0.31 0.73 1.16 3.17
1 Others 0.61 1.37 1.35 0.35 0.31 0.73 0.47 1.30
2 Karang lunak 0.52 0.03 10.72 0.71 0.00 0.00 0.70 0.00
3 Sponge 1.97 0.11 0.15 0.00 0.00 0.00 0.00 1.86
4 Zoanthids 0.09 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
V ABIOTIK 50.28 48.38 34.71 22.58 42.26 35.03 44.29 13.85
1 Batu 13.50 10.91 0.00 0.22 0.00 0.14 0.03 0.00
3 Pasir 3.98 4.67 4.35 4.26 2.12 14.27 2.86 7.16
4 Endapan lumpur 0.19 0.28 0.00 1.55 0.00 0.00 0.00 0.06
4 Patahan karang 32.61 32.51 30.36 16.55 40.14 20.63 41.40 6.63
5 Air 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
97

Lampiran 9 Persentase tutupan genus karang keras di lokasi penelitian di


Kepulauan Seribu (Sumber: Nggajo 2009)

Timur Utara Barat Selatan Utara Selatan Timur K. Barat K.


Pramuka Pramuka Panggang Panggang Belanda Belanda Angin Bira
1 2 3 4 5 6 7 8
I KARANG KERAS 18.13 23.84 27.29 54.35 39.41 21.08 28.90 45.18
Genera
1 Acropora 2.25 6.63 6.97 4.35 18.06 2.78 7.48 10.09
2 Astrangia 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
3 Astreopora 0.00 0.25 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.89
4 Coelosoris 0.00 0.70 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
5 Ctenactis 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
6 Cyphastrea 0.05 0.48 0.00 0.53 0.00 0.35 0.20 0.38
7 Diploria 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
8 Favia 0.33 1.12 0.07 0.44 0.07 0.24 0.07 0.36
9 Favites 0.61 0.25 0.00 0.00 0.00 0.03 0.40 0.36
10 Fungia 0.23 0.03 0.22 0.22 7.85 1.39 2.46 0.59
11 Galaxea 0.05 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.17 0.03
12 Goniastrea 0.33 0.42 0.30 0.00 0.00 0.21 0.00 0.33
13 Goniopora 1.12 1.01 1.00 17.13 1.49 0.14 0.00 0.06
14 Heliofungia 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00
15 Herpolitha 0.80 0.00 0.00 0.00 0.24 0.03 0.00 0.00
16 Hydnophora 0.00 1.12 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03
17 Leptoria 2.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
18 Lobophyllia 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.06
19 Millepora 0.00 0.25 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.15
20 Montastraea 0.09 0.00 0.00 0.09 0.00 0.00 0.00 0.44
21 Montipora 1.83 3.25 9.22 4.21 6.53 10.83 12.26 8.58
22 Mycedium 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
23 Pachyseris 4.08 0.00 0.00 0.00 0.00 0.31 0.33 1.21
24 Pavona 0.00 0.70 0.00 26.44 0.56 0.24 0.27 2.69
25 Pectinia 0.28 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.21
26 Platygyra 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06
27 Plerogyra 0.05 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06
28 Plesiastrea 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00
29 Pocillopora 0.05 0.34 0.00 0.00 0.00 0.31 0.00 0.00
30 Podabacia 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00
31 Porites 3.28 6.35 8.97 0.00 1.49 3.33 2.49 11.24
32 Scapophyllia 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
33 Seriatopora 0.42 0.11 0.52 0.89 1.25 0.14 2.36 0.00
34 Stylophora 0.00 0.50 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
35 Symphyllia 0.19 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00
36 Trachyphylia 0.00 0.20 0.00 0.04 0.14 0.28 0.03 0.56
37 Turbinaria 0.00 0.00 0.00 0.00 1.67 0.42 0.33 5.80
Indikator Keanekaragaman
S (jumlah genus) 19 23 7 10 13 17 15 22
H' (SW Index) 2.30 2.15 1.26 1.31 1.60 1.65 1.65 2.05

You might also like