You are on page 1of 16

ISSN 2088-5415 (Print)

ISSN 2355-5777 (Online)


https://jurnal.ugm.ac.id/kawistara/index
https://doi.org/ 10.22146/kawistara.52182

JURNAL KAWISTARA
VOLUME 10 No. 1, 22 April‑ 2020 Halaman 1—16

Sakpada-pada:
Jalan tengah kesetaraan
di pedesaan Jawa, 1850 – 2010
Sakpada-pada
A middle path of equality in rural Java, 1850s – 2010s

*Pujo Semedi
Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
pujosemedi@ugm.ac.id

Submitted: 04-12-2019; Revised: 16-05-2020; Accepted:16-05-2020

ABSTRACT
This study discusses the praxis of human equality among mountains farming communities in
Petungkriyono Subdistrict, Pekalongan, Central Java, through long-term historical-ethnographic
observations on local political and economic activities in village head election and livestock raising.
Village communities are always divided by hierarchical social structures between ordinary citizens
and the elite. From time to time the elite and the rich continue to face social-economic guerrilla from
ordinary citizens and social-economic competition from their peers. The interest of villagers is not to
erase hierarchical structures but rather to stem elite pressure, while at the same time maintaining hopes,
ideals and striving to experience increased social mobility, becoming residents of the upper social layers
in society. In more straight forward language, they do not move to erase the differences between rich
and poor but aspire and work to become rich. These ideals are built on the ideology of human equality
that humans have the same right to live regardless of poor or rich, elite or villagers.

Keywords: Farming Communities; Hierarchical Social Structures; Human Equality; Pekalongan;


Petungkriyono.

ABSTRAK
Studi ini membahas praksis kesetaraan manusia di kalangan masyarakat petani pegunungan di
Kecamatan Petungkriyono, Pekalongan, Jawa Tengah, melalui pengamatan historis-etnografis jangka
panjang pada kegiatan politik dan ekonomi lokal pemilihan kepala desa dan pemeliharaan ternak.
Masyarakat desa selalu terbelah oleh struktur sosial hierarkis antara warga biasa dan elit. Dari waktu
ke waktu elit dan orang kaya terus menghadapi gerilya sosial-ekonomi dari warga biasa dan kompetisi
sosial-ekonomi dari sejawatnya. Kepentingan warga desa bukanlah menghapus struktur hierarkis,
tetapi lebih pada membendung tekanan elit, sambil pada saat yang sama memelihara harapan, cita-
cita dan berupaya untuk mengalami mobilitas sosial naik, menjadi penghuni lapis sosial atas dalam
masyarakat. Dalam bahasa yang lebih lugas, mereka tidak bergerak untuk menghapus perbedaan kaya
dan miskin, tetapi bercita-cita dan berusaha menjadi orang kaya. Cita-cita ini dibangun di atas ideologi

*Corresponding author: pujosemedi@ugm.ac.id.


Copyright© 2020 THE AUTHOR (S). This article is distributed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike
4.0 International license. Jurnal Kawistara is published by the Graduate School of Universitas Gadjah Mada.

1
Kawistara, Vol. 10, No. 1, 22 April 2020: 1-16

kesetaraan manusia bahwa manusia memiliki urbanized (Rigg dan Vandergeest, 2012; Semedi
hak hidup yang sama tidak perduli miskin atau 2014; Li 2015; 2017).
kaya, elit atau warga desa biasa. Berkat koneksi yang makin lancar dengan
Kata Kunci: Ideologi Kesetaraan Manusia; pasar, sejak abad ke 20 ekonomi masyarakat desa
Masyarakat Petani; Pekalongan; Petungkriyono; tumbuh pesat sehingga wajah pedesaan menjadi
Struktur Sosial Hierarkis. penuh warna, aura, dan tanda kemakmuran,
yang ternyata dibarengi oleh makin lebarnya
PENGANTAR ketimpangan, inequality (Breman, 2000: 3931).
Artikel ini membahas dinamika sosial di Warga desa mengalami mutasi sosial-ekonomi
kalangan masyarakat pedesaan Petungkriyono, dengan kecepatan yang tidak sama, penduduk
kawasan desa tua yang sudah berdiri setidaknya yang miskin menjadi kaya dan yang kaya
sejak abad ke 10, di pegunungan Pekalongan menjadi sangat kaya sekali, sehingga dari waktu
Selatan, Jawa Tengah. Secara administratif ke waktu perbedaan sosial-ekonomi di antara
kecamatan ini merupakan bagian dari Kabupaten mereka menjadi semakin lebar. Dinamika ini
Pekalongan namun bahasa dan kehidupan seni sama sekali berbeda dengan imajinasi umum
masyarakatnya bercorak Banyumasan. Pada seperti yang dibentuk oleh Rhoma Irama (1980)
dasarnya masyarakat Petungkriyono tidak beberapa dekade silam: “Yang kaya makin kaya,
banyak berbeda dengan masyarakat pedesaan yang miskin makin miskin”. Sebagai ilustrasi,
lain di pegunungan Jawa, di mana para petani pada dekade 1950an dulu hanya orang kaya
hidup dari kegiatan ganda budidaya subsisten di Petungkriyono yang memiliki sapi, itupun
dan tanaman pasar. Ketika memulai riset tahun hanya tiga atau empat ekor sapi kurus tak
1984 kecamatan ini tidak dapat dijangkau berdaging. Setengah abad kemudian, setiap
dengan kendaraan bermotor, beberapa tahun rumah tangga petani memiliki rata-rata tiga ekor
kemudian secara bertahap jalan mulai terbuka sapi, sementara petani kaya tercatat memiliki
dan pada tahun 2000 semua dusun sudah dapat 100 ekor sapi. Pertanyaannya kemudian adalah
dijangkau kendaraan. Mungkin tidak ada yang bagaimana warga desa lapis bawah menyikapi
unik dari wilayah kecamatan dengan sembilan ketidaksetaraan yang datang dalam satu paket
desa ini, tetapi melalui pengamatan terlibat dengan peningkatan kemakmuran. Apakah
sejak tahun 1984 hingga saat ini disertai dengan konsep James Scott (1985; 1990) mengenai
pemeriksaan arsip jangka panjang, didapatkan resistensi dapat dioperasikan untuk memahami
data rinci tentang berbagai relasi sosial yang dinamika sosial masyarakat petani dewasa ini?
berlangsung di kalangan para petani dan Data etnografis saya kumpulkan melalui
bagaimana relasi tersebut berubah sejak abad pengamatan terhadap kegiatan hidup sehari-
ke 19—yang menurut Robert Elson (1997) hari di kalangan petani dan pengurus desa,
merupakan awal dari hari-hari akhir dunia wawancara semi-terstruktur dengan petani,
petani, the end of peasantries, di Asia Tenggara. lelaki dan perempuan, pengurus desa, guru,
Secara pelan namun pasti dalam dua abad pedagang ternak dan hasil bumi, dan staf
terakhir ini dunia petani dengan latar sosial kecamatan. Sejumlah survei rumah tangga
pedesaannya berubah, dari semula masyarakat dan unit pertanian saya laksanakan tahun 2007,
tertutup menjadi masyarakat terbuka di mana 2009 dan 2020. Data arsip dikumpulkan dari
tanah sebagai faktor produksi utama dapat Arsip Nasional Jakarta dan Arsip Nasional Den
dibeli oleh siapa saja; dari penghasil produk Haag. Sejak tahun 2019 mengakses arsip yang
pertanian skala kecil untuk keperluan subsisten dikoleksi oleh Perpustakaan Nasional Belanda
menjadi pemasok permintaan pasar; dari melalui layanan digital delpher.nl.
masyarakat pertukaran tenaga kerja menjadi
masyarakat tenaga kerja upahan. Studi-studi PEMBAHASAN
pedesaan lebih lanjut menunjukkan wajah Dinamika sosial masyarakat desa
pedesaan di Asia Tenggara yang memang Ketimpangan sama sekali bukan perkara
berubah menjadi wilayah yang mengota— baru dan kehidupan masyarakat, “No human

2
Pujo Semedi -- Sakpada-Pada:
Jalan Tengah Kesetaraan di Pedesaan Jawa, 1850 – 2010

society is a completely integrated society. In any Strategi menunggang angin, memanfaat­


community there are hidden or overt forms of protest kan struktur hierarkis makin mudah dilakukan
against the prevalent hierarchical structure” (W.F. karena selama abad ke 20 struktur hierarkis di
Wertheim, 1965:26). Petani, demikian dalam dalam desa mengalami pembukaan dan elit
pandangan James Scott (1985) menyelesaikan bukan lagi menjadi kekuatan dominan di dalam
kesulitan ini dengan mengembangkan per­ desa. Intervensi pemerintah melalui berbagai
lawanan senyap sehari-hari melalui pencurian program pengembangan infra-struktur dan
kecil-kecilan, penggelapan, berlambat-lambat, pelayanan masyarakat membuat elit desa
pendudukan lahan dalam rangka mencegah harus tunduk pada kekuatan politik-ekonomi
pengambilalihan surplus produksi oleh elit supra desa yang jauh lebih perkasa. Intervensi
dan menjaga, memperbesar akses terhadap relasi pasar ke dalam kehidupan desa juga
faktor produksi. Resistensi sehari-hari petani membuat monopoli elit terhadap kepemilikan
ini menurut Scott (1990) dijalankan melalui lahan kehilangan daya dominasinya karena
penerapan transkrip ganda publik dan pasar membuka berbagai peluang ekonomi
tersembunyi—sebanding dengan konsep baru yang tidak semata-mata bergantung pada
Erving Goffman (1956) panggung depan dan penguasaan tanah (Hayami, 2001). Para petani
panggung belakang namun lebih sarat muatan dengan sigap memanfaatkan kesempatan
politis. Transkrip publik yang penuh ekspresi baru ini untuk meraih cita-cita menjadi orang
kepatuhan dipakai saat petani berhadapan makmur, namun elit desa juga tidak kalah
dengan elit dan transkrip blak-blakan yang sigap dan mereka berada pada posisi awal
dipakai di kalangan mereka sendiri, di belakang yang lebih menguntungkan. Apalagi ada
punggung kaum atasan. kecenderungan bahwa program-program
Persoalannya, sejarah menunjukkan pelayanan masyarakat dan peningkatan
betapapun hebatnya protes petani, hierarki infra-struktur pemerintah lebih membantu
sosial—beserta segala efek simbolik, sosial, kelompok mampu dalam lingkungan desa
politik dan ekonominya—tidak mengendor. (Antlöv, 2002; Yamauchi, 2010). Hasilnya
Justru dari zaman ke zaman hierarki sosial adalah pertumbuhan kemakmuran desa yang
di desa cenderung makin kokoh dan mapan. diiringi pelebaran perbedaan sosial-ekonomi di
Gelombang perlawanan yang dilancarkan antara warganya.
petani paling banter hanya mengganti penghuni Frans Husken (1998) menafsirkan
lapis sosial atas, tetapi tidak mengubah proses diferensiasi sosial di pedesaan Jawa
struktur. Perlawanan keras melalui berbagai berlangsung lewat penyingkiran orang kecil
gerakan Ratu Adil dan partisipasi dalam partai oleh elit desa, yang tercermin dalam ungkapan
revolusioner hanya menimbulkan kerugian “kebo gedhe menang berike”, kerbau besar selalu
besar (Kartodirdjo, 1984; Lucas, 1989; Robinson, yang menang dalam pertarungan. Akan tetapi
2018). Elit desa memukul balik dengan keras para kerbau besar yang menduduki posisi
ketika mereka terancam pemiskinan melalui akumulator kekayaan di desa ini tidak hidup
pengambilalihan faktor produksi yang mereka dalam zona aman nyaman. Kedudukan sebagai
kuasai. Sejarah menempatkan petani kecil pada akumulator kemakmuran secara rutin menjadi
keadaan serba repot, melawan keras malah obyek rebutan di antara sesama elit dan menjadi
remuk redam, dan berdiam diri tidak tahan sasaran penggembosan oleh non-elit. Sesama
dengan konsekuensinya. Berhadapan dengan elit berebut menjadi akumulator karena posisi
keadaan ini, selain mengembangkan resistensi tersebut memang relatif mewah, berkuasa,
sehari-hari yang halus guna mengurangi dan terhormat. Rakyat kecil menggembosi elit
tekanan elit, para petani mengambil langkah karena mereka berkeberatan dijadikan subyek
berani memanfaatkan struktur hierarkis guna terperas dan sub-ordinat dalam hidup sehari-
melakukan mobilitas sosial naik mengikuti hari. Rasa keberatan ini bersumber dari banyak
strategi if you can’t beat them, join them (Semedi, hal yang sering tumpuk-menumpuk. Di
2014b). Petungkriyono pamong desa tidak mendapat

3
Kawistara, Vol. 10, No. 1, 22 April 2020: 1-16

tanah bengkok dan sebagai gantinya petani maksudnya mapan, berulang, dijalankan
menyerahkan 10% hasil panen sebagai gaji nyaris spontan, tetapi berpola jelas dan berdaya
pamong. Mereka menyaksikan bagaimana efek di dalam relasi di antara warga. Struktur
tanah orang miskin dibeli murah oleh elit desa. ini tidak hadir dalam alam bawah sadar warga
Mereka harus berjalan menuntun kuda yang desa, tetapi lebih sebagai habitus, yaitu norma
ditunggangi kepala desa. Mereka memikul yang terinternalisasi dan pengertian yang
beban berat sementara kepala desa berjalan dioperasikan secara sadar melalui wicara dan
lenggang tangan. Mereka merasa harus bekerja tindak yang terpola walau sering tanpa harus
sepanjang hari dan tetap miskin sementara elit direncanakan terlebih dulu (Levi-Strauss 1963;
desa dapat duduk di rumah dengan panen Bourdieu 1977).
melimpah. Upaya menjaga kesetaraan ini bisa
Dalam keadaan seperti ini ternyata diamati pada berbagai praksis sehari-hari di
agenda petani bukanlah aksi pembongkaran pedesaan. Begini ceriteranya. Pada November
struktur hierarkis, atau pula perlawanan 2006, tiba waktunya bagi Desa Yosorejo dimana
terhadap elit, tetapi mereka melunakkan pusat kecamatan berada melakukan pemilihan
tekanan elit sambil menjaga momentum kepala desa. Sejak awal tahun suasana politik
untuk melakukan mobilitas naik. Target desa sudah menghangat. Warga desa kasak-
mereka di masa depan adalah agar anak cucu kusuk mencari pandangan, miling-miling
mereka keluar dari lingkaran kemiskinan lantas membujuk-bujuk ngelus-lus dan akhir­
dan tidak lagi merasakan pahitnya hidup nya mengobarkan semangat jago agar maju
sebagai orang miskin (Damayanti, 2016). pilkades. Waktu itu ada empat orang, semua
Ideologi yang mereka jadikan landasan untuk dari kelompok kaya, yang akhirnya maju
gerakan ini bukanlah cita-cita sama rata pilkades. Seminggu menjelang hari pemilihan
sama rasa seperti yang disiarkan para kader suasana desa sungguh meriah, para warga
komunis, dan juga bukan prinsip liberal kebo hilir mudik bertandang ke rumah para calon
gedhe menang berike, tetapi prinsip sakpada- unjuk simpati dan dukungan serta makan
pada bahwa sebagai warga desa yang hidup minum pesta pora. Melihat semua itu pikiran
dalam kampung halaman orang memiliki saya melantur: “Relasi-relasi apa yang
hak hidup, penghormatan, penghargaan, dan membuat orang mau maju pilihan lurah yang
kemakmuran tanpa harus berada pada status menghabiskan banyak biaya, padahal mereka
apalagi hierarki sosial-ekonomi yang sama. tahu dengan pasti bahwa hanya satu dari
Inspirasi mengenai kesetaraan ini tersimpan empat calon yang akan jadi kepala desa?
dalam berbagai repertoar yang tersedia John Harriss, Kristian Stokke dan Olle
dalam kehidupan desa, yaitu wacana moral Törnquist (2005:2) menengarai riuh rendah
(Direktorat Kepercayaan 2007: 43), syair lagu pilkada dan pilkades dekade 2000an sebagai
ronggeng (Kulu-Kulu Banyumasan, tt), ceritera gejala lokalisasi politik, “penempatan
rakyat (Padmapuspita, 1987: 55), manual kekuasaan dan politik negara pada skala
program pembangunan, siaran radio, televisi, wilayah sub-negara” dan hal ini merupakan
dan belakangan ini media sosial internet “produk modernitas dan bagian integral
(Husken, 1989). Orang juga dapat sangat kreatif dari globalisasi serta restrukturisasi negara-
menciptakan jurus-jurus baru dalam kontak bangsa”. Pandangan di atas ada tepatnya
sosial sesuai dengan konteks ketimpangan juga, tetapi baru menyentuh sebagian ceritera
yang dihadapi. saja. Desa adalah lembaga sosial yang tua,
Misi menjaga prinsip kesetaraan ini mustahil rasanya jika lembaga sosial yang
dioperasikan melalui gerilya dan makar bertahan melewati milenia tidak punya
sosial-ekonomi yang menimbulkan efek de- dinamika internal mereka (Dasgupta, 1978).
akumulasi dan meredakan laju pertumbuhan Memang untuk tiga dekade, pemerintah
ketimpangan. Seperti halnya akumulasi, de- Orde Baru berhasil melakukan de-politikisasi,
akumulasi adalah gejala yang menstruktur, menekan inisiatif politik dari bawah, tetapi

4
Pujo Semedi -- Sakpada-Pada:
Jalan Tengah Kesetaraan di Pedesaan Jawa, 1850 – 2010

hal ini tidak mematikan dinamika internal ternak. Dengan menambah jumlah ternaknya
waarga desa untuk merespon keadaan sosial seorang petani bisa tampil menjadi orang
internal desa. Warga desa bukanlah subyek kaya dan berpengaruh di lingkungannya.
politik yang pasif, justru kaum akar rumput Kebutuhan utama dalam usaha pemeliharan
inilah yang terus menerus mengeluarkan daya sapi adalah rumput pakan yang pada gilirannya
menggerakkan dinamika desa sehari-hari yang tergantung pada ketersediaan lahan dan tenaga
menurut takeshi Ito (2017: 64) berlangsung kerja pengumpul rumput (Sudarmanto, 2005).
melalui “everyday form of citizenship [which] is Pada kondisi lahan yang terbatas seperti di
tightly linked to political strategies of the rural poor Petungkriyono, akumulasi ekonomi bisa
that prioritize tangible benefits over abstract ideals”. menjadi zero sum game di kalangan petani,
Saya ingin melanjutkan pandangan Ito (lihat naiknya kemakmuran di satu petani berarti
juga Aspinall dan As’ad, 2015) bahwa hasil berkurangnya kemakmuran petani lain
langsung yang dapat dirasa dan dipergunakan (Garcia-Barrios et.al. 2011: 380).
para warga miskin desa bukanlah gejala yang Dua mekanisme akumulasi kemakmuran
terpisah dari ideologi, upaya mendapatkan melalui ternak sapi di muka berlangsung
hasil tersebut pada dasarnya digerakkan oleh di Petungkriyono dan tidak pernah lepas
semangat untuk mencapai idealisme tertentu. dari pengamatan para petani. Mereka
Hiruk pikuk dan pesta pora pilkades adalah mengembangkan upaya untuk menangkal
bagian dari upaya warga desa menegakkan atau setidaknya meredam laju akumulasi
idealisme sakpada-pada. kemakmuran melalui perdagangan dan
Upaya menjaga kesetaraan juga dapat pemeliharaan sapi dengan melembagakan
diamati pada kegiatan ekonomi pemeliharaan proses tawar menawar yang ketat dengan
ternak sapi yang oleh para petani dijalankan pedagang dan pranata bagi hasil pemeliharaan
sebagai sumber uang tunai tahunan— sementara. Petani tidak dengan mudah
dan juga sumber pupuk untuk tanaman melepaskan sapi mereka ke blantik, mereka
pangan. Sebagai kegiatan ekonomi komersial selalu menawar dengan sengit harga yang
pemeliharaan sapi sangat berpotensi menjadi diajukan pedagang hingga mereka mendapat
mekanisme akumulasi kemakmuran (Nusrat, harga yang dinilai setimbang atau lebih besar
2003). Pemeliharaan sapi membuka peluang dari tenaga kerja yang mereka keluarkan untuk
pertumbuhan perdagangan ternak, blantik memelihara ternaknya. Tawar menawar harga
yang menghubungkan petani pemelihara ini umumnya berlangsung setara karena
dengan pasar ternak di kota. Sejumlah petani tidak ada monopoli perdagangan. Walau
dengan keahlian berdagang, berdiplomasi blantik umumnya datang dari dalam wilayah
dan keberanian mengambil risiko mengambil Petungkriyono sendiri, mereka bebas bekerja di
peluang tersebut dan memasuki arena dusun manapun. Sebagai konsekuensinya para
perdagangan ternak. Mereka menjadi blantik harus bersaing ketat di antara mereka
orang—relatif—kaya baru di dusun berkat untuk mendapatkan sapi petani. Pranata paroh
akumulasi selisih nilai antara harga beli dan hasil pemeliharaan, gaduh biasa berlangsung
harga jual. Perhitungan Abdul Khaliq (2011: di kalangan petani, namun mereka berusaha
90) di kalangan petani Sulawesi Selatan untuk tidak terikat dalam relasi gaduh dengan
menunjukkan bahwa blantik menikmati sekitar pemilik ternak dalam jangka panjang. Saat
6.4% dari harga jual akhir. Artinya jika seorang seorang petani sudah mampu memiliki ternak
blantik mampu menjual 18 ekor sapi dari petani sendiri, biasanya dalam dua putaran gaduh,
ke pasar dalam jangka 2 bulan, ia mendapat ia akan melepaskan diri dari relasi gaduh dan
hasil kotor senilai dengan seekor sapi yang menjadi peternak mandiri. Melalui mekanisme
dipelihara petani dalam jangka (umumnya) 12 ini, proses akumulasi di kalangan peternak
– 18 bulan. kaya akan terhambat oleh kelangkaan tenaga
Akumulasi juga bisa berlangsung di kerja pemelihara sapi.
kalangan petani melalui peningkatan jumlah

5
Kawistara, Vol. 10, No. 1, 22 April 2020: 1-16

Desa sebagai Konfederasi Dusun. negara mengubah keadaan ini. Mengikuti


Pada tahun 1820 tercatat hanya ada satu RR 1854, kepala desa tidak hanya memegang
desa di Petungkriyono, yakni Tlagapakis, jabatan simbolik tetapi juga memegang
delapan dekade kemudian di Petung terdapat kekuasaan nyata berupa mandat dari
sembilan desa—Kayupuring, Kasimpar, pemerintah untuk menjalankan pemerintahan,
Tlagahendra, Gumelem, Simego, Sanggawedi, menarik pajak, dan mengatur berbagai urusan
Curugmuncar,Tlagapakis, dan Yosorejo. internal desa. Potensi akumulasi yang tadinya
Gumelem semula merupakan bagian berkisar di lingkaran dusun, sekarang tersedot
Karesidenan Banyumas, tetapi posisinya naik ke tingkat tingkat desa. Bukan tanpa
sebagai enklaf di dalam wilayah Petungkriyono alasan bahwa dusun tempat mukim kepala
pada tahun 1903 melalui Keputusan Gubernur desa disebut sebagai krajan, tempat mukim
Jenderal No. 162 dijadikan sebagai wilayah raja. Di mata rakyatnya kepala desa sekarang
Petungkriyono (ANRI, Statistiek van de bukan lagi pengurus masyarakat, tetapi wakil
Residentie Pekalongan 1820; Staatsblad pemerintah pusat (Haga, 1924: 5).
1903). Tidak terdapat keterangan berapa Dari sudut pandang kepala dusun
banyak jumlah dusun di Tlagapakis saat itu, pembentukan desa berarti penyerahan otonomi
namun perkembangan penduduk pada abad kepada desa dan menempatkan diri mereka
ke 19 telah mendorong tumbuhnya dusun- sebagai bawahan kepala desa. Tentunya
dusun baru di seputar lembah barat dan mereka tidak bahagia dengan kebijakan ini,
timur Petungkriyono, berdasarkan sumber tetapi mereka juga tidak kuasa menolak
dari KITLV, Topographische Kaart der kehendak pemerintah pusat yang perkasa daya
Afdeelingen Pekalongan en Batang van de politik-ekonominya. Kompromi yang tercapai
Residentie Pekalongan 1863. Dusun-dusun adalah pengorganisasian desa—secara diam-
inilah yang kemudian digabungkan menjadi diam—sebagai federasi dusun, bukan sebagai
sejumlah desa, sejalan dengan kehendak organisasi dengan kekuasaan politik-ekonomi
pemerintah menjadikan desa sebagai bagian yang benar-benar terpusat di tangan kepala
dari sistem administrasi nasional—yang desa. Dalam struktur ini, kekuasaan kepala
secara resmi diundangkan dalam Regeering desa—sekalipun dipilih oleh warga—dan
Reglement, Peraturan Pemerintahan, 1854 mendapat mandat dari pemerintah, dibatasi
(Kartohadikoesoemo, 1965; Breman, 1980; hanya untuk mengurus urusan pemerintah.
1983). Kemungkinan sebelum peraturan Sementara urusan antar warga sebisa-bisanya
pemerintahan ini diundangkan, desa sebagai dipertahankan sebagai urusan dusun. Selain
federasi dusun sudah ada di Jawa, namun itu, sekalipun kepala desa bukan figur yang
fungsinya saat itu lebih sebagai organisasi disukai oleh para kepala dan elit dusun, mereka
sosial saja, sementara urusan politik-ekonomi melihat bahwa kekuasaan yang melekat pada
merupakan hak penuh dusun (Raffles, 1987; jabatan tersebut dikuti oleh status sosial dan
Jones, 1984). Kepala dusun, bahu, yang dipilih potensi ekonomi yang cukup besar sehingga
oleh para tetua, memegang hak mengatur mereka berusaha agar jabatan ini tidak menjadi
ketenteraman, mendamaikan perselisihan, monopoli dusun lain. Status sosial tinggi
mengatur penggunaan tanah di antara warga kepala desa terlihat dari “larangan” bagi kepala
dan memberi izin kepada pendatang untuk desa untuk melakukan pekerjaan fisik petani,
mendapat akses tanah di wilayah dusun (de membawa barang dengan pundaknya, memikul,
Haan, 1912). Status dusun sebagai masyarakat dan juga mencangkul kebun atau sawah.
tertutup independen ini terlihat juga dari fakta Di Simego, sejak 1860an jabatan kepala
adanya kuburan dusun yang secara normatif desa diperebutkan oleh tiga dusun Igirgede,
disiapkan hanya untuk warga dusun (Wolf, Simego dan Sabrang. Elit Dusun Igirgede
2001). mengajukan klaim atas kepemimpinan
Peningkatan status desa sebagai unit desa karena mereka adalah keturunan dari
politik-ekonomi dari sistem pemerintahan Kertayudha, tokoh kharismatik kepala desa

6
Pujo Semedi -- Sakpada-Pada:
Jalan Tengah Kesetaraan di Pedesaan Jawa, 1850 – 2010

pertama yang diangkat pemerintah kolonial kecamatan dipindah ke Mudal, tahun 1938, elit
pada tahun 1860an. Tidak mau kalah, elit Dusun Tlagapakis melihat kesempatan untuk
Dusun Simego dan Dusun Sabrang merasa memindah pusat desa ke Tlagapakis. Akan
berhak menjadi pemimpin desa karena mereka tetapi, kesempatan ini baru dapat diraih pada
adalah trah juragan tembakau yang makmur, tahun 1944, ketika Lurah Kargan asal Dusun
penguasa perdagangan desa dan tidak mau Sipetung meninggal, konon akibat stress
menjadi bawahan orang dusun lain. Dalam melihat rakyatnya ditarik menjadi romusha
ingatan orang Simego, sejak tahun 1860an dan ada yang tidak pulang. Cambiyah, orang
hingga 2010 mereka sudah memiliki 14 kepala Tlagapakis dan saat itu menjabat sebagai polisi
desa: tujuh orang dari trah Kertayudha; tiga desa, lantas menjagokan diri, disetujui oleh
orang dari trah juragan Simego; tiga orang pemerintah pendudukan dan memindahkan
trah juragan Sabrang; dan satu orang luar pusat pemerintahan desa ke Tlagapakis.
yang dipasang oleh pemerintah Orde Baru Cambiah menjabat hingga meninggal pada usia
(lihat Antlov, 2002). Kompetisi antardusun lanjut, sampai telinganya harus disambung
ini cukup sengit. Dalam rangka menetralisir alat bantu pendengaran, tahun 1976. Jabatan
kekuatan trah juragan Simego, trah Kertayudha Cambiah digantikan oleh menantunya,Tutur,
mengawinkan anggota mereka dengan orang yang menjabat hingga tahun 1984. Tutur tidak
Simego sehingga perbedaan antara trah Simego sempat melanggengkan dinasti Cambiah, ia
dan trah Igirgede bisa sedikit disamarkan. kalah dalam pilihan kepala desa dengan Wartas
Ketika Lurah Prikso dari trah Igirgede yang yang juga orang Dusun Tlagapakis. Wartas
sudah menjabat hampir 10 tahun hendak yang pandai memelihara hubungan dengan
maju untuk pilihan yang kedua kali, tahun pemerintah kecamatan menjabat hingga tiga
1998, sebagian penduduk Simego menolak kali pilihan, tetapi terkena batunya pada
dan memberikan suara mereka kepada jabatan yang ketiga, tahun 1998. Atas tuduhan
Kowo dari Dusun Sabrang. Setelah Kowo korupsi rakyat memaksanya turun jabatan.
menjabat, pendukung Prikso di Simego dan Lurah malang ini diarak jalan kaki lepas baju
Igirgede bekerja sama menggoyang Kowo. dari Dusun Tlagapakis ke kantor kecamatan
Tahun 2000 mereka menggelar demo besar di Mudal pulang pergi, diiringi tetabuhan
untuk menjatuhkan Kowo, dengan tuduhan oleh rakyatnya—yang sebagian besar bukan
korupsi dan tindak asusila, tetapi demo tidak dari Dusun Tlagapakis. Harta benda Wartas
ditanggapi oleh Pemerintah Kabupaten. disita untuk mengembalikan dana desa yang ia
Di Tlagapakis, sejak awal 1900an jabatan salah gunakan selama menjabat. Lurah Darmo,
kepala desa diperebutkan oleh dua dusun pengganti Wartas, digantikan oleh Lurah
utama yakni Tlagapakis dan Sipetung. Lukito pada tahun 2006, keduanya dari Dusun
Menurut ceritera, dulunya kedudukan Tlagapakis. Menanggapi urutan kepala desa
tersebut diperebutkan oleh tiga dusun, akan yang beruntun diisi oleh orang Tlagapakis,
tetapi akibat ketegangan yang tidak bisa orang Sipetung hanya dapat mengeluh bahwa
diredakan antara elit Dusun Curugmuncar mereka belum punya tokoh kuat yang bisa
dan elit dusun-dusun lain di Tlagapakis, elit merebut jabatan kepala desa lagi.
Dusun Curugmuncar pada akhir abad ke 19 Di Kayupuring, di lembah timur
berhasil melobi pemerintah untuk mendirikan Petungkriyono, jabatan kepala desa
desa terpisah. Untuk itu, Curugmuncar yang diperebutkan antara elit dusun lembah
hanya terdiri dari satu dusun—dan letaknya dengan elit dusun lereng bukit. Tahun 1930an,
sangat dekat dengan Dusun Tlagapakis— Gumbeng dari Dusun Kayupuring di lembah
menjadi desa sendiri. Sejak akhir abad 19, memperebutkan jabatan kepala desa dengan
pusat pemerintahan Tlagapakis ada di Wase’an dari Dusun Tembelan di lereng
Dusun Sipetung yang juga merupakan pusat bukit. Dalam pilihan, jago dari bukit menang
kecamatan. Kepala desa Tlagapakis pada awal satu suara namun kemudian Gumbeng
1900an adalah orang Sipetung. Setelah pusat menyuap pejabat di kantor wedana di Doro

7
Kawistara, Vol. 10, No. 1, 22 April 2020: 1-16

dan dinyatakan sebagai pemenang. Wase’an memenuhi janji yang ia buat selama masa
mengajukan protes namun tidak digubris oleh pemilihan untuk menghapus pangan pamong.
wedana di Doro dan asisten wedana di Mudal. Masyarakat tentu saja senang dengan langkah
Konon Wase’an kemudian menyalurkan ini, namun pengurus desa yang lain menolak.
kejengkelannya dengan mengirim santet Hasilnya pakan pamong tetap ditarik untuk
kepada Gumbeng, keduanya lantas adu penghasilan carik, bahu, polisi desa, kebayan
santet. Lagi-lagi Wase’an kalah dan kali ini dan lebai. Sedangkan kepala desa diberi
berujung pada ajalnya. Pada masa-masa kacau pupuk kandang untuk memupuk tegalannya.
Perang Kemerdekaan Lurah Gumbeng tewas Kebijakan Lurah Maruto dipuji oleh rakyatnya,
ditembak oleh Pasukan Siluman yang datang tetapi tetap saja hal itu tidak menghapus
menggarong rumahnya (Nieuwe courant, potensi akumulatif jabatan kepala desa.
1948). Untuk beberapa tahun, Kayupuring Hak lain yang diterima kepala desa dari
tidak punya kepala desa karena orang lereng warganya adalah tenaga kerja untuk ronda desa
bukit tidak mau dipimpin orang lembah dan dan menggarap tegal atau kudur—mungkin
orang lembah juga tidak mau dipimpin orang dari kata makudur yang artinya pegawai
bukit yang mereka tuduh menjadi penunjuk kerajaan abad ke-10 yang bertugas di bidang
jalan Pasukan Siluman saat menggarong Lurah ritual. Di Yosorejo kudur bertahan hingga tahun
Gumbeng. 1990an, saat Lurah Asmo menjabat. Mengikuti
Sistem federasi dusun dengan jabatan tradisi ini setiap rumah tangga, tiap tahun
kepala desa yang secara sengit diperebutkan wajib mengirim seorang tenaga untuk bekerja
antar dusun mendatangkan efek kontrol selama satu hari di tegalan kepala desa.
terhadap pemusatan kekuasaan, baik di satu Ronda merupakan tradisi yang lebih muda
dusun maupun di satu trah. Biasa terjadi dan menjadi pranata yang mapan pada masa
setelah jabatan kepala desa pindah ke keluarga kolonial—sebagai bagian dari pengerahan
atau dusun lain si pejabat lama terlihat tenaga petani untuk mengurus proyek-proyek
mengalami penurunan status sosial-ekonomi, publik di tingkat desa, desadiensten. Pada masa
dan mengeluh kian kemari bahwa dirinya kantor desa dan rumah kepala desa masih
sekarang sudah menjadi mantan, manten,” menjadi satu, setiap hari ada empat orang petani
sing eman mboten wonten”, orang yang tidak yang terkena wajib ronda 24 jam. Mereka harus
diperhatikan lagi. berada di rumah kepala desa sebagai penjaga
Kepala desa merupakan kedudukan yang keamanan desa dan pesuruh untuk berbagai
bisa menjadi titik akumulasi kemakmuran, yang keperluan dinas. Hingga tahun 1980an, setiap
datang dari sejumlah sumber. Berbeda dengan kali ada keperluan ke kantor kecamatan di
umumnya desa di Jawa, upah perangkat desa Mudal Lurah Marsono dari Simego datang
di Petungkriyono dibayar in natura oleh warga mengendarai kuda yang dituntun seorang
di akhir musim panen—tidak dalam bentuk petugas ronda. Namun karena umumnya
tanah bengkok. Jumlah pangan pamong yang pada masa ini desa dalam keadaan aman
dibayar petani sebanding dengan luas tanah dan urusan desa juga tidak banyak, petugas
yang tercatat di Buku Letter C desa, dalam porsi ronda lebih banyak menganggur, dan tenaga
kurang lebihnya 10% dari hasil panen. Petani mereka dimanfaatkan oleh kepala desa untuk
yang panen 50 gedeng jagung, menyerahkan menjalankan berbagai pekerjaan: mencari
dua gedeng untuk kepala desa, satu gedeng rumput dan mengurus kuda milik kepala desa,
untuk sekretaris desa, dan satu gedeng untuk bahkan menumbuk jagung untuk makanan
kepala dusun dan satu gedeng untuk seorang keluarga kepala desa. Tradisi ronda berhenti
perangkat desa lainnya—kebayan, polisi desa, sejak tahun 1990an, tetapi saat ini bilamana
lebai. Satu gedeng kurang lebihnya setara perlu seorang kepala desa dapat memerintah
dengan 3 – 3.6 kilogram butir jagung (de Bie, warga untuk tugas-tugas desa.
1902: 96). Saat menjabat sebagai kepala desa Kepada kepala desa warga mengirim
Yosorejo (2000 – 2006), Lurah Maruto berusaha punjungan, makanan pokok dengan lauk

8
Pujo Semedi -- Sakpada-Pada:
Jalan Tengah Kesetaraan di Pedesaan Jawa, 1850 – 2010

lengkap saat mereka menggelar hajatan dan tidak. Sepanjang ingatan dan ceritera yang
menyerahkan bekti berupa kayu bakar di hari mereka dengar, pemilihan kepala desa
menjelang Lebaran. Kepala desa memegang di Petung merupakan acara pesta warga.
mandat mengumpulkan pajak tanah dan di Beberapa hari menjelang pemilihan para calon
masa lalu mandat ini membuka jalan bagi menggelar pesta di rumahnya, semua warga
kepala desa untuk menekan petani yang tidak dipersilahkan datang, siang malam. Keramaian
mampu membayar pajak untuk menjual tanah pesta pencalonan kepala desa tidak ubahnya
dengan murah. Sejak masa Orde Baru ketika seperti hajatan mengawinkan anak. Hanya saja
dana pembangunan mulai menetes ke desa dalam pesta ini tamu tidak datang membawa
melalui berbagai program pembangunan dan sumbangan. Saudara, kerabat, tetangga, dan
Inpres Desa Tertinggal (IDT), kepala desa simpatisan semua dikerahkan meladeni tamu
memegang kuasa besar penggunaan dana dan membuat meriah suasana. Jauh hari
tersebut. Penghasilan lain kepala desa berasal sebelum open house ini dimulai, pecut atau tim
dari pengutipan biaya pelayanan masyarakat sukses sudah berkunjung dari rumah ke rumah
seperti pembuatan KTP, surat nikah, surat mengunggulkan kehebatan jago masing-
kepemilikan dan jual beli tanah. Sejak tahun masing. Untuk memuluskan urusan birokrasi,
2004, pengurus desa mendapat gaji dari berbagai hadiah dikirimkan kepada pejabat
pemerintah, Rp600.000,00 (Enam Ratus Ribu di asistenan—sekarang kecamatan—dan
Rupiah) untuk kepala desa dan Rp400.000,00 kawedanan. Hadiah ini bukan suap, demikian
(Empat Ratus Ribu Rupiah) untuk pengurus desa dalam pandangan kepala desa, tetapi tanda
lainnya. Besaran jumlah penghasilan kepala hormat, punjungan. Untuk mendapat dukungan
desa sukar diketahui, namun masyarakat gaib, setiap calon mengundang kyai atau orang
memandang penghasilan itulah yang membuat pintar dari wilayah lain. Diyakini semakin jauh
kepala desa menjadi orang makmur—di asal penasehat spiritual ini, semakin tinggi
samping fakta bahwa umumnya kepala desa kesaktiannya.
datang dari keluarga tuan tanah atau juragan. Sudah barang tentu pesta pora ini
menghabiskan banyak biaya. Nanik istri Yono,
Pilkades sebagai arena de-akumulasi maju menjadi calon dalam pemilihan kepala
Sejak akhir abad ke 19 hingga sekarang desa Yosorejo tahun 2000 dan menghabiskan
cara pemilihan kepala desa berganti beberapa biaya hingga 35 juta rupiah, yang saat itu setara
kali. Menurut ceritera di Petung, pada dekade dengan harga sembilan ekor sapi besar. Pada
1860an, Kertayudha dipilih menjadi Lurah malam menjelang pemilihan, ketika semua
Simego dengan cara tawonan—para calon tamu bergembira pesta pora makan minum
kepala desa diminta berdiri di sudut-sudut dan merokok di semua sudut rumahnya, Nanik
tanah lapang dengan membawa tanda masing- bertapa di dalam kamar yang penuh asap dupa
masing kemudian warga desa dipersilahkan ditemani penasihat spiritual dan mertuanya
berkumpul di sudut calon yang mereka pilih. hingga menjelang pagi. Pada penghitungan
Pemenang adalah calon dengan kumpulan suara, Nanik mendapat angka lebih tinggi
warga yang paling banyak. Sejak tahun 1900an dari Juri, calon dari Dusun Candi, anak lurah
cara pemilihan diganti dengan bitingan, setiap lama; akan tetapi tidak mengungguli Maruto
pemilih mendapat satu potong lidi bambu, calon dari Mudal. Enam tahun kemudian, tidak
biting, kemudian memasukkannya ke tabung kapok dengan kekalahan Nanik, kakak iparnya,
bambu yang masing-masing mewakili satu Hardi maju dalam pemilihan kepala desa.
calon kepala desa. Pada masa Orde Baru, Pencalonan ini menghabiskan dana hingga 50
kepala desa dipilih dengan cara mencoblos juta. Tigapuluh lima juta rupiah dana didapat
kertas lambang calon; dan terakhir ini coblosan dari menjual lima ekor sapi besar, sedangkan
diganti dengan contrengan. sisanya merupakan pinjaman ke BRI dengan
Cara pemilihan mengalami perubahan, gaji Tutik, istri Hardi yang menjadi guru SD,
tetapi esensi sosial pemilihan kepala desa sebagai sumber cicilannya lima tahun ke depan.

9
Kawistara, Vol. 10, No. 1, 22 April 2020: 1-16

Seperti halnya Nanik, Hardi juga kalah—dari sing bisa mrantasi gawe. Urusan suara aja digawe
Tikno, calon dari Dusun Sikucing, adik Juri. kuwatir. Inyong kabeh sing bakal ngurus. Pokoke
Berminggu-minggu sejak hari pemilihan, Hardi aman”, “Ayo Bang, kalau bukan kamu siapa
suami istri murung dan stress, teringat harta lagi yang dapat menyelesaikan urusan. Perkara
yang hilang dan membayangkan payahnya dukungan pemilih, jangan dibuat masalah.
ekonomi lima tahun ke depan tanpa gaji Tutik. Saya dengan kawan-kawan ini semua nanti
Dapat ditafsirkan bahwa keikutsertaan yang bertanggung-jawab. Pokoknya semua
Nanik dan Hardi di dalam pemilihan kepala aman”, demikian Lurah Warsono menirukan
desa tindakan rasional pengubahan modal pandangan pendukunganya saat akan maju
ekonomi menjadi modal sosial. Akan tetapi, pilkades dulu.
investasi ini dinegasi oleh sikap warga yang Terkena komporan semacam ini, banyak
umumnya berpandangan pragmatis siapa calon jago yang bangkit semangatnya, yakin
saja yang menjadi kepala desa tidak akan mendapat dukungan warga dan karenanya
mengubah banyak hal. Memang, mereka berpeluang besar menang pilihan. Pada titik ini
akan merasa senang kalau jago yang mereka pilkades bukan lagi perkara nasib pelayanan
dukung menang. Pengalaman tersebut publik dan pembangunan desa enam tahun
membuat mereka pragmatis, siapa saja yang mendatang, tetapi menjadi perkara pribadi
menjadi kepala desa ia tidak akan membuat penegakan harga diri mengikuti kredo “Lebih
kehidupan berubah hebat.”Sapa bae lurahe, baik mati umuk, daripada mati ngantuk; lebih baik
pada bae. Ora bakal esuk manglih sore”, siapapun kalah uang daripada kalah uwong; boleh kalah
kepala desanya, tidak mungkin pagi berubah jenang tapi aja nganti kalah jeneng”. Seperti
jadi sore. Warga yang pesimis memelihara halnya adu jago di Bali yang diuraikan Geertz
pandangan yang lebih gelap, “Sapa bae lurahe, (1973:433) bagi para calon pilkades adalah
pada bae. Ngurus pentinge dewek”, siapa pun permainan mendalam, deep play, menjadi
kepala desanya tetap sama, ia hanya mengurus perkara penegakan kehormatan, nama baik,
kepentingan diri sendiri. status yang nilanya dianggap jauh lebih tinggi
Bagi warga arti penting pemilihan kepala daripada uang yang dikeluarkan untuk pesta
desa tidak pada perkara siapa yang akan pora.
jadi lurah berikutnya tetapi sebagai tontonan Dari sisi warga biasa, bujukan dan hasutan
adu jago—yang dilengkapi dengan pesta kepada elit untuk maju pilkades adalah omongan
pora. Karena pemilihan kepala desa adalah belaka, “keplok ora tombok”, bergembira tanpa
tontonan “adu jago”, maka entah bagaimana biaya, berjudi tanpa modal. Dengan lagak
caranya harus ada jago yang diadu. Jauh bersungguh-sungguh orang mendorong salah
sebelum waktu pemilihan kepala desa, seorang warga agar maju menjadi calon dan
warga sudah kasak-kusuk siapa dari dusun mereka akan bertanggung jawab. Akan tetapi
mereka yang akan—didorong—menjadi tanggung jawab, utamanya pembiayaan, tetap
calon, milang-miling jago. Kasak kusuk ini jatuh di pundak si calon. Begitu melihat perolehan
berputar terus siang malam menjadi ngelus- suara Nanik tertinggal dari Maruto, satu per
lus jago, bujuk rayu dan penguatan semangat satu pendukungnya yang semalam bergembira
sehingga jago yang mereka piling dan lus- ria, pesta pora, dan menyatakan kesetiaan
lus merasa layak dan yakin menang dalam mlipir keluar dari lapangan penghitungan suara
pilihan. Isu keturunan kepala desa, turun meninggalkan Nanik duduk di panggung dengan
lurah, dihembuskan, isu dominasi dusun wajah kian kuncup. Di jalan mereka menyalahkan
lain dalam pemerintahan desa disebarkan. dukun Nanik, “Alah dukune nglepeh … ora mandi”,
Pembicaraan yang beredar diarahkan pada Dukunnya impoten … tidak manjur. Kemudian
sentimen dusun atau trah, sehingga si calon mereka malah membuat olok-olok dan tertawa
merasa bahwa dirinya maju demi nama baik terbahak-bahak menceriterakan ulang tampang
keluarga, dusun serta kepentingan orang Nanik. “Rupane mimpes, ora kumecap. Aja maning
banyak. “Ayo Kang, angger sejen rika sapa maning kumecap, ngentut bae wis orang teyeng … ha-ha-ha”.

10
Pujo Semedi -- Sakpada-Pada:
Jalan Tengah Kesetaraan di Pedesaan Jawa, 1850 – 2010

Ketika Hardi suami istri bingung menanggung Hingga dekade 1970an di Petungkriyono
hutang biaya pesta pora, kawan dan tetangga dikenal tradisi upah gembala, di mana pemuda
yang dulu giat memberi semangat maju pilkades miskin diberi kepercayaan menggembalakan
melanjutkan kehidupan sehari-hari seperti tidak sapi petani kaya. Setelah empat tahun dan
ada masalah. Apakah jago mereka akan menang sapi yang digembala menghasilkan empat
atau tidak dalam pemilihan kepala desa bukanlah ekor anak, si gembala mendapat upah satu
masalah bagi warga. Pilkades adalah statement, ekor anak jantan. Namun umumnya pemilik
maklumat bahwa elit juga tidak berbeda dengan sapi pada masa itu tidak suka menyerahkan
warga biasa, mereka bisa kalah, bisa babak belur, pemeliharaan sapinya ke tetangga. Sebisa-
bisa kuncup wajahnya, bisa mlempem, sampai bisanya sapi mereka gembalakan sendiri agar
tidak mampu bicara, tidak lagi punya tenaga harta kekayaan tidak menyebar ke rumah
bahkan untuk kentut. tangga lain.
Untuk seluruh wilayah Petung, biaya Sejak dekade 1980an populasi sapi
pemilihan kepala desa bisa cukup besar. di Petungkriyono meningkat didorong
Katakahlah setiap desa mengajukan tiga calon, oleh permintaan pasar dan difasilitasi oleh
maka di Petung ada 27 calon. Jika masing- kemudahan akses jalan serta melimpahnya
masing calon pada pemilihan tahun 2006 stok anak sapi di pasar hewan (Permani, 2013).
mengeluarkan ongkos 50 juta, berarti ada 1,35 Pada tahun 1980an jalan menuju Petung dari
milyar rupiah (setara 70an ekor sapi) harta arah Doro, Karanganyar dan Banjarnegara
kelompok elit yang tahun itu dihabiskan dalam diperbaiki sehingga mempermudah perjalanan
pilkades. keluar masuk Petungkriyono. Pada tahun
1987 angkutan umum dapat masuk ke pusat
Bagi Hasil Pemeliharaan Sapi kecamatan Mudal dan tahun-tahun berikutnya
Sapi merupakan aset ekonomi rumah menembus ke dusun-dusun lain. Pada saat
tangga yang penting di Petungkriyono hingga yang sama, berkembangnya pemeliharaan sapi
akhir 1970an sapi di kawasan lembah digunakan perah di Baturaden, Boyolali dan Yogyakarta
sebagai pembajak sawah, tabungan, dan tentu menambah pasokan anakan sapi jantan
saja simbol status sosial (Nusrat, 2003). Saat untuk dipelihara sebagai sapi pedaging. Para
itu hanya orang kaya saja yang memiliki sapi pedagang sapi, blantik, dari pasar hewan Kajen
dan jumlahnya tidak banyak. Tahun 1940an, dan Banjarnegara lalu lalang menawarkan anak
jumlah sapi di Dusun Dranan hanya ada sekitar sapi (Prasetyo, Maharso dan Setiani, 2010).
20an ekor dan dimiliki oleh 13 rumah tangga. Mereka juga siap membeli sapi besar hasil
Hingga tahun 1970an jumlah tersebut nyaris pemeliharaan dengan harga bagus. Para petani
tidak berubah—dimiliki oleh enam rumah sangat tertarik dengan kesempatan ekonomi
tangga. Sapi yang mereka pelihara adalah baru ini, namun tidak banyak petani saat itu
sapi lokal, sapi Jawa dalam istilah para petani, yang mampu membeli anakan sapi—seharga
yang berpostur tubuh kecil, tidak berpunuk Rp 125.000 perekor pada tahun 1984.
dan sedikit dagingnya. Lemahnya permintaan Para petani miskin mengatasi persoalan
pasar, akses jalan ke pasar yang buruk dan ini dengan menjual beberapa kambing untuk
ketertutupan sosial tidak memberi insentif bagi membeli satu anakan sapi. Setelah dipelihara
petani untuk mengembangkan pemeliharaan selama satu hingga satu setengah tahun sapi
ternak. Sebagai simbol status sosial-ekonomi, tersebut akan ditukar dengan dua ekor anakan
para petani kaya pemilik sapi berusaha keras sapi. Tawar menawar antara pedagang sapi
agar kepemilikannya tidak meluas ke rumah dan petani yang selalu berlangsung alot,
tangga lain. Sapi mereka pelihara sebagai karena semua pihak ingin mendapat hasil
hewan kesenangan, klangenan, yang diberi maksimal. Begitu memasuki kandang sapi
nama dan sebisa-bisanya diurus sendiri. Pada Kakek Sanom, Tarno si blantik dari Kajen
saat mereka memerlukan uang, sapi dijual langsung melontarkan evaluasi ofensif guna
dengan berat hati—bahkan kadang ditangisi. menjatuhkan harga “Gondok Mbah … ini

11
Kawistara, Vol. 10, No. 1, 22 April 2020: 1-16

sapi apa kucing”. Tidak mau kalah gertak, si ternak sapi. Perkiraan ini tidak jauh meleset
kakek menjawab “Kucing matamu lamur… saya kira, menimbang di Petungkriyono saat
njaluk diraupi tletong supaya melek apa keprimen itu ada sekitar 2.000an rumah tangga dan setiap
(matamu minta dibasuh tahi sapa ya supaya rumah tangga memelihara antara satu hingga
bisa melihat)?”. Tarno tertawa terbahak-bahak, empat ekor sapi. Dengan harga jual berkisar
lantas mereka berdua bicara harga di bawah antara empat juta hingga enam juta dan petani
pengawasan Nenek Sanom yang tidak banyak memelihara sapi dalam jangka satu hingga
membuka mulut namun terus menolak tawaran satu setengah tahun, maka kurang lebihnya
harga Tarno lewat gelengan kepala. Tawar usaha ini memutar uang senilai 20 milyar
menawar sengit sepanjang pagi itu berujung setahun. Kekuatan ekonomi sebesar inilah
pada kesepakatan perelan, sapi Kakek Sanom yang membuat wajah Petungkriyono berubah
ditukar dengan seekor petotan, anak sapi umur drastis dalam dekade terakhir ini. Rumah-
empat bulan berpostur bagus senilai 1.5 juta, rumah kayu dan bambu beratap ilalang atau
ditambah uang tunai juga 1.5 juta. ijuk dengan cepat berganti rupa menjadi
Pranata sosial bagi hasil, gaduhan rumah tembok dengan warna terang. Dusun
mempermudah akses petani miskin pada yang sunyi sekarang selalu diseling oleh suara
usaha pemeliharaan sapi. Dalam hal ini, sepeda motor petani yang berkunjung ke dusun
seorang petani menyerahkan anak sapi kepada lain atau bahkan untuk pergi ke tegalan. Harta
saudara atau tetangga untuk dipelihara dengan sebesar ini tidak tampak menyolok, hal itu
upah separoh dari hasil usaha nanti—separoh terjadi karena distribusidi yang merata hampir
ekor sapi anakan. Melalui nggaduh petani di setiap rumah tangga. Proyek rumahtangga—
tanpa modal tunai dapat memiliki seekor sapi mengawinkan anak, perbaikan rumah dan
dalam jangka dua hingga tiga tahun. Alasan membeli perlengkapan rumah—sekarang
yang mendorong petani menggaduhkan sapi dibiayai dengan uang hasil memelihara sapi.
adalah karena jumlah yang mereka miliki Semenjak jaringan listrik memasuki
sudah melewati kemampuan tenaga kerja Petungkriyono pada tahun 2002, televisi, vcd
atau sumber rumput pakan. Kelebihan sapi player dan pengeras suara ukuran besar menjadi
ini dialirkan ke petani lain yang tidak punya perlengkapan standar hampir setiap rumah
sapi. Entah sekali atau dua kali, umumnya (cf. Mohsin, 2014). Sebagian rumah tangga
petani Petungkriyono saat ini pernah menjadi juga mulai membeli penanak nasi elektronik.
penggaduh. Perlengkapan mutakhir yang cukup mahal
Seekor sapi besar memerlukan antara 20 dan menjadi idaman hampir setiap rumah
hingga 30 kg rumput segar setiap hari. Pada tangga adalah sepedamotor, honda, guna
mulanya ketika jumlah sapi masih sedikit, memudahkan perjalanan ke pasar dan tempat
pasokan rumput ini tidak menjadi masalah. lain serta sebagai simbol yang mengubah citra
Para petani dapat mengambilnya di lahan diri para petani dari semula orang gunung
mereka sendiri. Akan tetapi, jumlah sapi yang tidak pernah melihat dunia luar menjadi
terus meningkat para petani mulai merasakan manusia modern dengan mobilitas geografis
hambatan stok rumput dan tenaga. Sejak tahun yang tinggi.
2000 para petani Dusun Dranan menanam Semua proyek di atas menghabiskan sapi.
rumput di hutan pinus Perhutani. Semula Biasa terjadi selesai dengan proyek merehab
mereka menanam di hutan dekat kampung, rumah atau membeli sepeda motor, seorang
dan makin lama makin jauh hingga mereka petani harus memulai usaha pemeliharaan
menghabiskan waktu kerja 3 jam untuk sapi dari awal lagi dengan menggaduh. Bagi
mendapat satu pikul (60 kg) rumput. petani kaya pranata ini membuka jalan untuk
Keterangan jumlah populasi sapi di menambah kekayaan. Pada tahun 2008, Haji
Petungkriyono tidak tersedia. Menurut Makmur di Mudal memiliki 100 ekor sapi,
perkiraan para pedagang, di seluruh kawasan Pak Surajak di Kambangan memiliki 40 ekor
pada tahun 2010an ada sekitar 6.000 ekor dan Nanik memiliki sekitar 70 ekor pula.

12
Pujo Semedi -- Sakpada-Pada:
Jalan Tengah Kesetaraan di Pedesaan Jawa, 1850 – 2010

Beberapa petani kaya lainnya mempunyai posisi kepala desa dan perolehan harta lewat
sekitar sepuluhan ekor sapi. Sapi milik petani menggaduh sapi bukanlah untuk mengejar
kaya ini digaduh oleh kerabat atau tetangganya. kegembiraan sesaat dan perolehan harta semata-
Gaduhan yang mempertemukan modal petani mata, tetapi bagian dari proses penggembosan
kaya dan tenaga kerja petani miskin, bisa status dan de-akumulasi kemakmuran elit. Pesta
mengentas petani miskin dari kemiskinannya pora di rumah calon kades hanya menimbulkan
dan membuat petani kaya semakin kaya. Gaduh rasa kenyang yang dalam hitungan jam akan
ternak adalah pranata kerja sama yang lentur hilang, namun olok-olok terhadap elit yang
dan diikat oleh jangka pemeliharaan, dari kalah dalam pilkades diceriterakan ulang
sapi anakan menjadi sapi besar; bukan oleh hingga bertahun-tahun kemudian sebagai
batasan waktu yang tetap setahun atau dua pepeling, pengingat bahwa pada dasarnya elit
tahun. Orang dapat menghentikan hubungan juga tidak berbeda dengan warga yang lain: bisa
gaduh saat satu jangka pemeliharaan sudah kalah, tidak berdaya, tidak mampu berkata-kata.
selesai. Keluwesan ini memungkinkan petani Kelenturan lembaga gaduh ternak secara efektif
kecil untuk menghentikan relasi gaduh ternak meredakan akumulasi kepemilikan sapi di
pada saat dia sudah siap mandiri. Bagi petani tangan petani kaya, sambil pada saat yang sama
kecil menggaduh hanyalah jalan awal untuk membuka jalan bagi petani kecil untuk memiliki
memiliki sapi sendiri. Saat target memiliki ternak sendiri dan mengakses kemakmuran
sapi sendiri tercapai mereka keluar dari relasi yang lebih besar.
gaduhan. Tindakan ini praktis menahan laju Acara pemilihan kepala desa dan
peningkatan kepemilikan sapi di kalangan pranata pemeliharaan sapi di Petungkriyono
petani kaya. Dalam bahasa program linear, menunjukkan bagaimana petani meng­
kemampuan petani kaya membeli lebih banyak akomodasi struktur hierarkis masyarakat
anakan sapi dibatasi oleh jumlah petani kecil desa. Mengikuti prinsip sakpada-pada mereka
yang bersedia memeliharanya. tidak bergerak untuk menghapus hierarki
namun mengambil jalan tengah dengan friksi
SIMPULAN minimum untuk menjaga agar tekanan elit
Tinjauan di depan mengungkapkan tidak terus membesar sambil pada saat yang
bahwa dinamika yang berlangsung di sama memelihara kesempatan untuk mencapai
Petungkriyono pada sejak pertengahan abad mobilitas naik. Bagaimanapun juga mereka
ke 19 hingga saat ini bukanlah semata-mata hidup dalam dunia kecil yang sama sehingga
peristiwa “lokalisasi politik” yang digerakkan ada ketergantungan dan relasi sistemik yang
oleh kebijakan desentralisasi pemerintah pusat, erat antara elit dan petani kecil. Bagi petani
namun juga digerakkan oleh dinamika sosial- konflik terbuka dengan elit desa hanya akan
ekonomi internal desa. Suasana desa yang menimbulkan kerugian dan kontra produktif
nampak tenang tenteram, adem ayem, adalah pada kedua belah pihak. Illustrasi dari bidang
selimut yang menyelubungi dinamika tinggi kehidupan yang lain masih diperlukan untuk
persilangan akumulasi dan de-akumulasi menguji seberapa jauh prinsip sakpada-pada
kemakmuran antara elit dan warga biasa, dioperasikan oleh para petani guna menjalani
seperti yang bisa dilihat pada acara pilkades kehidupan pedesaan mereka: menjaga agar
dan kerja pemeliharaan sapi. kehidupan tetap dinamis, mengurangi tekanan
Orang maju menjadi calon kepala desa elit, dan melakukan mobilitas sosial naik .
bukan karena kehendak diri sendiri, tetapi
karena dikonstruksi oleh warga desa melalui DAFTAR PUSTAKA
proses sistemik adu jago—pembujukan, Antlöv, Hans. 2002. Negara Dalam Desa.
pendorongan, komporan dan penggalangan Patronase kepemimpinan lokal. Jakarta:
dukungan. Semua tadi adalah wicara dan Lappera Pustaka Utama.
tindak yang terlembaga di kalangan warga. Aspinall, Edward dan Muhammad Uhaib
Keseruan adu elit antar-dusun dalam perebutan As’ad. 2015. The Patronage

13
Kawistara, Vol. 10, No. 1, 22 April 2020: 1-16

Patchwork: Village Brokerage Pitutur Luhur. Jakarta: Direktorat


Networks and the Power of the State Kepercayaan.
in an Indonesian Election. Bijdragen Elson, Robert. 1997. The End of the Peasantry in
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Southeast Asia. A Social and Economic
Vol. 171, No. 2/3 (2015), pp. 165- History of Peasant Livelihood, 1800–
195. https://www.jstor.org/ 1990s. London: Palgrave.
stable/44684048
García-Barrios, Luis. Raúl García-Barrios,
De Bie, H.C.H. 1902. De landbouw der Andrew Waterman, Juana Cruz-
Inlandsche Bevolking op Java. Batavia: Morales. 2011. “Social dilemmas
G. Kolff &co. and individual/group coordination
BPS Kab. Pekalongan. 2017. Kecamatan strategies in a complex rural land-use
Petungkriyono dalam angka 2017. game” dalam International Journal of
Pekalongan: BPS. the Commons, Vol. 5, No. 2 (August
Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a Theory 2011), pp. 364-387
of Practice. Cambridge: Cambrigde Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of
University Press. Culture. New York: Basic Books.
Breman, Jan. 1980. The Village on Java and Goffman, Erving. 1956. The Presentation
The Early Colonial State. Rotterdam: of Self in Everyday Life. University
CASP. of Edinburgh Social Sciences
Breman, Jan. 1983. Control of Land and Research Centre Monographs, no. 2.
Labour in Colonial Java: A Case study Edinburgh: University of Edinburgh.
of Agrarian Crisis and reform in the Haga, Bauke Jan. 1924. Indonesische en Indische
Region of Cirebon during the First Few Democratie. Disertasi doktor. Leiden:
Decades of the 20th Century. Dordrecht: Universitas Leiden.
Foris Publications. Hayami, Yujiro. 2001. Ecology, History, and
Breman, Jan. 2000. The ‘Reformasi’ in My Development: A Perspective from
Java Village. Economic and Political Rural Southeast Asia. The World
Weekly, Vol. 35, No. 45 (Nov. 4-10, Bank Research Observer, Vol. 16, No. 2
2000), pp. 3929-3931. https://www. (Autumn, 2001), pp. 169-198. https://
jstor.org/stable/4409919 www.jstor.org/stable/3986375
Damayanti, Onesya. 2016. Donyane Wong Harriss, John., Kristian Stokke and Olle
Mbelah Ojo Turun Anak Putu. Mobilitas Törnquist. 2005. Introduction:
sosial nelayan jukung di Batang, Jawa The New Local Politics of
Tengah. Thesis master. Yogyakarta: Democratisation. Editor John
Departemen Antropologi, Harriss, Kristian Stokke and Olle
Universitas Gadjah Mada. Törnquist. Politicising democracy: the
Dasgupta, Biplab. 1978. Introduction. Editor new local politics and democratization.
Dasgupta, B. Village studies in the Hampshire: Palgrave MacMillan.
Third World. Delhi: Hindustan Hüsken, Frans. 1989. “Urban Idioms in a Village
Publishing Corporation: 1-12. World: Power and Communication
De Haan, F. 1912. Geschiedenis der in Rural Java”. Sojourn: Journal of
Preangerlanden. Priangan de Preanger- Social Issues in Southeast Asia, Vol.
regentschsppen onder het Nederlandsch 4, No. 1, Peasants and Cities, Cities
bestuur tot 1811. Batavia: Albrecht. and Peasants: Rethinking Southeast
Asian Models (FEBRUARY 1989),
Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan pp. 89-99. https://www.jstor.org/
yang Maha Esa. 2007. Himpunan stable/41056766

14
Pujo Semedi -- Sakpada-Pada:
Jalan Tengah Kesetaraan di Pedesaan Jawa, 1850 – 2010

Hüsken, Frans. 1998. Masyarakat Desa Dalam Antropologi, Universitas Gadjah


Perubahan Zaman: Sejarah diferensiasi Mada.
sosial di Jawa, 1830-1980. Jakarta: Padmapuspita, Joodkali. 1987. Dasacarita Sato
Grasindo. Wana. Balai Pustaka, 1987
Ito, Takeshi. 2017. Everyday Citizenship in Permani, Risti. 2013. Determinants of Relative
Village Java. Ward Berenschot, Henk Demand for Imported Beef and a
Schulte Nordholt, Laurens Bakker Review of Livestock Self-Sufficiency
(eds.) Citizenship and Democratization in Indonesia. Journal of Southeast Asian
in Southeast Asia. Leiden: Brill. Economies, Vol. 30, No. 3 (December
Jones, Antoinette M. Barrett. 1984. Early Tenth 2013), pp. 294-308. https://www.
Century Java from the Inscriptions. jstor.org/stable/43264686
Dordrecht: Foris Publications. Prasetyo, T., D. Maharso dan C. Setiani. 2010.
Kartodirdjo, Sartono. 1984. Ratu Adil. Sinar “Tinjauan Tentang Populasi Sapi
Harapan,. Jakarta, 1984 Potong dan Kontribusinya terhadap
Kartohadikoesoemo, Soetardjo. 1965. Kebutuhan Daging di Jawa Tengah”
Desa. Bandung: Penerbitan Sumur dalam Sains Peternakan Vol. 8 (1),
Bandung. Maret 2010: 32-39
Khaliq, Abdul. 2011. Analisis Pemasaran ternak Raffles, Thomas Stamford. 1978 [1817]. The
Potong Sapi Bali di Kabupaten Polewali History of Java. Vol. I. Kuala Lumpur:
Mandar. Skripsi. Makassar: Fakultas Oxford University Press.
Sains dan teknologi. Universitas Rigg, Jonathan. 1994. Redefining the Village
Islam Negeri Alauddin. and Rural Life: Lessons from South
Levi-Strauss, Claude. 1963. Structural East Asia. The Geographical Journal,
Anthropology. New York: Basic Vol. 160, No. 2 (Jul., 1994), pp. 123-
Books. 135. DOI: 10.2307/3060071
Li, Tania Murray. 2015. Social impacts of oil palm Rigg, Jonathan and Peter van der Geest
in Indonesia: A gendered perspective (eds.). 2012. Revisiting Rural Places.
from West Kalimantan. Occasional Singapore: NUS Press.
Paper 124. Bogor, Indonesia: CIFOR. Robinson, Geoffrey B. 2018. The Killing Season.
Li, Tania Murray. 2017. After Development: A history of the Indonesian massacres,
Surplus Population and the Politics 1965-66. Princeton: Princeton
of Entitlement. Development and University Press.
Change. 48(6): 1247–1261. DOI: Scott, James C. 1985. Weapons of the Weak:
10.1111/dech.12344 Everyday Forms of Peasant Resistance.
Lucas, Anton. 1989. Peristiwa Tiga Daerah. New Haven: Yale University Press.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Scott, James C. 1990. Domination and the Arts
Mohsin, Anto. 2014. Wiring the New of Resistance. Hidden Transcript. New
Order: Indonesian Village Haven: Yale University Press.
Electrification and Patrimonial Scott, James C. 2012. Decoding subaltern
Technopolitics(1966-1998). Sojourn: politics: ideology, disguise, and
Journal of Social Issues in Southeast resistance in agrarian politics. New
Asia, Vol. 29, No. 1 (March 2014), York: Routledge.
pp.63-95. Semedi, Pujo. 2009. Wild Pig Hunting in
Nusrat, Madina. 2003. Politik Dagang Sapi. Petungkriono. Humaniora. Vol.21.
Skripsi. Yogyakarta: Departemen No.1.

15
Kawistara, Vol. 10, No. 1, 22 April 2020: 1-16

Semedi, Pujo. 2012. Masculinization of a with Sydel Silverman. Pathways of


Javanese Farming Society. Editor Power: Building an Anthropology of the
Jonathan Rigg dan Peter van der Modern World. Berkeley: University
Geest. Revisiting Rural Places. of California Press.
Singapore: NUS Press. Yamauchi, Chikako. 2010. Community-
Semedi, Pujo. 2014b. Book review: Decoding Based Targeting and Initial
subaltern politics. Ideology, disguise Local Conditions: Evidence from
and resistance in agrarianpolitics. Indonesia’s IDT Program. Economic
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Development and Cultural Change,
Volkenkunde, Vol. 170, No. 1 (2014), Vol. 59, No. 1 (October 2010), pp. 95-
pp. 153-156. https://www.jstor.org/ 147. DOI: 10.1086/655456
stable/43817936
Sudarmanto, Bambang. 2005. Produktivitas Arsip, Rekaman, Surat kabar
tenaga kerja keluarga dalam Arsip Nasional Republik Indonesia. Statistiek
pemeliharaan sapi perah di Kecamatan van de Residentie Pekalongan 1820;
Getasan Kabupaten Semarang. Thesis Staatsblad 1903. Jakarta: ANRI.
master. Yogyakarta: Fakultas
Kulu-Kulu Banyumasan, tt. (https://www.
Peternakan, Universitas Gadjah
youtube.com/watch?v=
Mada.
oAWGIzuT9Dg).
Wertheim, W.F. 1965. Society as a Composite of
KITLV. Topographische Kaart der Afdeelingen
Conflicting Value Systems. East-West.
Pekalongan en Batang van de Residentie
Parallel. Chicago: Quadrangle Books
Pekalongan 1863. Leiden: KITLV.
Wolf, Eric. 2001. “Closed corporate Peasant
Nieuwe courant. 27-10-1948. Infiltraties bij
Communities in Mesoamerica and
Pekalongan. Batavia: Nieuwe courant.
Central Java”. Editor Eric R. Wolf
Rhoma Irama, 1980. OM Soneta Vol. 11.
Indonesia. Jakarta: Yukawi record.

16

You might also like