You are on page 1of 58

PENGGUNAAN CITRA SATELIT UNTUK KAJIAN PERKEMBANGAN

KAWASAN PERMUKIMAN DI KOTA SEMARANG


Use of Satellite Imagery for Study of Settlement Area in Semarang
City

Bitta Pigawati dan Iwan Rudiarto


Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro Semarang E-
mail: bitta.pigawati@gmail.com

ABSTRACT
This study aims to examine the development of settlement area in Semarang City using remote
sensing imagery. This study used the spatial approach using quantitative descriptive analysis.
Interpretation of satellite imagery is an initial activity of the stages of analysis. This activity aims to
identify settlement area in the city, the analysis of developments in the residential area of
Semarang will be done on the next step.The results showed that the settlement area in Semarang
City was increased 9.78% from 1994 to 2005. Distribution of land settlement of the least extent in
the subdistrict Gayamsari and Tugu. The largest residential area located in the sub-district
Banyumanik, Tembalang and West Semarang. The regular, distribution is mostly located in
Ngesrep Village, sub-district Banyumanik. On the other hand, the irregular distribution is located
in Pudak Payung Village, sub-district Banyumanik and in the Rowosari Village, sub-district
Tembalang. The composition of regular and irregular pattern were unchanged from 2006 to 2011. The
evaluation result of the suitability of landuse for settlement on the spatial plan (RTRW) all over the
area indicated that more than 80% settlement areas were suitable with the plan.
Keywords: satellite imagery, development, settlements area

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kawasan permukiman di Kota Semarang
dengan menggunakan citra yang dihasilkan oleh teknologi Penginderaan Jauh. Pendekatann yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan spasial menggunakan analisis deskriptif kuantitatif.
Interpretasi citra satelit merupakan kegiatan awal dari tahapan analisis, kegiatan ini bertujuan untuk
mengidentifikasi kawasan pemukiman di Kota Semarang, yang selanjutnya akan dilakukan analisis
perkembangan kawasan permukiman di Kota Semarang. Hasil dari pernelitian ini dapat diketahui telah
terjadi peningkatan luas lahan permukiman di Kota Semarang dari tahun 1994-2005 meningkat
sebesar 9.78%. Sebaran lahan permukiman yang paling sedikit luasnya berada di Kecamatan Gayamsari
dan Kecamatan Tugu, sedang kawasan permukiman terbesar berada pada Kecamatan Banyumanik,
Kecamatan Tembalang dan Kecamatan Semarang Barat. Kawasan Permukiman teratur di Kota Semarang
sebagian besar terdapat di Kelurahan Ngesrep Kecamatan Banyumanik, sedang permukiman tak terdapat
di Kelurahan Pudak Payung Kecamatan Banyumanik dan di Kelurahan Rowosari Kecamatan
Tembalang Komposisi besarnya luas permukiman teratur dan tidak teratur tidak mengalami perubahan
dari tahun 2006 sampai 2011. Hasil evaluasi tingkat kesesuaian pemanfaatan kawasan permukiman
terhadap arahan lokasi permukiman tata ruang (RTRW) di semua kelurahan masih sangat sesuai,
lebih dari 80% berlokasi sesuai arahan RTRW.
)
Kata kunci: citra satelit, perkembangan, kawasan permukiman
PENDAHULUAN dari satu satuan perumahan yang
Aplikasi data penginderaan jauh merupa-
kan bagian yang sangat penting dalam
teknologi penginderaan jauh. Remote
sens- ing refers to the activities of recording,
observing, and perceiving (sensing) objects or
events in far- away (remote) places. In remote
sensing, the sen- sors are not in the direct
contact with the objects or events being
observed (Qihao Weng, 2010).
Masyarakat luas dapat memanfaatkan
teknologi ini untuk melakukan berbagai
kajian atau perencanaan yang terkait
dengan lingkungan dan sumberdaya alam.
Lingkungan per mukiman dapat di-
identifikasi melaui citra yang dihasilkan
oleh teknologi penginderaan jauh, karena
kemajuan teknologi mendukung di
perolehnya data yang mempunyai tingkat
kedetailan yang tinggi.
Jika diukur dari jumlah bidang peng-
gunaannya maupun dari frekuensi
penggunaannya pada tiap bidang,
penggunaan penginderaan jauh memang
meningkat pesat. Peningkatan penggunaan- nya
dikarenakan citra dapat menggambar- kan
obyek, daerah, dan gejala di permuka- an
bumi. Bentuk dan letak obyek relatif
lengkap, dapat meliput daerah luas, dan
bersifat permanen. Sehingga citra
merupakan alat yang baik sekali untuk
pembuatan peta, baik sebagai sumber data
maupun sebagai kerangka letak. Citra dapat
pula berfungsi sebagai model medan.
Berbeda dengan peta yang merupakan
model simbolik dan formula matematik
yang merupakan model analog, citra
(terutama foto udara) merupakan model
ikonik karena ujud gambarnya mirip dengan
obyek yang sebenarnya.
Undang-undang No. 1 Tahun 2011 menjelas-
kan bahwa permukiman merupakan bagian dari
lingkungan hunian yang terdiri atas lebih
mempunyai prasarana, sarana, utilitas adalah masalah lingkungan permukiman
umum, serta mempunyai penunjang yang berpengaruh pada kualitas lingkungan
kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan permukiman (Wesnawa, 2010).
atau kawasan perdesaan. Penyediaan
permukiman merupakan tanggung jawab Perkembangan per mukiman di Kota
pemerintah, swasta atau badan usaha lain Semarang dari tahun ke tahun makin
serta seluruh warga negara. Pembangunan meningkat. Kota Semarang menunjukkan
perumahan/ permukiman perlu memper- kenaikan kebutuhan akan sarana per
hatikan kondisi fisik alam, aturan/ umahan dari tahun 2001–2005
kebijakan normatif yang berlaku (UU No. (Semarang dalam angka, 2005).
1 Tahun 2011). Perkembangan masyarakat Peningkatan kebutuhan sarana perumahan di
sebagai dampak dari pembangunan yang Kota Semarang selaras dengan makin
telah berlangsung tentu membawa meningkatnya jumlah penduduk.
perubahan pada berbagai hal, termasuk Permukiman merupakan suatu kebutuhan
permukiman di perkotaan. dasar penting dari manusia yang terus
berlanjut dan meningkat seiring dengan
Seiring dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk, dinamika
penduduk dan perkembangan kota, penduduk dan adanya tutuntan ekonomi
berdampak pada bertambahnya jumlah serta sosial budaya. Kondisi ini terus
perumahan/ permukiman baik di kota berkembang sehingga di dalam
maupun pedesaan. Perkembangan fisik dan penyelenggaraannya (pembangunan per
penduduk memunculkan sejumlah mukiman) har us disertai dengan
persoalan-persoalan yang salah satunya pendekatan yang terpadu dan perlu adanya
dukungan dari berbagai kebijakan yang permukiman.
menyangkut banyak aspek (Yudohusodo,
Tujuan penelitian ini adalah penggunaan citra
1991).
yang dihasilkan oleh teknologi
Adapun beberapa permasalahan yang Penginderaan Jauh untuk melakukan
terkait dengan penelitian ini meliputi: kajian perkembangan kawasan permukim- an
perubahan yang cepat lingkungan di Kota Semarang.
perkotaan menuntut ketersediaan data yang
memungkinkan untuk menganalisis kondisi
kota yang berubah secara cepat, Citra METODE PENELITIAN
penginderaan jauh (satelit) mempunyai
resolusi spasial dan resolusi temporal yang Bahan dan data yang di gunakan dalam
tinggi, sangat tepat digunakan untuk kajian penelitian Penggunaan Citra Satelit untuk
kawasan permukiman yang mengalami kajian perkembangan kawasan permukim- an
perkembangan sangat cepat, dan di kota semarang adalah Citra satelit, Peta,
perkembangan per mukiman di Kota dan GPS.
Semarang yang relatif cepat menimbulkan Pada penelitian ini dilakukan beberapa
kecenderungan munculnya permukiman- tahapan analisis, output dari tiap analisis
permukiman baru di kawasan yang bukan dijadikan sebagai indikator input untuk
diperuntukkan untuk permukiman. Untuk analisis perkembangan kawasan permukim- an di
dapat merumuskan kebijakan yang tepat kota semarang dengan Citra Satelit Analisis
terkait dengan penyediaan kawasan yang dilakukan meliputi
permukiman bagi masyarakat diperlukan
hasil kajian perkembangan kawasan

)
interpretasi citra, overlay peta dan analisis
data kuantitatif.
Analisis yang dilakukan dalam penelitian
ini adalah sebagain besar pemanfaatan citra
satelit. Tahapan yang dilakukan adalah
persiapan citra, interpretasi citra sampai
pada tahap uji hasil interpretasi (Gambar 1).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Identifikasi Kawasan Permukiman
Kota Semarang
Identifikasi kawasan permukiman di Kota
Semarang dilakukan melalui interpretasi
citra. Pengenalan identitas dan jenis obyek
yang tergambar pada citra merupakan
bagian pokok dari interpretasi citra. Prinsip
pengenalan identitas dan jenis obyek pada
citra mendasarkan pada karakteristik
obyek atau atribut obyek pada citra.
Karakteristik obyek yang tergambar pada
citra dikenali menggunakan 8 (delapan)
unsur interpretasi, yaitu rona atau warna,
ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan,
letak atau situs, dan asosiasi kenampakan
obyek. Unsur-unsur interpretasi tersebut
disusun secara berjenjang untuk
memudahkan dalam pengenalan obyek
pada citra. Susunan berdasarkan pada
tingkat kerumitan dalam pengenalan obyek
(Estes et.al., 1983 dalam Sutanto, 1986).
Citra yang digunakan untuk meng-
identifikasi kawasan permukiman di Kota
Semarang adalah Citra Landsat TM 7
Tahun 1994, 1999, 2005. Berdasarkan
interpretasi citra dapat dibuat Peta
Penggunaan Lahan Kota Semarang, Tahun
1994, 1999, 2005 serta luas Penggunaan
Lahan Kota Semarang, Tahun 1994, 1999,
2005.
Citra tahun 2005 mengalami stripping,
untuk mengurangi kekurangan data pada
Citra Landsat
Citra Landsat Tahun Tahun 1999 Citra Landsat Tahun
1994 2005

Pra Pengolahan
Citra
Penggabungan band

Koreksi geometri

Koreksi radiometri

Kombinasi band

Cropping citra

Klasifikasi
Supervised

Uji Klasifikasi

Peta Penggunaan Lahan KotaPeta Penggunaan Lahan KotaPeta Penggunaan Lahan Kota
Semarang Tahun 1994Semarang Tahun 1999Semarang Tahun 2005

Query Penggunaan Query Penggunaan Query Penggunaan


Lahan Permukiman Lahan Permukiman Lahan Permukiman
Tahun 1994 Tahun 1999 Tahun 2005

Overlay Peta
Penggunaan Lahan
Permukiman
Citra Quickbird (Google
Earth) 2011 Arah Perkembangan
Permukiman Kota
Semarang
Interpretasi Citra
Satelit Permukiman Teratur

Permukiman Tidak Teratur

Trend Perkembangan Per-


mukiman di Kota Semarang

Sumber: analisis data


Gambar 1. Kerangka Analisis
lokasi yang terkena stripping dilengkapi Analisis Klasifikasi Kawasan Permukiman
dengan data sekunder. Kota Semarang hanya dilakukan di dua
Uji medan dilakukan secara random kecamatan yaitu Kecamatan Banyumanik
berdasarkan sampel pengelompokan pixel yang dan Kecamatan Tembalang. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan bahwa di
terwakili.
dua Kecamatan tersebut terdapat kawasan
Data Penggunaan Lahan Kota permukiman yang cukup luas (Tabel 3)
Semarang sehingga diasumsikan dapat mewakili
kondisi permukiman di Kota Semarang
Terjadi perubahan penggunaan Lahan secara keseluruhan. Data yang digunakan
Kota Semarang pada Tahun 1994, 1999 dan untuk klasifikasi kawasan permukiman
2005 ( Tabel 1). Penggunaan lahan adalah Citra Quickbird Tahun 2006 dan
permukiman juga mengalami perubahan Tahun 2011 dari Google Earth.
pada tahun 1994 mempunyai luas 19.95%,
pada tahun 1999 menjadi 26.81% dan pada Klasifikasi Permukiman hanya dilakukan
tahun 2005 meningkat menjadi 29.73 % . pada tingkat pengenalan permukiman
teratur dan tidak teratur. Permukiman
Analisis Perkembangan Kawasan teratur paling besar luasannya di Kelurahan
Permukiman di Kota Semarang Ngesrep Kecamatan Banyumanik sedang
Sebaran lahan permukiman yang paling permukiman tak teratur yang luasannya
sedikit berada di Kecamatan Gayamsari dan cukup besar terdapat di Kelurahan Pudak
Kecamatan Tugu sedang kawasan Payung Kecamatan Banyumanik dan di
permukiman terbesar berada pada Kelurahan Rowosari Kecamatan
Kecamatan Banyumanik, Kecamatan Tembalang (Tabel 4). Komposisi besarnya
luas permukiman teratur dan tidak teratur
Tembalang dan Kecamatan Semarang Barat
tidak mengalami perubahan dari tahun
(Tabel 2). Peningkatan luas kawasan
2006 -2011.
permukiman terdapat di Kecamatan Mijen,
Kecamatan Tembalang dan Kecamatan Distribusi kawasan permukiman dievaluasi
Genuk, sedangkan penurunan luas kesesuiannya terhadap arahan lokasi per-
kawasan permukiman paling besar terjadi mukiman berdasarkan produk dokumen tata
pada Kecamatan Semarang Timur. Pola ruang (RTRW). Tingkat kesesuaian di
sebaran kawasan permukiman Kota semua kelurahan lebih besar dari 80%,
Semarang linier mengikuti ketersediaan sehingga dapat dikatakan bahwa lokasi
akses transportasi yang berupa jalan. kawasan permukiman di Kecamatan
Lokasi yang mempunyai kerapatan jalan Banyumanik dan Tembalang sudah sesuai
tinggi merupakan indikator petunjuk dengan arahan RTRW.
adanya kawasan permukiman yang cukup
luas. Kondisi ini bisa juga berlaku Evaluasi Kesesuaian Permukiman
sebaliknya, karena pemanfaatan kawasan Kota Semarang
difungsikan sebagai permukiman maka Distribusi kawasan permukiman dievaluasi
selanjutnya diikuti pembangunan sarana kesesuiannya terhadap arahan lokasi per
prasarana permukiman yang diantaranya mukiman berdasarkan produk
adalah sarana transportasi yang berupa jalan. dokumen tata ruang (RTRW) (Tabel 5).
Tingkat kesesuaian di semua kelurahan
Klasifikasi Kawasan Permukiman di
Kecamatan Banyumanik dan lebih besar dari 80 %, sehingga dapat
Kecamatan Tembalang
Tabel 1. Penggunaan Lahan Kota Semarang Tahun 1994, 1999, dan 2005

Jenis Penggunaan Tahun


Lahan 1994 (Ha) % 1999 (Ha) % 2005 (H a) %
Lahan Terbuka 1532,36 3,96 1021,97 2,64 1006,33 2,60
Industri 186,93 0,48 348,47 0,90 384,15 0,99
Pemukiman 7715,03 19,95 10367,32 26,81 11496,63 29,73
Vegetasi/ Tanaman 8508,48 22,00 7399,74 19,13 7108,81 18,38
Sawah 17231 44,56 16381,39 42,36 15553,78 40,22
Tegalan 1223,8 3,16 897,41 2,32 868,21 2,24
Tubuh air 2275,65 5,88 2256,95 5,84 2255,34 5,83
Jumlah 38673,25 100,00 38673,25 100, 00 38673,25 100,00
Sumber: hasil interpretasi citra landsat, 2011

Tabel 2. Sebaran Lahan Permukiman Kota Semarang Tahun 1994, 1999, dan 2005
Dirinci Per Kecamatan

Tahun 1994 Tahun 1999 tahun 2005


Kecamatan
Luas (Ha) % Luas(Ha) % Luas(Ha) %
Mijen 230.37 2.99 489.12 4.72 758.93 6.60
Gunungpati 319.77 4.14 507.08 4.89 623.89 5.43
Banyumanik 820.87 10.64 1066.1 10.28 1214.57 10.56
Gajah Mungkur 407.77 5.29 538.09 5.19 551.73 4.80
Semarang Selatan 511.72 6.63 563.3 5.43 563.3 4.90
Candisari 416.86 5.40 519.51 5.01 519.51 4.52
Tembalang 762.5 9.88 1046.86 10.10 1159.82 10.09
Pedurungan 443.08 5.74 768.99 7.42 898.82 7.82
Genuk 172.39 2.23 336.24 3.24 573.9 4.99
Gayamsari 203.98 2.64 329.43 3.18 342.64 2.98
Semarang Timur 401.64 5.21 451.84 4.36 451.84 3.93
Semarang Utara 570.13 7.39 706.54 6.82 706.54 6.15
Semarang Tengah 460.41 5.97 508.5 4.90 508.5 4.42
Semarang Barat 1017.47 13.19 1182.06 11.40 1182.06 10.28
Tugu 207.99 2.70 297.09 2.87 297.09 2.58
Ngaliyan 768.08 9.96 1056.57 10.19 1143.49 9.95
Jumlah 7715.03 100.00 10367.32 100.00 11496.63 100.00

Sumber: hasil interpretasi citra landsat, 2011


Tabel 3. Luasan Penggunaan Lahan di Kecamatan Banyumanik dan Tembalang Tahun
2006 dan 2011

Tahun Tahun 2011


No Jenis Penggunaan Lahan
2006 (Ha)
(Ha)
1. Campuran Perdagangan dan Jasa,
Permukiman 147,88 139,46 -8,42
2. Gardu Induk PLN 1,75 1,75 0,00
3. Gereja 0,63 0,63 0,00
4. Industri 45,73 45,73 0,00
5. Jalan 267,02 282,57 15,55
6. Kawasan Khusus Militer 321,95 321,95 0,00
7. Kebun 374,25 356,17 -18,08
8. Konservasi 1251,21 1227,47 -23,74
9. Lahan Kosong 1019,85 896,89 -122,96
10. Lapangan 7,05 7,05 0,00
11. Makam 103,12 103,12 0,00
12. Masjid 3,95 3,95 0,00
13. Olah Raga dan Rekreasi 264,75 263,78 -0,97
14. Pasar 2,60 2,60 0,00
15. Pemukiman Tak Teratur 1206,63 1242,86 36,23
16. Pemukiman Teratur 821,70 979,36 157,66
17. Perdagangan dan Jasa 44,26 44,26 0,00
18. Perguruan Tinggi 122,58 122,58 0,00
19. Perkantoran 57,94 57,96 0,02
20. Pertanian Lahan Basah 417,11 392,80 -24,31
21. Pertanian Lahan Kering 684,94 674,28 -10,66
22. Puskesmas 4,51 4,51 0,00
23. Rumah Sakit 7,88 7,88 0,00
24. Sekolah 20,54 20,54 0,00
25. Taman 23,04 22,85 -0,19
26. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) 4,56 4,56 0,00
27. Terminal 2,51 2,51 0,00
28. Vihara 2,56 2,56 0,00
29. Waduk 6,30 6,30 0,00
Jumlah 7238,80 7238,93
Sumber: hasil interpretasi citra quickbird tahun 2006 dan quickbird tahun 2011 (Google
Earth)
Tabel 4. Luasan Penggunaan Lahan Pemukiman di Kecamatan Banyumanik dan
Tembalang Tahun 2006 dan 2011
Kecamatan Kelurahan Jenis pemukiman Tahun 2006 Tahun 2011
Kec. Banyumanik Pudak Payung Pemukiman Tak Teratur 116,94 116,94
Pemukiman Teratur 57,31 71,12
Gedawang Pemukiman Tak Teratur 50,87 53,01
Pemukiman Teratur 13,61 29,59
Jabungan Pemukiman Tak Teratur 23,07 24,16
Pemukiman Teratur 0,00 2,81
Padangsari Pemukiman Tak Teratur 10,66 10,66
Pemukiman Teratur 47,76 48,96
Banyumanik Pemukiman Tak Teratur 58,34 58,34
Pemukiman Teratur 24,40 24,40
Srondol Wetan Pemukiman Tak Teratur 68,60 68,60
Pemukiman Teratur 53,55 55,52
Pedalangan Pemukiman Tak Teratur 79,16 78,66
Pemukiman Teratur 51,16 61,20
Sumur Boto Pemukiman Tak Teratur 64,88 64,40
Pemukiman Teratur 39,74 39,74
Srondol Kulon Pemukiman Tak Teratur 43,29 43,29
Pemukiman Teratur 53,34 53,34
Tinjomoyo Pemukiman Tak Teratur 70,64 70,64
Pemukiman Teratur 15,91 15,91
Ngesrep Pemukiman Tak Teratur 50,95 50,95
Pemukiman Teratur 110,94 110,94
Kec. Tembalang Rowosari Pemukiman Tak Teratur 108,05 108,05
Pemukiman Teratur 0,00 0,00
Meteseh Pemukiman Tak 96,11 96,88
Teratur
Pemukiman Teratur 39,77 66,68
Kramas Pemukiman Tak Teratur 41,54 42,12
Pemukiman Teratur 9,76 22,70
Tembalang Pemukiman Tak Teratur 42,99 42,99
Pemukiman Teratur 14,17 17,81
Bulusan Pemukiman Tak Teratur 27,61 27,83
Pemukiman Teratur 3,57 3,57
Mangunharjo Pemukiman Tak Teratur 40,51 41,38
Pemukiman Teratur 9,33 17,67
Sendang Mulyo Pemukiman Tak Teratur 55,66 56,47
Pemukiman Teratur 157,46 186,75
Sambiroto Pemukiman Tak Teratur 16,07 16,07
Pemukiman Teratur 21,31 21,32
Jangli Pemukiman Tak Teratur 31,47 41,11
Pemukiman Teratur 7,56 15,85
Tandang Pemukiman Tak Teratur 29,48 49,50
Pemukiman Teratur 28,19 28,19
Kedung Mundu Pemukiman Tak Teratur 26,87 26,87
Pemukiman Teratur 49,32 71,74
Sendangguwo Pemukiman Tak Teratur 52,89 53,96
Pemukiman Teratur 13,55 13,55
Sumber: hasil interpretasi citra quickbird tahun 2006 dan quickbird tahun 2011 (Google
Earth)
Tabel 5. Evaluasi Kesesuaian Kawasan Permukiman Kecamatan Banyumanik dan
Kecamatan Tembalang

Kecamatan Kelurahan Kesesuaian Luas (Ha) Total Luas (Ha) %


Banyumanik Pudak Payung Sesuai 185.32 188.06 98.54
Tidak Sesuai 2.74 1.46
Banyumanik Gedawang Sesuai 65.89 82.6 79.77
Tidak Sesuai 16.71 20.23
Banyumanik Jabungan Sesuai 25.88 26.97 95.96
Tidak Sesuai 1.09 4.04
Banyumanik Padangsari Sesuai 54.52 59.63 91.43
Tidak Sesuai 5.11 8.57
Banyumanik Banyumanik Sesuai 82.74 82.74 100.00
Tidak Sesuai 0 0.00
Banyumanik Srondol Wetan Sesuai 119.97 124.38 96.45
Tidak Sesuai 4.41 3.55
Banyumanik Pedalangan Sesuai 137.3 139.86 98.17
Tidak Sesuai 2.56 1.83
Banyumanik Sumurboto Sesuai 99.46 104.15 95.50
Tidak Sesuai 4.69 4.50
Banyumanik Srondol Kulon Sesuai 94.84 96.63 98.15
Tidak Sesuai 1.79 1.85
Banyumanik Tinjomoyo Sesuai 73.12 86.55 84.48
Tidak Sesuai 13.43 15.52
Banyumanik Ngesrep Sesuai 158.95 161.9 98.18
Tidak Sesuai 2.95 1.82
Tembalang Rowosari Sesuai 108.04 108.05 99.99
Tidak Sesuai 0.01 0.01
Tembalang Meteseh Sesuai 158.27 163.56 96.77
Tidak Sesuai 5.29 3.23
Tembalang Kramas Sesuai 48.79 64.82 75.27
Tidak Sesuai 16.03 24.73
Tembalang Tembalang Sesuai 60.71 60.82 99.82
Tidak Sesuai 0.11 0.18
Tembalang Bulusan Sesuai 31.4 31.4 100.00
Tidak Sesuai 0 0.00
Tembalang Mangunharjo Sesuai 50.87 59.05 86.15
Tidak Sesuai 8.18 13.85
Tembalang Sendang Mulyo Sesuai 239.35 243.07 98.47
Tidak Sesuai 3.72 1.53
Tembalang Sambiroto Sesuai 37.38 37.39 99.97
Tidak Sesuai 0.01 0.03
Tembalang Jangli Sesuai 52.96 56.96 92.98
Tidak Sesuai 4 7.02
Tembalang Tandang Sesuai 75.65 77.86 97.16
Tidak Sesuai 2.21 2.84
Tembalang Kedung Mundu Sesuai 89.87 96.21 93.41
Tidak Sesuai 6.34 6.59
Tembalang Sendangguwo Sesuai 49.3 50.69 97.26
Tidak Sesuai 1.39 2.74

Sumber: hasil interpretasi citra quickbird tahun 2006 dan quickbird tahun 2011 (Google
Earth)
dikatakan bahwa lokasi kawasan permukiman di Kecamatan Banyumanik dan
Kecamatan Tembalang sudah sesuai dengan dengan resolusi rendah misal citra landsat
arahan RTRW Kota Semarang. Hal ini dapat hanya bisa digunakan untuk analisis spasial
dilihat pada Gambar 2. yang bersifat makro. Dalam penelitian ini
citra landsat digunakan untuk mengkaji pola
Analisis Kecenderungan Distribusi
sebaran permukiman dan arah per-
Ruang Kawasan Permukiman Ke-
kembangan permukiman Kota Semarang.
camatan Tembalang dan Kecamatan
Banyumanik
Kecenderungan perkembangan kawasan KESIMPULAN DAN SARAN
permukiman di kecamatan Tembalang dan
Banyumanik mengarah pada ketersediaan Kawasan Permukiman di kota Semarang
distribusi kawasan yang belum terbangun/ mengalami perubahan luas, pada tahun
lahan non permukiman yang memungkin- 1994 mempunyai luas 19.95%, tahun 1999
kan untuk pengembangan permukiman. menjadi 26.81% dan tahun 2005
Distribusi ruang/ lahan yang memungkin- meningkat menjadi 29.73%. Sebaran lahan
kan untuk perkembangan kawasan permukiman yang paling sedikit berada di
permukiman di Kecamatan Tembalang dan Kecamatan Gayamsari dan Kecamatan
Kecamatan Banyumanik dapat dilihat pada Tugu sedang kawasan per mukiman
Gambar 3. terbesar berada pada Kecamatan
Banyumanik, Kecamatan Tembalang dan
Analisis Kemampuan Citra untuk Kecamatan Semarang Barat. Pola sebaran
Kajian Perkembangan Kawasan kawasan permukiman Kota Semarang
Per- mukiman mengikuti ketersediaan akses transportasi yang
berupa jalan. Permukiman teratur paling
Citra dapat digunakan untuk monitoring besar luasannya di Kelurahan Ngesrep
perkembangan kawasan permukiman dan Kecamatan Banyumanik sedang
perkotaan yang relative pesat per- permukiman tak teratur yang luasannya
kembangannya. Tingkat ketelitian data cukup besar terdapat di Kelurahan Pudak
yang diperoleh tergantung pada resolusi Payung Kecamatan Banyumanik dan di
citra. Citra dengan resolusi tinggi Kelurahan Rowosari Kecamatan
memungkinkan untuk interpretasi obyek Tembalang Komposisi besarnya luas
yang ukurannya kecil, sehingga akan dapat permukiman teratur dan tidak teratur tidak
digunakan untuk analisis sangat detail. mengalami perubahan dari tahun 2006-
Untuk klasifikasi permukiman teratur dan 2011. Hasil evaluasi tingkat kesesuaian
tidak teratur di Kecamatan Tembalang terhadap arahan lokasi permukiman
digunakan Citra Quickbird. Pemukiman tak berdasarkan RTRW di semua kelurahan
teratur sampai pemukiman kumuh secara lebih dari 80%, berarti lokasi kawasan
fisik dapat dideteksi dari citra satelit resolusi permukiman di Kecamatan Banyumanik dan
tinggi. Pemukiman tak teratur sampai Tembalang sesuai dengan arahan RTRW.
Pemukiman Kumuh adalah pemukiman Kecenderungan perkembangan kawasan
dengan unit-unit rumah yang mempunyai permukiman di Kecamatan Tembalang
ukuran kecil-kecil, serta kondisi fisik dan Kecamatan Banyumanik mengarah pada
lingkungan sedang hingga buruk. ada ketersediaan lahan yang belum terbangun
penelitian ini Sedangkan citra yang terletak dekat lokasi permukiman dan
memungkinkan untuk digunakan sebagai
pengembangan kawasan
Sumber: hasil interpretasi citra quickbird tahun 2011 (Google
Earth)
Gambar 2. Peta Evaluasi Kesesuaian Kawasan Permukiman
Kecamatan Tembalang dan Kecamatan Banyumanik

Sumber: hasil interpretasi citra quickbird tahun 2011 (Google


Earth)
Gambar 3. Peta Peluang Pengembangan Permukiman
Kecamatan Banyumanik dan Tembalang
per mukiman. Kawasan Per mukiman Citra Quickbird merupakan citra satelit
teratur di Kota Semarang sebagian besar resolusi tinggi yang dihasilkan Teknik
terdapat di Kelurahan Ngesrep Kecamatan Penginderaan jauh dapat digunakan untuk
Banyumanik sedang permukiman tak klasifikasi permukiman teratur dan tidak
teratur terdapat di Kelurahan Pudak teratur di Kecamatan Tembalang dan
Payung Kecamatan Banyumanik dan di Kecamatan Banyumanik sedangkan citra
Kelurahan Rowosari Kecamatan landsat yang mempunyai resolusi rendah
Tembalang. Komposisi besarnya luas hanya bisa digunakan untuk mengkaji pola
permukiman teratur dan tidak teratur tidak sebaran permukiman dan arah per-
mengalami perubahan dari tahun 2006 kembangan permukiman Kota Semarang.
sampai 2011.

DAFTAR PUSTAKA

Bintarto. (1979). Metode Analisa Geografi. LP3ES, Jakarta.

Floyd. F Sabins, JR, Second Edition. Remote Sensing. Principle and Interpretations. New
York.
HW Freeman and Company.

Wesnawa, I.G.A. (2010). Perubahan Lingkungan Permukiman Mikro Daerah Perkotaan Berbasis
Konsep Tri Hita Karana di Kabupaten Buleleng Bali. Forum Geografi Vol 24 no 2
Desember 2010. Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Kuswatojo, dkk. (2005). Perumahan dan Pemukiman di Indonesia. Bandung. Penerbit

ITB Mulyadi, Muhammad. (2009). Partisipasi Masyarakat dan Pembangunan Masyarakat.

Tangerang.
Nadi Pustaka

Purwadhi H, Sri dan Sanjoto B Tjaturahono. (2008). Pengantar Interpretasi Citra


Penginderaan Jauh Jakarta. Pusat Data Penginderaan Jauh Lapan dan Jurusan
Geografi Unnes. Semarang.

Weng, Q. (2010). Remote Sensing and GIS Integration :Theories, Methods, and Applications . New
York. McGraw-Hill Company

Santoso, Jo. (2002). Sistem Perumahan Sosial. Jakarta. IAP

Sastra, Suparno. (2006). Perencanaan dan Pembangunan Perumahan. Yogyakarta. Penerbit Andi

Sutanto. (1986). Penginderaan Jauh Jilid 1. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press

UU No 4/ 1992 tentang. Perumahan dan Kawasan Pemukiman

Yudhohusodo, Siswono. (1991). Rumah untuk Seluruh Rakyat. Jakarta. Yayasan


Padamu Negeri.

RIVIEW JURNAL 1

Judul Penggunaan citra satelit untuk kajian


perkembangan kawasan permukiman
di kota semarang

Jurnal Forum Geografi


Volume Vol. 25, No. 2
Tahun 2011
Penulis Bitta Pigawati dan Iwan Rudiarto
Reviewer Torang namora
Tanggal 8 november 2020
Tujuan artikel jurnal Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji perkembangan di kawasan
permukiman lebih tepatnya dikota
semarang dengan menggunakan citra
yang dihasilkan oleh teknologi
penginderaan jauh.
Inti dari jurnal Melakukan survey terhadap
perkembangan kawasan permukiman
di kota semarang.
Hasil penelitian Hasil dari penelitian ini menunjukan
bahwa adanya peningkatan
penggunaan Lahan Kota Semarang
pada Tahun 1994, 1999 dan 2005
(Tabel 1). Penggunaan lahan
permukiman juga mengalami
perubahan pada tahun 1994
mempunyai luas 19.95%, pada tahun
1999 menjadi 26.81% dan pada tahun
2005 meningkat menjadi 29.73 % .
Kesimpulan Terjadi perubahan luas pada kawasan
permukiman di kota semarang yakni
dengan luas 19.95% pada tahun 1994,
26.81% pada tahun 1999, dan 29.73%
pada tahun 2005.kecamatan gayam
sari dan kecamatan tugu sedang
menjadi daerah sebaran lahan
permukiman paling sedikit dan
Kecamatan Banyumanik, Kecamatan
Tembalang dan Kecamatan Semarang
Barat menjadi daerah dengan seabaran
lahan permukiman terbesar.
PEMANFAATAN CITRA SATELIT DALAM MENGIDENTIFIKASI PERUBAHAN
PENUTUPAN LAHAN : STUDI KASUS HUTAN LINDUNG REGISTER 22 WAY WAYA
LAMPUNG TENGAH

(Utilization of Satellite Imagery in Identifying of Land Cover Changes :


Case Study of Protected Forest of Register 22
Way Waya Central Lampung)

oleh/by:
Tamaluddin Syam1, Arif Darmawan1, Irwan Sukri
2
Banuwa1 dan Kuswibowo
Ningsih
1
Dosen Fakultas Pertanian Unila, Jln. Sumantri Brojonegoro 1 Bandar
Lampung e-mail: tamal_syam@unila.ac.id; tamal_syam@yahoo.com.
2
Staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lampung Tengah

Diterima (received): 30 Juli 2012; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 7 September 2012

ABSTRAK
Penggunaan teknologi penginderaan jauh di bidang kehutanan merupakan salah satu
pilihan yang tepat untuk memperoleh data yang cepat, akurat dan relatif murah untuk
mendeteksi perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Data series citra satelit dengan
resolusi spasial yang tinggi digunakan untuk mendeteksi perubahan penutupan lahan di
Kawasan Hutan Lindung Reg 22 Way Waya Kabupaten Lampung Tengah dalam kurun
waktu 10 tahun terakhir, yaitu tahun 2000, 2004 dan 2010. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu metode klasifikasi terbimbing (supervised classification). Hasil analisis
citra dan cek lapang menunjukkan adanya perubahan luasan dari masing-masing jenis
penutupan lahan. Hutan sekunder (Hs) mengalami penurunan luas tutupan ± 5,2 % pada
tahun 2004 dibandingkan dengan penutupan tahun 2000. Pada tahun 2000 hutan sekunder
mempunyai luas 686,79 ha, turun menjadi 413,27 ha pada tahun 2004. Selanjutnya pada
pengamatan tahun 2010 terjadi peningkatan kembali yang cukup signifikan dengan luas
tutupan lahan sebesar 745,58 ha atau sekitar 14,57% dari luas keseluruhan. Peningkatan
tutupan lahan hutan sekunder ini kemungkinan besar disebabkan dari hasil kegiatan
reboisasi melalui program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) dan Hutan
Kemasyarakatan (HKm) yang dilakukan pada tahun 2003.

Kata kunci: Citra Satelit, Klasifikasi Terbimbing, Penutupan Lahan, Hutan Lindung

ABSTRACT
The use of remote sensing technology in forestry sector is considered to be a proper
choice for detecting land cover and land use changes fastly, cheaply and realitively cheaper.
The series of satellite imageries with high spatial resolution was used to detect the land
cover changes in Protected Forest Area of Reg 22 Way Waya of Central Lampung District
during the last 10 years, namely 2000, 2004 and 2010. The method was used in this
research is a supervised classification method. The image analysis results indicate that
there were changes of each land cover type area. The secondary forest (Hs) land cover
decreased about 5,2% in the period of 2004 compared to the year in 2000 (from 686.79
hectare to 413, 27 hectare). Meanwhile, the observation in 2010, the secondary forest (Hs)
land cover was increased significantly against with an area of 745.58 hectares
(approximately 14.57% of the total area). The increase of the secondary forest cover is most
likely caused by the reforestation program of the Forest and Land Rehabilitation Activity
(GNRHL) and Community Forestry in 2003.

Keywords: Satellite Images, Supervised Classifications, Land Cover, Protected Forest

PENDAHULUAN penting dari sisi ekonomi dan ekologi


pada kelestarian daerah aliran sungai
Konversi hutan menjadi lahan perta-
(DAS), yaitu sebagai pengatur tata air.
nian disadari menimbulkan banyak
Apabila terjadi kerusakan pada hutan
masalah seperti penurunan kesuburan
lindung, maka komponen-komponen
tanah, erosi, kepunahan flora dan
pendukung hutan lindung akan
fauna, banjir pada musim penghujan
terganggu pula. Tingkat gangguan ini
dan kekeringan pada musim kemarau,
bervariasi tergantung dari tingkat
bahkan menyumbang terhadap
kerusakan yang ditimbulkan, mulai dari
perubahan iklim lingkungan global.
bencana tingkat lokal yang berdampak
Masalah ini bertambah serius dari
sosial ekonomi kecil sampai
waktu ke waktu sejalan dengan
meningkat- nya jumlah urbanisasi dan
peningkatan jumlah penduduk yang
berakibat pada meningkatnya
kebutuhan luas areal lahan yang
dikonversi menjadi lahan usaha lain,
baik dari lahan pertanian menjadi
daerah pemukiman maupun dari lahan
hutan menjadi lahan perkebunan atau
lahan pertanian (Verbist, dkk., 2004).
Krisis moneter yang melanda
Indonesia di era tahun 1997 ditambah
terjadinya reformasi politik, ekonomi
dan keamanan semakin mempercepat
alih fungsi lahan terutama di sektor
kehutanan dengan maraknya kegiatan
penebangan liar dan perambahan hutan,
sehingga berdampak pada kondisi
hutan pada saat ini.
Keberadaan hutan, dalam hal ini
daya dukung hutan terhadap segala
aspek kehidupan manusia, satwa dan
tumbuhan sangat ditentukan pada
tinggi rendahnya kesadaran manusia
akan arti penting hutan di dalam
pemanfaatan dan penge- lolaan hutan.
Khususnya pada kawasan hutan
lindung yang berpengaruh sangat
ar

bencana nasional dan global. Berbagai berubah menjadi penutupan lahan lain
bencana yang berturut-turut terjadi seperti semak belukar, pertanian
hampir di seluruh pelosok tanah air campuran, lahan terbuka dan lain-lain.
seperti banjir, kekeringan, tanah Sedangkan fungsi hutan lindung dapat
longsor adalah efek tidak langsung diperoleh apabila hutan terjamin
dan langsung dari fenomena hilangnya eksistensinya sehingga dapat berfungsi
fungsi lindung dari hutan dan kawasan secara optimal. Fungsi- fungsi ekologi,
lindung (Purwanto, dan Josien, 2004). ekonomi dan sosial dari hutan akan
Seperti halnya kondisi hutan yang memberikan peranan nyata apabila
ada di Kabupaten Lampung Tengah, pengelolaan sumberdaya alam hutan
dengan luas 8,5% dari luas daratan. seiring dengan upaya pelestarian untuk
Kondisinya sebagian besar sudah mewujudkan pembangunan
mengalami kerusak- an, sehingga berkelanjutan. Perubahan penutupan
kegiatan pengelolaan hutan perlu lahan ini dapat menjadi ancaman bagi
mendapatkan perhatian yang serius keanekaragaman hayati sebagai akibat
dari berbagai pihak. Rusaknya Hutan dari kehancuran vegetasi alami dan
Lindung Reg 22 Way Waya dimulai fragmentasi alam di Kawasan Hutan
pada era reformasi di tahun 1998 Lindung Reg 22 Way Waya. Cepatnya
dimana perambahan dan illegal laju perubahan penutupan lahan yang
logging marak terjadi disana (BPS terjadi membutuhkan sebuah
Kab. Lampung Tengah, 2010). penanganan yang terpadu melalui pola
Kondisi ini menyebabkan pengelolaan hutan yang lestari.
perubahan penutupan lahan yang Kegiatan monitoring dengan
semula hutan primer dan sekunder memanfaatkan data penginderaan jauh
(inderaja) merupakan salah satu cara biaya yang relatif murah (Jaya, 2010).
yang tepat dalam memantau kondisi Pemanfaatan citra satelit yang mem-
hutan dalam waktu yang relatif cepat, punyai resolusi spasial yang tinggi sangat
efektif dan efisien. efektif dalam mendeteksi penampakan
Inderaja dan Sistem Informasi Geo- obyek di permukaan bumi. Yuksel, dkk.,
grafis (SIG) merupakan jawaban atas 2008 dalam Asyakur dan Adnyana, 2009
sejumlah keterbatasan peta yang menyatakan bahwa pemanfaatan citra
dihasilkan dengan teknik kartografi Landsat dengan resolusi spasial 30 m
manual. Informasi atau data digital dari sangat efektif dalam mengklasifikasi
penginderaan jauh dapat dipergunakan daerah dengan tutupan yang homogen,
langsung ke dalam program SIG akan tetapi berkurang keakurasiannya
(Arronof, 2005). untuk daerah yang heterogen.
Beberapa keunggulan dari data Citra Satelit ALOS (Advance land
inderaja adalah (1) mampu Observing Satellite) dengan sensor AVNIR2
(Advance Visible and Near Infrared
memberikan data yang unik yang tidak Radiometer type-2) merupakan satelit jenis
bisa diperoleh dengan menggunakan baru yang dimiliki oleh Jepang. Citra ALOS
sarana lain, (2) mempermudah AVNIR2 memiliki resolusi spasial 10 m yang
pekerjaan lapangan, (3) mampu diharapkan dapat menganalisa daerah-daerah
memberikan data yang lengkap dalam yang mem- punyai tutupan lahan yang
heterogen.
waktu yang relatif singkat dan dengan
Pemanfaatan data citra satelit Waya dalam kurun waktu 10 tahun
dengan resolusi spasial tinggi dan terakhir menggunakan data citra
direkam dalam beberapa tahun Landsat ETM+ tahun 2000 dan tahun
pengamatan dapat dimanfaatkan dalam 2004 dan citra ALOS AVNIR-2 tahun
memonitor perubahan penutupan dan 2010.
penggunaan lahan di dalam Kawasan
Hutan Lindung Reg 22 Way Waya
METODE PENELITIAN
Kab. Lampung Tengah.
Penelitian ini bertujuan untuk Lokasi Penelitian
menge- tahui perubahan penutupan
lahan di dalam Kawasan Hutan Lokasi penelitian merupakan
Lindung Reg 22 Way Kawasan Hutan Lindung Reg 22 Way
Waya Kabupaten Lampung Tengah
yang terletak pada koordinat : 478.000-
490.000 mT dan 9.420.000-9.435.000
mU dengan luas total
5.118 ha.
Lokasi Hutan Lindung Register 22
Way Waya mempunyai batas-batas
wilayah sebagai berikut: sebelah utara
berbatasan dengan Hutan Lindung
Register 39 Kota Agung, sebelah
selatan dengan Hutan Lindung Register
22 Way Waya wilayah Kabupaten
Tanggamus, sebelah barat dengan
Hutan Lindung Register 39 Kota
Agung Utara, dan sebelah timur
berbatasan dengan lahan marga
masyarakat Kecamatan Sendang
Agung.
Letak lokasi penelitian dalam bagan
Peta Kabupaten Lampung Tengah
disajikan pada Gambar 1.

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam


peneli- tian ini berupa data citra satelit
Landsat ETM+ path 124 row 64
perekaman tanggal
4 Mei 2000 dan perekaman tanggal 24
Maret 2004, serta citra satelit ALOS
AVNIR-2 hasil perekaman tanggal 11
Mei 2010 yang terletak pada koordinat
ar

lokasi penelitian. yang telah dirilis oleh Kemen- terian


Data penunjang lainnya yang Kehutanan Indonesia serta Peta Rupa
digunakan sebagai referensi dalam Bumi Indonesia tahun 1996 skala 1 :
pengolahan citra yaitu Peta 50.000 yang dikeluarkan oleh Badan
Tutupan Lahan Tahun 2000, 2003 Koordinasi Survei dan Pemetaan
dan 2006 dengan skala 1 : 750.000 Nasional (Bakosurtanal).
digunakan dalam penelitian ini adalah:
metode kemiripan maksimum
(maksimum likelihood method)
(Lillesand and Kiefer, 1994).
Klasifikasi penutupan lahan pada
citra dikelompokkkan ke dalam enam
kategori penutupan lahan sebagai
berikut: 1. Hutan Sekunder (Hs), 2.
Semak Belukar (B), 3. Pertanian Lahan
Kering (Pt), 4. Pertanian Campuran
(Pc), 5. Lahan terbuka (T) dan
6. Awan (Aw).

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Prosedur penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan


secara bertahap, meliputi pengadaan
citra ALOS AVNIR-2 dan citra
Landsat, studi pustaka, pengolahan
citra dan interpretasi data penginderaan
jauh. Langkah-langkah dalam
pengolahan citra dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak
ERDAS
8.5. Bagan alir penelitian disajikan
pada
Gambar 2.

Interpretasi Citra
Pengklasifikasian citra merupakan
suatu proses yang dilakukan untuk
mengelompokkan suatu obyek pada
citra dengan cara mengidentifikasi
corak warna kenampakan obyek
tersebut pada citra. Metode
pengkelasan (klasifikasi) yang
Pemeriksaan Lapangan penggunaan lahan dari waktu ke waktu
dengan menganalisis besaran luas lahan
Penentuan contoh pada tahap
yang mengalami perubahan. Dalam
pemeriksaan lapangan dilakukan
analisis spasial ini juga diperlukan data
dengan membuat area contoh
pendukung lainnya antara lain data
(training area) pada citra di setiap
sekunder dari berbagai literatur yang
kategori penutupan lahan, dengan
sudah ada, baik dari buku maupun
menggunakan metode purposive
laporan penelitian.
sampling.
Area contoh (training area) yang
dibuat pada penelitian ini sebanyak 50
buah yang mewakili lima kategori
penutupan lahan yang ada di lokasi
penelitian yaitu kelas hutan sekunder,
semak belukar, lahan terbuka,
pertanian campuran dan pertanian
lahan kering. Penentuan area contoh
digunakan peta dasar yang dapat
dipakai untuk referensi lokasi, peta
yang digunakan adalah peta RBI
(Rupa Bumi Indonesia) wilayah
Lampung Tengah skala 1:50.000 dan
peta topografi tahun 2009.
Pemeriksaan lapangan (ground check)
terhadap koordinat objek dilakukan
dengan menggunakan GPS tipe
navigasi. Posisi area contoh di lokasi
penelitian disajikan pada Gambar 3.

Re-interpretasi Citra
Untuk memperoleh tingkat
keakurasian dalam interpretasi data
maka perlu dilakukan pengolahan data
lanjutan berupa re-interpretasi citra.
Proses re-interpretasi dilakukan
dengan keakuratan pengamatan
lapang, yaitu kecocokan antara
interpretasi awal dengan kondisi
aktual di lapangan.
Selanjutnya dilakukan analisis
spasial meliputi analisis luas lahan
yang mengalami perubahan dari setiap
tahun perekaman citra. Pada tahapan
ini dikaji pula pola perubahan
ar

Data Digital Citra Satelit:


Citra Landsat ETM+ Tahun 2000
Citra Landsat ETM+ Tahun 2004
Citra ALOSVNIR2 Tahun 2010

Interpretasi Citra

Peta RBI Lamteng Peta Topografi

Overlay

Peta pengamatan lapang

Cek Lapangan

Reinterpretasi citra

Citra Hasil Interpretasi

Gambar 2. Bagan Alir Penelitian

Gambar 3. Posisi Area contoh


HASIL DAN PEMBAHASAN
Klasifikasi terbimbing adalah perubahan luas dari tahun 2000 sampai
klasifikasi yang dilakukan dengan dengan tahun 2004, dimana pada tahun
arahan analis (supervised). Kriteria 2000 luas hutan sekunder mencapai
pengelompokkan kelas ditetapkan 686,79 ha kemudian mengalami
berdasarkan penciri kelas (signature penurunan luas menjadi 413,27 ha di
class) yang diperoleh melalui tahun 2004, akan tetapi pada tahun
pembuatan ‘training area’. Citra hasil 2010 teridentifikasi kembali mengalami
klasifikasi terbimbing untuk masing- peningkatan luas menjadi 745,58 ha.
masing kategori penutupan lahan untuk Demikian juga dengan kelas penutupan
setiap tahun perekaman yaitu tahun lahan terbuka (T) terlihat mengalami
2000, 2004, dan 2010 disajikan perubahan luas yang sangat signifikan
berturut-turut dari tiap-tiap tahun pengamatan.
pada Gambar 4, 5 dan 6.
Terjadinya perubahan luasan ini
Kemudian dari hasil analisis spasial
diakibatkan adanya krisis politik dan
klasifikasi secara terbimbing citra
ekonomi yang melanda Indonesia sejak
Landsat ETM+ tahun 2000, 2004 dan
tahun 1997 yang berdampak pula pada
Citra ALOS AVNIR2 tahun 2010 pada
sektor kehutanan berupa penjarahan
kawasan Hutan Lindung Register 22
lahan dan illegal logging yang
Way Waya, didapatkan luasan masing-
dilakukan secara besar-besaran oleh
masing kategori penutupan lahan
masyarakat yang ada disekitar hutan
selengkapnya seperti tertera pada
maupun yang datang dari luar daerah.
Tabel 1.
Kelas Hutan Sekunder (Hs)
mengalami
ar

Gambar 4. Peta Penutupan Lahan Tahun 2000


Gambar 5. Peta Penutupan Lahan Tahun 2004

Gambar 6. Peta Penutupan Lahan Tahun 2010


ar

Tabel 1. Data Luas Penutupan Lahan Tahun 2000, 2004 dan 2010
Luas
Tipe Penutupan
No Tahun 2000 Tahun 2004 Tahun 2010
Lahan
(ha) (%) (ha) (%) (ha) (%)
1 Hutan Sekunder (Hs) 686,79 13,23 413,27 8,07 745,58 14,57
2 Semak Belukar (B) 919,94 17,74 1.717,46 33,56 1.471,02 28,74
3 Pertanian Lahan
Kering (Pt) 345,52 6,75 483,32 10,44 569,32 11,12
4 Pertanian Campuran
(Pc) 2.862,37 56,43 1.390,52 27,17 1.249,93 24,42
5 Lahan Terbuka (T) 228,65 4,38 535,37 11,41 462,22 9,03
6 Awan (Aw) 74,73 1,46 478,06 9,34 619,93 12,11
Jumlah 5.118,00 5.118,00 5.118,00

Penutupan lahan yang pada tahun Dari hasil analisis menggunakan metode
2000 teridentifikasi sebagai pertanian klasifikasi terbim- bing untuk
campuran pada tahun 2004 mengalami pengamatan tahun 2000, sebagai contoh
penurunan tajam dan teridentifikasi kelas tutupan lahan berupa Hutan
sebagai semak belukar, karena sejak sekunder didapatkan luasan 686,79 ha
tahun 2003 petani perambah mulai kemudian di tahun 2004 mengalami
mengganti komoditas tanaman pada
awalnya ditanami kopi kemudian
berganti menjadi komoditas kakao. Hal
ini dikarenakan harga kopi yang
cenderung menurun dan kondisi lahan
lebih cocok untuk ditanami kakao. Ini
berpengaruh terhadap hasil klasifikasi
citra di tahun 2004 dimana tanaman
kopi yang ditebang dan diganti
tanaman kakao pada tahun 2004
teridentifikasi sebagai semak belukar.
Perambahan hutan dan penebangan
liar yang terjadi sepanjang tahun 1997
sampai dengan tahun 2003
menyebabkan rusaknya Kawasan
Hutan Lindung Reg. 22 Way Waya dan
merubah tipe penutupan lahan yang
semula hutan primer dan sekunder
berubah menjadi lahan terbuka, semak
belukar, pertanian campuran dan
pertanian lahan kering. Ini dapat dilihat
dari semakin meningkatnya luasan
lahan dari beberapa tipe penutupan
lahan di atas pada tiap tahun analisis.
perubahan yang sangat signifikan menye- bar di dalam kawasan Hutan
yang ditunjukkan dengan luasannya Lindung Register 22 Way Waya.
yang semakin menurun menjadi Lahan terbuka ini terkait dengan
513,27 ha, akan tetapi pada keberadaan perambah di dalam
pengamatan tahun 2010 mengalami kawasan yang melakukan aktivitas
peningkatan luas secara signifikan pembukaan lahan terutama untuk
menjadi 745,58 ha. penanaman kakao dan kopi dalam
Kelas lahan terbuka terlihat kawasan yang saat ini mulai ditangani
mengalami peningkatan yang sangat dan dibina untuk kegiatan Hutan
signifikan dari tiap pengamatan. Pada Kemasyara- katan (HKm).
tahun 2000 dengan metode klasifikasi Kawasan hutan yang dirambah sejak
terbimbing mempunyai luas 228,65 ha tahun 1997 berubah menjadi lahan
terlihat berge- rombol masuk dalam terbuka dan lahan-lahan pertanian,
batas administrasi Desa Sendang dengan jenis tanaman yang dominan
Mukti dan Desa Sendang Rejo. Tahun ditanam adalah kopi dan kakao. Sejak
2004 kelas lahan terbuka mulai tahun 2001 Pemerintah dalam hal ini
meningkat luasnya menjadi 535,37 ha Dinas Kehutanan dan Perkebunan
dan di tahun 2010 menurun menjadi Lampung Tengah mulai melaksanakan
462,22 ha. Keberadaannya mulai program Hutan Kemasyara-
katan (HKm) dalam rangka menekan menunjukkan bahwa sektor pertanian
laju perambahan dan mengelola hutan semakin bergerak ke pinggir (ke arah
agar tetap lestari sekaligus gunung/hutan lindung). Meskipun alternatif
meningkatkan kesejahteraan yang kemudian dikembangkan masyarakat
masyarakat. Mulailah dibentuk adalah Pertanian lahan kering bercampur
kelompok-kelompok tani HKm dalam semak dan hutan bekas tebangan dimana
rangka mendapatkan ijin pengelo- laan kegiatan pertanian masih bercampur
HKm dari Departemen Kehutanan. dengan semak belukar dan seperti tegalan,
Hutan Kemasyarakatan (HKm) dalam kebun campuran dan perladangan sehingga
penelitian ini dimasukkan dalam kelas tidak heran jika kebun campuran menjadi
tutupan lahan pertanian campuran dan meningkat luasannya.
kelas pertanian lahan kering. Hal ini Terkait dengan penutupan lahan,
karena komoditas yang ditanam adalah pembukaan lahan menjadi daerah
jenis tanaman MPTS (Multi Purpose terbangun maupun jenis tutupan lahan
Trees Species) dan kayu-kayuan. lainnya menyebabkan lahan menjadi
Lahan–lahan yang telah dirambah terbuka dan daerah resapan air menjadi
kondi-sinya saat ini telah berubah semakin sedikit. Keberadaan pertanian
menjadi lahan pertanian yang ditanami campuran maupun pertanian lahan kering
kakao dan kopi, sebagian mempunyai meskipun trend-nya terlihat meningkat
tanaman pelindung tanaman kayu- pada setiap tahun pengamatan, tapi tidak
kayuan. banyak membantu penutupan lahan
Berubahnya tutupan lahan dari hutan terutama untuk kegiatan pertanian yang
sekunder menjadi tutupan sektor dikelola secara intensif untuk mening-
pertanian seperti pertanian campuran katkan produktivitas lahan sehingga pada
dan pertanian lahan kering saat hujan masih banyak tanah yang
ar

mengalami erosi. Hal tersebut semakin musim kemarau untuk ditanami pada
diperparah dengan pembukaan lahan di musim hujan.
Peningkatan luas hutan sekunder di
tahun 2010 tidak lepas dari pelaksanaan
kegiatan reboisasi yang dilaksanakan
melalui program Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(GNRHL) yang dimulai sejak tahun
2003. meskipun di tahun 2004 dan
tahun 2010 hasil reboisasi tersebut
sebagian masih masuk dalam kelas
semak belukar.
Pelaksanaan reboisasi melalui
kegiatan GNRHL juga dilaksanakan
pada lokasi HKm, dengan luas total
mencapai 3.000 ha. Hasil reboisasi
melalui GNRHL dan HKm tahun 2003
sampai dengan tahun 2005 pada citra
hasil klasifikasi tahun 2004
teridentifikasi sebagai semak belukar
dan pertanian campuran, kemudian di
tahun 2010 sudah bisa diidentifikasi
sebagai hutan sekunder. Berdasarkan
data yang dihimpun dari Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Lampung Tengah diperoleh keterangan
bahwa kegiatan perambahan hutan dan
pembalakan liar yang terjadi mulai
tahun 1998 sampai dengan tahun 2002
menyebabkan rusaknya hutan di
kawasan Hutan Lindung Register 22
Way Waya Lampung Tengah.
Realisasi penanaman kembali
(reboisasi) di dalam Kawasan Hutan
Lindung Reg. 22 Way Waya dimulai
pada tahun 2003 sampai dengan tahun
2005 mencapai luasan 3.000 ha, dengan
jenis tanaman kayu-kayuan yang
ditanam adalah Jati, Cempaka, Meranti,
Mahoni, Sungkai, Pulai dan Medang
sedangkan jenis tanaman
serbaguna/MPTS adalah Kemiri,
Tangkil, Alpokat, Durian, Pinang dan
Melinjo.
Hasil analisis dengan ditandai dengan semakin berkurangnya
mengunakan kedua metode di atas luas areal bervegetasi pohon-pohonan.
dapat diketahui bahwa terjadinya Laju defores- tasi mulai menurun sejak
deforestasi pada kawasan hutan tahun 2003 yaitu sejak dilaksanakan
lindung Reg. 22 Way Waya terjadi program reboisasi dan pembinaan
pada periode pengamatan tahun kepada perambah hutan
2000 sampai dengan tahun 2004,
melalui kegiatan Hutan analisis di atas, dimana laju perubahan
Kemasyarakatan. Hasil analisis yang mengarah ke perbaikan hutan
menunjukkan bahwa tingkat berjalan sangat lambat dibandingkan
keberhasilan dari kegiatan reboisasi luas areal penanaman GNRHL. Tekanan
dan Hutan Kemasyarakatan relatif kecil terhadap keberadaan hutan lindung oleh
dibandingkan luas areal yang telah para perambah menyebabkan belum
dilakukan penanaman. Dari 3.000 ha maksimalnya proses reboisasi yang ada
luas total penanaman hanya sebagian disana. Banyak faktor yang berpengaruh
kecil saja yang bisa teridentifikasi terhadap perubahan penutupan maupun
sebagai hutan sekunder. Peningkatan penggunaan lahan di Kawasan Hutan
luas hutan sekunder pada kisaran 300 Lindung Register 22 Way Waya
ha untuk pengamatan tahun 2004 Lampung Tengah.
sampai dengan tahun 2010 Faktor manusia menjadi penyebab
menunjukkan bahwa pelaksa- naan utama terjadinya perubahan penutupan
program reboisasi kurang efektif dalam lahan yang ada di sana yaitu berupa
rangka memperbaiki Hutan Lindung penebangan liar dan perambahan dengan
Reg. 22 Way Waya. Kondisi merubah penutupan lahan menjadi lahan
sebaliknya terjadi pada pengamatan terbuka dan pertanian campuran.
tahun 2010, dimana terjadi peningkatan Sedangkan faktor alam yang pernah
luas tutupan pada kelas semak belukar terjadi
dan pertanian campuran. Hal ini
menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan kegiatan penanaman jenis
tanaman perkebunan seperti kakao dan
kopi.
Laju perubahan penutupan lahan
yang cenderung mengarah pada
semakin meningkatnya luas tutupan
semak belukar dan pertanian campuran
menunjukkan tingginya gangguan
dalam Kawasan Hutan Lindung Reg.
22 Way Waya.
Hal ini berbanding terbalik dengan
tingkat keberhasilan dari kegiatan
reboi- sasi melalui GNRHL dan Hutan
kemasya- rakatan yang masih jauh dari
harapan. Ini dapat dilihat dari hasil
ar

disana adalah tanah longsor dan banjir Peningkatan kegiatan pengamanan


yang terjadi tahun 2001 yang merusak hutan sangat dibutuhkan dalam rangka
sebagian vegetasi yang tumbuh di mempertahankan keberadaan dan
sana. fungsi Hutan Lindung Reg. 22 Way
Ditinjau dari sisi lingkungan hidup, Waya Lampung Tengah.
peralihan fungsi lahan dari hutan Pemanfaatan citra satelit multi
lindung yang didominasi pepohonan waktu dengan resolusi spasial yang
menjadi pertanian campuran, semak tinggi diharapkan mampu membantu
belukar, lahan terbuka dan lain-lain pemerintah dalam memantau kondisi
akan memberikan dampak yang besar hutan dan membuat kebijakan di
terhadap lingkungan di sekitarnya. bidang Kehutanan, khususnya kegiatan
Pembukaan hutan secara besar- pengelolaan Kawa- san Hutan Lindung
besaran selain merusak fungsi Register 22 Way Waya Lampung
hidrologis kawasan lindung juga Tengah sehingga keberadaan hutan
merusak habitat flora dan fauna di lindung tetap terjaga kelestariannya dan
hutan tersebut dan berpeluang mampu menjalankan fungsinya sebagai
menimbulkan bencana alam di masa- pengatur sistem hidrologi di daerah
masa yang akan datang. sekitarnya dan berpengaruh positif
Diperlukan peran aktif Pemerintah terhadap lingkungan dan kondisi iklim
terutama dalam pembuatan kebijakan secara global.
yang berpihak pada lingkungan dalam
hal ini hutan lindung sebagai KESIMPULAN
kawasan DAN SARAN
yang perlu dipertahankan
Kesimpulan
keberadaannya karena fungsi
utamanya sebagai daerah resapan air
yang mengatur sistem hidrologis yang Dari hasil analisis pada penelitian
berdampak pada kehi- dupan ini dapat disimpulkan bahwa perubahan
masyarakat yang ada di sekitar hutan. penutupan lahan di Hutan Lindung
Register 22 Way Waya Lampung pemantauan perubahan penutupan lahan
Tengah secara berkala dapat secara berkala, cepat dan akurat, dapat
diidentifikasi dengan baik melalui menggunakan analisis citra satelit multi
analisis citra satelit multi waktu. waktu yang mempunyai resolusi tinggi.
Kelas tutupan lahan pertanian cam-
puran mengalami penurunan DAFTAR luas PUSTAKA
tutupan lahan secara signifikan pada
tiap tahun analisis, sedangkan kelas Aronoff, S. 2005. Remote Sensing for GIS
Manager. ESRI Press. Redlands, California.
hutan sekunder dan semak belukar
487 hal.
mengalami kenaikan luasan, walaupun Asyakur, AR. dan I.W.S. Adnyana. 2009.
relatif kurang signifikan. Analisis Indek Vegetasi Menggunakan
citra ALOS/AVNIR-2 dan Sistem
Saran Informasi Geografis untuk Evaluasi
Berdasarkan kesimpulan yang
didapat pada penelitian ini, maka untuk
Tata Ruang Kota Denpasar. Jurnal
Bumi Lestari. 9(1): 1 - 11.
BPS Kabupaten Lampung Tengah. 2010.
Lampung Tengah dalam Angka. Badan
Pusat Statistik. Lampung Tengah.
Jaya, I.N.S. 2010. Analisis Citra Digital :
Perspektif Penginderaan Jauh untuk
Pengelolaan Sumber Daya Alam. IPB
Press. Bogor. 195 hal
Lillesand, T.M and F.W. Kiefer. 1994.
Penginderaan Jauh dan Interpretasi
Citra. Penerjemah R. Dubahri, dkk.
Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 393 hal
Purwanto, Edi dan Josien R. 2004.
Hubungan Antara Hutan dan Daerah
Aliran Sungai. Prosiding Lokakarya di
Madang Sumatera Barat: “Dampak
Hidrologis Hutan, Agroforestri dan
Pertanian Lahan Kering Sebagai Dasar
Pemberian Imbalan Kepada Jasa
Penghasil Lingkungan di Indonesia. 25
– 28 Februari 2004.
Verbist, Bruno, Adree E P dan Suseno
B. 2004. Penyebab Alih Guna Lahan
dan Akibatnya terhadap Fungsi
Daerah Aliran Sungai (DAS) pada
Landsekap Agroforestri Berbasis
Kopi di Sumatera. Jurnal Agrivita.
26(1 ): 29–39.
.
ar

RIVIEW JURNAL 2

judul Pemanfaatan citra satelit dalam


mengidentifikasi perubahan penutupan
lahan : studi kasus hutan lindung
register 22 way waya lampung tengah
jurnal Globe
Volume Volume 14 No. 2
tahun 2012
penulis Tamaluddin Syam , Arif Darmawan ,
Irwan Sukri Banuwa dan Kuswibowo
Ningsih
reviewer Torang namora
tanggal 8 november 2020
Tujuan artikel jurnal Untuk memperoleh data yang akurat
dalam mendeteksi perubahan
penutupan dan penggunaan lahan
terutama pada kasus hutan lindung
register 22 way waya lampung tengah
Inti dari jurnal Melakukan survey dalam studi kasus
hutan lindung register 22 way waya
lampung tengah
Hasil penelitian Perubahan luas yang terjadi akibatkan
krisis politik dan ekonomi yang
melanda Indonesia sejak tahun 1997
yang berdampak pula terhadap sector
kehutanan berupa penjarahan lahan
dan illegal logging.
kesimpulan Penutupan lahan pertanian campuran
mengalami penurunan luas secara
signifikan pada tiap tahun
analisis,sedangkan kelas hutan
sekunder dan semak belukar
mengalami kenaikan luasan yang
drastis.
ar

IOP Conference Series: Earth and Environmental Science

PAPER • OPEN ACCESS Related content


- Using satellite imagery to asses
A review of uses of satellite imagery in trends in soil and crop
productivity across landscapes
monitoring mangrove forests K Sheffield and E Morse-McNabb

- Mangrove Cultivation Community


Based in Karangsong,
To cite this article: P Rhyma Purnamasayangsukasih et al 2016 IOP Conf. Ser.: Indramayu, West Java
Earth Environ. Sci. F Fatimatuzzahroh, S P
37 012034 Hadi and H Purnaweni

- Mangrove mapping and change


detection in Sungai Asam
Village, Indragiri Hilir Regency,
Riau Province
View the article online for updates and enhancements. Prita Ayu Permatasari, Yudi
Setiawan, Rahmi Nur
Khairiah et al.

Recent citations
- Quick
Abovegrou
nd Carbon
Stock
Estimation
of Densely
Planted
Shrubs by
Using
Point
Cloud
Derived
from
Unmanned
Aerial
Vehicle
Xueyan Zhang

- AGB
Estimation
in a
Tropical
Mountain
Forest
(TMF) by
Means of
RGB and
Multispectra
l Images
Using an
Unmanned
Aerial
Vehicle
(UAV)
Víctor
González-
Jaramillo et al

- Surekha Borra
et al
This content was downloaded from IP address
36.90.38.103 on 08/11/2020 at 17:29
8th IGRSM International Conference and Exhibition on Remote Sensing & GIS (IGRSM 2016) IOP
Publishing
IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 37 (2016) doi:10.1088/1755-
012034 1315/37/1/012034

A review of uses of satellite imagery in monitoring


mangrove forests

Rhyma Purnamasayangsukasih P1, Norizah K2, Ismail Adnan A M2, and


Shamsudin I2 1 Faculty of Forestry, Universiti Putra Malaysia (UPM) Serdang,
Selangor, Malaysia
2
Department of Forest Management, Faculty of Forestry, Universiti Putra
Malaysia (UPM) Serdang, Selangor, Malaysia
E-mail: norizah_k@upm.edu.my

Abstract: Satellite image could provide much information of earth surfaces in a large
scale in a short time, thus saving time. With the evolution and development of sensors
providing satellite image, resolution of object captured enhanced with advance image
processing techniques. In forestry, satellite image has been widely used for resources
management, planning, monitoring, predicting, etc. However, the uses of satellite
image are reported to be moderate and sometimes poor for mangrove forests due to
homogenous species existed in salty and inundation areas. Many researches had
been carried out to improve the uses of satellite imagery of either optical or radar data
for mangrove forests. This paper reviews the uses of satellite imagery data in
mangrove with the main focus of the literature related to mangroves monitoring.

1. Introduction
In 1957, the world witnessed the launch of the first satellite into the orbit of the earth.
Subsequently in the early 1960s, satellites associated with other purposes such as weather
forecast, communication and commerce were introduced and successful launched. Since the
1970s, data acquired from these satellites have been successfully used for weather prediction,
monitoring global environmental conditions, and geographical and geological applications
[1]. Data captured from the satellite systems provide information on earth surfaces.
Satellite imageries are beneficial to numerous areas of work such as monitoring work as
these imageries cover large areas, virtually any part of the earth, including inaccessible areas
which were previously too remote or too dangerous to reach when using conventional aerial
photography such as dense forest, peat swamp forest and mangrove forest. Through the usage
of satellites, researchers are able to collect data unaffected by local air traffic constraints; they
can analyse comparisons of land covers at different times, which is suitable for long-term
studies. Research methods based on satellites are time-saving, cost-effective and enhance the
possibility of classifying the vegetation through spectral and texture analyses; on the other
hand, ground measurement methods are difficult, expensive, time-consuming and labour-
intensive [2-6].
Previously, satellite images were expensive and the initial-stage satellite technology was
used for military applications such as threat monitoring and assessment; this type of machine
Published under licence by IOP Publishing 1
Ltd
was known as reconnaissance satellite, for instance CORONA satellite [7]. The satellite was
launched in 1960 and the operation ended in 1972 due to a leakage of confidential images on
the internet; these pieces of sensitive information belonging to the United States of America
(USA) were related to military

Content from this work may be used under the terms of the Creative Commons Attribution 3.0 licence. Any further
distribution of this work must maintain attribution to the author(s) and the title of the work, journal citation and DOI.
security and defence. CORONA was developed primarily for area surveillance covering the
regions of the Soviet Union, China and other parts of the world. The first civilian earth
satellite, Landsat was launched in 1972. Landsat 1 to Landsat 5 were successfully launched in
the absence of competitors until 1986 when the first commercial satellite, SPOT was
introduced. Since the launching of commercial satellites, satellite images have gradually
become less expensive and the areas of applications increase. Commercial satellites such as
Ikonos and QuickBird provide global, accurate and high-resolution images to individuals,
organisations and governments. Satellite imaging systems can be classified into radar and
optical systems. Radars provide their own energy to illuminate an area of interest and measure
the reflected signals while optical systems acquire the reflected electromagnetic waves of the
sunlight and/or the infrared radiation emitted by objects on the ground [8]. Optical satellites
are more frequently used than radar satellites. Rapid advancement of satellite technology
causes wide usages of these data. In mangrove studies, the optical satellite with medium
spatial resolution is normally used. Tables 1 and 2 show the common optical and radar
satellites used in mangrove researches in the past 3 decades [9-11]. Table 3 shows their years
of launchings and active applications until the current year.
Satellite images are available in different spatial resolutions, from low to high. Satellite
images of low-resolution with ground pixels of more than 10 m are useful for applications
such as environmental assessment, mapping, forestry management, disaster assessment and
urban monitoring. In contrast, images of high-resolution data with ground pixel sizes of less
than 5 m provide detailed information of small objects on the earth surface such as buildings,
streets, river and trees which are useful for applications such as transportation network
mapping, disaster management, urban planning and farming.
Satellite images also can be used to determine the elevation and topographical features of a
particular land. Also, it is useful in viewing agricultural fields where farmers are able to
monitor the health of their crops. In research, researchers or scientists can study
environmental changes to forecast weathers or natural disasters that may happen in the future.
Meanwhile, city planners are able to plan developments of new residential areas for
communities. In transportation, satellite data can be used for traffic studies and facilitate the
planning of new road networks. In disaster management, satellite images can be used to plan
evacuation routes during earthquakes or fire events. Lastly, in Forestry, satellite images can
provide detailed information about forest status such as species distribution, stand density,
forest extend, operational monitoring, and discrimination species at dryland and wetland.

Table 1. Optical satellite [10].


Sensor / System Platform No. of Spectr Spatial resolution
band(s al MSS Pan.
) range
High resolution sensor
MSS (Multi Landsat 1, 2, 3 4 B, G, R, NIR ~ 80
Spectral sensor) m
TM (Thematic Mapper) Landsat 5 6 B, G, R, 30 m
NIR, SWIR
ETM+ Landsat 7 6 VNIR, SWIR 30 m 15 m

(Enhanced Thematic
Mapper Plus)
HVR (High SPOT 3 G, R, NIR 20 m 10 m
Resolution
Visibility) (Satellite Pour
I’Observation de
la Terre) 1, 2, 3

3
HRVIR (High SPOT 4 G, R, NIR, 20 m 10 m
Resolution Visible and SWIR
Infrared) (Satellite Pour
I’Observation de
la Terre) 4
HRG (High SPOT 4 G, R, NIR, 10 m 2.5 m
Resolution SWIR (VNIR);
Geometrical) (Satellite Pour 20 m
I’Observation de (SWIR
la Terre) 5 )
ASTER* Terra 10 G, R, 15 m
NIR; 6- (VNIR);
SWIR 30 m
(SWIR
)
IRS (Indian 4 G, R, NIR, 23 m 5.8 m
Remote Sensing SWIR
Satellite) 1C, 1D
ALI (Advance EO-I 9 2-B, G, R, 30 m 15 m
Land Imager) 2-NIR,
(Earth 2-SWIR
Observing)
Very high
resolution 4 VNIR; Pan 2.4 m 0.6 m
sensor
Quickbird
IKONOS 4 VNIR; Pan 4m 1m
PRISM** ALOS 1 Pan N/A 2.5 m
(Advanced Land
Observation
System)
WorldView-2 8 VNIR; Pan <2 m *** <0.5
m
***
GeoEye-1 4 VNIR; Pan 1.65 m 0.41 m
Other optical sensor
GLAS (Geoscience IceSAT LiDAR, 2 Green 70 m
Laser Altimeter (Ice, (532 footprint
System) cloud and land ; 170 m
elevation nm), NIR spacing
Satellite) (1064 nm)
HYPERION EO-I Hyper- 400-2500 nm 30 m
spectra
(Earth l: 220
Observing)
B = blue; G = green; R = red; NIR = near-infrared; SWIR = shortwave infrared; V = visible
*Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflectance Radiometer
**Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping
***Maximum resolution limited by US government
Table 2. Radar satellite [10].
Spatial
Sensor Platfor Band(s Polarization(s) resolutio
m ) n
SIR-C (Space-borne Imaging Space Shuttle HH, HV, VV 10-200 m
C, L, X
Radar)
ERS-1 (European European Remote- VV 25-100 m
C
Remote- Sensing Sensing Satellite
Satellite)
JERS-1 (Japanese Japanese Earth HH 25-100 m
L
Earth Resource Resource
Satellite) Satellite
Radarsat-1 C HH 8-100 m
Radarsat-2 HH, HV, VH, 3-100 m
C
VV
ASAR (Advanced ENVISAT HH, VH, HV, 25-150 m
C
Synthetic Aperture VV
Radar)
PALSAR (Phased Array type ALOS (Advanced HH, HV, VH, 10-100 m
L
L-band Synthetic Radar) Land VV
Observation System)
Polarization indicated by transmit and receive polarizations, respectively (H = horizontal
polarization;
V = vertical polarization)

Table 3. Year of launch and active application of satellite until current year.
Year Active Year Active
Satellite(s) of Applicatio Satellite(s) of Applicatio
Launc n Launc n
h h
SPOT 1 198 Inactive ASTER 199 Active
6 (2002) 9
SPOT 2 199 Inactive IKONOS 199 Inactive
0 (2009) 9 (2015)
SPOT 3 199 Inactive QuickBird 200 Active
3 (1996) 1
SPOT 4 199 Inactive RADARSAT-1 SAR 199 Inactive
8 (2013) 5 (2013)
Landsat 1 197 Inactive ENVISAT ASAR 200 Inactive
2 (1978) 2 (2012)
Landsat 2 197 Inactive ERS-1 SAR 199 Inactive
5 (1982) 1 (2000)
Landsat 3 197 Inactive JERS-1 199 Inactive
8 (1983) 2 (1998)
Landsat 5 198 Inactive AIRSAR 199 Inactive
4 (2011) 0 (2004)
Landsat 7 199 Active ALOS PALSAR 200 Inactive
9 6 (2011)
IRS 1C 199 Inactive
5 (2004)
IRS 1D 199 Inactive
7 (2006)

2. Mangrove forest
Mangrove forests flourish in intertidal zones and coastlines between the sea and the land
within tropical and subtropical regions of the world (Figure 1), approximately located 30° N
and 30° S latitude [12-13]. They grow in harsh environmental conditions with high levels of
salinity, high temperature, extreme tides, high rates of sedimentation and muddy anaerobic
soils [13-15].
Figure 1. The world's mangrove distribution (Source: [13]).

Mangrove forests are among the most productive and biologically important ecosystems as
they provide various goods and services to the society as well as benefits to coastal and
marine systems; in fact, they are one of the most valuable ecosystems in the world [13][16-
17]. [17] further comment that mangroves constitute less than 0.4% of the world’s forests;
they provide habitats for thousands of marine life, and serve the local communities with food,
medicine, fuel and building materials. They are among the most carbon-rich forests in the
tropics and important factors in mitigating the impact of climate change by sequestering
carbon dioxide (CO2) (the main greenhouse gas, apart from water vapour) from the
atmosphere [18-19]. They also act as a security barrier in protecting the coastal areas from
tidal waves, tsunamis and cyclones [15][20-22].
Even though they are important sources of goods and services, FAO (2007) reported that
the total global area of mangroves decreases at about 1% per year. Mangrove forests
experienced a significant worldwide loss estimated at about 35% to 36% in the period from
1980 to 2005; this rate of decline is faster than that of the tropical rain forest and coral reef
[12][16][23-24]. Natural disasters such as increased sea level, cyclones, storm, lightning
strikes, tsunami, and flood cause negative impacts on the growth of mangrove forests; on the
other hand, human interferences such as overexploitation, conversion to aquaculture,
urbanisation, developments related to agriculture, infrastructure and tourism bring about
shrinking area of the mangrove forests [12][16][20][23][25-27]. [24] predict that the
mangrove forest could be 100% vanished if the present rate of loss continues. As a
consequence, the important goods and services provided by the ecosystem of mangrove
forests will diminish [24].

3. Remotely sensed imagery data


Basically, there are two types of remotely sensed satellite images depending on the main
source of energy: active and passive [28-29]. An active system controls its own
electromagnetic radiation source, which is known as radar. A passive system uses natural
energy from the sun as the source of electromagnetic radiation, which is known as optical
system.

3.1 Radar satellite image


A radar imagery system or Radio Detection and Ranging is a method for the detection and
ranging of earth surface features. Radar is an active remote sensing system which means
that it provides its own source of energy to produce an image; it is commonly referred to as
synthetic aperture radar (SAR). Radar carries its own electromagnetic radiation source,
which is then directed to the surface and the energy reflected back from the surface is
recorded [29]; this is expressed in Figure 2. Some e xamples of radar satellites are
TerraSAR, RazakSat, ENVISAT and RADARSAT. The data are
acquired either by day or by night. Due to the specific wavelength of radar, cloud covers can
be penetrated without any adverse effect on the imagery. According to [30], radar has special
properties that make it a viable alternative and/or partner to the optical remote sensing
technique. For instance, microwave energy is capable of penetrating atmospheric conditions
that render traditional space borne optical and multispectral systems useless [31]. Therefore,
radar has the ability to produce images through rain, fog, hail, smoke, and, most importantly,
clouds and it does not depend on daylight [28][32]. These characteristics hold enormous data
collection potential in many countries around the world [32].

Figure 2. Principal of radar satellite (modified from [33]).

Advantages of radar satellite [8]:

 all weather capability (small sensitivity of clouds, light rain)


 day and night operation (independent of sun illumination)
 no effects of atmospheric constituents (multi-temporal analysis)
 sensitive to dielectric properties (water content , biomass, ice)
 sensitive to surface roughness ( ocean wind speed)
 accurate measurements of distance (interferometry)
 sensitive to man-made objects
 sensitive to target structure (use of polarimetry)
 subsurface penetration

3.2 Optical satellite image


Optical imageries are acquired during the daylight since the satellite depends on the
reflections of sunlight from objects on the Earth’s surface in the absence of cloud cover [28]
[33]. Some examples of optical satellite systems include Landsat, SPOT, Ikonos, GeoEye and
WorldView.
[33] describes an optical satellite as using visible, near infrared and short-wave infrared
sensors to form images of the earth's surface by detecting the solar radiation reflected from
targets on the ground (Figure 3). With different wavelengths, different materials reflect and
absorb them differently. Thus, the targets can be differentiated by their spectral reflectance
signatures in the remotely sensed images.
Figure 3. Principal of optical satellite [33].

Advantages of optical satellites [8]:


 specific wavelength sensitivity
 recent innovations with some satellite systems enable mission operators to more
frequently update tasking plans to accommodate cloud-coverage forecasts
 manoeuvrable, with varying speed levels to move from one target to another
 several images can be collected during the same pass at the same latitude

4. The role and needs of satellite imagery data in mangroves monitoring


In the last 3 decades, a significant decline in mangrove forests has become a major
environmental issue. The increased awareness of people, particularly environmentalists exerts
a pressure on the need for conservation and restoration. As such, retrieving up-to-date
information with regard to the extent of damage and condition of mangrove ecosystems is an
essential aid to management as well as policy- and decision-making processes [9].
Remotely sensed satellite images have been used to characterise mangrove ecosystems for
more than two decades; aerial photographs has gradually become obsolete because high
resolution images are more advanced, and promise detailed and accurate data [9][34-35]. The
benefits and limitations are listed in Tables 4, 5 and 6. With high resolution images, it is
relatively easy to study the costal ecosystems. The embedded detailed information provides a
synoptic view, multi-temporal, coverage and multi-spectral ability in the whole range of
wavelengths, from visible to microwave. These advantages can effectively act as a tool par
excellence in providing advance and reliable information on mangrove extent and status of its
growth along the coastal areas [36], which would not be possible by using ground based
techniques. The reflectance patterns of vegetation in visible and near infrared (NIR) spectral
region give information on the conditions of vegetation covers [36].
In mangrove monitoring, satellite imagery data are able to deliver information such as land
cover changes, disaster observation, species distribution, zonation pattern, etc. [37] state, a
particular advantage of using optical data that mangroves are relatively distinct from non-
mangrove areas, although confusion with adjoining tropical forests often leads to errors in the
mapping of mangrove extent. [9] state that the interpretation of radar data over mangrove
ecosystems is very complex because in radar data, the backscatter signal of mangrove
ecosystems is influenced by the geometric properties of the stand such as canopy closure,
canopy geometry, leaf structure, cell structure, stem structure, and the underlying surface
component and its roughness: soil mudflats water; it is also affected by dielectric properties,
which vary, depending on the soil moisture, plant moisture, and
underlying water surfaces. The responses of these different conditions fluctuate, depending on
the incidence wavelength, the polarisation of the radar beams, and the incidence angle of the
radar waves.
Various image processing and analysis techniques have been developed to facilitate
remotely sensed imagery interpretation and to extract as much information as possible from
the images. Based on a review study by [9], several methods have been employed to classify
remotely sensed data on mangroves which are visual interpretation, pixel based classification
(supervised and unsupervised), object-based methods, vegetation indices, and leaf area index
(LAI). According to [38], visual interpretation highly depends on an interpreter’s ability to
recognise and analyse several characters of a satellite image, for example shape, size and
pattern. Supervised and unsupervised classifications are common pixel based techniques of
satellite image processing. In these techniques, spectral properties of every pixel within the
area of interest are analysed without taking into account the spatial or contextual information
related to the pixel of interest while object-based method is based on information of a group
of similar pixels [39]. A vegetation index is a number generated by some combinations of
remote sensing bands and may have some relationships to the amount of vegetation in a given
image pixel; and normalised difference vegetation index is most widely used to separate
vegetation from non-vegetation [9].
In Malaysia, [17] used Landsat images to monitor and analyse the changes over a period of
25 years of mangrove areas in Iskandar Malaysia. Two techniques were applied: the
maximum likelihood classification (MLC) was used to compare and support vector machine
(SVM). As a result, 6 land use/land cover (LULC) have been classified, which are forest, oil
palm, rubber, mangrove, urban, and water bodies for both techniques. The comparisons of
accuracies are between 62% (for SVM) and 95% (for MLC) from the years 1989, 2000, 2005,
2007, 2009, 2013 and 2014. Thus, MLC achieved the highest overall classification accuracy
compared to with SVM for all the seven years considered.
In recent years, unmanned aerial vehicles (UAVs) grow in popularity as a monitoring
technique. UAV is an unmanned aerial vehicle or aerial vehicle without a pilot [40]; it is also
known as drone. UAVs can fly using a manual remote controller, semi-automatic and
automatic or combination of these methods. As an alternative way to acquire images from the
space, UAVs can carry many types of sensors such as LiDAR, multispectral camera, or hyper
spectral camera to capture images. As for viewing, sensors such as Synthetic Aperture Radar
(SAR) can be applied to view through cloud and Daylight (RGB) Video Sensor to see what is
going on at the ground. However, it all depends on the capability of UAV payload. The
application of UAVs has widely spread and they are used in vegetation monitoring. For
example, in a study conducted by [41], a high altitude long endurance (HALE) UAV,
Pathfinder Plus was used to demonstrate this technique in monitoring a coffee plantation in
Hawaii. The UAVs also have been applied in wetland observation, such as platform option of
free-flying satellite, UAVs and International Space Station (ISS) for remote sensing
assessment of the littoral zone; this work was carried out by [42]. He found that UAVs have
much greater efficiency since they can be deployed as needed directly to the object areas and
avoid poor weather conditions. Next, in a study on hazard detection and analysis at natural
wetland of Taijiang National Parks, [43] utilised UAVs to collect ground truth data.
Table 4. The benefit and limitation of medium resolution of optical imagery data [9]

Medium- Benefit Limitation


resolution s
imagery
Spectral resolution Several multispectral bands, Skilled trained personnel are
always including R, G, B; near- required to best exploit the
infrared; and oftentimes even mid- information content of the
infrared; and thermal bands multiple bands (considering
transformation, etc.)
Spatial resolution Ideal for mapping on a large Too coarse for local observation
regional scale requiring in-depth species
differentiation and
parameterization
Temporal resolution Frequent mapping (e. g., rainy Repetition rate may be too low
season and dry season within 1 to record impact of extreme
year; or repeated annual events (e. g., cyclones, floods,
mapping) is possible tsunami); furthermore, very
weather dependent (clouds) =
critical in subtropical and tropical
regions
Costs Depending on sensor, freely Software for image processing
available (e. g., Landsat), very need (common software, such
cost efficient (ASTER), or as erdas, ENVI, and ArcGIS,
expensive (e. g., SPOT); but all have high licene fees), but
are cost efficient compared with usually not real limitation)
field surveys and airborne
campaigns
Long-term monitoring Data availability over three depending on the future duration
decades of the systems and subsequent
comparable sensors
Purposes Inventory and status maps; For some species-oriented
change detection, such as botany- focused studies,
assessment of impact damages; resolution may already be too
assessment of forestation and coarse
conservation success
Discrimination level Mangrove-non-mangrove, density High regional differences;
variations, condition status,
classification result depends
mangrove zonation, in rare cases highly on the ecosystem
also species discrimination conditions, such as biodiversity,
heterogeneity of forest, adjacent
targets; species identification is
rarely possible
Methods visual interpretation with on To exploit the full potential of the
screen digitizing, pixel-based, data skilled analysts needed
object-based, and hybrid
classification approaches; image
transformation and analyses
(PCA, TCT,HIS indices, etc)
Other Data easy to access or order;
best explored data type and ,
thus, most literature available;
long-term monitoring granted

Table 5. The benefit and limitation of high resolution of optical imagery


data [9]

High- Benefit Limitation


resolution s
imagery
Spectral resolution Red-near-infrared Relatively few spectral bands

spectral information with red-edge


slope; usually panchromatic band
allowing image fusion (pan-
sharpening)
Spatial resolution High resolution (0.5-4 m range) Only small area is covered
for mapping on a local scale
Temporal resolution Regular mapping is possible on Weather dependent (clouds);
demand cost intensive if repeated
monitoring is required
Costs Moderate costs for Very high costs if repeated
single acquisitions monitoring is requested. Also,
(depending on are) high costs of object-oriented
image processing software
Long-term monitoring Theoretically possible, but usually Depending on the future duration
not used because of expense. of the systems and subsequent
Sensors, such as Ikonos, comparable sensors. Only back
QuickBird, etc, available since to the late 1990s.
late 1990s/2000.
Purposes Discrimination of mangrove Single tree species discrimination
species, spatial distribution and usually not possible.
variability, health status,
parameterization.
Discrimination level Down to species Regional differences;
communities; detailed classification result depends
parameterization highly on the ecosystem
conditions, such as biodiversity,
heterogeneity of forests,
adjacent targets
Methods Visual interpretation with on Skilled analysis needed to
screen digitizing, pixel based, exploit the full potential of the
object-based, and hybrid- data.
classification approaches.
Other Valuable information source to In some countries, data of the
support field survey and accuracy relevant sensors very difficult to
assessment. Easy to close the purchase, few studies published
scale gap to in situ investigations based on the data type.
Table 6. The benefit and limitation of radar imagery data [9]

Radar Imagery Benefit Limitation


s
Spectral resolution Active microwave radiation; No spectral information
delivers alternative information
about surface structure; various
wavelengths and polarizations are
selectable
Spatial resolution Varies Usually low, except TerraSAR-X
Temporal resolution High; weather independent None
Cost Many data types available at low Restricted access to data
cost in the context of science (certain number of scene; also
proposal some data not sharable with
certain developing countries)
Long-term monitoring Good; long duration systems None
Purposes Mangrove extent, condition, No information derivable from
canopy properties, deforestation, spectra
biomass estimation
Discrimination level Age structure, forest Vegetation forms without a prior
parameters, biomass knowledge; no separation
estimation among species
Methods Analyses of the backscatter signal Extremely skilled analysis with
using advanced image-processing experience in radar image
technique; very quantitative processing needed
physics- based manner of image
analysis
Other Most promising results when SAR Relatively few studies have
data combined with optical been conducted; special
imagery software or modules are needed
for radar image processing.

5. Conclusion and prospective


In short, usages of satellite images for mangrove forests management are crucial in obtaining
information. Satellite imagery data offer considerable advantages in mangrove studies and are
useful to monitor mangrove ecosystems. Options to use either optical or radar satellite images
depend on a study’s needs. The output of a satellite imagery analysis can provide accurate
information to facilitate conservation planning and policy-making as the technology is
currently in an advanced stage. In the future, the quality of images processing can be
improved further if radar and optical data are integrated. These images can be utilised to
explore and monitor the development of mangrove forests in a more effective manner, as [44]
aptly state that radar data complement optical data.
6. References
[1] Kuthadi, S. 2005. Detection of Objects from High Resolution Satellite Images. Phd
Dissertation, University of Minnesota: USA. 67 pp.
[2] Mumby, P.J., green, E.P., Edwards, A.J. and Clark, C.D. 1999. The cost-effectiveness of
remote sensing for tropical coastal resources assessment and management. Journal of
Environment Management, 55: 157-166.
[3] Dahdouh-Guebas, F. 2002. The use of remote sensing and GIS in the sustainable
management of tropical coastal ecosystems. Environment, Development and
Sustainability, 4:93-112.
[4] Holland, D. and Marshall, P. 2003. Using high-resolution satellite imagery in a well
mapped country. Proceeding of ISPRS-EARSel Joint Work on “High Resolution from
Space”, Hannover, Germany, October 2003.
[5] Held, A., Ticehurst, C., Lymburner, L. and Williams, N. 2003. High resolution mapping of
tropical mangrove ecosystems using hyperspectral and radar remote sensing.
International Journal of Remote Sensing, 24(13):2739-2759.
[6] Lee T.M. and Yeh H.C. 2009. Applying remote sensing technique to monitor shifting
wetland vegetation: a case study of Danshui river estuary mangrove communities,
Taiwan. Ecological Engineering, 35:487-496.
[7] Ekblad, U. Earth Satellites and Detection of Air and Ground-based Activities. Phd
Dissertation. Royal Institute of Technology: Stockholm, Sweden. 193 pp.
[8] Hennig, S. 2013. Exploring the benefits active and passive spaceborne system. from
http://eijournal.com/print/articles/exploring-the-benefits-of-active-vs-passive-
spaceborne- systems. Retrieved 25 January 2016
[9] Kuenzer, C., Bluemel, A., Gebhardt, S., Quoc, T.V. and Dech, S. 2011. Remote sensing
of mangrove ecosystems: a review. Remote Sensing, 3:878-928.
[10] Heumann, B.W. 2011. Satellite remote sensing of mangrove forests: recent, advance
and future opportunities. Progress in Physical Geograpgy, 35(1):87-108.
[11] Zhang, Y. 2010. Ten years of technology advancement in remote sensing and research
in the CRC-AGIP LAB in GGE. Geomatica, 64(2):173-189.
[12] FAO. 2007. The World’s Mangroves 1980–2005. FAO Forestry Paper 153. FAO: Rome,
Italy. 77
pp.
[13] Giri, C., Ochieng, E., Tieszen, L.L., Zhu, Z., Singh, A., Loveland, T., Masek, J. and
Duke, N. 2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth
observation satellite data. Global Ecology and Biogeography, 20:154–159.
[14] Spalding, M., Kainuma, M. and Collin, L. 2010. World Atlas of Mangroves. Earthscan, UK,
319
pp.
[15] Kathiresan, K. and Bingham, B.L. 2001. Biology of mangroves and mangroves ecosystem.
Advance in Marine Biology, 40:81-251.
[16] Valiela, I., Bowen, J.L. and York, J.K. 2001. Mangrove forests: One of the world’s
threatened major tropical environments. Bioscience, 51:807–815.
[17] Kanniah, K.C., Sheikhi, A., Cracknell, A.P., Goh, H.C., Tan, K.P., Ho, C.S. and Fateen
N.S. 2015. Satellite images for monitoring mangrove cover changes in a fast growing
economic region in southern Peninsular Malaysia. Remote Sensing, 7:14360-14385.
[18] Donato, D.C., Kauffman, J.B., Murdiyarso, D., Kurnianto, S., Stidham, M. and Kanninen,
M. 2011. Mangroves among the most carbon-rich forests in the tropics. Nature
Geoscience, 4:293– 297.
[19] Hamdan, O., Aziz, H.K. and Mohd Hasmadi, I. 2014. L-band ALOS PALSAR for
biomass estimation of Matang mangroves, Malaysia. Remote Sensing and
Environment, 155: 69–78.
[20] Giri, C., Zhu, Z., Tieszen, L.L., Singh, A., Gillette, S. and Kelmelis, J.A. 2008. Mangrove
forest distributions and dynamics (1975–2005) of the tsunami-affected region of Asia.
Journal of Biogeography, 5315:9 –528.
[21] Kamaruzaman, J. and Dahlan, T. 2008. Managing sustainable mangrove forests in
Peninsular Malaysia. Journal of Sustainable Development, 1(1):88-96.
[22] United Nations Environment Programme (UNEP). 2014. The Importance of Mangroves
to People: A Call to Action. Van Bochove, J., Sullivan, E. & Nakamura, T. (Eds). United
Nations Environment Programme World Conservation Monitoring Centre, Cambridge.
128 pp.
[23] Alongi, D.M., 2002. Present state and future of the world’s mangrove forests.
Environmental Conservation, 29 (3):331–349.
[24] Duke, N.C., Meynecke, J.O., Dittmann, S., Ellison, A.M., Anger, K., Berger, U., Cannicci,
S., Diele, K., Ewel, K.C., Field, C.D., Koedam, N., Lee, S.Y., Marchand, C., Nordhaus,
I. and Dahdouh-Guebas, F. 2007. A world without mangroves? Science, 317(5834):
41–42.
[25] Simard, M., Zhang, K., Rivera-Monroy, V.H., Ross, M.S., Ruiz, P.L., Castaneda-Moya,
E., Twilley, R.R. and Rodriguez, E. 2006. Mapping height and biomass of mangrove
forests in Everglades national park with srtm elevation data. Photogrammetric
Engineering & Remote Sensing, 72(3):299-311.
[26] Gilman, E., Ellison, J., Duke, N.C. and Field, C. 2008. Threats to mangroves from
climate change and adaptation options: a review. Aquatic Botany, 89(2):237–250.
[27] Polidoro, B.A., Carpenter, K.E., Collins, L., Duke, N.C., Ellison, A.M., Ellison, J.C.,
Farnsworth, E.J., Fernando, E.S., Kathiresan, K. and Koedam, N.E. 2010. The loss of
species: Mangrove extinction risk and geographic areas of global concern. PLoS ONE,
5(4):1-10.
[28] Musa, Z.N., Popescu, I. and Mynett, A. 2015. A review of applications of SAR, optical,
altimetry and DEM data for surface water modelling, mapping and parameter data.
Hydrology and Earth System Science, 19:3755-3769.
[29] Al-Wassai, F.A. and Kalyankar, N.V. 2013. Major limitations of satellite images. Journal
of Global research in Computer Science, 4(5):51-59.
[30] Foody, G.M., 1988. Crop classification from airborne synthetic aperture radar data.
International Journal of Remote Sensing, 9(4):655-668.
[31] Elachi, C. 1988. Spaceborne Radar Remote Sensing: Applications and Techniques.New
York: IEEE Press, 254 pp.
[32] Hack, B.N., Herold, N.D. and Bechdo, M.A. 2000. Radar and optical data integration for
land- use/land-cover Mapping. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing,
66(6):709-716.
[33] Liew, C.S. 2001. Principles of Remote
Sensing. http://www.crisp.nus.edu.sg/~research/tutorial/rsmain.htm. Retrieved 1
January 2016.
[34] Vaiphasa, C., Skidmore, A. K., & de Boer, W. F. (2006). A post‐classifier for mangrove
mapping using ecological data. ISPRS Journal of Photogrammetry & Remote Sensing,
61:1‐10.
[35] Green, E. P., Clark, C. D., Mumby, P. J., Edwards, A. J., & Ellis, A. C. (1998). Remote
Sensing Techniques for Mangrove Mapping. International Journal of Remote Sensing,
19 (5):935‐ 956.
[36] Ajay, P., Vijay, S., Mehmood, K., Jaydipsingh, K., Kalubarme, M.H., Pandya, C.H.,
Nischal, J. and Lomesh B. 2014. Mapping and monitoring mangrove in the costal
districts of Gujerat state using remote sensing and geo-informatics. Asian Journal of
Geoinformatics, 14(1):15-26.
[37] Lucas, R.M., Bunting, P., Clewley, D., Proisy, C., Viergever, K., Woodhouse, I.,
Carreiras, J., Rosenqvist, A., Accad, A. and Armston, J. 2009. Characterisation and
Monitoring of Mangroves Using ALOS PALSAR Data. JAXA Earth Observation
Research Center (EORC).
[38] Riebeek, H. 2013. How to Interpret a Satellite Image: Five Tips and Strategies: Feature
Articles. Earthobservatory.nasa.gov.
http://earthobservatory.nasa.gov/Features/ColorImage/. Retrieved 31 December 2015.
[39] Weih, R.C. and Riggan, N.D. 2010. Object-based classification vs. pixel-based
classification: comparitive importance of multi-resolution imagery. The International
Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences,
Vol. XXXVIII-4/C7. Ghent, Belgium.
[40] Eisenbeiss, H. 2009. UAV Photogrammetry. Phd Dissertation. University of Technology
Dresden: Germany. 237 pp.

[41] Herwitz, S.R., Johnson, L.F., Dunagan, S.E., Higgins, R.G., Sullivan, D.V., Zheng, J.,
Lobitz, B.M., Leung, J.G., Gallmeyer, B.A., Aoyagi, M., Slye, R.E. and Brass, J.A.
2004. Imaging from an unmanned aerial vehicle: agricultural surveillance and decision
support. Computers and Electronics in Agriculture, 44:49-61.
[42] Peterson, D.L., Brass, J.A., Smith, W.H., Langford, G., Wegener, S., Dunagan, S.,
Hammer, P. and Snook, K. 2003. Platform options of free-flying satellites, UAVs or the
international space station for remote sensing assessment of the littoral zone.
International Journal of Remote Sensing, 24(12): 2785–2804.
[43] Liu, C.C., Chen, Y.Y. and Chen, C.W. 2013. Application of multi-scale remote sensing
imagery to detection and hazard analysis. Natural Hazard, 65:2241-2251.
[44] Aschbacher, J., Tiangco, P., Giri, C.P., Ofren, R.S., Paudyal, D.R. and Ang,Y.K., 1995.
Comparison of different sensors and analysis techniques for tropical mangrove forest
mapping. In: editors (Eds.), Proc. Geoscience and Remote Sensing Symposium,
IGARSS 95, Quantitative Remote Sensing for Science and Applications, Firenze, 10-14
July 1995, 2109-2111 pp.
RIVIEW JURNAL 3
judul A review of uses of satellite imagery in
monitoring mangrove forests
jurnal IOP Conference Series: Earth and
Environmental Sci
volume 37 012034
tahun 2016
penulis P Rhyma Purnamasayangsukasih
reviewer Torang namora
tanggal 8 november 2020
Tujuan artikel jurnal mengulas penggunaan data citra satelit di
mangrove dengan fokus utama literatur
terkait pemantauan mangrove.

Inti dari jurnal Menjelaskan data citra satelit di


mangrove dengan focus utama literature
terkait pemantauan mangrove
Hasil penelitian Dalam pemantauan mangrove, data citra
satelit mampu menyampaikan informasi
berupa tutupan lahan
perubahan, pengamatan bencana,
distribusi spesies, pola zonasi, dll. [37]
keadaan, tertentu
Keuntungan menggunakan data optik
yaitu mangrove relatif berbeda dengan
kawasan non-mangrove,
meskipun kebingungan dengan hutan
tropis yang berdampingan seringkali
menyebabkan kesalahan dalam pemetaan
mangrove tingkat.

kesimpulan Besarnya peran citra satelit dalam


pengelolaan hutan mangrove dalam hal
informasi terutama dalam memantau
ekosistem
DAFTAR PUSTAKA

Pigawati, B., & Rudiarto, I. (2011). Penggunaan Citra Satelit untuk Kajian Perkembangan
Kawasan Permukiman di Kota Semarang. Forum Geografi, 25(2), 140.
https://doi.org/10.23917/forgeo.v25i2.5041

Syam, T., Darmawan, A., Banuwa, I. S., & Ningsih, K. (2012). Pemanfaatan Citra Satelit Dalam
Mengidentifikasi Perubahan Penutupan Lahan : Studi Kasus Hutan Lindung Register 22 Way
Waya Lampung Tengah ( Utilization of Satellite Imagery in Identifying of Land Cover
Changes : Jurnal Globe, 14(2), 146–156.

Rhyma Purnamasayangsukasih, P., Norizah, K., Ismail, A. A. M., & Shamsudin, I. (2016). A
review of uses of satellite imagery in monitoring mangrove forests. IOP Conference Series:
Earth and Environmental Science, 37(1). https://doi.org/10.1088/1755-1315/37/1/012034

You might also like