You are on page 1of 9

Tersedia daring pada: http://ejurnal.undana.ac.

id/JVN

Deteksi sistiserkosis pada babi yang dipotong di Rumah Potong Hewan


Kota So’e

Meriany Presty Alvianita Tamonob1, Annytha I.R.Detha2, Diana A. Wuri2


1
Faculty of Veterinary Medicine, Nusa Cendana University, Kupang
2
Faculty of Veterinary Medicine Nusa Cendana University, Kupang.

Abstract
Riwayat Artikel: Cysticercosis is a disease caused by the larvae of Taenia sp. worm
Diterima: which have serious impact to human. One of many caused of
2 Juli 2019 cysticercosis is population and maintenance system in a region. TTS
Direvisi: is one area that has the highest number of pigs in the province. This
5 Juli 2019 study aims to determine the cysticercosis of pig at the slaughterhouse
Disetujui: in So’e and to know the relation between cycstisercosis and
1 Agustus 2019 maintenance system. The study was conducted to 14 pigs. The
examination performed on the tongue muscle, masseter muscle and
liver. The test were conducted postmortem examination and
Keywords: laboratory test. Laboratry test conducted to identify morphological of
Sistiserkosis, So’e, babi, skoleks. The changes in the organs of the result of postmortem
Cysticercus cellulosae examination continued to cysticercus identification. And the
laboratory result showed that 2 pig positive cysticercosis caused by
cysticercosis cellulosae. It can be included that the cysticercosis
connected with maintenance system. However, the cysticercosis of
Korespondensi : pig in So’e still required program by relevant agencies to eradicate
Ina.detha81@gmail.com this disease.

Vol. 2 No. 2
1
Tamanob et al. 2019

PENDAHULUAN dipasarkan. Pemeriksaan dapat dilakukan secara visual


pada tempat yang berbeda pada organ-organ predileksi
Taeniasis merupakan penyakit yang disebabkan seperti otot antar tulang rusuk, otot leher, otot
oleh cacing pita (cestoda) dari genus Taenia. pengunyah, otot bahu, otot paha, lidah, hati, ginjal,
Sistiserkosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh jantung dan otak (Garcia et al., 2003; Juyal et al., 2008;
infeksi larva dari Taenia sp (Soejoedono, 2004). Allepuz et al., 2009).
Sistiserkosis dan taeniasis merupakan parasit zoonotik Melihat banyaknya jumlah ternak di Kabupaten
yang menimbulkan dampak terhadap kesehatan TTS, tingginya tingkat konsumsi daging babi serta
masyarakat namun kurang mendapat perhatian dari sistem pemeliharaan ternak babi yang masih dilakukan
pemerintah dan masyarakat sehingga digolongkan secara tradisional dapat menjadi peluang besar terjadinya
sebagai penyakit terabaikan (neglected disease) ( Basem kasus taeniasis dan sistiserkosis. Dengan demikian maka
et al, 2010). salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
Sampai saat ini sistiserkosis masih merupakan mengendalikan penyebaran penyakit tersebut adalah
masalah kesehatan masyarakat di negara sedang dengan melakukan pemberantas sistiserkus pada daging
berkembang seperti Amerika Latin, Afrika dan Asia yang dipotong di tempat pemotongan hewan Kota So’E.
termasuk Indonesia. Di Indonesia terdapat tiga provinsi Hal ini dikarenakan adanya sistiserkus pada daging
yang berstatus endemi penyakit taeniasis dan dapat menjadi faktor resiko dalam penularan penyakit
sistiserkosis yaitu Sumatera Utara, Papua dan Bali (Ito et taeniasis bagi masyarakat yang mengkonsumsi daging
al., 2003; Margono et al., 2011). Kasus sistiserkosis juga babi yang terinfeksi sistiserkus.
pernah dilaporkan dengan kejadian sporadis di NTT, Sumber distribusi daging babi bagi masyarakat di
Sulawesi Tenggara, Lampung, Sulawesi Utara, Jakarta wilayah kota So’E dan sekitarnya yaitu berasal dari RPH
dan Kalimantan Barat (Margono et al., 2004). Kota So’E. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang
Berdasarkan laporan dari Simanjuntak et al. (2004) dan di atas, maka studi kajian sistiserkosis perlu dilakukan
Margono et al. (2000) prevalensi sistiserkosis di dengan mempelajari kejadian sistiserkus pada daging
Indonesia bervariasi antara 2% di Bali dan 48% di babi yang dipotong di RPH Kota So’E
Papua. Penelitian terbaru yang dilakukan Fanggi, dkk
(2015) melaporkan bahwa tingkat kejadian sistiserkosis
pada babi yang berasal dari wilayah Kota dan Kabupaten MATERI DAN METODE
Kupang yang dipotong di RPH Oeba Kota Kupang
sebesar 0,6%. Alat dan Bahan
Parasit T. solium ini melangsungkan siklus Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian
hidupnya di antara manusia dan babi (Pondja et al., ini dibagi ke dalam beberapa tahap yaitu :
2010). Babi berperan sebagai hospes perantara, a. Tahap pengambilan dan persiapan sampel.
sedangkan manusia berperan sebagai host definitif dan Peralatan dan bahan yang digunakan adalah
hospes perantara. Babi terinfeksi sistiserkosis setelah skalpel, blade, pot sampel, formalin 10%, kertas
menelan telur dari feses manusia. Kejadian sistiserkosis lebel (marker), sarung tangan dan masker
pada babi ini merupakan sumber awal infeksi taeniasis b. Tahap pembuatan preparat sistiserkus . Peralatan
pada manusia yang terjadi setelah manusia dan bahan yang digunakan adalah skalpel,
mengkonsumsi daging babi yang mengandung larva mikroskop streo, kaca penjepit, gelas objek,
Cysticercus cellulosae yang dimasak kurang sempurna. gelas penutup, zat warna carmine, etanol
Sistiserkosis juga dapat terjadi pada manusia jika telur 70%,xilol, alkohol 50%, alkohol 60%,alkohol
T.solium tertelan melalui mulut dari jari tangan yang 70%, alkohol 80% dan alkohol absolut.
tidak bersih setelah defekasi ataupun kontaminasi pada
tanah, air dan vegetasi. Metode
Office Internasional des Epizooties (OIE) telah Pengambilan Sampel
menetapkan bahwa metode pemeriksaan standar untuk Teknik pengambilan sampel yang digunakan,
mendeteksi keberadaan sistiserkus pada babi adalah yaitu teknik Purposive Sampling proporsional.
pemeriksaan antemortem dan postmortem. Pemeriksaan Purposive sampling proporsional adalah pengambilan
antemortem dilakukan dengan cara palpasi lidah, sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel
sedangkan pemeriksaan postmortem digunakan untuk yang diperlukan. Purposive sampling proporsional
mendeteksi sistiserkus pada daging babi sebelum berarti teknik pengambilan sampel secara sengaja dan
Vol. 2 No. 2
2
Tamanob et al. 2019

tidak secara acak yang dilakukan oleh peneliti HASIL DAN PEMBAHASAN
berdasarkan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2011).
Hasil pengamatan di RPH So’E jumlah babi yang Gambaran Umum Penelitian
di potong setiap harinya berjumlah 3-5 ekor, oleh karena Penelitian ini dilakukan pada Rumah Potong
itu pengambilan sampel dilakukan berdasarkan jumlah Hewan Kota So’E selama 14 hari dan diperoleh 15
pemotongan babi perhari selama 14 hari. Pertimbangan sampel yang dicurigai memiliki kharakteristik
pengambilan sampel tersebut dengan maksud untuk spesifik sistiserkosis pada organ. Pengujian
mendapatkan sumber atau asal babi dari seluruh Kota sistiserkosis dilakukan dalam dua tahapan yaiti
So’E, serta kesempatan peneliti untuk melakukan pemeriksaan postmortem (inspeksi dan palpasi)
observasi di lapangan dengan melakukan wawancara
terhadap organ predileksi dan pengujian kedua yaitu
untuk mendapatkan informasi ternak berkaitan dengan
asal ternak, sistem pemeliharaan, ras, umur ternak, serta identifikasi morfologi sistiserkus. Sampel yang
jenis kelamin dari ternak itu sendiri. diperoleh dilakukan pengujian di laboratorium
Metode Pemeriksaan Sampel Stasiun Karantina Ikan Kelas 1 Kupang selama 6
Pemeriksaan sampel dilakukan berdasarkan hari. Namun, karena keterbatasan bahan yang ada
beberapa tahapan. Dimulai dari pemeriksaan tidak diperoleh hasil pengujian lab tersebut.
postmortem dan pemeriksaan laboratorium. Pada Berdasarkan pertimbangan tertentu pengambilan
pemeriksaan postmortem, setiap ekor babi yang dipotong sampel diulangi dengan jumlah sampel yang sama
diamati perubahan patologi anatomi pada organ-organ selama 5 hari. Sampel selanjutnya dikirim untuk
predileksinya seperti otot maseter dan hati yang dilakukan pengujian identifikasi morfologi di
memungkinkan terdapatnya kista sistiserkus. Laboratorium Helminth, Departemen Ilmu Penyakit
Pemeriksaan kista sistiserkus meliputi inspeksi dengan
Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Institut
teliti terhadap organ predileksinya. Dan pada
pemeriksaan laboratorium sampel yang diduga akan Pertanian Bogor.
diidentifikasi secara makroskopis. Jumlah babi yang diperiksa selama
Berdasarkan keputusan kepala balai karantina pengambilan sampel yang kedua adalah sebanyak
pertanian tahun 2007 tentang pedoman pengambilan 14 ekor terdiri dari 5 babi jantan dan 9 babi betina.
sampel asal hewan, maka teknik pengambilan sampel Pemeriksaan yang dilakukkan secara inspeksi dan
jaringan hewan yang diambil menggunakan skalpel dan palpasi terhadap semua organ dalam babi. Dari 14
pingset dengan kedalam tertentu dari permukaan organ ekor babi yang diperiksa, terdapat 9 ekor babi
atau daging. Sampel yang telah diambil dimasukan ke dicurigai organ hatinya mengandung kista.
dalam wadah tertentu yang telah disiapkan. Pada wadah Permukaan organ hati yang terlihat menunjukkan
diberikan keterangan terhadap sampel yang diambil gejala yang spesifik seperti membentuk gelembung
menggunakan kertas label. Wadah yang disiapkan berisi
semi transparan, berwarna putih susu, terdapat
larutan formalin 10%.
Tahapan pembuatan preparat sistiserkus dilakukan cairan di tengah rongga, dengan diameter 1 sampai
dengan mengeluarkan skolek dari metacestoda dengan 2 cm.
cara membuka secara hati-hati kantung kista dengan
menggunakan skalpel. Skoleks dikeluarkan selanjutnya Tabel 1. Data pemotongan babi di RPH Kota So’E
dipipihkan. Selanjutnya dilakukan pewarnaan N Hari/Tanggal Jumlah Ternak Jumlah Orga Jenis
menggunakan acetocarmine selama 30-120 menit sampai o Pengambilan pemoto Sampel n Kelamin
sampel ngan
spesimen cacing berwarna merah cerah. Kemudian (ekor)
dicuci menggunakan etanol 70% selama 3 menit. Bilas 1 Kamis, 2 001 - - Betina
spesimen dalam asam alkohol (campuran alkohol 70 28/07/2016
dengan HCL). Preparat direndam di dalam alkohol 002 2 Hati Betina
bertingkat mulai dari alkohol 70%, 85%, 95% dan 2 Jumat, 4 003 - Hati Jantan
29/07/2016
alkohol absolut selama 10 menit. Kemudian direndam 004 2 Hati Betina
menggunakan xilol sampai transparan. Preparat ditutup 005 - - Betina
dengan cover gelas dan diamati dibawah mikroskop.. 006 2 Hati Jantan
3 Sabtu, 2 007 1 Hati Betina
30/07/2016

Vol. 2 No. 2
3
Tamanob et al. 2019

008 1 Hati Betina


4 Minggu, 2 009 - - Jantan
31/07/2016
010 - - Betina
5 Senin, 4 011 2 Hati Betina
01/08/2016
012 2 Hati Jantan
013 1 Hati Betina
014 2 Hati Jantan C D
Total 14 15
Gambar 1. (A), (B), (C) menujukan hati babi yang
terdapat kista berwarna putih dengan jumlah 1 sampai
2 kista pada satu bagian hati (D) terlihat cairan
Pemeriksaan Organ Secara bening yang mengelilingi kista sistiserkus
Makroskopis untuk Mendeteksi Larva
Sistiserkus Gambar di atas menunjukkan terdapat 1-2
Pemeriksaan organ dilakukan dengan palpasi kista sistisekus pada permukaan organ hati.
terhadap semua organ dalam dari babi. Hasil Terdapat 1 sampai 4 gelembung dalam setiap
pengamatan yang terlihat menunjukkan bahwa bagian kista, ada kista yang memiliki cairan bening
hampir semua organ yang dicurigai mengandung dan ditemukan kista yang mengalami pengapuran
kista terdapat pada organ hati. Beberapa sampel ditantai dengan adanya pengerasan tanpa cairan
yang dicurigai, sengaja disayat untuk memastikan pada kista tersebut. Menurut Soedarto (2008),
terdapat cairan atau tidak. Berdasarkan hasil sistiserkus terdiri dari kantung tipis yang
pemeriksaan postmortem, ditemukan 15 sampel dindingnya mengandung skoleks dan di tengah
organ hati dari 9 ekor babi yang dicurigai rongga berisi cairan jernih dengan diameter 1
mengandung sistiserkus. Kecurigaan tersebut sampai 2 cm.
berdasarkan gejala spesifik yang ditunjukkan.
Pada penelitian ini, permukaan organ hati Pemeriksaan Laboratorium Terhadap
yang mengandung sistiserkus terlihat menunjukkan Sampel
gejala yang spesifik seperti membentuk gelembung Dari 15 sampel yang didapatkan pada
semi transparan, berwarna putih susu, terdapat pemeriksaan postmortem, dipilih 10 sampel yang
cairan di tengah rongga, dengan diameter 1 sampai menciri untuk dilakukan pengujian lanjut dengan
2 cm. Jelas spesifik ini sama seperti penelitian yang pemeriksaan secara laboratorium melalui
dilakukan Purba, dkk (2015) menyatakan bahwa pembuatan preparat sistiserkus untuk tahapan
larva sistiserkus nampak semi transparan, berwarna pengidentifikasian spesies dari sistiserkus.
keputih-putihan berbentuk gelembung, lonjong, Berdasarkan hasil pemeriksaan yang
dengan diameter 0,6 hingga 1,8 cm dan berisi dilakukan di Laboratorium Helminth, Departemen
cairan. IPHK IPB. Terdapat 2 sampel yang positif
mengandung sitiserkus, sedangkan 8 sampel lainnya
negatif.

Tabel 2. Hasil pemeriksaan sampel positif

N Hari/Tanggal Kode Organ Hasil


A B o Pengambilan sampel
sampel
1 Kamis, 002a Hati Negatif
28/07/2016
002b Hati Negatif
Vol. 2 No. 2
4
Tamanob et al. 2019

2 Jumat, 004 Hati Negatif Menurut Hanjojo dan Margono (2008)


29/07/2016 menyatakan bahwa skoleks T. solium berbentuk
006 Hati Positif bulat, mempunyai 4 buah batil hisap (sucker)
3 Sabtu, 007 Hati Negatif
30/07/2016 dengan rostelum yang dilengkapi dengan 2 deret
008 Hati Negatif kait melingkar dengan masing-masing sebanyak 25
4 Senin, 011 Hati Negatif sampai 30 buah. Berdasarkan hasil pengamatan
01/08/2016 secara mikroskopik terdapat morfologi skoleks pada
012 Hati Negatif kode sampel 006 dan 014. Sampel 006 berbentuk
013 Hati Negatif
014 Hati Positif bulat dengan jumlah kait yang teramati sebanyak 31
Keterangan: kode sampel a merupakan buah, sedangkan pada pada sampel 014 tidak
sampel pertama yang diambil di hati; kode sampel terhitung jelas jumlah kaitnya namun mempunyai
b merupakan sampel yang diambil kedua di hati dua deret kait yang melingkar. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa pengidentifikasian
Berdasarkan Tabel 2 didapati dua sampel berdasarkan morfologi dari skoleks pada sampel
yng positif terdeteksi C. Cellulosa,dengan kode 006 dan 014 merupakan C. cellulosae atau larva
sampel 006 dan 014 sedangkan delapan sampel dati T. solium.
lainnya menunjukan hasil yang negatif. Hal ini didukung dengan adanya kejadian
taeniasis di Pulau Flores, NTT pada tahun 1975
4.4. Gambaran Mikroskopis Sampel Positif sebesar 2,8% yang disebabkan oleh T. solium dan T.
Sistiserkus saginata. Serta penelitian yang dilakukan oleh
Untuk melakukan diagnosa pada Dharmawan, dkk (2015) mengenai kejadian
sistiserkosis dilakukan pengujian untuk sistiserkosis yang terjadi di Karangasem Bali
mengidentifikasi spesies dari genus Taenia. dengan prevalensi 18%. Kejadian yang tinggi juga
Morfologi skoleks merupakan bagian tubuh yang dilaporkan oleh Saleh (2010) dengan prevalensi
dapat dilakukan untuk mengidentifikasi. Menurut sistiserkosis di Pulau Flores mencapai 16,5%.
Direktorat Jendral Peternakan (1988) sistiserkosis Penelitian terbaru yang dilakukan Fanggi, dkk
merupakan penyakit akibat stadium larva dari (2015) terhadap kejadian sistiserkosis pada babi
Cysticercus. Salah satunya adalah Cysticercus yang dipotong di RPH Oeba Kota Kupang
cellulosae. Adanya Cysticercus pada otot-otot dan melaporkan bahwa terdeteksi 2 ekor babi yang
organ dalam babi dapat menyebabkan degenerasi positif terinfeksi sistiserkosis dari 355 ekor yang
sel-sel di sekitarnya. Adanya parasit dengan jumlah dipotong. Dengan penyebab kejadiannya adalah
yang cukup banyak pada sebagian atau seluruh Cysticercus cellulosae atau bentuk larva dari cacing
bagian harus dimusnahkan, karena dapat Taenia solium.
membahayakan kesehatan manusia. Delapan sampel hasil negatif ini
menunjukkan bahwa tidak semua kista yang
ditemukan pada saat pemeriksaan postmortem
merupakan kista yang dicurigai. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena beberapa kista
yang ditemukan tersebut merupakan bentuk migrasi
dari larva cacing Ascaris suum dan Stephanurus
dentatus.Terdapat beberapa sampel yang
mengalami pengapuran. Hal ini dibutikan dengan
pendapat dari Sewell and Broklesby (1990) yang
Gambar 2. bentuk kait C. Cellulosae dengan kode dikutip dari Dharmawan (1996), yang menyatakan
sampel 006 dan 014 bahwa migrasi larva dari cacing Ascaris suum dan
Stephanurus dentatus pada babi menyebabkaan

Vol. 2 No. 2
5
Tamanob et al. 2019

terbentuknya kista pada permukaan organ hati yang tradisional. Hal ini dapat dilihat babi biasanya
dapat dikelirukan dengan bentuk dari kista dipelihara di halaman rumah ataupun di kebun,
sistiserkus. Menurut Rukmono (1988) menyatakan dengan cara dikandangkan atau diumbar. Ternak
bahwa beberapa tahun setelah infeksi sistiserkus, yang ditempatkan pada kandang semi permanen
larva akan mengalami kalsifikasi (pengapuran). dinding dan lantainya terbuat dari kayu, serta masih
Dengan adanya hasil ini, menjadi penting terdapat babi yang dilepaskan tanpa dikandangkan.
bagi semua pihak. Dampak ekonomi yang Ternak umumnya dipelihara sebagai usaha
disebabkan oleh penyakit ini adalah meruginya sampingan untuk memperoleh pendapatan
berbagai pihak. Kerugian terbesar dialami oleh tambahan maupun sebagai persiapan guna
produsen daging, karena menurut Prasad, et al memenuhi kebutuhan adat dalam upacara
(2008) sistiserkosis dapat menurunkan nilai jual pernikahan, kematian maupun keagamaan.
daging karena daging yang mengandung Kejadian sistiserkosis pada babi di So’E
sistiserkosis harus diafkir dan tidak boleh sejauh ini belum ada laporan pada dinas terkait.
dikonsumsi. Pada kenyataannya di RPH Kota So’E Melihat hasil yang didapatkan positif 2, hal ini
masih kurangnya pengawasan yang dilakukan dapat menjadi sumber potensial terjadinya taeniasis
terhadap jual beli daging maupun jeroan babi. bagi masyarakat terutama daging-daging serta organ
Organ hati yang mengandung kista umumya tidak dalam yang dijual beredar di wilayah Kota So’E.
dilakukan pemisahan. Hal ini disebabkan karena Mengingat kerugian ekonomi serta kemungkinan
kurangnya pemahaman dan pengetahuan dari kerugian berupa ancaman bagi kesehatan
petugas di RPH itu sendiri. masyarakat yang mungkin ditimbulkan oleh adanya
Menurut Dharmawan (2012) upaya sistiserkosis pada babi yang dipotong. Hal lainnya
pengendalian dan pemberantasan tergolong mudah, belum ada informasi yang pasti mengenai laporan
di Indonesia penyakit ini masih terabaikan. Seperti terhadap kejadian ini di Kota So’E. Sehingga
telah dilaporkan, di Indonesia penyakit ini tersebar penelitian ini baik dilakukan untuk memberikan
dibebarapa wilayah dengan jumlah prevalensi informasi data terhadap dinas terkait dengan tujuan
bervariasi. Hal ini berkaitan erat dengan kebiasaan dapat melakukan peningkatan terhadap pemeriksaan
mengkonsumsi daging babi dan sistem kelayakan serta kesehatan daging di RPH.
pemeliharaan ternak babi yang masih dilakukan Dengan ditemukannya kejadian sistiserkosis
secara tradisional dapat menjadi peluang besar dalam penelitian ini, dapat memberikan informasi
terjadinya kasus taeniasis dan sistiserkosis di NTT. yang sangat penting untuk mencegah penyebaran
Adanya sistem pemeliharaan yang di lakukan secara dari penyakit ini. Adanya langkah-langkah
tradisional menjadi salah satu peluang terjadinya pencegahan merupakan salah satu cara yang baik
kontak antara babi dengan feses yang mengandung untuk dilakukan. Menurut Soedarto (2008)
telur cacing Taenia. Menurut Flisser et al, (2003) pencegahan dapat dilakukan dengan beberapa cara,
menyatakan bahwa sistiserkosis dan taeniasis sangat antara lain memutuskan siklus hidup T.solium
berkaitan erat dengan sanitasi lingkungan, dengan cara menyediakan tempat defekasi yang
manajemen peternakan dan cara manusia higienis agar feses tidak dimakan hospes perantara,
mengkonsumsi daging babi. Menutut Dharmawan pengobatan terhadap penderita taeniasis untuk
(2012) Manusia akan terinfeksi, bila mengkonsumsi mengurangi sumber infeksi, mencegah terjadinya
daging mentah atau setengah matang yang autoifeksi terhadap telur cacing. Selain itu tindakan
mengandung sistiserkus. Sementara itu ternak akan pencegahan lain yang juga dapat dilakukan, yaitu
terinfeksi karena makan makanan yang dengan memelihara babi secara intensif dan
terkontaminasi oleh feses penderita. higienis, melakukan pengawasan terhadap daging
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan babi yang dijual melalui pemeriksaan secara rutin
di beberapa tempat asal babi di So’E, sistem dan teliti, memasak daging yang dimakan atau tidak
pemeliharaan pada ternak masih dilakukan secara mengkonsumsi daging mentah (Soedarto, 2008).

Vol. 2 No. 2
6
Tamanob et al. 2019

Menurut Bendryman (2014) daging yang yang N Hari/Tang Tern Cara Ras Asal Hasil
terinfeksi oleh sistiserkus sebaiknya diafkir untuk o gal ak Pemelihara Tern peme
mencegah penyebaran atau sistiserkus dimatikan Pengambil an ak riksa
an sampel an
terlebih dahulu. Cara yang dilakukan yaitu 1 Kamis, 001 Dikandangk VDL Camp Negatif
memasak daging babi secara sempurna dengan 28/07/2016 an long
pemanasan pada suhu 45 oC hingga 50 oC selama 30 002 Dikandangk VDL Camp Negatif
an long
sampai 35 menit. Daging dapat didinginkan pada 2 Jumat, 003 Dikandangk Landrac Camp Negatif
suhu -8 oC hingga -10 oC selama 4 hari dan 29/07/2016 an e long
menggarami daging babi dengan konsentrasi 20% 004 Dikandangk Landrac Camp Negatif
an e long
selama 3 hingga 4 minggu. 005 Dikandangk VDL Camp Negatif
an long
Berdasarkan data tabel 3 terdapat dua babi 006 Tidak Lokal Oenas Positif
yang tidak kandangkan atau dipelihara secara dikandangka i
n
tradisional dan babi lainnya dikandangkan. Babi 3 Sabtu, 007 Dikandangk Duroc Nunu Negatif
yang tidak dikandangkan ini merupakan babi lokal 30/07/2016 an meu
yang hasilnya positif terdekteksi sistiserkosis. 008 Dikandangk VDL Keset Negatif
an nana
Kedua babi ini berasal dari So’E yaitu dari Oenasi 4 Minggu, 009 Dikandangk VDL Keset Negatif
dan Ekamusa. Babi yang babi yang tidak 31/07/2016 an nana
dikandangkan ini dipelihara secara tradisional 010 Dikandangk Duroc Camp Negatif
an long
dengan melepas ternak disekitar kebun dan sesekali 5 Senin, 011 Dikandangk Duroc Camp Negatif
baru dimasukan ke kandang. Sedangkan babi yang 01/08/2016 an long
dikandangkan ini umumnya memiliki bentuk 012 Dikandangk Landrac Camp Negatif
an e long
kandang terbuat dari kayu dengan lantai semen atau 013 Dikandangk VDL Camp Negatif
kayu. an long
014 Tidak Lokal Ekam Positif
dikandangka usa
n

Ket : VDL : Veredeld Duits Landvarken

Data dalam Tabel 3 menunjukan bahwa


masih ada peternak yang belum mengkandangkan
ternaknya. Sehingga menjadi salah satu faktor yang
Tabel 3. Data sistem pemeliharaan babi
dapat mempengaruhi kejadian sistiserkosis di So’E.
Ternak yang dikandangkan dapat mengkontrol
pergerakan, pemberian pakan dari ternak itu sendiri
sehingga tidak memperluas penyebaran penyakit.
Penelitian yang dilakukan oleh Assa, dkk (2012)
menunjukkan bahwa bahwa adanya pengaruh
sistem pemeliharaan dengan kejadian sistiserkosis.
Babi yang tidak dikandangkan memiliki resiko lebih
besar dibandingkan babi yang dikandangkan. Hal
ini dikarenakan saat tidak dikandangkan, babi dapat
memakan tinja yang terkontaminasi telur taenia, dan
penularan sistiserkosis dapat terjadi (Garcia et al.,
2007). Demikian pula Sikasunge et al., (2007)
mengemukakan bahwa pemeliharaan babi yang

Vol. 2 No. 2
7
Tamanob et al. 2019

tidak dikandangkan memiliki faktor risiko yang Neurocysticercosis on the Tropical Island
signifikan mempengaruhi sistiserkosis pada babi Bali, Indonesia. Parasites & Vector. 8:148.

SIMPULAN Fanggi, E., Detha, A.I.R., Wuri, D.A. 2015, Deteksi


Sistiserkosis pada Babi yang dipotong Di
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diperoleh RPH Oeba Kota Kupang.
kesimpulan bahwa terdapat 2 sampel positif
sistiserkus dari 14 ekor babi yang dipotong di RPH Flisser, A., Craig, P. S. And Ito, A. 2003,
Kota So’E, kedua sampel tersebut merupakan larva neurocystisercosisRegional status,
dari C. cellulosae. Kejadian sistiserkosis Epidemiology, Impact and Control
berhubungan dengan sistem pemeliharaan ditandai Measures in the Americas, 139:283-292.
dengan sampel yang positif merupakan babi yang
tidak dikandangkan. Garcia HH., Gilman RH., Gonzalez AE., Verastegui
M., Rodriquez S., Ga Vidia C., Tsang
VCW., Falcon N., Lescano AG., Moulton
DAFTAR PUSTAKA LH., Bernal T., Tovar M. 2003,
Hyperendemic human and porcine Taenia
Assa, I., Satriya, F., Lukman D.W., Dharmawan, solium infection in Peru, Am. J. Trop Med
N.S., Dorny, P. 2012, Faktor Risiko Babi 68(3):268-275
Yang Diumbar dan Pakan Mentah
Mempertinggi Prevalensi Sistiserkosis, Garcia HH, Gonzalez AE, Del Brutto OH, Tsang
Jurnal Veteriner, Vol. 13 No 4:345-352. VCW, Llanos-Zavalaga F, Gonzalez G,
Romero J, Gilman RH. 2007, Strategies for
Basem, Abdo RN, Sayed ASM, Hussein A, the elimination of taeniasis/cysticercosis. J
Mohsen, Arafa I. 2010, Occurrence of Neurolog Sci 262 : 153-157.
Taenia solium and cysticercosis in Man in
Egypt, Vet World, 3:57-60. Hanjojo, I. and Margono S.S, 2008, Taenia solium.
Dalam Sutanto. I., Ismid, I.S., Sjarifuddin,
Bendryman. 2014, Helminthiasis Veteriner, Global
P.K. and Sungkar, S. Ed. Buku Ajar
Persada Press, Surabaya.
Parasitologi Kedokteran ed 4. Jakarta:
Dharmawan, N.S. 1996, Deteksi sistiserkosis Fakultas Kedokteran Indonesia, 79-82 c
Taenia saginata pada babi dan sapi di Bali
Ito, A., Nakao, M., and Wandra., T. 2003, Human
dengan ELISA. Pros. Seminar Nasional
Taeniasis and Cyticerkosis in Asia, Lancet.
Peternakan dan Veteriner. Cisarua, Bogor.
362:1918-1920
7-8 Nopember 1995. Puslitbang Peternakan,
Bogor. 945- 950. Margono, S.S., Wandra, T., Suroso, T. and Ito, A.
2004, Taeniasis and cycticercosis in
Dharmawan, N.S., Swastika, K., Putra, I.M., Indonesia. In: Ito, A., Wen. H., Yamasaki,
Wandara, T., Sustisna, P., Okamoto. 2012, H., editors. Taeniasis/Cycticercosis and
Present Situation and Problems of Echonococcosis in Asia. Asian Parasitology
Cysticercosis in Animaal in Bali and Papua. vo. 2, Committee/Federation of Asian
Jvet. 13(2):154-162. Parasitologists, Chilba, Japan, pp. 115-134.
Dharmawan N.S., Wandara T., Swastika K. 2015, Pondja, A., Neves, L., Mlangwa, J., Afonso, S.,
The Present Situation and Towards the Fafetine J., Wilingham, A.L., et al. 2010,
Preventation and Control of Prevalence and Risk Factors of Porcine

Vol. 2 No. 2
8
Tamanob et al. 2019

Cysticercosis In Angonia District, Soedjoedono RR. 2004, Zoonosis. Laboratorium


Mozambique. Plos Neglected Dis. 4:594. Kesmavet Departmen Ilmu Penyakit Hewan
dan Kesmavet Fakutlas kedokteran Hewan.
Prasad KN, Prasad A, Verma A, Singh AK. 2008, Bogor : Institut Pertanian Bogor cit. Saleh,
Human cysticercosis and Indian U.S.A, 2010, Faktor Resiko Kejadian
scenario: a review. J Biosci 33 (4): 571- Sistiserkosis Pada Babi Di Kabupaten Flores
582. Timur Nusa Tenggara Timur, Tesis, Sekolah
Pascaserjana Institut Pertanian Bogor.
Purba, W. H., Miko T. Y. W., Ito, A., Widarso, H.
S., Hamid., Subahar, R., et al. 2003, Faktor-
faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Sistiserkosis pada Penduduk Kecamatan
Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi
Papua Tahun 2003, Makara, Kesehatan, Vol
7, No. 2.
Rukmono, B. 1988, Buku Penuntun Parasitologi
Kedokteran, Bandung.
Saleh. U.S.A. 2010, Faktor Risiko Kejadian
Sistiserkosis pada Babi di Kabupaten Flores
Timur Nusa Tenggara Timur, Tesis Magister
Magister Sains pada Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sikasunge, C.S., Phiri, I.K., Dorny, P., Siziya, S.,
Willingham, A.L. 2007, Risk factor
associated with porcine cycticerkosis in
selected districts of Eastern and Southern
provinces of Zambia. Vet Parasitol. 143:59-
66.
Simanjuntak, G.M. and Widarso, H.S. 2004, The
Current Taenia Solium
taeniasis/cysticercosis situation in
Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Pub
Health. 35:240-246 cit Estuningsih,S.E.
2009, Taeniasis dan Sistiserkosis merupakan
Penyakit Zoonosis Parasiter. Wartazoa Vol.
19 No 2.
Soedarto.2008, Parasitologi Klinik, Airlangga
University Press, Surabaya, Indonesia cit.
Marianto, 2011, Kontaminasi Sistiserkus
Pada Daging dan Hati Sapi dan Babi Yang
Dijual Di Pasar Tradisional Pada Kecamatan
Medan Kota, Skripsi, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra Utara.
Vol. 2 No. 2
9

You might also like