You are on page 1of 150

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI

PRODUK TURUNAN MINYAK SAWIT DI INDONESIA

SINGGIH WIDHOSARI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUTE PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

 
 
ABSTRACT

Production of palm oil downstream products in Indonesia is still low compared to


primary products, namely palm oil. demand for palm oil, margarine and soap increased
every year. therefore, Indonesia needs to increase the production of palm oil derivative
products, not only to meet consumer demand but also related to value-added. Relevant
government policies in order to encourage the development of downstream palm oil
industry, through the instrument of monetary policy interest rates can affect the
production of palm oil derivative products are cooking oil, margarine and soap. The
research objectives are (1) Analyzing the factors that influence the production of palm oil
derivative products in Indonesia, cooking oil, margarine and soap. (2) Analyzing the
impact of policy rate cuts on the production of cooking oil, margarine and soap in
Indonesia. In order to address these objectives, a simultaneous equations model of
derived from the production of palm oil in Indonesia is estimated by Two Stage Least
Squares (2SLS) method. Domestic palm oil production is influenced significantly by the
domestic price of cooking oil palm, palm oil price growth rate domestk, interest rate, and
cooking oil production t-1. Domestic production of margarine significantly influenced by
the production of margarine t-1. Production of domestic soap significantly influenced by
the level of interest rates, the growth rate of industrial labor, and the production of soap
domestuk t-1. in order to develop the production of palm oil derivatives suggested that the
government should export oriented derivative products (cooking oil, margarine and soap)
to increase foreign exchange and provision of low interest rates in order to increase
investment in downstream industries.

Keywords: production of palm oil derivative products, cooking palm oil, margarine, soap,
and interest rate policy
 
RINGKASAN
SINGGIH WIDHOSARI. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk
Turunan Minyak Sawit di Indonesia. Dibimbing Oleh NOVINDRA.

Sri Hadisetyana, Kepala Subdit Industri Hasil Hutan dan Perkebunan


Nonpangan Kementerian Perindustrian dalam Gosta (2011), mengatakan kondisi
Indonesia yang masih belum mampu mengembangkan industri hilir CPO, dapat
merugikan perekonomian nasional karena industri hilir CPO bisa memberikan
nilai tambah lebih dari 10 kali lipat dibandingkan harga minyak sawit mentah.
Diversifikasi produk hilir minyak sawit dan minyak inti sawit dapat
dikelompokkan menjadi produk pangan sejumlah 90 persen dan produk-produk
nonpangan sejumlah 10 persen berupa produk-produk sabun dan oleokimia.
Penggunaan minyak sawit terbesar di Indonesia adalah untuk minyak goreng
sekitar 71 persen sedangkan bila digabung dengan shortening/margarin menjadi
sekitar 75 persen. Sisanya sekitar 25 persen digunakan dalam bentuk sabun,
oleokimia dan bentuk-bentuk lainnya (Affudin 2007).
Kecenderungan naiknya permintaan CPO di pasar dunia yang merupakan
bahan baku minyak goreng dan sebagai biofuel yang berperan untuk
mensubstitusikan minyak bumi membuat pengusaha ingin mendapatkan
keuntungan sebanyak-banyaknya dari penjualan CPO ke luar negeri, sehingga
industri hilir untuk minyak goreng, margarin, dan sabun kekurangan input CPO.
Akibatnya produksi dalam negeri untuk ketiga komoditas tersebut masih rendah.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia dan
Menganalisis dampak kebijakan penurunan tingkat suku bunga terhadap produksi
minyak goreng, margarin, dan sabun di Indonesia.
Model produksi minyak sawit Indonesia yang dibangun dalam penelitian
ini merupakan sistem persamaan simultan, yang terdiri dari 3 blok yaitu blok
minyak goreng sawit domestik, blok margarin domestik, dan blok sabun
domestik. Pada penelitian ini, model yang telah dirumuskan terdiri dari 13
persamaan atau 13 variabel endogen (G), dan 44 predetermined variable terdiri
dari 32 variabel eksogen dan 12 lag endogenous variable, sehingga total variabel
dalam model (K) adalah 57 variabel. Kemudian diketahui bahwa jumlah variabel
endogen dan eksogen yang termasuk dalam persamaan tertentu dalam model (M)
adalah maksimum 5 variabel. Berdasarkan kriteria order condition disimpulkan
setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified.
Selanjutnya, metode estimasi model yang digunakan adalah 2SLS.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2010.
Sementara sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi yang
terkait yaitu Biro Pusat Statistik (BPS), Kementerian Perindustrian, Kementerian
Pertanian. Pengolahan data dilakukan dengan program komputer yaitu : SAS for
Windows 9.0.
Hasil Penelitian menunjukan bahwa produksi minyak goreng sawit
domestik dipengaruhi secara nyata oleh harga minyak goreng sawit domestik,
laju pertumbuhan harga minyak sawit domestk, tingkat suku bunga, dan produksi
minyak goreng t-1. Produksi margarin domestik dipengaruhi secara nyata oleh
produksi margarin t-1. Produksi sabun domestik dipengaruhi secara nyata oleh

 
tingkat suku bunga, laju pertumbuhan upah tenaga kerja industri, dan produksi
sabun domestuk t-1. Penurunan suku bunga bank indonesia menyebabkan
peningkatan terhadap produksi minyak goreng sawit domestik, permintaan
minyak goreng sawit domestik, penawaran minyak goreng sawit domestik,
produksi margarin domestik, penawaran margarin domestik, produksi sabun
domestik, permintaan sabun domestik, dan penawaran sabun domestik. Penurunan
suku bunga bank indoonesia menyebabkan penurunan terhadap harga minyak
goreng sawit domestik dan harga sabun domestik. Harga minyak sawit domestik,
permintaan margarin domestik, dan harga margarin domestik tidak mengalami
perubahan.
Saran yang bisa dikemukakan berdasarkan penelitian ini adalah : (1)
pemberian tingkat suku bunga rendah agar investasi bagi infustri hilir meningkat.
(2) dalam jangka panjang instrumen kebijakan pemerintah hendaknya berorientasi
ekspor produk turunan CPO (minyak goreng, margarin, dan sabun) dalam
meningkatkan devisa negara melalui ekspor produk turunan minyak sawit dan
hendaknya pemerintah memberi perhatian penuh dalam mengatur sistem tata
niaga industri ini.

Kata Kunci : Produksi produk turunan minyak sawit, minyak goreng sawit,
margarin, sabun, kebijakan suku bunga

 
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi
Produk Turunan Minyak Sawit di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

Singgih Widhosari
H44080007

 
 
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PRODUK
TURUNAN MINYAK SAWIT DI INDONESIA

SINGGIH WIDHOSARI
H44080007

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk
Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAKEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

 
 
Judul Skripsi : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk Turunan
Minyak Sawit di Indonesia
Nama : Singgih widhosari
NIM : H44080007

Disetujui,
Dosen Pembimbing

Novindra,S.P., M.Si
NIP. 19811102 200701 1001

Mengetahui,
Ketua Departemen

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT


NIP. 19660717 199203 1003

Tanggal Lulus :

 
 
UCAPAN TERIMAKASIH

Segala puji bagi kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk

dan kemudahan pada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian inidengan

judul “ Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk Turunan Minyak

Sawit di Indonesia. Penulis mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya

kepada :

1. Kedua orang tua tercinta yang senantiasa memberikan doa dan motivator,

pendukung baik moril maupun materil dan pendengar yang baik atas keluh

kesah penulis. Juga kakak tercinta yang selalu memberikan doa dan semangat

(ka uun dan suaminya ka Pai).

2. Novindra. S.P., M.Si selaku dosen pembimbing, atas segala masukan dan

bimbingan yang telah bapak berikan. Dengan kesibukan yang bapak miliki,

tetap mau menyempatkan diri untuk membagikan ilmunya kepada penulis.

3. Prof Dr Ir. Bonar M. Sinaga M.a selaku penguji utama dan Hastuti. S.P., M.P.,

Msi selaku penguji wakil departemen, atas segala masukan, perbaikan serta

ilmu yang dibagikan kepada penulis.

4. Teman-teman seperjuangan di Departemen ESL yang selalu memberikan doa

dan dukungan ( Windi, Ionk, Ayu, Fathim, Welda, Livia, Nova, Tia, Esti, Tika,

Iki, Aziz dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu) dan teman-

teman sebimbingan yang selalu memberikan doa, masukan, serta dukungannya

( Ionk, Kiki, Novrika, Dian, Sandra, Pebri).

5. Halim hamdani yang senantiasa memberikan semangat, dukungan, dan cinta

yang tulus kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi.

 
6. Teman-teman di IPB yang selalu memberikan doa dan dukungan kepada

penulis (ka fatmi, anggita, hikma, ikhlas, memey, rere, dan semua yang tidak

dapat disebutkan satu persatu).

7. Pihak-pihak lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu namun telah

banyak memberikan saran dan informasi selama penulisan skripsi ini.

Penulis berharap penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan

pendidikan dan sektor pertanian khususnya industri hilir minyak sawit di

Indonesia. Semoga Allah SWT menerima karya ini sebagai amal kebaikan dan

tanda syukur penulis. Amin

Bogor, Januari 2013

Singgih Widhosari

viii 
 
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan usulan penelitian dengan judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Produksi Produk Turunan Minyak sawit di Indonesia. Selama proses penelitian
dimulai dari hunting data, pencarian informasi, hingga proses pengolahan data,
banyak hikmah yang penulis dapatkan dari kesemua proses tersebut. Penelitian ini
dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia dan Menganalisis dampak
kebijakan penurunan tingkat suku bunga terhadap produksi minyak goreng,
margarin, dan sabun di Indonesia.
Semoga karya penulis ini memberikan manfaat dalam pengembangan
pendidikan. Atas perhatian serta saran dan kritik yang diberikan untuk
menyempurnakan tulisan ini, penulis mengucapkan terima kasih.

Bogor, Januari 2013

Singgih Widhosari

 
 
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL . ......................................................................................... xii


DAFTAR GAMBAR . ..................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ...................................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 8
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................ 8
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................ 9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelapa Sawit ................................................................................... 10
2.2. Kelapa Sawit di Indonesia............................................................... 11
2.3. Industri Pengolahan Kelapa Sawit di Indonesia ............................. 12
2.4. Industri Hilir Kelapa Sawit ............................................................. 14
2.4.1. Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit
di Indonesi ............................................................................. 15
2.4.2. Produksi dan Konsumsi Margarin di Indonesia ................... 18
2.4.3. Produksi dan Konsumsi Sabun di Indonesia ........................ 21
2.5. Kebijakan Industri Hilir dan Peningkatan Nilai Tambah
Kelapa Sawit di Indonesia .............................................................. 22
2.6. Kebijakan Tingkat Suku Bunga di Indonesia ................................. 23
2.7. Penelitian Terdahulu ....................................................................... 24
2.8. Keterbaruan Penelitian .................................................................... 30
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Fungsi Produksi dan Penawaran Minyak Goreng, Margarin, dan
Sabun ............................................................................................... 33
3.2. Permintaan Minyak Goreng/Margarin/Sabun ................................. 34
3.3. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................... 37

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................... 41


4.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data ........................................... 41
4.3. Spesifikasi Model ............................................................................ 41
4.3.1. Blok Minyak Goreng Sawit................................................. 42
4.3.1.1. Persamaan Produksi Minyak Goreng Sawit .......... 42
4.3.1.2. Persamaan Permintaan Minyak Goreng Sawit ....... 42
4.3.1.3. Persamaan Penawaran Minyak Goreng Sawit ....... 43
4.3.1.4. Persamaan Harga Minyak Goreng Sawit ............... 43
4.3.1.5. Persamaan Harga Minyak Sawit ............................ 44
4.3.1.6. Persamaan Permintaan Minyak Sawit ................... 45
4.3.2. Blok Margarin Domestik ..................................................... 45
4.3.2.1. Persamaan Produksi Margarin Domestik ............... 45
4.3.2.2. Persamaan Permintaan Margarin Domestik ........... 46
4.3.2.3. Persamaan Penawaran Margarin Domestik ............ 47
4.3.2.4. Persamaan Harga Margarin Domestik .................... 47
4.3.3. Blok Sabun Domestik .......................................................... 48
4.3.3.1. Persamaan Produksi Sabun Domestik .................... 48
4.3.3.2. Persamaan Permintaan Sabun Domestik ................ 49
4.3.3.3. Persamaan Penawaran Sabun Domestik ................. 49
4.3.3.4. Persamaan Harga Sabun Domestik ......................... 50
4.4. Pengujian Model ............................................................................. 50
4.4.1. Identifikasi Model ................................................................ 50
4.4.2. Metode Pendugaan Model ................................................... 52
4.4.3. Uji Statistik F ...................................................................... 53
4.4.4. Uji Statistik t ....................................................................... 53
4.4.5. Uji Statistik Durbin-h .......................................................... 54
4.4.6. Validasi Model .................................................................... 55
4.4.7. Simulasi Historis ................................................................. 56

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk Turunan
Minyak Sawit di Indonesia .............................................................. 57
5.1.1. Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model........................... 57
5.1.1.1. Keragaan Blok Minyak Goreng
Sawit Domestik .................................................. 58
5.1.1.2. Keragaan Blok Margarin Domestik .................... 67
5.1.1.3. Keragaan Blok Sabun Domestik ......................... 72
5.2. Dampak Kebijakan Penurunan Suku Bunga Terhadap Produksi
Minyak Goreng, Margarin, dan Sabun di Indonesia........................ 76
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan .......................................................................................... 79
6.2. Saran ............................................................................................. 79

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 80


LAMPIRAN ...................................................................................................... 82
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... 123

xi 
 
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Pangsa Produksi Minyak Nabati Dunia (1993-2012) .............. 2


2. Nilai Tambah (Ribu Rp) dari Produk Turunan CPO seperti
Minyak Goreng, Sabun ............................................................ 14
3. Karakteristik Tipe Kelapa Sawit Dura, Tenera, dan Pisifera . 11
4. Data 10 Pelaku Usaha Terbesar Beserta Kapasitas Produksi
dan Market Share Masing – masing Perusahaan Minyak Goreng
di Indonesia ............................................................................. 16
5. Peningkatan Konsumsi Minyak Goreng (1999-2005) ............. 16
6. Perkembangan Produksi Minyak Goreng Kelapa dan Minyak
Sawit di Indonesia (2001-2001) .............................................. 17

7. Kuantitas Impor Margarin Indonesia (2001-2010) .................. 18


8. Produsen Industri Margarin di Indonesia ................................ 19
9. Perkembangan Produksi Margarin indonesia .......................... 19
10. Perkembangan Konsumsi Margarin di Indonesia
(2003-2010) ............................................................................. 20
11. Pangsa Konsumsi Minyak Sawit di Indonesia (1991-1996) ... 21
12. Produksi dan Harga Sabun Mandi Batang di Indonesia
(2003-2010) ............................................................................ 22
13. Perkembangan Tingkat Suku Bunga Kredit Bank Umum
di Indonesia Periode Triwulan 2006.I-Triwulan 2010.II. ........ 23
14. Hasil Estimasi Produksi Minyak Goreng Sawit Domestik ...... 59
15. Hasil Estimasi Permintaan Minyak Goreng Sawit Doomestik 61
16. Hasil Estimasi Harga Minyak Goreng Sawit Domestik .......... 62
17. Hasil Estimasi Harga Minyak Sawit Domestik ....................... 64
18. Hasil Estimasi Permintaan Minyak Sawit Domestik................ 65
19. Hasil Estimasi Produksi Margarin Domestik .......................... 65
20. Hasil Estimasi Permintaan Margarin Domestik ...................... 68
21. Hasil Estimasi Harga Margarin Domestik ............................... 71
22. Hasil Estimasi Produksi Sabun Domestik ............................... 73
23. Hasil Estimasi Permintaan Sabun Domestik ........................... 74
24. Hasil Estimasi Harga Sabun Domestik .................................... 76

xii 
 
25. Hasil Simulasi Penurunan Suku Bunga Sebesar 20 Persen ..... 77

xiii
 
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman

1. Kerangka Pemikiran Operasional ............................................ 41

xiv 
 
 
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Dasar Model Persamaan Produksi Produk Turunan Minyak


Sawit di Indonesia ......................................................................... 84
2. Rekapitulasi Persamaan dalam Model Produksi Produk Turunan
Minyak Sawit Indonesia ................................................................ 86
3. Program Estimasi Persamaan dalam Model Produksi Produk
Turunan Minyak Sawit Indonesia ................................................. 87
4. Hasil Estimasi Persamaan dalam Model Produksi Produk Turunan
Minyak Sawit Indonesia ................................................................ 90
5. Program Validasi Persamaan dalam Model Produksi Produk
Turunan Minyak Sawit Indonesia ................................................. 101
6. Hasil Validasi Model Produksi Produk Turunan Minyak Sawit
Indonesia........................................................................................ 105
7. Program Simulasi .......................................................................... 112
8. Hasil Simulasi Historis (Penurunan Tingkat Suku Bunga Sebesar
20 Persen) ...................................................................................... 116

xv
 
 
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kelapa sawit adalah tanaman penting dunia yang dapat menghasilkan

berbagai produk industri makanan, kimia, kosmetik, bahan bakar industri berat

dan ringan, biodiesel dan lain-lain. Pengolahan kelapa sawit pada dasarnya

merupakan proses pengolahan pada Tandan Buah Segar (TBS), menjadi minyak

kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dan minyak inti sawit atau Palm Kernel

Oil (PKO). CPO atau PKO banyak digunakan sebagai bahan industri pangan

(minyak goreng dan margarin), industri sabun (bahan penghasil busa), industri

baja (bahan pelumas), industri tekstil, kosmetik dan sebagai bahan bakar alternatif

(biodisel).

Pada tahun 2009, Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit

terbesar di dunia dengan produksi sebesar 20.6 juta ton yang menguasai hampir

separuh dari pangsa pasar minyak sawit dunia. Data dari Direktorat Jenderal

Perkebunan (2009) menunjukkan pada tahun 1980 luas areal kelapa sawit adalah

294 000 ha pada tahun 2009 luas areal perkebunan kelapa sawit diperkirakan

sudah mencapai 7.32 juta ha. Lebih dari 80 persen produksi kelapa sawit nasional

merupakan komoditas ekspor dengan berbagai negara tujuan. Negara tujuan

utama ekspor kelapa sawit Indonesia adalah India dengan pangsa sebesar 33

persen, Cina sebesar 13 persen, dan Belanda 9 persen dari total ekspor kelapa

sawit Indonesia (Haryana et al, 2010).

Permintaan dunia terhadap CPO terus meningkat. Pada tahun 2012 CPO

diperkirakan akan mempunyai peran yang penting, konsumsinya meningkat dan

menggantikan peran minyak nabati lainnya,terutama minyak kedele. Pertumbuhan

1
 
produksi minyak kelapa sawit dunia pada periode 1998 – 2002 hingga 2008 –

2012 mengalami peningkatan dari 25 340 360 ton sampai dengan 29 949 312 ton.

Sejak periode 2003 – 2007 jumlah konsumsi minyak kelapa sawit mulai

mengungguli minyak kedele dan diperkirakan masih akan terus berlanjut hingga

tahun 2020, demikian juga halnya dengan pangsa produksinya (Departemen

Perindustrian, 2009). Jumlah produksi dan konsumsi minyak nabati dunia mulai

tahun 1993 hingga prediksi tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Produksi Minyak Nabati Dunia Tahun 1993-2012 di


Indonesia
Uraian 1993-1997 1998-2002 2003-2007 2008-2012
Produksi/ (ton)
M. sawit 15 500 382 20 752 640 25 340 360 29 949 312
M. kedele 17 765 278 19 915 840 22 376 016 25 174 784
M. kanola 10 121 254 11 966 240 15 526 744 15 517 216
M.bunga matahari 8 351 804 9 790 560 12 526 744 12 044 832
M. lainnya 19 039 282 21 254 720 22 854 136 25 825 856
Total 70 778 000 83 680 000 95 624 000 108 512 000
konsumsi/(Ton)
M. sawit 15 385 170 20 021 952 25 973 420 29 752 650
M. kedele 17 828 697 20 126 233 22 313 529 25 124 460
M. kanola 10 045 611 11 783 753 13 577 015 15 471 378
M. bunga matahari 8 326 092 9 593 852 10 861 612 12 033 294
M. lainnya 38 915 430 42 755 210 45 335 424 49 852 218
Total 90 501 000 104 281 000 118 061 000 132 234 000
Sumber : diolah oleh Oil World 2009 dalam Badan Koordinasi Penanaman Modal 2005

Indonesia menyadari bahwa ekspor minyak kelapa sawit dalam wujud

primer kurang menguntungkan bila dibandingkan dengan barang turunannya.

Selain itu, akan mengakibatkan ketidakseimbangan antara ekspor minyak kelapa

sawit dan keperluan domestik. Bila hal ini terus dilakukan maka akan

menyebabkan pengembangan industri hilir menjadi lambat. Hingga tahun 2010,

peluang pasar Indonesia dari sisi konsumsi domestik diperkirakan tumbuh antara

4 persen sampai 6 persen per tahun, sedangkan dari sisi ekspor adalah sekitar 5

persen sampai 8 persen per tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa


 
pengembangan industri hilir minyak sawit perlu terus ditingkatkan (Departemen

Perindustrian, 2009).

Sri Hadisetyana, Kepala Subdit Industri Hasil Hutan dan Perkebunan

Nonpangan Kementerian Perindustrian dalam Gosta (2011), mengatakan “kondisi

Indonesia yang masih belum mampu mengembangkan industri hilir CPO, dapat

merugikan perekonomian nasional karena industri hilir CPO bisa memberikan

nilai tambah lebih dari 10 kali lipat dibandingkan harga minyak sawit mentah”.

Menurut data Kementerian Perindustrian, CPO bisa memberikan nilai tambah 180

persen jika diolah menjadi margarin, 300 persen untuk fatty acid, dan 400 persen

untuk fatty alcohol. Bahkan, pengelolaan menjadi produk kosmetik mampu

memberikan nilai tambah hingga 1 200 persen dari harga minyak sawit mentah.

Data nilai tambah industri turunan minyak sawit mentah dapat dilihat

pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai Tambah Industri Turunan Minyak Sawit Mentah


Produk Nilai Tambah (%)
Minyak sawit mentah 0
Minyak goring 60
RBD stearine 90
Margarine/shortening 180
Confectionaries 200
Fatty acid 300
Fatty alcohol 400
Surfaktan 800
Kosmetik 1 200
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2011 dalam Demis (2011)

Diversifikasi produk hilir minyak sawit dan minyak inti sawit dapat

dikelompokkan menjadi produk pangan sejumlah 90 persen dan produk-produk

nonpangan sejumlah 10 persen berupa produk-produk sabun dan oleokimia.

Penggunaan minyak sawit terbesar di Indonesia adalah untuk minyak goreng

sekitar 71 persen sedangkan bila digabung dengan shortening/margarin menjadi

3
 
sekitar 75 persen. Sisanya sekitar 25 persen digunakan dalam bentuk sabun,

oleokimia dan bentuk-bentuk lainnya (Affudin, 2007).

Kecenderungan naiknya permintaan CPO di pasar dunia yang merupakan

bahan baku minyak goreng dan sebagai biofuel yang berperan untuk

mensubstitusikan minyak bumi membuat pengusaha ingin mendapatkan

keuntungan sebanyak-banyaknya dari penjualan CPO ke luar negeri, sehingga

industri hilir untuk minyak goreng, margarin, dan sabun kekurangan input CPO.

Akibatnya produksi dalam negeri untuk ketiga komoditas tersebut masih rendah.

Pengembangan industri hilir CPO perlu diprioritaskan sebagai kebijakan

pengolahan produk pertanian, mengingat kita tidak dapat selamanya menjadi

pengekspor minyak sawit. Potensi minyak sawit yang tinggi sebaiknya

dimanfaatkan untuk pengembangan industri hilirnya, karena mempunyai nilai

tambah yang tinggi dan menimbulkan efek ganda (multipler effect) yang sangat

signifikan. Apabila kegiatan mengekspor CPO dipertahankan, ini menunjukkan

industri nasional tidak berkembang dan tidak mengalami kemajuan.

Kajian tentang industri turunan minyak sawit sangat strategis untuk

dilakukan karena saat ini baru 10 persen produk turunan sawit yang diproduksi di

Indonesia, padahal nilai tambah produk turunan berlipat ganda dibandingkan

minyak sawit, khususnya untuk produk yang banyak diproduksi di Indonesia yaitu

minyak goreng, margarin, dan sabun.

1.2. Perumusan Masalah


Penyerapan minyak kelapa sawit oleh industri domestik masih rendah. Hal

ini berhubungan dengan kapasitas produksi industri hilir berbahan baku minyak

sawit. Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) dalam Nuryanti

(2008) mencatat serapan minyak sawit untuk industri minyak goreng domestik


 
yang merupakan industri yang dominan menggunakan minyak sawit di dalam

negeri hanya berkapasitas 1.9 juta ton per tahun dari rata-rata produksi minyak

sawit Indonesia dari 1984-2007 yaitu 6.2 juta ton. Begitu juga, industri hilir yang

lain, yang menghasilkan produk turunan minyak sawit belum banyak berkembang

sehingga belum banyak menyerap minyak sawit. Hal ini disebabkan masih

rendahnya investasi pada sektor hilir sebagai akibat diantaranya kurangnya

dukungan pemerintah.

Produksi CPO Indonesia mencapai 43 persen dari total kebutuhan CPO

pasar dunia sebasar 42 904 ton. Ekspor minyak sawit indonesia yang tinggi,

merupakan hal yang harus dibatasi dalam rangka pengembangan industri hilir

minyak sawit. Pemerintah hanya mengekspor CPO, sementara pengolahan tidak

dilakukan. Padahal saat ini, negara-negara tujuan ekspor minyak sawit telah

mengolah minyak sawit dalam berbagai bentuk produk turunan dan hasil yang

jauh melebihi nilai ekspor1.

Sebagian besar hasil produksi minyak sawit di Indonesia merupakan

komoditas ekspor. Pangsa ekspor kelapa sawit hingga tahun 2008 mencapai 80

persen dari total produksi minyak sawit di Indonesia. Negara utama tujuan ekspor

minyak sawit sawit Indonesia adalah India dengan pangsa pasar sebesar 33 persen

dimana lebih dari 90 persen minyak sawit di negara tersebut digunakan sebagai

minyak goreng, dan sisanya digunakan sebagai bahan dasar makanan dan produk-

produk lain seperti sabun, cokelat, es krim, kosmetik, dan juga alat pembersih.

Cina sebesar 13 persen sebagian besar minyak sawit digunakan di industri

katering, pengolahan makanan, produk konsumen, dan kimia. Belanda sebesar 9


                                                            
1
http://bp2t.riau.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=113:mendesak-industri-
hilir-kelapa-sawit&catid=25:the-project. Mendesak, Industri Hilir Kelapa Sawit. Diakses tanggal
27 Maret 2012.

5
 
persen, penggunaan minyak sawit di Belanda sebagai komplementer bagi minyak

kedelei. Potensi dan peluang pembangunan kelapa sawit di Indonesia

mengindikasikan bahwa minyak sawit mempunyai prospek positif kedepan,

khususnya terkait nilai tambah.

Berkaitan dengan nilai tambah, maka disusun naskah kebijakan kelapa

sawit oleh Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan

Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada tahun 2010. Di dalam naskah tersebut

dituliskan mengenai pengembangan produk (Hilir dan Sampingan) dan

peningkaan nilai tambah. Pembentukkan klaster industri kelapa sawit sesuai

dengan potensi produksi kelapa sawit berkelanjutan dan berkeadilan, yang

didukung dengan : (1) pengembangan jaringan infrastruktur yang terintegrasi, (2)

insentif fiskal untuk pengadaan peralatan dan pengolahan mesin-mesin produk

hilir, (3) prioritas alokasi kredit dan subsidi bunga untuk investasi dan modal kerja

dalam rangka pengembangan industri hilir kelapa sawit, (4) insentif bea keluar

untuk ekspor produk hilir dan samping, serta disinsentif bea keluar untuk ekspor

bahan mentah dengan tetap memperhatikan keberadaan industri hulu, dan (5)

penguatan penelitian dan pengembangan (Litbang) kelapa sawit melalui

peningkatan anggaran dan investasi Litbang serta kerjasama Litbang antara

pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi.

Saat ini konsumsi terhadap minyak goreng, margarin, dan sabun

meningkat, karena tumbuhnya industri jasa boga yang membutuhkan minyak

goreng dan margarin, serta perubahan gaya hidup masyarakat yang didukung oleh

peningkatan pendapatan. Kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan gaya

hidup juga menyebabkan peningkatan pada konsumsi sabun di Indonesia.


 
Diharapkan produksi terhadap produk turunan minyak sawit yaitu minyak goreng,

margarin, dan sabun dapat ditingkatkan. Pengembangan produk turunan minyak

sawit penting untuk dilakukan dalam rangka memenuhi permintaan konsumen dan

meningkatkan nilai tambah.

Apabila industri hilir dikembangkan maka industri hulu pun akan ikut

berkembang. Dalam rangka membangun satu unit industri hilir CPO yang

menghasilkan barang jadi (minyak goreng, margarin, dan sabun), dibutuhkan

kebun kelapa sawit yang sudah menghasilkan TBS seluas 150 000-200 000 ha.

Dapat diketahui bahwa pengembangan industri hilir akan memperbesar peluang

pemanfaatan, mengkreasikan permintaan, dan memperkuat posisi industri sawit

secara keseluruhan (Affudin, 2007).

Terkait kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong pengembangan

industri hilir kelapa sawit, kebijakan moneter melalui instrumen tingkat suku

bunga dapat mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit yaitu minyak

goreng, margarin, dan sabun. Diduga penurunan tingkat suku bunga, akan

meningkatkan keinginan investor dalam berinvestasi pada industri hilir kelapa

sawit, khususnya industri minyak goreng, margarin, dan sabun, sehingga produksi

akan meningkat. Apabila terjadi peningkatan tingkat suku bunga maka akan

menurunkan investasi pada industri hilir kelapa sawit yang juga menurunkan

produksinya.

Sehubungan dengan masalah yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan

beberapa pertanyaan yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak

sawit di Indonesia yaitu minyak goreng, margarin, dan sabun?

7
 
2. Bagaimana dampak kebijakan penurunan tingkat suku bunga terhadap produksi

minyak goreng, margarin, dan sabun di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis

faktor - faktor yang berpengaruh terhadap produksi produk turunan minyak sawit

dan dampak kebijakan pemerintah terhadap produksi produk turunan minyak

sawit. Secara spesifik tujuan penelitian ini:

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan

minyak sawit di Indonesia yaitu minyak goreng, margarin, dan sabun.

2. Menganalisis dampak kebijakan penurunan tingkat suku bunga terhadap

produksi minyak goreng, margarin, dan sabun di Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukkan

yang bermanfaat bagi semua pihak yaitu :

1. Bagi pemerintah, menjadi bahan pertimbangan dalam menentukkan kebijakan

terkait dengan industri produk turunan minyak sawit.

2. Bagi para pelaku usaha dalam industri minyak sawit, menjadi informasi dalam

mengembangan produk turunan minyak sawit.

3. Bagi akademisi, penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi penelitian

selanjutnya yang berkaitan dengan produk turunan minyak sawit.

5. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan menjadi sarana

penerapan ilmu-ilmu yang diperoleh selama kuliah.


 
1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi bagi industri yang menggunakan bahan baku minyak

sawit, yaitu minyak goreng, margarin (produk pangan) dan sabun (produk

nonpangan). Fokus penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa minyak

goreng, margarin, dan sabun merupakan kebutuhan masyarakat yang paling

dominan dari produk turunan minyak sawit.

Keterbatasan penelitian ini antara lain: tidak dibedakan bentuk dan

kualitas, baik pada komoditas minyak sawit maupun produk turunan minyak sawit

yaitu minyak goreng, margarin, dan sabun. Dalam penelitian ini tidak

menganalisis ekspor dan impor bagi minyak goreng, margarin, dan sabun. Dalam

menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap produksi turunan minyak

sawit hanya fokus pada kebijakan moneter dengan instrumen tingkat suku bunga.

9
 
 
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensiss Jack) berasal dari Nigeria, Afrika

Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari

Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit

di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa

sawit hidup subur di luar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand,

dan Papua Nugini. Bahkan mampu memberikan hasil produksi per hektar yang

lebih tinggi. Bagi Indonesia, tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi

pembangunan perkebunan nasional. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja

yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat, juga sebagai sumber perolehan

devisa Negara. Indonesia merupakan salah satu produsen utama minyak sawit

(Fauzi et al. 2002).

Buah merupakan bagian tanaman kelapa sawit yang bernilai ekonomi

dibanding bagian lain. Tanaman kelapa sawit mulai menghasilkan buah pada

umur 30 bulan setelah tanam. Buah pertama yang keluar (buah pasir) belum dapat

diolah di PKS karena kandungan minyaknya yang rendah. Buah kelapa sawit

normal berukuran 12-18 g/butir yang duduk pada bulir. Setiap bulir berisi sekitar

10-18 butir tergantung kepada kesempurnaan penyerbukan. Bulir-bulir ini

menyusun tandan buah yang berbobot rata-rata 20-30 kg/tandan. Setiap TBS

berisi sekitar 2000 buah sawit. TBS inilah yang dipanen dan diolah di Perusahaan

Kelapa Sawit (PKS) (Buana et al. 2007).

Tanaman kelapa sawit terbagi atas tipe jenis berdasarkan karakter

ketebalan cangkang buahnya yaitu dura (D), tenera (T), dan pisifera (P). Kelapa

10 
 
sawit dura memiliki cangkang yang tebal (2-5 mm), tenera yang memiliki

ketebalan cangkang 1-2,5 mm dan pisifera (hampir) tidak mempunyai inti dan

cangkang. Tenera adalah hibrida dari persilangan dura dan pisifera sehingga

memiliki cangkang intermediate (0,5-4 mm) dan merupakan tipe umum yang

digunakan diperkebunan. Ketebalan cangkang ini sangat berkaitan erat dengan

persentase mesokarp/buah (berasosiasi dengan kandungan minyak) dan persentase

inti/buah (berasosiasi dengan rendaman inti) (Buana et al. 2007). Karakteristik

tipe kelapa sawit dura, tenera, dan pisifera dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik Tipe Kelapa Sawit Dura, Tenera, dan Pisifera


Tipe Cangkang (mm) Mesokarp/buah (%) Inti/buah (%)
Dura 2-5 20-65 4-20
Tenera 1-2,5 60-90 3-15
Pisifera Tidak ada 92-97 3-8
Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2007 dalam Lalang, 2007

2.2. Kelapa Sawit di Indonesia

Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah

kolonial Belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit

yang dibawa dari Mauritius dan Amsterdam dan ditanam di kebun raya Bogor.

Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial

pada tahun 1911. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah

Adrien Hallet, seorang Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di

Afrika. Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K. Schadt yang menandai

lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sejak saat itu perkebunan kelapa

sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi

di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunannya mencapai

5.123 ha. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576

11
 
ton ke Negara-negara Eropa, kemudian tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti

sawit sebesar 850 ton (Fauzi et al. 2002).

Awal pemerintahan orde baru, pembangunan kelapa sawit dalam rangka

menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan

sebagai sektor penghasil devisa Negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan

lahan baru untuk perkebunan. Sampai dengan tahun 1980 luas lahan mencapai

294 560 ha dengan produksi CPO sebesar 721 172 ton. Sejak saat itu lahan

perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat

(Fauzi et al. 2002).

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang

berperan dalam pertumbuhan ekonomi nasional, dengan kontribusinya yang

cukup besar dalam menghasilkan devisa dan penyerapan tenaga kerja.

Perkembangan pengolahan industri CPO dan turunannya di Indonesia selaras

dengan pertumbuhan areal perkebunan dan produksi kelapa sawit sebagai sumber

bahan baku. Perkebunan kelapa sawit menghasilkan buah kelapa sawit/tandan

buah segar (hulu) kemudian diolah menjadi minyak sawit mentah (hilir

perkebunan sawit dan hulu bagi industri yang berbasiskan CPO) .

2.3. Industri Pengolahan Kelapa Sawit di Indonesia

Pengolahan kelapa sawit merupakan salah satu faktor yang menentukan

keberhasilan usaha perkebunan kelapa sawit. Hasil utama yang dapat diperoleh

ialah minyak sawit,inti sawit, sabut, caking, dan tandan kosong. Pabrik kelapa

sawit (PKS) dalam konteks industri kelapa sawit di Indonesia dipahami sebagai

unit ekstraksi crude palm oil (CPO) dan inti sawit dari tandan buah segar (TBS)

kelapa sawit. PKS merupakan unit pengolahan hulu dalam industri pengolahan

12 
 
kelapa sawit dan merupakan titik kritis dalam alur ekonomi buah kelapa sawit

khususnya dan industri kelapa sawit umunya. Sifat yang krusial ini disebabkan

beberapa faktor penting di antaranya :

1. Sifat buah kelapa sawit yang segera mengalami penurunan kualitas dan

rendemen bila tidak segera diolah

2. CPO dan inti sawit merupakan bahan antara industri olahan kelapa sawit

dimana kualitasnya menentukan daya gunanya untuk diolah menjadi pupuk

akhir industri dan konsumen rumah tangga seperti olein, stearin, minyak

goreng, margarin, shortening, minyak inti sawit, kosmetik, sabun dan deterjen,

shampo, dll.

Pabrik kelapa sawit merupakan salah satu faktor kunci sukses

pembangunan industri perkebunan kelapa sawit. PKS tersusun atas unit-unit

proses yang memanfaatkan kombinasi perlakuan mekanis, fisik, dan kimia.

Parameter penting produksi seperti efisien ekstraksi, rendemen, kualitas produk

sangat penting peranannya dalam menjamin daya saing industri perkebunan

kelapa sawit dibanding industri minyak nabati lainnya.

Menurut SK Menteri Pertanian No 107/Kpts/2000, sebuah PKS hanya

dapat didirikan apabila perusahaan tersebut mempunyai kebun yang mampu

memasok 50 persen dari kapasitas PKS yang akan di bangunnya. Implikasi dari

peraturan ini adalah bahwa kemampuan PKS untuk mengolahkan buah milik

pihak luar menjadi sangat terbatas. Oleh sebab itu, kebun-kebun yang luas akan

lebih aman apabila memiliki PKS sendiri (Buana et al. 2007).

13
 
2.4. Industri Hilir Kelapa Sawit di Indonesia

Kelapa sawit dan produk turunannya memiliki nilai kompetitif yang lebih

tinggi jika dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya. Kelapa sawit

memiliki produktivitas yang lebih tinggi dengan menghasillkan minyak sekitar 7

ton/ha, dibandingkan dengan kedelai yang menghasilkan minyak sekitar 3 ton/ha.

Disamping itu kelapa sawit juga memiliki biaya produksi yang lebih rendah dan

ramah lingkungan (Buana et al. 2007).

CPO dan PKO serta produk-produk turunannya masih merupakan dua

kelompok produk industri minyak sawit utama Indonesia. CPO yang diproduksi

sebagian besar digunakan sebagai produk ekspor dan hampir 90 persen konsumsi

domestik digunakan sebagai bahan baku minyak goreng (Siahaan, 2006). Industri

lain yang menggunakan minyak kelapa sawit ini adalah industri margarin, sabun,

dan industri kimia lainnya.

Produk hilir berbasis CPO dan PKO berdasarkan kegunaannya dibedakan

atas dua jenis kelompok produk yaitu edible product dan non-edible product.

Edible product merupakan produk turunan minyak sawit yang dapat dikonsumsi

sebagai minyak goreng, minyak salad, dan berbagai lemak untuk produk bakery

seperti shotening dan margarin dan berbagai minyak dan lemak khusus seperti

cocoa butter substitute, coffee whitener, dll. Non-edible product merupakan

produk yang bukan digunakan sebagai produk teknis non pangan seperti sabun,

deterjen, plasticizer, produk kimia dll (Siahaan, 2006).

Refined Bleached Deodorized (RBD) Palm Oil (RBDPO) dan RBD Palm

Olein yang merupakan turunan langsung dari CPO yang banyak digunakan dalam

industri makanan sebagai minyak goreng. RBDPO juga digunakan untuk

14 
 
memproduksi margarin, shortening, es krim, condensed milk, vanaspati, sabun,

dan lainnya. RBD palm stearin digunakan sebagai bahan baku margarin dan

shortening juga bahan untuk pembuatan lemak untuk pelapis pada industri permen

dan coklat. RBD palm stearin digunakan juga dalam menghasilkan sabun dan

industri oleokimia (Siahaan, 2006).

PKO yang dimurnikan dengan proses yang sama dengan pemurnian CPO

menghasilkan RBD PKO (refined, bleached and deodorized palm kernel oil).

Hasil fraksinasi RBD PKO kemudian menghasilkan RBD palm kernel olein. RBD

palm kernel oil digunakan secara komersial untuk menggoreng kacang, popcorn,

dan pembuatan permen setelah diubah menjadi cocoa butter substitute atau cocoa

butter equivalent (Siahaan, 2006).

2.4.1. Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit di Indonesia

Minyak goreng sawit merupakan salah satu komoditas yang mempunyai

nilai strategis karena termasuk salah satu dari 9 kebutuhan pokok bangsa

Indonesia. Kebutuhan minyak goreng terus meningkat seiring bertambahnya

jumlah penduduk, berkembangnya pabrik dan industri makanan, dan

meningkatnya konsumsi minyak goreng untuk memasak. Sebagai salah satu

komoditas strategis yang termasuk dalam 9 bahan makanan pokok, konsumsi

masyarakat Indonesia pada tahun 2008 mencapai 16.5 kg per kapita per tahun,

dimana 12.7 kg merupakan konsumsi per kapita minyak goreng sawit. Dengan

jumlah penduduk Indonesia yang berkisar 225 juta jiwa, maka konsumsi minyak

goreng diperkirakan mencapai 3.7 juta ton per tahunnya. Permintaan minyak

15
 
goreng tersebut diperkirakan akan tetap tinggi seiring dengan peningkatan jumlah

penduduk2.

Berdasarkan tabulasi data dapat diinformasikan bahwa pabrik minyak

goreng di Indonesia telah berkembang di 13 provinsi. Wilayah terluas terdapat di

Sumatera, kemudian Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Lima propinsi terluas

berturut-turut adalah Sumatera utara (30.46 persen), Riau (24.83 persen), DKI

Jakarta (13.01 persen), Jawa timur (9.62 persen), dan Sumatera selatan (7.18

persen). Data 10 pelaku usaha terbesar beserta kapasitas produksi dan market

share masing-masing perusahaan minyak goreng di Indonesia dapat dilihat pada

Tabel 5 (Prasetowo et al. 2008) :

Tabel 5. Data 10 Pelaku Usaha Terbesar Beserta Kapasitas Produksi dan


Market Share masing-masing Perusahaan Minyak Goreng di
Indonesia
No Pelaku Usaha Kapasitas Produksi Market Share
(Ton/tahun) (%)
1 Wilmar Group (5 perusahaan) 2 819 400 18.27
2 Musim Mas (6 perusahaan) 2 109 000 13.67
3 Permata HIjau Group 932 000 6.04
(3 perusahaan)
4 PT Smart 713 027 4.62
5 Salim Group 654 900 4.24
6 PT Bina Karya Prima 370 000 2.40
7 PT Tunas Baru Lampung 355 940 2.31
(Sungai Budi Group)
8 BEST Group 341 500 2.04
9 PT Pacifik Palmindo Industri 310 800 2.01
10 PT Asian Agro Agung Jaya 307 396 1.99
RGM Group
11 Lainnya 6.542.637 42.40
Total 15.430.000 100.00
Sumber : Bank Indonesia, 2008

Dilihat dari bahan bakunya, minyak goreng yang banyak digunakan oleh

masyarakat adalah minyak goreng sawit. Konsumsi minyak goreng Indonesia

pada tahun 2005 meningkat hingga sekitar 1 juta ton. Hal ini dapat dilihat pada

Tabel 6.
                                                            
2
 http://www.scribd.com/doc/77898667/11/Produksi‐dan‐Konsumsi‐Minyak‐Goreng‐Sawit‐
Nasional. Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Nasional. Di akses tanggal 16 juli 2012. 

16 
 
Tabel 6. Peningkatan Konsumsi Minyak Goreng Tahun 1999-2005
Tahun Konsumsi Per Kapita (Ton)
1999 141.50
2000 347.00
2001 658.20
2002 962.03
2003 976.62
2004 991.22
2005 1005.82
Sumber : BPS, 2012

Menurut data Kementerian Perindustrian (2005), produksi minyak goreng

Indonesia pada tahun 2005 meningkat hingga 11.6 persen atau sekitar 6.43 juta

ton, sedangkan konsumsi per kapita minyak goreng Indonesia mencapai 16.5 Kg

per tahun dengan konsumsi per kapita khusus untuk minyak goreng sawit sebesar

12.7 kg per tahun. Perkembangan produksi minyak goreng Indonesia hingga tahun

2005 dan peningkatan konsumsi nasional minyak goreng disajikan pada tabel 7.

Tabel 7. Perkembangan Produksi Minyak Goreng Kelapa dan Minyak Sawit


di Indonesia Tahun 2001-2005
Tahun Minyak Goreng Minyak Goreng Total Pertumbuhan
Kelapa Sawit (%)
2001 0.22 3.89 4.11 -
2002 0.23 4.20 4.43 7.8
2003 0.95 4.22 5.17 16.7
2004 0.99 4.77 5.76 11.4
2005 1.04 5.39 6.43 11.6
Sumber : Data Consult,2006 dalam Erliza,et al. 2008)

Dengan porsi hanya sekitar 30 persen dari produksi CPO, pengadaan

bahan baku untuk minyak goreng sawit dalam negeri sebenarnya tidak mengalami

kendala. Namun, kecenderungan naiknya permintaan CPO di pasar dunia yang

merupakan bahan baku minyak goreng dan sebagai bioeful yang berperan untuk

mensubstitusikan minyak bumi membuat pengusaha ingin mendapat keuntungan

sebanyak-banyaknya dari penjualan CPO ke luar negeri, dengan kata lain daya

tarik pasar ekspor menjadi prioritas pengusaha, Akibatnya pasokan minyak

17
 
goreng domestik terancam langka, sebab kelangkaan minyak goreng bisa terjadi

karena kekurangan salah satu komponen minyak goreng yaitu CPO.

2.4.2. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Margarin di Indonesia

Diantara subsektor industri yang perkembangannya sangat pesat adalah

subsektor industri pangan. Salah satu jenis industri pangan yang dibutuhkan dan

pemakaiannya terus meningkat akibat permintaan semakin banyak adalah industri

margarin. Selama ini Indonesia masih mengimpor margarin dari berbagai Negara,

karena produksi dalam negeri belum mencukupi. Pada tahun 2001-2006 impor

margarin Indonesia terus meningkat dan pada tahun 2007-2010 mengalami

penurunan. Kuantitas impor margarin selama tahun 2001-2010 dapat dilihat pada

Tabel 8.

Tabel 8. Kuantitas Impor Margarin Indonesia Tahun 2001-2010


Tahun Volume Impor (kg) Nilai (US $)
2001 2 202 490 2 045 949
2002 2 302 700 1 929 918
2003 2 863 986 2 866 048
2004 3 226 603 2 930 147
2005 3 500 842 4 432 450
2006 5 781 229 7 095 733
2007 4 315 142 7 433 683
2008 4 932 611 11 758 302
2009 3 968 565 14 542 000
2010 4 224 185 185 34 526
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2012

Industri margarin merupakan salah satu industri yang sudah cukup lama

berkembang di Indonesia dan hingga saat ini tercatat sekitar 17 perusahaan yang

bergerak dalam industri ini. Kendati sudah berkembang cukup lama, ternyata

untuk meningkatkan kemampuan produksi dan mendongkrak pangsa pasar tetap

saja perusahaan mengalami kesulitan. Kapasitas 17 perusahaan margarin di

Indonesia memiliki total kapasitas produksi 357 900 ton per tahun. Industri

margarin tersebar pada enam provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa

18 
 
Timur, Jawa Tengah, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Kapasitas terbanyak

yaitu di provinsi DKI Jakarta sebesar 230 700 ton per tahun, dengan jumlah

perusahaan industri margarin sebanyak enam perusahaan. Kapasitas produksi

terkecil berada di provinsi Sumatera Barat sebesar 660 ton per tahun dengan satu

perusahaan industri margarin (Anita 2011). Produsen industri margarin Indonesia

dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Produsen Industri Margarin Indonesia


No Provinsi Perusahaan Kapasitas
Industri Produksi
Margarin (Ton/thn)
1 DKI Jakarta 6 230 700
2 Jawa Barat 3 31 700
3 Jawa Timur 3 85 500
4 Jawa Tengah 1 900
5 Sumatera Barat 3 8 440
6 Sumatera Utara 1 660
Total 17 357 900
Sumber : PT.CIC , 2011 dalam Fuji, 2011

Sebagai produsen terbesar ke dua untuk kelapa sawit, Indonesia memiliki

potensi yang besar untuk mengembangkan produk margarin. Kebutuhan margarin

tidak hanya untuk rumah tangga tetapi juga oleh berbagai industri makanan.

Perkembangan produksi margarin di Indonesia tahun 2003 – 2010 dapat dilihat

pada Tabel 10.

Tabel 10. Perkembangan Produksi Margarin Indonesia Tahun 2003 – 2010


Tahun Produksi Margarin (000 Kg) Harga (Rp/Kg)
2003 405.40 10 124
2004 214.40 11 351
2005 23.30 10 053
2006 61.00 10 053
2007 53.00 12 073
2008 45.10 13 319
2009 275.80 13 882
2010 283.90 14 256
Sumber : BPS diolah (2012)

Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa produksi margarin Indonesia sangat

berfluktuatif. Terjadi penurunan yang sangat drastis pada tahun 2004 ke 2005

19
 
yaitu dari jumlah produksi 214.40 (000 Kg) menjadi 23.30 (000 Kg), kemudian

pada tahun 2009 terjadi peningkatan produksi lagi sebesar 275.80 (000 Kg).

Penurunan produksi margarin di Indonesia dari tahun 2003 hingga 2010, tidak

diikuti oleh penurunan harga jual margarin tersebut yang terbukti nilainya dari

tahun ke tahun semakin besar, sehingga pengembangan margarin masih menjadi

peluang yang besar.

Penggunaan margarin di Indonesia semakin meluas. Menurut hasil

penelitian INDOCOMMERCIAL, No.417-16 Mei 2010, selain industri roti,

industri biskuit serta industri snack, margarin juga dikonsumsi oleh sektor industri

lainnya seperti industri cokelat, perhotelan, jasa catering, restoran, rumah tangga,

industri makanan jajanan seperti martabak dan lain-lain (Anita, 2011). Dari data

BPS dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan konsumsi yang cukup tinggi pada

tahun 2005 dan 2006 yaitu sebesar 25 252.38 (000 Kg) dan 25 580.31 (000 Kg).

Perkembangan konsumsi margarin di Indonesia sejak tahun 2003 – 2010 dapat

dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Perkembangan Konsumsi Margarin di Indonesia Tahun 2003-2010


Tahun Konsumsi Margarin (000 Kg)
2003 10 250.42
2004 15 579.48
2005 25 252.38
2006 25 580.31
2007 19 431.78
2008 13 120.08
2009 11 070.37
2010 13 683.25
Sumber : BPS diolah (2012)

Konsumsi dan produksi margarin yang cukup tinggi di Indonesia

membuka peluang yang sangat besar untuk pengembangan industri hilir atau

produk turunan minyak sawit. Tingginya konsumsi margarin menambah peluang

produksi margarin di Indonesia.

20 
 
2.4.3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Sabun di Indonesia

Sabun merupakan salah satu produk turunan dari minyak sawit yang

produksi dan konsumsinya cukup besar di Indonesia. Dengan gaya hidup

masyarakat yang berkembangan dari waktu ke waktu, kebutuhan akan sabun

mandi juga semakin meningkat, karena masyarakat saat ini sudah mulai peduli

terhadap kebersihan.

Data tahun 1991-1996 dapat diketahui bahwa sabun merupakan produk

turunan terbesar ke empat setelah produk oleokimia. Produk hilir minyak sawit

terbagi menjadi produk pangan 90 persen dan produk non pangan sebesar 10

persen berupa produk sabundan oleokimia. Penggunaan terbesar minyak sawit

adalah untuk minyak goreng yaitu sekitar 71 persen sedangkan bila digabung

dengan margarin menjadi 75 persen. Sisanya sekitar 25 persen digunakan dalam

bentuk sabun, oleokimia, dan bentuk lainnya (Affudin, 2007). Pangsa bentuk

konsumsi minyak sawit Indonesia tahun 1991 – 1996 dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Pangsa Konsumsi Minyak Sawit Indonesia Tahun 1991 – 1996
Tahun Pangsa Bentuk Konsumsi
Minyak Margarin Sabun Oleokimia Lainnya
Goreng
1991 72.5 4.3 6.5 16.0 0.7
1992 71.0 3.5 5.4 13.7 6.4
1993 72.2 4.0 5.8 15.5 2.5
1994 70.5 3.8 5.3 16.5 3.9
1995 70.2 3.6 5.0 16.6 4.6
1996 70.0 3.5 4.7 16.6 5.2
Rata – rata 70.9 3.8 5.4 15.8 4.1
Sumber : Saragih 1998 dalam Affudin 2007

Industri sabun di Indonesia berpusat di pulau Jawa, mencapai 33 industri

berkapasitas total sebesar 335 848 ton, terdiri dari 21 industri sabun mandi

berkapasitas 278 230 ton dan 12 industri sabun cuci berkapasitas sebesar 57 618

ton. Di Sumatera Utara sebanyak 8 industri terdiri dari 2 industri sabun mandi dan

21
 
6 industri sabun cuci, masing-masing kapasitas produksi sebesar 11 400 dan 39

200 ton (Affudin, 2007).

Sabun mandi yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia baik

diperkotaan maupun di pedesaan adalah sabun mandi batang. Produksi sabun

mandi batang di Indonesia juga sangat berkembang. Perkembangan produksi dan

harga sabun batang di Indonesia tahun 2003-2010 dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Produksi dan Harga Sabun Mandi Batang Indonesia Tahun 2003 –
2010
Tahun Produksi Sabun Batang Harga Sabun Batang
(000 Buah) (Rp/buah)
2003 614.3 1281
2004 2469.9 1206
2005 3174.1 972
2006 2756.9 880
2007 2931.3 992
2008 6148.4 1055
2009 4963.9 1052
2010 3779.4 1039
Sumber : BPS diolah (2012)

Berdasarkan Tabel 13 bahwa perkembangan produksi sabun batang di

Indonesia berfluktuatif dari tahun 2003 hingga tahun 2010. Produksi terbesar yang

dapat dilihat pada Tabel 13 yaitu tahun 2008 sebesar 6148.4 buah, walaupun

produksinya cukup tinggi namun harga sabun batang tersebut tetap tinggi yaitu

1055 (Rp/buah). Hal ini menunjukkan bahwa sabun mandi batang memiliki

potensi yang besar untuk dikembangkan di Indonesia.

2.5. Kebijakan Industri Hilir dan Peningkatan Nilai Tambah Kelapa


Sawit

Kebijakan ini dimaksudkan agar ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi

berupa bahan mentah (CPO), tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai

tambah dinikmati di dalam negeri, dan penciptaan lapangan kerja baru. Penerapan

kebijakan pengembangan industri hilir ini ditempuh antara lain melalui :

22 
 
1. Fasilitas pendirian PKS terpadu dengan refinery skala 5-10 ton TBS/jam di

areal yang belum terkait dengan unit pengolahan dan pendirian pabrik Minyak

Goreng Sawit (MGS) skala kecil di sentra produksi CPO yangbelum ada pabrik

MGS.

2. Pengembangan industri hilir kelapa sawit di sentra-sentra produksi.

3. Peningkatan kerjasama dibidang promosi, penelitian, dan pengembangan serta

pengembangan SDM dengan Negara penghasil CPO.

4. Fasilitas pengembangan biodiesel.

5. Pengembangan market riset dan market intelijen untuk memperkuat daya saing.

2.6. Kebijakan Tingkat Suku Bunga di Indonesia

Perkembangan tingkat bunga uang yang tidak wajar akan secara langsung

menyebabkan terganggunya lembaga keuangan bank. Dengan suku bunga uang

yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk menyimpan dananya di bank

sehingga bank memiliki dana yang sangat besar sehingga kemampuan bank

menyalurkan kredit juga besar. Bersamaan dengan kondisi tersebut, suku bunga

kredit juga akan meningkat sehingga hasrat masyarakat untuk meminjam kredit di

bank menjadi menurun karena bunga kredit yang tinggi dalam suatu investasi.

Tingkat suku bunga yang tinggi, investasi menurun menyebabkan jumlah

produksi menurun (Sudirman, 2011).

Tingkat suku bunga kredit bank umum di Indonesia berfluktuatif. Laju

perubahan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 15.01 persen.

Beberapa kalangan menilai, khususnya dunia usaha dan pemerintah bahwa

perbankan menerapkan suku bunga tinggi untuk mempertahankan tingkat

23
 
keuntungan.Perkembangan tingkat suku bunga umum bank Indonesia dapat

dilihat pada Tabel 14.

Tebel 14. Perkembangan Tingkat Suku Bunga Kredit pada Bank Umum di
Indonesia Periode Triwulan 2006.I – Triwulan 2010.I.
Tahun Triwulan Tingkat Suku Pertumbuhan
Bunga Kredit (%) (%)
2006 I 16.34 3.55
II 16.23 -0.67
III 16.00 -1.42
IV 15.35 -4.06
2007 I 14.70 -4.23
II 14.08 -4.22
III 13.56 -3.69
IV 13.11 -3.32
2008 I 12.94 -1.30
II 12.95 0.08
III 13.50 4.25
IV 15.01 11.19
2009 I 15.10 0.60
II 14.67 -2.85
III 14.31 -2.45
IV 13.91 -2.80
2010 I 13.66 -1.80
694.69 -72.87

Rata-rata 16.16 -1.69


Sumber : Laporan Statistik Ekonomi dan Keuangan Bank BI (diolah) dalam Sofia (2011)

2.7. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai kelapa sawit sudah banyak dilakukan, baik mengenai

dampak kebijakan, industri hilir, ataupun industri hulunya. Novindra (2011),

meneliti dengan judul dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal

terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen minyak sawit di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi

penawaran dan permintaan minyak sawit di pasar domestik dan dunia,

mengevaluasi dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal

terhadap kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan penerimaan

devisa tahun 2003-2007, dan meramalkan dampak kebijakan domestik terhadap

24 
 
kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan penerimaan devisa

tahun 2012-2016.

Model penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia yang dibangun

dalam penelitian ini merupakan sistem persamaan simultan, yang terdiri dari 3

blok yaitu blok perkebunan kelapa sawit, blok minyak sawit, dan blok minyak

goreng sawit. Model yang telah dirumuskan terdiri dari 39 persamaan atau 39

variabel endogen (G), dan 46 predetermined variable terdiri dari 28 variabel

eksogen dan 18 lag endogenous veriable, sehingga total variabel endogen dalam

model (K) adalah 85 variabel. Kemudian diketahui bahwa jumlah variabel

endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model

(M) adalah maksimum 8 variabel. Berdasarkan criteria order condition

disimpulkan setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over

identified. Selanjutnya, metode estimasi model yang digunakan adalah 2SLS.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga minyak sawit domestik lebih

responsif terhadap perubahan jumlah permintaan minyak sawit domestik daripada

permintaan ekspor minyak sawit, maka pengembangan industri hilir minyak sawit

domestik (seperti industri minyak goreng sawit, oleokimia, sabun, margarin, dan

biodiesel) akan meningkatkan jumlah permintaan minyak sawit sehingga dapat

meningkatkan harga yang diterima produsen minyak sawit domestik; kebijakan

domestik berupa pembatasan ekspor minyak sawit dengan penetapan pajak ekspor

minyak sawit sebesar 20 persen dapat meningkatkan kesejahteraan netto yang

lebih besar dibandingkan dengan kebijakan kuota domestik (peningkatan

penawaran minyak sawit domestik) dan kebijakan kuota ekspor; dan peningkatan

kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) memberikan

25
 
dampak negatif bagi kesejahteraan netto. Hal ini dikarenakan peningkatan

penawaran minyak sawit domestik belum didukung dengan perkembangan

industri hilir minyak sawit selain industri minyak sawit terlebih dahulu. Hal

tersebut menyebabkan peningkatan penawaran minyak sawit domestik hanya akan

mengakibatkan harga minyak sawit dan harga minyak goreng sawit domestik

mengalami penurunan.

Suharyono (1996), melakukan analisis dampak kebijakan ekonomi pada

komoditas minyak sawit dan hasil industri yang menggunakan bahan baku minyak

sawit di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor

yang berpengaruh terhadap perubahan keragaan ekonomi komoditas minyak

sawit, minyak goreng sawit, margarin, dan sabun, serta besarnya pengaruh

perubahan faktor-faktor itu. Kemudian menganalisis dampak kebijakan ekonomi

deregulasi perdagangan minyak sawit, devaluasi nilai tukar rupiah, penurunan

tingkat bunga, peningkatan harga pupuk, peningkatan upah tenaga kerja,

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder dalam

runtun waktu (time series), periode 1969-1993. Model analisis yang digunakan

dalam penelitian ini adalah model ekonometrika persamaan simultan yang diduga

dengan metode pangkat dua terkecil tiga tahap Linier Three Stages Least Squares

(LTSLS). Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa selama kurun waktu 1969-

1993 telah terjadi perkembangan yang cukup berarti dalam industri minyak sawit

Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan luas areal produktif, produksi,

dan permintaan minyak sawit domestik, yang masing-masing mengalami

pertumbuhan rata-rata per tahun 11.52 persen, 13.27 persen, dan 18.90 persen.

Sementara itu pada kurun waktu yang sama volume ekspor minyak sawit

26 
 
Indonesia rata-rata meningkat 8.33 persen pertahun yang sebagian besar

disebabkan oleh meningkatnya volume ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar

MEE sebesar 7.89 persen per tahun. Disisi lain selama kurun waktu 1984-1993,

volume impor minyak sawit oleh Indonesia mengalami penurunan rata-rata 6.80

persen per tahun.

Luas areal produktif tidak responsif terhadap permintaan minyak sawit

dunia, sedangkan produksi minyak goreng sawit domestik responsif terhadap

teknologi dan permintaan minyak sawit domestik. Disamping itu produksi

margarin dan sabun baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang responsif

terhadap teknologi, sementara untuk produksi sabun dalam jangka panjang juga

responsif terhadap permintaan sabun. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh

perubahan teknologi bagi produk hasil industri ternyata lebih besar dibandingkan

untuk produk hasil pertanian. Demikian juga untuk perkembangan

permintaan.permintaan minyak sawit domestik responsif terhadap permintaan

minyak goreng sawit domestik. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan

permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit akan besar

pengaruhnya bagi permintaan minyak sawit domestik secara keseluruhan.

Permintaan minyak goreng sawit, margarin, dan sabun baik dalam jangka

pendek maupun jangka panjang responsif terhadap perubahan pendapatan

nasional. Khusus untuk permintaan minyak goreng sawit, dalam jangka panjang

juga dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit dan harga minyak goreng

kelapa. Hal ini menunjukan bahwa dalam jangka panjang hubungan minyak

goreng kelapa dan minyak goreng sawit dilihat dari sisi konsumen lebih bersifat

subtitusi.

27
 
Peubah trend (teknologi) ternyata mampu memberikan pengaruh yang

besar pada perubahan penawaran minyak goreng sawit domestik, margarin, dan

sabun. Hal ini tidak terjadi pada penawaran minyak sawit domestik. Namun

demikian harga minyak sawit domestik hanya memberikan dampak yang besar

pada penawaran minyak sawit domestik. Perubahan harga minyak sawit dunia

dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan

harga ekspor minyak sawit Indonesia. Harga ekspor minyak sawit Indonesia

kepasar Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) ternyata memberikan pengaruh yang

besar pada perubahan volume ekspor komoditas itu kepasar MEE.

Selama kurun waktu 1969-1993 ternyata tidak terjadi perkembangan

teknologi yang cukup berarti. Hal ini terlihat dengan tidak resposifnya perubahan

harga, baik minyak sawit, minyak goreng sawit, margarin maupun sabun terhadap

perubahan teknologi. Kebijakan ekonomi yang dinilai paling ideal, karena mampu

meningkatkan total surplus produsen domestik, total surplus konsumen domestik

dan total surplus devisa, baik dalam pasar terkendali maupun yang bebas adalah

kebijakan penurunan tingkat bunga sebesar tiga persen dari tingkat bunga

tertinggi, kebijakan peningkatan harga pupuk sebesar lima puluh persen dari harga

pupuk rata-rata dan kebijakan peningkatan pendapatan nasional.

Bona (2008), meneliti dengan judul pengaruh ekspor CPO terhadap harga

minyak goreng sawit di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan

faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO dan harga minyak goreng sawit

Indonesia, menganalisis keterkaitan ekspor CPO dengan pasar minyak goreng

sawit dan mengkaji pengaruh kebijakan pajak ekspor yang dilakukan pemerintah.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan alat

28 
 
analisis Two Stages Least Square (2SLS). Adapun model yang dirumuskan terdiri

dari empat persamaan struktural dan satu persamaan indentitas.

Hasil analisis menunjukkan ekspor CPO Indonesia secara signifikan

dipengaruhi oleh produksi CPO (QCPO) pada tingkat kepercayaan 85 persen,

harga domestic CPO (PDCPO) 75 persen, pajak ekspor (PE) 90 persen, dan nilai

tukat (ER) dengan tingkat kepercayaan 80 persen.secara ekonomi, terdapat satu

variabel yang memiliki perbedaan interpretasi dengan hipotesis yang telah

ditetapkan sebelumnya, yaitu harga CPO domestik (PDCPO). Model yang

dibangun dapat menjelaskan keragaman dari ekspor CPO sebesar 9.20 persen.

Peubah produksi MGS secara signifikan dipengaruhi oleh harga MGS

(PMGS), jumlah CPO yang diserap industri MGS (CCPO), dan ekspor CPO satu

tahun yang lalu (XCPO1) dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Variabel

produksi minyak goreng satu tahun lalu (QMGS1) pun menghasilkan nilai yang

signifikan dengan tingkat kepercayaan 90 persen. Terdapat dua variabel yang

tidak signifikan yaitu harga domestic CPO dan impor CPO (MCPO). Model dapat

menjelaskan keragaman produksi MGS sebesar 79.4 persen dengan 20.6 persen

sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor di luar model. Nilai F-hit menunjukkan

signifikansi model pada tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.

Prilaku konsumen MGS domestik dipengaruhi secara signifikan oleh

pendapatan nasional bruto (GNP) dengan tingkat kepercayaan 90 persen, nilai

tukar (ER) sebesar 95 persen,dan konsumsi MGS sebelumnya (CMGS1) sebesar

89 persen, hanya variabel harga MGS yang memberikan hasil yang tidak

signifikan. Secara umum, model dapat menjelaskan keragaman konsumsi MGS

87,89 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

29
 
Pembentukan harga minyak goreng sawit dipengaruhi secara signifikan

oleh harga domestik CPO (PDCPO) dengan tingkat kepercayaan 95 persen, harga

CPO dunia (PWCPO) 80 persen, pajak ekspor (PE) 75 persen, dan harga pada

tahun sebelumnya (PMGS1) dengan tingkat kepercayaan 85 persen. Hanya

variabel nilai tukar (ER) yang belum memberikan hasil yang signifikan. Selain

itu, model yang dibangun dapat menjelaskan keragaman dari harga MGS sebesar

56.86 persen dimana sekitar 43.14 persen dijelaskan oleh variabel-variabel diluar

model dengan tingkat kepercayaan sebesar 90 persen.

Berdasarkan simulasi pada kenaikan harga CPO dunia (PWCPO) sebesar

sepuluh persen, kenaikan tersebut berdampak pada peningkatanseluruh variabel.

Perubahan terbesar ada pada variabel harga minyak goreng sawit, dimana

kenaikan harga CPO dunia sebesar sepuluh persen akan mengakibatkan naiknya

harga minyak goreng sawit sebesar 3.364 persen. Presentasi perubahan terendah

ada pada variabel XCPO, dimana perubahannya sebesar 0.189 persen.

Peningkatan PE sebesar satu persen ternyata mengakibatkan semua

veriabel mengalami penurunan. Perubahan terbesar terjadi pada variabel PMGS,

dimana peningkatan sebesar satu persen dari PEakan mengakibatkan penurunan

PMGS sebesar 0.335 persen. Hasil ini dapat menggambarkan bahwa kebijakan PE

ternyata memang memilikidampak terhadap penurunan PMGS. Namun, kenaikan

PE ini ternyata juga mengakibatkan penurunan dari sisi produksi dan konsumsi

MGS.

2.7. Keterbaruan Penelitian

Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dibandingkan dengan

penelitian Suharyono (1996), Bone (2008), dan Novindra (2011). Penelitian

30 
 
Novindra (2011), yaitu dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor

eksternal terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen minyak sawit di

Indonesia. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan

model ekonometrika persamaan simultan diduga dengan Two Stages Laeast

Square (2SLS).

Perbedaan penelitian Novindra (2011) dengan penelitian ini adalah pada

tujuan dari penelitian ini. Penelitian Novindra (2011) memiliki tujuan untuk

melihat dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap

kesejahteraan produsen dan konsumen minyak sawit di Indonesia, sedangkan

penelitian ini untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk

turunan minyak sawit di Indonesia dan hanya melihat dampak kebijakan suku

bunga terhadap produksi produk turunan kelapa sawit.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian Suharyono (1996) adalah pada

perumusan model berupa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk

turunan kelapa sawit untuk komoditas minyak goreng sawit, margarin, dan sabun.

Perbedaannya dengan penelitian Suharyono (2008) adalah pada model

ekonometrika yang digunakan, pada penelitian Suharyono (2008), menggunakan

model ekonometrika persamaan simultan yang diduga dengan metode pangkat

dua terkecil tiga tahap Linier Three Stages Least Square (LTSLS).

Penelitian ini menggunakan model ekonometrika persamaan simultan

diduga dengan Two Stages Laeast Square (2SLS). Selain itu ruang lingkup dan

komoditas yang diteliti dalam penelitian ini juga berbeda, pada penelitian

Suharyono (1996), ikut melihat dampak kebijakan ekonomi terhadap kelapa sawit

dan produk turunannya, kemudian komoditas yang diteliti adalah minyak sawit,

31
 
minyak goreng sawit, margarin, dan sabun sedangkan pada penelitian ini lebih

kepada industri hilir kelapa sawit yaitu minyak goreng sawit, margarin, dan sabun

untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa

sawit tersebut. Dampak kebijakan yang dilihat hanya terhadap suku bunga uang.

Penelitian Bone (2008), yaitu menentukan faktor-faktor yang

mempengaruhi ekspor CPO dan harga minyak goreng sawit Indonesia,

menganalisis keterkaitan ekspor CPO dengan pasar minyak goreng sawit dan

mengkaji pengaruh kebijakan pajak ekspor yang dilakukan pemerintah.

Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan model

ekonometrika. Perbedaan penelitian Bone (2008) dengan penelitian ini adalah

Komoditas yang digunakan berbeda, Bone hanya fokus pada minyak goreng sawit

dan CPO sedangkan penelitian ini terhadap minyak goreng sawit, margarin, dan

sabun.

32 
 
 
III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Fungsi Produksi dan Penawaran Minyak Goreng, Margarin, dan


Sabun

Fungsi produksi dapat didefinisikan sebagai hubungan secara teknis dalam

transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara

hubungan input dengan output (Debertin, 1986; Doll dan Orazem, 1984 dalam

Novindra, 2011). Secara umum hubungan antara input-output untuk menghasilkan

produksi suatu komoditas pertanian (Y) secara matematis dapat dituliskan sebagai

berikut :

Y = f(X1,X2,X3,X4) …………………………………………………....(3.1)

Keterangan :

Y = Output: minyak goreng (kg); margarin (kg); sabun (batang)

X1 = Jumlah minyak sawit (Kg)

X2 = Jumlah modal (Unit)

X3 = Jam tenaga kerja (HOK)

X4 = Faktor produksi lainnya

Digambarkan secara sederhana fungsi produksi minyak goreng, margarin, dan

sabun adalah:

Y1 = f(MS1, M1, TK1) .....................................................................(3.2)

Y2 = f(MS2, M2, TK2) .....................................................................(3.3)

Y3 = f(MS3, M3, TK3) .....................................................................(3.4)

Keterangan:

Y1 = Produksi minyak goreng (Kg)

Y2 = Produksi margarin (Kg)

Y3 = Produksi sabun (Batang)

33
 
MS1 = Jumlah minyak sawit untuk produksi minyak goreng (Kg)

MS2 = Jumlah minyak sawit untuk produksi margarin (Kg)

MS3 = Jumlah minyak sawit untuk produksi sabun (Kg)

M1 = Jumlah modal untuk produksi minyak goreng (Unit)

M2 = Jumlah modal untuk produksi margarin (Unit)

M3 = Jumlah modal untuk produksi sabun(Unit)

TK1 = Jam tenaga kerja untuk produksi minyak goreng (HOK)

TK2 = Jam tenaga kerja untuk produksi margarin (HOK)

TK3 = Jam tenaga kerja untuk produksi sabun (HOK)

Hukum penawaran pada dasarnya mengatakan bahwa makin tinggi harga

suatu barang, semakin banyak jumlah barang tersebut akan ditawarkan oleh para

penjual. Sebaliknya, makin rendah harga suatu barang semakin sedikit jumlah

barang tersebut yang ditawarkan (Sukirno, 2002). Dalam melengkapi analisis

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, selanjutnya perlu juga

diteliti peranan faktor-faktor lainnya dalam mempengaruhi jumlah barang yang

ditawarkan. Dolan (1974) dalam Novindra (2011), mengemukakan faktor-faktor

yang mempengaruhi penawaran suatu komoditas, yaitu harga komoditas itu

sendiri, harga komoditas lain (sebagai kompetisi/komplementernya), biaya faktor

produksi, biaya perusahaan, tujuan perusahaan, tingkat teknologi, pajak, subsidi,

harapan harga dan keadaan alam.

3.2. Permintaan Minyak Goreng Sawit/Margarin/Sabun

Secara umum, fungsi permintaan konsumen terhadap suatu barang

diturunkan dari fungsi utillitas konsumen. Diasumsikan fungsi utilitas konsumen

adalah (Novindra, 2011) :

34 
 
U = u (CA, CB) ……………………………………………………… (3.5)

Dimana U adalah total uttilitas konsumen dari konsumsi minyak goreng

sawit/margarin/sabun (CA) dan Produk lain (CB). Konsumen yang rasional akan

berupaya memaksimumkan utilitas pada tingkat harga yang berlaku dan sesuai

dengan kendala pendapatan (I).

PA*CA + PB*CB = I ………………………………………………… (3.6)

Atau PA*CA + PB*CB – I = 0

Dimana PA adalah harga minyak goreng sawit/margarin/sabun dan PB adalah

harga produk lain. Dengan pendekatan Lagrangian Multipliers, persoalan

maksimisasi berkendala di atas dapat dinyatakan sebagai berikut.

Maksimum : U = u (CA, CB)

Dengan kendala : PA*CA + PB*CB = I

Fungsi komposit berupa gabungan dari kedua fungsi di atas atau disebut

sebagai fungsi Lagrangian dapat ditulis sebagai berikut.

Ø = U=u(CA,CB)-λ(PA*CA+PB*CB-I) ………………………………. (3.7)

Untuk mendapatkan utilitas maksimum, maka syarat pertama adalah turunan

parsial dari fungsi Lagrangian harus sama dengan nol.

= – λ(PA) = 0 ………………………………………………...(3.8)

= – λ(PB) = 0 ………………………………………………... (3.9)

= (PA*CA + PB * CB – I)= 0 …………………………………….... (3.10)

Dari persamaan (3.8), (3.9), dan (3.10) di atas diperoleh :

/
= λ(PA) atau λ = …………………………………………

(3.11)

35
 
/
= λ(PB) atau λ = ………………………………………….(3.12)

PA*CA+PB*CB = I ………………………………………………….. (3.13)

Diketahui ∂U/∂CA = MUA dan ∂U/∂CB = MUB maka :

λ = MUA / PA = MUB / PB …………………………………………....(3.14)

dan MUA / MUB = PA / PB = MRSA,B ………………………………………...(3.15)

yang menyatakan bahwa kepuasan konsumen akan maksimum pada kondisi

dimana rasio marjinal utilitas terhadap harga sama untuk semua komoditas, yaitu

sebesar koefisien pengganda lagrangian (λ).

Penyelesaian PA dan PB pada persamaan (3.15) dan kemudian subtitusikan

ke dalam persamaan (3.13), maka dapat diperoleh fungsi permintaan terhadap

minyak goreng sawit/margarin/sabun, yaitu :

CA =f(PA, PB, I) …………………………………………………........(3.16)

Yang menyatakan bahwa konsumsi atau permintaan konsumen terhadap minyak

goreng sawit/margarin/sabun ditentukan oleh harga minyak goreng

sawit/margarin/sabun itu sendiri, harga produk lain, dan pendapatan konsumen.

Dengan asumsi bahwa permintaan tersebut bersifat dinamis maka elastisitas

permintaan minyak goreng sawit/margarin/sabun terhadap harga minyak goreng

sawit/margarin/sabun, harga produk lain, dan terhadap pendapatan dapat dihitung,

baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Novindra, 2011).

Mendapatkan nilai kuantitatif dari respon suatu fungsi terhadap faktor-

faktor yang mempengaruhinya, dapat digunakan konsep elastisitas. Untuk model

yang dinamis dapat dihitung elastisitas jangka pendek dan jangka panjang.

Adapun persamaan untuk mendapat nilai elastisitas jangka pendek dan jangka

panjang adalah (Novindra, 2011):

36 
 
Elastisitas Jangka Pendek (ESR)

ESR = * =b …………………………………………………... (3.17)

Elastisitas Jangka Panjang (ELR)


E
ELR= ………………………………………………………..... (3.18)

Keterangan :

b = Parameter dugaan dari variabel eksogen

blag = Parameter dugaan dari lag endogen

X = Rata-rata variabel eksogen

Y = Rata-rata variabel endogen

3.3. Kerangka Operasional

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang penting

bagi perekonomian Indonesia. Kelapa sawit menghasilkan dua minyak yaitu

minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit. Indonesia merupakan

pengekspor CPO terbesar di dunia, dan diprediksi permintaan CPO dunia akan

terus meningkat.

Indonesia harus terus meningkatkan produktivitas kelapa sawit, agar dapat

memenuhi permintaan dunia terhadap CPO. Salah satunya dengan cara menambah

luas areal perkebunan kelapa sawit. Hal ini tentu saja menjadi ancaman yang

berarti bagi Indonesia. Indonesia tidak bisa selamanya hanya mengekspor bahan

mentah dari kelapa sawit berupa CPO saja. Perlu adanya pengembangan industri

hilir kelapa sawit, dimana seperti yang kita tahu produk turunan kelapa sawit

seperti minyak goreng, margarin, dan sabun memberikan nilai tambah yang lebih

dibanding dengan minyak mentah kelapa sawit.

37
 
Bukan hanya itu, kebutuhan domestik terhadap ke tiga jenis produk

turunan minyak sawit seperti minyak goreng, margarin, dan sabun semakin

meningkat. Pengembangan industri hilir minyak sawit di Indonesia masih rendah,

oleh karena itu industri hilir kelapa sawit perlu di dorong agar lebih maju dan

berkembang. Efek berganda yang timbul dengan keberadaan industri sawit

memanfaatkan CPO sebagai bahan bakunya meliputi (Departemen Perindustrian,

2009):

1. Penguatan struktur industri agro dan kimia serta industri lainnya

2. Pertumbuhan subsektor ekonomi lainnya

3. Pengembangan wilayah industri

4. Proses alih teknologi

5. Perluasan lapangan kerja

6. Penghematan devisa

7. Penerimaan peningkatan pajak bagi pemerintah

Pengembangan produksi hilir dari kelapa sawit juga dipengaruhi oleh

kebijakan pemerintah. Kebijakan moneter berupa tingkat suku bunga juga

memberikan dampak terhadap produksi produk turunan minyak sawit. Hal ini

terkait dengan teori ekonomi yang menyatakan bahwa dengan penurunan tingkat

suku bunga akan meningkatkan investasi. Meningkatnya invetasi diharapkan

dapat meningkatkan modal bagi perusahaan hilir minyak sawit sehingga dapat

meningkatkan produksi.

38 
 
Produktivitas Minyak
Permintaan CPO Ekspor CPO Indonesia Sawit sehingga
Dunia meningkat Tinggi mendorong
penambahan areal
tanam kelapa sawit

Pengembangan
Industri Hilir
Rendah

Perlu Pengembangan Industri Hilir Rendah

(Industri Hilir Dominan di Indonesia : minyak


goreng margarin dan sabun)

Faktor-faktor yang Mengkaji dampak kebijakan penurunan suku


Mempengaruhi Produksi bunga sebesar 20 persen terhadap produksi
Produk Turunan minyak Sawit minyak goreng, margarin, dan sabun di Indonesia
di Indonesia yaitu minyak
goreng, margarin, dan sabun
(Model Persamaan Simultan)

Rekomendasi
Kebijakan

Gambar 1. Diagram Alur Pemikiran Operasional

39
 
Berdasarkan uraian di atas, maka dibuat model persamaan produksi

produk turunana kelapa sawit. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah

model persamaan simultan. Dari model yang dibuat dilakukan analisis untuk

melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa sawit,

untuk minyak goreng, margarin, dan sabun. Hasil analisis yang diperoleh

diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pengambil kebijakan dalam

pengembangan industri hilir kelapa sawit. Selain itu, hasil analisis diharapkan

dapat menjadi literatur untuk penelitian berikutnya. Secara garis besar, kerangka

pemikiran operasional dapat digambarkan pada Gambar 1.

40 
 
IV. METODE PENELITIAN

4.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dalam

bentuk data deret waktu (time series) dengan periode waktu 20 tahun, yaitu tahun

1990-2010. Data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah atau lembaga-

lembaga terkait lainnya yaitu Badan Pusat Statistik, Kementerian Perindustrian,

Kementerian Pertanian, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan

Institut Pertanian Bogor, studi literatur dan internet.

4.2. Metode Analisis dan Pengelolaan Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kuantitatif. Metode analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis faktor-faktor

yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit yaitu model

persamaan simultan. Masing-masing persamaan dalam model persamaan simultan

diduga dengan metode 2SLS menggunakan software SAS.

4.3. Spesifikasi Model

Model yang dirumuskan dalam penelitian terdiri dari 10 persamaan

struktural dan 3 persamaan identitas, yaitu persamaan: produksi minyak goreng

sawit; produksi margarin; produksi sabun; Persamaan permintaan dan penawaran

minyak goreng; permintaan dan penawaran margarin; permintaan dan penawaran

sabun; harga minyak sawit; harga minyak goreng, margarin, dan sabun. Adapun

model ekonometrika pada penelitian ini dibagi menjadi 3 blok yaitu blok minyak

goreng sawit, blok margarin, dan blok sabun.

41
 
4.3.1. Blok Minyak Goreng Sawit

Blok minyak goreng sawit terdiri dari persamaan: produksi, penawaran,

permintaan, dan harga domestik. Mengingat pangsa ekspor minyak goreng sawit

lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik, maka komoditas ini hanya

di analisis pada tingkat domestik.

4.3.1.1.Persamaan Produksi Minyak Goreng Sawit Domestik

Produksi minyak goreng sawit domestik dipengaruhi oleh harga minyak

goreng domestik, laju pertumbuuhan harga minyak sawit domestik, tingkat suku

bunga uang, dan produksi minyak goreng sawit tahun sebelumnya. Model

persamaan struktural bagi minyak goreng sawit domestik dapat dirumuskan

sebagai :

PMGSDt = a0 + a1 HRMGSDt + a2 THRMSDt + a3 TBt + a4 PMGSDt-1 + U1...(4.1)

Diharapkan : a1 > 0 ; a2,a3<0 ; 0 < a4 < 1

Keterangan :

PMGSDt = Produksi minyak goreng sawit domestik (000 ton)

HRMGSDt = Harga minyak goreng sawit domestik (000 Rp/ton)

THRMSDt = Laju pertumbuhan harga minyak sawit domestik (000 Rp/ton)

TBt = Tingkat suku bunga Kredit (persen)

PMGSDt-1 = Lag produksi minyak goreng sawit domestik (000 ton)

U1 = Peubah pengganggu

4.3.1.2.Persamaan Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik

Permintaan minyak goreng sawit domestik dipengaruhi oleh harga minyak

goreng sawit domestik, pendapatan riil perkapita Indonesia, permintaan minyak

42 
 
goreng sawit pada sebelumnya. Model persamaan struktural bagi permintaan

minyak goreng sawit domestik dapat dirumuskan sebagai berikut :

DMGSDt = bo + b1HRMGSDt + b2PDKt + b3DMGSDt-1 + U2 .........................(4.2)

Diharapkan : b2 > 0 ; b1 < 0 ; 0 < b3 < 1

Keterangan :

DMGSDt = Permintaan minyak goreng sawit domestik (000 ton)

HRMGSDt = Harga riil minyak goreng sawit (000 Rp/ton)

PDKt = Pendapatan riil perkapita Indonesia (000 Rp/ jiwa)

DMGSDt-1 = Lag permintaan minyak goreng sawit domestik (000 ton)

U2 = Peubah pengganggu

4.3.1.3.Persamaan Penawaran Minyak Goreng Domestik

Persamaan penawaran minyak goreng domestik dipandang sebagai

residual yang dibentuk dari sisa produksi minyak goreng sawit domestik setelah

dikurangi dengan ekspor minyak goreng sawit domestik. Model persamaan

identitas bagi penawaran minyak goreng sawit domestik dapat dirumuskan

sebagai berikut :

SMGSDt = PMGSDt – EXMGSDt …………….......................... (4.3)

Keterangan :

SMGSDt = Penawaran minyak goreng sawit domestik (000 ton)

EXMGSDt = Ekspor minyak goreng sawiit domestik (000 ton)

4.3.1.4.Persamaan Harga Minyak Goreng Sawit Domestik

Harga minyak goreng sawit domestik dipengaruhi oleh excess permintaan

minyak goreng sawit domestik, tren, dan harga minyak goreng sawit domestik

43
 
tahun sebelumnya. Model persamaan struktural bagi harga minyak goreng sawit

domestik dapat dirumuskan sebagai berikut :

HRMGSDt = c0 + c1 EXDMGSDt + c2 Tt + c3 HRMGSDt-1 +

U3………..........(4.4)

Diharapkan : c1,c2 > 0 ; 0 < c3 < 1

Keterangan :

EXDMGSDt = Excess permintaan minyak goreng sawit domestik (000 ton)

T = Tren Harga

HRMGSDt-1 = Lag harga minyak goreng sawit domestik (Rp/Kg)

U3 = Peubah pengganggu

4.3.1.5.Persamaan Harga Minyak Sawit Domestik

Harga minyak sawit domestik dipengaruhi oleh penawaran minyak sawit

domestik tahun sebelumnya, permintaan minyak sawit domestik, dan harga

minyak sawit dunia. Model persamaan struktural bagi harga minyak sawit

domestik dapat dirumuskan sebagai berikut :

HMSDt = do + d1 LSMSDt + d2 DMSDt + d3 HMSWt + U4 .............................(4.5)

Diharapkan : d2,d3,>0 ; d1<0 ;

Keterangan :

HMSDt = Harga minyak sawit domestik (000 Rp/ton)

LSMSDt = Penawaran minyak sawit domestik tahun sebelumnya (000 ton)

DMSDt = Permintaan minyak sawit domestik (000 ton)

HMSWt = Harga minyak sawit dunia (US $/ton)

U4 = Peubah pengganggu

44 
 
4.3.1.6.Persamaan Permintaan Minyak Sawit Domestik

Permintaan minyak sawit domestik dipengaruhi oleh harga minyak goreng

sawit domestik, harga margarin domestik, dan harga sabun domestik. Model

persamaan struktural bagi permintaan minyak sawit dapat dirumuskan sebagai

berikut:

DMSDt = e0 + e1 LHRMSD + e2 LHRMGSDt + e3 HRMRDt + e4 THRSBD +

U5....................................................................................................(4.6)

Diharapkan : e2,e3,e4 > 0 ; e1<0 ;

Keterangan:

DMSD = Permintaan minyak sawit domestik (000 ton)

LHRMSD = Lag Harga riil minyak sawit domestik (000 Rp/ton)

LHRMGSD = Lag Harga riil minyak goreng sawit domestik (Rp/kg)

HRMRD = Harga riil margarin domestik (Rp/kg)

THRSBD = Laju pertumbuhan harga riil sabun (Rp/batang)

U5 = Peubah Pengganggu

4.3.2. Blok Margarin Domestik

Blok margarin terdiri dari persamaan-persamaan produksi, penawaran,

permintaan, dan harga domestik. Pangsa ekspor minyak goreng sawit lebih

ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik, maka komoditas ini hanya di

analisis pada tingkat domestik.

4.3.2.1.Persamaan Produksi Margarin

Produksi margarin domestik dipengaruhi oleh harga margarin domestik

tahun sebelumnya, selisih harga minyak sawit domestik, tingkat suku bunga uang

tahun sebelumnya, upah tenaga kerja industri dan produksi margarin tahun

45
 
sebelumnya. Model persamaan struktural bagi produksi margarin domestik dapat

dirumuskan sebagai :

PMRDt = f0 + f1 HRMRDt + f2 SHRMSDt + f3 TBt + f4 LUPRIN + f5 PMRDt-1 +

U6.......................................................................................................................................................... (4.7)

Diharapkan : f1 > 0 ; f2, f3, f4 < 0 ; 0 < f5 < 1

Keterangan :

PMRDt = Produksi margarin domestik (000 kg)

HRMRDt = Harga riil margarin domestik (Rp/Kg)

SHRMSDt = Selisih harga riil minyak sawit domestik (000 Rp/ton)

TB = Tingkat suku bunga kredit (persen)

LUPRINt = Lag upah tenaga kerja industri (Rp/hari)

PMRDt-1 = Lag produksi margarin domestik (000 Kg)

U6 = Peubah pengganggu

4.3.2.2.Persamaan Permintaan Margarin

Permintaan minyak margarin domestik dipengaruhi oleh harga margarin

domestik tahun sebelumnya, jumlah penduduk Indonesia. Model persamaan

struktural bagi permintaan margarin domestik dapat dirumuskan sebagai berikut :

DMRDt =go + g1HRMRDt +g2SGDPRt + g3PI+ U7 …....................................(4.8)

Diharapkan : g2,g3> 0 ; g1 < 0

Keterangan :

DMRDt = Permintaan margarin domestik (000 kg)

HRMRDt = Harga riil margarin domestik (Rp/Kg)

SGDPRt = Selisih pendapatn nasional bruto Indonesia (milyar Rp)

PI = Penduduk Indonesia (juta jiwa)

46 
 
U7 = Peubah pengganggu

4.3.2.3.Persamaan Penawaran Margarin Domestik

Penawaran margarin domestik dipandang terbentuk dari penjumlahan

produksi margarin domestik dengan impor margarin domestik. Model persamaan

identitas bagi penawaran margarin domestik dapat dirumuskan sebagai berikut :

SMRDt = PMRDt + IMMRDt ………………........................................ (4.9)

Keterangan :

SMRDt = Penawaran margarin domestik (000 kg)

IMMRDt = Impor margarin domestik (000 Kg)

4.3.2.4.Persamaan Harga Margarin Domestik

Harga margarin domestik dipengaruhi oleh laju pertumbuhan permintaan

margarin domestik, penawaran margarin domestik, tren, dan harga margarin

domestik tahun sebelumnya. Model persamaan struktural bagi harga margarin

domestik dapat dirumuskan sebagai berikut :

HRMRDt = h0 + h1 SMRDt + h2 TDMRDt + h3 Tt + h4 HRMRDt-1 + U8…... (4.10)

Diharapkan : h1 < 0;h2,h3>0; 0 < h4 < 1

Keterangan :

SMRDt = Penawaran margarin domestik (000 Kg)

TDMRD = Laju pertumbuhan permintaan margarin domestik (000 Kg)

T = Tren harga

HRMRDt-1 = Lag harga margarin domestik (Rp/Kg)

U8 = Peubah pengganggu

47
 
4.3.3. Blok Sabun Domestik

Blok sabun terdiri dari persamaan-persamaan produksi, penawaran,

permintaan, dan harga domestik. Pangsa ekspor minyak goreng sawit lebih

ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik, maka komoditas ini hanya

dianalisis pada tingkat domestik.

4.3.3.1.Persamaan Produksi Sabun Domestik

Produksi sabun domestik dipengaruhi oleh harga sabun domestik, laju

pertumbuhan harga minyak sawit domestik, tingkat suku bunga uang, laju

pertumbuhan upah tenaga kerja industri dan produksi sabun tahun sebelumnya.

Model persamaan struktural bagi produksi sabun domestik dapat dirumuskan

sebagai :

PSBDt = i0 + i1 HRSBDt + i2 HRMSDt + i3 TBt + i4 TUPRIN + i5 PSBDt-1 +

U9 …………………..........................................................................(4.11)

Diharapkan : i1 > 0 ; i2,i3,i4 < 0; 0 < i5 < 1

Keterangan :

PSBDt = Produksi sabun domestik (000 ton)

HRSBDt = Harga sabun domestik (Rp/batang)

HRMSDt = Harga riil minyak sawit domestik (000 Rp/ton)

TBt = Tingkat suku bunga kredit (persen)

TUPRINt = Laju pertumbuhan upah tenaga kerja industri (Rp/hari)

PSBDt-1 = Lag produksi sabun domestik (000 ton)

U9 = Peubah pengganggu

48 
 
4.3.3.2.Persamaan Permintaan Sabun Domestik

Permintaan sabun domestik dipengaruhi oleh laju pertumbuhan harga

sabun domestik, pendapatan nasional bruto Indonesia, laju pertumbuhan jumlah

penduduk Indonesia, permintaan sabun pada sebelumnya. Model persamaan

struktural bagi permintaan minyak goreng sawit domestik dapat dirumuskan

sebagai berikut :

DSBDt = jo + j1THRSBDt + j2GDPRt + j3 TPIt + j4 DSBDt-1 + U10 …(4.12)

Diharapkan : j2, j3 > 0 ; j1 < 0 ; 0 < j4 < 1

Keterangan :

DSBDt = Permintaan sabun domestik (juta batang)

THRSBDt = Laju pertumbuhan harga riil sabun domestik (Rp/batang)

GDPRt = Pendapatan nasional bruto Indonesia (milyar Rp)

TPIt = Laju pertumbuhan penduduk Indonesia (juta jiwa)

DSBDt-1 = Lag permintaan sabun domestik (juta batang)

U10 = Peubah pengganggu

4.3.3.3.Persamaan Penawaran Sabun Domestik

Penawaran sabun domestik dipandang terbentuk dari penjumlahan

produksi sabun domestik dengan impor sabun domestik. Model persamaan

identitas bagi penawaran sabun domestik dapat dirumuskan sebagai berikut :

SSBDt = PSBDt + IMSBt ………………........................................... (4.13)

Keterangan :

SSBDt = Penawaran sabun domestik (000 ton)

IMSBt = Impor sabun (ton)

49
 
4.3.3.4.Persamaan Harga Sabun Domestik

Harga sabun domestik dipengaruhi oleh selisih penawaran sabun domestik,

dan harga sabun domestik tahun sebelumnya. Model persamaan struktural bagi

harga sabun domestik dapat dirumuskan sebagai berikut :

HSBDt =k0 +k1 SSSBDt + k2 HSBDt-1 + U11…………...................................

(4.14)

Diharapkan : k1 < 0 ; 0 < k2 < 1

Keterangan :

SSSBDt = Selisih penawaran sabun domestik (000 ton)

HSBDt-1 = Lag harga sabun doomestik (Rp/batang)

U11 = Peubah pengganggu

4.4. Pengujian Model

Pengujian model dalam penelitian ini meliputi identifikasi model, validasi

model, uji statistik-F, uji statistik t, uji statistik durbin-h, validasi model, dan

simulasi historis. Berikut adalah uraian lengkap mengenai prosedur analisis dalam

penelitian ini.

4.4.1. Identifikasi Model

Identifikasi model ditentukan atas dasar order condition sebagai syarat

keharusan dan rank condition sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyiannis

(1997) dalam Novindra (2011), rumusan identifikasi model persamaan struktural

berdasarkan order condition ditentukan oleh :

(K-M) > (G-1) ……………………………......................................... (4.15)

Keterangan :

K = total variabel dalam model, yaitu variabel endogen dan predetermined

50 
 
variable (current exogenous variable, lagged exogenous variable, dan

lagged endogenous variable).

M = Jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu

persamaan tertentu dalam model, dan

G = Total persamaan dalam model, yaitu jumlah variabel endogen dalam

model.

Jika dalam suatu persamaan dalam model menunjukkan kondisi sebagai

berikut.

(K-M) > (G-1) = maka persamaan dinyatakan teridentifikasi berlebih

(overidentified)

(K-M) = (G-1) = maka persamaan tersebut dinyatakan teridentifikasi

secara tepat (exactly identified), dan

(K-M) < (G-1) = maka persamaan tersebut dinyatakan tidak teridentifikasi

(unidentified).

Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified

atau over identified untuk dapat menduga parameter-parameternya.

Kendati suatu persamaan memenuhi order condition, mungkin saja

persamaan itu tidak teridentifikasi. Karena itu, dalam proses identifikasi

diperlukan suatu syarat perlu sekaligus cukup. Hal itu dituangkan dalam rank

condition untuk identifikasi yang menyatakan, bahwa dalam suatu persamaan

teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu

determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural variabel yang

tidak termasuk dalam persamaan tersebut. Atau dengan kata lain kondisi rank

51
 
ditentukan oleh determinan turunan persamaan struktural yang nilainya tidak

sama dengan nol (Koutsoyiannis 1977 dalam Novindra 2011).

Pada penelitian ini, model yang telah dirumuskan terdiri dari 11

persamaan atau 11 variabel endogen (G), dan 40 predetermined variable terdiri

dari 32 variabel eksogen dan 8 lag endogenous variable, sehingga total variabel

dalam model (K) adalah 51 variabel. Kemudian diketahui bahwa jumlah variabel

endogen dan eksogen yang termasuk dalam persamaan tertentu dalam model (M)

adalah maksimum 5 variabel. Berdasarkan kriteria order condition disimpulkan

setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified.

4.4.2. Metode Pendugaan Model

Berdasarkan hasil identifikasi model, maka model dinyatakan over

identified, dalam hal ini untuk menduga model dapat dilakukan dengan 2SLS

(Two Stage Least Square), 3SLS (Three Stage Least Squares), LIML (Limited

Information Maximum Likelihood) atau FIML (Full Information Maximum

Likehood) (Novindra, 2012).Pada penelitian ini menggunakan metode pendugaan

model yang digunakan adalah 2SLS, dengan beberapa pertimbangan, yaitu

penerapan 2SLS menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana, dan lebih

muda (Gujarati 1999 dalam Novindra 2011).

Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersama-

sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap

persamaan digunakan uji statistik F, dan untuk menguji apakah masing-masing

variabel penjelas berpengaruuh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka

pada setiap persamaan digunakan uji statistik t.

52 
 
4.4.3. Uji Statistik-F

Uji statistik-F adalah persamaan yang digunakan untuk mengetahui dan

menguji apakah variabel eksogen secara bersama-sama berpengaruh nyata atau

tidak terhadap variabel endogen (koutsoyiannis 1977 dalam Novindra 2011).

Hipotesis:

H0 : β1 = β2 ….. = βi = 0

H1 : minimal ada satu βi ≠ 0

Keterangan :

i = banyaknya variabel bebas dalam suatu persamaan

Apabila nilai peluang (p-value) uji statistik-F < taraf α = 5% maka tolak

H0. Tolak H0 berarti variabel eksogen secara bersama-sama berpengaruh nyata

terhadap variabel endogen.

4.4.4. Uji Statistik-t

Uji statistik-t adalah persamaan yang digunakan untuk menguji apakah

masing-masing variabel eksogen berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel

endogen (Koutsoyiannis 1977 dalam Novindra 2011).

Hipotesis:

H0 : βi = 0

H1 : Uji satu arah

a) βi > 0; b) βi < 0

Uji dua arah

c) βi ≠ 0

kriteria uji :

Jika H1: a) βi > 0, bila p-value uji t < α maka disimpulkan tolak H0

53
 
H1: b) βi < 0, bila p-value uji t < α maka disimpulkan tolak H0

H1: b) βi ≠ 0, bila p-value uji t < α/2 maka disimpulkan tolak H0

Pada penelitian ini menggunakan uji satu arah dan taraf α = 15% sehingga

jika nilai peluang (p-value) uji statistik-t < taraf α = 15% maka tolak H0. Tolak H0

berarti suatuvariabel eksogen berpengaruh nyata terhadap variabel endogen.

4.4.5. Uji Statistik Durbin-h

Apabila dalam persamaan terdapat variabel bedakala (lag endogenous

variable) maka uji serial korelasi dengan menggunakan statistik dw (Durbin-

Waston Statistic) tidak valid untuk digunakan (Pindyc dan Rubinfeld 1991 dalam

Novindra 2011). Sebagai penggantinya untuk mengetahui apakah terdapat serial

korelasi (autocorrelation) atau tidak dalam setiap persamaan maka digunakan

statistik dh (Durbin-h statis)

hhitung = 1 …………………………................ (4.16)

Keterangan:

d = dw statistik

n = Jumlah observasi, dan

var (β) = varians koefisien regresi untuk lagged dependent variable.

Jika ditetapkan taraf α = 0.05, diketahui -1.96 ≤ hhitung ≤ 1.96, maka

disimpulkan persamaan tidak mengalami serial korelasi.selanjutnya jika diketahui

nilai hhitung < -1.96, maka terdapat autokorelasi negatif, sebaliknya jika diketahui

nilai hhitung > 1.96, maka terdapat autokorelasi positif (Pindyc dan Rubinfeld 1991

dalam Novindra 2011).

4.4.6. Validasi Model

54 
 
Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu

simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu

dilakukan suatu validasi model, dengan tujuan untuk menganalisis sejauh mana

model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Pada penelitian ini, kriteria statistik

untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah : root

Means Square Percent Error (RMSPE) dan Theil’s Inequality Coefficient (U

Theil) (Pindyck and Rubinfield 1991 dalam Novindra 2011). Kriteria-kriteria

dirumuskan sebagai berikut :

RMSPE = ∑ ……………………….................... (4.17)


U Theil = …………………….............. (4.18)
∑ ∑

Keterangan :

= Nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi

= Nilai aktual variabel observasi

n = Jumlah tahun observasi

Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai

variabel endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya

dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti

perkembangan nilai aktualnya. Nilai statistik U Theil bermanfaat untuk

mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai statistik

U Theil berkisar antara 1 dan 0. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna, jika

U =1 maka pendugaan model naif.

55
 
Adapun untuk melihat keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil

yang disimulasi dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R2). Pada dasarnya

makin kecil nilai RMSPE dan U Theil dan makin besar nilai R2, maka pendugaan

model semakin baik.

4.4.7. Simulasi Historis

Simulasi historis dilakukan untuk menjawab tujuan kedua, yaitu

mengevaluasi dampak kebijakan Bank Indonesia (penurunan Suku Bunga Bank

Indonesia/SBI). Penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia domestik sebesar

20 persen. Dari sisi permodalan, dengan tingkat suku bunga pinjaman sekarang ini

(16-17 persen per tahun) dirasa masih kurang kondusif untuk usaha perkebunan,

termasuk kelapa sawit. Suku bunga yang ideal untuk usaha perkebunan adalah

sekitar 12 persen per tahun. Melalui simulasi ini akan dianalisis dampak dari

penurunan suku bunga BI terhadap industri kelapa sawit domestik (Novindra

2011).

56 
 
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk Turunan


Minyak Sawit di Indonesia

Model ekonometrika produk turunan minyak sawit dalam penelitian ini

merupakan model simultan dinamis yang dibangun dari 14 model yang terdiri dari

11 persamaan struktural dan 3 persamaan identitas. Model tersebut sudah melalui

beberapa tahapan respesifikasi model. Data yang digunakan adalah data deret

waktu (time series) dengan periode pengamatan tahun 1990 sampai dengan 2010.

5.1.1. Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model

Berdasarkan hasil estimasi yang ditunjukkan Lampiran 4, dapat dijelaskan

bahwa secara umum semua variabel penjelas sudah sesuai dengan tanda yang

diharapkan. Kriteria-kriteria statistik yang umum digunakan dalam mengevaluasi

hasil estimasi model cukup meyakinkan. Sebagian besar (75 persen) persamaan

perilaku memiliki koefisien determinasi (R2) di atas 0.5 dan hanya 25 persen

persamaan yang memiliki nilai R2 di bawah 0.4. Dilihat dari p-value uji F, hanya 3

persamaan yang memiliki nilai peluang uji statistik-F lebih tinggi dari taraf α

0.05.

Berdasarkan hasil uji durbin-w (dw) didapatkan nilai dengan kisaran

0.7840 – 0.9674 dan hasil uji statistik durbin-h (dh) didapatkan kisaran nilai

0.0013 – 0.12335. Dari hasil tersebut diperoleh bahwa 8 persamaan tidak

memiliki masalah serial korelasi dan 3 persamaan memiliki masalah serial

korelasi. Terlepas dari ada tidaknya masalah korelasi yang serius, Pindyck dan

Rubinfeld (1991) dalam Novindra (2011), membuktikan bahwa masalah serial

korelasi hanya mengurangi efisiensi estimasi parameter dan serial korelasi tidak

menimbulkan bias parameter regresi. Berdasarkan kriteria-kriteria di atas, maka

57
 
hasil estimasi model cukup respresentatif menangkap fenomena ekonomi dan

industri produk turunan minyak sawit untuk minyak goreng sawit, margarin, dan

sabun di pasar domestik.

5.1.1.1.Keragaan Blok Minyak Goreng Sawit

Minyak goreng sawit merupakan salah satu produk olahan dari industri

minyak sawit, yang merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok dan

banyak dikonsumsi oleh hampir seluruh masyarakat di Indonesia. Permintaan

ekspor minyak sawit yang terus meningkat, menyebabkan sebagian besar produksi

minyak sawit digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekspor minyak sawit (CPO).

Hal ini berdampak pada produksi minyak goreng sawit domestik dalam memenuhi

kebutuhan dalam negeri. Padahal apabila produk turunan kelapa sawit lebih

ditingkatkan, minyak goreng sawit memiliki nilai guna yang lebih tinggi

dibanding minyak sawit. Keberadaan blok minyak goreng sawit untuk melihat

faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa sawit di

Indonesia. Blok ini terdiri dari 4 persamaan, yaitu produksi minyak goreng sawit

domestik, permintaan minyak goreng sawit domestik, penawaran minyak goreng

sawit domestik, dan harga minyak goreng sawit domestik.

1. Produksi Minyak Goreng Sawit Domestik

Produksi minyak goreng sawit domestik dari model yang telah diduga,

ditentukan oleh harga minyak goreng sawit domestik, laju pertumbuhan harga

minyak sawit domestik, tingkat suku bunga, dan produksi minyak goreng sawit

domestik t-1 pada taraf α 15%. Adapun produksi minyak goreng sawit domestik t-

1 berpengaruh nyata terhadap produksi minyak goreng sawit domestik. Hal ini

dapat menjadi indikasi bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat dari

58 
 
produksi minyak goreng sawit domestik untuk menyesuaikan diri dalam merespon

perubahan ekonomi yang terjadi.

Peningkatan harga minyak goreng sawit domestik sebesar Rp 1 per kg

dapat mendorong kenaikan produksi sebesar 0.69182 ton minyak goreng. Secara

ekonomi respon produksi minyak goreng sawit domestik terhadap perubahan

harga minyak goreng sawit domestik adalah inelastis dalam jangka pendek dan

panjang. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak goreng sawit

domestik sebesar 1 persen akan meningkatkan produksi minyak goreng sawit

domestik lebih rendah dari 1 persen.

Tabel 14. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Minyak Goreng Sawit


Domestik
Variabel Parameter Elastisitas Prob > |T| Variabel
Estimasi SR LR Label
Intercept 4774.628 0.0452
HRMGSD 0.691 0.30932 0.47521 0.0893** Harga riil
minyak goreng
sawit domestik
THRMSD -18.990 -0.00759 -0.01166 0.1006*** Laju
pertumbuhan
harga riil
minyak sawit
domestik
TB -309.518 -0.64395 -0.98929 0.0408* Tingkat suku
bunga
LPMGSD 0.349 0.0975** PMGSD t-1
R-squared 0.6544 Prob>|F| 0.0020 Durbin-h stat 0,01113
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5%
**Nyata pada taraf α 10%
***Nyata pada taraf α 15%
Sumber : Data diolah (2012)

Secara ekonomi, laju pertumbuhan harga riil minyak sawit domestik

berhubungan negatif dengan produksi minyak goreng sawit domestik. Kenaikan

laju pertumbuhan harga riil minyak sawit domestik sebesar 1 persen akan

menurunkan produksi minyak goreng sawit domestik sebesar 18.990 ton.

Elastisitas produksi minyak sawit terhadap laju pertumbuhan harga riil minyak

59
 
sawit domestik adalah inelastis dalam jangka pendek dan panjang. Hal ini dapat

mengindikasikan bahwa kenaikan laju pertumbuhan harga riil minyak sawit

domestik sebesar 1 persen akan menurunkan produksi minyak goreng sawit

domestik kurang dari 1 persen.

Variabel tingkat suku bunga, secara ekonomi berhubungan negatif dengan

produksi minyak goreng domestik. Apabila tingkat suku bunga menurun, maka

investasi akan meningkat. Meningkatnya investasi menyebabkan modal

perusahaan bertambah sehingga produksi akan ikut meningkat. Dari hasil

estimasi, dapat dilihat bahwa tingkat suku bunga berpengaruh nyata terhadap

produksi minyak goreng domestik. Hal ini menunjukkan apabila terjadi penurunan

tingkat suku bunga sebesar 1 persen akan meningkatkan produksi minyak goreng

sawit domestik sebesar 309.518 ton.

2. Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik

Permintaan minyak goreng sawit domestik dari model yang telah diduga,

ditentukan oleh harga minyak goreng sawit domestik, pendapatan riil per kapita

penduduk Indonesia, dan permintaan minyak goreng sawit domestik t-1. Dapat

diketahui bahwa permintaan minyak goreng sawit domestik dipengaruhi secara

positif oleh pendapatan riil perkapita indonesia dan permintaan minyak goreng

sawit domestik tahun sebelumnya. Adapun harga minyak goreng sawit domestik

mempengaruhi permintaan minyak goreng sawit domestik secara negatif.

Berdasarkan kriteria statistik, diketahui bahwa permintaan minyak goreng

sawit domestik dipengaruhi secara signifikan oleh harga minyak goreng sawit

domestik, pendapatan riil perkapita Indonesia, dan permintaan minyak goreng

sawit domestik tahun sebelumnya. Elastisitas permintaan minyak goreng sawit

60 
 
domestik terhadap harga minyak goreng sawit domestik yaitu inelastis dalam

jangka pendek (0.16037) namun elastis dalam jangka panjang (1.55712).

Perubahan elastisitas tersebut mengindikasikan bahwa fluktuasi harga

minyak goreng sawit domestik dalam jangka pendek tidak banyak mempengaruhi

stabilitas permintaan komoditas itu. Hal ini dikarenakan minyak goreng

merupakan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia dan belum ada subtitusinya.

Pada jangka panjang faktor lain lebih fleksibel atau lebih mudah berubah seperti

adanya barang subtitusi untuk minyak goreng sawit.

Tabel 15. Hasil Estimasi Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik


Variabel Parameter Elastisitas Prob >|T| Variabel
Estimasi SR LR Label
Intercept 1242.059 <.0001
HRMGSD -0.35868 -0.16037 -1.55752 <.0001* Harga minyak
goreng sawit
domestik
PDK 31.23010 0.02232 0.21682 0.0651** Pendapatan riil
perkapita
Indonesia
LDMGSD 0.89703 <.0001* DMGSD t-1
R-squared 0.8401 Prob>|F| <.000.1 Durbin-h stat 0,00131
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5%
**Nyata pada taraf α 10%
Sumber : Data diolah (2012)

Pendapatan riil per kapita Indonesia berpengaruh positif terhadap

permintaan minyak goreng sawit domestik dan secara statistik pendapatan riil

perkapita penduduk Indonesia berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan

minyak goreng sawit domestik. Hal ini menunjukkan bahwa minyak goreng sawit

merupakan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia sehingga dengan

meningkatnya pendapatan maka permintaan terhadap minyak goreng sawit

domestik juga meningkat.

61
 
3. Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik

Pada penelitian ini penawaran minyak goreng sawit domestik merupakan

selisih produksi minyak goreng sawit domestik dengan ekspor minyak goreng

sawit Indonesia. Secara matematis konsep tersebut disajikan pada persamaan

berikut.

SMGSDt = PMGSDt – EXMGSDt

4. Harga Minyak Goreng Sawit Domestik

Persamaan harga minyak goreng sawit domestik dari model yang telah

diduga ditentukan oleh excess permintaan minyak goreng sawit domestik, trend

dan harga minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya. Dari hasil estimasi

persamaan tersebut dapat dilihat bahwa semua tanda telah sesuai dengan

hipotesis.

Tabel 16. Hasil Estimasi Harga Minyak Goreng Sawit Domestik


Variabel Parameter Elastisitas Prob > |T| Variabel
Estimasi SR LR Label
Intercept 1922.985 0.0137
EXDMGSD 0.10031 -0.01079 -0.01768 0.3047 Excess
Permintaan
Minyak
Goreng Sawit
Domestik
T 39.11683 0.2092 Tren
LHRMGSD 0.38982 0.0503* HRMGSD t-1
R-squared 0.2546 Prob>|F| 0.1838 Durbin-h stat 0.003517
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5%
Sumber: Data Diolah (2012)

Pada Tabel 16 dapat dilihat kelebihan permintaan minyak goreng domestik

tidak berpengaruh nyata terhadap harga minyak goreng sawit domestik, hal ini

dapat mengindikasikan bahwa harga minyak goreng sawit domestik tidak hanya

ditentukan oleh mekanisme pasar. Campur tangan pemerintah dalam

mengendalikan harga minyak goreng domestik terutama dilakukan melalui

operasi pasar Badan Logistik (Bulog) dengan mengatur pasokan minyak goreng di

62 
 
dalam negeri. Pemerintah juga menentukan harga dasar tertinggi dalam rangka

menjamin pemerataan distribusi minyak goreng untuk konsumsi dalam negeri.

Dengan tidak adanya kebebasan penuh bagi produsen minyak goreng sawit

domestik dalam mengatur harga, maka perubahan permintaan dan penawaran

minyak goreng sawit di pasar domestik tidak berpengaruh signifikan terhadap

harga minyak goreng sawit domestik.

Keadaan di atas semakin memperkuat pendapat Hasibuan (1993) dalam

Suharyono (1996) bahwa harga domestik merupakan harga yang tidak

merefleksikan keadaan pasar, melainkan ditetapkan oleh pemerintah. Harga

administratif adalah harga–harga yang ditetapkan secara administrasi, bukan

melalui mekanisme pasar. Tingkat harga ini relatif tetap atau naik dalam periode

tertentu.

Hasil estimasi pada Tabel 18 juga menunjukkan bahwa tren tidak

berpengaruh nyata terhadap harga minyak goreng sawit domestik. Campur tangan

pemerintah dalam penentuan harga minyak goreng sawit domestik menyebabkan

terbatasnya fluktuasi harga atau kekakuan harga. Akibatnya laju pertumbuhan

harga minyak goreng sawit domestik hanya sebesar 4.14 persen (selama kurun

waktu 1990-2012). Kekakuan dari harga minyak goreng sawit domestik juga

dapat dilihat dari pengaruh harga minyak goreng domestik tahun lalu yang

berpengaruh nyata yang mana setiap kenaikan harga minyak goreng sawit

domestik tahun lalu sebesar satu rupiah per kilogram akan meningkatkan harga

domestik tahun ini hanya sebesar 0.38982 rupiah per ton dalam periode 1990-

2010.

63
 
5. Harga Minyak Sawit Domestik

Harga minyak sawit domestik dari model yang telah diduga, ditentukan

oleh penawaran minyak sawit domestik t-1, permintaan minyak sawit domestik,

dan harga minyak sawit dunia. Secara statistik penawaran minyak sawit domestik

t-1 tidak signifikan sedangkan pengaruh permintaan minyak sawit domestik

terhadap harga minyak sawit domestik signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa

penurunan harga minyak sawit domestik akibat peningkatan penawaran minyak

sawit domestik t-1 lebih kecil dibandingkan peningkatan harga minyak sawit

domestik sebagai akibat peningkatan permintaan minyak sawit domestik.

Tabel 17. Hasil Estimasi Harga Minyak Sawit Domestik


Variabel Parameter Elastisitas Prob >|T| Variabel
Estimasi SR Label
Intercept 685.6042 0.25605
LSMSD -0.18485 -0.07618 0.24345 penawaran minyak sawit
domestik t-1
DMSD 0.62041 0.23537 0.03605* Permintaan minyak sawit
domestik
HRMSW 0.68512 0.05333 0.07095** Harga minyak sawit dunia

R-squared 0.24560 Prob>|F| 0.19980 Durbin-w stat 0.907561


Keterangan: *Nyata pada taraf α 5%
**Nyata pada taraf α 10%
Sumber : Data diolah (2012)

Harga minyak sawit dunia berpengaruh positif terhadap harga minyak

sawit domestik. Kenaikan yang terjadi pada harga minyak sawit dunia akan

menaikkan harga minyak sawit domestik. Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa

secara statistik harga minyak sawit dunia berpengaruh nyata terhadap harga

minyak sawit domestik. Hal ini dikarenakan adanya integrasi harga sehingga

perubahan pada harga minyak sawit dunia akan diikuti oleh peningkatan harga

minyak sawit domestik. Hal ini juga sebagai indikasi mengapa produsen minyak

64 
 
sawit di domestik lebih suka mengekspor minyak sawit dari pada menjual di

domestik.

6. Permintaan Minyak Sawit Domestik

Permintaan minyak sawit domestik dari model yang telah diduga,

ditentukan oleh harga minyak sawit t-1, harga minyak goreng sawit domestik t-1,

harga margarin domestik, dan laju pertumbuhan harga sabun domestik.

Berdasarkan kriteria statistik, diketahui bahwa permintaan minyak sawit domestik

dipengaruhi secara signifikan oleh harga margarin domestik dan laju pertumbuhan

harga sabun domestik.

Tabel 18. Hasil Estimasi Permintaan Minyak Sawit Domestik


Variabel Parameter Elastisitas Prob >|T| Variabel Label
Estimasi SR
Intercept 1646.372 0.0016
LHRMSD -0.40131 -0.1237 0.1553 Harga Minyak Sawit Domestik t-1
LHRMGSD 0.277441 0.1256 0.1889 Harga Minyak Goreng Sawit
Domestik t-1
HRMRD 0.166149 0.1841 0.0023* Harga Margarin Domestik
THRSBD 08.810846 0.0010 0.0265* Laju Pertumbuhan Harga Sabun
Domestik
R-squared 0.73545 Prob>|F| 0.0003 Durbin-w stat 0.784067
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5%
Sumber : Data diolah (2013)

Pada Tabel 18 dapat dilihat harga minyak sawit domestik t-1 tidak

berpengaruh nyata terhadap permintaan minyak sawit domestik. Hal ini dapat

mengindikasikan bahwa minyak sawit sebagai bahan baku produk turunan seperti

minyak goreng sawit, margarin dan sabun merupakan kebutuhan yang cukup

krusial, sehingga harga minyak sawit tidak berpengaruh terhadap permintaan

minyak sawit.

Harga minyak goreng sawit domestik t-1 tidak berpengaruh nyata terhadap

permintaan minyak sawit domestik. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa harga

minyak goreng sawit domestik tidak hanya ditentukan oleh mekanisme pasar.

65
 
Campur tangan pemerintah dalam mengendalikan harga minyak goreng domestik

terutama dilakukan melalui operasi pasar Badan Logistik (Bulog) dengan

mengatur pasokan minyak goreng di dalam negeri. Pemerintah juga menentukan

harga dasar tertinggi dalam rangka menjamin pemerataan distribusi minyak

goreng untuk konsumsi dalam negeri. Hal ini menyebabkan harga minyak goreng

sawit domestik tidak berpengaruh terhadap permintaan minyak sawit domestik.

Secara statistik harga margarin domestik berpengaruh secara nyata

terhadap permintaan minyak sawit domestik. Hal ini menunjukkan bahwa

perubahan pada harga margarin domestik mempengaruhi keputusan produsen

margarin atas produksinya sehingga permintaannya terhadap minyak sawit

sebagai bahan baku juga berubah. Dilihat berdasarkan nilai elastisitasnya, respon

permintaan minyak sawit terhadap harga margarin domestik adalah inelastis

dalam jangka pendek. Hal ini mengindikasikan dalam jangka pendek perubahan

harga margarin domestik sebesar 1 persen akan menyebabkan permintaan minyak

sawit berubah lebih rendah dari 1 persen.

Laju pertumbuhan sabun domestik berpengaruh secara nyata terhadap

permintaan minyak sawit domestik. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pada

laju pertumbuhan harga domestik mempengaruhi keputusan produsen sabun atas

produksinya sehingga permintaannya terhadap minyak sawit sebagai bahan baku

juga berubah. Dilihat berdasarkan nilai elastisitasnya, respon permintaan minyak

sawit terhadap laju pertumbuhan harga sabun domestik adalah inelastis dalam

jangka pendek. Hal ini mengindikasikan dalam jangka pendek perubahan laju

pertumbuhan harga sabun domestik sebesar 1 persen akan menyebabkan

permintaan minyak sawit berubah lebih rendah dari 1 persen.

66 
 
5.1.1.2.Keragaan Blok Margarin Domestik

Margarin merupakan salah satu produk turun kelapa sawit. Sebagian besar

industri pangan membutuhkan margarin, namun penggunaan pada sektor rumah

tangga masih terbilang sedikit. Kendati industri margarin sudah berkembang

cukup lama di Indonesia dan permintaannya yang cukup tinggi, namun untuk

meningkatkan produksi dan pangsa pasar tetap saja mengalami kesulitan.

Keberadaan blok margarin untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi

produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia. Blok ini terdiri dari produksi

margarin domestik, permintaan margarin domestik, penawaran margarin

domestik, dan harga margarin domestik.

1. Produksi Margarin Domestik

Produksi margarin domestik dari model yang telah diduga, ditentukan oleh

harga margarin domestik, selisih harga riil minyak sawit domestik, tingkat suku

bunga, upah tenaga kerja industri t-1, dan produksi margarin domestik t-1.

Adapun produksi margarin domestik t-1 berbeda nyata dengan nol terhadap

produksi margarin domestik. Dari hasil estimasi tersebut, dapat diketahui bahwa

ada tenggang waktu yang relatif lambat dari produksi margarin domestik untuk

menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.

Berdasarkan hasil estimasi Tabel 21, dapat dilihat bahwa harga margarin

tahun sebelumnya tidak berpengaruh nyata terhadap produksi margarin. Hal ini

mengindikasikan bahwa margarin merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan

pokok di Indonesia, sehingga harga margarin tahun sebelumnya, tidak mampu

mendorong perubahan pada produksi margarin.

67
 
Tabel 19. Hasil Estimasi Produksi Margarin Domestik
Variabel Parameter Elastisitas Prob > |T| Variabel
Estimasi SR LR Label
Intercept 94.96119 0.2935
HRMRD 0.0004 0.000444 0.002 0.4854 HRMRD t-1

SHRMSD -0.0023 -0.000000 -0.000 0.4755 Selisih harga


minyak sawit
domestik
TB -0.1346 -0.000285 -0.001 0.4947 TB t-1

LUPRIN -0.0084 -0.014352 -0.064 0.3017 Upah tenaga


kerja industri
LPMRD 0.7778 0.0001* PMRD t-1
R-squared 0.64810 Prob>|F| 0.0068 Durbin-h stat -0.123356
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5%
Sumber : Data diolah (2012)

Selisih harga riil minyak sawit domestik juga tidak berpengaruh nyata

terhadap produksi margarin domestik. Hal ini memberikan indikasi bahwa harga

riil minyak sawit domestik untuk kebutuhan produksi margarin Indonesia masih

bisa ditanggulangi oleh perusahaan margarin Indonesia. Hal ini menunjukkan

bahwa supply minyak sawit domestik sebagai bahan baku margarin cukup

memadai bahkan berlimpah. Supply minyak sawit yang berlimpah di Indonesia

menyebabkan selisih harga minyak sawit domestik tidak terlalu tinggi sehingga

tidak berpengaruh terhadap produksi margarin Indonesia.

Tingkat suku bunga uang yang tidak berpengaruh nyata terhadap produksi

margarin domestik, hal ini dapat mengindikasikan bahwa dimungkinkan para

produsen margarin di Indonesia tidak menggantungkan pemenuhan kebutuhan

dana pada pinjaman komersial, tetapi melalui lembaga keuangan lainnya,

misalnya pasar modal (bursa efek) maupun akumulasi penyusutan dan

penggunaan laba ditahan (return earning). Tidak nyatanya upah tenaga kerja t-1,

terhadap produksi margarin domestik dapat mengindikasikan bahwa supply tenaga

kerja di Indonesia masih sangat memadai.

68 
 
2. Permintaan Margarin Domestik

Permintaan margarin domestik dari model yang telah diduga, ditentukan oleh

harga riil margarin domestik, selisih pendapatan nasional bruto Indonesia, dan

penduduk Indonesia. Dari persamaan tersebut, diketahui bahwa semua tanda

koefisien peubah eksogen sesuai dengan hipotesis. Harga riil margarin domestik

secara ekonomi berpengaruh negatif terhadap permintaan margarin domestik.

Namun dari hasil estimasi pada Tabel 20 dapat dilihat bahwa harga

margarin berpengaruh nyata terhadap permintaan margarin domestik. Hal ini

dapat mengindikasikan bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap margarin

baik jumlah maupun frekuensinya cukup besar sehingga harga margarin domestik

t-1 tidak mempengaruhi permintaan konsumen Indonesia.

Tabel 20. Hasil Estimasi Permintaan Margarin Domestik


Variabel Parameter Elastisitas Prob > |T| Variabel
Estimasi Label
SR
Intercept -38884.1 0.0740
HRMRD -1.0107 -1.12003 0.1269*** Harga riil margarin domestik

SGDPR 4.3814 0.04174 0.2179 Pendapatan nasional bruto


Indonesia
PI 300.0566 7.76982 0.0353* Penduduk Indonesia
R-squared 0.2707 Prob>|F| 0.1576 Durbin-w stat 1.0720
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5%
**Nyata pada taraf α 10%
***Nyata pada taraf α 15%
Sumber : Data Diolah (2012)

Selisih pendapatan nasional bruto Indonesia tidak berpengaruh nyata

terhadap permintaan margarin Indonesia. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa

margarin sebagai kebutuhan yang frekuensi penggunaannya tidak sebanyak pada

penggunaan minyak goreng, sehingga selisih pendapatan nasional bruto tidah

bepengaruh signifikan terhadap permintaan margarin domestik.

69
 
Jumlah penduduk Indonesia berpengaruh secara signifikan terhadap

permintaan margarin Indonesia. Elastisitas permintaan margarin domestik

terhadap jumlah penduduk Indonesia bersifat elastis dalam jangka pendek yaitu

7.7982.

3. Penawaran Margarin Domestik

Pada penelitian ini penawaran margarin domestik merupakan penjumlahan

margarin domestik dengan impor margarin Indonesia. Secara matematis konsep

tersebut dapat disajikan pada persamaan berikut:

SMRD = PMRDt + IMMRDt

4. Harga Margarin Domestik

Harga margarin domestik dari model yang telah diduga, ditentukan oleh

penawaran margarin domestik, laju pertumbuhan permintaan margarin domestik,

tren, dan harga margarin domestik t-1. Dari hasil estimasi pada Tabel 23 dapat

dilihat bahwa secara statistik yang berpengaruh nyata terhadap harga margarin

domestik yaitu tren dan harga margarin domestik t-1. Harga margarin domestik t-

1 berpengaruh nyata terhadap harga margarin domestik, mengindikasikan bahwa

ada tenggang waktu yang relatif lambat dari harga margarin domestik untuk

menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.

Hasil estimasi pada Tabel 23 menunjukkan bahwa penawaran margarin

domestik tidak berpengaruh nyata terhadap harga margarin domestik. Hal ini

dapat mengindikasikan bahwa harga margarin dalam negeri tidak hanya

ditentukan oleh mekanisme pasar. Campur tangan pemerintah dalam

mengendalikan harga margarin terutama dilakukan melalui Operasi Badan Pasar

Logistik (BULOG), dengan mengatur pasokan margarin dalam negeri. BULOG

70 
 
kini tidak hanya menangani masalah beras tapi juga menangani stabilisasi

sembilan bahan pokok. Sembilan bahan pokok yang tertuang dalam peraturan

menteri perundustrian dan perdagangan 1998 adalah beras dan singkong, gula

pasir, minyak goreng dan margarin, daging sapi dan ayam-telur ayam, susu,

jagung dan sagu, minyak tanah atau gas elpiji, serta garam beriodium (Lumanauw

2010). Tidak adanya kebebasan penuh bagi produsen dalam mengatur harga maka

perubahan penawaran margarin tidak memberi dampak yang besar terhadap

perubahan harga margarin domestik.

Tabel 21. Hasil Estimasi Harga Margarin Domestik


Variabel Parameter Elastisitas Prob > |T| Variabel
Estimasi SR LR Label
Intercept 2270.501 0.03158
SMRD -0.0037 0.06914 0.13063 0.19515 Penawaran
margarin
domestik
TDMRD 5.8433 0.00399 0.00754 0.29270 Laju
pertumbuhan
permintaan
margarin
domestik
T 165.8938 0.09570** Tren
LHRMRD 0.4707 0.02160* HRMRD t-1
R-squared 0.8841 Prob>|F| <.0001 Durbin-h stat 0.012185
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5%
**Nyata pada taraf α 10%
Sumber : Data Diolah (2012)

Secara statistik laju pertumbuhan permintaan margarin berpengaruh

negatif terhadap harga margarin domestik. Hasil estimasi pada Tabel 21

menunjukkan bahwa laju pertumbuhan permintaan tidak berpengaruh nyata

terhadap harga margarin domestik. Keadaan ini juga memberi indikasi tidak

adanya kebebasan bagi produsen margarin dalam menentukan harga

komoditasnya dengan menggunakan mekanisme pasar. Campur tangan BULOG

dan penetapan harga dasar merupakan faktor eksternal yang tidak bisa

dikendalikan oleh produsen margarin dalam negeri.

71
 
Secara statistik tren berpengaruh positif terhadap harga margarin domestik.

Dari hasil estimasi yang diperoleh tren memiliki pengaruh yang nyata terhadap

harga margarin domestik. Pada lampiran 1 dapat kita lihat bahwa terjadi fluktuasi

harga margarin tiap tahunnya yang cenderung meningkat.

5.1.1.3.Keragaan Blok Sabun Domestik

Sabun merupakan salah satu produk turunan minyak sawit yang

produksinya cukup besar di Indonesia. Produksi kelapa sawit menjadi produk

turunan memiliki nilai guna yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan

mentahnya yaitu minyak sawit. Sabun merupakan kebutuhan masyarakat yang

semakin lama semakin berkembang. Oleh karena itu kita ingin melihat faktor-

faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa sawit yaitu sabun.

Blok ini terdiri dari 4 persamaan, yaitu produksi sabun domestik, permintaan

sabun domestik, penawaran sabun domestik, dan harga sabun domestik.

1. Produksi Sabun Domestik

Produksi sabun domestik dari model yang telah diduga, ditentukan oleh

harga sabun domestik, harga minyak sawit domestik, tingkat suku bunga, laju

pertumbuhan upah tenaga kerja industri, dan produksi sabun domestik t-1. Dari

hasil estimasi pada Tabel 24 dapat dilihat bahwa harga sabun domestik tidak

berpengaruh nyata terhadap produksi sabun domestik. Keadaan ini memberi

indikasi bahwa para produsen sabun dalam menentukan jumlah produksi tidak

berpatokan pada harga komoditas itu.

Pada Tabel 22 dapat dilihat bahwa harga minyak sawit domestik

berpengaruh tidak nyata terhadap produksi sabun domestik. Hal ini dapat

mengindikasikan bahwa porsi penggunaan minyak sawit dalam industri ini tidak

72 
 
terlalu besar sehingga harga minyak sawit bukanlah merupakan bagian yang besar

dalam struktur biaya produksi.

Tabel 22. Hasil Estimasi Produksi Sabun Domestik


Variabel Parameter Elastisitas Prob > |T| Variabel
Estimasi SR LR Label
Intercept 3292.075 0.0515
HRSBD 0.9971 0.14858 0.57559 0.1758 Harga sabun
domestik
HRMSD -0.3677 -0.11074 -0.42898 0.2255 Harga minyak
sawit domestik
TB -176.377 -0.36695 -1.42149 0.1028*** Tingkat suku
bunga
TUPRIN -36.9419 -0.01055 -0.04086 0.0173* Laju
pertumbuhan
upah tenaga
kerja
LPSBD 0.7418 0.00015* PSBD t-1
R-squared 0.8075 Prob>|F| 0.0001 Durbin-h stat 0.089218
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5%
**Nyata pada taraf α 10%
***Nyata pada taraf α 15%
Sumber : Data diolah (2012)

Tingkat suku bunga berpengaruh nyata terhadap produksi sabun domestik.

Hal ini mengindikasikan bahwa penurunan tingkat suku bunga sebesar 1 persen

akan meningkatkan produksi sabun domestik sebesar 176.377 buah. Elastisitas

produksi sabun domestik terhadap tingkat suku bunga inelastis dalam jangka

pendek (0.36695) namun elastis dalam jangka panjang (1.42149).

Laju pertumbuhan upah tenaga kerja industri berpengaruh nyata terhadap

produksi sabun domestik. Sementara itu, elastisitas produksi sabun domestik

terhadap laju pertumbuhan upah tenaga kerja industri, baik jangka pendek

maupun jangka panjang bersifat inelastis masing-masing sebesar 0.01055 dan

0.04086. Tidak responsifnya laju pertumbuhan upah tenaga kerja industri terhadap

produksi sabun domestik dapat menjadi indikasi bahwa supply tenaga kerja masih

memadai atau cukup melimpah.

73
 
2. Permintaan Sabun Domestik

Permintaan sabun domestik dari model yang diduga, ditentukan oleh laju

pertumbuhan harga sabun domestik, pendapatan nasional Indonesia, laju

pertumbuhan penduduk Indonesia dan permintaan sabun domestik t-1. Dari hasil

estimasi pada Tabel 23 dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan harga sabun

domestik tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan sabun domestik. Hal ini

dapat menjadi indikasi bahwa dengan meningkatnya perkembangan kehidupan

dan semakin sadarnya masyarakat akan kebersihan diri, sabun sudah menjadi

barang kebutuhan yang krusial, sehingga pertumbuhan harga sabun tidak akan

mempengaruhi permintaan sabun domestik.

Tabel 23. Hasil Estimasi Permintaan Sabun Domestik


Variabel Parameter Elastisitas Prob > |T| Variabel
Estimasi SR LR Label
Intercept -17558.5 0.13675
THRSBD -4603.34 -0.54635 -0.790350.32735 Laju
pertumbuhan
harga sabun
domestik
GDPR 25.88094 3.93917 5.69840 0.00705* Pendapatan
nasional
Indonesia
TPI 1066.629 0.18547 0.26831 0.44015 Laju
pertumbuhan
jumlah
penduduk
Indonesia
LDSBD 0.308724 0.13635*** DSBD t-1
R-squared 0.8379 Prob>|F| <.0001 Durbin-h stat 0.013378
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5%
**Nyata pada taraf α 10%
***Nyata pada taraf α 15%
Sumber : Data diolah (2012)

Secara statistik, pendapatan nasional Indonesia berpengaruh nyata

terhadap permintaan sabun domestik. Elastisitas permintaan sabun domestik

terhadap pendapatan nasional Indonesia, baik dalam jangka panjang maupun

jangka pendek adalah elastis yaitu masing-masing sebesar 3.93917 dan 5.69840.

74 
 
Jika peubah lain berada dalam kondisi ceteris paribus maka peningkatan

pendapatan sebesar 1 persen akan mampu meningkatkan permintaan sabun

domestik sebesar 3.93 persen dan 5.69 persen.

Laju pertumbuhan penduduk tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan

sabun domestik. Hal ini mengindikasikan bahwa sabun bukan merupakan

kebutuhan individual, sehingga laju pertumbuhan penduduk tidak berpengaruh

terhadap permintaan sabun.

3. Penawaran Sabun Domestik

Pada penelitian ini penawaran sabun domestik merupakan penjumlahan

produksi sabun domestik dengan impor sabun Indonesia. Secara matematis

konsep tersebut disajikan pada persamaan berikut:

SSBD = PSBDt + IMSBt

4. Harga Sabun Domestik

Harga sabun domestik dari model yang telah diduga, ditentukan oleh

selisih penawaran sabun domestik, dan harga sabun domestik t-1. Dari hasil

estimasi pada Tabel 24 dapat dilihat bahwa selisih penawaran sabun domestik

tidak berpengaruh nyata terhadap harga sabun domestik. Hal ini dapat

mengindikasikan bahwa harga sabun domestik tidak ditentukan oleh mekanisme

pasar. Harga riil sabun domestik t-1 berpengaruh nyata terhadap harga sabun

domestik, hal ini mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat

dari produksi minyak goreng sawit domestik untuk menyesuaikan diri dalam

merespon perubahan ekonomi yang terjadi.

75
 
Tabel 24. Hasil Estimasi Harga Sabun Domestik
Variabel Parameter Elastisitas Prob > |T| Variabel
Estimasi SR LR Label
Intercept 397.8293 0.05115
SSSBD -0.00270 0.0024114 0.0069191 0.2534 Selisih penawaran
sabun domestik
LHRSBD 0.651484 0.0018* HRSBD t-1
R-squared 0.5140 Prob>|F| 0.0022 Durbin-h stat -0.088391
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5%
Sumber : Data Diolah (2012)

5.2. Dampak Kebijakan Penurunan Tingkat Suku Bunga Terhadap


Produksi Minyak Goreng, Margarin, dan Sabun di Indonesia

Guna melihat dampak penurunan suku bunga terhadap perubahan

produksi, permintaan, penawaran, dan harga bagi produk minyak goreng,

margarin, dan sabun, serta harga minyak sawit dilakukan simulasi model (simulasi

historis): penurunan suku bunga BI sebesar 20 persen.

1. Penurunan Suku Bunga Bank Indonesia Sebesar 20 persen

Tabel 27 menunjukkan bahwa penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI)

riil sebesar 20 persen memberikan peningkatan terhadap produksi produk turunan

minyak sawit di Indonesia untuk minyak goreng, margarin, dan sabun.

Peningkatan produksi terbesar terdapat pada produksi sabun domestik yaitu

sebesar 37.2035051 persen, kemudian diikuti oleh produksi margarin domestik

sebesar 33.7512054 persen. Peningkatan produksi terkecil terdapat pada produksi

minyak goreng sawit domestik yaitu sebesar 16.8467962 persen.

Peningkatan produksi minyak goreng sawit domestik menyebabkan

penawaran minyak goreng sawit meningkat sebesar 30.4665437 persen. Kenaikan

penawaran minyak goreng sawit domestik menyebabkan penurunan harga

komoditas tersebut sebesar 2.6637371 persen. Kemudian, rendahnya harga

minyak goreng sawit domestik menyebabkan peningkatan permintaan minyak

goreng sawit domestik sebesar 4.28334256 persen.

76 
 
Kemudian, Peningkatan produksi margarin domestik menyebabkan

penawaran margarin domestik meningkat sebesar 0.7728840 persen. Kenaikan

penawaran margarin domestik menyebabkan penurunan harga komoditas tersebut

sebesar 0.0019516 persen. Kemudian, penurunan harga margarin domestik

menyebabkan peningkatan permintaan margarin domestik sebesar 0.0009970

persen.

Tabel 27. Dampak Kebijakan Penurunan Suku Bunga Bank Indonesia


sebesar 20 Persen terhadap Produksi Minyak Goreng, Margarin,
dan Sabun di Indonesia Tahun 2007-2010
No. Variabel Endogen Nilai Perubahan
Dasar (%)
1. Produksi Minyak Goreng Sawit 4802.1 16.8467962
Domestik
2. Permintaan Minyak Goreng 903.5 4.28334256
Domestik
3. Penawaran Minyak Goreng 2655.7 30.4665437
Domestik
4. Harga Minyak Goreng Domestik 4050.7 -2.6637371
5. Harga Minyak Sawit Domestik 2321.8 -0.5206943
6. Permintaan Minyak Sawit 3641.7 -0.5339241
Domestik
7. Produksi Margarin Domestik 103.6 33.7512054
8. Permintaan Margarin Domestik 20058.9 0.0009970
9. Penawaran Margarin Domestik 4463.7 0.7728840
10. Harga Margarin Domestik 10248.1 -0.0019516
11. Produksi Sabun Doomestik 2602.6 37.2035051
12. Permintaan Sabun Domestik 49371.4 0.0030381
13. Penawaran Sabun Domestik 5944.6 16.4432275
14. Harga Sabun Domestik 791.9 -0.2147007
Sumber : Data Diolah (2012)
Peningkatan produksi sabun domestik menyebabkan penawaran sabun

domestik meningkat sebesar 16.4432275 persen. Kenaikan penawaran sabun

domestik menyebabkan penurunan harga komoditas tersebut sebesar 0.2147007

persen. Kemudian, penurunan harga sabun domestik menyebabkan peningkatan

permintaan sabun domestik sebesar 0.0030381 persen.

77
 
Penurunan harga minyak goreng sawit domestik, harga margarin domestik,

dan harga sabun domestik menyebabkan terjadinya penurunan permintaan minyak

sawit domestik sebesar 0.5339241 yang akhirnya menurunkan harga minyak sawit

domestik sebesar 0.5206943.

78 
 
VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat dirumuskan beberapa simpulan

penelitian. Hal-hal yang menjadi simpulan penelitian adalah:

1. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak

sawit (Minyak goreng, Margarin, dan Sabun) :

a. Produksi minyak goreng sawit domestik dipengaruhi secara nyata oleh

Harga minyak goreng sawit domestik, laju pertumbuhan harga minyak

sawit domestik, tingkat suku bunga, dan produksi minyak goreng t-1.

b. Produksi margarin domestik dipengaruhi secara nyata oleh produksi

margarin t-1.

c. Produksi sabun domestik dipengaruhi secara nyata oleh tingkat suku

bunga, laju pertumbuhan upah tenaga kerja industri, dan produksi sabun

domestik t-1.

2. Penurunan suku bunga bank Indonesia sebesar 20 persen menyebabkan

peningkatan produksi terbesar pada komoditas sabun domestik.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil, pembahasan, dan simpulan yang telah dijelaskan, saran

yang dapat diajukan sebagai masukan dalam peningkatan dan pengembangan

produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia adalah:

1. Dalam rangka mendorong meningkatnya kapasitas produksi industri hilir

minyak sawit (minyak goreng sawit, margarin, dan sabun), pemerintah

sebaiknya menetapkan penurunan suku bunga bagi investor.

79
 
2. Dalam jangka panjang instrumen kebijakan pemerintah hendaknya

berorientasi ekspor produk turunan CPO (minyak goreng, margarin, dan

sabun) dalam meningkatkan devisa negara dan hendaknya pemerintah

memberi perhatian penuh dalam mengatur sistem tata niaga industri hilir.

80 
 
DAFTAR PUSTAKA
Anita FD. 2011. Pengaruh Persepsi Kualitas Produk dan Harga terhadap Loyalitas
Pelanggan Margarin (Survei pada Ibu-ibu RT Pengguna Margarin di
Desa Banjaran Kabupaten Bandung). [Skripsi]. Jakarta (ID): Universitas
Indonesia.

Affudin S. 2007. Analisis Determinan yang Mempengaruhi Produksi Industri


Margarin Provinsi Sumatera Utara. Jakarta (ID): Universitas Airlangga.

__________________. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi


Industri Sabun Provinsi Sumatera Utara. Universitas Airlangga. MEPA.
Jakarta (ID): Universitas Airlangga.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 1990-2010. Statistik Industri Besar dan Sedang.
Jakarta (ID): BPS.

________________. 1990-2010. Statistik Harga Konsumen Beberapa Barang dan


Jasa di Seluruh Ibukota Provinsi Indonesia. Jakarta (ID): BPS.

Buana L, Siahaan D, Adiputra S. 2007. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit dan


Produk Turunannya. Medan (ID): Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

Departemen Perindustrian. 2009. ROADMAP Industri pengolahan CPO. Jakarta


(ID): Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia.

Lumanauw N, Mustaidah A, Suprianti E. 2012. Peran Bulog Diperluas ke


Komoditi Lain. [Internet]. Jakarta (ID). [Diunduh 20 Juli 2012]. Tersedia
pada: http://www.beritasatu.com/ekonomi/61127-peran-bulog-diperluas-
ke-komoditi-lain.html.

Fauzi Y, Widyastuti EY, Satyawibawa I, Hartono R. 2002 Kelapa sawit, Budidaya


Pemanfaatan Hasil dan Limbah Analisis Usaha dan Pemasaran. Depok
(ID): Penebar Swadaya.

Haryana A, Indarto J, Avianto N. 2010. Kebijakan dan Strategi Meningkatkan


Nilai Tambah dan Daya Saing Kelapa Sawit Indonesia Secara
Berkelanjutan dan Berkeadilan. Jakarta (ID): Direktorat Pangan dan
Pertanian BAPPENAS.

Koutsoyiannis A. 1977. Theory of Econometrics; An Introductory Exposition of


Econometrics Methods. Second Edition. London (ID): The Macmillan
Press Ltd.

Zahira N. 2006. Feasibility Studi Industri Sabun Berbahan Baku Minyak Sawit.
Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.

Nuryanti S. Nilai Strategi Industri Sawit. Jurnal Agro Ekonomi. 6 (4) : 378-392.

81
 
Novindra. 2011. Dampak Kebijakan Domestik dan Perubahan Faktor Eksternal
Terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Minyak Sawit di
Indonesia. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Prasetowo NJ, Yanuarti T, Depari Y. 2008. Pengaruh Distribusi dalam


Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi.
Jakarta (ID): Working Paper Bank Indonesia.

Risza S. 1994. Seri Budidaya Kelapa Sawit, Upaya Peningkatan Produktivitas.


Jakarta (ID): Kanisius.

Gosta DR. 2011. Sektor Sawit Hilir akan Tumbuh Pesat. Jurnal Kelapa Sawit,
5(1): 71.

Sitohang BHR. 2008. Pengaruuh Ekspor CPO (Crude Pallm Oil) Terhadap Harga
Minyak Goreng Sawit Indonesia. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.

Sudirman W. 2011. Kebijakan Fiskal dan Moneter Teori dan Empirikal. Jakarta
(ID): Kencana Prenada Media group.

Suharyono. 1996. Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi pada Komoditi Minyak


Sawit dan Hasil Industri yang Menggunakan Minyak Sawit di Indonesia.
[Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sukirno S. 2002. Pengantar Teori Mikroekonomi Edisi Ketiga. Jakarta (ID): PT


Rajagrafindo Persada.

Sofia AR. 2011. Pengaruh Inflasi, Jumlah Uang Beredar, Suku Bunga Kredit SBI
dan Suku Bunga Internasional Sibon terhadap Tingkat Suku Bunga
Kredit Bank Umum di Indonesia. [Skripsi]. Jakarta (ID): Universitas
Indonesia.

Pindyck, R.S., dan D.L. Rubinfeld. 1991. Econometric models and economic
forecasts. Third Edition. New York (ID): McGrow-Hill Inc.

82 
 
LAMPIRAN

83
 
 
 

Lampiran 1. Data Dasar Model Persamaan Produksi Produk Turunan Minyak Sawit Indonesia
GDPR HRMGSDR HSBDR HMRDR PMGSD PSBD PMRD EXMGSD
Tahun Tren PI (A) (B) TB (C) (D) (E) (F) (G) (H) (I) EXSB (J) (K)
1990 1 179.38 339.75 20 2461.08 1206.7 6543.9 969 555.6 14 12972.26 169
1991 2 182.94 335.06 20.9 2614.75 1092.2 6483.6 981 449.3 12.3 18620.86 106
1992 3 186.04 330.17 19.2 2842.70 1082.8 6383.1 1162 497.8 20.8 21373.38 76
1993 4 189.14 762.86 16.6 2661.55 1001.6 6857.4 1250 562.9 21.9 27447.53 166
1994 5 192.22 807.3 15 3104.82 961.2 5075.1 1506 888.9 113.8 28084.72 351
1995 6 194.75 895.33 15.7 3319.72 1027.3 6465.7 1731 701.2 205.7 43819.89 282
1996 7 198.32 981.8 16.4 3830.49 1053.5 6367.4 2336 513.6 297.6 42832.24 690
1997 8 201.35 1112.76 17.6 3944.77 1041.6 5940.7 2453 52.4 308.6 34248.66 1587
1998 9 202.99 1070.75 22.7 6808.00 1970 8579.9 1389 509.1 273.4 37549.22 1075
1999 10 204.63 986.53 22.6 4296.98 2081.6 8950 2575 537.3 328 82290.83 1434
2000 11 206.26 1166.01 16.6 3418.54 1626.5 9107.9 2139 571.8 338.1 90097.09 1792
2001 12 207.93 1485.93 17.1 3164.04 1482.8 8796.7 1712 59 356.5 108624.6 1054
2002 13 210.74 1446.67 18 3477.90 1366.1 7302.1 1793.5 593.5 384.3 125039.7 1401
2003 14 213.55 1465.81 17 3479.32 1281.7 8193.3 4215.9 614.3 405.4 114037.6 1494.4
2004 15 216.38 1456.89 14.7 3473.02 1206 10124.6 4166 2469.9 214.4 149039.3 1587.8
2005 16 219.2 1570.6 14.2 3680.44 972.9 11351 7643.5 3174.1 23.3 154922.5 1681.2
2006 17 222.05 1660.33 14.3 3728.22 880 10053.3 4178 2756.9 61 160809.3 1774.6
2007 18 224.9 1846.48 14.5 3949.19 992.9 12073.2 4419.7 2931.3 53 126339.6 1868
2008 19 227.78 2144.47 15 3982.43 1055.4 13319.7 4991 6148.4 45.1 153626.1 2124.2
2009 20 230.63 2293.2 14.2 4206.70 1052.9 13882 5243.7 4963.9 275.8 165723.8 2239.1
2010 21 237.56 1863.47 13.4 3998.94 1039.8 14256.9 5496.5 3779.4 283.9 162584.01 2354
Keterangan :

A,B,C,E,F,G,H,I,N,O,P,R,S = Badan Pusat Statistik


D,Q = Kementerian Pertanian
J,K,L,M,W = Kementerian Industri dan Badan Pusat Statistik

84 
84

 
 

85
Lampiran 1. Lanjutan
IMMRD IMSB DMGSD DMSD HMSDR HMSWR DSBD SMSD UPRIN EXMRD
(L) (M) (N) (O) (P) (Q) DMRD (R) (S) IHK (T) (U) (V) (W)
89.291 1321.84 719.6 1625.7 1825.23 972.48 7719.47 2419.46 28.78 1623.2 11927.53 304.1
334 1522.51 1074.8 1708.9 2080.74 1058.58 8.781.125 2809.96 31.46 1527.77 12082.95 2432.53
458.315 2058.14 1066 2292.7 2153.16 859.69 10716.06 2691.52 33.82 2544.74 12466.46 858.28
522.06 4061.65 1054.4 2080.9 1870.92 1096.33 10.894.211 4030.86 37.11 1941.34 12486.3 3098.56
468.028 5295.46 1355.2 2445.6 2454.05 1302.9 11994.31 5034.57 40.26 2500.54 12545.08 2792.75
632.953 1509.85 1349 3072.1 2893.58 1472.54 13.087.523 6051.3 44.07 3264.49 12966.23 179
2295.31 1030.49 1645.7 2953.6 2414.09 1118.42 14279.04 7130 47.55 3334.3 13534.56 12497.31
1876.60 1252.76 1649.5 3259.7 2809.07 1075.01 14.497.423 9324.74 50.7 2504.59 14222.02 145205.71
1418.04 541.079 313.6 3772.6 4925.66 847.23 14.615.299 11503.21 80.04 4178.49 9265.48 139256.1
1264.82 1903.42 141.5 2681.5 3089.60 454.61 15.715.387 13715.6 96.43 2691.85 11484.56 267975
1559.07 2225.51 347 2962 2412.1 310.44 15.841.121 15962.6 100 2283.38 12753 237611.1
2202.49 1574.37 658.2 2877 1837.91 247.27 16.966.884 18245.69 111.48 3493.4 15570.98 266449.6
2302.7 2771.96 962 3027 2277.16 311.78 17.196.082 20675.76 124.73 3298.14 14765.39 249164.1
2863.99 3470.82 976.6 3169 2481.91 336.67 10.250.424 29408.47 132.95 4058.44 14580.29 178091.2
3226.60 5583.98 991.2 3347 2599.67 341.34 15.579.475 30359.2 141.26 3453.36 14771.46 273924.4
3500.84 5210.56 1005.8 3546 2401.80 302.3 25.252.381 40835.21 156.03 3904.17 13709.96 277324.6
5781.23 6753.74 1020.4 3711 2253.84 269.62 25580.31 38258.55 176.47 4036.38 14471.89 270379.6
4315.14 3724.85 1035 4105 2240.49 255.57 19.431.783 35603.35 187.78 4168.58 19906.94 365578.4
4932.61 4141.04 846.5 3965.7 2141.22 233.58 13.120.076 40584.77 207.22 4300.79 14635.17 510092.8
3968.57 3216.26 834 4075.4 2159.98 225.93 11070.37 84323.01 216.06 4433 14783.3 348667.1
4224.19 2286.12 821.6 4185 2155.61 216.7 13.683.247 55622.4 227.16 4565.20 14931.43 356151.7

85 
 
Lampiran 2. Rekapitulasi Persamaan dalam Model Produksi Produk
Turunan Minyak Sawit Indonesia
Blok Persamaan Notasi Struktural/
Identitas
Minyak Goreng 1. Produksi Minyak PMGSD Struktural
Sawit Domestik Goreng Sawit Domestik
2. Permintaan Minyak DMGSD Struktural
Goreng Sawit Domestik
3. Harga Minyak Goreng HRMGSD Struktural
Sawit Domestik
4. Harga Minyak Sawit HRMSD Struktural
Domestik
5. Penawaran Minyak SMGSD Identitas
Goreng Sawit Domestik
Margarin 1. Produksi Margarin PMRD Struktural
Domestik
2. Permintaan Margarin DMRD Struktural
Domestik
3. Harga Margarin Domestik HMRD Struktural
4. Penawaran Margarin
Domestik SMRD Identitas
Sabun 1. Produksi Sabun Domestik PSBD Struktural
2. Permintaan Sabun DSBD Struktural
Domestik
3. Harga Sabun Domestik HSBD Struktural
4. Penawarab Sabun SSBD Identitas
Domesttik

86
 
Lampiran 3. Program Estimasi Persamaan dalam Model Produksi Produk
Turunan Minyak Sawit Indonesia
data Olah;
input Th T PI GDPR TB HRMGSD HRSBD HRMRD PMGSD PSBD PMRD EXSB EXMGSD
EXMRD IMMRD IMSB DMGSD DMSD HRMSD HRMSW DMRD DSBD IHK SMSD UPRIN
;
/*create data*/
SMGSD = PMGSD-EXMGSD;
SMRD = PMRD+IMMRD-EXMRD;
SSBD = PSBD+IMSB-EXSB;
EXSSBD = SSBD-DSBD;
EXDSBD = DSBD-SSBD;
EXDMGSD = DMGSD-SMGSD;
EXSMGSD = SMGSD-DMGSD;
EXDMSD = DMSD-SMSD;
EXSMSD = SMSD-DMSD;
PDK = GDPR/PI;

/*membuat variabel lag*/


LPMGSD = LAG(PMGSD);
LDMGSD = LAG(DMGSD);
LHRMSD = LAG(HRMSD);
LHRMGSD = LAG(HRMGSD);
LPMRD = LAG(PMRD);
LDMRD = LAG(DMRD);
LHRMRD = LAG(HRMRD);
LPSBD = LAG(PSBD);
LDSBD = LAG(DSBD);
LHRSBD = LAG(HRSBD);
LSMRD = LAG(SMRD);
LDMGSD = LAG(DMGSD);
LSMSD = LAG(SMSD);
LGDPR = LAG(GDPR);
LTB = LAG(TB);
LPI = LAG(PI);
LSSBD = LAG (SSBD);
LDMSD = LAG(DMSD);
LT = LAG (T);
LUPRIN = LAG(UPRIN);
LSMGSD = LAG (SMGSD);
LPDK = LAG (PDK);

/*membuat selisih*/
SHRMSD=HRMSD-LHRMSD;
SHRSBD=HRSBD-LHRSBD;
RHRMSD=HRMSD/LHRMSD;
SGDPR = GDPR-LGDPR;
STB = TB-LTB;
SDSBD = DSBD-LDSBD;
SSSBD = SSBD-LSSBD;
SUPRIN = UPRIN-LUPRIN;
ST = T-LT;
SDMGSD = DMGSD-LDMGSD;

87
 
Lampiran 3. Lanjutan

SDMSD = DMSD-LDMSD;
SSMGSD = SMGSD-LSMGSD;
SHRMRD = HRMRD-LHRMRD;
SHRMGSD= HRMGSD-LHRMGSD;
SPI = PI-LPI;

/*membuat pertumbuhan atau laju*/


THRMRD =(HRMRD-LHRMRD)/LHRMRD*100;
THRSBD = (HRSBD-LHRSBD)/LHRSBD*100;
TSMRD = (SMRD-LSMRD)/LSMRD*100;
THRMSD = (HRMSD-LHRMSD)/LHRMSD*100;
TGDPR = (GDPR-LGDPR)/LGDPR*100;
TPI = (PI-LPI)/LPI*100;
TTB = (TB-LTB)/LTB*100;
RGDPPI=GDPR/PI*100;
TDMRD = (DMRD-LDMRD)/LDMRD*100;
TDSBD = (DSBD-LDSBD)/LDSBD*100;
TSSBD = (SSBD-LSSBD)/LSSBD*100;
TT = (T-LT)/LT*100;
THRMGSD = (HRMGSD-LHRMGSD)/LHRMGSD*100;
TDMGSD = (DMGSD-LDMGSD)/LDMGSD*100;
TDMSD = (DMSD-LDMSD)/LDMSD*100;
TUPRIN = (UPRIN-LUPRIN)/LUPRIN*100;
TPDK = (PDK-LPDK)/LPDK*100;

/*membuat rasio*/
RHRMSMGS = HRMSD/HRMGSD;
RGDPR = GDPR/LGDPR;
RTB = TB/LTB;
RHRMRD=HRMRD/LHRMRD;
RHRSBD= HRSBD/LHRSBD;
RHRMGSD = HRMGSD/LHRMGSD;
RSSBD = SSBD/LSSBD;
RDSBD = DSBD/LDSBD;
RDMGSD = DMGSD/LDMGSD;
RUPRIN = UPRIN/LUPRIN;
RPI = PI/LPI;
/*mendeskripsikan variabel*/
label PMGSD = 'produksi minyak goreng sawit domestik (000 ton)'
DMGSD = 'permintaan minyak goreng sawit domestik (ton)'
SMGSD = 'penawaran minyak goreng sawit domestik (ton)'
HRMSD = 'harga riil minyak sawit domestik (Rp/ton)'
SMSD = 'penawaran minyak sawit domestik (000 ton)'
PMRD = 'produksi margarin domestik (000 kg)'
DMRD = 'permintaan margarin domestik (kg)'
SMRD = 'penawaran margarin domestik (kg)'
PSBD = 'produksi sabun domestik (000 buah)'
DSBD ='permintaan sabun domestik (buah)'
SSBD = 'penawaran sabun domestik (buah)'
TB = 'tingkat suku bunga uang (%)'
T = 'tren waktu'
GDPR = 'gross domestic product riil (constant 2000) (000 Rp)'

88 
 
Lampiran 3. Lanjutan
PI = 'jumlah penduduk indonesia (jiwa)'
EXMGSD = 'ekspor minyak goreng sawit domestik (ton)'
HRMSW = 'harga riil minyak sawit dunia (US$/ton)'
IMMRD = 'impor margarin domestik (000 kg)'
EXMRD = 'ekspor margarin domestik (000 kg)'
IMSB = 'impor sabun domestik (000 kg)'
EXSB = 'ekspor sabun domestik (000 kg)'
LPMGSD = 'produksi minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya
(ton)'
LDMGSD = 'permintaan minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya
(000 ton)'
LHMSD = 'harga minyak sawit domestik tahun sebelumnya (Rp/ton)'
LHMGSDR = 'harga minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya
(Rp/ton)'
LPMRD = 'produksi margarin domestik tahun sebelumnya (000 kg)'
LDMRD = 'permintaan margarin domestik tahunsebelumnya (kg)'
LHMRDR = 'harga margarin domestik tahunsebelumnya (Rp/kg)'
LPSBD = 'produksi sabun domestik tahun sebelumnya (000 Rp/buah)'
LDSBD = 'permintaan sabuun domestik tahun sebelumnya (buah)'
LHSBDR = 'harga sabun domestik tahun sebelumnya (Rp)'
HMGSDR = 'harga riil minyak goreng domestik (Rp/ton)'
HSBDR = 'harga riil sabun domestik (Rp/buah)'
HMRDR = 'harga riil margarin doomestik (Rp/kg)'
THMGSDR = 'laju pertumbuhan harga riil minyak goreng sawit domestik
(Rp/ton)'
THMRDR = 'laju pertumbuhan harga riil margarin domestik (Rp/kg)'
THSBDR = 'laju pertumbuhan harga riil sabun domestik (Rp/buah)'
;

proc print data=olah;


run;
PROC SYSLIN 2sls DATA=olah;
endogenous PMGSD DMGSD SMGSD HRMGSD HRMSD DMSD PMRD DMRD SMRD HRMRD
PSBD DSBD SSBD HRSBD;
instruments TB T LPMGSD PDK LDMGSD EXMGSD SMSD HRMSW LHRMSD LHRMGSD
LPMRD LDMRD IMMRD EXMRD LHRMRD LPSBD IMSB EXSB LHRSBD;
/*persamaan struktural*/
prod_MGS: model PMGSD = HRMGSD THRMSD TB LPMGSD/DW;
prmntn_MGS: model DMGSD = HRMGSD PDK LDMGSD/DW;
harg_MGSD: model HRMGSD = EXDMGSD T LHRMGSD/DW;
harg_MSD: model HRMSD = LSMSD DMSD HRMSW /DW;
prmntn_MSD : model DMSD = LHRMSD LHRMGSD HRMRD THRSBD/DW;
prod_MRD: model PMRD = HRMRD SHRMSD TB LUPRIN LPMRD/DW;
prmntn_MRD: model DMRD = HRMRD SGDPR PI/DW;
harg_MRD: model HRMRD = SMRD TDMRD T LHRMRD/DW;
prod_SBD: model PSBD = HRSBD HRMSD TB TUPRIN LPSBD/DW;
prmntn_SBD: model DSBD = THRSBD GDPR TPI LDSBD/DW;
harg_SBD: model HRSBD = SSSBD LHRSBD/DW;
/*persamaan identitas*/
identity SMGSD = PMGSD-EXMGSD;
identity SMRD = PMRD+IMMRD;
identity SSBD = PSBD+IMSB;
run; 

89
 
Lampiran 4. Hasil Estimasi Persamaan dalam Model Produksi Produk Turunan
Minyak Sawit Indonesia

Lampiran 4a. Hasil Estimasi Persamaan pada Blok Minyak Goreng Sawit
Domestik

The SAS System


The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation

Model
PROD_MGS
Dependent Variable
PMGSD
Label produksi minyak goreng sawit domestik (000
ton)

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr
> F

Model 4 42322942 10580735 7.10


0.0020
Error 15 22347126 1489808
Corrected Total 19 64670068

Root MSE 1220.57708 R-Square 0.65444


Dependent Mean 3069.09000 Adj R-Sq 0.56230
Coeff Var 39.77000

Parameter Estimates

Parameter Standard
Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 4774.628 2639.066 1.81 0.0905


Intercept
HRMGSD 1 0.691829 0.490282 1.41 0.1786
THRMSD 1 -18.9808 14.20172 -1.34 0.2013
TB 1 -309.518 165.8268 -1.87 0.0816
tingkat suku bunga
uang
(%)
LPMGSD 1 0.349079 0.257423 1.36 0.1951
produksi minyak
goreng
sawit

domestik tahun

sebelumnya (ton)

Durbin-Watson 2.121158
Number of Observations 20
First-Order Autocorrelation -0.07629

90 
 
Lampiran 4a. Lanjutan

The SAS System


The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation

Model
PRMNTN_M
Dependent Variable
DMGSD
Label permintaan minyak goreng sawit domestik
(ton)

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr
> F

Model 3 2437669 812556.3 28.03


<.0001
Error 16 463785.2 28986.58
Corrected Total 19 2901454

Root MSE 170.25445 R-Square 0.84015


Dependent Mean 957.40000 Adj R-Sq 0.81018
Coeff Var 17.78300

Parameter Estimates

Parameter Standard
Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 1242.059 186.8044 6.65 <.0001


Intercept
HRMGSD 1 -0.35868 0.051924 -6.91 <.0001
PDK 1 31.23010 19.57602 1.60 0.1302
LDMGSD 1 0.897034 0.110224 8.14 <.0001
permintaan minyak
goreng
sawit

domestik tahun

sebelumnya (000 ton)

Durbin-Watson 2.005548
Number of Observations 20
First-Order Autocorrelation -0.00821

91
Lampiran 4a. Lanjutan

The SYSLIN Procedure


Two-Stage Least Squares Estimation

Model HARG_MGS
Dependent Variable HRMGSD
Label

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr
> F

Model 3 3714239 1238080 1.82


0.1838
Error 16 10873868 679616.8
Corrected Total 19 14588107

Root MSE 824.38873 R-Square 0.25461


Dependent Mean 3699.12600 Adj R-Sq 0.11485
Coeff Var 22.28604

Parameter Estimates

Parameter Standard
Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 1922.985 792.0596 2.43 0.0274


Intercept
EXDMGSD 1 0.100318 0.192480 0.52 0.6094
T 1 39.11683 47.08917 0.83 0.4184 tren
waktu
LHRMGSD 1 0.389829 0.223690 1.74 0.1006

Durbin-Watson 2.034284
Number of Observations 20
First-Order Autocorrelation -0.02437

92 
 
Lampiran 4a. Lanjutan

The SAS System


The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation

Model HARG_MSD
Dependent Variable HRMSD
Label harga riil minyak sawit domestik (Rp/ton)

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr
> F

Model 3 2010297 670099.0 1.74


0.1998
Error 16 6173395 385837.2
Corrected Total 19 8183692

Root MSE 621.15794 R-Square 0.24565


Dependent Mean 2482.62800 Adj R-Sq 0.10421
Coeff Var 25.02018

Parameter Estimates

Parameter Standard
Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 685.6042 1022.517 0.67 0.5121


Intercept
LSMSD 1 -0.18485 0.259754 -0.71 0.4869
DMSD 1 0.620419 0.322136 1.93 0.0721
HRMSW 1 0.685127 0.443404 1.55 0.1419 harga
riil minyak
sawit
dunia

(US$/ton)

Durbin-Watson 0.907561
Number of Observations 20
First-Order Autocorrelation 0.528756

93
Lampiran 4a. Lanjutan
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation

Model PRMNTN_M
Dependent Variable DMSD
Label

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr
> F

Model 4 6804776 1701194 10.42


0.0003
Error 15 2447775 163185.0
Corrected Total 19 9252551

Root MSE 403.96164 R-Square 0.73545


Dependent Mean 3161.88500 Adj R-Sq 0.66490
Coeff Var 12.77597

Parameter Estimates

Parameter Standard
Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 1646.372 470.7829 3.50 0.0032


Intercept
LHRMSD 1 -0.40131 0.382504 -1.05 0.3107
LHRMGSD 1 0.277441 0.305361 0.91 0.3779
HRMRD 1 0.166149 0.049960 3.33 0.0046
THRSBD 1 8.810846 4.194723 2.10 0.0530

Durbin-Watson 0.784067
Number of Observations 20
First-Order Autocorrelation 0.44635

94 
 
Lampiran 4b. Hasil Estimasi Persamaan pada Blok Margarin Domestik

The SAS System


The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation

Model PROD_MRD
Dependent Variable PMRD
Label produksi margarin domestik (000 kg)

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr
> F

Model 5 248929.5 49785.90 5.38


0.0057
Error 14 129520.7 9251.476
Corrected Total 19 378450.1

Root MSE 96.18459 R-Square 0.65776


Dependent Mean 201.14500 Adj R-Sq 0.53553
Coeff Var 47.81854

Parameter Estimates

Parameter Standard
Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 168.8151 303.7500 0.56 0.5871


Intercept
HRMRD 1 0.000401 0.010802 0.04 0.9709
SHRMSD 1 -0.00234 0.037423 -0.06 0.9510
TB 1 -0.13464 10.04158 -0.01 0.9895
tingkat suku bunga
uang
(%)
LUPRIN 1 -0.00842 0.015850 -0.53 0.6035
LPMRD 1 0.777856 0.155441 5.00 0.0002
produksi margarin

domestik tahun

sebelumnya (000 kg)

Durbin-Watson 1.263849
Number of Observations 20
First-Order Autocorrelation 0.349466

95
Lanjutan. Lampiran 4b
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation

Model PRMNTN_M
Dependent Variable DMRD
Label permintaan margarin domestik (kg)

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr
> F

Model 3 1.0223E8 34077531 1.98


0.1576
Error 16 2.7537E8 17210541
Corrected Total 19 3.776E8

Root MSE 4148.55892 R-Square 0.27074


Dependent Mean 14927.6266 Adj R-Sq 0.13401
Coeff Var 27.79115

Parameter Estimates

Parameter Standard
Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 -38884.1 25581.26 -1.52 0.1480


Intercept
HRMRD 1 -1.01070 0.853736 -1.18 0.2538
SGDPR 1 4.381449 5.482385 0.80 0.4359
PI 1 300.0566 154.9501 1.94 0.0707 jumlah
penduduk

indonesia (jiwa)

Durbin-Watson 1.072088
Number of Observations 20
First-Order Autocorrelation 0.452531

96 
 
Lanjutan. Lampiran 4b

The SAS System


The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation

Model HARG_MRD
Dependent Variable HRMRD
Label

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr
> F

Model 4 1.3008E8 32518921 28.62


<.0001
Error 15 17043622 1136241
Corrected Total 19 1.4712E8

Root MSE 1065.94627 R-Square 0.88415


Dependent Mean 8978.18000 Adj R-Sq 0.85326
Coeff Var 11.87263

Parameter Estimates

Parameter Standard
Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 2270.501 1134.212 2.00 0.0637


Intercept
SMRD 1 -0.00375 0.004238 -0.88 0.3903
penawaran margarin

domestik (kg)
TDMRD 1 5.843311 10.48075 0.56 0.5854
T 1 165.8938 121.2625 1.37 0.1914 tren
waktu
LHRMRD 1 0.470708 0.213096 2.21 0.0432

Durbin-Watson 2.098371
Number of Observations 20
First-Order Autocorrelation -0.07178

97
Lampiran 4c. Hasil Estimasi Persamaan pada Blok Sabun Domestik

The SAS System


The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation

Model PROD_SBD
Dependent Variable PSBD
Label produksi sabun domestik (000 buah)

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr
> F

Model 5 47893264 9578653 11.75


0.0001
Error 14 11414833 815345.2
Corrected Total 19 59308097

Root MSE 902.96468 R-Square 0.80753


Dependent Mean 1638.75000 Adj R-Sq 0.73880
Coeff Var 55.10082

Parameter Estimates

Parameter Standard
Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 3292.075 1887.771 1.74 0.1031


Intercept
HRSBD 1 0.997185 1.035164 0.96 0.3517
HRMSD 1 -0.36779 0.474309 -0.78 0.4510 harga
riil minyak
sawit
domestik

(Rp/ton)
TB 1 -176.377 132.8778 -1.33 0.2056
tingkat suku bunga
uang
(%)
TUPRIN 1 -36.9419 15.78133 -2.34 0.0346
LPSBD 1 0.741855 0.155419 4.77 0.0003
produksi sabun

domestik tahun

sebelumnya (000

Rp/buah)

Durbin-Watson 1.542999
Number of Observations 20
First-Order Autocorrelation 0.180176

98 
 
Lanjutan. Lampiran 4c
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation

Model PRMNTN_S
Dependent Variable DSBD
Label permintaan sabun domestik (buah)

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr
> F

Model 4 7.0862E9 1.7715E9 19.40


<.0001
Error 15 1.37E9 91336022
Corrected Total 19 8.4562E9

Root MSE 9556.98813 R-Square 0.83798


Dependent Mean 23608.5385 Adj R-Sq 0.79478
Coeff Var 40.48107

Parameter Estimates

Parameter Standard
Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 -17558.5 15448.62 -1.14 0.2735


Intercept
THRSBD 1 -46.0334 100.8951 -0.46 0.6547
GDPR 1 25.88094 9.320444 2.78 0.0141 gross
domestic

product riil

(constant 2000)
(000
Rp)
TPI 1 1066.629 6963.572 0.15 0.8803
LDSBD 1 0.308724 0.271109 1.14 0.2727
permintaan sabuun

domestik tahun

sebelumnya (buah)

Durbin-Watson 2.164661
Number of Observations 20
First-Order Autocorrelation -0.11494

99
Lanjutan. Lampiran 4c

The SAS
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation

Model HARG_SBD
Dependent Variable HRSBD
Label

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr
> F

Model 2 1092698 546349.2 8.99


0.0022
Error 17 1033185 60775.58
Corrected Total 19 2125883

Root MSE 246.52703 R-Square 0.51400


Dependent Mean 1213.44000 Adj R-Sq 0.45682
Coeff Var 20.31638

Parameter Estimates

Parameter Standard
Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 397.8293 230.3474 1.73 0.1023


Intercept
SSSBD 1 -0.00270 0.003982 -0.68 0.5068
LHRSBD 1 0.651484 0.192995 3.38 0.0036

Durbin-Watson 1.48443
Number of Observations 20
First-Order Autocorrelation 0.251446 

100 
 
Lampiran 5. Program Validasi Persamaan dalam Model Produksi Produk
Turunan Minyak Sawit Indonesia
data Olah;
input Th T PI GDPR TB HRMGSD HRSBD HRMRD PMGSD PSBD PMRD EXSB EXMGSD
EXMRD IMMRD IMSB DMGSD DMSD HRMSD HRMSW DMRD DSBD IHK SMSD UPRIN
;
/*create data*/
SMGSD = PMGSD-EXMGSD;
SMRD = PMRD+IMMRD-EXMRD;
SSBD = PSBD+IMSB-EXSB;
EXSSBD = SSBD-DSBD;
EXDSBD = DSBD-SSBD;
EXDMGSD = DMGSD-SMGSD;
EXSMGSD = SMGSD-DMGSD;
EXDMSD = DMSD-SMSD;
EXSMSD = SMSD-DMSD;
PDK = GDPR/PI;

/*membuat variabel lag*/


LPMGSD = LAG(PMGSD);
LDMGSD = LAG(DMGSD);
LHRMSD = LAG(HRMSD);
LHRMGSD = LAG(HRMGSD);
LPMRD = LAG(PMRD);
LDMRD = LAG(DMRD);
LHRMRD = LAG(HRMRD);
LPSBD = LAG(PSBD);
LDSBD = LAG(DSBD);
LHRSBD = LAG(HRSBD);
LSMRD = LAG(SMRD);
LDMGSD = LAG(DMGSD);
LSMSD = LAG(SMSD);
LGDPR = LAG(GDPR);
LTB = LAG(TB);
LPI = LAG(PI);
LSSBD = LAG (SSBD);
LDMSD = LAG(DMSD);
LT = LAG (T);
LUPRIN = LAG(UPRIN);
LSMGSD = LAG (SMGSD);

/*membuat selisih*/
SHRMSD=HRMSD-LHRMSD;
RHRMSD=HRMSD/LHRMSD;
SGDPR = GDPR-LGDPR;
STB = TB-LTB;
SDSBD = DSBD-LDSBD;
SSSBD = SSBD-LSSBD;
SUPRIN = UPRIN-LUPRIN;
ST = T-LT;
SDMGSD = DMGSD-LDMGSD;
SDMSD = DMSD-LDMSD;
SSMGSD = SMGSD-LSMGSD;
SHRMRD = HRMRD-LHRMRD;

101 
 
Lampiran 5. Lanjutan
/*membuat pertumbuhan atau laju*/
THRMRD =(HRMRD-LHRMRD)/LHRMRD*100;
THRSBD = (HRSBD-LHRSBD)/LHRSBD*100;
TSMRD = (SMRD-LSMRD)/LSMRD*100;
THRMSD = (HRMSD-LHRMSD)/LHRMSD*100;
TGDPR = (GDPR-LGDPR)/LGDPR*100;
TPI = (PI-LPI)/LPI*100;
TTB = (TB-LTB)/LTB*100;
RGDPPI=GDPR/PI*100;
TDMRD = (DMRD-LDMRD)/LDMRD*100;
TDSBD = (DSBD-LDSBD)/LDSBD*100;
TSSBD = (SSBD-LSSBD)/LSSBD*100;
TT = (T-LT)/LT*100;
THRMGSD = (HRMGSD-LHRMGSD)/LHRMGSD*100;
TDMGSD = (DMGSD-LDMGSD)/LDMGSD*100;
TDMSD = (DMSD-LDMSD)/LDMSD*100;
TUPRIN = (UPRIN-LUPRIN)/LUPRIN*100;
/*membuat rasio*/
RHRMSMGS = HRMSD/HRMGSD;
RGDPR = GDPR/LGDPR;
RTB = TB/LTB;
RHRMRD=HRMRD/LHRMRD;
RSSBD = SSBD/LSSBD;
RDSBD = DSBD/LDSBD;
RDMGSD = DMGSD/LDMGSD;
RUPRIN = UPRIN/LUPRIN;
/*mendeskripsikan variabel*/
label PMGSD = 'produksi minyak goreng sawit domestik (000 ton)'
DMGSD = 'permintaan minyak goreng sawit domestik (ton)'
SMGSD = 'penawaran minyak goreng sawit domestik (ton)'
HRMSD = 'harga riil minyak sawit domestik (Rp/ton)'
DMSD = 'permintaan minyak sawit domestik (000 ton)'
SMSD = 'penawaran minyak sawit domestik (000 ton)'
PMRD = 'produksi margarin domestik (000 kg)'
DMRD = 'permintaan margarin domestik (kg)'
SMRD = 'penawaran margarin domestik (kg)'
PSBD = 'produksi sabun domestik (000 buah)'
DSBD ='permintaan sabun domestik (buah)'
SSBD = 'penawaran sabun domestik (buah)'
TB = 'tingkat suku bunga uang (%)'
T = 'tren waktu'
GDPR = 'gross domestic product riil (constant 2000) (000 Rp)'
PI = 'jumlah penduduk indonesia (jiwa)'
EXMGSD = 'ekspor minyak goreng sawit domestik (ton)'
HRMSW = 'harga riil minyak sawit dunia (US$/ton)'
IMMRD = 'impor margarin domestik (000 kg)'
EXMRD = 'ekspor margarin domestik (000 kg)'
IMSB = 'impor sabun domestik (000 kg)'
EXSB = 'ekspor sabun domestik (000 kg)'
LPMGSD = 'produksi minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya
(ton)'
LDMGSD = 'permintaan minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya
(000 ton)'
LHMSD = 'harga minyak sawit domestik tahun sebelumnya (Rp/ton)'

102
 
Lampiran 5. Lanjutan
LHMGSDR = 'harga minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya
(Rp/ton)'
LPMRD = 'produksi margarin domestik tahun sebelumnya (000 kg)'
LDMRD = 'permintaan margarin domestik tahunsebelumnya (kg)'
LHMRDR = 'harga margarin domestik tahunsebelumnya (Rp/kg)'
LPSBD = 'produksi sabun domestik tahun sebelumnya (000 Rp/buah)'
LDSBD = 'permintaan sabuun domestik tahun sebelumnya (buah)'
LHSBDR = 'harga sabun domestik tahun sebelumnya (Rp)'
HMGSDR = 'harga riil minyak goreng domestik (Rp/ton)'
HSBDR = 'harga riil sabun domestik (Rp/buah)'
HMRDR = 'harga riil margarin doomestik (Rp/kg)'
THMGSDR = 'laju pertumbuhan harga riil minyak goreng sawit domestik
(Rp/ton)'
THMRDR = 'laju pertumbuhan harga riil margarin domestik (Rp/kg)'
THSBDR = 'laju pertumbuhan harga riil sabun domestik (Rp/buah)'
;
proc print data=olah;
run;
PROC SIMNLIN DATA=Olah SIMULATE STAT THEIL;
endogenous PMGSD DMGSD SMGSD HRMGSD HRMSD DMSD PMRD DMRD SMRD HRMRD
PSBD DSBD SSBD HRSBD;
exogenous Th TB T LPMGSD GDPR PI LDMGSD EXMGSD SMSD HRMSW IMMRD
EXMRD IMSB EXSB;
LPMGSD = LAG(PMGSD);
LDMGSD = LAG(DMGSD);
LHRMSD = LAG(HRMSD);
LHRMGSD = LAG(HRMGSD);
LPMRD = LAG(PMRD);
LDMRD = LAG(DMRD);
LHRMRD = LAG(HRMRD);
LPSBD = LAG(PSBD);
LDSBD = LAG(DSBD);
LHRSBD = LAG(HRSBD);
LSMRD = LAG(SMRD);
LDMGSD = LAG(DMGSD);
LSMSD = LAG(SMSD);
LGDPR = LAG(GDPR);
LTB = LAG(TB);
LPI = LAG(PI);
LSSBD = LAG (SSBD);
LDMSD = LAG(DMSD);
LT = LAG (T);
LUPRIN = LAG(UPRIN);
LSMGSD = LAG (SMGSD);
PARM a0 4774.628 a1 0.691829 a2 -18.9808 a3 -309.518 a4 0.349079
b0 1242.059 b1 -0.35868 b2 31.23010 b3 0.897034
c0 1922.985 c1 0.100318 c2 39.11683 c3 0.389829
d0 685.6042 d1 -0.18485 d2 0.620419 d3 0.685127
e0 1646.372 e1 -0.40131 e2 0.277441 e3 0.166149 e4 8.810846
f0 168.8151 f1 0.000401 f2 -0.00234 f3 -0.13464 f4 -0.00842 f5
0.777856
g0 -38884.1 g1 -1.01070 g2 4.381449 g3 300.0566
h0 2270.501 h1 -0.00375 h2 5.843311 h3 165.8938 h4 0.470708

103 
 
Lampiran 5. Lanjutan
i0 3292.075 i1 0.997185 i2 -0.36779 i3 -176.337 i4 -36.9419 i5
0.741855
j0 -17558.5 j1 -4603.34 j2 25.88094 j3 1066.629 j4 0.308724
kO 397.8293 k1 -0.00270 k2 0.651484;

PMGSD = a0 + a1*HRMGSD + a2*((HRMSD-LHRMSD)/LHRMSD) + a3*TB +


a4*LPMGSD;
DMGSD = b0 + b1*HRMGSD + b2*PDK + b3*LDMGSD;
HRMGSD = c0 + c1*(DMGSD-SMGSD) + c2*T + c3*LHRMGSD;
HRMSD = d0 + d1*LSMSD + d2*DMSD + d3*HRMSW;
DMSD = e0 + e1*LHRMSD + e2*LHRMGSD + e3*LHRMRD + e4*((HRSBD-
LHRSBD)/LHRSBD);
PMRD = f0 + f1*HRMRD + f2*(HRMSD-LHRMSD) + f3*TB + f4*LUPRIN +
f5*LPMRD;
DMRD = g0 + g1*HRMRD + g2*(GDPR-LGDPR) + g3*PI;
HRMRD = h0 + h1*SMRD + h2*((DMRD-LDMRD)/LDMRD) + h3*T + h4*LHRMRD;
PSBD = i0 + i1*HRSBD + i2*LHRMSD + i3*TB + i4*((UPRIN-
LUPRIN)/LUPRIN) + i5*LPSBD;
DSBD = j0 + j1*((HRSBD-LHRSBD)/LHRSBD) + j2*GDPR + j3*((PI-LPI)/LPI)
+ j4*LDSBD;
HRSBD = kO + k1*(SSBD-LSSBD) + k2*LHRSBD;

SMGSD = PMGSD-EXMGSD;
SMRD = PMRD+IMMRD;
SSBD = PSBD+IMSB;

RANGE Th= 2007 TO 2010;


run;

104
 
 

105 
Lampiran 6. Hasil Validasi Model Produksi Produk Turunan Minyak Sawit Indonesia

The SAS System


The SIMNLIN Procedure

Model Summary

Model Variables 28
Endogenous 14
Exogenous 14
Parameters 51
Range Variable Th
Equations 16
Number of Statements 35
Program Lag Length 1

105 
 
 

Lampiran 6. Lanjutan

The SAS System


The SIMNLIN Procedure
Dynamic Simultaneous Simulation

Data Set Options

DATA= OLAH

Solution Summary

Variables Solved 14
Simulation Lag Length 1
Solution Range Th
First 2007
Last 2010
Solution Method NEWTON
CONVERGE= 1E-8
Maximum CC 1.19E-14
Maximum Iterations 1
Total Iterations 4
Average Iterations 1

Observations Processed

Read 5
Lagged 1
Solved 4
First 18
Last 21

Variables Solved For PMGSD DMGSD SMGSD HRMGSD HRMSD DMSD PMRD DMRD SMRD HRMRD PSBD DSBD SSBD HRSBD
106 

106 
 
 

107 
Lampiran 6. Lanjutan
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Dynamic Simultaneous Simulation

Solution Range Th = 2007 To 2010

Descriptive Statistics

Actual Predicted
Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label

PMGSD 4 4 5037.7 460.8 4802.1 408.8 produksi minyak


goreng sawit
domestik (000 ton)
DMGSD 4 4 884.3 101.0 903.5 125.4 permintaan minyak
goreng sawit
domestik (ton)
SMGSD 4 4 2891.4 252.9 2655.8 249.0 penawaran minyak
goreng sawit
domestik (ton)
HRMGSD 4 4 4034.3 116.8 4050.7 89.8063
HRMSD 4 4 2174.3 44.8322 2247.0 4.3532 harga riil minyak
sawit domestik
(Rp/ton)
DMSD 4 4 4082.8 90.7466 3521.1 67.8147 permintaan minyak
sawit domestik
(000 ton)
PMRD 4 4 164.5 133.3 103.7 22.2637 produksi margarin
domestik (000 kg)
DMRD 4 4 14326.4 3584.0 20058.9 596.1 permintaan margarin
domestik (kg)
SMRD 4 4 -390598 76653.8 4463.8 392.9 penawaran margarin
domestik (kg)
HRMRD 4 4 13383.0 954.3 10248.1 275.9
PSBD 4 4 4455.8 1402.9 2647.6 279.2 produksi sabun
domestik (000 buah)
DSBD 4 4 54033.4 21912.8 49371.7 5242.4 permintaan sabun
domestik (buah)
SSBD 4 4 -144271 17621.8 5989.7 525.7 penawaran sabun
domestik (buah)
HRSBD 4 4 1035.3 29.0504 791.8 188.6

107 
 
 

Lampiran 6. Lanjutan

Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %


Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square Label

PMGSD 4 -235.6 -4.5401 254.8 4.9757 306.6 6.0329 0.4096 produksi minyak
goreng sawit
domestik (000 ton)
DMGSD 4 19.1830 2.3610 65.5493 7.6554 88.4203 10.4462 -.0220 permintaan minyak
goreng sawit
domestik (ton)
108 

108 
 
 

109 
Lampiran 6. Lanjutan
The SAS System 16:19 Friday, March 5, 2013 24

The SIMNLIN Procedure


Dynamic Simultaneous Simulation

Solution Range Th = 2007 To 2010

Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %


Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square Label

SMGSD 4 -235.6 -7.9188 254.8 8.6733 306.6 10.5120 -.9601 penawaran minyak
goreng sawit
domestik (ton)
HRMGSD 4 16.3447 0.4416 83.7089 2.0643 91.2781 2.2467 0.1853
HRMSD 4 72.6603 3.3719 72.6603 3.3719 81.1757 3.7725 -3.371 harga riil minyak
sawit domestik
(Rp/ton)
DMSD 4 -561.7 -13.7386 561.7 13.7386 566.0 13.8268 -50.88 permintaan minyak
sawit domestik
(000 ton)
PMRD 4 -60.7550 10.3158 99.0801 67.4799 116.4 68.3717 -.0161 produksi margarin
domestik (000 kg)
DMRD 4 5732.6 46.6104 5780.1 46.8549 6752.8 55.9578 -3.733 permintaan margarin
domestik (kg)
SMRD 4 395062 -101.2 395062 101.2 400654 101.2 -35.43 penawaran margarin
domestik (kg)
HRMRD 4 -3134.8 -23.2210 3134.8 23.2210 3195.1 23.4692 -13.95
PSBD 4 -1808.2 -35.5437 1808.2 35.5437 2236.8 40.2237 -2.389 produksi sabun
domestik (000 buah)
DSBD 4 -4661.7 -0.5006 13337.5 23.2909 15804.5 24.2302 0.3064 permintaan sabun
domestik (buah)
SSBD 4 150260 -104.2 150260 104.2 151008 104.2 -96.91 penawaran sabun
domestik (buah)
HRSBD 4 -243.4 -23.7599 243.4 23.7599 283.6 27.9480 -126.1

109 
 
 

Lampiran 6. Lanjutan

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions


Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

PMGSD 4 94021.0 0.87 0.59 0.00 0.41 0.02 0.39 0.0607 0.0311
DMGSD 4 7818.1 0.63 0.05 0.36 0.59 0.06 0.90 0.0995 0.0492
SMGSD 4 94021.0 0.59 0.59 0.08 0.33 0.00 0.41 0.1057 0.0551
HRMGSD 4 8331.7 0.52 0.03 0.07 0.89 0.07 0.90 0.0226 0.0113
HRMSD 4 6589.5 0.72 0.80 0.09 0.11 0.19 0.01 0.0373 0.0184
DMSD 4 320405 0.51 0.98 0.00 0.01 0.00 0.01 0.1386 0.0744
PMRD 4 13547.7 0.86 0.27 0.48 0.25 0.68 0.04 0.5792 0.3799
DMRD 4 45599736 -0.89 0.72 0.23 0.05 0.15 0.13 0.4607 0.1945
SMRD 4 1.605E11 -0.95 0.97 0.03 0.00 0.03 0.00 1.0112 0.9999
HRMRD 4 10208538 0.91 0.96 0.03 0.01 0.03 0.00 0.2383 0.1350
PSBD 4 5003275 -0.34 0.65 0.09 0.26 0.19 0.16 0.4843 0.3074
DSBD 4 2.4978E8 0.89 0.09 0.60 0.31 0.83 0.08 0.2760 0.1479
110

110 
 
111 
 

Lampiran 6. Lanjutan

The SAS System 16:19 Friday, March 5, 2013 25

The SIMNLIN Procedure


Dynamic Simultaneous Simulation

Solution Range Th = 2007 To 2010

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions


Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

SSBD 4 2.28E10 0.56 0.99 0.00 0.01 0.01 0.00 1.0409 0.9995
HRSBD 4 80456.2 0.74 0.74 0.26 0.00 0.24 0.03 0.2739 0.1538

Theil Relative Change Forecast Error Statistics

Relative Change MSE Decomposition Proportions


Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

PMGSD 4 0.00446 -0.06 0.55 0.20 0.25 0.01 0.44 0.8457 0.5859
DMGSD 4 0.00784 -0.08 0.03 0.21 0.76 0.24 0.73 0.9631 0.6300
SMGSD 4 0.0134 -0.43 0.55 0.39 0.06 0.05 0.39 1.5122 0.8444
HRMGSD 4 0.000504 0.93 0.03 0.43 0.55 0.64 0.34 0.4682 0.2725
HRMSD 4 0.00138 0.72 0.80 0.06 0.14 0.01 0.19 1.6305 0.6750
DMSD 4 0.0208 0.98 0.97 0.02 0.00 0.02 0.00 2.4473 0.8334
PMRD 4 3.7337 0.76 0.14 0.28 0.58 0.66 0.20 0.7549 0.5682
DMRD 4 0.2431 0.80 0.70 0.23 0.07 0.15 0.14 1.9989 0.6594
SMRD 4 1.3623 -0.92 0.94 0.05 0.01 0.06 0.00 3.7193 0.8798
HRMRD 4 0.0639 0.99 0.99 0.01 0.00 0.01 0.00 2.1854 0.8477
PSBD 4 0.4520 0.57 0.53 0.04 0.43 0.28 0.19 1.1782 0.7234
DSBD 4 0.1493 0.71 0.04 0.01 0.95 0.26 0.70 0.6773 0.4153
SSBD 4 1.1540 -0.57 0.98 0.01 0.01 0.02 0.00 7.0608 0.8991
HRSBD 4 0.0946 -0.98 0.69 0.30 0.00 0.04 0.27 4.2871 0.9834 

111 
 
Lampiran 7. Program Simulasi
data Olah;
input Th T PI GDPR TB HRMGSD HRSBD HRMRD PMGSD PSBD PMRD EXSB EXMGSD
EXMRD IMMRD IMSB DMGSD DMSD HRMSD HRMSW DMRD DSBD IHK SMSD UPRIN
;
/*create data*/
SMGSD = PMGSD-EXMGSD;
SMRD = PMRD+IMMRD-EXMRD;
SSBD = PSBD+IMSB-EXSB;
EXSSBD = SSBD-DSBD;
EXDSBD = DSBD-SSBD;
EXDMGSD = DMGSD-SMGSD;
EXSMGSD = SMGSD-DMGSD;
EXDMSD = DMSD-SMSD;
EXSMSD = SMSD-DMSD;
PDK = GDPR/PI;

/*membuat variabel lag*/


LPMGSD = LAG(PMGSD);
LDMGSD = LAG(DMGSD);
LHRMSD = LAG(HRMSD);
LHRMGSD = LAG(HRMGSD);
LPMRD = LAG(PMRD);
LDMRD = LAG(DMRD);
LHRMRD = LAG(HRMRD);
LPSBD = LAG(PSBD);
LDSBD = LAG(DSBD);
LHRSBD = LAG(HRSBD);
LSMRD = LAG(SMRD);
LDMGSD = LAG(DMGSD);
LSMSD = LAG(SMSD);
LGDPR = LAG(GDPR);
LTB = LAG(TB);
LPI = LAG(PI);
LSSBD = LAG (SSBD);
LDMSD = LAG(DMSD);
LT = LAG (T);
LUPRIN = LAG(UPRIN);
LSMGSD = LAG (SMGSD);

/*membuat selisih*/
SHRMSD=HRMSD-LHRMSD;
RHRMSD=HRMSD/LHRMSD;
SGDPR = GDPR-LGDPR;
STB = TB-LTB;
SDSBD = DSBD-LDSBD;
SSSBD = SSBD-LSSBD;
SUPRIN = UPRIN-LUPRIN;
ST = T-LT;
SDMGSD = DMGSD-LDMGSD;
SDMSD = DMSD-LDMSD;
SSMGSD = SMGSD-LSMGSD;
SHRMRD = HRMRD-LHRMRD;

112
 
Lampiran 7. Lanjutan
/*membuat pertumbuhan atau laju*/
THRMRD =(HRMRD-LHRMRD)/LHRMRD;
THRSBD = (HRSBD-LHRSBD)/LHRSBD;
TSMRD = (SMRD-LSMRD)/LSMRD;
THRMSD = (HRMSD-LHRMSD)/LHRMSD;
TGDPR = (GDPR-LGDPR)/LGDPR;
TPI = (PI-LPI)/LPI;
TTB = (TB-LTB)/LTB;
RGDPPI=GDPR/PI;
TDMRD = (DMRD-LDMRD)/LDMRD;
TDSBD = (DSBD-LDSBD)/LDSBD;
TSSBD = (SSBD-LSSBD)/LSSBD;
TT = (T-LT)/LT;
THRMGSD = (HRMGSD-LHRMGSD)/LHRMGSD;
TDMGSD = (DMGSD-LDMGSD)/LDMGSD;
TDMSD = (DMSD-LDMSD)/LDMSD;
TUPRIN = (UPRIN-LUPRIN)/LUPRIN;
/*membuat rasio*/
RHRMSMGS = HRMSD/HRMGSD;
RGDPR = GDPR/LGDPR;
RTB = TB/LTB;
RHRMRD=HRMRD/LHRMRD;
RSSBD = SSBD/LSSBD;
RDSBD = DSBD/LDSBD;
RDMGSD = DMGSD/LDMGSD;
RUPRIN = UPRIN/LUPRIN;
/*mendeskripsikan variabel*/
label PMGSD = 'produksi minyak goreng sawit domestik (000 ton)'
DMGSD = 'permintaan minyak goreng sawit domestik (ton)'
SMGSD = 'penawaran minyak goreng sawit domestik (ton)'
HRMSD = 'harga riil minyak sawit domestik (Rp/ton)'
SMSD = 'penawaran minyak sawit domestik (000 ton)'
PMRD = 'produksi margarin domestik (000 kg)'
DMRD = 'permintaan margarin domestik (kg)'
SMRD = 'penawaran margarin domestik (kg)'
PSBD = 'produksi sabun domestik (000 buah)'
DSBD ='permintaan sabun domestik (buah)'
SSBD = 'penawaran sabun domestik (buah)'
TB = 'tingkat suku bunga uang (%)'
T = 'tren waktu'
GDPR = 'gross domestic product riil (constant 2000) (000 Rp)'
PI = 'jumlah penduduk indonesia (jiwa)'
EXMGSD = 'ekspor minyak goreng sawit domestik (ton)'
HRMSW = 'harga riil minyak sawit dunia (US$/ton)'
IMMRD = 'impor margarin domestik (000 kg)'
EXMRD = 'ekspor margarin domestik (000 kg)'
IMSB = 'impor sabun domestik (000 kg)'
EXSB = 'ekspor sabun domestik (000 kg)'
LPMGSD = 'produksi minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya
(ton)'
LDMGSD = 'permintaan minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya (000
ton)'
LHMSD = 'harga minyak sawit domestik tahun sebelumnya (Rp/ton)'
LHMGSDR = 'harga minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya (Rp/ton)'

113
 
Lampiran 7. Lanjutan
LPMRD = 'produksi margarin domestik tahun sebelumnya (000 kg)'
LDMRD = 'permintaan margarin domestik tahunsebelumnya (kg)'
LHMRDR = 'harga margarin domestik tahunsebelumnya (Rp/kg)'
LPSBD = 'produksi sabun domestik tahun sebelumnya (000 Rp/buah)'
LDSBD = 'permintaan sabuun domestik tahun sebelumnya (buah)'
LHSBDR = 'harga sabun domestik tahun sebelumnya (Rp)'
HMGSDR = 'harga riil minyak goreng domestik (Rp/ton)'
HSBDR = 'harga riil sabun domestik (Rp/buah)'
HMRDR = 'harga riil margarin doomestik (Rp/kg)'
THMGSDR = 'laju pertumbuhan harga riil minyak goreng sawit domestik
(Rp/ton)'
THMRDR = 'laju pertumbuhan harga riil margarin domestik (Rp/kg)'
THSBDR = 'laju pertumbuhan harga riil sabun domestik (Rp/buah)'
;
proc print data=olah;
run;
PROC SIMNLIN DATA=Olah SIMULATE STAT THEIL;
endogenous PMGSD DMGSD SMGSD HRMGSD HRMSD DMSD PMRD DMRD SMRD HRMRD
PSBD DSBD SSBD HRSBD;
exogenous Th TB T LPMGSD GDPR PI LDMGSD EXMGSD SMSD HRMSW IMMRD
EXMRD IMSB EXSB;
LPMGSD = LAG(PMGSD);
LDMGSD = LAG(DMGSD);
LHRMSD = LAG(HRMSD);
LHRMGSD = LAG(HRMGSD);
LPMRD = LAG(PMRD);
LDMRD = LAG(DMRD);
LHRMRD = LAG(HRMRD);
LPSBD = LAG(PSBD);
LDSBD = LAG(DSBD);
LHRSBD = LAG(HRSBD);
LSMRD = LAG(SMRD);
LDMGSD = LAG(DMGSD);
LSMSD = LAG(SMSD);
LGDPR = LAG(GDPR);
LTB = LAG(TB);
LPI = LAG(PI);
LSSBD = LAG (SSBD);
LDMSD = LAG(DMSD);
LT = LAG (T);
LUPRIN = LAG(UPRIN);
LSMGSD = LAG (SMGSD);
PARM a0 4774.628 a1 0.691829 a2 -18.9808 a3 -309.518 a4 0.349079
b0 1242.059 b1 -0.35868 b2 31.23010 b3 0.897034
c0 1922.985 c1 0.100318 c2 39.11683 c3 0.389829
d0 685.6042 d1 -0.18485 d2 0.620419 d3 0.685127
e0 1646.372 e1 -0.40131 e2 0.277441 e3 0.166149 e4 8.810846
f0 94.96119 f1 0.002531 f2 -0.01186 f3 -0.42119 f4 -0.00394 f5
0.779103
g0 -38884.1 g1 -1.01070 g2 4.381449 g3 300.0566
h0 2270.501 h1 -0.00375 h2 5.843311 h3 165.8938 h4 0.470708

114
 
Lampiran 7. Lanjutan
i0 3292.075 i1 0.997185 i2 -0.36779 i3 -176.337 i4 -36.9419 i5
0.741855
j0 -17558.5 j1 -4603.34 j2 25.88094 j3 1066.629 j4 0.308724
kO 397.8293 k1 -0.00270 k2 0.651484;

PMGSD = a0 + a1*HRMGSD + a2*((HRMSD-LHRMSD)/LHRMSD) + a3*(0.8*TB) +


a4*LPMGSD;
DMGSD = b0 + b1*HRMGSD + b2*PDK + b3*LDMGSD;
HRMGSD = c0 + c1*(DMGSD-SMGSD) + c2*T + c3*LHRMGSD;
HRMSD = d0 + d1*LSMSD + d2*DMSD + d3*HRMSW;
DMSD = e0 + e1*LHRMSD + e2*LHRMGSD + e3*LHRMRD + e4*((HRSBD-
LHRSBD)/LHRSBD);
PMRD = f0 + f1*HRMRD + f2*(HRMSD-LHRMSD) + f3*(0.8*TB) + f4*LUPRIN +
f5*LPMRD;
DMRD = g0 + g1*HRMRD + g2*(GDPR-LGDPR) + g3*PI;
HRMRD = h0 + h1*SMRD + h2*((DMRD-LDMRD)/LDMRD) + h3*T + h4*LHRMRD;
PSBD = i0 + i1*HRSBD + i2*LHRMSD + i3*(0.8*TB) + i4*((UPRIN-
LUPRIN)/LUPRIN) + i5*LPSBD;
DSBD = j0 + j1*((HRSBD-LHRSBD)/LHRSBD) + j2*GDPR + j3*((PI-LPI)/LPI)
+ j4*LDSBD;
HRSBD = kO + k1*(SSBD-LSSBD) + k2*LHRSBD;

SMGSD = PMGSD-EXMGSD;
SMRD = PMRD+IMMRD;
SSBD = PSBD+IMSB;

RANGE Th= 2007 TO 2010;


run;

115
 
Lampiran 8. Hasil Simulasi Historis (Penurunan Tingkat Suku Bunga Sebesar 20 Persen)
The SAS System

The SIMNLIN Procedure

Model Summary

Model Variables 28
Endogenous 14
Exogenous 14
Parameters 51
Range Variable Th
Equations 16
Number of Statements 35
Program Lag Length 1
116 
115 

115 
 
117
Lampiran 8. Lanjutan

The SAS System

The SIMNLIN Procedure


Dynamic Simultaneous Simulation

Data Set Options

DATA= OLAH

Solution Summary

Variables Solved 14
Simulation Lag Length 1
Solution Range Th
First 2007
Last 2010
Solution Method NEWTON
CONVERGE= 1E-8
Maximum CC 5.79E-15
Maximum Iterations 1
Total Iterations 4
Average Iterations 1

Observations Processed

Read 5
Lagged 1
Solved 4
First 18
Last 21

Variables Solved For PMGSD DMGSD SMGSD HRMGSD HRMSD DMSD PMRD DMRD SMRD HRMRD PSBD DSBD SSBD HRSBD

116 
 
Lampiran 8. Lanjutan

The SAS System

The SIMNLIN Procedure


Dynamic Simultaneous Simulation

Solution Range Th = 2007 To 2010

Descriptive Statistics

Actual Predicted
Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label

PMGSD 4 4 5037.7 460.8 5611.2 362.3 produksi minyak


goreng sawit
domestik (000 ton)
DMGSD 4 4 884.3 101.0 942.2 121.3 permintaan minyak
goreng sawit
domestik (ton)
SMGSD 4 4 2891.4 252.9 3464.9 204.8 penawaran minyak
goreng sawit
domestik (ton)
HRMGSD 4 4 4034.3 116.8 3942.8 72.4024
HRMSD 4 4 2174.3 44.8322 2235.3 10.6708 harga riil minyak
sawit domestik
(Rp/ton)
DMSD 4 4 4082.8 90.7466 3502.3 57.4936
PMRD 4 4 164.5 133.3 138.7 32.1924 produksi margarin
domestik (000 kg)
DMRD 4 4 14326.4 3584.0 20059.1 596.2 permintaan margarin
domestik (kg)
SMRD 4 4 -390598 76653.8 4498.9 393.7 penawaran margarin
domestik (kg)
HRMRD 4 4 13383.0 954.3 10247.9 275.8
PSBD 4 4 4455.8 1402.9 3632.6 609.4 produksi sabun
domestik (000 buah)
DSBD 4 4 54033.4 21912.8 49373.2 5239.8 permintaan sabun
domestik (buah)
SSBD 4 4 -144271 17621.8 6974.6 366.1 penawaran sabun
domestik (buah)
HRSBD 4 4 1035.3 29.0504 790.1 188.4
118 
117

117 
 
119 
Lampiran 8. Lanjutan

Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %


Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square Label

PMGSD 4 573.5 11.6782 573.5 11.6782 605.5 12.6718 -1.302 produksi minyak
goreng sawit
domestik (000 ton)
DMGSD 4 57.8821 6.8322 69.2717 8.2185 105.0 12.4141 -.4400 permintaan minyak
goreng sawit
domestik (ton)
SMGSD 4 573.5 20.3181 573.5 20.3181 605.5 22.0164 -6.644 penawaran minyak
goreng sawit
domestik (ton)
118

118 
 
Lampiran 8. Lanjutan

The SAS System

The SIMNLIN Procedure


Dynamic Simultaneous Simulation

Solution Range Th = 2007 To 2010

Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %


Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square Label

HRMGSD 4 -91.5483 -2.2288 94.3365 2.2985 127.1 3.0629 -.5805


HRMSD 4 60.9990 2.8302 60.9990 2.8302 67.8228 3.1523 -2.051 harga riil minyak
sawit domestik
(Rp/ton)
DMSD 4 -580.5 -14.1994 580.5 14.1994 583.8 14.2628 -54.19
PMRD 4 -25.7158 45.7200 89.4838 86.9384 93.6276 101.0 0.3425 produksi margarin
domestik (000 kg)
DMRD 4 5732.7 46.6119 5780.2 46.8563 6753.0 55.9594 -3.734 permintaan margarin
domestik (kg)
SMRD 4 395097 -101.2 395097 101.2 400689 101.2 -35.43 penawaran margarin
domestik (kg)
HRMRD 4 -3135.0 -23.2223 3135.0 23.2223 3195.3 23.4707 -13.95
PSBD 4 -823.2 -12.6694 1158.8 21.7821 1552.9 26.9328 -.6336 produksi sabun
domestik (000 buah)
DSBD 4 -4660.1 -0.4953 13340.9 23.2991 15806.6 24.2377 0.3062 permintaan sabun
domestik (buah)
SSBD 4 151245 -104.9 151245 104.9 152019 104.9 -98.23 penawaran sabun
domestik (buah)
HRSBD 4 -245.2 -23.9315 245.2 23.9315 285.1 28.0872 -127.4
120 
119

119 
 
121 
Lampiran 8. Lanjutan

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions


Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

PMGSD 4 366671 0.88 0.90 0.00 0.10 0.02 0.08 0.1198 0.0567
DMGSD 4 11016.0 0.60 0.30 0.25 0.44 0.03 0.67 0.1181 0.0571
SMGSD 4 366671 0.54 0.90 0.01 0.09 0.00 0.10 0.2088 0.0951
HRMGSD 4 16163.0 0.50 0.52 0.01 0.47 0.09 0.39 0.0315 0.0159
HRMSD 4 4599.9 0.99 0.81 0.19 0.00 0.19 0.00 0.0312 0.0154
DMSD 4 340855 0.60 0.99 0.00 0.01 0.00 0.01 0.1430 0.0770
PMRD 4 8766.1 0.93 0.08 0.73 0.20 0.88 0.05 0.4659 0.2734
DMRD 4 45602432 -0.89 0.72 0.23 0.05 0.15 0.13 0.4607 0.1945
SMRD 4 1.606E11 -0.96 0.97 0.03 0.00 0.03 0.00 1.0113 0.9999
HRMRD 4 10209810 0.91 0.96 0.03 0.01 0.03 0.00 0.2383 0.1351
PSBD 4 2411463 0.02 0.28 0.11 0.61 0.20 0.52 0.3362 0.1873
DSBD 4 2.4985E8 0.89 0.09 0.60 0.31 0.83 0.08 0.2760 0.1479
SSBD 4 2.311E10 -0.16 0.99 0.00 0.01 0.01 0.00 1.0479 0.9997
HRSBD 4 81282.5 0.74 0.74 0.26 0.00 0.23 0.03 0.2753 0.1548

120 
 
Lampiran 8. Lanjutan

The SAS System

The SIMNLIN Procedure


Dynamic Simultaneous Simulation

Solution Range Th = 2007 To 2010

Theil Relative Change Forecast Error Statistics

Relative Change MSE Decomposition Proportions


Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

PMGSD 4 0.0181 0.23 0.86 0.09 0.06 0.01 0.13 1.7020 0.4793
DMGSD 4 0.0106 -0.07 0.31 0.13 0.56 0.20 0.49 1.1220 0.8293
SMGSD 4 0.0546 -0.01 0.86 0.13 0.02 0.05 0.10 3.0516 0.6244
HRMGSD 4 0.00105 0.91 0.53 0.14 0.33 0.25 0.22 0.6745 0.4239
HRMSD 4 0.000963 0.78 0.81 0.03 0.16 0.00 0.19 1.3610 0.6214
DMSD 4 0.0221 0.99 0.98 0.02 0.00 0.02 0.00 2.5197 0.8340
PMRD 4 2.6083 0.79 0.02 0.24 0.74 0.62 0.36 0.6310 0.4077
DMRD 4 0.2431 0.80 0.70 0.23 0.07 0.15 0.14 1.9990 0.6594
SMRD 4 1.3625 -0.92 0.94 0.05 0.01 0.06 0.00 3.7196 0.8798
HRMRD 4 0.0639 0.99 0.99 0.01 0.00 0.01 0.00 2.1855 0.8477
PSBD 4 0.2443 0.70 0.26 0.12 0.62 0.47 0.27 0.8661 0.6305
DSBD 4 0.1493 0.71 0.04 0.01 0.95 0.26 0.70 0.6774 0.4153
SSBD 4 1.1693 -0.77 0.98 0.01 0.01 0.02 0.00 7.1073 0.8998
HRSBD 4 0.0955 -0.98 0.70 0.30 0.00 0.03 0.27 4.3074 0.9832 

 
122
121 

121 
 
 
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Singgih widhosari lahir pada tanggal 9 September 1990

di kota Nabire. Penulis merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara dari

pasangan Tukijan dan Alm. Lestari ningsih. Penulis mulai menjalani pendidikan

formal di Yapis Kaimana, kemudian melanjutkan pendidikan di SD Inpres 109

Sorong dan lulus tahun 2002. Setelah itu melanjutkan pendidikan di SMP Negeri

2 Biak dan lulus tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan

pendidikan ke SMA Negeri 3 Sorong dan lulus tahun 2008.

Pada tahun 2008 penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu

Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB

(USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan

Lingkungan Fakultas Ekonomi Manajemen. Penulis mengambil program minor

Pengelolaan Wisata Alam dan Jasa Lingkungan.

You might also like