Professional Documents
Culture Documents
SIKAP INDONESIA
TERHADAP PENDUDUKAN YAHUDI DI PALESTINA
TAHUN 1917-1967
Abstract
Since setlement of Jewish aprroved by Balfour Declaration in 1917, the Palestinian problem not
only been the concern of the Chalif of Ustmani and the Arabic leader around Baitul-Maqdis. At
the time, many leaders and poeple of Moslem in Indonesian country (yet: Hindia Belanda) gave
attention to this problem as well as other Muslim around the Islamic world. They were involved
with this complicated problem even if in the same situation colonialized for long time by the
Dutch. This colonized situation not be an obstacle for the Indonesian Muslim activists to make
many real actions for standing up with Baitul Maqdis and speaking up the liberation of Palestine
from Jewish occupation.
The aims of this paper are to know: (1) the standpoint of the Indonesian Islamic activist for
Baitul-Maqdis issues? and (2) what they did to make action to deal with this issues? To answer
this questions, I plan to search the otentic historical resourches in the magazines and newspapers
were issued between 1917 to 1948 by the Islamic movement as well as Sarekat Islam (SI),
Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis), and many others. This
resourches will be analized by the historical method to result the naration about what asked
above.
By pre-analysis, the informations that many times Indonesian Islamic activist held the event to
support Baitul-Maqdis were found up in several books and journals. For the instance at July 5th
1937 held the big conference in Surabaya. In this conference, Palestinian Comittee‟s formed. This
comittee‟s chaired by Wondoamiseno from Sarekat Islam (SI). The chairpersons form many
others movement such as KH. Mas Mansur (Muhammadiyah), KH. Abdoel Wachab (NU),
Sayyid Noeh Al-Kaff (Habaib), Oemar Hoebeis (Al-Irsyad). K.H. Kahar Muzakkir (Sarekat
Islam), and others came and gave the speeches for this conference. This event can be first sign for
us to search other fact that will reach this paper‟s questions.
Pendahuluan
Kekalahan Turki Usmani dalam Perang Dunia I (1914-1917) dari Inggris dan
sekutunya telah mengubah peta politik di Timur Tengah. Usmani yang semula menjadi
penguasa atas kawasan ini harus kehilangan banyak wilayah di bawah kekuasaannya di
Tmur Tengah, tidak terkecuali kawasan Baitul Maqdis (Islamicjerussalem). Kawasan ini
sudah sejak lama menjadi incaran Inggris dengan alasan ingin merelokasi orang-orang
Yahudi yang bermasalah di Eropa; walaupun mungkin motif agama dan balas dendam
Perang Salib ada di belakang itu. Akan tetapi, berkali-kali Sultan Abdul Hamid menolak
permintaan Inggris dan komunitas Yahudi untuk membangun pemukiman resmi dan
permanen untuk Yahudi di Baitul Maqdis, walaupun posisi Usmani sudah semakin lemah
saat itu.1 Setelah kalah dalam Perang Dunia I, Usmani tiada kuasa lagi mencegah ketika
1
Muhsin Muhammad Shalih, Dirâsah Manhajiyyah fî Al-Qadhiyyah Al-Filisthîniyyah, (Kuala Lumpur:
Fajar Ulung, 2000) hal. 31
Arthur Balfour mengeluarkan pengumuman bolehnya orang-orang Yahudi membangun
pemukiman di kawasan ini, karena saat itu Baitul Maqdis secara de jure berada di bawah
kekuasaan Inggris. 2 Pemberian Inggris atas wilayah Baitul Maqdis dan beberapa kawasan
di sekitarnya yang kemudian diberi nama Palestina kepada Zionis-Yahudi ini merupakan
bagian dari kesepakatan atas dukungan Zionis internasional terhadap Inggris pada Perang
Dunia I.
Sejak tahun 1917 ini dibuat suatu kesepakatan aneh yang tidak pernah terjadi dalam
sejarah antara Inggris dengan Yahudi. Tepatnya tanggal 2 November 1917, Menteri Luar
Negeri Inggris Arthur Balfour menjanjikan kepada bangsa Yahudi bahwa mereka akan
dibangunkan tanah-air khusus bagi bangsa Yahudi di kawasan yang oleh Inggris dinamai
Palestina. Ini jelas aneh. Bangsa Yahudi tidak pernah menghuni kawasan ini; tidak
pernah juga ikut menaklukkannya, walaupun Yahudi berada di pihak Inggris pada Perang
Dunia I. Tiba-tiba bangsa yang tidak punya hak apa-apa di tanah ini ingin membangun
negaranya di sini. Dari sinilah kezhaliman dimulakan di Baitul Maqdis. Apalagi pada
tanggal 9 Desember 1917 Jendral Allenby berhasil menaklukkan Baitul Maqdis dan
menganggapnya sebagai kemenangan Perang Salib.3
Kejatuhan Baitul-Maqdis ke tangan Inggris ini kemudian secara bertahap diikuti
dengan runtuhnya Kekhalifahan Usmani di Istanbul. Mula-mula Turki Muda berhasil
melemahkan peran Khalifah yang kalah perang hanya sebagai simbol keagamaan. Akan
tetapi kemudian pada bulan Maret 1924, secara resmi institusi kekhalifahan dihapuskan
dan didirikan Negara Turki sekuler sebagai suatu negara bangsa. Dalam banyak riset
disebutkan bahwa keruntuhan Usmani ini lebih disebabkan semakin melemahnya
kekuasaan Khalifah daripada disebabkan karena kekalahan dalam perang. Salah satunya
karena semakin kokohnya gerakan Turki Muda yang berkolaborasi dengan Inggris dan
Zionis Yahudi yang menggerogoti kekuasaan Khalifah.4
Runtuhnya kekhalifahan Usmani menyebabkan situasi di Baitul Maqdis semakin
memburuk. Inggris melepaskan kawasan Baitul-Maqdis secara keseluruhan dari Syria
sesuai dengan kesepakatan dengan Prancis tahun 1916 (Perjanjian Sykes-Picot) dan
membentuk kawasan sendiri setelah kawasan ini ditaklukkan yang dinamakan
“Palestina”.5 Kawasan ini, termasuk Baitul Maqdis di dalamnya, setelah dikuasai Inggris
kemudian diserahkan kepemimpinannya kepada seorang Yahudi bernama Herbert
Samuel antara tahun 1920-1925. Sampai berdirinya Negara Israel pada tahun 1948,
penguasa-penguasa di Palestina yang diangkat Inggris semuanya dalam rangka
memuluskan misi pendirian negara bagi orang-orang Yahudi dan mengusir bangsa Arab-
Baitul Maqdis dari tanah mereka sendiri. 6
Runtuhnya Kekhalifahan Turki Usmani dan jatuhnya salah satu warisan umat Islam
sedunia, yaitu Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis menjadi perhatian tersendiri bagi umat
Islam, bukan hanya di kawasan tetapi juga di seantero dunia Islam, tidak terkecuali di
Indonesia; walaupun antara tahun 1917 sampai 1945, situasi di dalam negeri Indonesia
pun tidak kalah genting. Rakyat Muslim Indonesia tengah menghadapi masa akhir
kolonialisme bangsa Eropa, terutama Belanda yang telah lama mengcengkramkan
2
Ibid. hal. 34
3
Ibid hal. 34
4
Eugene Rogan, The Fall of the Khilafah, (Jakarta: Serambi, 2016) hal. 467
5
Muhsin Muhammad Shalih, Op. Cit. Hal. 50
6
Ibid. hal. 35
kekuasaannya di tanah yang berpendudukan mayoritas Muslim ini. Oleh sebab itu
situasinya kurang lebih sama; sama-sama sedang dijajah. Situasi yang sama-sama sedang
dalam kolonialisme ini tidak menyebabkan umat Islam Indonesia kehilangan sensitivitas
dan kepedulian kepada umat Islam di belahan bumi lain; apalagi menyangkut salah satu
warisan umat Islam, Masjidil-Aqsha yang disucikan.
Kalau memang umat Islam Indonesia juga memberikan perhatian terhadap masalah
Baitul-Maqdis ini, dalam situasi terjajah ini apa yang bisa dilakukan umat Islam
Indonesia? Apa yang mendorong mereka melakukan hal tersebut? Juga bagaimana reaksi
pemerintah Hindia Belanda terhadap aksi-aksi umat Islam Indonesia atas penderitaan
saudara mereka di Baitul-Maqdis? Dengan mengungkap masalah-masalah tersebut
diharapkan para pembaca dapat menemukan jejak sejarah atas sikap rakyat dan para
pemimpin Indonesia terhadap masalah-masalah di Baitul-Maqdis dan Palestina. Kisah ini
juga menjadi dasar historis yang kuat terhadap berbagai sikap luar negeri pemerintah
Indonesia setelah merdeka seperti penolakan pemerintah Indonesia untuk membuka
hubungan diplomatik dengan Israel. Sikap ini merupakan sikap ideologis para pendiri
negara ini yang apabila terjadi perubahan berarti terjadi pengkhianatan atas cita-cita luhur
Kemerdekaan Indonesia.
Muslems Sourabaya 33 organizations hold great meeting for Palestinian problem hoping
mandates comission refuse deviding Palestine.
Palestinian Comittee
WONDOAMISENO
Sourabaya
7
Abdul Fattah Al-Awaisi secara khusus melalukan kajian terhadap perang ini dalam salah satu
publikasinya Idhrâb Filistîn ‗Âm 1936; Dirâsah fi Al-Asbâb (Hebron: Dâr Al-Hasan, 1992).
2. Grand Mufti Yerussalem8
Bila kita merujuk pada berita ini, kita dapat melihat bahwa perhatian terhadap
masalah Baitul-Maqdis di Indonesia sejak awal sudah menjadi urusan elit pemimpin
Indonesia; paling tidak elit pemimpin Muslim. Respon terhadap masalah Baitul-Maqdis
bukan digerakkan oleh para aktivis biasa, melainkan ketua-ketua pergerakan Islam yang
besar-besar dan cukup berpengaruh di Indonesia. Ketua Komite Palestina ini adalah
pengurus pusat Partai Sarekat Islam. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1947, ia
memimpin Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun ini pula ia menduduki
jabatan Menteri Dalam Negeri; kemudian naik jabatan menjadi Wakil Perdana Menteri.
Tokoh-tokoh lain yang ikut terlibat di dalam Komite Palestina inipun merupakan tokoh-
tokoh elit di Indonesia, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.
Karena yang ikut terjun adalah aktivis-aktivis penting, maka ketika membuat petisi,
langsung disampaikan ke pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk mengatasi masalah
ini. Petisi disampaikan langsung ke Liga Bangsa-Bangsa yang diharapkan dapat
mengambil tindakan yang adil terhadap hak-hak rakyat Baitul-Maqdis dengan
mengurungkan peretujuan kepada Inggris yang akan membagi-bagi Palestina menjadi
beberapa kawasan. Surat kawat (telegram) ini juga ditembuskan kepada pemimpin
pergerakan Islam di Baitul Maqdis (Islmic-Jerussalem) Mufti Amin Al-Husaini untuk
menunjukkan bahwa Indonesia bersama mereka dan Kongres Islam untuk
memperlihatkan bagaimana sikap umat Islam di Indonesia. Ini suatu tindakan diplomatik
yang sangat penting dalam masalah Baitul Maqdis.
Bila melihat isi petisi yang disampaikan yang menggunakan kekuatan “umat Islam
yang diwakili 33 gerakan Islam”, secara tidak langsung petisi menunjukkan bahwa alasan
pokok pembelaan kaum Muslim Indonesia terhadap Baitul-Maqdis adalah masalah
agama. Artinya kepedulian umat Islam terhadap Baitul-Maqdis merupakan bagian dari
keyakinan umat Islam bahwa Baitul-Maqdis adalah milik umat Islam sedunia, bukan
milik orang Palestina atau orang Arab semata-mata. Sebab, di sanalah terletak Masjidil-
Aqsha, masjid milik kaum Muslimin seluruh dunia seperti halnya Masjidil-Haram di
Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah.
Apakah setelah aksi ini gerakan-gerakan pembelaan terhadap Baitul-Maqdis cukup
sampai di sana? Rupanya tidak. Para aktivis Islam dari berbagai gerakan kemudian
banyak yang secara khusus meyelenggarakan kegiatan serupa di atas untuk mengingatkan
umat Islam agar peduli kepada Baitul-Maqdis. Salah satu wujud kepedulian umat Islam
adalah dengan membantu secara finansial perjuangan umat Islam di Baitul-Maqdis
melawan Zionis-Yahudi yang disokong sepenuhnya oleh Inggris. Pada berita yang
dilansir oleh Al-Lisaan di atas tidak diceritakan ada penggalangan dana. Namun, pada
koran lain yang terbit di Jawa Barat, yaitu Berita Priangan dikutip berita singkat sebagai
berikut.
8
Berita pembentukan Komite Palestina dan Rapat Akbar di Gedung Al-Irsyad Surabaya ini diperoleh dari
laporan majalah Al-Lisaan, 20 Juli 1937; majalah ini sendiri merupakan terbitan berkala dari perkumpulan
Persatuan Islam yang berpusat di Bandung.
Berdasarkan berita ini, saat itu umat Islam pun sudah memikirkan membantu
perjuangan saudara-saudara mereka di Baitul Maqdis. Hanya saja, penulis belum
mendapatkan informasi bagaimana dana-dana yang dikumpulkan saat itu bisa sampai ke
para aktivis di Baitul-Maqdis. Akan tetapi, kalau melihat perhatian Mufti Baitul-Maqdis
Amin Al-Husaini terhadap Indonesia pada saat awal kemerdekaan Indonesia,
kemungkinan besar dukungan dan partisipasi umat Islam Indonesia sampai juga ke sana.
Bila yang diberitakan dalam majalah Al-Lisan terlihat lebih menonjolkan peran
gerakan Islam yang tergolong modernis, maka sumber berikutnya akan menunjukkan
bahwa di kalangan tradisionalis yang diwakili oleh Nahdhatul Ulama (NU) pun sikap
terhadap masalah Baitul-Maqdis adalah sama. NU melihat bahwa apa yang dilakukan
oleh umat Islam di Baitul-Maqdis merupakan perjuangan melawan penjajahan yang patut
didukung oleh umat Islam seluruh dunia termasuk Indonesia. Perjuangan rakyat Palestina
bahkan dijadikan sebagai teladan dan ruh perjuangan bagi umat Islam di Indonesia yang
juga sedang sama-sama menghadapi penjajahan bangsa asing Belanda. Dikatakan dalam
Berita Nahdlatul-Oelama (BNO) sebagai berikut.
Orang mengatakan bahwa Oem. Islam sekarang sudah roesak lahir bathinnja,
soenggoehpoen oetjapan iteo ada djoega benarnja, bilamana kita bertjermin pada riwajat dan
tarichnja oemat Islam bahari, aken tetapi perdjoangan Oem. Islam Falasthina, memberikan
pengertian dan pengharepan pada kita, bahwa Oem. Islam sesoenggoehnya tiada mati, roeh
Islam sesoenggoehnja masih besar fi‘ilnya.
Oem. Islam Falasthina, soedah hampir seperempat abad melawan Inggris, seboeah
keradjaan jg. maha besar diatas doenia ini. Seperempat abad Oem. Islam itoe berdjoeang,
kadang-kadang berhenti sebentar sekadar mengasoeh dan menghimpoenkan kekuatannja
poela jg. loempoeh beradu dengan besi dan api....10
Dalam tulisan redaksi BNO di atas tersirat bahwa masalah Baitul-Maqdis menjadi
perhatian disebabkan karena mereka adalah umat Islam. Persaudaraan seiman inilah yang
menyebabkan nasib rakyat Baitul-Maqdis harus diperhatikan. Karena alasan inilah
kemudian BNO menganjurkan supaya umat Islam di Indonesia ikut membantu
perjuangan mereka, terutama dengan dana. BNO sekaligus mengumumkan bahwa Hoofd
Bestuur (Pengurus Besar) Nahdhatoel Oelama siap menerima titipan bantuan dari kaum
Muslimin di Indonesia untuk diteruskan kepada para pejuang di Baitul-Maqdis.
Dalam keterangan di atas, jelas kalangan tradisionalis pun sikapnya sama seperti
kalangan modernis yang menganggap masalah di Baitul-Maqdis ini adalah masalah umat
9
Berita Priangan No. 214; Jumat, 22 September 1939
10
Berita Nahdlatoel-‗Oelama; No. 21, 6 Redjeb 1357/1 September 1938; hal. 1
11
Ibid. hal. 1
Islam seluruh dunia. Alasan pertama karena sesama Muslim adalah saudara. Alasan
kedua karena di Baitul Maqdis ini terdapat kiblat pertama umat Islam, yaitu Masjidil-
Aqsha. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila para aktivis gerakan Islam terkemuka
di Indonesia sama-sama berlomba-lomba memberikan perhatian terhadap nasib dan
pejuangan umat Islam di Baitul-Maqdis, baik dengan menyatakan sikap kepada pihak-
pihak yang berkompeten maupun menggalang dana untuk disampaikan kepada saudara
mereka di Baitul Maqdis.
Sampai kini keriboetan di Palestina itoe roepanja beloem lagi padam benar....Apa
gerangan sebabnja? Kalau orang boeka tambo Palestina, njatalah bahwa sedjak dahoeloe
Palestina itu ta‘ poetoes diroendoeng bahaja, oleh peperangan, oleh gempa boemi dll. Akan
tetapi sekarang ini lebih memiloekan lagi, sebab pendeodoek negeri mengangkat sendjata
tidak memerangi pihak lain, melainkan berperang-perangan antara sendirinja, antara
saudara dan saudara.
Apakah gerangan awal moelanja? Perkara agama! Pembatja ma‘loem bahwa Palestina
itu ada dua roepa pendoedoeknja, Arab dan Jahoedi, jang berlain-lainan agamanja. Iboe
negeri Palestina itu Jeruzalem namanja. Disitoe ada tempat jang dipandang soetji oleh
keduanja; ja‘ni Masdjid Al-Aksa, jang masjhur itoe, dipandang soetji oleh pendoedoek Arab-
Islam; dan disisi mesdjid itoe ada tempat jang disebut ―tembok ratap‖ jang ta‘ koerang
masjhoernja, dipandang soetji oleh pihak Jahoedi.
Pemimpin pendoedoek Jahoedi ingin leloeasa tida tergangoe-ganggoe, mendjalankan
agamanja ditembok ratap itoe. Oleh sebab itoe, ia minta kepada pembesar Inggris supaja
diadakan peratoeran boeat mengawasi tembok ratap itoe dengan gedoeng-gedoeng jang
berbatasan dengan dia.
Perboeatan ini oleh pemimpin Arab dirasa berlebih-lebihan dan meroegikan pihaknja.
Karena ternjata pihak Arab salah paham, maka oleh pemoeka Jahoedi segera diterangkan,
bahwa ia hanja ingin leloeasa mendjalankan agamanja sadja, sebagai telah berlakoe
berabad-abad lamanja....12
Sejak awal hingga akhir tulisan ini mengarahkan pembaca untuk melihat konflik di
Baitul-Maqdis sebagai konflik internal antar-penduduk Palestina yang beragama Islam
dan Yahudi. Tulisan ini terasa sekali mengarahkan pembaca untuk tidak melihat akar
masalah pencaplokan Inggris terhadap kawasan ini dan setlement Yahudi secara paksa.
Bahkan data-data yang diturunkan pun banyak yang tidak valid seperti keterangan bahwa
12
Pandji Peostaka; No. 81, 1 Oktober 1929.
tembok ratapan sudah digunakan orang Yahudi selama berabad-abad. Ini jelas fakta
menyesatkan, karena tembok ini baru dibuat oleh orang Yahudi ketika Inggris berkuasa
di kawasan ini. Selain itu, banyak pula fakta-fakta lain yang dipaksa-paksakan seolah-
olah memang akar masalahnya semata-mata masalah kesalahpahaman masalah tempat
ibadah.
Kutipan dari Pandji Poestaka di atas sebetulnya mewakili pandangan umumnya
kalangan sekuler dan non-Islam terhadap masalah Baitul-Maqdis. Mereka berusaha untuk
tidak mengaitkannya dengan masalah kemanusiaan, penjajahan, dan semisalnya agar
mereka tidak harus ikut berpartisipasi dalam konflik ini sekalipun kadang-kadang mereka
beragama Islam. Konflik ini direduksi menjadi konflik sektarian yang tidak perlu terlalu
diributkan, walaupun faktanya hak-hak penduduk Baitul-Maqdis dirampas tanpa rasa
kemanusiaan oleh penjajah Yahudi yang dibeking sepenuhnya oleh Inggris. Beruntung
pandangan ini nantinya tidak menjadi kebijakan politik luar negeri Indonesia setelah
merdeka terhadap masalah di Baitul-Maqdis. Sebab, pada awal Republik ini berdiri, yang
banyak menentukan kebijakan luar negeri Indonesia adalah para pemimpin dari kalangan
Islam yang sikapnya sangat tegas dalam membela hak-hak warga Baitul-Maqdis.
Kesimpulan
Kebijakan luar negeri Indonesia berkait masalah Palestina hingga saat ini masih
menunjukkan semangat yang sama seperti pada awal mulanya sebelum Indonesia
merdeka. Negara Republik Indonesia secara resmi menolak hubungan diplomatik dengan
Israel sebagai isyarat bahwa Indonesia tidak mau mengakui keberadaan Israel dan
menganggapnya sebagai negara penjajah ilegal yang merampas hak warga Baitul-
Maqdis. Untuk menguatkan sikap ini, sebaliknya Indonesia mengizinkan Palestina
membuka kedutaannya di Jakarta. Walaupun hubungan diplomatik langsung Indonesia-
Palestina belum bisa memberikan kontribusi berarti bagi kemajuan kemerdekaan Baitul-
Maqdis dari Israel, namun hal ini telah menunjukkan pada posisi mana Indonesia berada.
Indonesia berada di pihak rakyat Palestina. Terkahir dalam pertemuan pemimpin dunia di
Bali tahun 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara khusus mengagendakan
pembahasan masalah Palestina dan menyampaikan dukungan Indonesia atas
kemerdekaan Palestina. 13
Sikap seperti ini bila ditarik akarnya ke belakang merupakan kelanjutan dari sikap
para aktivis dan pemimpin Islam di Indonesia sejak paruh pertama abad ke-20. Para
pemimpin dan aktivis Islam sejak awal mengecam tindakan Inggris dan Yahudi di
kawasan Baitul-Maqdis. Tindakan itu dikategorikan sebagai bentuk penjajahan
(kolonialisme). Semangat perlawanan terhadap kolonialisme inilah yang menjadikan para
pemimpin Indonesia tidak ragu untuk turut membela perjuangan rakyat Palestina. Mereka
mewujudkan dukungannya ini dengan berbagai cara. Pertama, para aktivis dan pemimpin
Indonesia ini berusaha terus menyampaikan kepada masyarakat Indonesia tentang kondisi
rakyat Palestina yang terjajah, baik melalui rapat-rapat akbar, pengajian-pengaian,
maupun melalui media masa. Kedua, para aktivis ini melalui organisasinya masing-
masing berusaha mengumpulkan bantuan dana untuk mendukung perjuangan rakyat
Palestina. Walaupun ada saja dari kalangan sekuler yang menganggap masalah di Baitul-
Maqdis ini sebagai konflik antar-penduduk Palestina Arab dan Yahudi yang tidak ada
sangkut pautnya dengan rakyat Indonesia, namun pandangan ini tidak memengaruhi
13
http://www.viva.co.id/berita/dunia/532885-di-bali-sekjen-pbb-dan-sby-bahas-masalah-israel-palestina
kebijakan resmi pemerintah yang tetap ikut memberikan perhatian terhadap masalah
Palestina ini hingga saat ini.
Salah satu bentuk perhatian serius pemerintah terlihat saat digelar Muktamar
Internasional tentang Baitul Maqdis yang pertama pada tahun 1953 di Baitul-Maqdis
(Jerussalem).14 Pemerintah Indonesia secara resmi mengutus menteri luar negerinya saat
itu, yaitu Ahmad Subardjo, bersama dengan Sirajuddin Abbas, M. Rasjidi, dan Abdul
Mukti Ali. 15 Dalam Muktamar ini Indonesia menyetujui dibuat Majelis Umum Muktamar
yang akan berkumpul di Baitul Maqdis setiap enam bulan untuk mengevaluasi
pencapaian muktamar. Dari Indonesia diusulkan dua nama tokoh yang sangat penting,
yaitu Mohammad Nasir (mantan Perdana Menteri Indonesia) dan Ahmad Dahlan
(menteri agama saat itu).16
Walaupun dalam perkembangannya kalangan aktivis Islam setelah tahun 1960-an
semakin dipinggirkan peran politiknya di Indonesia, namun konstitusi Indonesia yang
secara tegas menolak segala bentuk penjajahan di seluruh dunia telah memaksa kebijakan
politik luar negeri Indonesia untuk mengutuk penjajahan Israel terhadap Baitul-Maqdis.
Ini merupakan sikap dan kebijakan dasar negara, walupun pelaksanaannya naik turun
bergantung kepada siapa yang berkuasa di negeri ini. Penguasa yang dekat dengan
kalangan aktivis Islam akan memberikan perhatian lebih besar dibandingkan penguasa-
penguasa yang sekuler.
14
Informasi mengenai Muktamar ini secara detail telah diteliti oleh Abdul Fattah Al-Awaisi dan
dipublikasikan pada tahun 1989 di Baitul-Maqdis dengan judul Al-Mu‘tamar Al-Islâmy Al-‗Âm Baitul
Maqdis 1953 wa 1962. Buku ini dituliskan oleh Al-Awaisi untuk membuktikan bahwa masalah Baitul-
Maqdis ini sejak awal meupakan masalah umat Islam seluruh dunia.
15
Abdul Fatah Al-Awaisi. Al-Mu‘tamar Al-Islâmy Al-‗Âm Baitul Maqdis 1953 wa 1962. (Baitul-Maqdis,
1989) hal. 51
16
Ibid. hal. 70; di Indonesia terdapat nama Ahmad Dahlan yang masyhur sebagai pendiri Muhammadiyah,
namun beliau sudah meninggal tahun 1923. Ahmad Dahlan yang dimaksud di atas adalah tokoh Nahdhatul
Ulama yang sempat menjadi menteri agama pada era Presiden Sukarno.
(PANEL I)
Pendahuluan
Kekalahan Turki Usmani dalam Perang Dunia I (1914-1917) dari Inggris dan
sekutunya telah mengubah peta politik di Timur Tengah. Usmani yang semula menjadi
penguasa atas kawasan ini harus kehilangan banyak wilayah di bawah kekuasaannya di
Tmur Tengah, tidak terkecuali kawasan Baitul Maqdis (Islamicjerussalem). Kawasan ini
sudah sejak lama menjadi incaran Inggris dengan alasan ingin merelokasi orang-orang
Yahudi yang bermasalah di Eropa; walaupun mungkin motif agama dan balas dendam
Perang Salib ada di belakang itu. Akan tetapi, berkali-kali Sultan Abdul Hamid menolak
permintaan Inggris dan komunitas Yahudi untuk membangun pemukiman resmi dan
permanen untuk Yahudi di Baitul Maqdis, walaupun posisi Usmani sudah semakin lemah
saat itu. (Sholih, 2000: 31). Setelah kalah dalam Perang Dunia I, Usmani tiada kuasa lagi
mencegah ketika Arthur Balfour mengeluarkan pengumuman bolehnya orang-orang
Yahudi membangun pemukiman di kawasan ini, karena saat itu Baitul Maqdis secara de
jure berada di bawah kekuasaan Inggris. (Sholih, 2000: 34). Pemberian Inggris atas
wilayah Baitul Maqdis dan beberapa kawasan di sekitarnya yang kemudian diberi nama
Palestina kepada Zionis-Yahudi ini merupakan bagian dari kesepakatan atas dukungan
Zionis internasional terhadap Inggris pada Perang Dunia I.
Sejak tahun 1917 ini dibuat suatu kesepakatan aneh yang tidak pernah terjadi dalam
sejarah antara Inggris dengan Yahudi. Tepatnya tanggal 2 November 1917, Menteri Luar
Negeri Inggris Arthur Balfour menjanjikan kepada bangsa Yahudi bahwa mereka akan
dibangunkan tanah-air khusus bagi bangsa Yahudi di kawasan yang oleh Inggris dinamai
Palestina. Ini jelas aneh. Bangsa Yahudi tidak pernah menghuni kawasan ini; tidak
pernah juga ikut menaklukkannya, walaupun Yahudi berada di pihak Inggris pada Perang
Dunia I. Tiba-tiba bangsa yang tidak punya hak apa-apa di tanah ini ingin membangun
negaranya di sini. Dari sinilah kezhaliman dimulakan di Baitul Maqdis. Apalagi pada
tanggal 9 Desember 1917 Jendral Allenby berhasil menaklukkan Baitul Maqdis dan
menganggapnya sebagai kemenangan Perang Salib. (Sholih, 2000: 34)
Kejatuhan Baitul-Maqdis ke tangan Inggris ini kemudian secara bertahap diikuti
dengan runtuhnya Kekhalifahan Usmani di Istanbul. Mula-mula Turki Muda berhasil
melemahkan peran Khalifah yang kalah perang hanya sebagai simbol keagamaan. Akan
tetapi kemudian pada bulan Maret 1924, secara resmi institusi kekhalifahan dihapuskan
dan didirikan Negara Turki sekuler sebagai suatu negara bangsa. Dalam banyak riset
disebutkan bahwa keruntuhan Usmani ini lebih disebabkan semakin melemahnya
kekuasaan Khalifah daripada disebabkan karena kekalahan dalam perang. Salah satunya
karena semakin kokohnya gerakan Turki Muda yang berkolaborasi dengan Inggris dan
Zionis Yahudi yang menggerogoti kekuasaan Khalifah. (Rogan, 2016: 467)
Runtuhnya kekhalifahan Usmani menyebabkan situasi di Baitul Maqdis semakin
memburuk. Inggris melepaskan kawasan Baitul-Maqdis secara keseluruhan dari Syria
sesuai dengan kesepakatan dengan Prancis tahun 1916 (Perjanjian Sykes-Picot) dan
membentuk kawasan sendiri setelah kawasan ini ditaklukkan yang dinamakan
“Palestina” (Sholih, 2000: 50). Kawasan ini, termasuk Baitul Maqdis di dalamnya,
setelah dikuasai Inggris kemudian diserahkan kepemimpinannya kepada seorang Yahudi
bernama Herbert Samuel antara tahun 1920-1925. Sampai berdirinya Negara Israel pada
tahun 1948, penguasa-penguasa di Palestina yang diangkat Inggris semuanya dalam
rangka memuluskan misi pendirian negara bagi orang-orang Yahudi dan mengusir bangsa
Arab-Baitul Maqdis dari tanah mereka sendiri (Sholih, 2000: 35).
Runtuhnya Kekhalifahan Turki Usmani dan jatuhnya salah satu warisan umat Islam
sedunia, yaitu Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis menjadi perhatian tersendiri bagi umat
Islam, bukan hanya di kawasan tetapi juga di seantero dunia Islam, tidak terkecuali di
Indonesia; walaupun antara tahun 1917 sampai 1945, situasi di dalam negeri Indonesia
pun tidak kalah genting. Rakyat Muslim Indonesia tengah menghadapi masa akhir
kolonialisme bangsa Eropa, terutama Belanda yang telah lama mengcengkramkan
kekuasaannya di tanah yang berpenduduk mayoritas Muslim ini. Oleh sebab itu,
situasinya kurang lebih sama; sama-sama sedang dijajah. Situasi yang sama-sama sedang
dalam kolonialisme ini tidak menyebabkan umat Islam Indonesia kehilangan sensitivitas
dan kepedulian kepada umat Islam di belahan bumi lain; apalagi menyangkut salah satu
warisan umat Islam, Masjidil-Aqsha yang disucikan.
Kalau memang umat Islam Indonesia juga memberikan perhatian terhadap masalah
Baitul-Maqdis ini, dalam situasi terjajah ini apa yang bisa dilakukan umat Islam
Indonesia? Tulisan besar berseri pada beberapa artikel panel akan secara umum
membahas pertanyaan tersebut yang diharapkan dapat ditemukan bentuk-bentuk
perhatian yang diberikan oleh umat Islam Indonesia terhadap masalah di Baitul Maqdis
tersebut. Sementara artikel ini berfokus pada pertanyaan: apa yang melatarbelakangi
munculnya kepedulian umat Islam terhadap masalah Baitul Maqdis, padahal situasi
Indonesia sendiri sedang tidak menentu? Jawaban atas permasalah ini berusaha untuk
mengungkap latar belakang historis yang terekam atas hubungan umat Islam di Indonesia
dengan umat Islam di kawasan lainnya di berbagai belahan dunia, terutama dengan pusat-
pusat kekuasaan Islam.
Bibit-Bibit Pan-Islamisme
Dinasti Usmani di Turki memiliki hubungan dan pengaruh kuat dalam
hubungannya dengan sejarah Indonesia. Salah satu sebabnya adalah tumbuhnya dinasti
ini bersamaan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di kawasan Indonesia sejak
Samudera Pasai di Aceh hingga Mataram di Jawa. Sebagai kerajaan yang tumbuh
menjadi imperium adi daya di dunia, terutama setelah berhasil merebut ibu kota
Byzantium Konstantinopel tahun 1453, keberadaan Turki Usmani tentu sangat penting
bagi kerajaan-kerajaan yang baru tumbuh, termasuk kerajaan-kerajaan di Sumatera, Jawa,
dan kawasan lain di wilayah kepulauan Nusantara.
Walaupun belum terbilang massif, tetapi sudah banyak riset-riset dilakukan untuk
mengungkap hubungan Usmani-Nusantara pada masa lalu. Penemuan dalam riset-riset
tersebut sangat bermakna untuk memahami bagaimana hubungan Usmani-Nusantara
yang pasti akan ada pengaruhnya juga terhadapi dinamika sejarah di Indonesia. Apalagi,
Usmani yang sejak tahun 1517 mendeklarasikan diri sebagai Khilafah Islamiyyah atau
imperium terbesar Islam. Walaupun tidak terdapat catatan pasti bahwa kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara menjadi bagian langsung dari kekhalifahan ini, tetapi pasti akan
sangat dibutuhkan perlindungan untuk kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara yang baru
tumbuh demi kepentingan internasionalnya. Salah satu contoh soal ibadah haji ke Mekah.
Setelah menaklukkan Dinasti Mamluk tahun 1516 dalam Perang Marj Dabiq, Hijaz yang
semula dikuasi Mamluk pindah tangan di bawah control Usmani. Tentu saja, setelah
masa itu masalah ibadah haji harus berhubungan dengan penguasa Usmani. Belum lagi
masalah ekonomi yang penguasa utamanya di dunia saat itu adalah Usmani.
Berdasarkan laporan Tome Pires, Lombard menyimpulkan bahwa telah ada
hubungan yang cukup intensif antara Aceh dengan Turki (Rum). Selama abad ke-16 dan
ke-17 terjadi pertukaran, baik dagang maupun diplomatik dan budaya, antara Istanbul dan
Aceh. Sultan Turki itu dalam pandangan para Sultan Aceh selalu bisa menjadi sekutu
meskipun jauh untuk melawan bangsa Portugis dan Belanda. Utusan Aceh yang pertama
di Konstantinopel, yang jejaknya dapat ditelusuri, ialah yang pada tahun 1562 dikirim
oleh Ala ad-Din Ri‟ayat Syah Al-Kahhar. Selain itu, di dalam Hikayat Aceh termuat
cerita panjang lebar tentang penyambutan utusan Turki oleh Iskandar Muda. Selain untuk
kepentingan perdagangan, juga ada kepentingan diplomatik dalam hubungan ini.
(Lombard, 2006: 169-170).
Hubungan diplomatik dengan Usmani ini dinilai oleh Reid sebagai hubungan
vassalage walaupun sifatnya sangat lemah. Hubungan yang dianggap sebagai vassalage
ini kemungkinan disebabkan adanya upeti yang dikirimkan kepada Sultan Turki oleh
Raja Aceh dan kemudian Sultan Turki menghadiahi Aceh berupa ahli pembuat senjata,
meriam, dan prajurit Turki sebagai imbalannya. Hal ini semacam penerimaan Sultan
Turki atas pengakuan Raja Aceh atas kepemimpinan Sultan Turki bagi mereka. Hanya
saja, hubungan ini hanya bertahan sebentar semasa Ala ad-Din Ri‟ayat Syah Al-Kahhar
saat menghadapi serangan Portugis. (Reid, 2011: 225). Oleh sebab itu, Reid menganggap
ini bukan merupakan indikasi vassalage yang sesungguhnya, hanya semacam penguat
persahabatan dan diplomatik biasa seperti yang disimpulkan Lombard.
Selain dengan Aceh, Turki Usmani juga memiliki hubungan yang cukup intensif
dengan raja-raja di Jawa. Ketika Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, didirikan oleh
para penyiar Islam yang masyhur dikenal sebagai Walisongo, eksistensi kekuasaannya
perlu diperkuat. Oleh sebab itu, Demak berusaha juga memperkuat eksistensinya dengan
membangun aliansi dengan Usmani. Beberapa sumber yang ditelusuri oleh Kasori (2020)
dalam disertasinya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk membuktikan hubungan
Demak-Usmani menunjukkan bahwa terdapat hubungan diplomatik, kebudayaan, dan
perdagangan di antara kedua kerajaan ini, sekalipun tidak ditemukan bukti bahwa Demak
menjadi vassal dari Turki Usmani. (Kasori, 2020: 307).
Hubungan dengan Turki setelah itu begitu membekas bagi masyarakat Indonesia,
baik secara struktural maupun kultural. Dalam berbagai literatur tradisional nama Turki
amat dikenal dengan istilah negeri “Rum”. Nama ini dikaitkan dengan Turki Islam, bukan
dengan Romawi Kristen. (Carey, 2007: 153). Saking lekatnya Rum (Turki Usmani)
dalam memori kolektif masyarakat Indonesia, banyak hal dari Usmani yang ditiru oleh
orang-orang di Indonesia. Pangeran Diponegoro, misalnya, sengaja meniru nama Sultan
Abdul Hamid I dari Usmani untuk menjadi nama gelarnya Pangeran Ngabdulkamit. Ia
juga menggunakan nama-nama pasukan tentara Usmani untuk menamai kelompok
pasukan tentara-tentara pendukungnya seperti nama “Bulkio”, “Turkio”, dan “Arkio”
yang masing-masing berasal dari Boluki, Oturaki, dan Arkia Jenissary. Nama
kepangkatan pun diambil dari nama kepangkatan Usmani seperti Basah dan Ali Basah
yang diambil dari pangkat tertinggi tentara turki Ali Pasha dan Pasha. (Carey, 2007: 152).
Reid menyebut bahwa perkenalan dan hubungan kaum Muslim dengan Turki dan
kerajaan-kerajaan lain di Timur Tengah telah memperkuat identitas ke-Islaman
masyarakat Nusantara. Pada mulanya, hubungan itu bersifat biasa saja dan kultural. Akan
tetapi, dipicu oleh kedatangan Portugis yang pendekatan kolonialismenya tidak
menyenangkan dengan melakukan serangan-serangan militer secara langsung, raja-raja
Muslim di Asia Tenggara berusaha mencari mitra-kuat sebagai pelindung. Keberhasilan
Usmani menaklukkan Konstantinpel ibu kota Byzantium dan keberhasilannya
mengalahkan dominasi Mamluk telah memberikan kepercayaan kepada raja-raja
Nusantara untuk meminta bantuan kepada penguasa Usmani. Setelah Usmani
memberikan bantuan kepada Raja Aceh, Raja Demak, dan berhasil mengusir Portugis,
maka Usmani menjadi legenda bagi masyarakat Muslim di Nusantara. Masyarakat
Muslim Nusantara merasa sebagai bagian dari kaum Muslim sedunia melalui pengakuan
atas kehebatan Usmani. (Reid, 2011: 224).
Sekalipun, hubungan dengan Usmani menjadi dingin semenjak perginya Portugis,
namun keberadaan dan kehebatan Usmani telah menjadi legenda di kalangan masyarakat
Muslim Nusantara. Nama “Rum” yang dikenal dalam naskah-naskah tradisional melekat
kuat dalam ingatan masyarakat Muslim di Nusantara. Masyarakat Muslim Nusantara
masih tetap merasa dekat dan menjadi bagian dari kekuasaan Kekhalifahan Usmani ini.
Pada gilirannya identitas ini menjadi alat penentu bagi bangkitnya semangat perlawanan
terhadap kolonialisme Belanda. Hal ini setidaknya ditunjukkan oleh sikap Raja Aceh
yang mengirim delegasinya ke Istanbul pada tahun 1851 dan 1873. Tujuan delegasi ini
adalah meminta bantuan dan perlindungan dari Turki Usmani untuk Aceh yang tengah
diancam oleh kekuatan Hindia-Belanda (Goksoy dalam Feener, 2011: 61). Sekalipun
pada masa ini tidak jelas bantuan yang diberikan Usmani karena situasi Usmani sendiri
yang pada masa itu sudah semakin lemah, namun kesadaran akan keberadaan Usmani
sebagai kesultanan paling kuat di dunia Islam telah meneguhkan akan adanya
“kesadaran” bahwa umat Islam di Nusantara adalah bagian tidak terpisahkan dari umat
Islam seluruh dunia. Inilah dasar adanya “pan-Islamisme” (persatuan kaum Muslim
seluruh dunia) di tubuh umat Islam Indonesia.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang sudah diulas di atas, pertanyaan: apa yang
mendorong umat Islam memberikan perhatian kepada masalah-masalah Palestina yang
tidak secara langsung berkaitan dengan masalah bangsa Indonesia, dapat dijawab sebagai
berikut. Pertama, Islam adalah agama universal yang menyebar ke seluruh belahan dunia
sehingga para penganut Islam ini secara tidak langsung membentuk identitas bersama
sebagai “umat Islam.” Kedua, pembentukan konsepsi umat bagi masyarakat Muslim di
Indonesia dikuatkan dengan hubungan-hubungan komunitas Muslim Nusantara dengan
umat Islam di berbagai belahan dunia di pusat-pusat pertumbuhannya, baik secara politik,
ekonomi, maupun kultural. Hubungan ini telah menguatkan tumbuhnya identitas ke-
Islaman orang-orang yang beragama Islam di Nusantara. Ketiga, pada awal abad ke-20
muncul gagasan pan-Islamisme yang secara langsung ditujukan untuk menghadang
kolonialisme di berbagai belahan dunia Islam. Gagasan ini langsung mendapat sambutan
dari para aktivis Islam di Indonesia karena situasi Indonesia yang sama-sama tengah
dijajah oleh kekuatan kolonial Eropa (Belanda). Keempat, pan-Islamisme semakin
mempertajam sikap dan gerakan anti-kolonial yang menjadi dasar bagi lahirnya
nasionalisme Indonesia. Kelima, pan-Islamisme ini juga menguatkan solidaritas
keumatan universal sehingga masalah Palestina yang dicaplok oleh Inggris untuk Yahudi
menjadi salah satu perhatian penting umat Islam Indonesia yang sekaligus berfungsi
untuk menguatkan nasionalisme Indonesia. Artinya, ada hubungan resiprokal antara
perhatian umat Islam Indonesia terhadap nasib bangsa Palestina dengan menguatnya
semangat anti-kolonialisme di Indonesia. Semakin bangsa Indonesia mendukung posisi
Palestina, maka semakin kuat perasaan anti-kolonila Belanda di Indonesia yang menjadi
dasar bagi lahirnya nasionalisme Indonesia.
Referensi
Lombard, Denys. 2006. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan Ecole Francaise
d‟Extreme-Orient
Kasori. 2020. Di Bawah Panji Estergon: Hubungan Kekhalifahan Turki Usmani dengan
Kesultanan Demak pada Abad XV-XVI M. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
(Disertasi).
Reid, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatra; Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Djamhari, Saleh As‟ad. 2004. Strategi Menjinakkan Diponegoro. Depok: Komunitas
Bambu
Pandawa, Nicko. 2021. Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda; Riwayat Pan-
Islamisme dari Istanbul sampai Batavia 1882-1928. Bogor: Komunitas
Literasi Islam
Shalih, Muhsin Muhammad. 2000. Dirâsah Manhajiyyah fî Al-Qadhiyyah Al-
Filisthîniyyah. Kuala Lumpur: Fajar Ulung
Rogan, Eugene. 2016. The Fall of the Khilafah. Jakarta: Serambi
Carey, Peter. 2007. The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and the End of an Old
Order in Java 1785-1855. Leiden: KITLV Press
Feener, R. Michael et. All (ed.). 2011. Memetakan Masa Lalu Aceh. Jakarta: KITLV-
Jakarta
Douwes, Dick dan Nico Kaptein. 1997. Indonesia dan Haji. Jakarta: Indonesia-
Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS)
Azra, Azyumardi. 2008. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII; Akar Pembaharuan Islam Indonesia. Jakarta: Prenada Media
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES
Abu Syauk, Ahmad Ibrahim. 2000. Târikh Harakah Al-Ishlah wa Al-Irsyad wa Syaikh
Al-Irsyâdiyyîn Ahmad Muhammad Al-Surkatî fî Indûnisiyâ. Kuala Lumpur:
Darul Fajr dan Research Center IIU Malaysia.
Hamka. 2008. Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia. Jakarta:
Tintamas
Ali, A. Mukti. 1992. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah. Jakarta: Penerbit
Djambatan
(PANEL II)
SOLIDARITAS INDONESIA UNTUK PALESTINA (1917-1967)
Beggy Rizkiyansyah
Solidaritas umat Islam di Indonesia kepada umat Islam di Palestina bukanlah
barang baru belakangan ini. Itu sebabnya para founding fathers Indonesia, terutama
tokoh-tokoh Islamnya berulangkali menaruh perhatian terhadap nasib umat Islam di
Palestina. Beragam insiden yang terjadi di Palestina coba disuarakan para tokoh-tokoh
ini. Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang terjadi di sana setidaknya coba
digaungkan oleh para tokoh Islam melalui tulisan-tulisan mereka di media massa lokal,
aksi-aksi protes bahkan terlibat langsung dalam perjuangan Palestina di Timur Tengah.
Gilang Al Ghifari Lukman (2021:10) berpendapat bahwa kesadaran terhadap nasib
Palestina sebagai persoalan politik mulai timbul di Indonesia sejak terjadinya Perlawanan
al-Buraq (Ṯaurat al-Burāq). Persoalan ini berawal dari tindakan kelompok Yahudi di
Palestina yang hendak menguasai satu area suci di sebelah Barat Masjidil Aqsha yang
dikenal oleh orang Barat sebagai tembok ratapan. Kaum Yahudi sendiri menyebutnya
„Kotel Moravi‟, sedangkan umat Islam menyebutnya sebagai al-Buraq al-Sharif.
Tempat ini dianggap suci baik oleh umat Islam dan Yahudi di Palestina.
Kedatangan kaum zionis Yahudi ke Palestina bukan saja mendatangkan gelombang
imigran Yahudi, tetapi mereka juga mengklaim memiliki wilayah tersebut. Konflik antar
umat Islam dan Yahudi pecah pada 23 Agustus 1928 dan keesokan harinya meluas ke
seluruh wilayah Palestina. (Jbara, 1985: 87)
Aksi protes terhadap insiden ini turut mendorong solidaritas umat Islam di
Indonesia. Pada 26 Oktober 1929, sekelompok umat Islam di Jawa Timur melakukan aksi
solidatiras untuk umat Islam di Palestina. Gaung protes ini sampai ke Palestina ketika
pers Palestina, Sawt al-Sah‘b mengangkat berita solidaritas Indonesia untuk Palestina
yang berjudul ʿAṭf ʾIndūnīsiyā ʿalā Filasṭin. Artikel itu melaporkan telah dibentuknya
sebuah komite untuk menekan pemerintah Inggris agar mengambil langkah atas serangan
orang-orang Yahudi terhadap Masjidil-Aqsha. Komite ini dibentuk oleh muslim
keturunan Arab di Jawa Timur. (Lukman, 2021: 10-11)
Aksi solidartias pada masa itu bukan hanya terjadi di tanah air, tetapi juga oleh
orang-orang Indonesia di Timur Tengah. Surat kabar Al-Jamia al-Arabiyya pada 30
Oktober 1930 menaikkan artikel berjudul ―Yaum Filasṭīn Fī Indūnīsiyā‖ (Hari Palestina
di Indonesia). Artikel itu memberitakan perkumpulan pelajar Indonesia di Mesir yang
mengingatkan bahwa persoalan adalah tanggung jawab setiap Muslim, bukan sekedar
bangsa Arab. Mereka juga mengajak untuk mengumpulkan dana dan dukungan
intelektual kepada Palestina dan mengusulkan peringatan hari Isra Mi‟raj sebagai “Hari
Palestina.” (Lukman, 2021:11)
Aksi solidaritas pelajar Indonesia di Mesir memang bukan barang baru.
Perkumpulan pelajar tersebut adalah Djama‘ah al-Chairiah al-Talabijja al-Azhariah al-
Djawiah yang berdiri sejak 1922 (Roff, 1970: 73) Aktivitas mereka terhadap solidaritas
dunia Islam, misalnya ditunjukkan lewat kehadiran anggotanya, Muchtar Luthfi dalam
Mu‘tamar Islam yang dihelat di Mekkah pada tahun 1926 oleh Ibnu Saud dan turut
dihadiri oleh H.O.S. Tjokroaminoto dan K.H. Mas Mansur sebagai wakil dari Hindia
Belanda . (Roff, 1970: 73) Di tahun yang sama, Djama‘ah al-Chairiah al-Talabijja al-
Azhariah al-Djawiah dengan usaha mereka, Indonesia memiliki delegasi dalam
Konferensi Islam di Kairo yang diwakili oleh Haji Abdul Karim Amrullah dan Haji
Abdullah Ahmad. (Hassan, 1980:27)
Isu Palestina semakin mendapat perhatian pelajar Indonesia terutama ditunjukkan
dengan aktivitas Abdul Kahar Muzakkir yang juga pengurus dari Djama‘ah al-Chairiah
al-Talabijja al-Azhariah al-Djawiah. Lingkup aktivitasnya melibatkan organisasi lintas
negara. Ditunjukkan salah satunya dengan mendirikan Jamiyatul Syubban
Muslimin (Persatuan Pemuda Muslimin Sedunia). Namun dalam isu Palestina,
keterlibatannya menjadi signifikan ketika ia menjadi peserta Kongres Muslim Sedunia
(al-Muʾtamar al-Islāmī al-ʿĀm) di Yerusalem pada tahun 1931. (Lukman, 2021: 11)
Kongres ini diprakarsai oleh Mufti Palestina, Amin al-Husayni (1897-1974) yang
terlibat sangat aktfi dalam mengangkat isu Palestina ke negara-negara berpenduduk
Muslim di dunia, termasuk nantinya Indonesia. Dan tujuan utama kongres ini tak bisa di
lepaskan dari peristiwa Perlawanan al-Buraq yang menyangkut nasib Masjidil Aqsha.
(Kramer, 1986:123)
Kongres ini dihadiri oleh 145 delegasi dari berbagai wilayah. Dari Mesir, hadir
ulama Syaikh Rashid Ridha, dari Mesir, Abd al-Rahman Azzam -kelak menjadi Sekjen
Liga Arab- hadir mewakili Partai Wafd. Dari Suriah hadir Shukri al-Quwwatli yang
nantinya menjadi Perdana Menteri Suriah. Dari Aljazair hadir Said al-Jazairi, cucu dari
tokoh perlawanan Aljazair, Abdul Qadir al-Jaziri. Dari India, diwakili oleh tokoh
Intelektual Sir Muhammad Iqbal. Hadir pula, Said Shamil, cucu dari tokoh perlawanan
anti-Rusia dari Chechnya, Imam Shamil. (Kramer, 1986: 122-123) Dari Indonesia
diwakili oleh Abdul Kahar Muzakkir dan dari Malaysia diwakili oleh Abu Bakar Asyari.
Meski Abdul Kahar Muzakkir menjadi peserta termuda saat itu namun kontribusinya
menjadi signifikan ketika ia ditunjuk menjadi Sekretaris kongres tersebut (Lukman,
2021:11)
Kongres yang dihelat sejak 6-17 Desember 1931 tersebut menghasilkan beberapa
putusan seperti kecaman terhadap imigrasi dan pembelian tanah dan rencana terhadap
Masjidil Aqsha oleh kaum Yahudi, pemboikotan barang zionis, dan rencana pendirian
universitas di Yerusalem. (Mattar, 1988:62)
Kongres tersebut menghasilkan beberapa resolusi, diantaranya; penyelenggaraan
kongres akan diadakan dua tahun sekali, direncanakan berdirinya Universitas Masjidil
Aqsha, Buraq al-Sharif harus dibela dan kesuciannya harus dihormati, laporan Komisi
Tembok Ratapan harus ditolak, misi Kristen harus ditolak tetapi berterima kasih atas
dukungan umat Kristen di Palestina dan Jordania, mengutuk zionisme dan penjualan
tanah kepada Yahudi. (Jbara, 1985:112)
Hasil dari kongres ini tak dapat dikatakan berdampak langsung pada perubahan
nasib Palestina. Negara-negara muslim saat itu sebagian masih dalam cengkeraman
kolonialisme dan tak berdaya menolong Palestina. Di Hindia Belanda, Majalah Al-Wafd
yang menjadi corong PSII di Sulawesi Selatan menulis situasi yang mengenaskan
tersebut,
“Tanah muslim telah menjadi tanah yang subur untuk benih-benih imperialism
dan kapitalisme. Kita belum lupa bagaimana Kongres Masyarakat Islam di
Yerusalem dan Kongres Khilafah di Mesir tidak membahas siyasah agar kita
bekerja sama, terutama di Asia di mana banyak [orang] beragama Islam.” (Ali,
2017: 186)
Meski beberapa resolusi kongres, seperti pendirian universitas, nantinya tidak
tercapai, namun kongres tesebut setidaknya berhasil menarik perhatian masyarakat
Muslim di timur jauh akan nasib Palestina.( Jabarah, 1985:113) Termasuk tokoh Muslim
dari Indonesia seperti Abdul Kahar Muzakkir tetap yang mempertahankan perhatian dan
hubungannya dengan Palestina. Ia sempat menjadi editor dari surat kabar Palestina, Al-
Ṯaura.( Lukman, 2021:11) Dan lebih penting, hubungannya dengan Mufti Palestina,
Amin al-Husayni yang kelak mempererat hubungan antara Palestina dan Indonesia
nantinya.
Hubungan tokoh-tokoh dari Palestina dengan masyarakat di Hindia Belanda bahkan
telah dimulai sebelum kongres. Pada Maret hingga April 1930, media berbahasa Belanda
yang terbit di Hindia Belanda memberitakan respon terhadap kabar akan datangnya
utusan Dewan Tinggi Syariah Muslim di Yerusalem (Supreme Muslim Sharia Council
/al'A-laAa'lA A'-la'Am' A'-lA ''a A'-a') ke Hindia Belanda.
Dewan ini adalah badan yang dibentuk dan berdiri di bawah Pemerintahan Mandat
Inggris di Palestina dan diketuai oleh Syaikh Amin al-Husaini. (Jbara, 1985:47) Dewan
ini berencana mengumpulkan donasi untuk Masjid Umar dan Al-Aqsha. Surat kabar Het
Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië pada 6 Maret 1930 mengabarkan reaksi
Liga Zionis yang menuding Dewan Tinggi Syariah Muslim yang diketuai Amin al-
Husayni dekat dengan kegiatan politik di Arab termasuk kegiatan pengumpulan dana
tersebut. Lebih jauh Dewan Tinggi ini dituding bersekutu Moskow (Komunis).
Isu ini terus bergulir. Pada 11 April 1930, De Indische Courant melaporkan reaksi
dari Nederlandshce Zionistbond bahwa pengumpulan dana Dewan Tinggi tersebut
hanyalah kedok untuk pengumpulan dana kegiatan politik di Arab. Ketua Dewan
tersebut, Amin al-Husayni dituding menjalin hubungan dengan Moskow dan dalang di
balik konflik yang pecah antara Muslim dan Yahudi pada Agustus 1928. Amin al-
Husayni disebut masuk dalam daftar hitam pemerintah Inggris. Mereka juga menyebut
sejauh ini, tidak ada permintaan izin untuk memasuki Hinda Belanda dan hanya izin
untuk memasuki Singapura secara terbatas.
Terlepas tidak terjadinya kunjungan dan pengumpulan dana tersebut di Hindia,
setidaknya telah Nampak reaksi anti-Palestina di Hindia Belanda yang digalang oleh
kelompok pro-Zionis seperti Nederlandsche Zionistbond. Hubungan antara Muslim
Hindia Belanda meski belum terjalin secara luas tetapi perlahan dirintis oleh para tokoh
Muslim, termasuk Abdul Kahar Muzakkir yang pernah bekerja sama dengan Amin al-
Husayni di Kongres Muslim di Yerusalem.
Pada tahun-tahun berikutnya, kesadaran hubungan antara Palestina pada Muslim
Hindia Belanda terus menguat. Pada tahun 1932, Al-Difa mengangkat mengenai
pengajaran huruf Arab dalam pendidikan di Indonesia. Dua tahun kemudian, pada edisi 7
Agustus 1934, Al-Difa mengangkat kisah lahirnya kerajaan Islam di Indonesia termasuk
kisah dakwah Walisanga. Bahkan isu politik di Indonesia juga menjadi sorotan pada edisi
tahun 1935 dengan diangkatnya situasi politik di Indonesia dan partai-partai yang terlibat
dalam Volksraad. Kesinambungan kisah Indonesia setidaknya menggambarkan mulai
diperhatikannya Muslim Indonesia sebagai satu komunitas Muslim yang jauh. (Lukman,
2021:12)
Di Hindia Belanda, perhatian terhadap nasib al-Aqsa dan Palestina terus diangkat.
Konflik besar yang terjadi pada tahun 1936 merupakan perlawanan lebih besar dari
masyarakat Palestina yang didorong sikap Inggris membagi wilayah Palestina menjadi
tiga wilayah; Kawasan untuk masyarakat Palestina (Baitul Maqdis), untuk Yahudi dan
Jordania. Hal ini turut memicu reaksi umat Islam di Hindia Belanda.
Aksi protes besar diadakan pada 5 Juli 1937 di Gedung Al-Irsyad Surabaya yang
melibatkan perwakilan lintas ormas Islam. Hubungan lintas ormas Islam memang
menguat sejak dibentuknya Majelis Islam A‟la Indonesia (MIAI), sebuah konfederasi
berbagai ormas Islam. MIAI membentuk satu komite khsusus kepedulian untuk Palestina
yang bernama Comite Palestina.
Rapat akbar pada 5 Juli tersebut merupakan satu tonggak penting aksi solidaritas
terhadap Palestina karena dihadiri kurang lebih 2000 peserta dan 33 perwakilan elemen
umat Islam dan diliput 13 jurnalis dari berbagai media. Tokoh-tokoh Islam yang hadir
antara lain, Wondoamiseno (Ketua Comite Palestina), KH. Mas Mansur
(Muhammadiyah), Umar Hubeis (Al-Irsyad) dan Abdul Kahar Muzakkir (Komisi Luar
Negeri PSII).
Wondoamiseno membuka rapat akbar dengan mengingatkan akan pentingnya akan
persaudaraan antar umat Islam sedunia. (Al Lisaan, 20 Juli 1937) Rapat ini juga bentuk
respon terhadap ajakan Mufti Palestina, Amin al-Husayni. Sebab menurut
Wondoamiseno, pembagian wilayah Palestina tidak bisa diterima oleh umat manusia,
baik ia seorang Muslim, Arab, pribumi, atau Hindu, karena tempat itu adalah tempat suci
bagi umat Islam yang selamanya juga orang-orang non-muslim hidup disana. Di tempat
itu pula, Wondoamiseno mengingatkan, hadirnya Masjidil Aqsha yang pernah menjadi
kiblat umat Islam. (De Indische Courant, 9 Juli 1930)
Dalam pidatonya, Wondoamiseno mengutip beberapa artikel dari media Palestina.
Ia juga menekankan bahwa keputusan telah dibuat oleh lebih dari 150 ulama yang
memutuskan apabila seorang Muslim mendukung pembagian wilayah Palestina, maka ia
dianggap telah keluar dari Islam dan tidak akan dikuburkan secara Islam di pemakaman
muslim. (De Indische Courant, 9 Juli 1930)
Pembicara berikutnya K.H. Mas Mansur dari Muhammadiyah yang mengingatkan
pentingnya kedudukan Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsha bagi umat Islam. Selanjutnya
pidato dilanjutkan oleh Umar Hubeis dari Al-Irsyad yang berbicara dalam bahasa Arab
dan Indonesia. Pidato terakhir ditutup oleh Abdul Kahar Muzakkir sebagai perwakilan
dari Komisi Luar Negeri PSII (dan juga tokoh Muhammadiyah).
Al Lisaan, edisi 20 Juli 1937 kemudian menyebutkan bahwa rapat menyampaikan
petisi yang telah diputuskan sebelumnya berupa penolakan atas kebijakan Inggris yang
membagi Palestina menjadi tiga bagian. Petisi ini telah dikirimkan sebelumnya ke Liga
Bangsa-Bangsa yang berada di Jenewa, Swiss; kepada Mufti Palestina, Amin al-Husayni;
dan kepada Kongres di Damaskus lewat telegram. Petisi itu berbunyi:
Perhatian terhadap Palestina bagi umat Islam di Indonesia bukan sekedar menolong
saudara yang sedang kesulitan, tetapi perjuangan yang menginspirasi umat Islam.
Nadhlatul Ulama (NU) lewat corongnya, Berita N.O. mengangkat isu ini dengan judul
―Falasthiena‖ pada edisi 1 September 1938. Dalam artikelnya tersebut, redaksi
menyatakan bahwa meski saat ini umat Islam dianggap sudah tak berdaya dan “roesak
lahir bathinnja‖, tetapi jika melihat perjuangan umat Islam Palestina maka ―…memberi
pengertian dan pengharepan pada kita, bahwa Oem. Islam sesoenggoehnja tiada mati,
roach Islam sesoenggoehnja misih besar fi‘ilnja.‖
Penulis dalam artikel tersebut menyatakan bahwa kesengsaraan yang dihadapi umat
Islam di Palestina wajib mendapat umat Islam seluruh dunia. Salah satunya dengan
mengumpulkan donasi bagi umat Islam Palestina melalui Hoofdbestuur Nadhlatoel
Oelama (N.O.) yang dapat dititipkan melalui cabang NU manapun.
―Di Soerabaia dan Betawi, Oem. Islam dari bangsa ‗arab, soedah lama mendiriken
Comite penolong kesengsara‘an Falasthiena. Bangs akita, haroes menjoesoel,‖
demikian ajak penulis di Berita N.O.
Aktivitas NU menolong Palestina memang cukup gencar. Pada 12 November 1938,
Pengurus Besar Nadhlatul Ulama di bawah K.H. Mahfuz Siddiq mengedarkan seruan
kepada ormas-ormas Islam seperti Al-Washiliyah, Al-Irsyad, PSII dan Dewan Pimpinan
M.I.A.I agar mengambil sikap tegas membela Palestina atas nama bangsa Indonesia.
(Zuhri, 2013:426)
Di antaranya dengan mengumpulkan donasi untuk Palestina yang disebut Palestina
Fonds. Selain itu, pada 27 Rajab dijadikan „Pekan Rajabiyah‟, satu momentum yang
menggabungkan perayaan Isra‟Mi‟raj Nabi Muhammad S.A.W dengan solidaritas
perjuangan rakyat Palestina. PBNU juga menyerukan agar setiap sholat fardhu dibacakan
Qunut Nazilah, yang mendo‟a kan khusus bagi umat Islam Palestina. (Zuhri, 2013:427)
Doa tersebut di antaranya berbunyi, ―Ya Allah, turunkan kutukan-Mu kepada
musuh-musuh saudara kami bangsa Palestina yang tengah memperjuangkan
kemerdekaan mereka. Kutuki pula orang-orang kafir yang membantu musuh-musuh
kami, mereka yang menghalangi agama kami, mereka yang menindas saudara-saudara
kami, mereka yang membunuh para pejuang Palestina dan mereka yang menghalang-
halangi perjuangan kami…‖ (Zuhri, 2013:427)
Haji Agus Salim menanggapi seruan PBNU tersebut. Dalam artikelnya di Panji Islam
pada 9 Januari 1939, ia menulis,
“Adapun oleh PBNU soal Palestina itu dipandangnya satu perkara yang amat
besar kepentingannya untuk alam Islam seluruhnya dan umat Islam segenapnya.
Dan sungguh benar sekali pendapatnya dan patut sekali perbuatannya itu, yang
harus mendapat sepenuh-penuh persetujuan dari segala pihak dan golongan kaum
Muslimin.”
Haji Agus Salim kemudian menambahkan bahwa umat Islam Indonesia seharusnya
mempersatukan suara-suaranya, sehingga dapat sejalan dengan suara umat Islam lainnya
seperti dalam Kongres Pan Islam di Mesir (1938). Menurutnya, ―Akan tetapi Indonesia
belum lagi menghimpun suaranya menyekutui sikap dan gerak alam dan umat Islam
sedunia.‖ (Salim, 1996: 431)
Pemerintah kolonial Belanda sendiri menanggapi negatif seruan PBNU tersebut.
Maka pada 29 Januari 1939, Ketua PBNU K.H. Mahfuz Shiddiq dipanggil oleh Regent
(bupati) Surabaya. Ia diberi perintah oleh Hoofdparket (setingkat Jaksa Agung) agar
melarang Qunut Nazilah dan „Pekan Rajabiyah.‟ (Zuhri, 2013: 427)
Kepada Hoofdparket, PBNU menjelaskan bahwa anjuran Qunut Nazilah bukanlah
anjuran penghinaan terhadap golongan lain. Tetapi perbuatan tersebut adalah kewajiban
solidaritas sesame umat Islam dan menjalankan perintah Nabi Muhammad S.A.W. Meski
demikian, pemerintah colonial tetap melarang anjuran tersebut. (Zuhri, 2013:183)
Pemerintah kolonial Belanda memang bersikap cukup reaktif terhadap aksi-aksi
solidaritas terhadap Palestina. Di tahun yang sama, Berita Priangan edisi 22 September
1939, memberitakan aksi solidaritas dan penggalangan dana di sebuah madrasah di
Kampung Stasiun Cicalengka, Jawa Barat harus berurusan dengan aparat karena
dianggap tak memiliki izin. (Berita Priangan, 22 September 1939)
Sebagai satu masyarakat muslim yang berada dalam alam penjajahan, umat Islam
di Indonesia memang belum bisa berbuat banyak. Haji Agus Salim melihat bahwa
sebagai persoalan Palestina sebagai buah dari kebijakan jahat Inggris di Palestina. Bangsa
Arab yang telah ribuan tahun tinggal di sana tak diajak untuk bermusyawarah mengenai
nasib mereka. Inggris yang menganggap perang dunia I melawan Turki sebagai „Perang
Salib‟ justru menunjukkan ironinya. “Kemenangan Kristen” Inggris, akhirnya membuat
mereka memberi orang yahudi sebuah negeri naisonal tanpa orang Arab memperoleh
sedikitpun haknya. Ironisnya, dari “negeri-negeri Kristen” pula orang-orang Yahudi ini
terusir. (Salim, 1996:410-411)
Oleh sebab itu menurut Haji Agus Salim, dalam soal Palestina ini tak ada
persoalannya dengan agama. Sebab orang-orang Yahudi hidup damai di bawah
kekuasaan Islam tanpa rasa permusuhan. Penolakan orang Arab atas kedatangan orang-
orang Yahudi menurut Haji Agus Salim berasal dari ―perasaan kebangsaan yang dilukai
dan hak-hak sebangsa yang kena langgar oleh kekuasaan Inggris itu.‖ (Salim, 1996:411-
412)
Kedatangan bangsa Yahudi ini menurut Haji Agus Salim datang dengan arogansi.
Mereka ―datang dengan laku dan gaya pertuanan hendak menguasai negeri. Tidak suka
mereka dipersamakan dengan bangsa Arab, rakyat yang asli,‖ jelas Haji Agus Salim.
(Salim, 1996:433)
Semua ini akibat dari pengaruh orang Yahudi di Amerika Serikat dan nafsu
imperialisme Inggris dan Amerika. Di lain sisi, Bangsa Arab berhak mempertahankan
hak bangsanya dan ―…dan keyakinan Islam tentang Palestina dan Bait al-Maqdis.‖ (Haji
Agus Salim, 1996:434) Haji Agus Salim menganggap jika dunia abai terhadap persoalan
Palestina, maka dunia akan menghadapi bencana. Sebab ―kemerdekaan atau keamanan
bangsa yang kecil-kecil tidak mendapat perlindungan dengan hak dan keadilan…‖
(Salim, 1996:434-435)
Senada dengan Haji Agus Salim, Mohammad Natsir pada bulan November 1941,
juga mempertanyakan sikap negara-negara yang abai terhadap ketidakadilan yang
menimpa bangsa Palestina. Natsir mempertanyakan Atlantic Charter yang disepakati
negara-negara barat untuk mengakui batas-batas negara yang harus disertai kerelaan
bangsa-bangsa yang bersangkutan.
Kenyataannya hal ini tidak berlaku bagi soal Palestina. Menurut Natsir, ―…tentu
semestinja akan ditanja, selain kepada bangsa Arab di Palestina dan negara-negara
Arab sekelilingnja jang berdekatan,-bagaimana menjelaskan soal Palestina ini. Kalau
ditanjakan kepada hati ketjil penduduk Arab di Palestina, sudah tentu dari mereka tidak
seorangpun akan rela bila kehendak ―Balfour declaration‖ itu diteruskan djuga…‖
(Natsir, 1973:426)
Tokoh NU, K.H. Saifuddin Zuhri juga menyoroti ketidakadilan yang dialami orang-
orang Palestina. Menurutnya ―…sejarah dan keadilan tentu tidak akan membenarkan
bahwa seorang tamu, yang asing, yang tidak memiliki keterikatan apa pun, merampas
hak dan akhirnya mengusir tuan rumah.‖ (Zuhri, 2013:431)
Maka dapat menjadi wajar ketika bangsa Arab dan dunia Islam menurut mantan
Sekjen Partai NU itu, konflik akan terus membara. Sebab ―Perbuatannya itu tidak akan
menambah keuntungan bahkan sebaliknya hanya akan menambah kobaran api dendam
kesumat dan permusuhan turun temurun. Dan pastilah dunia Islam akan menganggap
Yahudi seluruhnya sebagai musuh sebesar-besarnya. Dunia Islam pastilah akan mencari
daya upaya mencari kesempatan yang baik guna menyingkirkan kezaliman dan
penganiayaan tersebut.‖ (Zuhri, 2013:431-432)
Beberapa pendapat para tokoh Islam mengenai isu Palestina akhirnya dapat dilihat
menjadi dua faktor penting, pertama mereka melihat isu palestina bukan pertentangan
antar agama, tetapi faktor penjajahan, perampasan hak bangsa Arab, dan ketidakadilan
yang menyertainya. Kedua, oleh sebab itu hasrat membela diri dan merdeka Palestina
didukung atas dasar solidaritas umat Islam dan sikap anti-penjajahan.
Pandangan demikian yang akhirnya turut membentuk sikap Indonesia terhadap
Palestina nantinya. Tokoh-tokoh yang menggaungkan kepedulian terhadap Palestina
paling tidak turut mewarnai kebijakan Indonesia terhadap Palestina. Solidaritas antar
umat Islam diperkuat dengan semangat anti-kolonialisme yang membara dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Terlebih hubungan antara tokoh Palestina dan
Indonesia sudah terjalin di masa sebelumnya sehingga turut mempermudah kepedulian
antar dua bangsa ini.
Salah satunya tercermin dalam suara dukungan Mufti Palestina yang menyiarkan
dukungannya pada kemerdekaan Indonesia pada 6 September 1944 lewat siaran radio di
Berlin. Kabar ini segera disebarkan oleh para pemuda pelajar Indonesia di Mesir
sehingga dimuat media seperti Al-Ahram. Pihak Kedutaan Belanda di Kairo lewa Le
Journal d' Egypte segera membantah kabar ini dan mengatakan hal itu hanya janji yang
diberikan oleh Jepang kepada pihak Indonesia. Amin Al-Husayni dalam posisinya
sebagai pelarian di Jerman ia dapat saja mendengar informasi yang keliru soal
kemerdekaan Indonesia. Tetapi keberanian dan keterbukaannya mendukung kemerdekaan
Indonesia meneguhkan hubungan Indonesia dan Palestina.
Maka tak mengherankan jika Indonesia membalas dukungan tersebut dengan
memberi dukungan resmi pasca Indonesia merdeka. Pada bulan Mei 1947, menurut
Antara, Presiden Sukarno mengirimkan telegram yang menyatakan dukungannya pada
kemerdekaan Palestina kepada Sekjen Liga Arab, Azzam Pasha dan Mufti Palestina,
Amin al-Husayni. (Het Dagblad, 16 Mei 1947)
Sikap pemerintah ini memang sejalan dengan sikap ormas Islam yang mendukung
Palesina. Terlebih, pasca Indonesia merdeka, ormas-ormas Islam juga mendesak
pemerintah Indonesia untuk memperkokoh sikapnya. Pada 18 Desember 1947, Partai
Masyumi bersama anggota-anggota istimewanya yang terdiri dari NU dan
Muhammadiyah dan lainnya bersidang membicarakan masalah Palestina dan
memutuskan. Pertama, menganjurkan kepada seluruh bangsa Indonesia untuk membantu
perjuangan Palestina. Kedua, Menganjurkan agar pemerintah RI menetapkan sikapnya
membantu perjuangan bangsa Arab di Palestina. Ketiga, menghadap agar Dewan
Keamanan PBB meninjau Kembali keputusan Pleno PBB tentang pembagian Palestina
yang menjadi sebab terganggunya ketentraman dunia. (Zuhri, 2013:430)
Sikap ini dilanjutkan oleh Partai Masyumi dalam keputusan sikap politik luar
negeri Muktamar Masyumi ke-III di Madiun pada 27-31 Maret 1948. Salah satu
keputusan tersebut menyebutkan bahwa Masyumi memutuskan untuk, ―Mengirimkan
radiogram kepada Muftie Besar Amin Al Huseini tentang perdjuangan di Palestina.‖
(Dokumen Muktamar Masyumi ke VIII di Surabaya, 23-27 Desember 1954.) Dua bulan
sebelumnya, Nieuwe Courant juga memberitakan bahwa PSII dalam kongresnya di bulan
Januari 1948 menyatakan penolakan atas penyekatan Palestina. (Nieuwe Courant, 31
Januari 1948) Sikap ormas Islam ini tak berbeda dengan sikap pemerintah Indonesia
dalam mendukung Palestina.
Sikap Indonesia sendiri jelas bukan basa-basi politik. Pada tahun 1948, Folke
Bernadotte (1895-1948), diplomat yang ditunjuk sebagai mediator konflik Israel-
Palestina (1947-1948) oleh Dewan Keamanan PBB, meminta Indonesia untuk membantu
mengirimkan bahan makanan bagi pengungsi Palestina. Seperti dikutip De Nieuwisgier
edisi 16 Oktober 1948, Indonesia telah mendapatkan izin dari International Emergency
Food Comitee untuk mengirimkan 350 ton beras dan 250 ton gula. Bantuan ini nantinya
dialokasikan oleh badan tersebut.
Penggalangan bantuan juga terjadi pada akhir Desember 1948. Ketika Tahir Bey
Alfatajani Majelis Tinggi Palestina (al'A-laAa'lA A'-la'Am' A'-lA ''a A'-a'?) datang ke
Batavia dan Surabaya untuk melakukan pengumpulan dana dari masyarakat muslim.(De
Vrij Pers, 30 Desember 1948) Tetapi eratnya hubungan ini tidak berjalan satu arah.
Perjuangan Indonesia untuk memperoleh pengakuan kemerdekaan dan mempertahankan
kedaulatannya juga mendapat perhatian tokoh Muslim di Timur Tengah.
Salah satunya adalah Muhammad Ali Taher, pengusaha media asal Palestina.
Hubungannya dengan para pelajar Indonesia di Timur Tengah membuat dirinya
menyumbangkan hartanya untuk mendukung Indonesia. Muhammad Ali Taher kemudian
menjalin hubungan dengan tokoh diplomasi kemerdekaan Indonesia seperti Abdul Kahar
Muzakkir, H.M. Rasjidi dan Haji Agus Salim. Jalinan timbal balik seperti ini akhirnya
memperkuat hubungan antara Indonesia dengan Palestina yang sama-sama sedang
memperjuangkan haknya.
Israel bukannya tidak mencoba menarik simpati Indonesia. Pada December 1949,
Presiden Israel Chaim Weizmann dan Perdana Menteri Israel David Ben-Gurion
mengirimkan telegram ucapan selamat kepada Presiden Sukarno dan Moh. Hatta (saat itu
selaku Menteri Luar Negeri) RI atas tercapainya perjanjian pengakuan oleh Belanda
dalam Konferensi Meja Bundar. Satu bulan kemudian, Menteri Luar Negeri Israel,
Moshe Sharett mengirimkan telegram bahwa Israel mengakui penuh kehadiran Republik
Indonesia. Atas kedua telegram tersebut, Hatta hanya membalas, “terima kasih.” (Yegar,
2006:139)
Pemerintah Israel, lewat Ya‟acov Shimoni, Kepala Departemen Asia Kementerian
Luar Negeri kemudian melangkah lebih jauh dengan mencoba mengajukan pembukaan
kedutaan di Indonesia dan menawarkan pengiriman misi ke Iindonesia. Hatta kemudian
merespon dengan jawaban bahwa hal itu sebaiknya ditunda sampai waktu yang tak
ditentukan. (Yegar, 2006:140)
Pada upaya Israel mencoba membuka hubungan dengan Indonesia tidak berhasil
bahkan semakin jauh dari harapan mereka. Pada tahun 1953, Pemerintah Indonesia
mengirimkan resmi Indonesia dalam Muktamar Internasional I tentang Baitul Maqdis di
Yerussalem. Pemerintah Indonesia secara resmi mengutus menteri luar negerinya saat itu,
yaitu Ahmad Subardjo, bersama dengan Sirajuddin Abbas, M. Rasjidi, dan Abdul Mukti
Ali. (Abdul Fatah Al-Awaisi, 1989:51) Muktamar ini memutuskan untuk memiliki
sekretariat permanen yang anggotanya diwakili oleh Masyumi dan Liga Muslimin
Indonesia. (Het Nieuws Blad for Sumatra, 24 Mei 1954) Sebagai tindak lanjut dari
pertemuan ini, Het Nieuws Blad for Sumatra, pada 24 Mei 1954 melaporkan bahwa
perwakilan masyarakat Palestina juga berkunjung ke Indonesia pada bulan Mei 1954.
Namun yang paling signifikan adalah diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika (KAA)
pada tahun 1955 di Bandung yang menolak keikutsertaan Israel dan dukungan terhadap
Palestina.
Sulit untuk ditampik bahwa penyelenggaraan KAA mencerminkan ideologi anti-
kolonial yang kuat (Umar, 2017:73). Israel, sejak awal sebelum pelaksanaan KAA sudah
ditolak keikutsertaannnya, meski India dan Burma (sekarang Myanmar) mendesak agar
Israel diundang. Pakistan dan Mesir menolak Israel dan meyakinkan Kelompok Kolombo
(Indonesia, India, Pakistan, Burma dan Srilanka) agar tidak mengajak Israel. (Samour,
2017:601)
Meski Palestina tidak memiliki perwakilan resmi, tetapi kehadiran mereka diwakili
Amin al-Husayni sebagai pengamat dan beberapa anggota delegasi yang sangat vokal
terhadap Palestina, seperti Abd al-Khalik Hassuna, Sekjen Liga Arab pertama (Mesir)
dan ahli hukum asal Palestina, Ahmed Shukairy (Suriah). (Samour, 2017:599)
Dukungan terhadap persoalan Palestina akhirnya dituangkan dalam resolusi
mengenai Palestina yang mendukung hak orang Arab di Palestina, menyerukan
diterapkannya resolusi PBB dan penyelesaian soal Palestina secara damai. (Nahed
Samour, 2017: 603-604) Posisi Palestina semakin mendapat dukungan kuat Indonesia
baik dalam konteks lokal (dukungan ormas yang telah ada sejak masa pra-kemerdekaan)
maupun internasional.
Ideologi anti-kolonial dan solidaritas Islam terus berlanjut hamper sepuluh tahun
kemudian, ketika Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) di
Bandung, 6-14 Maret 1964. Konferensi ini bertujuan untuk menyatukan ide dan semangat
kaum Muslimin Asia dan Afrika untuk melawan neo-imperialisme dan diikat bukan
hanya kesamaan sikap politik tetapi juga agama. (Nurjaman dan Sulaiman, 2020: 150)
Konferensi ini tak lepas dari peran penting K.H. Idham Chalid yang berlatar
belakang NU sebagai ketua pelaksananya. Dalam pidato pembukaannya K.H. Idham
Chalid menyatakan kolonialisme adalah suatu komplotan yang bersifat internasional
sehingga diperlukan perlawanan yang bersifat internasional pula. (Nurjaman dan
Sulaiman, 2020: 168).
Lewat penggalangan solidaritas inilah, KIAA akhirnya menelurkan satu butir
kesepakatan menyerukan dukungan terhadap Palestina yang berbunyi;
―1. Endorse the full restoration of all the rights of the Arab people of Palestine to their
homeland, and their inalienable right to self-determination;
2. Declare their full support to the Arab people of Palestine in their struggle for
liberation from colonialism and racism.‖ (The Organizing Committee, 1964)
Sikap Indonesia dalam mendukung Palestina dan menolak mengakui Israel bukan
tanpa resiko. Hal ini terbukti dari peristiwa yang melibatkan Indonesia dan Israel bahkan
dalam perkara olahraga. Insiden ini terjadi dalam perhelatan Asian Games 1962. Insiden
ini merebak ke permukaan setelah G.D. Sondhi, wakil India yang juga Wakil Presiden
Asian Games Federation (AGF) memprotes tidak diikutsertakakannya olahragawan dari
Israel dan Taiwan dalam Asian Games IV 1962 di Jakarta.
Tim Israel dan Taiwan sebenarnya telah diundang oleh panitia penyelenggara Asian
Games di bawah Menteri Olahraga, Maladi. Namun tim olahragawan Israel dan Taiwan,
di saat-saat terakhir tidak diberikan izin masuk oleh pihak imigrasi. Menteri Luar Negeri,
Soebandrio, menyatakan menolak kehadiran tim Israel dan Taiwan, sebab menurutnya
olahraga bukan semata-mata olahraga, tetapi juga harus mempertimbangkan persoalan
politik. Sehingga meski undangan telah sampai ke Tel Aviv, tetapi Kementerian Luar
Negeri Indonesia tetap tidak memberikan visa kepada mereka. (Rahayu, 2018: 54-57)
Sejak awal International Olympic Comittee mengancam agar bendera IOC tidak
boleh dikibarkan pada penyelenggaraan Asian Games jika delegasi kedua negara tersebut
tidak diizinkan masuk.(Trouw, 24 Agustus 1962) Namun pihak Indonesia tidak
bergeming sehingga akhirnya IOC menjatuhkan sanksi kepada Indonesia. Insiden ini
yang akhirnya membuat Presiden Sukarno mencetuskan diselenggarakannya Games of
The New Emerging Forces (GANEFO) pada tahun 1963.
Pengaruh tokoh-tokoh Islam sejak sebelum masa kemerdekaan tak dapat dipungkiri
perannya dalam membawa sikap Indonesia mendukung Palestina. Sejak masa sebelum
Indonesia merdeka, tokoh seperti Abdul Kahar Muzakkir telah membuka jalan bagi tokoh
Palestina seperti Amin al-Husayni dalam menjalin hubungan dengan Indonesia. Begitu
pula ketika ormas Islam yang bersatu dalam Masyumi turut memberi dorongan agar
pemerintah RI mengokohkan sikapnya terhadap isu Palestina.
Hubungan secara pribadi juga turut berpengaruh. Presiden Sukarno pada tahun
1965 misalnya, dengan mudah turut menyumbang 18 ribu dollar AS untuk perbaikan
Masjid Al-Aqsa atas ajakan K.H. Saifuddin Zuhri, Menteri Agama kala itu. (K.H.
Saifuddin Zuhri, 2013: 684) Hal seperti ini bukan mengherankan. Sikap pribadi maupun
atas nama negara nampak jelas mendukung Palestina. Sehingga dukungan terhadap
eksistensi Palestina terus berkesinambungan dalam sejarah Indonesia, baik sebelum
maupun setelah Indonesia merdeka. Dan hal itu didorong atas solidaritas umat Islam yang
kuat dan sikap anti penjajahan para pendiri bangsa.
Referensi:
Ali, Muhammad. 2017. Islam dan Penjajahan Barat. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
Al-Awaisi, Abdul Fatah. , 1989. Al-Mu‘tamar Al-Islâmy Al-‗Âm Baitul Maqdis 1953 wa
1962. Baitul-Maqdis.
Documents for The Main Conference of the Africa-Asia Islamic Conference, Document 1.
The Organizing Committee, 1964.
Hassan, M. Zein. 1980.Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri. Jakarta: Bulan
Bintang.
Jbara, Taysir. 1985. Palestinian Leader Hajj Amin Al-Husayni. Mufti of Jerusalem. New
Jersey: Kingston Press, Inc,
Kramer, Martin. 1986. Islam Assembled. The Advent of Muslim Congress. New York:
Columbia University Press.
Lukman, Gilang Al Ghifari. ―Indonesia and The Question of Palestine. Navigating
Religious and Third Worldist Currents.‖ Tesis tidak diterbitkan, University of
Oxford, 2021.
Mattar, Philip. The Mufti of Jerusalem. Al-Hajj Amin al-Husayni and The Palestinian
National Movement. New York: Columbia University Press, 1988.
Muktamar Masyumi ke VIII di Surabaya, 23-27 Desember 1954. Tanpa penerbit: Tanpa
tahun.
Natsir, M. Capita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Nurjaman, Andri dan Asep Sulaiman. “Peran K.H. Idham Chalid dalam Konferensi Islam
Asia Afrika di Kota Bandung Tahun 1965.” Historia Madania 4, No.1 (2020): 147-
176.
Rahayu, Amin. Asian Games IV 1962 di Jakarta: motivasi dan capaiannya. Jakarta:
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018.
Roff, William R.. “Indonesian and Malay Students in Cairo in 1920‟s.” Indonesia 9
(1970): 73-87.
Salim, H. Agus. 1996. 100 Tahun Haji Agus Salim. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Samour, Naheed. 2017. “Palestine at Bandung: The Longwinded Start of Imagined
International Law dalam Bandung, Global History and Internaitonal Law: Critical
Pasts and Pending Future, edited by Luis Elsava, Michael Fakhri, and Vasuki
Nesiah, 595-615. Cambridge: Cambridge University Press.
Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. “The Bandung Ideology: Anti-Colonial
Internationalism and Indonesia‟s Foreign Policy (1945-1965).” Asian Review 30,
No. 2 (2017): 57-78.
Yegar, Moshe. “The Republic of Indonesia and Israel.” Israel Affairs 12, No. 1 (2006):
136-158.
Zuhri, K.H. Saifuddin. 1989. Berangkat dari Pesantren. Yogyakarta: LkiS.
Propaganda seperti ini terjadi ketika terjadi perlawanan oleh umat Islam Palestina
terhadap orang-orang Yahudi sepanjang tahun 1937 – 1938. Tentu saja sikap bertolak
belakang tampak dari umat Islam di Indonesia. Pengurus Besar Nahdatul Ulama (NU)
bereaksi atas bentrokan yang terjadi di Palestina pada tahun 1937-1938.
Berita N.O. pada edisi 1 September 1938 menurunkan artikel berjudul
“Falasthiena” yang menggugah semangat umat untuk membantu masyarakat Palestina.
Dalam artikel tersebut, kesengsaraan yang terjadi di Palestina akibat pengusiran mereka
oleh orang Yahudi harus disikapi umat Islam dengan rasa solidaritas. Saat itu, muncul
gagasan donasi untuk Palestina yang dikumpulkan melalui Hoofdbestuur Nadhlatoel
Oelama (HNO.) yang dapat dititipkan melalui cabang NU di daerah-daerah.
―Di Soerabaia dan Betawi, Oem. Islam dari bangsa ‗arab, soedah lama mendiriken
Comite penolong kesengsara‘an Falasthiena. Bangsakita, haroes menjoesoel,‖ tulis
artikel tersebut.
―Yang Mulia. Saya tidak bisa memercayai mata saya ketika saya membaca
laporan bahwa Yang Mulia telah menjanjikan dukungan Mufti Yerusalem
dalam usahanya untuk Palestina Arab yang merdeka. Apakah saya benar-benar
bingung sekarang, atau apakah Yang Mulia salah informasi tentang apa yang
terjadi di "tempat lahirnya peradaban"? Karena dalam kepolosan saya, saya
berpikir bahwa di zaman kita setiap kebangkitan nasional harus dilakukan oleh
revolusi sosial — seperti yang juga diproklamirkan dari awal oleh para
pendukung Yang Mulia terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia.
Dalam surat terbukanya, S.I Van Creveld mengklaim bahwa dirinya adalah
pendukung Sukarno. Ia menduga bahwa Sukarno telah mendapatkan informasi yang
salah tentang Palestina. Dalam surat lanjutannya, ia mengaku sebagai kaum sosialis yang
ingin menghancurkan feodalisme Arab. Ia menulis:
Revolusi sosial inilah yang di belakang (atau bersama) aspirasi nasional, itu
adalah penghancuran sistem kolonial, mitra kapitalisme yang layak, itu adalah
pandangan tentang lenyapnya semua feodalisme dan pembaruan masyarakat
Timur, penghentian diskriminasi rasiallah yang menarik kami kaum sosialis ke
Indonesia baru dengan sepenuh hati yang menempatkan kami di garis depan
garis pembela Republik.
Tidak dapat dipahami dan tidak nyata bagi kita bahwa kita sekarang melihat
Republik ini menawarkan dukungannya kepada sistem yang paling terbelakang
yang dapat dibayangkan, bahwa kita melihat Presidennya bersahabat dengan
salah satu perwakilan paling konservatif dari kelas penguasa Timur yang
konservatif, dengan eksponen feodalisme Arab, dengan teman baik kaum fasis,
dengan pembenci rasial paling ganas yang dapat ditemukan di masa pasca-Hitler
ini.
S.I. Van Creveld juga mengakui bahwa urusan agama begitu kuat di Indonesia
sehingga ia menuding hal tersebut menjadi dasar bahwa Presiden Sukarno membela
Palestina. Ia menginginkan agar Sukarno melihat bahwa kehadiran yahudidi Palestina
merupakan salah satu revolusi sosial seperti yang selalu diserukan Bung Karno.
Ini salah, Yang Mulia. Atau apakah kesatuan agama begitu kuat sehingga
mengaburkan semua perbedaan dalam tujuan sosial, dalam perjuangan
revolusioner, dalam keinginan untuk bersatu dengan para pekerja dunia? Karena
bukan Mufti dan Komite Tinggi Arab Palestina, bukan Liga Arab, adalah
perwakilan dari zaman baru, adalah pembebas rakyat dan tenaga kerja, adalah
roh yang sama dari Anda dan Anda.
Van Creveld menuding Presiden bahwa Sukarno telah melakukan perlawanan terhadap
orang -orang Yahudi yang merupakan pekerja keras di Palestina. Ia juga selalu
mengaitkan bahwa para penentang sosialsme yang sejalan dengan Sukarno itulah yang
menjadi biang keladi penderitaan bangsa Yahudi. Creveld mengklaim jika orang Yahudi
hanya ingin kembali ke Tanah Air mereka di Palestina dan mereka sudah diterima dengan
baik di sana.
―…Tidak ada negara yang menerima mereka, tidak ada bangsa yang memanggil
mereka kecuali orang Yahudi; selain itu, mereka hanya ingin pergi ke Palestina,
tanah air lama mereka, yang menunggu mereka, di mana mereka diterima di
seluruh populasi Yahudi, di mana mereka dapat segera terlibat dalam pekerjaan
konstruksi, pembebasan tanah, pembaruan sosial.
Ia juga menuding bahwa kaum Arab yang hidup di sana ketinggalan zaman sehingga
datanglah orang-orang Yahudi untuk membawa kemakmuran.
Sosialisme yang tergabung dalam kehendak rakyat tepatnya di Palestina itu, yang
dikelilingi oleh keterbelakangan abad pertengahan, yang dalam populasi
Arabnya berabad-abad ketinggalan zaman; organisasi pekerjanya adalah
kelompok paling kuat di negara ini dan penduduk pertaniannya hidup sesuai
dengan prinsip-prinsip primordial komunalisme. Mereka tidak hanya membawa
kemakmuran, yang belum pernah terjadi sebelumnya di negara-negara Arab,
tetapi juga membuat pekerja Arab sadar akan posisi ketergantungannya dan
mengorganisir dalam gerakan serikat buruh modern, membuat orang itu melihat
bagaimana dia terikat tangan dan kaki dan menanamkan dalam dirinya keinginan
untuk membebaskan dirinya dari itu.
Untuk menarik simpati Sukarno, Creveld lagi-lagi menekankan bahwa kaum zionis yang
bermigrasi ke Palestina adalah kaum zionis sosialis yang datang untuk mendobrak
keterbelakangan kaum Arab di Palestina.
Zionis sosialis inilah yang menunjukkan kepada dunia apa yang mampu
dilakukan oleh orang-orang yang ingin memperbarui diri. Zionis sosialis inilah
yang mendobrak feodalisme di Palestina dan pengaruhnya sudah dirasakan di
seluruh dunia Arab dan akan semakin mengarah pada pembebasan bangsa Arab.
Juga kaum zionis sosialis yang telah menunjukkan pemahaman terhadap
perjuangan bangsa Indonesia untuk pembaruan sosial dan kebangkitan nasional
dan yang telah berdiri di barisan depan untuk membela perjuangan itu, baik di
Indonesia sendiri maupun di Belanda.
Creveld juga meminta Sukarno untuk kembali meninjau hubunganya dengan Liga
Arab mengingat Rusia pun sudah berpaling dari Liga Arab. Ia berharap, Sukarno
mempertimbangkan sikapnya untuk membela Palestna. Setahun setelah surat terbuka
tersebut, rupanya negara Israel dideklarasikan pada tahun 1948. Setahun kemudian,
melihar perkembangan Republik Indonesia Serikat (RIS), Israel mengirim telegram
kepada Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta atas pengakuan
Republik Indonesia Serikat (RIS). (De Vrij Pers, 29/12/1949).
Masih di akhir tahun 1949, Pemerintah Israel, melalui Ya‟acov Shimoni, Kepala
Departemen Asia Kementerian Luar Negeri merekomendasikan agar Kedutaan, atau
setidaknya Konsulat Jenderal Israel dibuka di Indonesia setelah Israel mengungkapkan
pengakuannya terhadap Indonesia. Presiden Israel Chaim Weizmann dan Perdana
Menteri Israel David Ben-Gurion mengucapkan selamat kepada Pemerintah Indonesia
atas tercapainya perjanjan pengakuan oleh Belanda dalam Konferensi Meja Bundar. Pada
tanggal 9 Jauari 1950, Menteri Luar Negeri Israel, Moshe Sharett mengirim telegram
kepada Mohammad Hatta dengan mengungkapkan bahwa Israel memberikan pengakuan
penuh terhadap Republik Indonesia Serikat (RIS). Mohammad Hatta disebut membalas
pengakuan tersebut dengan ucapan terima kasih, namun belum diketahui bagaima
Sukarno menanggapi pernyataan tersebut. (Yegar, 2006: 139).
Mendapat respon dari Hatta, Bulan Maret 1950, Ya‟acov Shimoni kembali
menawarkan Kembali rekomendasi yang ia keluarkan pada 5 Desember 1949 terkait
pembukaan hubungan diplomatik antara Israel dengan Indonesia. Shimoni meminta
Menteri Luar Negeri Israel Moshe Sharett agar secara resmi menulis surat kepada
Mohammad Hatta terkait rencana pembukaan hubungan diplomatik antara Indonesia dan
Israel. Pada 6 Mei 1950, Mohammad Hatta menanggapi surat Sharett dengan sopan
menyatakaan keengganannya dengan mengatakan bahwa misi tersebut agar ditunda
dikemudian hari hingga waktu yang tak ditentukan. (Yegar, 2006:140).
Usaha untuk mendekati Indonesia juga dilakukan R.P Goldman, seorang pengusaha
yang mewakili beberapa perusahaan Israel. Pada akhir 1950, ia mengunjuni sejumlah
negara Asia untuk membuka kemungkinan hubungan dagang dengan Israel. Moshe
Yegar (2006:140) mengungkapkan bahwa di Indonesia, pengusaha Israel tersebut
bertemu dengan seorang pejabat senior Indonesia yang menangani urusan perekonomian
bernama Usman yang mengusulkan agar membua(9t perjanjian hubungan dagang antara
Indonesia dan Israel, serta mengundang misi perekonomian pengusaha Israel agar datang
ke Indonesia memamerkan produk-produk Israel.
Sementara itu, di Indonesia terjadi perubahan politik ketika tahun 1951, yang
menaikkan Sukiman Wiryosanjoyo sebagai Perdana Menteri dengan Menteri Luar
Negeri Achmad Subarjo. Melalui perantara seorang diplomat Australia, diadakan
pertemuan antara Achmad Subarjo dengan Menlu Israel Sharett di Paris. Subarjo
menegaskan kepada Sharett bahwa 95 persen penduduk Indonesia adalah muslim dan
pemerintah harus hati-hati untuk mengambil keputusan. Dalam pertemuan itu pula,
terjadi dialog terkait insiden kapal dagang Indonesia yang mengangkut gula dari Kuba ke
Haifa. Sebelum kapal berlabuh di Haifa, pemerintah Indonesia menginstruksikan agen
kapal agar tidak menurunkan muatannya di wilayah yang dikuasai Israel karena khawatir
pemerintah akan menjadi sasaran kemarahan publik Indonesia. Menlu Israel mengatakan
bahwa insiden tersebut bukanlah pertanda baik bagi hubungan Israel-Indonesia. (Yegar,
2006:140 - 141)
Harapan Israel agar terjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia tampaknya
semakin memudar, terlebih ketika pemerintah Sukarno menyatakan secara terbuka
kebijakan anti Israel. Pada Juni 1952, kantor berita Antara menyatakan bahwa
pemerintah Indonesia tidak akan pernah berniat mengakui Israel karena mayoritas
penduduk Indonesia beragama Islam dan dukungan besar dari negara-negara Arab ketika
masa awal kemerdekaan.
Pada Februari 1953, Kepala Departemen Politik Histadrut (Serikat Buruh) Israel
Reuven Barkat masih sempat berkunjung ke Indonesia dan bertemu sejumlah tokoh
masyarakat Indonesia. Pada saat yang berdekatan, Duta Besar Indonesia untuk London,
Subandrio ( kemudian menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia tahun 1957-1966)
melakukan pendekatan terhadap rekannya Eliahu Elath, Duta Besar Israel terkait rencana
kunjungan dirinya ke Israel. Subandrio mengklaim bahwa dirinya telah diinstruksikan
agar mengunjungi Israel secara pribadi, bukan secara resmi sebagai utusan negara. Ia
mengklaim bahwa kunjungan ke Israel tersebut untuk memastikan apakah Israel dapat
berkontribusi untuk pembagunan bangsa. Kunjungan ditetapkan pada bulan Maret 1953,
tetapi kunjungan tersebut tidak pernah terjadi. (Moshe Yegar, 2006: 143)
Masih menurut Moshe Yegar (2006:142), tahun 1953 menjadi tahun ketika terjadi
kontak antara Israel dengan orang-orang Indonesia. Seorang pejabat bidang imigrasi
Indonesia yang bekerja dibawah naungan PBB tiba di Israel untuk mempelajari
kemungkinan Kerjasama dengan Kementerian Kesejahteraan Sosial. Pada tahun yang
sama juga, Sekjen Partai Sosialis Indonesia (PSI) mengunjungi Israel pada Juli 1953,
sebagai tamu politikus Israel Reuven Barkat. Hubungan ini berakhir ketika November
1953, pemerintah secara resmi melarang orang Israel masuk ke Indonesia dan ini menjadi
kontak terakhir Israel dengan Indonesia secara resmi.
Tahun-tahun berikutnya, kebijakan pemerintah Indonesia terhadap Israel semakin
keras, apalagi ketika Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika (KAA) pada
tahun 1955. Helatan internasional tersebut memupus harapan Israel untuk bisa
berhubungan secara resmi dengan Indoensia. Israel bukan hanya tidak diundang dalam
pertemuan negara-negara tersebut, tetapi KAA secara resmi mengundang perwakilan
Palestina dan mengeluarkan keputusan mendukung Palestina dan seruan diterapkan
resolusi PBB agar persoalan Palaestina dapat dituntaskan. (Nahed Samour, 2017: 599-
604). Namun hingga kini, lebih dari 60 tahun berlalu persoalan tersebut belum juga
tuntas.
Referensi
Muslim Nurdin
Bangsa Indonesia dan Bangsa Palestina memiliki ikatan historis yang cukup kuat.
Hal tersebut bukan hanya karena sama-sama memiliki keyakinan agama yang sama
secara umum. Akan tetapi, kedua negara dan bangsa tersebut memiliki nasib yang sama
dan perjuangan yang relatif tidak berbeda dalam menghadapi kolonialisme. Bangsa
Indonesia harus menghadapi kolonialisme Belanda. Sementara Bangsa Palestina
menghadapi penjajahan Israel. Walaupun periode yang dialami tidak sama. Bahkan
hingga kini, okupasi yang dialami oleh bangsa Palestina masih belum tampak tanda-tanda
berakhir.
Secara umum, awal tragedi yang dialami Bangsa Palestina dalam mempertahankan
tanah airnya Ketika kekalahan pihak Kekhilafahan Ottoman pada Perang Dunia. Melalui
proses yang relative Panjang, salah satu negara dari blok pemenang, Inggris memberikan
“hadiah” kepada bangsa Yahudi yang saat itu menyebar di berbagai wilayah di dunia
untuk dipersatukan pada suatu wilayah. Adapun tanah yang dipilihkan adalah Palestina.
Gelombang hijrah bangsa Yahudi secara massif terjadi terus menerus. Gerakan zionisme
yang menjadi motor penggeraknya berhasil menyakinkan dunia terutama para
“pengendali” dan pemenang untuk memberikan restu kepada mereka menempati tanah
yang meneurut mereka Palestina adalah tanah yang dijanjikan sesuai dengan pemahaman
dan keyakinan mereka.
Dengan cepat dan sistematis, terciptalah Negara Israel dengan kepemimpinan
nasional, Perdana Menteri dipegang oleh Ben David Gurion dan Presiden oleh Chaim
Weizmann. Sementara Langkah yang sama tidak dilakukan oleh Bangsa Palestina sejak
lepasnya dari kekhalifahan Turki Utsmani pasca Perang Dunia. Secara de facto, wilayah
yang berbatasan dengan Mesir, Suriah, Yordania, dan Iran tersebut dihuni oleh bangsa
Arab atau Bangsa Palestina. Namun secara de jure system pemerintahan justru yang
tertata dengan baik adalah para pendatang, Bangsa Israel.
Kekalahan Turki Utsmani pada Perang Dunia menyisakan persoalan baru, yaitu
munculnya wilayah-wilayah yang “tidak bertuan”. Pilihan yang kemudian muncul adalah
mereka (bangsa atau penduduknya) yang harus melakukan penataan sebagai negara dan
bangsa yang mendiri dengan meminta pengakuan dari wilayah lain atau dengan kata lain
menyatakan kemerdekaan. (atau) pilihan lainnya dimanfaatkan oleh pemenang perang.
17
Pidato Sukarno ini diulang oleh Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi Dalam kata sambutannya untuk
buku Makarim Wibisono yang berjudul Diplomasi untuk Palestina; Catatan Pelapor Khusus
Perserikatan Bangsa-Bangsa.(Wibisono, 2017:xxi). Lihat pula Fahri, (2017: 24).
Hal ini erlaku bagi seluruh wilayah yang dahulunya berada dalam penguasaan
kekhalifahan Turki Utsmani, termasuk wilayah Palestina.
Upaya mengukuhkan identitas sebagai bangsa dan negara yang dilakukan oleh
Israel dengan melobi negara-negara Blok Sekutu atau Pemenang Perang Dunia terbukti
berhasil. Puncaknya dengan peristiwa Deklarasi Belfour pada 2 Nopember 1917. Melalui
kejadian tersebut, Inggris memberikan suatu wilayah kepada Bangsa Yahudi dunia untuk
ditempati, yaitu Palestina. Puncak kemenangan Israel merebut tanah Bangsa Arab
tersebut adalah dengan dideklarasikan Negara Israel pada 14 Mei 1948. Tanggal dan
tahun tersebut menandai eksistensi Israel sebagai negara yang berdaulat di tanah yang
barunya tersebut. Upaya yang dilakukan tersebut tidak dapat dilepaskan dari lobi-lobi
Yahudi internasional yang dimotori oleh Gerakan global yang disebut dengan Zionisme
(Kristianta 2012 : 29). Kekuatan pengaruh Zionisme berhasil terbentuk badan-badan lobi
internasional seperti AIPAC (Amerika Israel Public Affairs Comite atau Komisi Masalah-
masalah Umum Amerika - Israel), Anti-Defamation League (ADL) dan The Zionist
Organization of America (ZOA) (Ramadhan, 2017 : 145). Institusi inilah yang kemudian
menjadi media dalam hal perundingan-perundingan dengan pihak kontra Israel di dunia
internasional.
Sementara itu, upaya diplomasi yang dilakukan bangsa Palestina tidak “semujur”
yang dilakukan rivalnya. Pendekatan ras dan agama yang dominan dilakukan sehingga
bangsa dan negara-negara Arab memberikan respons positif dengan mensupport bangsa
Palestina untuk hadir. Bahkan kekuatan tersebut semakin memuncak Ketika Israel
menjadi penghuni baru di tanah Palestina tersebut.
Terkait upaya diplomasi Palestina untuk menghadapi okupasi dan kolonialisasi
Israel di tanahnya, Bangsa Palestina memandang perlu menambah kekuatan politik lain
selain bergandengan dengan negara-negara muslim di sekitar Kawasan Asia Barat Daya.
Adapun yang menjadi tujuan dan harapan adalah Bangsa dan negara Indonesia.
Walaupun negeri yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini masih dalam masa
transisi (terlepas dari kolonialisme Belanda), Bangsa Palestina menaruh harapan besar
agar kemudian negeri Muslim di Asia Tenggara ini dapat membantu mereka.
Kedua wilayah baik Palestina dan Indonesia masih berada dalam bayang-bayang
penjajahan diikat dengan nasib yang serupa. Selain itu, sebagai bangsa yang memiliki
keyakinan agama yang sama semakin memperkokoh ikatan untuk kemudian saling
membantu bagi perbaikan bangsa masing-masing. Dalam catatan sejarah, satu hal yang
tidak dapat disepelekan oleh Bangsa Indonesia adalah dukungan nyata melalui siaran
radio yang disampaikan oleh seorang mufti dari Yerusalem Bernama Syeikh Muhammad
Amin Al-Husaini yang menyatakan dukungannya atas kemandirian bangsa Indonesia
untuk kemudian menjadi negara yang berdaulat, berdiri di atas kakinya sendiri terbebas
dari belenggu penjajahan Belanda.
Selain seorang cendikiawan muslim, dukungan atas proses kemerdekaan Bangsa
Indonesia dari penjajahan Belanda dilakukan pula oleh seorang jutawan Palestina
Bernama Ali Taher. Dia memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi proses penataan
bangsa dan negara Indonesia menjadi negara yang berdaulat dan merdeka. Support dan
bantuan-bantuan yang diberikan warga Palestina tersebut menjadi tambahan kekuatan
bagi para pejuang kemerdekaan di tanah air.
Gayung pun bersambut. Pemerintah Indonesia yang disimbolkan dengan sosok Ir
Soekarno sebagai Presiden pertama memberikan apresiasi yang sangat besar terhadap
jasa-jasa Bangsa Arab, seperti Palestina. Sejumlah peristiwa tercatat dalam sejarah bahwa
Bangsa Indonesi melalu kebijakan-kebijakan pemerintahannya sangat menghargai
Bangsa Palestina karena perhatiannya kepada bangsa Indonesia. Selain itu, keduanya
senasib sepenanggungan menjadi bangsa yang terjajah.
Salah satu bentuk perhatian serius pemerintah terlihat saat digelar Muktamar
Internasional tentang Baitul Maqdis yang pertama pada tahun 1953 di Baitul-Maqdis
(Jerussalem).18 Pemerintah Indonesia secara resmi mengutus menteri luar negerinya saat
itu, yaitu Ahmad Subardjo, bersama dengan Sirajuddin Abbas, M. Rasjidi, dan Abdul
Mukti Ali. (Al-Awaisi, 1989: 51). Dalam Muktamar ini Indonesia menyetujui dibuat
Majelis Umum Muktamar yang akan berkumpul di Baitul Maqdis setiap enam bulan
untuk mengevaluasi pencapaian muktamar. Dari Indonesia diusulkan dua nama tokoh
yang sangat penting, yaitu Mohammad Nasir (mantan Perdana Menteri Indonesia) dan
Ahmad Dahlan (menteri agama saat itu).(Al_awaisi, 1989: 70). 19
Selain itu, salah satu momen yang sangat penting dan menjadi sumbangan politik
bagi bangsa Palestina adalah dengan diangkatnya persoalan akupasi Israel terhadap tanah
Palestina menjadi satu topik pembicaraan di Konferensi Asia Afrika yang dihelat pada
18-24 April 1955 di Bandung.
Dalam konferensi Internasional tersebut, Panitia yang terlibat dalam Pertemuan
Colombo dan Bogor20 pada masa sebelumnya mengumpulkan sejumlah negara di Asia
dan Afrika yang tengah mengalami nasib serupa, yaitu negara yang terjajah untuk
melepaskan diri dari belenggu kolonialisme. Maka terlaksanalah Konferensi Asia Afrika
pada pertengahan semester pertama tahun 1955. Setidaknya 29 negara hadir dalam
perhelatan internasional tersebut. Peran Indonesia pada momentum Indonesia menjadi
cukup besar dan relevan seiring dengan kebijakan Politik Luar Negeri Bebas Aktif yang
dijalankannya. 21 Puncak dukungan Pemerintah Indonesia masa Orla adalah dengan
diundangnya Palestina menjadi salah satu peserta Konferensi Asia Afrika dan ditolaknya
keikutsertaan Israel pada even internasional tersebut. Dua negara yang menyatakan
penolakan Israel untuk mengikuti KAA adalah Indonesia dan Pakistan.
Pada hari kedua KAA, perwakilan peserta KAA memberikan pidato. Isi pidato yang
disampaikan oleh Negara Yordania adalah ajakan menjaga stabilitas Kawasan terutama
persoalan seputar Palestina terkait okupasi yang dilakukan oleh Israel. 22 Sementara itu,
18
Informasi mengenai Muktamar ini secara detail telah diteliti oleh Abdul Fattah Al-Awaisi dan
dipublikasikan pada tahun 1989 di Baitul-Maqdis dengan judul Al-Mu‘tamar Al-Islâmy Al-‗Âm Baitul
Maqdis 1953 wa 1962. Buku ini dituliskan oleh Al-Awaisi untuk membuktikan bahwa masalah Baitul-
Maqdis ini sejak awal meupakan masalah umat Islam seluruh dunia.
19
Di Indonesia terdapat nama Ahmad Dahlan yang masyhur sebagai pendiri Muhammadiyah, namun beliau
sudah meninggal tahun 1923. Ahmad Dahlan yang dimaksud di atas adalah tokoh Nahdhatul Ulama yang
sempat menjadi menteri agama pada era Presiden Sukarno.
20
Konferensi Colombo dilaksanakan pada 28 April – 2 Mei 1954. Peristiwa tersebut dihadiri oleh
perwakilan dari negara Indonesia, Birma, Srilangka, India, dan Pakistan. Sementara itu, pertemuan
lanjutan dalam rangka mempersiapkan Konferensi Asia Afrika dilakukan Konferensi Bogor pada 28-31
Desember 1954. Dalam pertemuan tersebut ditetapkan bahwa KAA akan dilakukan di Bandung,
Indonesia pada April 1955.
21
Dalam salah satu sidang KNIP, Mohammad Hatta yang mencetuskan bahwa Indonesia harus berada pada
posisi yang netral, tidak berpihak pada Amerika ataupun Uni Soviet. Gagasan tersebut kemudian dikenal
dengan kebijakan politik Luar Negeri Bebas Aktif. (Arista, 2017 : 70).
22
Dokumenter Konferensi Asia Afrika, https://www.youtube.com/watch?v=-3dG7wB9WcM&t=638s
perwakilan negara-negara lain menyampaikan tajuk-tajuk yang beragam seputar sosial,
ekonomi, politik dan budaya untuk kepentingan Kawasan di masa mendatang. 23
Suara yang disampaikan Pemerintah Indonesia menolak kehadiran Israel dalam
ajang internasional di Bandung pada April 1955 tersebut merupakan sikap nyata Bangsa
Indonesia yang peduli terhadap nasib yang dialami Bangsa Palestina atas perebutan
wilayah yang dilakukan oleh Israel.
Cukup banyak bahasan yang dimusyawarahkan selama kurang lebih sepekan
konferensi berlangsung, di antara materinya adalah “Mengakui hak-hak Arab di
Palestina dan menuntut soal Palestina diselesaikan secara damai.” (Kusmayadi, 2018:8)
Dari even Konferensi Asia Afrika yang dihelat di Bandung lahirlah sejumlah keputusan
dan kesepakatan di antara negara-negara di Asia dan Afrika yang kemudian dikenal
dengan Dasa Sila Bandung.
Soekarno merupakan symbol sekaligus penyambung lidah bangsa Indonesia.
Pernyataan dan sikapnya sebagai warga negara Indonesia sekaligus pemimpin negara
menjadi isyarat nyata sikap dan posisi bangsa dan negara Indonesia terhadap Bangsa
Palestina dan penjajahan Israel di wilayah tersebut. Sikap jelas dan tegas terhadap
permasalahan yang terjadi di tanah Palestina tidak hanya tampak pada peristiwa
Konferensi Asia Afrika. Akan tetapi, sikap serupa ditampakkan pada momen-momen
internasional lainnya pada masa-masa berikutnya.
Pada sekitar tahun 1958, Indonesia ambil bagian dalam kompetisi sepak bola
tingkat dunia. Hampir saja kesebelasan Garuda masuk ke fase lebih tinggi pada ajang
Piala Dunia tahun 1958. Pada fase kualifikasi zona Asia, setelah kesebelasan Indonesia
mengalahkan Republik Rakyat Tiongkok, mereka harus berhadapan dengan kesebelasan
Israel pada fase group. Namun karena arah kebijakan politik nasional yang mengharuskan
Tim Kesebelasan Indonesia mengikuti ritme yang ada memilih untuk tidak bertanding
dengan kesebelasan Israel. 24 Aji (2013; 144) menyebutkan Pemerintah Indonesia
menyatakan bahwa “kita tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel dan kita
menjalankan good neighbour policy.”
Sebagai wujud konsistensi, Soekarno mengintruksikan kepada tim kesebelasan
Indonesia untuk menolak bertanding dengan Israel. Perintah tersebut kemudian diamini
oleh tim sepak bola Indonesia yang akan berlaga di Swedia pada ajang internasional
tersebut dengan menolak melayani kesebelasan Israel di lapangan hijau. Penolakan
tersebut berbuntut Panjang. Tim kesebelasan Indonesia mendapatkan catatan buruk dari
panitia penyelenggara termasuk dengan Badan Olahraga Sepakbola dunia.
Satu hal yang cukup menarik dari fakta historis terkait eratnya olahraga dengan
dinamika politik yang ada adalah pernyataan Soekarno yang dengan tegas membantas
sebuah statement dari Komite Olimpiade Internasional yang menyatakan bahwa politik
tidak bisa dibawa ke dalam dunia olahraga. Mereka mengatakan ―sports are sports, do
not mix sport with politics‖. Pernyataan tersebut direspons oleh Soekarno dengan
23
Bahkan dampak positif KAA mulai tampak dengan digelarnya sejumlah event serupa seperti Konferensi
Islam Asia Afrika, Konferensi Wartawan Asia Afrika, dan Konferensi Penulis Asia Afrika. (Dokumenter
Konferensi Asia Afrika, https://www.youtube.com/watch?v=-3dG7wB9WcM&t=638s)
24
Peristiwa interaksi antara olahraga dan politik demikian merupakan pengulangan Ketika olimpiade
Melbourne pada 1956. Saat itu kesebelasan Indonesia harus menghadapi Taiwan yang berujung sama.
Hanya saja saat itu, posisi Indonesia seperti Israel. Tim kesebelasan Indonesia ditolak oleh pihak
keselasan Taiwan gara-gara hubungan baik dengan Republik Rakyat Tiongkok.
mengatakan ―sports has something to do with politics!, Indonesia proposes now to mix
sports with politics.25
Periode 1950 hingga 1960an merupakan masa puncak system politik yang dibangun
oleh Soekarno. Pada kurun yang sama sejumlah even nasional bahkan internasional
cukup banyak dihelat. Hal tersebut merupakan momentum yang cukup baik bagi Bangsa
Indonesia (baca; Soekarno) untuk semakin mengukuhkan eksistensinya baik dalam
maupun luar negeri. Garis perjuangannya dalam menentang neo-kolonialisme menjadi
sesuatu yang sangat kuat terutama Ketika bergaul dalam percaturan internasional. Oleh
karena itu, menjadi relevan apabila dunia olahraga pada dekade tersebut sangat kuar
pengaruh atau unsur politik kekuasaan didalamnya.
Kebijakan politik nasional yang dimanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945
berupa penghapusan penjajahan di muka bumi terus digelorakan oleh Pemerintah
Indonesia di antaranya melalui statement-statement politik Soekarno. Hal tersebut sudah
mulai digaungkan sejak digelarnya Konferensi Asia Afrika dan hal tersebut disampaikan
pada kata sambutan pembukaan Konferensi.
Pada tahun 1962, Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV.26 Pemerintah
Indonesia Kembali menampakkan dukungannya kepada perjuangan Bangsa Palestina
yang sedang berlangsung perlawanan di negerinya. Caranya, pemerintah Indonesia tidak
memberikan visa kepada kontingen Israel dengan alasan Indonesia tidak mempunyai
hubungan diplomatik. Sikap tegas Pemerintah Indonesia tersebut mengakibatkan Komite
Olimpiade Internasional (IOC) memberikan hukuman berupa skors keanggotaan
Indonesia dan keikutsertaan pada Olimpiade musim panas.
Sanksi yang diberikan IOC kepada Indonesia tidak menjadikan negara yang baru
merdeka selama dua dekade tersebut menjadi terpuruk. Bahkan, dengan kepemimpinan
Soekarno dengan penuh kepercayaan diri menjawab hukuman tersebut dengan menghelat
even internasional serupa dengan lahirna GANEFO (Games of New Emerging Force).
Bangsa Indonesia telah memiliki pengalaman luar biasa atas suksesnya penyelenggaran
Konferensi Asia Afrika. Hal itulah kemudian menjadi modal besar atas kesiapan
penyelenggaran even internasional dalam bidang olahraga melalui GANEFO.
Dukungan dan sikap Bangsa Indonesia terhadap Bangsa Palestina ditampakkan pula
pada event internasional pasca KAA, yaitu melalui Konferensi Islam Asia Afrika
(KIAA). Kegiatan tersebut diselenggarakan pada 6-14 Maret 1965 di Gedung Merdeka
Kota Bandung. Dalam sambutannya, Soekarno menyampaikan ―we have come here
altogether from nearly 30 Asian and African countries, with that same wish: to make our
country fertile, to make our country a good country in order that islam can flourish and
blossom on the soil of our country”27
25
Arsip Pidato Presiden 484, Address by President Sukarno at the Opening of the Preparotary Conference
of the Games of the New Emerging Forced (Ganefo) in Hotel Indonesia, Djakarta, 27 April 1963 dalam
Aji (2013 ; 138-139). Lihat juga Mustikawati, (2020 : 20).
26
Indonesia berhasil menjadi penyelenggara Asian Games setelah bersaing dengan Taiwan dan Pakistan.
Terkait posisi Indonesia yang berhasil menyakinkan dunia untuk menjadi tuan rumah mendapat cibiran
dari dunia Internasional. The Straight Times Singapura yang menulis ”Lonceng kematian Asian Games
telah berbunyi di Jakarta”. Namun justru cemoohan tersebut menjadi cambuk bagi Bangsa Indonesia
untuk memaksimalkan penyelenggaraannya agar lebih baik dari tiga Asian Games sebelumnya.
27
Dokumen, Inaugural address of the President of the Republic of Indonesia at the opening ceremony of
the African Asian Islamic Conference in Bandung 6 march 1965, (Bandung: Africa Asia Islamic
Conference, 1965), hlm 8-9
Referensi: