You are on page 1of 18

PENEGASAN KEDUDUKAN PENJELASAN SUATU UNDANG-UNDANG:

TAFSIR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Bagus Hermanto, Nyoman Mas Aryani, Ni Luh Gede Astariyani


Fakultas Hukum Universitas Udayana
Email: bagushermanto9840@gmail.com, mas.aryani@gmail.com, astariyani99@yahoo.com
Naskah diterima: 28/12/2019, direvisi: 11/6/2020, disetujui: 24/8/2020

Abstract

The Formation of the Laws and Regulations Act encourages the formation of laws and regulations that adhere
to the principles of the establishment of good laws and regulations in Indonesia. One type of law and regulation
in Indonesia is Act. Act shall have an Act Explanation, however, several Acts violate the existence and function
of explanation as regulates by the Formation of Laws and Regulations Act, and encourage judicial review
through the Constitutional Court. This is situation reflected legislator’s and government’s unawareness to
emphasize the explanation in the legislation process. This paper uses the normative juridical writing method
with the statutory approach, conceptual approach, and case approach. This paper aims to analyze, study,
and confirm the function and position of explanation through the interpretation of the Constitutional Court’s
Decision. This paper shows that several Constitutional Court Decisions that used as an authentic basis in
affirming the position of explanation and the legislator’s awareness to draft the Act explanation based on the
consideration of explanation position and function in an Act.

Keywords: Elucidation; Constitutional Court Decision; Act

Abstrak

Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mendorong pembentukan peraturan


perundang-undangan yang taat asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik di Indonesia.
Salah satu peraturan perundang-undangan Indonesia yakni Undang-undang. Suatu undang-undang
harus mencantumkan penjelasan undang-undang, namun demikian, sejumlah undang-undang melanggar
eksistensi dan fungsi penjelasan dalam Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
dan mendorong diuji melalui Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut tentunya kedepan tidak tepat untuk
terjadi kembali dengan menegaskan fungsi Penjelasan dalam suatu Undang-undang. Adapun tulisan ini
menggunakan metode penulisan yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan
konseptual serta pendekatan kasus. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis, mengkaji serta menegaskan
fungsi dan kedudukan penjelasan dalam Undang-undang maupun produk legislasi lainnya melalui tafsir
Putusan Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini menemukan bahwa beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi
dapat dijadikan landasan otentik dalam menegaskan kedudukan penjelasan dalam suatu undang-undang
dan diharapkan kedepan bagi pembentuk undang-undang dengan kesadarannya untuk memperhatikan
kedudukan dan fungsi penjelasan dalam sebuah undang-undang.

Kata Kunci: Penjelasan; Putusan Mahkamah Konstitusi; Undang-Undang


Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 17 No. 3 - September 2020: 251-268

A. Pendahuluan atau instrumen peraturan perundang-undangan


yang mendukung. Kendatipun telah diupayakan
Negara hukum adalah negara yang bertujuan
melalui pengaturan yang obligatoir terkait keharusan
untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni
penyusunan Naskah Akademik7 dalam Rancangan
tata tertib yang berdasarkan hukum yang terdapat
Undang-undang, Peraturan Daerah Provinsi ataupun
pada masyarakat supaya ketertiban hukum tidak
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, namun persoalan
terganggu dan semuanya dapat berjalan sesuai dengan
baik di ranah materiil maupun formil terus terjadi.
hukum.1 Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa
Salah satunya ditandai dengan problematik formil
penyelenggaraan negara dilakukan berdasarkan atas
yang seringkali ditemui peraturan perundang-
hukum.2 Setiap tindakan pemerintah maupun warga
undangan yang tidak memenuhi form (bentuk)
negara harus dilandasi hukum yang berlaku.3 Hal
maupun problematik materiil berkenaan dengan
tersebut bermakna bahwa apapun yang dilakukan
materi (substansi/isi) dari peraturan perundang-
oleh setiap pejabat negara dalam melaksanakan
undangan yang tidak sesuai dengan peraturan
pemerintahan harus dilandasi dengan aturan-aturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal tersebut
yang ditetapkan bersama.4 Dalam bingkai negara
mendorong pengujian atau review terhadap peraturan
hukum tersebut juga terdapat kekuasaan negara atau
perundang-undangan baik berupa Undang-undang
pemerintah yang berdaulat untuk menjalankan fungsi
atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
trias politika-nya baik dalam hal menjalankan fungsi
undang (Perpu) di Mahkamah Konstitusi8 maupun
making policy atau legislasi oleh lembaga legislatif;
peraturan perundang-undangan dibawah Undang-
fungsi executing policy atau pelaksanaan legislasi
undang melalui Mahkamah Agung.
oleh lembaga eksekutif; maupun fungsi yudisial oleh
Problematika tersebut termasuk juga dalam
lembaga yudisial atau lembaga peradilan.5
hal eksistensi Penjelasan dari suatu peraturan
Tidak dapat dipungkiri dalam menjalankan
perundang-undangan [dalam hal ini Undang-undang]
fungsi-fungsi tersebut, terdapat sejumlah
tampak tidak bersesuaian dengan hakikat dan
problematika, termasuk halnya dalam menjalankan
fungsi dari Penjelasan suatu peraturan perundang-
fungsi legislasi baik dalam hal input atau masukan
undangan. Dalam hal ini, terdapat sejumlah Undang-
untuk menyusun produk legislasi maupun proses
undang di Indonesia yang mengalami problematika
pembuatan produk legislasi hingga menjadi suatu
terkait Penjelasan dari Undang-undang dan kemudian
output berupa produk legislasi atau peraturan
diajukan pengujian undang-undang yang dinilai
perundang-undangan nasional, dalam hal ini tiada
bertentangan dengan UUD NRI Tahun 19459 atau
lain relevansinya untuk mendorong pembangunan
constitutional review10 di Mahkamah Konstitusi
nasional melalui pembentukan Undang-undang6

1. Abdul Mukthie Fadjar. 2004. Tipe Negara Hukum. Malang: Bayumedia Publishing, hlm. 5.
2. H. Hayat. 2015. Keadilan sebagai Prinsip Negara Hukum: Tinjauan Teoritis dalam Konsep Demokrasi. Padjajaran
Journal of Law Volume 2 Nomor 2, hlm. 1.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 2010. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan Ayat), Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, hlm. 46.
4. Nyoman Mas Aryani dan Bagus Hermanto. 2019. Gagasan Perluasan Lembaga Negara sebagai Pihak Pemohon
dalam Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jurnal Legislasi
Indonesia Volume 16 Nomor 2, hlm. 175-176.
5. I Gede Yusa dan Bagus Hermanto. 2017. Gagasan Rancangan Undang-undang Lembaga Kepresidenan: Cerminan
Penegasan dan Penguatan Sistem Presidensiil Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia Volume 14 Nomor 3, hlm. 317.
6. Yuliandri. 2011. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik Gagasan Pembentukan
Undang-undang yang Berkelanjutan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 1.
7. Rachmat Trijono. 2013. Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan. Jakarta: Papas Sinar Sinanti, hlm.
111.
8. Jimly Asshiddiqie. 2010. Hukum Acara Pengujian Undang-undang. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 24-26.
9. Aan Eko Widiarto. 2019. Implikasi Hukum Pengaturan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dalam Bentuk
Peraturan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Volume 16 Nomor 1, hlm. 26-27.
10. Daniel Samosir, 2015. Faktor-faktor yang Menyebabkan Materi Muatan Undang-undang bertentangan dengan
UUD 1945. Jurnal Konstitusi Volume 12 Nomor 4, hlm. 777-778.

252
Penegasan Kedudukan Penjelasan Suatu Undang-Undang... (Bagus Hermanto, Nyoman M. Aryani, Ni Luh G. Astariyani)

yakni pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perundang-undangan (selanjutnya disingkat sebagai
005/PUU-III/2005, Putusan Mahkamah Konstitusi UU P3), pendekatan kasus (case approach) yakni
Nomor 011/PUU-III/2005, serta Putusan Mahkamah dengan menelaah beberapa Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang kemudian
11
Konstitusi berkaitan dengan isu hukum yang dibahas
Mahkamah Konstitusi menegaskan sejumlah batasan pada tulisan ini, pendekatan konseptual (conceptual
dan rambu-rambu dalam hal Penjelasan suatu approach) berkenaan dengan substansi Penjelasan
Undang-undang dan sejalan dengan pengaturan dalam Undang-undang. Tulisan ini menggunakan
pada Lampiran Undang-undang Nomor 10 Tahun sumber bahan hukum berupa bahan hukum primer
2004 maupun Lampiran II Undang-undang Nomor dan bahan hukum sekunder.16 Bahan hukum
12 Tahun 2011. Adapun persoalan ini mendorong primer yang dikumpulkan dalam rangka preliminary
kemunculan tulisan ini dengan mengangkat tajuk research17 yang digunakan dalam tulisan ini yakni
“Penegasan Kedudukan Penjelasan Suatu Undang- asas negara hukum, UUD NRI Tahun 1945, UU
Undang: Tafsir Putusan Mahkamah Konstitusi”. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan
Tulisan ini berbasis penelitian hukum normatif Putusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, bahan
(normative legal research), sebagai penelitian hukum hukum sekunder yang digunakan yakni berupa buku-
yang mencitrakan hukum menjadi disiplin preskriptif 12
buku hukum (text book), jurnal-jurnal hukum, serta
dengan berfokus pada hukum dari sudut pandang publikasi resmi dari instansi negara.
norma-normanya atau sebagai suatu sistem norma
13

B. Pembahasan
(statutory law atau peraturan perundang-undangan).14
Tulisan ini secara holistik mengkaji penegasan B.1.Asas-asas Pembentukan Peraturan Perun-
kedudukan Penjelasan dalam suatu Undang-undang dang-undangan
melalui tafsir hukum pada sejumlah Putusan
Ada beberapa ahli yang mengemukakan mengenai
Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini menggunakan
asas yang berhubungan dengan pembentukan
pendekatan perundang-undangan (statute approach),
peraturan perundang-undangan, yakni melalui Het
yang mengkaji peraturan perundang-undangan yang
wetsbergip en beginselen van berhoorlijke regelgeving,
relevan dengan problematika hukum15 pada tulisan
I.C. van der Vlies membagi beginselen van behoorlijke
ini, yakni mengkaji UUD NRI Tahun 1945, UU Nomor
regelgeving18 ke dalam asas-asas formal meliputi:19
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

11. Putusan ini lahir sebagai akibat ketidaktaatan legislator dalam rangka konsisten menjalankan amanat kedua
Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Hal ini juga merupakan salah satu problem berkenaan dengan ketidakpatuhan
terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi. Lihat lebih lanjut dalam ulasan Widayati, 2017,”Problem Ketidakpatuhan
terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Undang-undang”, Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume IV,
Nomor 1, Januari-April, 1-14, hlm. 3-4.
12. Nafaz Choudhury. 2017. Revisiting Critical Legal Pluralism: Normative Contestations in the Afghan Courtroom. Asian
Journal of Law and Society Volume 4 Nomor 1. hlm. 231.
13. Depri Liber Sonata. 2014. Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakteristik Khas dari Metode Meneliti
Hukum. Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 8 Nomor 1, hlm. 24-25.
14. Karen Petroski. 2013. Legal Fictions and the Limits of Legal Language. International Journal of Law in Context
Volume 9 Nomor 4, hlm. 488.
15. Andri Gunawan Wibisana. 2019. Menulis di Jurnal Hukum: Gagasan, Struktur, dan Gaya. Jurnal Hukum &
Pembangunan Volume 49 Nomor 2 hlm. 472-473.
16. Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Group, hlm. 93-137.
17. M.L. Cohen and K.C. Olson. 1992. Legal Research in a Nutshell. St. Paul Minnesota: West Publishing Co hlm. 7-10.
18. Agus Surono. 2013. Fiksi Hukum dalam Pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Al-Azhar Indonesi, hlm. 103-104.
19. I.C. van der Vlies sebagaimana dikutip dari Hamid S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis.Mengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan dalam kurun Waktu Pelita I- Pelita IV, Disertasi, Doktor Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia, hlm. 336.

253
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 17 No. 3 - September 2020: 251-268

1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van dudlijke 4. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan
doesteling), yaitu mencakup tiga hal, yakni individual (het beginsel van de individuele
mengenai ketepatan letak peraturan perundang- rechtsbedeling), asas ini bermaksud memberikan
undangan dalam kerangka kebijakan umum penyelesaian yang khusus bagi hal-hal atau
pemerintahan, tujuan khusus yang akan keadaan-keadaan tertentu yang menyangkut
dibentuk, dan tujuan dari bagian-bagian yang kepentingan individual.
akan dibentuk tersebut; Menurut A. Hamid S. Attamimi, dalam
2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het pembentukan peraturan-undangan Indonesia,
juiste organ), hal ini untuk menegaskan kejelasan sebagaimana di negara lain, terdapat dua asas hukum
organ yang menetapkan peraturan perundang- yang perlu diperhatikan, yaitu asas hukum umum
undangan tersebut; yang khusus memberikan pedoman dan bimbingan
3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakeliijkheids bagi “pembentukan” isi peraturan, dan asas hukum
beginsel) merupakan prinsip yang menjelaskan lainnya yang memberikan pedoman dan bimbingan
berbagai alternatif maupun relevansi bagi penuangan peraturan ke dalam bentuk dan
dibentuknya peraturan untuk menyelesaikan susunannya, bagi metoda pembentukannya, dan bagi
problema pemerintahan; proses serta prosedur pembentukannya. Asas hukum
4. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van yang terakhir ini dapat disebut asas pembentukan
uitvoerbaarheid), yaitu peraturan yang dibuat peraturan perundang-undangan yang patut.21 Asas-
seharusnya dapat ditegakkan secara efektif; asas tersebut secara berurutan yakni22 pertama, Cita
5. Asas konsensus (het beginsel van consensus), Hukum Indonesia yang tidak lain adalah Pancasila
yaitu kesepakatan rakyat untuk melaksanakan (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Cita (Idee),
kewajiban dan menanggung akibat yang yang berlaku sebagai “bintang pemandu”); kedua,
ditimbulkan oleh suatu peraturan secara Asas Negara Berdasar Hukum yang menempatkan
konsekuen. Hal itu mengingat pembentukan Undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas
peraturan perundang-undangan sebagai langkah berada dalam keutamaan hukum (der Primat des
awal untuk mencapai tujuan-tujuan yang Rechts), dan asas Pemerintahan Berdasar Sistem
‘disepakati bersama’ oleh pemerintah dan rakyat. Konstitusi yang menempatkan Undang-undang
Sedangkan, asas- asas yang material meliputi: 20
sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-
1. Asas terminologi dan sistematika yang benar (het kegiatan pemerintahan; serta ketiga, Asas-asas
beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke lainnya.23
systematiek) artinya setiap peraturan hendaknya Apabila mengikuti pembagian mengenai
dapat dipahami oleh rakyat; adanya asas yang formal dan material, maka A.
2. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het Hamid S Attamimi cenderung untuk membagi
rechtsgelijkheidsbeginsel) hal ini untuk mencegah asas-asas tersebut ke dalam: pertama, asas-asas
praktik ketidakadilan dalam meperoleh formal, dengan perincian: asas tujuan yang jelas;
pelayanan hukum; asas perlunya pengaturan; asas organ/lembaga
3.
Asas kepastian hukum (het yang tepat; asas materi muatan yang tepat; asas
rechtszekerheidsbeginsel), artinya peraturan dapatnya dilaksanakan; dan asas dapatnya dikenali.
yang dibuat mengandung aspek konsistensi Kedua, asas-asas material, dengan perincian: asas
walaupun diimplementasikan dalam waktu dan sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma
ruang yang berbeda; Fundamental Negara; asas sesuai dengan Hukum

20. Rosjidi Ranggawidjaya. 2009. Pengantar Ilmu Perundang-undangan. Bandung: Mandar Maju, hlm. 7.
21. A. Hamid S Attamimi seperti dikutip Bayu Dwi Anggono. 2018. Tertib Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan: Permasalahan dan Solusinya. Masalah-masalah Hukum Volume 47 Nomor 1, hlm. 26.
22. Maria Farida Indrati S.,1998. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta:
Kanisius, hlm.197.
23. Sadhu Bagas Suratno. 2017. Pembentukan Peraturan Kebijakan berdasarkan Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Baik. Jurnal Lentera Hukum Volume 4 Nomor 3, hlm. 171.

254
Penegasan Kedudukan Penjelasan Suatu Undang-Undang... (Bagus Hermanto, Nyoman M. Aryani, Ni Luh G. Astariyani)

Dasar Negara; asas sesuai dengan prinsip-prinsip mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
Negara Berdasar Atas Hukum; asas sesuai dengan dan bernegara.
prinsip-prinsip Pemerintahan Berdasar Sistem 6. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan”
Konstitusi. 24
adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-
Dalam ketentuan Pasal 5 UU P3, disebutkan undangan harus memenuhi persyaratan teknis
bahwa Pembentukan Peraturan Perundang-undangan penyusunan Peraturan Perundang-undangan,
yang baik haruslah didasarkan pada asas-asas sistematika, pilihan kata atau isttilah, serta
pembentukan perundang-undangan yang baik, bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti
yaitu kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, interpretasi dalam pelaksanaannya.
hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; 7. Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan”
kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan
rumusan; dan keterbukaan. Dengan penjelasan Perundang-undangan mulai dari perencanaan,
masing-masing yakni: 25
penyusunan, pembahasan, pengesahan
1. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” atau penetapan, dan pengundangan bersifat
adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan transparan dan terbuka. Dengan demikian,
Perundang-undangan harus mempunyai tujuan seluruuh lapisan masyarakat mempunyai
yang jelas yang hendak dicapai. kesempatan yang seluas-luasnya untuk
2. Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau memberikan masukan dalam Pembentukan
pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa Peraturan Perundang-undangan.
setiap jenis Peraturan Perundang-undangan
B.2.Undang-undang dalam Hierarki Peraturan
harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat
Perundang-undangan
Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
yang berwenang. B.2.1.Materi Muatan, Fungsi dan Eksistensi Un-
3. Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara dang-undang dalam Peraturan Perundang-un-
jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dangan Nasional
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
Jenis peraturan perundang-undangan yang
undangan harus benar-benar memperhatikan
ketiga menurut UU P3 adalah Undang-Undang (UU).
materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis
Landasan Hukum UU diatur dalam Pasal 20 ayat
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
(1) dan Pasal 5 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945
4. Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan”
[kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang
adalah setiap Pembentukan Peraturan
ditangan DPR], dan dipertegas dalam Pasal 1 angka
Perundang-undangan harus memperhitungkan
3 UU P3 bahwa UU adalah Peraturan Perundang-
efektivitas Peraturan Perundang-undangan
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
tersebut di dalam masyarakat baik secara
Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.26
filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Dengan demikian, maka dalam pembentukan UU
5. Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan
lembaga legislatif mempunyai peranan yang sangat
kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan
menentukan keabsahan dan kekuatan mengikat UU
Perundang-undangan dibuat karena memang
itu untuk umum.27 P.J.P.Tak28 dalam Rechtsvorming
benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam

24. Maria Farida Indrati Soeprapto, et.al., 2008. Laporan Kompendium Bidang Hukum Perundang-undangan, Jakarta:
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Badan Pembinaan Hukum Nasional Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sistem Hukum Nasional, hlm. 35-38.
25. Muhammad Fadli. 2018. Pembentukan Undang-undang yang Mengikuti Perkembangan Masyarakat. Jurnal
Legislasi Indonesia Volume 15 Nomor 1, hlm. 50.
26. Winda Wijayanti. 2013. Eksistensi Undang-undang sebagai Produk Hukum dalam Pemenuhan Keadilan bagi
Rakyat (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-X/2012). Jurnal Konstitusi Volume 10 Nomor 1, hlm.
183-184.
27. Jimly Asshiddiqie. 2010. Perihal Undang-undang. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 32-33.
28. HAS. Natabaya. 2008. Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, hlm.11.
255
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 17 No. 3 - September 2020: 251-268

in Netherland, pengertian UU dibagi menjadi: UU halnya dengan UU No.10 Tahun 2004,32 dalam UU
dalam arti materiil (wet materiele zin) dan UU dalam ini juga diakui jenis peraturan perundang-undangan
arti formal (wet formele zin). 29
UU dalam arti formil lainnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8
adalah apabila pemerintah bersama dengan parlemen ayat (1) yang menentukan bahwa: Jenis Peraturan
mengambil keputusan –maksudnya untuk membuat Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
UU- sesuai dengan prosedur. Sedangkan UU dalam arti dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
materiil adalah jika suatu lembaga yang mempunyai ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
kewenangan membentuk peraturan perundang- Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
undangan mengeluarkan suatu keputusan yang Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
isinya mengikat masyarakat secara umum. 30
Atau Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
dengan kata lain UU dalam arti Materiil melihat UU Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang
dari segi isi, materi dan dan substansinya. Sedangkan setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang
UU dalam arti formil dilihat dari segi bentuk dan atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
pembentukannya. Pembedaan tersebut hanya dilihat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,
dari segi penekanannya yaitu sudut penglihatan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
yaitu undang-undang yang dilihat dari segi materinya Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
dan undang-undang yang dilihat dari segi bentuknya. Peraturan ini mempunyai kekuatan mengikat
Adapun pengaturan terkait dengan hierarki sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih
peraturan perundang-undangan mengalami dinamika tinggi.33 Jenis peraturan perundang-undangan
dari awal kemerdekaan hingga masa reformasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU P3
diantaranya ditandai dengan pengaturan melalui Tap dapat disebut sebagai Jenis Peraturan Perundang-
MPRS Nomor XX/MPRS/1966, Tap MPR Nomor III/ undangan Di Dalam Hierarki,34 untuk membedakan
MPR/2000,31 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dengan jenis peraturan perundang-undangan yang
hingga terakhir melalui Undang-undang Nomor 12 diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU P3, yang dapat
Tahun 2011 jo. Undang-undang Nomor 15 Tahun disebut Jenis Peraturan Perundang-undangan di
2019 (UU P3). Secara spesifik, UU P3 menegaskan Luar Hierarki.35 Kekuatan hukum mengikat peraturan
melalui ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun perundang-undangan tersebut diatas adalah sesuai
2011 menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan dengan hierarkinya (Pasal 7 ayat 2 UU P3). Yang
Perundang-undangan terdiri atas Undang-Undang dimaksud dengan “hierarki” menurut Penjelasan
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; pasal tersebut adalah: penjenjangan setiap jenis
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang- Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan
Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kabupaten/Kota. Tata urutan tersebut maka sama

29. Jimly Asshiddiqie. 2008. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Bhuana Inti
Populer, hlm. 305-306.
30. Ni Luh Gede Astariyani dan Bagus Hermanto. 2019.Paradigma Keilmuan dalam Menyoal Eksistensi Peraturan
Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan: Tafsir Putusan Mahkamah Agung.Jurnal Legislasi Indonesia Volume
16 Nomor 4, hlm. 436-437.
31. I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a. 2013. Dinamika hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia.
Bandung: Alumni, hlm. 77-78.
32. Bayu Dwi Anggono. 2018. Tertib Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan: Permasalahan
dan Solusinya. Masalah-masalah Hukum Volume 47 Nomor 1, hlm. 7.
33. Retno Saraswati. 2013. Problematika Hukum Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Yustisia Volume 2 Nomor 3, hlm. 98.
34. Ferry Irawan Febriansyah. 2016. Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.Perspektif
Volume XXI Nomor 3, hlm. 222-223.
35. Zaka Firman Aditya dan M. Reza Winata. 2018. Rekonstruksi Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
Jurnal Negara Hukum Volume 9 Nomor 1, hlm. 80-81.

256
Penegasan Kedudukan Penjelasan Suatu Undang-Undang... (Bagus Hermanto, Nyoman M. Aryani, Ni Luh G. Astariyani)

Fungsi peraturan perundang-undangan [Undang- Indonesia Tahun 1945; perintah suatu Undang-
undang] adalah fungsi dari salah satu sumber Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;38
hukum, yaitu peraturan perundang-undangan pengesahan perjanjian internasional tertentu; 39
itu sendiri,36 yang bermakna sebagai kegunaan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi;40
peraturan perundang-undangan secara umum dan dan/atau pemenuhan kebutuhan hukum dalam
secara khusus sesuai dengan jenisnya. Atau dapat masyarakat. Dan tindak lanjut atas putusan
dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan Mahkamah Konstitusi41 sebagaimana dimaksud pada
adalah sebagai instrumen kebijakan (beleids ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.
instrument),37 yang dikeluarkan oleh pejabat atau Intinya, materi muatan yang harus diatur dengan
lembaga yang berwenang yang memiliki kegunaan Undang-Undang berisi pengaturan lebih lanjut
atau fungsi-fungsi tertentu. Intinya bahwa fungsi mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Undang-Undang yakni pertama, pengaturan lebih Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat dalam
lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 sejumlah pasal UUD 1945 dengan penanda “dengan
yang tegas-tegas menyebutnya; kedua, pengaturan undang-undang”42 atau “dalam undang-undang”.43
lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam
B.2.2. Bentuk dan Format Baku Undang-undang
Batang Tubuh UUD 1945; serta ketiga, pengaturan
lebih lanjut dalam ketetapan MPR yang tegas-tegas Dalam hal ini, Undang-undang sebagai salah
menyebutnya. produk perundang-undangan dalam hierarki
Terkait Materi Muatan Undang-undang, dalam peraturan peraturan perundang-undangan,
Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU P3 disebutkan bahwa sebagaimana Lampiran II UU P344 yakni Pertama,
materi muatan yang harus diatur dengan Undang- dalam angka 2 Lampiran II UU P3 disebutkan bahwa
Undang berisi pengaturan lebih lanjut mengenai Judul Peraturan Perundang–undangan (dalam hal ini
ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Undang-undang) memuat keterangan mengenai jenis,

36. Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera. 2009. Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah
(Suatu Kajian Teoritis dan Praktis disertai Manual) Konsepsi Teoritis menuju Artikulasi Empiris. Jakarta: Kencana Prenada
Media, hlm. 60-65.
37. M. Ilham F. Putuhena. 2012. Politik Hukum Perundang-undangan dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Produk
Legislasi. Jurnal Rechtsvinding Volume 1 Nomor 3, hlm. 357-358.
38. Pasal 10 ayat (1) huruf b tidak sesuai dengan asas lex posteriore derogat lex priori. Di sisi lain ketentuan itu
menunjukkan pendelegasian kewenangan mengatur dari undang-undang kepada undang-undang lainnya. Salah satu
materi muatan Undang-Undang ini tidak memperhatikan bahwa bukannya undang-undang terdahulu menentukan
materi muatan undang-undang yang kemudian dibentuk.
39. Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian internasional yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian
tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan DPR.
40. Yang dimaksud dengan ”tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi” terkait dengan putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas
dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
41. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum.
42. Rumusan diatur dengan undang-undang bermakna hal yang diatur dalam ketentuan itu harus dirumuskan
dalam sebuah undang-undang yang khusus diterbitkan untuk kepentingan itu (Majelis Permusyawaratan Rakyat
2013). Dalam hal ini, UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan frasa tersebut yakni pada Pasal 2(1), 6(2), 11(3), 12, 15, 18
(1), 18A(1), 18B(1), 19(2), 22A, 22C(4), 23E(6), 23A, 23B, 23C, 23D, 23E(3), 23G(2), 24(3), 33(5) dan 34(4).
43. Rumusan diatur dalam undang-undang bermakna hal yang diatur dalam ketentuan itu dapat menjadi materi
suatu atau beberapa undang-undang yang tidak khusus diterbitkan untuk kepentingan itu (Majelis Permusyawaratan
Rakyat 2013). Dalam hal ini, UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan frasa tersebut yakni pada Pasal 6A(5), 16, 17(4), 18(7),
18B(2), 20A(4), 22B, 22D(4), 24A(5), 24B(4), 24C(6), 25, 25A, 26(1), 26(3), 28, 28J(2), 30(5), 31(3) dan 36C.
44. Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2017, Pedoman Penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Undang-undang, Jakarta: Pusat Perancangan Undang-undang Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, hlm. xvi-xvii.

257
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 17 No. 3 - September 2020: 251-268

nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan
nama Peraturan Perundang–undangan. Kedua, dalam tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal
angka 14 Lampiran II UU P3, Pembukaan Peraturan atau bab. Dan diberikan rambu sebagaimana angka
Perundang-undangan (dalam hal ini Undang- 103 dan 104 bahwa bila rumusan definisi dari suatu
undang) memuat Pembukaan Peraturan Perundang– Peraturan Perundang-undangan dirumuskan kembali
undangan terdiri atas Frasa Dengan Rahmat Tuhan dalam Peraturan Perundang-undangan yang akan
Yang Maha Esa; Jabatan pembentuk Peraturan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama
Perundang-undangan; Konsiderans; Dasar Hukum; dengan rumusan definisi dalam Peraturan Perundang-
dan Diktum. Dalam segmen ini, secara spesifik undangan yang telah berlaku tersebut, juga rumusan
dipertegas terkait konsiderans dalam angka 18 dan batasan pengertian dari suatu Peraturan Perundang-
19, yang disebutkan bahwa Konsiderans memuat undangan dapat berbeda dengan rumusan Peraturan
uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi Perundangundangan yang lain karena disesuaikan
pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan dengan kebutuhan terkait dengan materi muatan
Perundang–undangan, memuat unsur filosofis, 45
yang akan diatur. Kemudian, terkait Materi Pokok
sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan
46 47
yang Diatur sebagaimana dijelaskan dalam angka 110
dan alasan pembentukannya. Selain itu, Dasar Lampiran II UU P3 ditempatkan langsung setelah bab
Hukum sebagaimana angka 28, memuat a. Dasar ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokkan
kewenangan pembentukan Peraturan Perundang- bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah
undangan; dan b. Peraturan Perundang-undangan pasal atau beberapa pasal ketentuan umum. Terkait
yang memerintahkan pembentukan Peraturan dengan Ketentuan Pidana yang sifatnya fakultatif
Perundang-undangan. Serta, merujuk pada angka artinya tidak diwajibkan untuk mencantumkannya.48
53, terdapat Diktum terdiri atas kata Memutuskan; Ketentuan ini memuat rumusan yang menyatakan
kata Menetapkan; dan jenis dan nama Peraturan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap
Perundang-undangan. ketentuan yang berisi norma larangan atau norma
Ketiga, Batang Tubuh, yang merujuk angka 62 perintah, dengan memperhatikan asas-asas umum
Lampiran II UU P3 dikelompokkan ke dalam ketentuan ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu
umum; materi pokok yang diatur; ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena
pidana (jika diperlukan); ketentuan peralihan (jika ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi
diperlukan); dan ketentuan penutup. Adapun terkait perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan
dengan Ketentuan Umum sebagaimana angka 98 perundang-undangan lain, kecuali jika oleh Undang-
Lampiran II UU P3 berisi: a. batasan pengertian atau Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-
definisi; b. singkatan atau akronim yang dituangkan Undang Hukum Pidana).49 Pada angka 114 disebutkan
dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau c. bahwa dalam menentukan lamanya pidana atau
hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai
pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam

45. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran,
dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat dalam B. Hestu Cipto Handoyo,
2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 65-66.
46. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
berbagai aspek. Lihat dalam Ibid., hlm. 66.
47. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau
mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut
guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Lihat dalam Nurrahman Aji Utomo, 2015,”Dinamika
Hubungan antara Pengujian Undang-undang dengan Pembentukan Undang-undang”, Jurnal Konstitusi, Volume 12,
Nomor 4, Desember, 825-848, hlm. 838.
48. Simak lebih lanjut dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.Cit., hlm. 115-116.
49. Yahya Ahmad Zein, Ristina Yudhanti dan Aditia Syaprillah. 2016. Legislative Drafting Perancangan Perundang-
undangan. Yogyakarta: Thafa Media, hlm. 96-100.

258
Penegasan Kedudukan Penjelasan Suatu Undang-Undang... (Bagus Hermanto, Nyoman M. Aryani, Ni Luh G. Astariyani)

masyarakat serta unsur kesalahan pelaku serta undangan yang sudah ada; dan saat mulai berlaku
ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang- Peraturan Perundang-undangan.
Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Keempat, Penutup merupakan bagian akhir
Daerah Kabupaten/Kota. Disamping itu, rumusan Peraturan Perundang-undangan yang memuat52
ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas rumusan perintah pengundangan dan penempatan
norma larangan atau norma perintah yang dilanggar Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran
dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik
memuat norma tersebut. Dengan demikian, perlu Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran
dihindari pengacuan kepada ketentuan pidana Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau
Peraturan Perundang-undangan lain, pengacuan Berita Daerah Kabupaten/Kota; penandatanganan
kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jika pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang-
elemen atau unsur-unsur dari norma yang diacu undangan; pengundangan atau Penetapan Peraturan
tidak sama; atau penyusunan rumusan sendiri Perundang-undangan; dan akhir bagian penutup.
yang berbeda atau tidak terdapat di dalam norma- Kelima, terkait dengan Penjelasan yang secara
norma yang diatur dalam pasal atau beberapa pasal umum dimuat dalam Undang-undang, Peraturan
sebelumnya, kecuali untuk undang-undang mengenai Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/
tindak pidana khusus. Kemudian, terkait Ketentuan Kota sebagaimana ditentukan dalam angka 174
Peralihan sifatnya fakultatif atau jika diperlukan Lampiran II UU P3, namun juga diberikan ruang bagi
saja. Sebagaimana angka 127 Lampiran II UU P3, peraturan perundang-undangan lainnya di bawah
Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan Undang-undang untuk diberikan penjelasan bilaman
tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah diperlukan sebagaimana diatur dalam angka 175
ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Lampiran II UU P3.
yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan Keenam, Lampiran dalam Undang-undang,
yang baru, yang bertujuan untuk menghindari sebagimana angka 192 dan 193 Lampiran II UU P3,
terjadinya kekosongan hukum; menjamin kepastian hal tersebut dinyatakan dalam batang tubuh bahwa
hukum; memberikan perlindungan hukum bagi lampiran dimaksud merupakan bagian yang tidak
pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan terpisahkan dari Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Perundang-undangan; dan mengatur Lampiran dapat memuat antara lain uraian, daftar,
hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat tabel, gambar, peta, dan sketsa.
sementara. 50
Rumusan dalam Ketentuan Peralihan
B.3. Ketentuan Penjelasan dalam Undang-undang
hendaknya tidak memuat perubahan terselubung
Menurut Undang-undang Pembentukan
atas ketentuan Peraturan Perundang-undangan lain.
Peraturan Perundang-undangan
Perubahan ini hendaknya dilakukan dengan membuat
batasan pengertian baru di dalam Ketentuan Umum Pada bagian ini, secara spesifik akan dijabarkan
Peraturan Perundang-undangan atau dilakukan terkait dengan eksistensi ketentuan Penjelasan dalam
dengan membuat Peraturan Perundang-undangan suatu Undang-undang sebagaimana Undang-undang
perubahan. Terakhir terkait dengan Ketentuan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Penutup sebagaimana angka 137 Lampiran II UU Secara prinsipil, Penjelasan wajib dimuat dalam
P3, memuat ketentuan mengenai penunjukan organ Undang-undang, Peraturan Daerah Provinsi dan
atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana
Perundang-undangan;51 nama singkat Peraturan ditegaskan pada angka 174 Lampiran II UU P3,
Perundang-undangan; status Peraturan Perundang- sedangkan Peraturan Perundang-undangan di

50. Azis Syamsuddin. 2013. Proses & Teknik Penyusunan Undang-undang. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 51-52.
51. Ann Seidman, et.al.. 2001. Penyusunan Rancangan Undang-undang dan Perubahan Masyarakat yang Demokratis.
Jakarta: Proyek ELIPS, hlm. 20.
52. Maria Farida Indrati Soeprapto. 2016. Ilmu Perundang-undangan 2: Proses dan Teknik Penyusunan. Yogyakarta:
Kanisius, hlm. 152-153.

259
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 17 No. 3 - September 2020: 251-268

bawah Undang-undang lainnya dapat diberi penjelasan umum [Penjelasan umum memuat
penjelasan bilamana diperlukan. Adapun Penjelasan uraian secara sistematis mengenai latar belakang
dalam suatu Undang-undang juga produk legislasi pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan
lainnya mengandung fungsi yakni sebagai tafsir Peraturan Perundang-undangan yang telah tercantum
resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan secara singkat dalam butir konsiderans, serta asas,
atas norma tertentu dalam batang tubuh. Dalam tujuan, atau materi pokok yang terkandung dalam
hal ini, Penjelasan hanya memuat uraian terhadap batang tubuh Peraturan Perundang-undangan] dan
kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing penjelasan pasal demi pasal [Rumusan penjelasan
dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai berikut
Ditegaskan pula, bahwa Penjelasan sebagai sarana tidak bertentangan dengan materi pokok yang
untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak diatur dalam batang tubuh; tidak memperluas,
boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari mempersempit atau menambah pengertian norma
norma yang dimaksud.53 Sejalan dengan hal tersebut, yang ada dalam batang tubuh; tidak melakukan
B.R. Atre dalam Jimly Asshiddiqie juga menegaskan
54
pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam
tujuan adanya Penjelasan dalam peraturan batang tubuh; tidak mengulangi uraian kata, istilah,
perundang-undangan [dalam hal ini Undang-undang] frasa, atau pengertian yang telah dimuat di dalam
yakni menjelaskan pengertian dan maksud suatu ketentuan umum; dan/atau tidak memuat rumusan
ketentuan; memperjelas ketentuan yang masih pendelegasian]; serta Keempat, ketentuan umum
tidak jelas (obscure) atau kabur (vague) sehingga yang memuat batasan pengertian atau definisi dari
ketentuan tersebut konsisten dengan tujuan yang kata atau istilah, tidak perlu diberikan penjelasan.
akan dicapai oleh pengaturan yang bersangkutan;
B.4. Tafsir Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
menyediakan tambahan uraian pendukung terhadap
Problematik Kedudukan Penjelasan dalam
tujuan utama peraturan perundang-undangan agar
Undang-undang yang Diuji di Mahkamah
keberadaannya semakin bermakna; membantu
Konstitusi
pengadilan dalam menafsirkan dan menekan
kesalahan serta mengedepankan objek peraturan Dalam bagian tulisan ini, terdapat tiga buah
perundang-undangan; dan sebagai penafsiran Putusan Mahkamah Konstitusi yang dapat dijadikan
yang sama bagi setiap orang yang tunduk terhadap sumber Penegasan Kedudukan Penjelasan dalam
ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan suatu Undang-undang, dengan uraian sebagai
perundang-undangan. berikut:
Dalam Lampiran II UU P3 juga terdapat sejumlah
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/
rambu-rambu khusus terkait dengan penguatan
PUU-III/2005
terhadap fungsi Penjelasan sebagai tafsir resmi
Adapun perkara ini dimohonkan ke Mahkamah
pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas
Konstitusi, terkait dengan permohonan pengujian
norma tertentu dalam batang tubuh [pada Undang-
Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang
undang]. Rambu-rambu tersebut yakni pertama,
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar
Pemerintahan Daerah [selanjutnya disingkat
hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan
sebagai UU Pemerintahan Daerah] terhadap Pasal
tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi
18 ayat 4, pasal 27 ayat 1, pasal 28 D dan pasal
norma. Kedua, Penjelasan tidak menggunakan
28 I UUD NRI Tahun 1945. Dalam permohonan ini,
rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung
para pemohon menilai pemberlakuan Penjelasan
terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Pemerintahan
Ketiga, Penjelasan [Undang-undang] terdiri atas

53. Bustanuddin, 2013,”Analisis Fungsi Penjelasan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”,
Inovatif: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 6, Nomor 7, 79-90, hlm. 88-89.
54. B.R. Atre, 2001,”Legislative Drafting: Principles and Techniques Paperback” dalam Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm.
194-195.

260
Penegasan Kedudukan Penjelasan Suatu Undang-Undang... (Bagus Hermanto, Nyoman M. Aryani, Ni Luh G. Astariyani)

Daerah berpotensi menghalangi hak konstitusional menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam
Para Pemohon baik secara pribadi warga negara pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi
Indonesia maupun sebagai badan hukum partai memuat substansi yang sama sekali bertentangan
politik untuk mencalonkan dan dicalonkan sebagai dengan norma yang dijelaskan, yang saat itu telah
kepala daerah dalam Pemilihan Umum Kepala ditegaskan dengan jelas dalam Lampiran [vide Pasal
Daerah. Adapun Penjelasan Pasal 59 ayat (1) 44 ayat (2)] UU Nomor 10 Tahun 2004 yang merupakan
Undang-undang Pemerintahan Daerah tersebut oleh bagian tak terpisahkan dari Undang-undang Nomor
pihak pemohon didalilkan telah mengaburkan dan 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
menghilangkan substansi dari batang tubuh Pasal Perundang-undangan yang antara lain menentukan
59 ayat 1 dan 2 yang intinya mengatur bahwa yang bahwa pertama, Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran
boleh mengusulkan pasangan calon adalah Partai resmi pembentuk peraturan perundang-undangan
Politik atau gabungan Partai Politik yang memiliki atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh
sekurang-kurangnya 15 % (lima belas persen) dari karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau
jumlah kursi DPRD atau 15 % (lima belas persen) jabaran lebih lanjut norma yang diatur dalam batang
dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan tubuh. Dengan demikian penjelasan sebagai sarana
umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh
Menurut Pemohon, dengan adanya Penjelasan Pasal mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang
59 ayat (1) tersebut, bermakna bahwa Pasal 59 ayat dijelaskan; Kedua, Penjelasan tidak dapat digunakan
(2) yang memberikan kesempatan kepada gabungan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan
Partai Politik yang memiliki 15 % (lima belas persen) lebih lanjut. Oleh karena itu, hindari membuat
akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan rumusan norma di bagian penjelasan; Ketiga,
umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya
sudah dianulir, karena yang dimungkinkan untuk memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan
mengusulkan pasangan calon dengan adanya perundang-undangan yang bersangkutan. Yang mana
Penjelasan Pasal 59 ayat (1) tersebut hanyalah Partai ketiga hal tersebut telah diabaikan oleh pembentuk
Politik atau gabungan Partai Politik yang memperoleh undang-undang dalam merumuskan Penjelasan Pasal
15 % (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD. 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Dalam hal ini, menurut Pemohon antara Pasal 59 tentang Pemerintahan Daerah. Hal mana tampak dari
ayat (1) dan (2) diperhadapkan dengan Penjelasan fakta bahwa Penjelasan Pasal 59 ayat (1) tersebut di
Pasal 59 ayat (1) terdapat contradictio in terminis, atas secara nyata telah memuat norma baru yang
sehingga dengan demikian menjadikan Penjelasan berbeda maknanya dengan norma yang terkandung
Pasal 59 ayat (1) cacat hukum, dan mengandung dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2) yang sudah jelas.
suatu regulasi baru yang seharusnya diletakkan Kedua, Majelis Hakim Konstitusi menegaskan
dalam batang tubuh dan bukan dalam penjelasan. problem norma ini menimbulkan pertentangan
Dalam pertimbangan hukum, Majelis Hakim antara substansi pasal dari suatu undang-undang
Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa pendirian dan penjelasanya yang nyata-nyata mengandung
Pemerintah tentang substansi Penjelasan Pasal 59 inkonsistensi yang melahirkan interpretasi ganda, dan
(1) UU a quo, telah melahirkan norma baru yang menyebabkan keragu-raguan dalam pelaksanaanya.
menegasikan bunyi Pasal 59 ayat (1) dan (2) yang Adanya keragu-raguan dalam implementasi suatu
sudah jelas, sehingga menimbulkan pertanyaan undang-undang akan memunculkan ketidakpastian
apakah arti penjelasan tersebut terhadap Pasal hukum dalam praktik, yang kemudian mendorong
59 ayat (1) dan bagaimana kedudukan penjelasan terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional
dalam satu undang-undang. Majelis Hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD
Konstitusi mempertimbangkan: Pertama, sesuai NRI Tahun 1945 serta ketidakpastian hukum.
dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik Ketiga, adanya Penjelasan Pasal 59 ayat (1)
pembentukan perundang-undangan, yang juga diakui Undang-Undang Pemerintahan Daerah tersebut
mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk secara nyata telah menghilangkan hak Para Pemohon

261
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 17 No. 3 - September 2020: 251-268

untuk dipilih sebagai kepala daerah yang telah dijamin hak konstitusional Pemohon tersebut belum bisa
secara tegas dalam rumusan Pasal 59 ayat (2). Hak terpenuhi seluruhnya sebagai akibat berlakunya
konstitusional Para Pemohon untuk berpartisipasi Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas tersebut,
dalam pemerintahan yang dijamin oleh Pasal 28D alokasi dana pendidikan menjadi kurang 20% dari
ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan telah dijabarkan APBN maupun APBD yang berimbas pada minimnya
dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2) undang-undang a dana pendidikan yang Pemohon terima sehingga biaya
quo ternyata dihilangkan oleh Penjelasan Pasal 59 pendidikan tetap dibebankan kepada siswa/wali
ayat (1) tersebut. murid dan dana operasional pendidikan masih kurang
Keempat, Majelis Hakim Konstitusi mencukupi untuk memenuhi biaya penyelenggaraan
mempertimbangkan pelaksanaan Pasal 59 ayat (1) pendidikan.
telah jelas dirumuskan pula dalam ayat (2)-nya yang Adapun Majelis Hakim Konstitusi memberi
cukup menjamin makna pemilihan kepala daerah Pertimbangan Hukum yakni dengan Mahkamah
yang demokratis sebagaimana dimaksud dalam Pasal Konstitusi menelaah politik hukum (legal policy)
18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Namun makna di bidang pendidikan menurut arahan UUD NRI
demokratis tersebut menjadi tereduksi karena adanya Tahun 194555 yakni pertama, salah satu tujuan
Penjelasan Pasal 59 ayat (1). Dengan demikian, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ialah
Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor mencerdaskan kehidupan bangsa [Pembukaan UUD
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 1945, Alinea ke-4]; kedua, NKRI adalah negara hukum
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat [Pasal 1 ayat (3) UUD 1945] yang bercorak negara
(4), Pasal 28D ayat (1) dan (3) UUD NRI Tahun 1945. kesejahteraan (welfare state) yang dalam tradisinya di
negara-negara Eropa membebaskan biaya pendidikan,
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/
bahkan sampai universitas. ketiga, Negara menjamin
PUU-III/2005
hak setiap warga negara untuk mendapat pendidikan
Adapun pada perkara ini, pihak pemohon [Pasal 31 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945], karena
mendalilkan pengujian Pasal 17 ayat (1), dan pendidikan merupakan instrumen pengembangan
ayat (2) dan penjelasan Pasal 49 ayat (1) tentang diri manusia sebagai bagian dari hak asasi manusia,
Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya disebut sebagaimana ketentuan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945
UU Sisdiknas) terhadap Pasal 31 ayat (1) hingga (5) yang berbunyi ”Setiap orang berhak mengembangkan
UUD NRI Tahun 1945, dimana menurut Pemohon diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
substansi ketentuan tersebut sesuai dengan amanat berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
UU Sisdiknas yang tercantum dalam Pasal 11 ayat manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
(2), Pasal 34 ayat (2) dan (3), Pasal 46 ayat (2), Pasal seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
47 ayat (1), Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
UU Sisdiknas yang pada intinya menekankan bahwa Keempat, sistem pendidikan nasional yang diatur
pemerintah bertanggung jawab atas pemenuhan dalam undang-undang organik (UU Sisdiknas) harus
dana penyelenggaraan pendidikan dasar tanpa mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan,
harus memungut biaya, wajib belajar merupakan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan
tanggung jawab negara, pemerintah berkewajiban ilmu pengetahuan dan teknologi yang berorientasi
merealisasikan dana pendidikan sekurang- 4 (empat) hal, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai
kurangnya 20% dari APBN dan dari APBD yang agama, memelihara persatuan bangsa, memajukan
harus ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, peradaban, dan memajukan kesejahteraan umat
kecukupan dan keberlanjutan, serta harus dikelola manusia [Pasal 31 ayat (3) dan (5) UUD NRI Tahun
berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi 1945]; serta kelima, sebagai konsekuensi ketentuan
dan akuntabilitas publik. Namun demikian, hak- Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa ”Setiap

55. Jimly Asshiddiqie, Ahmad Fadlil Sumadi, Achmad Edi Subiyanto dan Anna Triningsih, 2016, Putusan Monumental
(Menjawab Problematika Kenegaraan), Cetakan Pertama, Setara Press, Malang, hlm. 350-356.

262
Penegasan Kedudukan Penjelasan Suatu Undang-Undang... (Bagus Hermanto, Nyoman M. Aryani, Ni Luh G. Astariyani)

warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan 3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/
pemerintah wajib membiayainya”, maka pembiayaan PUU-XIII/2015
anggaran pendidikan merupakan tanggung jawab
Melalui perkara pengujian ketentuan Pasal 7 (g)
utama pemerintah, termasuk pemerintah daerah,
serta Pasal 45 ayat (2) (k) Undang-undang Nomor 8
sehingga negara memprioritaskan anggaran
Tahun 2015 perihal Perubahan atas Undang-undang
pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD [Pasal
Nomor 1 Tahun 2015 yang menjadi Penetapan
31 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945], bahkan seharusnya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
untuk pendidikan dasar, baik negeri maupun swasta,
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
harus cuma-cuma, karena menjadi tanggung jawab
Bupati, dan Walikota pada Putusan Mahkamah
negara yang telah mewajibkan setiap warga negara
Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015.56
mengikuti pendidikan dasar.
Pada putusan ini, terdapat segmen yang cukup
Dalam hal ini, khusus terkait dengan dalil
mendalam menjadi dasar perdebatan terkait dengan
para Pemohon terkait Penjelasan Pasal 49 ayat
inkonsistensi ketentuan pasal terkait dengan
(1) UU Sisdiknas bertentangan dengan Pasal 31
penjelasan yang telah menyalahi Undang-undang
ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, terhadap dalil para
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Pemohon dimaksud, Mahkamah berpendapat
Peraturan Perundang-undangan, dalam hal ini pasal
bahwa pada hakikatnya pelaksanaan ketentuan
terkait mengharuskan dipenuhinya syarat tidak
Konstitusi tidak boleh ditunda-tunda, mengingat
pernah dijatuhi pidana atas tindak pidana dengan
UUD NRI Tahun 1945 secara expressis verbis
ancaman penjara 5 (lima) tahun atau lebih sedangkan
telah menentukan bahwa anggaran pendidikan
dalam penjelasan pasal terkait memperbolehkan
minimal 20% harus diprioritaskan yang tercermin
partisipasi mantan terpidana dalam kontestasi
dalam APBN dan APBD tidak boleh direduksi oleh
dengan memenuhi pensyaratan merujuk Putusan
peraturan perundang-perundangan yang secara
Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009.57
hierarkis berada di bawahnya. Penjelasan Pasal 49
Pada putusan ini, Mahkamah mengabulkan
ayat (1) UU Sisdiknas juga telah membentuk norma
untuk sebagian dengan menyatakan pasal dan
baru yang mengaburkan norma yang terkandung
penjelasan pasal terkait tersebut inkonstitusional
dalam Pasal 49 ayat (1) yang ingin dijelaskannya,
bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan
sehingga ketentuan dalam Penjelasan Pasal 49
bagi mantan terpidana yang terbuka dan jujur
ayat (1) tersebut juga bertentangan dengan prinsip-
menyatakan pada publik sebagai mantan terpidana.58
prinsip dan teori perundang-undangan yang sudah
Menariknya bahwa dengan pertimbangan bahwa
lazim diterima dalam ilmu hukum yang kemudian
pasal terkait bertentangan dengan penjelasan
dituangkan dalam UU P3, dengan juga merujuk pada
meskipun pensyaratan oleh Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/
III/2005 dalam permohonan pengujian Penjelasan
PUU-VII/2009 telah dicantumkan ke dalam butir
Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Pemerintahan
penjelasan pasal terkait namun pengaturan tersebut
Daerah, sehingga tidak tepat bilamana Penjelasan
diatur dalam tempat yang tidak tepat yakni ke dalam
Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas menjadi alasan
butir penjelasan, disamping Kedudukan penjelasan
bagi Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun
tidak dibenarkan memuat norma baru yang
pemerintah daerah untuk tidak memenuhi pagu 20%
berimplikasi pada kekaburan terhadap pemaknaan
anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD.
norma yang ditentukan dalam pasal terkait sehingga

56. Ahmaduddin Rajab, 2016,”Tinjauan Hukum Eksistensi dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 setelah 25 Kali
Pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi pada Tahun 2015”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, 46(3), doi:
http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol46.no3.93, 346-365, hlm. 355-356.
57. Yusti Nurul Agustin, 2015,”Mantan Terpidana Berhak Mengikuti Pilkada”, Majalah Konstitusi, Nomor 102, Agustus,
hlm. 21-22.
58. Hardiyanto, M.L., Bagus, S.S. & Munir, A. (2017). Hak Politik Mantan Narapidana untuk Mencalonkan Diri sebagai
Calon Kepala Daerah (Analisis terhadap Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015), Mimbar Yustitia, 1(2), 106-122, h. 116-
117.

263
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 17 No. 3 - September 2020: 251-268

secara formil telah menyalahi kedudukan penjelasan yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian
dalam suatu Undang-undang, dengan melihat penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas
pada putusan Mahkamah yang lain yakni Putusan norma batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan
Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005 terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan.
serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/ Kedua, Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai
PUU-III/2005. dasar hukum untuk membuat peraturan lebih
Sebagaimana telah diuraikan pada Poin B.3., lanjut, oleh karena itu, harus dihindari pembuatan
Penjelasan dalam suatu Undang-undang merupakan rumusan norma di bagian penjelasan, maupun
prasyarat wajib dalam format baku Undang-undang, ketiga, Penjelasan dihindari rumusan yang isinya
mengandung fungsi yakni sebagai tafsir resmi memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan
pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas perundang-undangan yang bersangkutan.
norma tertentu dalam batang tubuh, serta sarana Hal ini juga sebagaimana telah diuraikan
untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak sebelumnya, keharusan legislator memperhatikan
boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari rambu-rambu khusus termasuk terkait kedudukan
norma yang dimaksud, yang telah ditegaskan baik dan fungsi Penjelasan suatu produk Undang-undang,
pada Lampiran II UU P3 rezim Undang-undang Nomor bahwa Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai
10 Tahun 2004 maupun rezim Undang-undang dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut
Nomor 12 Tahun 2011. dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi
Adapun Mahkamah Konstitusi menjalankan norma; tidak menggunakan rumusan yang isinya
peranan sebagai the guardian of the constitution memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan
serta the protector of constitutional rights59 melalui Undang-undang; rumusan penjelasan pasal demi
ketiga Putusan tersebut 60
telah secara tegas dan pasal memperhatikan hal sebagai berikut tidak
konsisten untuk mendorong legislator dalam rangka bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam
pembentukan Undang-undang haruslah tidak batang tubuh; tidak memperluas, mempersempit
mengesampingkan satu asas maupun hal-hal pokok atau menambah pengertian norma yang ada dalam
juga teknis Undang-undang. Hal tersebut termasuk batang tubuh; tidak melakukan pengulangan atas
bagian Penjelasan dalam Undang-undang yang materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; tidak
sejatinya pada ketiga pertimbangan hukum Putusan mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian
baik pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/ yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/
PUU-III/2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor atau tidak memuat rumusan pendelegasian.
011/PUU-III/2005 maupun Putusan Mahkamah Dalam konteks ini, menjamin penegasan
Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015, secara prinsipiil eksistensi Penjelasan dalam Undang-undang maupun
menegaskan bahwa penjelasan berfungsi untuk produk legislasi lainnya, secara substansial wajib
menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam diperhatikan oleh pembentuk Undang-undang,
pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi dengan ketiga contoh pengujian Ketentuan Penjelasan
memuat substansi yang sama sekali bertentangan tersebut di Mahkamah Konstitusi mencerminkan
dengan norma yang dijelaskan, yang antara lain legislator belum mampu melaksanakan sejumlah
menentukan bahwa: Pertama, Penjelasan berfungsi asas-asas pembentukan peraturan perundang-
sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan undangan yang baik, yakni termasuk asas-asas
perundang-undangan atas norma tertentu dalam formal berupa asas dapat dilaksanakan (het
batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan hanya beginsel van uitvoerbaarheid), yaitu peraturan
memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma yang dibuat seharusnya dapat ditegakkan secara

59. Adriaan Bedner, 2013,”Indonesian Legal Scholarship and Jurisprudence as an Obstacle for Transplanting Legal
Institutions”, Hague Journal on the Rule of Law, Volume 5, Issue 2, 253-273, doi: 10.1017/s1876404512001145, pp.
268-269
60. Taufiqurrahman Syahuri, 2014, Laporan Pengkajian Konstitusi tentang Problematika Pengujian Peraturan
Perundang-undangan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, hlm. 39.

264
Penegasan Kedudukan Penjelasan Suatu Undang-Undang... (Bagus Hermanto, Nyoman M. Aryani, Ni Luh G. Astariyani)

efektif. Disamping, asas-asas material berupa yang digunakan pada kedua putusan terkemudian,
asas terminologi dan sistematika yang benar (het yakni pertama, Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran
beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke resmi pembentuk peraturan perundang-undangan
systematiek); asas perlakuan yang sama dalam atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh
hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel) maupun asas karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau
kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel), jabaran lebih lanjut norma yang diatur dalam batang
disamping itu, tidak diperhatikannya ketentuan tubuh. Dengan demikian, penjelasan sebagai sarana
Pasal 5 huruf (d) dan (f) UU P3, tidak terpenuhinya untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh
“asas dapat dilaksanakan” maupun “asas kejelasan mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang
rumusan”. Dalam hal ini, juga perlunya kesadaran dijelaskan. Kedua, Penjelasan tidak dapat digunakan
legislator untuk memperhatikan sejumlah segmen sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih
pembentukan produk legislasi yang memenuhi lanjut maupun ketiga, dalam Penjelasan dihindari
asas-asas pembentukan yang baik, sehingga rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung
dapat meningkatkan kualitas bukan kuantitas terhadap ketentuan perundang-undangan yang
produk legislasi disamping mendorong kepatuhan bersangkutan.
pembentuk undang-undang sejalan dengan asas-
C.2. Saran
asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Adapun saran atau rekomendasi terkait dengan
C. Penutup
tematik tulisan ini yakni diperlukannya tidak hanya
C.1. Kesimpulan peluang produk hukum yang dihasilkan batal demi
hukum, dapat dibatalkan atau batal, namun juga
Pertama, Penjelasan dalam suatu Undang-
diharuskan adanya Standar Operasional Prosedur
undang maupun peraturan perundang-undangan
(SOP) tersendiri bagi pembentuk Undang-undang
berupa Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan
yang tertuang dalam Tata Tertib Lembaga Negara
Daerah Kabupaten/Kota sifatnya obligatoir atau
tersebut dalam rangka meningkatkan kualitas legislasi
wajib dimuat dalam peraturan perundang-undangan
disamping didorongnya sanksi administratif tertentu
tersebut. Penjelasan mengandung fungsi sebagai tafsir
yang secara komprehensif dalam rangka mengawasi
resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan
proses legislasi peraturan perundang-undangan
atas norma tertentu dalam batang tubuh serta sarana
tersebut, disamping itu, perlu dipertimbangkan untuk
untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak
pihak inisiator pengusul rancangan undang-undang
boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari
baik dari elemen pemerintah, Dewan Perwakilan
norma yang dimaksud. Dalam Lampiran II UU P3 baik
Rakyat maupun Dewan Perwakilan Daerah untuk
pada rezim Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
mengadakan pre-review terhadap rumusan penjelasan
maupun Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 jo.
dalam rancangan undang-undang agar tetap tunduk
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019.
pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-
Kedua, sejak Mahkamah Konstitusi berdiri,
undangan yang baik.
terdapat tiga buah Putusan Mahkamah Konstitusi
yang dapat dijadikan sumber penegasan kedudukan
Penjelasan dalam suatu Undang-undang, yakni pada
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-
III/2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/
PUU-III/2005, serta Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 42/PUU-XIII/2015, yang secara konsisten oleh
Mahkamah Konstitusi untuk menegaskan Penjelasan
dalam suatu Undang-undang, melalui sejumlah
rambu-rambu Mahkamah Konstitusi pada Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005

265
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 17 No. 3 - September 2020: 251-268

Daftar Pustaka Handoyo, B. Hestu Cipto. 2008. Prinsip-prinsip


Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik.
Buku
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Anggono, Bayu Dwi. 2014. Perkembangan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Pembentukan Undang-Undang di Indonesia,
2010. Panduan Pemasyarakatan Undang-
Jakarta: Konpress.
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
Asshiddiqie, Jimly. 2008. Pokok-pokok Hukum Tata 1945 (Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan
Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Ayat). Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis
Bhuana Inti Populer. Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

Asshiddiqie, Jimly. 2010. Hukum Acara Pengujian Marzuki, Peter Mahmud. 2011. Penelitian Hukum,.
Undang-undang, Jakarta: Sinar Grafika. Jakarta: Kencana Prenada Group.

Asshiddiqie, Jimly, 2010, Perihal Undang-undang. Natabaya , HAS. 2008. Sistem Peraturan Perundang-
Jakarta: Sinar Grafika. Undangan Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.

Asshiddiqie, Jimly, Ahmad Fadlil Sumadi, Achmad Ranggawidjaya, Rosjidi. 2009. Pengantar Ilmu
Edi Rubiyanto dan Anna Triningsih. 2016. Perundang-undangan. Bandung: Mandar Maju.
Putusan Monumental (Menjawab Problematika
Seidman, Ann, et.al. 2001. Penyusunan Rancangan
Kenegaraan). Malang: Setara Press.
Undang-undang dan Perubahan Masyarakat
Astawa, I Gde Panca dan Suprin Na’a. 2013. Dinamika yang Demokratis. Jakarta: Proyek ELIPS.
hukum dan Ilmu Perundang-undangan di
Soeprapto, Maria Farida Indrati. 1998. Ilmu
Indonesia. Bandung: Alumni.
Perundang-undangan: Dasar-Dasar dan
Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius.
Indonesia. 2017. Pedoman Penyusunan Naskah
Soeprapto, Maria Farida Indrati, et.al.. 2008. Laporan
Akademik Rancangan Undang-undang. Jakarta:
Kompendium Bidang Hukum Perundang-
Pusat Perancangan Undang-undang Badan
undangan, Jakarta: Departemen Hukum dan
Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Hak Asasi Manusia RI Badan Pembinaan Hukum
Indonesia,
Nasional Pusat Penelitian dan Pengembangan
Cohen, M.L. and K.C. Olson. 1992. Legal Research in Sistem Hukum Nasional.
a Nutshell. St. Paul Minnesota: West Publishing
Soeprapto, Maria Farida Indrati. 2016. Ilmu
Co.
Perundang-undangan 2: Proses dan Teknik
Fadjar, Abdul Mukthie. 2004. Tipe Negara Hukum. Penyusunan. Yogyakarta: Kanisius.
Malang: Bayumedia Publishing.
Surono, Agus. 2013. Fiksi Hukum dalam Pembuatan
Halim ,Hamzah dan Kemal Redindo Syahrul Putera. Peraturan Perundang-undangan. Jakarta:
2009. Cara Praktis Menyusun dan Merancang Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia.
Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan
Syahuri, Taufiqurrahman. 2014. Laporan Pengkajian
Praktis disertai Manual) Konsepsi Teoritis
Konstitusi tentang Problematika Pengujian
menuju Artikulasi Empiris. Jakarta: Kencana
Peraturan Perundang-undangan. Jakarta:
Prenada Media.
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum dan HAM RI.

266
Penegasan Kedudukan Penjelasan Suatu Undang-Undang... (Bagus Hermanto, Nyoman M. Aryani, Ni Luh G. Astariyani)

Syamsuddin, Azis. 2013. Proses & Teknik Penyusunan Bustanuddin. 2013. Analisis Fungsi Penjelasan
Undang-undang. Jakarta: Sinar Grafika. dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia. Inovatif: Jurnal Ilmu
Trijono, Rachmat. 2013. Dasar-dasar Ilmu
Hukum Volume 6 Nomor 7.
Pengetahuan Perundang-undangan. Jakarta:
Papas Sinar Sinanti. Choudhury, N. 2017. Revisiting Critical Legal
Pluralism: Normative Contestations in the
Yuliandri. 2011. Asas-asas Pembentukan
Afghan Courtroom. Asian Journal of Law and
Peraturan Perundang-undangan yang Baik
Society Volume 4 Nomor 1.
Gagasan Pembentukan Undang-undang yang
Berkelanjutan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Fadli, Muhammad 2018. Pembentukan Undang-
undang yang Mengikuti Perkembangan
Zein, Yahya Ahmad, Ristina Yudhanti dan
Masyarakat. Jurnal Legislasi Indonesia Volume
Aditia Syaprillah. 2016. Legislative Drafting
15 Nomor 1.
Perancangan Perundang-undangan. Yogyakarta:
Thafa Media. Febriansyah, Ferry Irawan. 2016. Konsep
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Jurnal
di Indonesia.Perspektif Volume XXI Nomor 3.
Aditya, Zaka Firman dan M. Reza Winata. 2018.
Hardiyanto, M.L., Bagus, S.S. & Munir, A. 2017. Hak
Rekonstruksi Hierarki Peraturan Perundang-
Politik Mantan Narapidana untuk Mencalonkan
undangan di Indonesia. Jurnal Negara Hukum
Diri sebagai Calon Kepala Daerah (Analisis
Volume 9 Nomor 1.
terhadap Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015).
Anggono, Bayu Dwi. 2018. Tertib Jenis, Hierarki, dan Mimbar Yustitia Volume 1 Nomor 2.
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan:
Hayat, H. 2015. Keadilan sebagai Prinsip Negara
Permasalahan dan Solusinya. Masalah-masalah
Hukum: Tinjauan Teoritis dalam Konsep
Hukum Volume 47 Nomor 1.
Demokrasi. Padjajaran Journal of Law Volume
Aryani, Nyoman Mas dan Bagus Hermanto. 2019. 2 Nomor 2.
Gagasan Perluasan Lembaga Negara sebagai
Karen Petroski. 2013. Legal Fictions and the Limits
Pihak Pemohon dalam Sengketa Kewenangan
of Legal Language. International Journal of Law
antar Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi
in Context Volume 9 Nomor 4.
Republik Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia
Volume 16 Nomor 2. Putuhena, M. Ilham F. 2012. Politik Hukum Perundang-
undangan dalam Upaya Meningkatkan Kualitas
Astariyani, Ni Luh Gede dan Bagus Hermanto. 2019.
Produk Legislasi. Jurnal Rechtsvinding Volume
Paradigma Keilmuan dalam Menyoal Eksistensi
1 Nomor 3.
Peraturan Kebijakan dan Peraturan Perundang-
undangan: Tafsir Putusan Mahkamah Agung. Rajab, A. 2016. Tinjauan Hukum Eksistensi dari
Jurnal Legislasi Indonesia Volume 16 Nomor 4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 setelah
25 Kali Pengujian Undang-undang di Mahkamah
Bedner, Adriaan. 2013. Indonesian Legal Scholarship
Konstitusi pada Tahun 2015. Jurnal Hukum
and Jurisprudence as an Obstacle for
dan Pembangunan Volume 46 Nomor 3.
Transplanting Legal Institutions. Hague Journal
on the Rule of Law Volume 5 Issue 2. Samosir, Daniel. 2015. Faktor-faktor yang
Menyebabkan Materi Muatan Undang-undang
bertentangan dengan UUD 1945. Jurnal
Konstitusi Volume 12 Nomor 4.

267
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 17 No. 3 - September 2020: 251-268

Saraswati, Retno. 2013. Problematika Hukum Disertasi


Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Attamimi, Hamid S. 1990. Disertasi: Peranan
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Yustisia Volume 2 Nomor 3.
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu
Sonata, D.L. 2014. Metode Penelitian Hukum Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden
Normatif dan Empiris: Karakteristik Khas dari yang Berfungsi Pengaturan dalam kurun Waktu
Metode Meneliti Hukum. Fiat Justitia Jurnal Pelita I- Pelita IV. Jakarta: Pascasarjana Fakultas
Ilmu Hukum Volume 8 Nomor 1. Hukum Universitas Indonesia.

Suratno, Sadhu Bagas. 2017. Pembentukan Majalah


Peraturan Kebijakan berdasarkan Asas-asas
Agustin, Yusti Nurul. 2015. Mantan Terpidana Berhak
Umum Pemerintahan yang Baik. Jurnal Lentera
Mengikuti Pilkada. Majalah Konstitusi Nomor
Hukum Volume 4 Nomor 3.
102.
Utomo, Nurrahman Aji. 2015. Dinamika Hubungan
antara Pengujian Undang-undang dengan
Pembentukan Undang-undang. Jurnal
Konstitusi Volume 12 Nomor 4.

Wibisana, Andri Gunawan. 2019. Menulis di Jurnal


Hukum: Gagasan, Struktur, dan Gaya. Jurnal
Hukum & Pembangunan Volume 49 Nomor 2.

Widayati. 2017. Problem Ketidakpatuhan terhadap


Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian
Undang-undang. Jurnal Pembaharuan Hukum,
Volume IV Nomor 1.

Widiarto, Aan Eko. 2019. Implikasi Hukum


Pengaturan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
dalam Bentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi.
Jurnal Konstitusi Volume 16 Nomor 1.

Wijayanti, Winda. 2013. Eksistensi Undang-undang


sebagai Produk Hukum dalam Pemenuhan
Keadilan bagi Rakyat (Analisis Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-X/2012).
Jurnal Konstitusi Volume 10 Nomor 1.

Yusa, I Gede dan Bagus Hermanto. 2017. Gagasan


Rancangan Undang-undang Lembaga
Kepresidenan: Cerminan Penegasan dan
Penguatan Sistem Presidensiil Indonesia. Jurnal
Legislasi Indonesia Volume 14 Nomor 3.

268

You might also like