You are on page 1of 18

Volume Nomor (September 2021) –

DIALEKTIKA P-ISSN: 2502-4094


E-ISSN: 2598-781X
Jurnal Ekonomi dan Ilmu Sosial DOI: https://doi.org/10.36636/dialektika.v5i1....
http://ejournal.uniramalang.ac.id/index.php/dialektika

KEMANDEKAN GERAKAN MAHASISWA DI ERA 4.0: STUDI


KASUS IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH KOTA
SEMARANG
M. Ragil Yoga Priyanggaa,*, Wijayantob, Laila Khalid Alfirdausc
a
Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia
b
Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia
c
Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia
*
ragilyoga8@student.undip.ac.id

ABSTRACT

Since the Covid-19 pandemic, IMM (Muhammadiyah Student Association) Semarang city has
stagnated its online movement. Why did this happen? This is the research question. This study uses a
qualitative approach and a constructivist paradigm, while the data is obtained through personal
experience tracing, in-depth interviews, and documents. This study found three causes for the
stagnation of the movement: first, there was a branch of Hikmah that emerged as the ruler of a
fractured discourse since the beginning of the leadership. Unfortunately, the rift has been solidified
through a disciplinary process. This is done in two ways, namely by implementing the regulation
"myth of representation" and normalizing the annulment of votes suspected of conducting counter-
discourse or resistance. Second, the stuttering of IMM Semarang City in building a movement in the
digital era and pandemic. Third, the ineffectiveness and non-optimal movement. This is indicated by
the discourse that the cadres fail to accept, and the misalignment of tastes between the narratives
produced and what the cadres are interested in. There are two alternative ways to overcome the
stagnant movement of this movement, namely: the need for action to understand today's consumption
mindset and apply a popular approach to rebuild the public sphere. With that, this research can be a
material for reflection and organizing experimentation for each movement actor.
Keywords: Organizing, Social Movement, Power-Relation, Muhammadiyah Student Association.

ABSTRAK

Sejak pandemi Covid-19, IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) kota Semarang mengalami
kemandekan dalam pergerakan daring. Kenapa ini terjadi? Ini adalah pertanyaan penelitian. Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif dan paradigma konstruktivis, sedangkan data diperoleh melalui
penelusuran pengalaman pribadi, wawancara mendalam, dan dokumen. Kajian ini menemukan tiga
penyebab kemandekan gerakan: pertama, adanya cabang Hikmah yang muncul sebagai penguasa
wacana yang retak sejak awal kepemimpinan. Sayangnya, keretakan tersebut telah dimapankan
melalui proses pendisiplinan. Hal ini dilakukan dengan dua cara, yakni dengan menerapkan regulasi
“mitos keterwakilan” dan normalisasi pembatalan suara yang diduga melakukan kontra wacana atau
resisten. Kedua, kegagapan IMM Kota Semarang dalam membangun gerakan di era digital dan
pandemi. Ketiga, ketidakefektifan dan gerakan yang tidak optimal. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
wacana yang gagal diterima oleh kader, dan ketidakselarasan selera antara narasi yang dihasilkan dan
apa yang diminati kader. Ada dua alternatif cara untuk mengatasi kemandekan gerakan ini, yaitu:
perlunya tindakan untuk memahami pola pikir konsumsi saat ini dan menerapkan pendekatan populer
untuk membangun kembali ruang publik. Dengan itu, penelitian ini dapat menjadi bahan refleksi dan
pengorganisasian eksperimen bagi setiap pelaku gerakan.
Kata Kunci: Pengorganisasian, Gerakan Sosial, Relasi Kekuasaan, Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah.
PENDAHULUAN (Font 13)
Aksi tagar #2019gantipresiden telah mendapat kesuksesan besar dari opini publik.
Kesuksesan ini menjadi angin segar bagi gerakan sosial politik guna mempengaruhi massa
dan menggoyahkan tatanan politik yang ada. Begitupun dengan aksi tagar seperti
#GejayanMemanggil, #ReformasiDikorupsi, atau yang lainnya telah menunjukan adanya
potensi kuat atas pemanfaatan internet. Aksi tagar yang demikian merupakan mimpi indah,
sebagai representasi realitas suara masyarakat yang tumbuh atas kesadarannya, namun apakah
benar demikian atau sebenarnya merupakan bentuk dominasi wacana yang diproduksi oleh
segelintir orang. Hal ini patut dipertanyakan atau bahkan dibenarkan jika memang ada
dominasi wacana oleh segelintir orang, sebab dalam pemanfaatan teknologi digital dalam
gerakan justru menimbulkan masalah baru. Terlebih dalam konteks gerakan kita hari ini telah
terjadi kemadekan dalam banyak hal dikarenakan gerakan yang dilakukan secara dalam
jaringan (disingkat: daring) tidak lagi efektif dan optimal jika dibanding secara luar jaringan
(disingkat: luring).
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (selanjutnya disingkat IMM) di Kota Semarang
mempunyai cerita yang unik dalam menggambarkan problem ruang publik digital dalam
gerakan. Berdasarkan pengalaman emprik pribadi, mereka gagal dalam menerapkan tindakan
komunikatif pada ruang publik daring bahkan sejak proses pengorganisasian gerakan (tahap
awal penting sebuah gerakan). Hal ini menyebabkan adanya ketidakefektifan dan
ketidakoptimalan sebagaimana yang dialami oleh kegiatan daring pada umumnya. Bututnya
adalah kemandekan dalam aktivitas gerakan. Tanda yang paling memperlihatkan kemandekan
ini adalah adanya kebungkaman kader dalam setiap agenda yang diselenggaran secara daring
oleh PC IMM Kota Semarang. Pengamatan saya melihat bahwa mereka (para kader lain, non-
pimpinan cabang) cenderung bersikap diam, tidak menanggapi, atau justru lurus-lurus saja
untuk megatakan sepakat tatkala ada wacana yang dilempar oleh PC IMM Kota Semarang.
mengapa bisa terjadi demikian?. Dengan pertanyaan tersebut peneliti berupaya menelisik
secara mendalam dan menggambarkan problem kemandekan gerakan IMM Kota Semarang
melalui penelusuran relasi kuasa.
Kehadiran ruang publik yang komunikatif tentu sangat dibutuhkan dalam proses
pengorganisasian, sebab hal itu menjadi satu tahap penting dalam konstelasi pergerakan.
Secara common sense dapat dikatakan bahwa jika proses pengorganisasian gerakan saja telah
mengalami kegagalan maka sangat memungkinkan jika proses pergerakan dalam bentuk aksi
selanjutnya tentu akan menemui kemandulan. Ini merupakan problem yang ditakutkan oleh
organisasi gerakan, yakni mati sebelum bertanding.
Penelitian ini penting untuk dilakukan mengingat kosongnya lahan penelitian. Tak
hanya hendak menganalisa relasi kuasa dalam wacana pengorganisasian daring, namun perlu
juga memberikan alternatif jalan untuk merekonstruksi gerakan IMM. Serta yang terpenting
adalah, di masa sulit pandemi Covid-19, penelitian ini sangat memungkinkan untuk
membantu menjawab permasalahan yang kurang lebih sama dialami oleh oraganisasi lainnya.
Dengan demikian dunia pergerakan akan selalu mengalami pembaharuan gerakan, tidak lagi
terkungkung pada pola lama yang justru tidak sesuai dengan realitas dan memenjarakan kader
dalam subjektivikasi ruang diskursus.
Gerakan Sosial di Era Digital
Gerakan sosial merupakan suatu kumpulan individu, kelompok, maupun organisasi
yang terkonstruk dari visi dan identitas bersama Cable (2017, h.186). Tujuannya adalah guna
membentuk perubahan sesuai dengan keberpihakan dan tujuannya melalui penggunaan
serangkaian strategi. Menuju terbentuknya gerakan, terdapat upaya pengorganisasian dimana
di dalamnya ada serangkaian proses diskursus melalui kooptasi dan membentuk episteme,
melakukan pembingkaian, praktik pendisiplinan, dan subjektivikasi (Baumgarten & Ullrich,
2016, h.14-16). Hal itu diharapkan dapat memapankan wacana dan memperoleh hasil yang
memuaskan berupa solidaritas gerakan, yang terdiri dari komponen seperti: identitas, narasi
bersama, dan kerja perasaan (Tarrow, 2011, h.143). Adapun komponen ini harus tersusun
dengan rapi, sebab gerakan sosial harus siap berhadapan selalu dengan proses diskursus dan
lingkaran pertarungan (cycle of contention) dimana posisi mereka akan selalu diuji dan
terbarui logikanya sejalan dengan perubahan situasi dan kondisi (Kitis & Milani, 2015)
Antara gerakan sosial dan era digital kini menemukan logika (nalar) baru yang
dinamakan connective action (Bennett & Segerberg, 2013, h.33-36). Singkatnya, logika
tersebut merupakan sintesa dari penggunaan teknologi digital dan logika gerakan sebelumnya
(aksi kolektif) dan diharapkan dapat mewujudkan wadah alternatif dan suasana deliberatif
dimana logika gerakan yang lama tidak mampu lagi menghadapi perubahan zaman (Bakker
dkk., 2017, h.204-205). Hal ini didasari dari kesadaran para aktivis gerakan yang mereka
tidak bisa berada dalam kemelut pola gerakan, tetapi harus menyelaraskan logikanya dengan
serba-serbi digital. Kesadaran ini harus tertanam secara jelas oleh semua aktor gerakan
dimana mereka adalah simpul utama dalam agenda perubahan (Scholz, 2010, h.30). Mereka
dapat menjalankan logika ini jika terdapat penggabungan antara aktivisme “online” dan
aktivisme “offline” sekaligus berpotensi untuk menjadi wajah baru dalam gerakan (Lim, 2005,
h.32).

Kemandekan Gerakan Sosial di Era Digital


Dalam gerakan sosial berbasis digital, masalah kemudian muncul dalam bentuk
kemendekan. Hal ini disebabkan gagalnya pemanfataan potensi digital dan komunikasi (baca:
ruang publik) yang buruk, tidak efektif dan optimal (Cable, 2017, h. 192). Kemungkinan
besar buruknya komunikasi ini didasari dua faktor, yakni relasi kuasa dan konsumsi individu.
Faktor relasi kuasa meniscayai akan hadirnya penguasaan oleh rezim pengetahuan, sebab
dalam produksi wacana oleh rezim pengetahuan selalu berpretensi pada penguasaan. Tidak
melalui upaya fisik, tetapi melalui pendisiplinan dengan regulasi dan normalisasi oleh rezim
pengetahuan dengan segala intrumennya (Foucault, 2019). Dalam relasi ini, imlikasi
bungkamnya individu akan terjadi dikarenakan mereka merasa “diawasi” (baca: panoptik)
oleh rezim pengetahuan (Foucault, 1978). Efek ini secara otomatis hadir sejalan dengan
hadirnya strategi pendisiplinan (Foucault, 1980, h.72). Mereka yang resisten adalah mereka
individu-individu akan mencoba untuk melawan sebuah wacana yang dominan. Faktor
konsumsi individu yang berbeda dengan selera rezim pengetahuan pun dapat dicurigai sebagai
pangkal dari kemandekan ini. Inilah simulakra, dimana hal itu telah mencengram individu
gerakan pada pola konsumsi yang tidak lagi harmonis dengan yang disodorkan oleh rezim
pengetahuan (Suyanto, 2017, h.140). Praksis sosial yang baik harusnya dapat menjadi
jembatan, yakni medealektikan antara seorang individu dari segi budaya konsumsinya dengan
praktik kuasa rezim pengetahuan (antara habitus dengan area) (Bourdieu, 2013, h.72).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif, sedangkan penjabaran analisa
menggunakan suatu perangkat analisa wacana kritis, yakni seleksi topik pendalaman terhadap
tema, identifikasi tema, pencarian unsur-unsur wacana yang absen atau tersembunyi dalam
suatu diskursus, dan mengkontekstualisasikan unsur wacana dalam jejaring atau relasi kuasa
dan pengetahuan (Alba-Juez, 2009, h.216). Paradigma yang digunakan adalah paradigma
konstruktivis dimana paradigma ini berasumsi bahwa adanya pencarian pemahaman dari
suatu cakupan (Neuman, 2002, h.20). Hal itu akan membantu untuk menemukan makna
subjektif dari pengalaman-pengalaman, dan mendapat sebanyak mungkin pandangan orang-
orang tentang situasi yang hendak dipahami (Creswell, 2009, h.8).
Semua data yang diperoleh merupakan data primer, sebab dalam strategi analisis
menganggap bahwa semua data sama pentingnya, baik hasil penelusuran pribadi, wawancara,
observasi, dokumen arsip, atau bahkan literatur sekalipun (Andersen, 2003). Adapun
narasumber antara lain yakni: ketua IMM cabang Kota Semarang, ketua bidang Hikmah IMM
cabang Kota Semarang, Muhammad Bangkit Priyambodo (ketua bidang Hikmah PK IMM
Ibnu Sina Undip), Abdullah Azzam (ketua bidang Hikamah PK IMM Sayf Battar UIN
Walisongo), dan Gadis1 (sosok yang bungkam dalam salah satu agenda pengorganisasian
daring). Sedangkan dokumen atau arsip diperoleh dari personal narasumber maupun institusi
PC IMM Kota Semarang..

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kemandekan gerakan IMM Kota Semarang tampak terlihat dari kader yang menerima
wacana “perlawanan” yang diproduksi bidang Hikmah cabang. Abdullah Azam (Azzam) dan
Muhammad Bangkit Priyambodo, adalah dua kader yang pernah melakukan percobaan
melawan. Azam melakukan percobaan melawan terhadap narasi tolak pelaksanaan Pilkada
serentak dengan celetukan “sepertinya udah gabisa dihentikan” di grup Whatsapp saat narasi
tersebut disampaikan. Adapun Bangkit melakukannya dengan membuat maklumat kepada
kader komisariat Ibnu Sina Undip yang bernuansa kontraproduktif terhadap narasi tolak
Omnibuslaw. Namun pada akhirnya mereka berdua tidak lantas menindaklanjuti
perlawanannya. Ada juga Gadis yang terbungkam saat pelaksanaan agenda Pesantren
Demokrasi. Tentu mereka bertiga adalah temuan berupa petanda kemandekan gerakan yang
akan dianalisa lebih jauh.
Setelah dilakukan penelusuran dengan membongkar relasi kuasa yang bermain dalam
suatu ruang diskursus, terdapat tiga penyebab kemandekan gerakan, yakni: pertama, gerakan
IMM berpusar pada kuasa. Hal ini ditandai dengan adanya agenda meretakan gerakan yang
terencana sejak awal kepemimpinan, suatu strategi guna memapankan wacana, dan
normalisasi sebagai upaya menjegal resistensi kader. Kedua, kegagapan IMM dalam
menghadapi “era digital” dan pandemi; dan ketiga, adanya ketidakefektivan dan
ketidakoptimalan gerakan secara daring yang ditandai dengan gagalnya wacana yang benar
dan ketidakselarasan selera kader atas wacana.
Gerakan IMM dalam Pusaran Kuasa
Perlu diketahui jika wacana “perlawanan” merupakan hasil diskusi panjang oleh
segelintir orang, yakni Muhamad Hanif Yasyfi (Hanif), Muhammad Nor Fuad (Fuad), dan
saya sendiri (peneliti). Hanif sendiri adalah ketua bidang Hikmah, dan Fuad adalah

1
Catatan: nama disamarkan demi menjaga nama baiknya.
sekretarisnya, sedangkan saya selama ini ditempatkan sebagai think tank. Tetapi gagasan
tersebut tidak terealisasi dengan baik sebagaimana direncanakan, sebab ada permulaan yang
tidak baik. Rapat kordinasi bidang (rakorbid) Hikmah se-kota Semarang merupakan agenda
awal untuk menyampaikan semua narasi tersebut. Alih-alih berhasil, rapat itu justru syarat
atas ketidakdinamisan gerakan (wawamcara Hanif, 23/2/2021). “Keberhasilan” rapat
ditunjukan dengan tidak adanya kader komisariat yang mempertanyakan, mengoreksi, atau
pun menambahkan, tetapi hanya sekadar menanyakan bagaimana teknis pelaksanaannya.
Tentu hal ini cukup menguntungkan bidang Hikmah cabang terlebih mereka tidak perlu
kerepotan untuk menjawab pertanyaan dari banyak pihak atas wacana yang diproduksinya.
Namun jika kita tempatkan pada posisi yang sama sebagai aktivis gerakan, seharusnya siklus
perlawanan (cycle of contention) pun sudah bergerak pada ranah pengorganisasian ini.
Dengan melihat adanya ketidakdinamisan dari awal rapat kordinasi tersebut justru tampak ada
keretakan yang itu baru disadari tatkala menengok kembali perjalanan organisasi dalam
periode tersebut.
Jika kita coba telusuri ulang menimbang dengan komponen solidaritas gerakan, maka
semua komponen tersebut dalam tubuh IMM kota Semarang tercapai hasil yang tidak
memuaskan. Dalam komponen framing gerakan misalnya, narasi perlawanan yang telah
dianggap berhasil menguasai ruang wacana tetapi tetapi hal itu justru gagal men-delivery-
kannya kepada kader. Hal ini bisa terungkap dari fakta sebagaimana yang dialami Bangkit,
Azzam dan Gadis. Mereka menunjukan petanda adanya kegagalan sebuah pembingkaian
(framing) kepada kader itu sendiri. Artinya, framing (pembingkaian) yang dilakukan sangat
disinyalir tidak melihat realitas kondisi kader, melainkan oleh segelintir orang yang menjadi
sosok yang paling tahu dan menyalahkan realitas.
Komponen membangun identitas juga demikian. Slogan “fastabiqul khoirot”
memungkinan adanya tafsir terhadap identitas bersama tetapi tidak dilirik dan diadopsi dalam
identitas gerakan IMM Kota Semarang. Gadis misalnya, ia adalah satu dari sekian kader yang
identitasnya tidak terleburkan dalam gerakan. Identitasnya memang sebagai pembaca novel
sastra dan K-Pop-ers, tetapi identitas yang dibangun justru keliru. Bidang Hikmah cabang
telah salah memposisikan diri sebagai gerakan perlawanan dengan tidak melirik identitas
kader yang variatif. Pembiaran terhadap gagalnya konstruksi identitas yang semacam ini tentu
sangat memungkinkan adanya korban lain (baca: kader) yang belum terlihat.
Selain itu, komponen emotional work juga tidak dibangun dalam rencana organisasi ini.
Misalnya dalam narasi perlawanan bidang Hikmah terhadap pelaksaan Pilkada serentak dan
RUU Omnibuslaw, dua kader Azzam dan Bangkit sepakat untuk menyatakan bahwa mereka
dan kader lainnya tidak merasakan atmosfer panas terhadap permasalahan yang diangkat
tersebut (wawancara Bangkit, 20/2/2021; Azzam, 21/2/2021). Artinya, pernyataan tersebut
telah mengafirmasi adanya suatu isu yang tidak singkron dengan hasrat (baca: rasa, emosi)
kader itu sendiri.
Adapun absennya sikap kritis kader dalam rapat kordinasi dikarenakan bidang Hikmah
cabang telah tampil sebagai rezim pengetahua, dimana bidang tersebut telah menjadi sosok
dominan dan memenangkan wacana dalam diskursus pembentukan arah gerakan. Jika menilik
siklus diskursus dalam proses pembentukan gerakan, maka dapat diketahui tahapan
bagaimana bidang ini memapankan wacananya. Pertama, koptasi dan episteme itu dijalankan
dengan adanya produksi wacana yang tidak melibatkan pihak dari kader komisariat,
melainkan hanya segelintir orang saja. Wacana. Ide atau narasi “perlawanan” yang dibangun
pun bukan semata atas kebutuhan kader melainkan hanya sebagai reposisi gagasan dimana
pada periode sebelumnya bidang tersebut yang dinilai tidak ada atau keliru dalam
membangun gerakan (wawancara Hanif, 4/3/2021). Disini rezim pengetahuan (baca: bidang
Hikmah cabang) telah menganggap bahwa dirinya telah mengerti semua permasalahan
kondisi kader IMM Kota Semarang sekaligus tawarannya.
Kedua, narasi perlawanan adalah bukti adanya pembingkaian wacana yang dilakukan
oleh bidang Hikmah. Bahkan Rakorbid (rapat kordinasi bidang) tidak lain merupakan wujud
dari hasrat bidang Hikmah IMM Cabang untuk mengatakan bahwa wacanannya adalah benar
(baca: will to truth) yang berhasil dilakukan. Hal ini disandarkan dengan fakta bahwa sejak
rapat tersebut berlangsung hingga akhir masa periode tidak ada kader menanyakan dari mana
wacana “perlawanan” tersebut berasal. Seolah apa yang dinarasikan tidak perlu dibantah lagi
oleh kader, atau dianggap sebagai given, taken for granted. Ketiga, sebagai aktor kuasa, tentu
bidang ini memiliki insturmen guna mengkomunikasikan wacananya kepada segenap kader.
Instrumen yang dilakukan adalah dengan melaksanakan agenda pertemuan. Terhitung mulai
dari awal periode hingga akhir, bidang Hikmah cabang telah melaksakan sebanyak delapan
agend, dan hampir semua dilaksanakan secara daring. Lihat tabel berikut:
Tabel 1
Agenda Pertemuan yang diadakan Bidang Hikmah Cabang
Tanggal Jenis
N Nama
Pelaksa Agen
o. Agenda
naan da
1. Diskusi 10 Darin
Omnibus Maret g
Law 2020 (Onli
25 ne)
Maret
2020
2. Diskusi 10 Mei Darin
Kebijakan 2020 g
PKM Kota (Onli
Semarang ne)
3. Rapat 16 Mei Darin
Kordinasi 2020 g
Bidang (Onli
Hikmah se- ne)
Kota
Semarang
4. Diskusi 10 Juni Darin
Ekologi 2020 g
Politik 13 Juli (Onli
2020 ne)
5. Diskusi 17 Juli Darin
RUU PKS 2020 g
(Onli
ne)
6. Pesantren 17-18 Darin
Demokrasi Oktober g
2020 (Onli
25-26 ne)
Oktober
2020
7. Aksi Tolak 11 Darin
Omnibus Oktober g
law (Tugu 2020 (Onli
Muda) ne)
dan
Lurin
g
(Offli
ne)
8. Diskusi 21 Darin
Menyoal Novem g
Penyelengg ber (Onli
araan 2020 ne)
Pilkada
Serentak
2020
Sumber: diolah dari dokumen Laporan Pertanggungjawaban PC IMM Kota Semarang
2019/2020
Keempat, adalah adanya praktik strategi pendisiplinan. Sejak awal, terdapat upaya
menggandeng seluruh komisariat untuk bergabung ke pimpinan cabang (Rifqi, wawancara
19/2/2021). Hanya komisariat AISMuh (Akademi Ilmu Statistika Muhammadiyah) yang
terpaksa tidak mendelegasikan kader karena memang tidak ada kader yang mau untuk naik
pimpinan. Tindakan menggandengnya seluruh komisariat ke dalam pimpinan cabang
merupakan regulasi dalam bentuk “mitos keterwakilan”. Mitos ini berangkat dari asumsi
bahwa akan ada dukungan dari kader sejalan dengan adanya keterwakilan dari kader seluruh
komisariat yang naik menjadi pimpinan cabang. Tampaknya memang benar, hal ini
dikonfirmasi dengan pernyataan “jadi ada rasa ingin ikut terlibat juga dalam program-
program. Jadi untuk pengkondisiannya minim bentrok dan minim bertentangan” (wawancara
Hanif, 19/2/2021).
Praktik pendisiplinan pun dilakukan dengan merekayasa kondisi seolah tidak terjadi
suasana diskursif, atau disebut normalisasi. Upaya ini dilakukan terutama untuk menjegal
kader yang dianggap sebagai pihak yang kontra wacana atau hanya resisten (baca: sikap
bertahan dari perubahan). Inilah sebuah keniscayaan yang hadir sebagaimana yang dilakukan
oleh Bangkit dan Azzam dugaan percobaan melawannya (counter-discourse). Dugaan
tersebut ternyata tidak demikian melainkan sebagai upaya resistensi. Mereka dinormalisasi
dengan cara pembiaran atau tanpa respon, yang tentu merupakan upaya menjagalan. Hal ini
dilakukan tentunya demi menjaga narasi bidang Hikmah Cabang tetap mapan dan tidak
menemui intervensi dari pihak manapun. Hal ini dibenarkan oleh Hanif bahwa “bidang
hikmah cabang pikirannya kan keberpihakan (yang) jelas (Hanif, wawancara 19/2/2021).
Dengan melihat ini semua, maka dapat dikatakan bahwa gerakan ini berada pada pusaran
kuasa yang itu terkontrol secara mapan oleh pimpinan cabang IMM Kota Semarang,
khususnya bidang Hikmah cabang.
Kegagapan IMM Menghadapi “Era Digital” dan Pandemi
PC IMM Kota Semarang periode 2019/2020 sejak awal kepemimpinannya dihadapkan
dengan situasi pandemi Covid-19. Dalam bidang Hikmah sendiri misalnya, dalam
menghadapi situasi tersebut hanya mengandalkan media online nya sebagai medium guna
membangun gerakan. Tidak ada upaya lebih untuk mengelaborasian antara pengorganisasian
secara daring dan pengorganisasian secara lapangan. menunjukan adanya penggunaan logika
aksi konektif lama ala Olsonian, yakni hanya melakukan pengorganisasian secara daring saja,
tidak mencoba untuk memanfaatkan peluang dengan logika aksi konektif baru melalui
pengelaborasian secara daring maupun luring secara berbarengan. Hanya tercatat satu agenda
saja pengelaborasian ini dilakukan, yakni saat ada aksi tolak Omnibus Law pada tanggal 11
Oktober 2020. Pelaksanaan agenda itu pun dilakukan oleh bidang Hikmah tidak secara
organisasional, melainkan sebuah imbauan kepada kader yang itu tidak bisa dinilai sebagai
sikap lembaga. Jikalau terdapat keikutsertaan kader yang ikut turun aksi, maka hal itu tentu
dinilai sebatas insiatif individu itu sendiri. Inisiatif kader untuk turun aksi itu pun tidak
dihadiri banyak kader.
Fakta ini dikonfrmasi oleh Bangkit, sebagai ketua bidang Hikmah komisariat Ibnu Sina,
yang menerima ajakan secara personal untuk turun aksi (wawancara Bangkit, 20/2/2021).
Melihat adanya ajakan tersebut, Bangkit tidak lantas mengajak kader komisariatnya untuk
ikut serta dalam aksi tersebut, melainkan sikap acuh yang tidak menaruh respon terhadap
narasi tersebut. Tentu hal ini merugikan bidang Hikmah yang seakan tidak bisa mensiasati
kondisi pandemi tersebut dan menganggapnya sebagai kendala gerakan.
Tabel 2
Kendala Bidang Hikmah Cabang 2019/2020 Akibat Pandemi
No
Bentuk Kendala
.
1. Diskusi / Hanya dapat
Kajian / dilaksanakan
Program secara daring;
2. Ruang gerak - Terbatas;

3. Partisipasi - Secara
kuantitas,
cukup banyak
kader yang
ikut dalam
kegiatan
daring.
- Secara
kuantitas,
antusiasme
kader dalam
kegiatan
kurang
maksimal.
4. Komunikasi - Konsolidasi
gerakan
terpecah
- Kordinasi
dengan
bidang
Hikmah
komisariat
tidak
berlangsung
masif
Sumber: diolah dari dokumen Laporan Pertanggungjawaban PC IMM Kota Semarang
2019/2020
Alih-alih menjadi wadah alternatif, logika yang keliru sejak awal telah menunjukan
ketidakberesan gerakan dalam memunculkan wajah baru gerakan sosial. Boleh dikatakan
klaim ruang publik dalam gerakan berbasis daring tidak berlaku sama sekali. Justru realitas
yang terjadi memang berpeluang mengundang banyak partisipan, tetapi dari mereka sangat
sedikit yang berhasil terpantik hingga menjadi sebuah perdebatan yang konstruktif (Lim,
2014). Masalahnya, buruknya partisipasi secara kualitas dianggap sebagai permasalahan kader
itu sendiri, kendala teknis, dan tidak menyalahkan kerja bidang (Wawancara Hanif,
19/2/2021). Kerja pimpinan yang secara total menggunakan logika aksi konektif lama sebagai
rule model-nya, sebagaimana yang tertera dalam laporan pertanggungjawaban, adalah bentuk
dari kurangnya kajian dalam menghadapi pandemi dan era digital. Sedangkan, implikasi akhir
dari kegagapan ini adalah terpercahnya konsolidasi dan kordinasi gerakan yang tentu bukan
kesalahan kader, melainkan bermuara pada permasalahan kerja bidang Hikmah cabang itu
sendiri yang gagap dalam menghadapi era digital dan kondisi pandemi.
Ketidakefektivan dan Ketidakoptimalan Gerakan Daring
Kejadian diamnya kader dan resistensi kader adalah karena munculnya efek panoptic
pasca adanya pendisiplinan melalui regulasi dan normalisasi yang dilakukan oleh bidang
Hikmah cabang. Sederhananya, efek panoptik inilah yang menyebabkan adanya ketakutan
pada kader untuk mengkritisi wacana. Buktinya adalah tatkala percobaan melawan Azzam
dan Bangkit diabsenkan melalui strategi pendisiplinan yang dilakukan bidang Hikmah, maka
percobaan melawan itu pun melempem dan tidak lagi ditindaklanjuti. Pengawasan (panoptik)
ini menjadikan adanya dominasi dan penguasaan wacana yang kuat yang dimiliki bidang
Hikmah cabang. Hal ini diafirmasi dari pernyataan Bangkit “karena aku dulu belum punya
dasar, belum cukup pengetahuan, jadi aku sementara ga bisa bilang pro atau kontra”
(wawancara Bangkit, 20/2/2021). Artinya, pernyataan Bangkit telah menunjukan betapa
makna kebenaran dalam wacana perlawanan selama ini telah direbut dan dimapankan oleh
bidang Hikmah cabang.
Bangkit, Azzam, dan Gadis adalah beberapa orang, yang mewakili segenap kader IMM
kota Semarang telah mengkonfirmasi atas kegagalan secara kualitas terhadap penerimaan
wacana tersebut. Tentu dalam menerima wacana demikian para kader butuh proses yang tidak
lah instan. Apalagi dalam kondisi pandemi, kader sedang direpotkan dengan pekerjaan yang
serba online. Dengan itu, maka dapat dikatakan jika apa yang diwacanakan bidang Hikmah ini
belum cukup waktu untuk menyelesaikan pekerjaan dalam hal menyampaian wacananya.
Ditambah, proses pembahasaan yang digunakan dalam produksi wacana ini pun dapat dinilai
belum selaras dengan kader, dimana hal-hal yang disampaikan melalui tiga pokok kerja
(seperti ngaji ekologi, pengawalan isu Omnibuslaw, dan mengawal seputar tema demokrasi)
terasa memberatkan mereka. Kondisi keberatan kader butuh proses lebih terhadap wacana
perlawanan dinyatakan oleh Hanif bahwa “kalau keberatan menurutku cenderung diam.
Bukan faktor idenya” (Wawancara Hanif, 19/2/2021).
Ditambah dengan konsepan yang belum matang dan belum memiliki referensi periode
kepemimpinan sebelumnya menjadikan wacana telah menjadi alasan lain mengapa wacana
perlawanan sulit diterima. Hal ini dibenarkan oleh Hanif, dimana ia mengatakan “tujuan
wacana ini diproduksi tidak lain sebagai reposisi semata. Tidak ada gagasan yang demikian di
tahun sebelumnya.” (wawancara Hanif, 4/3/2021). Jadi betul-betul hal yang baru, dan
dipaksan untuk diterapkan sedangkan waktunya hanya satu tahun saja. Dan dari tiga program
kerja tersebut tampak hanya sebagai stimulus untuk meningkatkan eksistensi IMM semata,
dimana di tahun sebelumnya belum ada wacana yang demikian. Artinya, perlu sebuah proses
yang dilakukan secara seksama hingga mencapai goal setting dari sebuah produksi wacana
perlawanan ini.
Tentu bisa dikatakan bahwa terdapat kekeliruan dalam rezim pengetahuan dalam
memainkan wacana untuk tampil sebagai aktor dan wacana yang benar dan strateginya dapat
menyebabkan adanya singularitas dalam kondisi penerimaan kader. Mereka para kader
berusaha membenahi diri dengan bersikap resisten atau bahkan bungkam dari kemungkinan
sebuah kecurigaan dan keraguan atas sebuah wacana yang disodorkan. Jika menilik dengan
jumlah partisipasi yang tinggi pun tidak serta merta dapat dijadikan penilaian sebagai suatu
kebehasilan. Sebab, mereka para kader sangat jauh dari kata pemahaman sebagaimana
Bangkit, Azzam, dan Gadis alami.
Memang konsepan awal kuranglah matang, tetapi bila dicermati lagi ada juga faktor
yang menjadikan kegagalan dalam kuasa ini, yakni tidak adanya tindak lanjut pasca
pengorganisasian. Pengorganisasian selama ini hanya berakhir pada aksi turun jalan, atau
bahkan hanya sekadar diskusi. Misalnya dalam wacana penolakan UU Omnibuslaw, jika
tujuan wacana ini hanya untuk menggagalkan undang-undang tersebut sedangkan para kader
tidak memahami substansinya maka gagal lah narator, sang rezim pengetahuan. Hal yang
patut disayangkan ini diamini Azzam dalam isu lain yang mengatakan “yang disayangkan
ngga ada sikap lain setelah menerapkan sikap dari lembaga itu sendiri (bidang Hikmah
Cabang), jadi berhenti dari situ, lalu pengawalan dari pilkada itu sendiri gimana” (Wawancara
Azzam, 21/2/2021)
Tentulah bagi kader tidak semua bisa memahami ini semua sebagai suatu rangkaian
wacana dengan baik, apalagi jika arus informasi lain datang dengan cepat untuk mereka
konsumi. Tidak ada suatu upaya satu pun guna mencapai hasil yang lebih memuaskan dari itu
semua. Lihat saja, para kader disini tidak tampil sebagai aktor baru yang ikut meramaikan
wacana perlawanan ini melainkan hanya sebatas partisipasi yang tidak memuaskan
capaiannya. Padahal gerakan yang digalakan secara daring harusnya mendapat capaian yang
efektif dan opimal, tetapi yang terjadi dalam tubuh IMM Kota Semarang mengerucut pada
implikasi yang berakibat pada gagalnya wacana yang “benar”. Fatalnya hal yang demikian
dibiarkan berlangsung hingga masa periode pimpinan cabang IMM Kota Semarang
2019/2020 selesai.
Wacana perlawanan yang diproduksi oleh bidang Hikmah pimpinan cabang IMM kota
Semarang telah diperlihatkan penyebabnya, dimana rezim pengetahuan hadir dengan merebut
ruang wacana kader. Kemandekan gerakan yang ditandai dengan adanya kebungkaman kader
bukanlah hal yang kebetulan, melainkan yang ada karena dibungkam oleh pembungkam. Jika
kita telah sepakat mengatakan rezim pengetahuan (dalam hal ini bidang Hikmah IMM cabang
Kota Semarang) adalah aktor pembungkam, maka satu yang perlu diungkap adalah mengapa
kader (dalam benaknya) tampak tidak selaras dengan wacana perlawanan yang diproduksi
rezim pengetahuan selama ini.
Kita mungkin sepakat untuk mengatakan jika zaman telah mengalami banyak
perubahan, khususnya dalam hal yang membentuk individu hari ini. Begitupun dengan pola
pikir kader IMM kota Semarang, tidak bisa seseorang menyamaratakan perlakuan terhadap
individu kader dengan satu model saja yang itu dianggap sebagai sesuatu yang given atau
taken for granted, melainkan perlu upaya lebih yang dimulai dari proses memahami per
individu tersebut. Dalam konteks bidang Hikmah cabang sendiri, mereka sebagai narator
(rezim pengetahuan yang kuasa) sebuah wacana perlawanan telah menampakan adanya
pemaksaan agar seorang kader bisa memahami wacana yang diproduksinya. Bidang hikmah
seolah enggan untuk menyelarasan dan kompromi dengan model dan selera apa yang diminati
kader. Sehingga dengan menampakan kuasanya melalui pemaksaan, menjadikan adanya
kebungkaman dalam benak kader, dimana hal-hal yang demikian mereka
mengatasnamakannya sebagai keberhasilan wacana.
“Kita bisa bikin jaringan bersama teman-teman LSM komunitas gerakan akar rumput di Semarang dan
Jawa Tengah serta mengurangi seminimal mungkin relasi-relasi dengan pejabat-pejabat elit skala regional.
Kalau untuk kader sendiri indikator keberhasilannya, komisariat mau menerima konsep yang kita bangun.”
(Wawancara Hanif, 4/3/2021)
Hal yang disampaikan diatas merupakan klaim keberhasilan yang dicapai oleh bidang
Hikmah, akan tetapi bungkamnya kader bukanlah suatu yang tanpa sebab melainkan kondisi
realitas yang telah mengonfirmasinya. Satu momen dalam pesantren demoksrasi misalnya,
posisi peneliti yang dalam pelaksanaan acara tersebut diminta menjadi fasilitator tentu
memahami betul kejadian bungkamnya kader peserta. Sebab, sebagai fasilitator pun ikut
memperhatikan kondisi kader peserta dan mengarahkan mereka agar tetap sesuai kurikulum
yang telah dirancang sebelumnya. Sebagai sosok yang terjebak dalam simulakra, dimana
konsumsi atas sebuah tanda telah menjadi komoditas, Gadis bukanlah kader yang
membungkam dalam pegorganisasian daring tetapi justru sebagai sosok yang terbungkam. Ia
mewakili dari sekian kader IMM yang selama ini mengikuti pengorganisasian daring yang
terbungkam sebab adanya praksis sosial yang tidak tepat. Hal ini didasarkan pada cerita
Gadis, ia menyukai forum diskusi berbasis hobinya tetapi tidak dengan pengorganisasian
sebagaimana yang dilakukan bidang Hikmah cabang. Terlihat bahwa narasi yang ditampilkan
dalam forum berbasis hobinya tersebut merupakan narasi yang populer bagi Gadis, sedangkan
dalam narasi bidang hikmah berlawanan dengan hal tersebut.
Singkatnya, dengan narasi sederhana yang sedemikian rupalah yang memungkinkan
dapat menyebar dan diterima oleh kader IMM secara cepat. Patut disayangkan hal yang
demikian menarik bukan lah sesuatu yang dicermati dengan baik oleh IMM Cabang Kota
Semarang. Padahal hal itu tentu berkaitan dengan meminimalisir resiko dalam suatu agenda
organisasi dan sejalan dengan ideologi metanarasi yang memiliki potensi lebih tinggi untuk
menyebar dan menghasilkan partisipasi yang masif.

SIMPULAN
Bak buah simalakama, mereka yang tampil sebagai rezim pengetahuan dalam wacana
yang diproduksi, tidak lah seindah yang dibayangkan diawal. Alih-alih membangun kuasa
dengan siasat pendisiplinan, regulasi dan normalisasi demi memantapkan kuasanya justru
berdampak pada resistensi kader. Regulasi yang mengharuskan adanya keterwakilan kader
dari masing-masing komisariat misalnya, hanya berbuah sikap bungkamnya para kader.
Sebab, apa yang selama ini digaungkan oleh bidang Hikmah cabang telah dinilai sesuatu yang
given atau taken for ganted. Padahal apa yang diwacanakan tidak selau demikian benarnya.
Implikasi terburuk selain adanya keterbungkaman kader adalah gagalnya rezim untuk
membumikan wacana dan mandeknya gerakan selama masa pandemi. Sebab, wacana
perlawanan yang selama diproduksi hanya dapat menghasilkan dukungan partisipan tetapi
tidak secara substansi. Para kader yang ikut mendukung hanyalah sebuah dukungan semu
yang mana mereka tidak memahami betul seperti apa nalar dalam wacana ini. Mereka sekadar
ikut-ikutan tanpa ada sebuah hasil yang memuaskan, bagi dirinya sendiri ataupun untuk
bidang Hikmah cabang. Artinya, sebuah kekeliruan yang telah kami lakukan bahkan sejak
awal wacana ini diproduksi. Wacana berhasil menduduki posisi yang dianggap “benar” tatapi
gagal dimanfaatkan dan diambil manfaatnya. Lalu untuk apa ini semua? Ya, bagi saya ini
adalah kesalahan dan sebuah tindakan yang sia-sia. Sebagai think tank, saya pun merasa
bahwa ini semua adalah sebuah kesalahan yang fatal. Pengorganisasian daring selama masa
pandemi seperti ini justru menjadi momok gelap organisasi.
Jika pun diminta saran, maka tidak ada sebuah saran yang berarti kecuali kita perlu
melakukan tindakan lebih dengan percobaan atau eksperimentasi. Eksperimentasi berupa
usaha memahami individu itu dapat kita mulai untuk mengeluarkan diri kita semua dari
jeratan kejumudan (baca: kemandekan) sebab adanya penguasaan wacana. Meski tidak
mungkin terlepas dari kuasa rezim pengetahuan, tetapi rekonstruksi ruang diskursus tetap bisa
diupayakan. Sebab, kita merujuk pada Foucault, makna “kuasa” bukanlah sesuatu yang mesti
bernilai negatif melainkan netral, tergantung siapa aktor kuasa yang memaknainya.
Pendekatan populer juga perlu diterapkan, yakni dengan mensubtitusikan gerakan
dengan apa yang selama ini disenangi, digemari, diberhalakan, atau anggapan lain oleh kader.
Misalnya, sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, dengan memasukan unsur K-Pop, unsur
novel, atau unsur-unsur lainnya yang semua itu dekat dengan individu yang terlibat dalam
pengorganisasian gerakan. Memang tidak mudah melakukan pendekatan ini, sebab peneliti
pun selalu punya tendensi sebagai rezim pengetahuan. Politis juga jatuhnya. Tetapi apapun
itu, pendekatan tersebut tidaklah mutlak dan tetap perlu menjadi refleksi bagi kita semua
selaku “aktor” melalui sebuah diskursus yang akan terus berlanjut hingga yaumul kiamah.
Wallahu ‘alam..

DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Åkerstrøm Andersen, N. (2003). Discursive analytical strategies: understanding Foucault,
Kosselleck, Laclau, Luhmann. Bristol: The Policy Press.
Alba-Juez, L. (2009). Perspectives on discourse analysis : theory and practice. Newcastle:
Cambridge Scholars Publishing.
Bakker, F. G. A. de, Hond, F. den, & Laamanen, M. (2017). Social Movements:
Organizations and Organizing. In C. Roggeband & B. Klandermans (Eds.), Handbook of
Social Movements Across Disciplines (2nd ed., pp. 203–232).
Baumgarten, B., & Ullrich, P. (2016). Discourse, Power, and Governmentality. Social
Movement Research with and beyond Foucault. In J. Roose & H. Dietz (Eds.), Social
Theory and Social Movements: Mutual Inspirations (pp. 13–38).
Bennett, W. L., & Segerberg, A. (2013). The Logic of Connective Action : Digital Media and
the Personalization of Contentious Politics. New York: Cambridge University Press.
Bourdieu, P. (2013). Outline of Theory of Practice (23rd ed.). Cambridge: Cambridge
University Press.
Cable, J. (2017). Communication Sciences and the Study of Social Movement. In C.
Roggeband & B. Klandermans (Eds.), Handbook of Social Movements Across
Disciplines (2nd ed., pp. 185–202).
Dimitris Kitis, E., & Milani, T. M. (2015). The performativity of the body: Turbulent spaces
in Greece. Linguistic Landscape: An International Journal, 1(3), 268–290.
Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977
(C. Gordon, Ed.). New York: Pantheon Books.
John W. Creswell. (2009). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches (3rd ed.). California: Sage Publication Inc.
Lim, M. (2005). @rchipelago Online: The Internet and Political Activism in Indonesia
(Twente University).
Lim, M. (2014). Klik yang Tak Memantik : Aktivisme Media Sosial di Indonesia. Jurnal
Komunikasi Indonesia, III(1).
Michel Foucault. (1978). The History of Sexuality, Volume 1: An Introducing (R. Hurley,
Ed.). New York: Pantheon Books.
Michel Foucault. (2019). DISCIPLINE AND PUNISH: The Birth of the Prison (A. Sheridan,
Ed.). City of Westminster: Penguin Books Ltd.
Neuman, W. L. (2014). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches.
In Pearson Education Limited (7th ed.).
Scholz, T. (2010). Infrastructure: Its Transformations and Effect on Digital Activism. In Mary
Joyce (Ed.), Digital activism decoded : the new mechanics of change (pp. 17–32). New
York: International Debate Education Association.
Suyanto, B. (2017). Sosiologi Ekonomi: Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-
Modernisme (3rd ed.). Jakarta: Kencana.
Tarrow, S. G. (2011). Power in Movement Social Movements and Contentious Politics (3rd
ed.). New York: Cambridge Scholars Publishing.

Daftar Informan
Abdullah Azzam, selaku ketua bidang Hikmah PK IMM Sayf Battar UIN Walisongo,
wawancara 21 Februari 2021, pukul 11.21 WIB, di warung makan Bebek Gentong
Ngaliyan Semarang
Gadis (nama disamarkan), selaku kader peserta Pesantren Demokrasi, wawancara 20 Februari
2021, pukul 13.41 WIB, di kafe Warga Lokal Gedawang Semarang
M. Bangkit Priyambodo, selaku ketua bidang Hikmah PK IMM Ibnu Sina Undip, wawancara
20 Februari 2021, pukul 16.26 WIB, di Burjo Saung Idaman Jurang Belimbing
Tembalang Semarang
M. Rifqi Muharram, selaku ketua Pimpinan Cabang IMM kota Semarang periode 2019/2020,
wawancara 19 Februari 2021, pukul 13.03 WIB, di Gedung Dakwah Muhammadiyah
Banyumanik Semarang
Muhamad Hanif Yasyfi, selaku ketua bidang Hikmah PC IMM kota Semarang periode
2019/2020, wawancara 19 Februari 2021, pukul 15.07 WIB, di Angkringan KJ
Banyumanik Semarang
Muhamad Hanif Yasyfi, selaku ketua bidang Hikmah PC IMM kota Semarang periode
2019/2020, wawancara 23 Februari 2021, pukul 09.46 WIB, Gedung Dakwah
Muhammadiyah Banyumanik Semarang
Muhamad Hanif Yasyfi, selaku ketua bidang Hikmah PC IMM kota Semarang periode
2019/2020, wawancara 4 Maret 2021, pukul 13.51 WIB, Gedung Dakwah
Muhammadiyah Banyumanik Semarang

You might also like