You are on page 1of 12

AKSI UNJUK RASA (DAN RADIKALISME) SERTA PENANGA NANNYA

DALAM ALAM ”DEMOKRASI” DI INDONESIA

Demonstration (and Radicalism) and Its Coping Management within the


”Democracy” in Indonesia
Tri Pranadji

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian


Jl. A. Yani No. 70 Bogor

ABSTRACT

Currentlu, almost every single ‘conflict’ in the society is followed by demonstration. It seems that the
demonstration is a popular trend after the New Order era and more specifically such fenomenon has been
reflected in the modern democracy life of the society. Understanding about democracy is heavily depending on
the eliteness maturity of someone (politic, economy, and government) In the present ‘transitional situation’ and
the absence of the ideal socio -culture-politic level, understanding about democracy will invite pros and cons
among the concerned people. To express disagreement on certain public policies through demonstration could be
accepted because it is in lione with “democracy”. However, such protest along with anarchy actions and
radicalism should create undesirable situation.affecting the public. Traditionally, protest (by the people) which is
responded wisely (by the government) has been long time exist within the old society (such as Java’s kingdom in
the past, 16-19 century), long before the “westernization” of Indonesian community. Coping with demonstration is
no less than good attitude responses, and far from enemy impression. Good communication and compromise
based on respectful between the two sid es will open an elegant solution and parallel with the constitution
objectives.

Key words : demonstration, democracy, public room, corruption, radicalism

ABSTRAK

Dewasa ini hampir setiap terjadi “perselisihan” di masyarakat diikuti dengan aksi unju k rasa dari pihak
yang merasa dikalahkan. Aksi unjuk rasa setelah tumbangnya Orde Baru seakan -akan telah menjadi hal yang
trendy dan dinilai sebagai cerminan kehidupan peradaban masyarakat modern yang demokratis. Pemaknaan
terhadap istilah demokrasi sangat tergantung pada kematangan elit (politik, ekonomi dan pemerintah) dalam
memahami demokrasi. Dalam situasi “transisional” dan belum ditemukannya bentuk ideal tatanan sosio -budaya-
politik sesuai amanat konstitusi pemaknaan terhadap istilah demokrasi akan me ngundang pro dan kontra.
Sebagai bagian dari ekpresi tidak setuju dan protes terhadap kebijakan publik, di satu sisi aksi unjuk rasa
merupakan hal yang dapat diterima dan sejalan dengan tuntutan “demokrasi”; namun di sisi lain tidak jarang aksi
ini diikuti dengan tindakan anarkhis dan radikalisme yang menimbulkan suasana mencekam di ruang publik. Aksi
unjuk rasa secara santun (oleh rakyat) dan disikapi secara arif (oleh penguasa) telah dikenal dalam tatanan
masyarakat tradisi (misalnya dalam masyarakat kera jaan di Jawa pada abad 16 -19), jauh sebelum peradaban
demokrasi barat (“westernisasi”) merasuki kehidupan masyarakat Indonesia . Penanganan aksi unjuk rasa yang
baik adalah dengan dilandaskan pada sikap yang jauh dari saling bermusuhan, antara pengunjuk ras a dan
sasaran atau yang menangani pengunjuk rasa. Melalui musyawarah yang dilandaskan pada sikap saling
menghormati akan membuka jalan penyelesaian yang elegan (dan sejalan dengan tujuan konstitusi) terhadap
aksi unjuk rasa.

Kata kunci : aksi unjuk rasa, demokrasi, ruang publik, korupsi, radikalisme

PENDAHULUAN yang wajar melainkan juga sebagai indikator


penerapan “prinsip demokrasi” dalam kehi -
dupan masyarakat yang pluralis tik, khususnya
Aksi unjuk rasa seharusnya bukan pada masyarakat yang sedang berubah. Sela -
saja dipandang sebagai ekspresi masyarakat ma ini masyarakat Indonesia telah mengalami

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI , Volume 26 No. 2, Desember 2008 : 132 - 143

132
berbagai fase-fase perubahan peradaban yang menangani aksi unjuk rasa sesuai dengan
tidak kecil. Dapat dikatakan masyarakat semangat demokrasi dan amanat konstitusi.
Indonesia akan dan sedang mengalami proses Dapat dikatakan bahwa aksi unjuk rasa dapat
perubahan abadi dan berkelan jutan (sustain- diibaratkan sebagai denyut nadi dalam tubuh
able changing society). Dalam situasi demiki- masyarakat yang sedang berubah. Dari media
an, hubungan antar kelompok masyarakat massa dilaporkan begitu beragamnya bentuk
(status sosial, ras, golongan, suku, dan unjuk rasa, materi yang dijadikan bahan unjuk
agama) sangatlah dinamis dan (bahkan) rasa, aspek yang dijadikan sorotan dalam
“romantik”. Saling unjuk rasa, terutama pada unjuk rasa, tempat yang dijadikan ajang unjuk
saat anggota atau sekelompok masy arakat rasa, katagori pelaku yang melakukan unjuk
dihadapkan pada perbedaan pandangan rasa, pengorganisasian unjuk rasa, pena -
mengenai kelangsungan dan keamanan sub - nganan para pengunjuk rasa, dan aspek lain
sistensi, akan menjadi hal yang biasa dalam yang terkait dengan unjuk rasa.
sehari-hari. Aksi unjuk rasa yang santun akan Dengan kemajuan pengetahuan dan
mudah berubah menjadi “bencana sosial” dan berbagai temuan baru (antara lain) di bidang
sangat radikal ketika aspek ketidak -adilan, teknologi informasi, transportasi, turisme,
ancaman subsistensi (Scott, 1989), serta pertanian dan industri, serta peralatan militer ;
keserakahan tidak mendapat perhatian serius telah membuka cakrawala baru bagi perkem -
dari pemerintah atau kelompok kuat (“sedang bangan masyarakat tradisi (di timur) ke arah
berkuasa”) yang menjadi target aksi unjuk masyarakat modern (model barat; wes-
rasa. ternisasi). Sejalan dengan itu, ketika inovasi di
Dalam perspektif sosiologi, unjuk rasa bidang sosial-politik, terutama tatanan sosial,
merupakan bagian yang lumrah dari di namika politik dan pemerintahan belum mengarah
masyarakat yang sedang berubah ( changing pada terbentuknya tatanan masyarakat yang
society). Dari catatan sejarah di Indonesia, ideal (adil dan beradab) maka pemaknaan
khususnya pada masyarakat Jawa, telah terhadap istilah demokratis akan terus
ditunjukkan bahwa pada masyarakat kerajaan mengundang pro dan kontra. Kaum politisi
dan feodal, seperti dijumpai pada jaman yang sedang berkuasa akan cenderung
kerajaan Demak hingga Mataram (abad 16 - memonopoli pemaknaan terhadap istilah de -
18), telah dikenal “ekpresi unjuk rasa” antara mokrasi. Ketika kaum elit politik mulai tejangkiti
lain berupa tapa pepe. Semakin maju suatu “penyakit bebal” terhadap kesengsaraan
masyarakat “ekpresi unjuk rasa” akan semakin rakyat, pada saat itulah mereka akan kesulitan
beragam; dari (misalnya) mogok makan dalam memahami alasan mengenai perlunya
hingga melakukan pemboman atau peng - menghargai perbedaan (Carter, 1985) dan
rusakkan tempat umum. Dapat dikatakan merespon aksi unjuk rasa secara arif.
bahwa “aksi unjuk rasa” merupakan instrumen Terjemahan demokrasi dalam aksi
atau cara (”means”) anggota atau sekelompok unjuk rasa akan berubah sejalan dengan beru -
masyarakat untuk menunjukkan atau menya - bahnya tatanan sosio-budaya suatu masyara-
takan ketidaksetujuan terhadap suatu panda - kat atau bangsa. Pada masyarakat transisional
ngan, pemikiran, sikap atau tindakan tertentu bila terjadi benturan peradaban (“ clash of
anggota atau kelompok masyarakat lain. Aksi civilization”) akan mudah terjadi kevakuman
unjuk rasa juga merupakan instrumen penting orientasi moral masyarakat bangsa. Merebak -
bagi masyarakat dalam menyalurkan kepedu - nya budaya korupsi (akibat penyalah -gunaan
liannya terhadap penyelenggaraan pemba - kekuasaan; abusement of power) di kalangan
ngunan nasional, terutama pada saat hasil dan elit politik dan wakil rakyat merupakan indikasi
proses pembangunan dinilai tidak sejalan adanya degradasi “moral elit bangsa” yang
dengan amanat konstitusi. sangat berat. Salah satu bentuk respon ma -
Tulisan ini melakukan pendalaman syarakat terhadap gejala ini adalah munculnya
terhadap aksi unjuk rasa, sebagai bagian dari budaya radikalisme sebagai bentuk dan aku -
pengekspresian kebebasan dalam menyam - mulasi ketidak-percayaan masyarakat pada elit
paikan pendapat atau pikiran secara terbuka politik, ekonomi dan pejabat pemerintah.
dalam alam demokrasi. Dalam tulisan ini juga Dalam kondisi “anomie” (kekosongan moralitas
dibahas mengenai bagaimana seharusnya umum) ekpresi protes masyarakat dalam

AKSI UNJUK RASA (DAN RADIKALISME) SERTA PENANGANANNYA DALAM ALAM ”DEMOKRASI” DI INDONESIA Tri Pranadji

133
bentuk aksi unjuk rasa dan penangan annya peradaban demokrasi barat dalam tatanan
akan mudah terjadi anomali . Hal ini disebab- masyarakat tradisi di Indonesia. Namun perlu
kan oleh tidak berfungsinya lembaga dan dikemukakan bahwa aksi unjuk rasa atau
struktur sosial (“social struktural disfunction ”) demonstrasi bukan produk asli masyarakat
sesuai yang diharapkan (Merton, 1957). modern yang telah memasuki era demokrasi.
Tingkat kemajuan dan demokrasi sua - Sebelum memasuki era modern abad 20,
tu masyarakat memang ditentukan oleh sema - budaya unjuk rasa telah dikenal masyarakat.
kin beragamnya aktivitas sosial, ekonomi, Institusi kerajaan di Jawa, seperti keraton
politik, budaya, serta keamanan. Semakin Surakarta (Wahjoedi, 2003), telah menginter -
beragam aktivitas masyarakat mengharuskan nalisasikan budaya “unju k rasa” sebagai
penanganan aksi unjuk rasa sejalan dengan bagian dari kontrol sosial terhadap kebijak -
penguatan civil society dan good governance sanaan raja atau istana. Dalam tatanan ma -
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Apa - syarakat Indonesia pada jaman pra -demokrasi
pun sebutannya, moralitas bangsa dalam yang religius telah dibangun mekanisme ke -
bentuk keadilan dan kewajiba n mewujudkan lembagaan unjuk rasa, yaitu sebagai saluran
kesejahteraan masyarakat (Kartodirdjo, 1984; aspirasi “ketidak-cocokan” (anggota atau)
Pranadji, 2003; Inayatullah, 1979) adalah hal masyarakat terhadap kebijakan pemerintah
yang sangat esensial. Kesulitan masyarakat kerajaan. Telah menjadi pemahaman umum di
dalam menghadapi pemenuhan kebutuhan masyarakat bahwa tugas raja (dalam penye -
dasarnya, antara lain: pangan, sandang, pen - lenggaraan pemerintahan) adalah untuk
didikan, kesehatan dan papan ; menunjukkan berperan sebagai “Ratu Adil” (Kontjaraningrat,
adanya degradasi moralitas bangsa di 1984). Hal ini merupakan kewajiban moral
kalangan elit politik, ekonomi dan pemerintah sebagai wakil Tuhan di bumi.
yang sangat serius. Unjuk rasa dalam masyarakat Jawa
Walaupun aksi unjuk rasa merupakan bukan hal yang baru (old wine), walaupun saat
bagian dari kehidupan sehari -hari masyarakat ini aksi unjuk rasa telah berkembang dalam
yang sedang berubah, namun dalam aksi bentuk yang lebih beragam dan dengan
unjuk rasa di ruang publik sangat terbuka kemasan baru (“new bottle”). Di bawah ini
diikuti dengan tindakan yang mengganggu dikemukakan kutipan berita dari Suara
kepentingan umum. Dalam suasana masih Merdeka (Wahjoedi; 5 Pebruari 2003) menge -
diliputi “socio-political distrust” yang relatif nai kelembagaan unjuk rasa pada jaman pra
tinggi, lebih-lebih dengan adanya “krisis global” kemerdekaan di Jawa:
yang mencekam seperti sekarang ini, maka “aksi unjuk rasa atau demonstrasi
akan banyak aksi unjuk rasa dilakukan dengan seakan-akan menjadi warna kehidupan
mengunakan cara-cara radikal atau diikuti masyarakat pada saat ini (“dalam alam
dengan tindak kekerasan, kriminal dan anar - demokrasi”), namun sebenarnya hal ini
kis. Akar masalah aksi unjuk rasa yang disertai bukan hanya menjadi dinamika dalam
tindakan anarkhis sangat dipengaruhi oleh 3 pemerintahan sekarang… (pada jaman
(tiga) faktor (Pranadji, 2008), yaitu: ketidak - pemerintahan kerajaan kelembagaan
adilan, ancaman subsistensi dan kehormatan “aksi unjuk rasa” sudah dikembangkan
diri, serta keserakahan dan pelanggaran hak dan dijalankan secara santun dan arif).
asasi manusia (HAM). Alam demokrasi Dahulu, pada masa kerajaan seperti
dewasa ini membuka peluang terjadinya Keraton Surakarta, aksi ini pun sudah
beragam hal yang terkait dengan aksi unjuk ada. Kegiatan unjuk rasa tidak hanya
rasa. dilakukan sekelompok rakyat, tetapi juga
oleh perorangan”.
UNJUK RASA DALAM PERSPEKTIF Dahulu, sebelum kemerdekaan, aksi
SEJARAH unjuk rasa cukup dengan aksi ( tapa) pepe di
alun-alun krajan (krajan=kantor kerajaan,
Jawa). Kerajaan telah menetapkan tempat
Dikenal dan dipraktekannya aksi unjuk yang strategis untuk unjuk rasa oleh masya-
rasa atau demonstrasi sedikit banyak ada rakat atau anggota masyarakat. Pada masa
kaitannya dengan semakin intesifnya masuk kerajaan dan kasultanan di Jawa (Raja

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI , Volume 26 No. 2, Desember 2008 : 132 - 143

134
Sinuhun Paku Buwana di Surakarta dan Sultan Sebagai gambaran, raja dapat dikata-
Hamengku Buwana di Jogjakarta), tempat kan ”tidak bermoral” dan kehilangan
dilakukannya unjuk rasa berupa “ tapa pepe” (sebagian) kewibawaannya ketika dijumpai
adalah di alun-alun. Walaupun sudah mulai sebagian rakyatnya menderita kelaparan
jarang dimanfaatkan, institusi “demokrasi” karena tidak dapat bertani atau mengolah
bernuansa budaya timur (”tradisi kerajaan”) ini tanah. Paling tidak moralitas raja harus dapat
hingga sekarang masih belum terhapus dari ditunjukkan dalam bentuk memberikan jami -
ingatan masyarakat. Ada kemungkinan nan kecukupan pemenuhan kebutuhan pa -
institusi ini tidak berkembang kar ena terjadinya ngan, sandang dan papan kepada masyarakat
benturan budaya demokrasi antara barat dan yang dipimpinnya. Secara sosio -kultural raja
timur; sebagai imbas terjadinya benturan di terikat dalam hubungannya dengan tangung
kalangan elit istana di satu sisi, dan antara jawab moral terhadap masyarakat yang
istana dengan pemerintahan asing di sisi lain. dipimpinnya. Raja akan menjadi sangat tidak
Dalam buku ”sejarah jawa” banyak dihargai masyarakat ketika terdapat indikasi
dijumpai kosa kata mengenai protes rakyat, raja “tidak peduli” dengan kesulitan yang
termasuk tapa pepe. Budayawan dari Keraton dihadapi masyarakat dalam mencukupi kebu -
Surakarta, KRHT Kalinggo Honggodipura, tuhan pangan dan kebutuhan dasar lainnya.
menuturkan bahwa sebelum era demokrasi , Ketika terdapat indikasi raja ”menyeleweng”
kelembagaan aksi unjuk rasa sebenarnya te - dari tanggung jawab sosio -kulturalnya, maka
lah dikenal dan dilembagakan dalam kehidu - hal ini akan membuka celah bagi ”lawan politk”
pan masyarakat di lingkungan (masya rakat) di kalangan istana untuk melakukan unjuk rasa
keraton. Alun-alun selain berfungsi sebagai atau memprotes raja secara terbuka. Unjuk
tempat olah krida kanuragan atau latihan rasa yang demikian biasanya mengarah pada
keterampilan perang para prajurit , juga seba- fragmentasi kekuasaan raja atau suksesi
gai tempat bagi rakyat dalam memprotes (penggantian kedudukan raja) melalui tindakan
kebijakan raja. Aksi ini biasa disebut ( tapa) kekerasan dengan cara tidak normal atau
pepe. Protes ini tidak dinilai seb agai ”pelang- melalui perang saudara (”civil war”).
garan politik” karena posisi raja (sebagai ”ratu Setiap penggalan jaman atau sejarah
adil”) dianggap sebagai pengemban mempunyai sisi “terang” dan sisi “gelap”.
”keadilan”. Berkaitan dengan aksi unjuk rasa pun juga
Dari berbagai kajian diperoleh gam - demikian. Aksi unjuk rasa pada jaman pra -
baran bahwa walaupun aksi ( tapa) pepe di kemerdekaan tidaklah sebebas seperti yang
Alun-alun Lor dilakukan hanya satu orang, bisa dilakukan oleh masyarakat modern saat ini.
dilihat langsung oleh ra ja dari Bangsal Walaupun demikian, substansi dari kelem -
Manguntur Tangkil, Sasana Sewoyono, bagaan “unjuk rasa” pada jaman pra -kemer-
Setinggil, atau Bangsal Paningrat Sasana dekaan tetap mengacu pada mekanisme
Sumewa. Disebutkan bahwa begitu melihat kontrol atau “check and balances” terhadap
ada rakyat melakukan pepe, raja langsung kebijakan pemerintah yang secara langsung
memanggil dan menanyakan maksudnya. dilakukan oleh masyarakat atau perorangan.
Dalam pemerintahan kerajaan, raja dalam Muatan moral atau kearifan menjadi elemen
menjalankan kekuasaannya harus dilandaskan penting dari kelembagaan unjuk rasa dalam
atas moralitas sebagai “pengayom” masya - rangka ditegakkannya asas keadilan dalam
rakat. Institusi aksi unjuk rasa berupa tapa penyelenggaraan pemerintahan. Di bawah ini
pepe merupakan bagian dari ”demokrasi kuno” ilustrasi “unjuk rasa” yang terkait dengan
yang dibentuk melalui proses sosio -budaya penyelenggaraan pemerintahan pada jaman
masyarakat. Legitimasi lembaga ini telah pra-kemerdekaan:
diperkuat dengan penerimaan kalangan istana “tapa Pepe dapat dilihat sebagai sebuah
atau raja, dalam hal (misalnya) tapa pepe cermin nilai-nilai demokrasi yang
sebagai salah satu simbol bagi rakyat atau dibungkus oleh kearifan lokal dalam
masyarakat dalam menyampaikan ”protes” bentuk demonstrasi yang dilakukan
atau ketidak-setujuannya terhadap kebijakan secara tertib, tidak anarkhis, dan tunduk
istana atau raja. pada aturan main yang telah
ditetapkanoleh kerajaan. Pejabat istana

AKSI UNJUK RASA (DAN RADIKALISME) SERTA PENANGANANNYA DALAM ALAM ”DEMOKRASI” DI INDONESIA Tri Pranadji

135
(abdi-Dalem Kori) akan menerima maka pada jaman pra-kemerdekaan sebagian
mereka untuk mendengarkan segala dari prinsip-prinsip demokrasi telah dijalankan
keluh kesah, dan hal ini kemudian oleh pemerintahan kerajaan atau kasultana n di
disampaikan kepada Sultan yang Indonesia.
sedang duduk di Siti Hinggil. Peristiwa Sebagai bagian dari ekpresi demok -
terakhir konon terjadi pada zaman rasi, bentuk aksi unjuk rasa antar satu tempat
Sultan Hamengkubuwono VIII ketika berbeda dengan tempat lain, sesuai dengan
rakyat tidak sanggup untuk membayar karakter atau sistem sosio -budaya setempat.
pajak yang ditetapkan oleh Pepatih Dari waktu ke waktu ekpresi unjuk rasa pun
Dalem bersama Gubernur Belanda di dapat berubah sejalan dengan berubahnya
Yogyakarta”. peradaban masyarakat, terutama ketika ma -
Tidak selamanya apa yang terjadi syarakat tersebut menerima atau mendapat
pada era kerajaan atau pra -kemerdekaan pengaruh kuat dari budaya luar. Masuknya
dapat dikatakan lebih buruk dibandingkan peradaban baru, khususnya melalui kedata -
dengan apa yang terjadi pada era atau dalam ngan bangsa Eropa (melalui perdagangan
alam demokrasi seperti sekarang ini. Sebagai hasil bumi dan tambang yang kemudian
gambaran bahwa pada masa sekarang, berlanjut pada hegemoni ekonomi, politik dan
terutama pasca Orde Baru, meskipun beribu - pemerintahan ”orang Eropa” di Indonesia)
ribu orang telah melakukan aksi unjuk rasa mempunyai pengaruh besar terhadap peru -
namun belum tentu ditanggap i secara baik bahan pemahaman dan pemaknaan terhadap
oleh wakil rakyat atau aparat pemerintahan. istilah demokrasi.
Masih sangat langka dijumpai para pengunjuk Istilah demokrasi lahir dari pergulatan
rasa diundang (oleh wakil rakyat atau aparat) masyarakat di Eropa, terutama saat me nga-
dan diajak berdialog atau berembuk (bermu - lami perkembangan yang cepat karena indus -
syawarah) dalam rangka mengatasi masalah trialisasi. Demokrasi, modernisasi dan indus -
yang disampaikan para pen gunjuk rasa. trialisasi seakan-akan menjadi satu untaian
Hubungan antara pengunjuk rasa dan pihak kata mutiara yang melambangkan kemajuan
wakil rakyat atau aparat seperti hubungan peradaban masyarakat. Geertz (1989) menya -
antar pihak yang saling bermusuhan; antara takan bahwa masuknya peradaban industri
yang dimusuhi dan yang memusuhi. Nuansa (masyarakat Eropa) di Jawa, melalui introduksi
permusuhan sangat terasa dalam penanganan pertanian tebu di persawahan dengan berbasis
terhadap berbagai aksi unjuk rasa. pabrik gula dan perdagangan internasional
Dapat dikatakan bahwa tidak berarti (”globalisasi”), membuka celah bagi masuknya
dalam era kerajaan dan kasultanan tidak pemaknaan baru terhadap istilah ”demokrasi”
dijalankan prinsip-prinsip demokrasi. Pada pada masyarakat tradisi di Indon esia, khusus-
masa pra-demokrasi, hak masyarakat untuk nya pada masyarakat Jawa. Ada kesan bahwa
menyampaikan pendapatnya, khususnya yang pandangan para pakar perubahan sosial di
terkait dengan ketidak -setujuannya anggota barat, khususnya yang mengikuti paradigma
masyarakat terhadap kebijakan pemerintah Parsons (1968), dan juga para ekonomi neo -
(kerajaan atau kasultanan), diberikan tempat klasik, bahwa kemajuan masyarakat akan
yang layak. Aksi unjuk rasa telah dianggap berlangsung secara linear sejalan den gan
sebagai bagian dari kontrol sosial dan kultural pemacuan pertumbuhan ekonomi dan berkem -
masyarakat terhadap kebijakan institusi ke - bangnya ekonomi pasar.
rajaan. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran
bahwa posisi raja atau sultan tidak selamanya
sejalan dengan aspirasi masyarakat . Untuk itu AKSI UNJUK RASA DAN “DEMOKRASI”
masyarakat diberi tempat untuk melakukan
koreksi atau evaluasi terhadap kebijaksanaan Memasuki abad 21, pengetahuan
raja atau sultan. Jika secara substansial mengenai “demokrasi” ala barat mulai mera -
demokrasi diartikan sebagai penghormata n suki alam pemikiran elit pergerakan di
terhadap “kekuasaan rakyat” ( demos = the Indonesia, sejalan dengan terdifusinya alam
people atau rakyat; kratein = to rule atau pemikiran modern (barat) pada elit pergerakan
kekuasaan; Neufeld and Guralnik, 1988), nasional pra-kemerdekaan. Hal ini dianggap

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI , Volume 26 No. 2, Desember 2008 : 132 - 143

136
wajar, karena para tokoh pergerakan nasional undang dan merupakan perwujudan demok -
pada masa pra-kemerdekaan (yang kosmo - rasi.
polit) umumnya mengenyam pendidikan formal Sebagai perwujudan demokrasi, aksi
dengan pendekatan masyarakat barat atau unjuk rasa telah dilakukan dan diijinkan
Eropa. Mungkin tidak berlebihan jika demok - pemerintahan di negara-negara yang maju
rasi disejajarkan sebagai “westernisasi” pada maupun sedang berkembang. Hampir semua
masyarakat (“tradisi”) di timur, seperti halnya di surat kabar ibu kota banyak dihiasi berita
Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan mengenai bebagai aksi unjuk rasa. Sebagai
Myanmar. Dalam memperjuangkan kemerde - ilustrasi (antara minggu kedua dan ketiga
kaan NKRI para founding fathers melakukan bulan November 2008) di media massa
berbagai kegiatan unjuk rasa yang ditujukan diberitakan bahwa mantan presiden Taiwan,
pada pemerintahan asing, khususnya pada yang dituduh melakukan korupsi, melakukan
pemerintah Inggris, Perancis dan Hindia aksi unjuk rasa dalam bentuk mogok makan
Belanda di Indonesia. pada pihak pengadilan dan rejim politik yang
Ditegakkannya demokrasi pada kehi - sedang berkuasa.
dupan bermasyarakat dalam negara modern Aksi unjuk rasa, sebagai bentuk
merupakan hal yang dianggap esensial. penyampaian (perbedaan) pendapat di ruang
Kesadaran demokrasi model barat pada diri publik atau di muka umum, yang mudah
para founding fathers sangatlah tinggi, dan diingat oleh masyarakat banyak umumnya
kesadaran ini dikonkritkan dalam pasal -pasal adalah yang terkait dengan perubahan politik.
konstitusi negara (UUD 1945). Sebagai Aksi unjuk rasa tidak hanya dilakukan di
gambaran, Pasal 28 UUD 1945 menyatakan sekitar lembaga perwakilan rakyat , DPR dan
bahwa “kemerdekaan berserikat dan ber - MPR, di sekitar Senayan; melainkan juga di
kumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan kantor-kantor pemerintah yang dinilai strategis,
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan misalnya di depan kantor Departemen Dalam
undang-undang”. Dalam Pasal 28E angka (3) Negeri dan Istana Negara, serta kantor
dinyatakan bahwa “setiap orang berhak atas perwakilan negara asing. Dapat dikatakan
kebebasan berserikat, berkumpul, dan menge - bahwa pada hampir setiap kali terjadi
luarkan pendapat”. Ini menunjukkan bahwa perubahan tatanan politik di tingkat nasional
menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dalam selalu diawali atau diikuti dengan aksi unjuk
penyelenggaraan negara merupakan amanat rasa berskala besar dan sangat masif. Aksi
konstitusi. Karena itu pemerintah dan lembaga unjuk rasa yang demikian ini umummya
tinggi negara lainnya wajib menghormati dan melibatkan berbagai kalangan, terutama
mefasilitasinya. kalangan muda (”terpelajar”) yang progr esif
Konstitusi NKRI sangat menghormati dan berpengetahuan di atas rata -rata masya-
dan memberi tempat yang layak b agi rakat banyak.
masyarakat yang ingin melakukan unjuk rasa Sebutan ”aksi unjuk rasa” hampir
di ruang publik. Aksi unjuk rasa di muka umum senada dengan sebutan ”protes politik” yang
secara konstitusional merupakan bagian dari dilakukan seseorang atau sekelompok
perwujudan demokrasi. Dalam konsideran masyarakat di ruang publik. Hingga memasuki
“Menimbang” UU Republik Indonesia No. 9 amal abad 21, perubahan tatanan politik yang
Tahun 1998 disebutkan “bahwa kemerdekaan terjadi di Indonersia hampir dapat disejajarkan
setiap warga negara untuk menyampaikan dengan perubahan rejim pemerintah secara
pendapat di muka umum merupakan per - dramatis; misalnya dari pemerintah asing ke
wujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan pemerintahan NKRI, dari pemerintahan Orde
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Lama ke Orde Baru, serta pemerintahan Orde
Bab I (Ketentuan Umum), Pasal 1 angka (3) Baru ke “Orde” Reformasi. Pad a era
menyatakan bahwa “unjuk rasa atau de- kemerdekaan, aksi unjuk rasa (yang terkait
monstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh dengan perubahan tatanan politik) seakan -
seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran akan dianggap sebagai bentuk sempurna dari
dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara berbagai “model aksi unjuk rasa” yang ada di
demonstratif di muka umum”. Sangatlah jelas Indonesia. Itu pula sebabnya mengapa pada
bahwa aksi unjuk rasa dilindungi undang - hampir setiap aksi unjuk rasa menimb ulkan

AKSI UNJUK RASA (DAN RADIKALISME) SERTA PENANGANANNYA DALAM ALAM ”DEMOKRASI” DI INDONESIA Tri Pranadji

137
suasana was-was dan mencekam di masya - dan sosiologi, khususnya bagi masyarakat
rakat. Akhir-akhir ini model unjuk rasa yang timur (antara lain China, Jepang, Korea, India,
mencekam telah merembet di daerah; Malaysia, dan Thailand), jika t idak dilandaskan
khususnya terkait dengan ketidak -puasan pada moralitas bangsa maka demokrasi bukan
pihak tertentu terhadap hasil Pilkada yang merupakan jalan keharusan dalam pencapaian
dinilai tidak sesuai dengan hasil yang penyelenggaraan pemerintahan atau negara.
diinginkan. Dalam budaya masyarakat Indonesia,
Jika dalam Pilkada terdapat indikasi khususnya Jawa, moralitas penyelenggaraan
adanya politik uang (”money politic”) dan orang pemerintahan (dahulu kerajaan dan kasul-
yang terpilih menjadi kepala daerah tidak tanan) adalah terwujudnya keadilan sosial dan
sesuai dengan kehendak rakyat banyak, maka kesejahteraan rakyat. Makna ”demokrasi”
hal ini akan mengundang masyarakat mela - dikatakan terwujud apabila keadilan sosial dan
kukan aksi unjuk rasa. Pelanggaran terhadap kesejahteraan telah dicapai dalam penyeleng -
azas demokrasi secara substansial akan garaan pemerintahan. Dengan instrumen
mengundang reaksi dari masyarakat. Mana demokrasi proses dan akuntabilitas penca-
kala reaksi masyarakat ditanggapi secara tidak paian pemerataan dan keadilan dalam
simpati, maka hal itu bukan saja menimbulkan pembangunan menjadi lebih terjamin. Pesan
kecurigaan terhadap tokoh atau pemimpin moral antara pemerintahan sistem kerajaan
yang ”terpilih” melainkan juga memancing dan republik tidaklah berbeda, yaitu tercapai -
kemarahan masyarakat. Kasus penguasa nya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
(kepala daerah) diturunkan oleh rakyat secara Budaya korupsi dapat dipandang sebagai
demonstratif dan diganti dengan orang yang perbuatan yang melanggar moralitas (dan
menjadi pilihan langsung pernah terjadi di kehormatan) bangsa. Oleh sebab itu tindakan
daerah Tegal pada tahun 1945 (Koentowidjojo, korupsi merupakan ”musuh besar” demokrasi,
1994). Banyaknya unjuk rasa akibat pilkada, karena melanggar moralitas penyelenggaraan
seperti terjadi di Maluku dan Sumatera negara bangsa. Pranadji (2005) menyatakan
Selatan, sebenarnya telah pernah terjadi jauh bahwa akar korupsi adalah ”keserakahan”.
sebelum ini. Menurut Legg (1983) paling Menurut Maarif (2008) korupsi merupakan
kurang ada tiga aktor yang mewarnai cerminan tindakan manusia yang tidak ber -
timbulnya aksi unjuk rasa, yaitu tuan (elit dan moral dan tidak ber-Tuhan.
tokoh masyarakat), hamba (masyarakat yang Maraknya korupsi yang dilakukan elit
tidak puas), dan politisi (wakil rakyat dan politik dan pejabat pemerintah setelah ter -
pejabat negara). gulingnya rejim Orde Lama menunjukkan
Amanat konstitusi menempatkan bahwa penyelenggaraan pembangunan t elah
”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” keluar dari rel konsitusi dan jauh dari moralitas
sebagai tujuan penyelenggaraan pemerintah bangsa; sehingga keadilan sosial terasa selalu
dan juga tujuan didirikan, dibangun serta jauh dari jangkauan masyarakat. Pinjaman
dipertahankannya NKRI. Dalam pandangan modal dari lembaga keuangan internasional
founding fathers, kedilan sosial ini ditempatkan yang seharusnya dipandang sebagai ”inves -
sebagai inti dari moralitas bangsa. Dalam tasi” pembangunan, sebagai hut ang yang di
pemahaman formal, demokrasi dapat saja kemudian hari harus dibayar, ternyata banyak
ditempatkan sebagai tujuan dalam penyeleng - diselewengkan. Pada akhirnya tumpukan
garaan pemerintahan, namun demokrasi bu - hutang ini menjadi beban masyarakat, dan
kan sebagai tujuan akhirnya. Penyelenggara an hanya kalangan masyarakat elit (”sedikit”)
demokrasi tanpa disandarkan pada moralitas yang menikmati ”berkah” dari pinjaman modal
bangsa akan menghasilkan keserakahan elit asing tersebut dengan sangat tida k produktif.
(politik, pengusaha dan aparat negara) yang Secara sosiologis hal ini tidaklah aneh, karena
tidak terkendali. Dapat dipahami jika pakar saat moralitas atau budaya masyarakat belum
sosiologi Indonesia, misalnya Sajogyo (1977) siap, terutama dari kalangan elit (politik,
dan Tjondronegoro (1990), menyatakan bah- pengusaha dan aparat pemerintah) maka
wa demokrasi merupakan cara dan sekaligus derasnya arus modal asing (”budaya material”)
tujuan dalam penyelenggaraan pemerintahan, masuk akan memudahkan t erjadinya ”cultural
termasuk pemerintahan desa. Secara historis shock” (Sorokin, 1954).

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI , Volume 26 No. 2, Desember 2008 : 132 - 143

138
Meluasnya budaya korupsi sangat ditonjolkan dibanding substansi yang disam -
erat kaitannya dengan derasnya arus modal paikan dalam “unjuk rasa”. Secara empiris
asing di Indonesia, terutama dari negara - istilah “unjuk rasa” yang umum dilakukan masa
negara yang bergabung dalam pendanaan di kini berbeda dengan (misalnya) “ tapa pepe”
Bank Dunia. Ketidaksiapan moral elit dalam yang dilakukan di masa dulu. Unsur kearifan,
menjalankan budaya non-material (kelemba- moralitas, kesantunan, serta pentingnya
gaan pemerintah dan lembaga tinggi negara) ditegakkan asas keadilan yang dahulu sangat
membentuk budaya ”keserakahan massal” di ditonjolkan dalam unjuk rasa saat ini telah jauh
kalangan elit bangsa Indonesia, yang pada memudar. Unsur ini seharusnya menjadi faktor
gilirannya hal ini menguras kekayaan negara esensial dalam tubuh kehidupan masyarakat.
dan masyarakat Indonesia hingga nyaris Dengan hilang atau tergerusnya unsur
tandas. Dalam pandangan elit bangsa, tersebut, maka “unjuk rasa” menggambarkan
seakan-akan bantuan modal asing merupakan sosok yang menyeramkan atau sarat dengan
pemberian cuma-cuma dari negara maju tindakan anarkhis, kekerasan atau sebutan
kepada mereka. Ketika (waktunya tiba) kala - lain yang menggambarkan radikalisme.
ngan elit pemerintah tidak mampu menunjuk - Dapat dikatakan bahwa aksi unjuk
kan ”tanggung jawab moral” sebagai penye - rasa yang akhir-akhir ini marak dapat diibarat -
lenggara pembangunan, maka saat itulah kan pisau bermata ganda. Di satu sisi aksi
”naluri protes” masyarakat secara radikal unjuk rasa sangat diperlukan untuk meng -
seperti kayu kering tersiram bensin. akomodasi perbedaan pen dapat dan persepsi
Radikalisme bukanlah khasanah yang di masyarakat agar dapat ditegakkannya asas
berkembang pada kehidupan asli masyarakat keadilan; serta untuk menimbulkan efek
bangsa Indonesia. Benih -benih radikalisme histeria di sisi lain. Penanganan terhadap aksi
akan dengan sendirinya tumbuh dan ber - unjuk rasa sering tidak dapat dilepaskan dari
kembang dengan subur ketika masyarakat suasana “histeria” perubahan tatanan politik di
banyak di satu sisi dihadapkan pada kesulitan Indonesia. Hal yang hampir sama juga terjadi
dalam memenuhi kebutuhan subsistensinya; di negara-negara timur, seperti Filipina, China,
yang sementara itu di sisi lain kalangan elit Thailand, dan Malaysia. Tidak dapat disalah-
secara demonstratif memamerkan kekayaan - kan begitu saja jika masyarakat dihantui rasa
nya yang diduga diperoleh secara tidak wajar cemas pada saat mendengar akan ada “aksi
dan illegal. Pada saat bersamaan juga unjuk rasa”.
dirasakan bahwa kekayaan alam bangsa Secara teoritis, aksi unjuk rasa adalah
Indonesia yang melimpah tenyata tidak ada bagian dari mekanisme interaksi antar anggota
gunanya bagi masyarakat banyak yang hampir atau kelompok masyarakat di ruang publik
setiap saat mengalami kesulitan dan yang tidak seharusnya berakhir dengan
menderita dalam mempertahankan kehidupan suasana “tragis”. Jika saja setiap aksi unjuk
keluarganya. Bersamaan dengan inilah, di- rasa warga atau kelompok masyarakat
sengaja ataupun tidak kalangan elit telah direspon secara positif baik oleh peme rintah
menabur benih-benih dan menyuburkan buda - maupun kalangan luas, maka unjuk rasa yang
ya radikalisme dalam kehidupan masyarakat disertai dengan tindakan kekerasan dan
bangsa. anarkhis atau tindakan radikal lainnya dapat
ditekan secara signifikan. Struktur sosial -
“RADIKALISME” DALAM AKSI UNJUK ekonomi-politik yang melatarbelakangi aksi
RASA unjuk rasa tampaknya belum memberika n
gambaran yang cerah bahwa aksi unjuk rasa
di masa-masa mendatang akan terbebas dari
Unjuk rasa adalah sebuah gerakan tindakan yang bermuatan radikalisme. Selama
protes yang dilakukan sekumpulan orang d i aksi unjuk rasa masih dilatarbelakangi situasi
hadapan umum yang biasanya dilakukan “socio-political distrust” yang sangat tinggi,
untuk menyatakan pendapat kelompok maka sulit diharapkan aksi unjuk rasa akan
tersebut atau menentang kebijakan yang berakhir dengan cara tenang dan damai.
dilaksanakan suatu pihak. Dalam definisi ini Aksi unjuk rasa yang dilakukan ma -
frasa “gerakan protes” seakan -akan lebih syarakat secara kelompok maupun gabungan

AKSI UNJUK RASA (DAN RADIKALISME) SERTA PENANGANANNYA DALAM ALAM ”DEMOKRASI” DI INDONESIA Tri Pranadji

139
kelompok di ruang publik akhir -akhir ini negara. Dengan belum tuntasnya proses
umumnya dijadikan “jalan terakhir” untuk ”domestikasi”, budaya demokrasi (dari barat)
penyelesaian masalah. Disebut sebagai ”jalan dalam tatanan masyarakat (”tradisi” di)
terakhir” karena sebelumnya telah ditempuh Indonesia secara menyeluruh, menyebabkan
cara-cara lain namun tidak direspon dengan budaya konsumerisme-hedonik-individualisme
baik oleh pemerintah atau oleh lembaga yang yang diadopsi secara cepat oleh kalangan elit
menjadi sasaran aksi unjuk rasa. Jalur untuk menjadi tidak terkendali. Budaya konsume -
penyampaian aspirasi dan pendapat sebenar - risme-hedonik-individualisme yang dipamerkan
nya cukup banyak, namun seringkali tidak kalangan elit sudah merebak sedemikian rupa .
efektif. Kalangan elit umumnya masih “sangat Budaya tersebut mendistorsi budaya rasa
bebal” terhadap jeritan masyarakat yang malu-altruistik-solidaritas yang masih hidup di
terhimpit oleh berbagai kesulitan hidup. Hingga kalangan masyarakat luas (Pranadji, 2008) Hal
kini dapat dikatakan bahwa setiap perubahan seperti inilah yang tidak dapat diingkari atau
tatanan politik tidak diikuti dengan perbaikan dieliminasi sehingga terbentuknya suasana
nasib rakyat banyak secara signif ikan. Walau- hubungan yang mencekam antara kalangan
pun tidak melakukan politik praktis, masyara - elit (”berkuasa”) dan massa (”tertindas”).
kat sekarang sudah mengalami proses Hubungan yang mencekam ini ada lah
pembelajaran politik yang relatif cepat dan akibat dari akumulasi tidak sensitifnya kala -
intensif. Dengan kata lain sebagian besar ngan elit dalam merespon tuntutan keadilan
masyarakat sudah semakin “melek politik” dan dan kebutuhan dari masyarakat banyak agar
dapat melakukan penilaian kritis terhadap aman dari ancaman krisis subsistensi . Dalam
sepak terjang kalangan elit politik, elit aparat hal ini, tuntutan keadilan tersebut bukan saja
pemerintah, dan elit ekonomi di perkotaan. merupakan hak dari warga negara , melainkan
Struktur sosial-ekonomi masyarakat juga sebagai amanat konstitusi NKRI. Aksi
Indonesia selama lebih dari seabad dapat unjuk rasa tidak terlepas dari suasana yang
dikatakan tidak berubah (Pranadji, 2004) “mencekam” yang dibentuk oleh kesenjangan
ditandai dengan belum terentaskannya lapisan sosio-politik-budaya yang tajam antara elit dan
(mayoritas) masyarakat bawah dari ancaman masyarakat. Cara-cara represif dalam mena-
krisis subsistensi. Peringatan terhadap ke - ngani aksi unjuk rasa, seperti yang selama ini
mungkinan terjadinya kesenjangan antara elit sering dilakukan, justeru akan berakibat kon -
(kota-industri-kaya) dan masyarakat (desa - tra-produktif jika masalah kesulitan masyarakat
pertanian-miskin) masih sangat tajam sejak dalam pemenuhan kebutuhan subsistensinya
dini telah dilakukan oleh kalang an pakar tidak diatasi. Dalam perspektif “moralitas
sosial, antara lain Sajogyo, 1974) dan bangsa” sebagian besar unjuk rasa yang
Tjondronegoro (1978). Akibat kesenjangan dilakukan masyarakat secara radikal umum -
yang tidak kunjung teratasi secara signifikan, nya berlatar belakang pada ketidak -adilan dan
sejalan dengan semakin terhimpitnya tingkat “kemiskinan” yang diderita masyarakat banyak
kehidupan subsistensi masyarakat banyak, di satu sisi, dan keserakahan elit politik -
ketidak-percayaan masyarakat terhad ap elit pemerintah-pengusaha di sisi lain.
politik, pemerintah, dan ekonomi sudah sangat
tinggi. Pada gilirannya hal ini membentuk
ketegangan (hubungan) sosial yang sangat KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
tinggi antara elit dan masyarakat banyak
sebagaimana telah diingatkan oleh Pranadji Dapat dikemukakan bahwa “bu daya
(1995). aksi unjuk rasa” bukan saja telah dikenal
Ketegangan antara elit dan masyara- masyarakat Indonesia pada jaman pra -
kat banyak ini seiring dengan merasuknya demokrasi, jauh sebelum kemerdekaan,
budaya ”ekonomi pasar” dalam tatanan melainkan juga telah dipraktekkan secara arif
masyarakat ”tradisi” di Indonesia. Budaya dan santun. Aksi unjuk rasa pada jaman pra -
”ekonomi pasar” ini sangat memberikan kele - demokrasi secara sengaja telah dilembagakan
luasaan bagi kalangan elit untuk lebih dahulu bukan saja sebagai mekanisme kontrol oleh
mengambil keuntungan secara pribadi da ri masyarakat atau ”check and balances”
setiap dibentuk dan dikeluarkannya kebijakan terhadap kebijakan pemerintah (kerajaan),

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI , Volume 26 No. 2, Desember 2008 : 132 - 143

140
melainkan juga sebagai bagian dari penguatan Radikalisme dalam aski unjuk rasa
moral bersama (”collective moral obligation”) tidak dapat dilepaskan dari suasana yang
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan menghimpit rakyat banyak di bidang peme -
masyarakat dan kehormatan (pemerintahan) nuhan kebutuhan dasar. Radikalisme dapat
raja. dipandang sebagai gejala hilir dari kebebalan
Sensitivitas penguasa (raja atau sul - kalangan elit (politik, pengusaha dan aparat
tan) terhadap pernyataan tuntutan masyarakat negara) dalam merespon ketidakpuasan dan
sangat menentukan rasa hormat masyarakat tuntutan masyarakat. Kebebalan dan “ketidak -
terhadap penguasa. Merespon aksi unjuk rasa pedulian” kalangan elit terhadap jeritan dan
secara elegan adalah kewajiban dan tanggung himpitan masyarakat di bidang pemenuhan
jawab sosial-politik penguasa pada rakyatnya. kebutuhan dasar menimbulkan sikap antipati
Kewajiban dan tanggung jawab tersebut masyarakat terhadap kalangan elit tersebut.
merupakan indikator ketinggian moralitas dan Akumulasi dari sikap antipasti ini menimbulkan
religiusitas seorang pemimpin negara (kera - “socio-political distrust” yang sangat tinggi di
jaan) yang ditransmisikan menjadi ”moral kalangan masyarakat luas terhadap kalangan
bangsa” dalam penyelenggaraan pemerin - elit. Sebagai kelanjutannya, hubungan antara
tahan. Pengelolaan kelembagaan aksi unjuk masyarakat dan elit diliputi suasana kete -
rasa berada dalam bingkai kearifan masyara - gangan yang nyaris mencekam. Himpitan
kat dan moralitas penyelenggaraan pemerin - kesulitan hidup, yang mengancam kebutuhan
tahan sudah diterapkan pada masa pemerin - subsistensi masyarakat banyak, akan mudah
tahan pra-kemerdekaan atau pra-demokrasi. melahirkan ”radikalisme” dalam aksi unjuk
Hanya saja, ruang gerak masyarakat pada rasa. Dengan kata lain, dalam suasana
alam pra-demokrasi dalam melakukan aksi demikian inilah aksi unjuk rasa sangat mudah
unjuk rasa masih terbatas pada memper - berteman dengan tindakan anarkhis yang
juangkan kebutuhan subsistensinya. Hak -hak bersifat radikal.
masyarakat untuk memperoleh akses pada Penanganan aksi unjuk rasa akhir -
“kekuasaan” (politik, ekonomi pasar, dan akhir ini masih sarat dengan susana
pemerintahan) pada masa itu masih sangat “permusuhan” di ruang publik, yaitu antara
dibatasi. (aparat) yang menangani pengunjuk rasa di
Pada era-demokrasi (pasca kemerde- satu sisi dengan pelaku yang melakukan unjuk
kaan) ruang bagi masyarakat untuk melakukan rasa di sisi lain. Timbulnya suasana ”permu-
unjuk rasa berkembang semakin luas. Hal suhan” ini dinilai sebagai kegagalan dalam
yang belum tampak diupayakan untuk diatasi menangani aksi unjuk rasa tidaklah sepenuh -
secara serius dan sistematik adalah bahwa nya dapat dibenarkan. Dapat dikemukakan
masuknya budaya demokrasi ala barat tidak bahwa umumnya “aksi unjuk rasa” dilakukan
mengalami proses penyaringan yan g kuat. Hal merupakan jalan terakhir bagi masyarakat
ini ditunjukkan dengan semakin derasnya arus untuk menyampaikan pendapat dan tuntutan -
budaya hedonisme-individualisme-sekulerisme nya dalam bentuk protes terbuka di ruang
dari masyarakat modern-barat ke dalam publik. Secara umum masyarakat sangat me -
tatanan budaya altruisme -gotong royong- mahami mengenai pentingnya penyampaian
religius pada masyarakat tradisi -timur di pendapat secara santun dan damai. Proses
Indonesia. Dengan penataan sosio -politik- “pembelajaran” yang dilakukan kalangan elit
ekonomi yang tidak memihak pada rakyat dalam merespon tuntutan masyarakat masih
banyak dan juga tidak sejalan dengan amanat sangat jauh dari harapan masyarakat. Pena -
konstitusi, maka hubungan antara penguasa nganan aksi unjuk rasa dengan pendekatan
(elit politik-pemerintah-pengusaha) dan rakyat dialogis, musyawarah secara interaktif, serta
banyak menjadi semakin tegang, sejalan bertujuan untuk membangun sikap saling
dengan semakin tajamnya jurang kesenjang an mempercayai (”mutual trust”) sangatlah
sosial-ekonomi-politik yang terbentuk. Dalam penting. Hal ini sekaligus untuk membangun
suasana kesenjangan yang demikian inilah budaya ”tidak ada dusta di a ntara kita” yang
budaya aksi unjuk rasa di alam demokrasi menjadi landasan untuk membangun sikap
tumbuh dan berkembang di Indonesia. saling menghargai (”mutual respect”).

AKSI UNJUK RASA (DAN RADIKALISME) SERTA PENANGANANNYA DALAM ALAM ”DEMOKRASI” DI INDONESIA Tri Pranadji

141
DAFTAR PUSTAKA Pranadji, T. 2003. Penajaman Analisis Kelemba -
gaan Dalam Perspektif Penelitian Sosiologi
Pertanian dan Pedesaan. Forum Penelitian
Anonimous. 2008. Keraton Ngayogyakarta Hadi - Agro Ekonomi, 21(1):12 -25. Pusat Pene-
ningrat. http://id.wikipedia.org/wiki/Kraton litian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Ngayogyakarta_Hadiningrat [12/11/08]. Pertanian, Badan Penelitian dan Pengem -
Anonimous. 2008. Unjuk Rasa, Demokrasi dan bangan Pertanian. Bogor.
the Options. http://fajaws.wordpress.com/ Pranadji, T. 2004. Kerangka kebijakan sosio -budaya
2008/05/30/unjuk-rasa-demokrasi-dan-the- menuju pertanian 2025: Ke arah pertanian
options/ [17/11/08]. pedesaan berdaya saing tinggi, ber -
Carter, A. 1985. Otoritas dan Demokrasi. Penerbit keadilan dan berkelanjutan. Forum Agro
C.V. Rajawali. Jakarta. Eo.konomi, 22(1):1-21.
Duverger, M. 1981. Sosiologi Politik. Diterbitkan Pranadji, T. 2005. Pemberdayaan kelembagaan
untuk Yayasan Ilmu -Ilmu Sosial. C.V. dan pengelolaan sumberdaya lahan dan
Rajawali. Jakarta. air. Analisis Kebijakan Pertanian, 3(3) :
236-255.
Geertz, C. 1989. Penjaja dan Raja: Perubahan
Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Pranadji, T. 2008. Gotong Royong dalam Perspektif
Kota Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Pendekatan Sosio-Kultural dan Wawasan
Jakarta. Kebangsaan. Makalah disusun sebagai
bahan untuk materi “pendidikan politik”
Inayatullah. 1979. Conceptional Framework for the yang akan dipresentasikan dalam forum
Country Studies of Rural Development. in dialog “Pengembangan Wawasan Kebang -
Inayatullah (ed.). Approaches to Rural saan Melalui Pemberdayaan Masyarakat
Development: Some Asian Experiences. Melalui Pendekatan Sosio Kultural”;
Asian and Pacific Development Adminis - Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan
tration Center. Kualalumpur. Politik Departemen Dalam Negeri, tanggal
Kartodirdjo, S. 1984. Kepemim pinan Dalam Dimensi 18 November 2008 di Jakarta. (belum
Sosial. LP3ES. Jakarta. diterbitkan).
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. P.N. Pranadji, T. 2008. Ormas dan Peningkatan
Balai Pustaka. Jakarta. Komunikasi Politik: Upaya Penguatan
Kuntowidjojo. 1994. Radikalisasi Petani. P.T. Wawasan Kebangsaan dan Peningkatan
Bentang Intervisi Utama. Yogyakarta. Stabilitas Nasional di Wilayah Rawan
Konflik. Makalah disampaikan pada
Legg, K.R. 1983. Tuan, Hamba dan Politisi. kegiatan “Penguatan Ruang Publik Melalui
Penerbit Sinar Harapan. Jakarta. Forum Dialog Kebangsaan Bagi Masyara-
Maarif, A.S. 2008. Politik Tanpa Moral Lahirkan kat di Wilayah Rawan Konflik dan Komuni -
“Serigala”: Politik di Indonesia Kekurangan kasi Politik di Kalangan Masyarakat,
Pelaku Berjiwa Besar. Harian KOMPAS Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan
(Minggu, 23 November 2008). Penerbit Politik – Depdagri, tanggal 30 Oktober
P.T. Gramedia. Jakarta. 2008, Hotel Mercure – Jakarta. (belum
diterbitkan).
Merton, R.K. 1957. Social Theory and Social
Structure. The Free Press oc Glencoe. Sajogyo. 1974. Modernization Wit hout Development
New York. in Rural Java. (A Paper Contributed to the
Study on Changes in Agrarian Structure,
Neufeldt, V. and D.B. Guralnik. 1988. Webster’s FAO of UN, 1972-1973). Bogor Agricultural
New World Dictionary of American English. University. Bogor.
Webster’s New World. New York.
Sajogyo. 1974. Modernization without Development
Parsons, T. 1968. The Structure of Social Action: A in Rural Java. (A Paper Contributed to the
Study in Social Theory with Special Study on Changes in Agrarian Structure,
Reference to a Group of Recent European FAO of UN, 1972-1973). Bogor Agricul -
Writers. The Free Press. New York. tural University. Bogor.
Pranadji, T. 1995. Gejala Modernisasi dan Krisis Sajogyo. 1977. Golongan Miskin dan Partisipasinya
Budaya Pada Kegiatan Nelayan Tangkap. Dalam Pembangunan Desa. PRISMA,
Jurnal ANALISIS-CSIS, XXIV (1): 33-43. No.3, Maret 1977. Jakarta.
Center for Strategic and International
Studies. Jakarta. Sajogyo. 1977. Golongan Miskin dan Partisipasiny a
Dalam Pembangunan Desa. PRISMA,
No.3, Maret 1977. Jakarta

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI , Volume 26 No. 2, Desember 2008 : 132 - 143

142
Scott, J.C. 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan Fase Lepas Landas. PRISMA, VII(3): 1 3-
dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES. 25. LP3ES. Jakarta.
Jakarta. Tjondronegoro, S.M.P. 1990. Revolusi hijau dan
Scott, J.C. 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan perubahan sosial di pedesaan Jawa.
dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES. PRISMA, X(2):3-14.
Jakarta. Wahjoedi, S. 2003. Alun -alun Tempat Protes
Sorokin, P. 1964. Contemporary Sociological Rakyat. Suara Merdeka (Rabu, 5 Februari
Theories: The First Quarter of Twentieth 2003). http://www.suaramerdeka.com/hari -
Century. Harper and Row Publishers. New an/0302/05/slo4.htm. [17/11/08].
York. Wahjoedi, S. 2003. Alun -alun Tempat Protes
Tjondronegoro, S.M.P. 1978. Modernisasi Pe r- Rakyat. Suara Merdeka ( Rabu, 5 Februari
desaan: Pilihan Strategi Dasar Menuju 2003). http://www.suaramerdeka.com/
harian/0302/05/slo4.htm [17/11/08].

AKSI UNJUK RASA (DAN RADIKALISME) SERTA PENANGANANNYA DALAM ALAM ”DEMOKRASI” DI INDONESIA Tri Pranadji

143

You might also like