Professional Documents
Culture Documents
Hening Dwi Saputro
Hening Dwi Saputro
Abstract. The purpose of this research was to indentify the job performance in
the activities of making planting lines and planting of Meranti and Waru
seedlings in the burnt-over forest rehabilitation areas. This research reveald that
the working duration for making planting lines, Meranti and Waru seedling
planting could be categorized as good, that it ranged between 6–8 hours a day.
In the activities of making planting lines, it was found that the workers could
accomplish 1.71 mandays per hectare, in the activities of planting Meranti
seedlings 0.56 mandays per hectare and Waru seedlings 1.82 mandays per
hectare. The slope steepness level influenced establishment of plant lines and
Meranti seedling planting activities but did not influence Waru seedling planting
activities. Wage systems per hour for making planting lines, planting of Meranti
and Waru seedlings based on minimum wages standard in East Kalimantan were
Rp3143, Work Contract Wage Rp7429, Rp5083 and Rp4289, Absolute Contract
Wage Rp5349 and Rp5337, Taylor Defferential Wage Rp6824, Rp4526 and
Rp3959, Halsey Premium Wage Rp7511, Rp5142 and Rp4314, Rowan
Premium Wage Rp8727, Rp5191 and Rp4337, Gantt Bonus Wage Rp8595,
Rp5798 and Rp4931, Bedaux Wage Rp7719, Rp5352 and Rp4382, respectively.
The best wage systems in the establishment of plant line were Work Contract
Wage, Absolute Contract Wage, Rowan Premium Wage and Bedaux Wage; in
the activities of planting Meranti seedling, the wage systems included Work
Contract Wage and Absolute Contract Wages; and in the activities of planting
seedling, the best systems were Work Contract Wage, Absolute Contract Wages
and Bedaux Wage.
Kata kunci: prestasi kerja, sistem pengupahan, Meranti, Waru.
Indonesia mengalami kebakaran hutan pada tahun 1983 hingga kini (Anonim,
1998). Kalimantan Timur juga mengalami kebakaran hutan pada tahun 19821983
dan terjadi lagi tahun 1986, 1991, 1997 dan 1998. Kebakaran tahun 1997/1998
_____________________________________________________________ __________
1) Fakultas Kehutanan Universitas Palangkaraya, Palangkaraya
2) Laboratorium Rekayasa Pemanenan Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda
25
26 JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di HPH PT Melapi Timber di Kecamatan Tabang
Kabupaten Kutai Kertanegara Kalimantan Timur.
Objek penelitian adalah pekerja pada kegiatan pembuatan jalur tanam dan
kegiatan penanaman.
Pengamatan kegiatan pembuatan jalur tanam dan penanaman Meranti terletak
di petak 360, kegiatan penanaman Waru terletak di petak 336.
Sampel kegiatan pembuatan jalur tanam adalah waktu untuk membuat panjang
jalur tanam. Prestasi kerja dihitung setiap 1 jam selama 1 hari kerja dan pada
kelerengan yang ditemui dalam pembutan jalur tanam. Jumlah sampel prestasi
kerja jalur tanam sebanyak 23 kelerengan, didapat dari 18 jalur tanam yang
dilakukan oleh 6 orang pekerja.
Saputro dkk. (2005). Prestasi Kerja dan Sistem Pengupahan 27
Model regresi terbaik adalah yang mempunyai nilai Indek Furnival (IF) terkecil.
Nilai IF dapat diperoleh dengan rumus:
IF = f x s; yang mana: f = faktor koreksi; s = simpangan baku (galat baku
regresi)
lnyi
GM (Y) = anti ln
n
lnyi 2
GM (Y2) = anti ln
n
Karmini (2000) menyatakan, bahwa penetapan sistem upah yang baik adalah
berdasarkan jumlah skor unsur-usur yang dimiliki oleh masing-masing sistem
pengupahan. Unsur-usur yang digunakan dalam menilai tingkat kebaikan sistem
pengupahan adalah sebagai berikut:
1. Kelayakan. Penentuan skor kelayakan adalah ssebagai berikut:
[{(upah–KHM) – (selisih upah dan KHM terkecil)} / {(selisih upah dan KHM
terbesar) – (selisih upah dan KHM terkecil) / 99}] + 1
Berdasarkan unsur kelayakan sistem pengupahan, maka dikelompokan menjadi
tiga yaitu: Kurang layak (C) = 1–33,9; Layak (B) = 34–66,9 dan Sangat layak (A)
= 67–100.
2. Keadilan. Penentuan skor keadilan adalah sebagai berikut:
[{(r–r terkecil)} / {(r terbesar–r terkecil)} / 99] + 1
Berdasarkan unsur keadilan, sistem pengupahan dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
Kurang adil (C) = 1–33,9; Adil (B) = 34–66,9 dan Sangat adil (A) = 67–100.
3. Manfaat upah. Penentuan skor manfaat upah adalah sebagai berikut:
[{(upah–upah terendah)} / {(upah tertinggi–upah terendah)} / 99] + 1
Berdasarkan unsur manfaat upah sistem pengupahan, maka dikelompokkan
menjadi tiga yaitu: Kurang bermanfaat (C) = 1–33,9; Bermanfaat (B) = 34–66,9
dan Sangat bermanfaat (A) = 67–100.
4. Pengaruh upah terhadap prestasi kerja. Penentuan skor pengaruh upah
terhadap prestasi kerja didapat dari:
[{(IF–IF tertinggi)} / {(IF terendah–IF tertinggi)} / 99] + 1
Berdasarkan unsur pengaruh upah terhadap prestasi kerja, maka sistem pengupahan
dikelompokkan menjadi tiga yaitu: Kurang berpengaruh (C) = 1–33,9;
Berpengaruh (B) = 34–66,9 dan Sangat berpengaruh (A) = 67–100.
5. Pengaruh upah terhadap biaya produksi. Penentuan skor pengaruh upah
terhadap biaya produksi didapat dari:
[{(tarif–tarif terendah)} / {(tarif tertinggi–tarif terenah)} / 99] + 1
Saputro dkk. (2005). Prestasi Kerja dan Sistem Pengupahan 29
Tabel 2. Rata-rata Waktu Kerja dan Prestasi Kerja setiap Jam pada Kegiatan Pembuatan
Jalur Tanam
Dari tabel di atas dapat dilihat rata-rata waktu kerja dari 6 orang pekerja dalam
satu hari berkerja selama 453,37 menit (7 jam 33,37 menit). Waktu kerja tersebut
termasuk baik menurut Suma’mur (1977).
2. Hubungan waktu kerja dengan prestasi kerja pembuatan jalur tanam
Prestasi kerja tertinggi terjadi pada jam kedua, keempat dan ketujuh, hal ini
disebabkan pada jam-jam tersebut waktunya benar-benar dipakai untuk kegiatan
membuat jalur tanam. Dari keadaan tersebut didapat bahwa waktu kerja murni
semakin besar, waktu umum berkurang, sedang prestasi kerja semakin besar.
30 JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005
Prestasi kerja 77,08 m/jam (waktu total), berdasarkan waktu kerja murni adalah
89,05 m/jam. Prestasi kerja pembuatan jalur tanam berdasarkan luas areal per
hektar dengan jarak antar jalur 10 m didapat 1,71 hok/ha.
3. Produktivitas pembuatan jalur tanam pada berbagai kelerengan
Dari hasil analisis keragaman pengaruh kelerengan terhadap prestasi kerja
pembuatan jalur tanam menunjukkan, bahwa kelerengan berpengaruh terhadap
prestasi kerja. Hubungan antara kelerengan dengan prestasi adalah erat dan ada
faktor lain yang tidak terlibat dalam prestasi kerja pembuatan jalur tanam, diduga
faktor lain ini adalah: faktor interen yaitu pada kemampuan yang kurang,
disebabkan kurang baiknya gizi dan faktor eksteren yaitu pada fasilitas perusahaan
yang kurang memadai.
Tabel 3. Rata-rata Waktu Kerja Penanaman dan Prestasi Kerja Setiap Jam Pengamatan pada
Penanaman Bibit Meranti
Waktu kerja murni pada jam pertama adalah sedang, kemudian meningkat
pada jam kedua dan menurun lagi pada jam ketiga, lalu menurun lagi pada jam
keempat selama 44,21 menit menjelang istirahat. Kejadian ini terulang lagi setelah
istirahat siang, yang mana pada jam kelima adalah sedang lalu meningkat pada jam
keenam dan turun pada jam ketujuh menjelang pulang ke camp.
Pada Tabel 3 di atas terlihat, bahwa waktu kerja murni pada jam pertama dan
kedelapan adalah rendah; hal tersebut disebabkan besarnya waktu umum. Besarnya
waktu umum pada jam pertama dan kedelapan digunakan untuk perjalanan
berangkat dari camp ke lokasi kerja dan pulang dari lokasi kerja ke camp (jarak
lokasi kerja dari camp ±1 km) serta untuk istirahat.
Rata-rata prestasi kerja penanaman bibit Meranti pada jam pertama adalah
sebanyak 40 batang, kemudian prestasi meningkat pada jam kedua sebanyak 54
batang, pada jam ketiga meningkat lagi sebanyak 58 batang lalu menurun
menjelang istirahat pada jam keempat menjadi 48 batang. Prestasi kerja penanaman
Saputro dkk. (2005). Prestasi Kerja dan Sistem Pengupahan 31
bibit Meranti setelah istirahat pada jam kelima sebanyak 54 batang, kemudian
meningkat pada jam keenam sebanyak 59 batang lalu menurun menjelang pulang
ke camp pada jam ketujuh menjadi 47 batang.
Dari penelitian prestasi kerja terlihat bahwa pada awal jam kerja prestasinya
rendah, karena waktu awal banyak digunakan untuk waktu kerja umum (kegiatan
persiapan), kemudian prestasi meningkat dan menurun lagi menjelang waktu
istirahat. Kejadian prestasi kerja seperti ini berulang setelah istirahat siang hingga
waktu kerja selesai. Kecenderunan ini berbeda dengan kecenderungan yang
dikemukakan oleh Wignjosoebroto (2000) yang dikutip dari Taylor (1954) tentang
efisiensi/produktivitas kerja manusia berkaitan dengan fungsi waktu kerja, yang
mana efisiensi/produktivitas meningkat (tinggi) pada waktu memulai kerja dan
menjelang waktu istirahat. Perbedaan terletak pada produktivitas pada permulaan
kerja disebabkan waktu kerja banyak digunakan untuk waktu umum
2. Hubungan waktu kerja dengan prestasi kerja penanaman bibit Meranti
Terdapat kesamaan antara waktu kerja murni dengan prestasi penanaman bibit
Meranti, bila waktu kerja murni rendah dan waktu umum tinggi, maka prestasi
kerja penanaman bibit Meranti rendah. Sebaliknya bila waktu kerja tinggi dan
waktu umum rendah, maka prestasi tinggi.
Prestasi kerja kegiatan penanaman bibit Meranti adalah 51 bibit/jam (waktu
total), sedangkan berdasarkan waktu kerja murni adalah 68 bibit/jam. Prestasi
kerja penanaman bibit Meranti berdasarkan luas areal per hektar dengan jarak antar
jalur 10 m dan jarak antar bibit yang ditanam 5 m akan didapat 0,56 hok/ha.
3. Prestasi kerja kegiatan penanaman bibit Meranti pada berbagai
kelerengan
Kelerengan sangat berpengaruh terhadap prestasi kerja penanaman bibit
Meranti, hubungan antara kelrengan dengan prestasi kerja erat dan ada faktor lain
yang tidak terlibat terhadap prestasi penanaman bibit Meranti selain kelerengan.
Tabel 4. Rata-rata Waktu Kerja dan Prestasi Kerja Setiap Jam pada Kegiatan Penanaman
Bibit Waru
menanam bibit. Waktu kerja dan prestasi kerja dihitung berdasarkan waktu kerja
penanam bibit (orang kedua) dengan upah yang dibayarkan berdasarkan bibit yang
ditanam bukan yang diletakkan pada ajir. Waktu kerja penanaman bibit Waru rata-
rata 410,71 menit (6 jam 50,71 menit) adalah termasuk baik menurut Suma’mur
(1977).
Kecenderungan waktu kerja murni dan prestasi kerja penanaman bibit Waru
sesuai dengan kecenderungan yang dikemukakan oleh Wignjosoebroto (2000)
dikutip dari Taylor (1954) tentang efisiensi/produktivitas kerja manusia berkaitan
dengan fungsi waktu kerja. Efisiensi/prorduktivitas meningkat (tinggi) pada waktu
memulai kerja dan setelah waktu istirahat menurun hingga waktu istirahat.
2. Hubungan waktu kerja dan prestasi kerja penanaman bibit Waru
Kecenderungan antara waktu kerja murni dengan prestasi penanaman bibit
Waru yang bila waktu kerja murni rendah, maka prestasi kerja penanaman bibit
rendah dan bila waktu kerja murni tinggi prestasi penanaman juga naik. Keadaan
ini terbalik dengan waktu kerja umum. Prestasi kerja kegiatan penanaman bibit
Waru 45 bibit/jam/orang (waktu kerja total). Berdasarkan waktu kerja murni
adalah prestasi sebanyak 64 bibit/jam/orang. Prestasi kerja berdasarkan luas areal
per hektar didapat 1,82 hok/ha.
3. Prestasi kerja penanaman bibit Waru pada berbagai kelerengan
Berdasarkan Anova ternyata kelerengan tidak berpengaruh terhadap
prestasi kerja penanaman bibit Waru dan hubungan antara kelerengan dengan
prestasi kerja tidak erat.
Upah
Sistem pengupahan didasarkan pada 3 hal, yaitu waktu kerja, hasil kerja dan
premi. Sistem pengupahan berdasarkan waktu kerja/sistem harian menggunakan
sistem UMSP, hasil kerja menggunakan sistem upah Borongan Mutlak dan
Kesepakatan Kerja, sedangkan sistem premi menggunakan sistem Deferential
Taylor, Halsey, Rowan, Gantt dan Bedaux. Hasil perhitungan upah dari hasil
penelitian ditampilkan pada Tabel 5.
Penilaian kemampuan berbagai sistem pengupahan dalam memenuhi KHM
menggunakan data KHM daerah Kutai bulan Mei 2002 sebesar Rp517.762/bulan
atau Rp2.959/jam. Kemampuan sistem pengupahan dapat dilihat pada Tabel 6.
Pada kegiatan pembuatan larik tanam, semua sistem pengupahan dapat
memenuhi KHM berdasarkan kebutuhan hidup pemuda lajang sebesar 3000
kalori/hari dengan urutan terendah UMSP, Borongan Mutlak, Taylor, Kesepakatan
Kerja, Halsey, Bedaux, Gantt dan Rowan. Pada kegiatan penanaman Waru semua
sistem pengupahan dapat memenuhi KHM dengan urutan dari yang terendah
Saputro dkk. (2005). Prestasi Kerja dan Sistem Pengupahan 33
UMSP, Taylor, Kesepakatan Kerja, Halsey, Rowan, Bedaux, Gantt dan Borongan
Mutlak.
Tabel 5. Rata-rata Upah yang Dibayarkan pada Berbagai Sistem Pengupahan (Rp/Jam)
Tabel 7. Koefisien Korelasi dan Koefisien Determinasi Berbagai Kegiatan dan Sistem
Pengupahan
Nilai koefisien korelasi (r) = 1 pada kegiatan pembuatan jalur tanam, kegiatan
penanaman bibit Meranti dan bibit Waru adalah sistem upah kesepakatan kerja dan
borongan mutlak. Nilai koefisien korelasi = 1 berarti bahwa 100 % dari seluruh
data prestasi kerja yang mengikuti pola peningkatan prestasi kerja akan
menyebabkan peningkatan upah yang diterima oleh pekerja atau sebaliknya bila
upah yang diberikan meningkat akan menyebabkan peningkatan prestasi kerja
tenaga kerja.
Nilai koefisien korelasi (r) = <1, berarti bahwa kurang dari 100 % dari seluruh
data prestasi kerja yang mengikuti pola peningkatan prestasi kerja akan
menyebabkan peningkatan upah yang diterima dengan system pengupahan yang
bernilai r <1. Sisa data tidak mengikuti pola tersebut, jadi kemungkinan hubungan
yang terjadi adalah bila prestasi kerja meningkat, maka upah yang diterima oleh
pekerja atau dikeluarkan perusahaan juga meningkat atau bisa juga sebaliknya
menurunnya upah yang diberikan oleh perusahaan akan menyebabkan peningkatan
prestasi kerja oleh tenaga kerja
Nilai koefisien determinasi (R2) = 1 berarti variasi nilai dari peubah random X
(prestasi) menyebabkan berubahnya nilai Y (upah) sebesar 100 %, dengan kata lain
peningkatan upah yang diterima hanya dipengaruhi oleh faktor prestasi kerja, tidak
ada faktor lain yang mempengaruhi. Nilai koefisien determinasi (R2) <1 berarti
variasi nilai dari peubah random X (prestasi) menyebabkan berubahnya nilai Y
(upah) kurang dari 100 %, sedangkan sisanya disebabkan oleh faktor-faktor lain
yang tidak terlibat dalam model regresi.
Faktor yang mempengaruhi berubahnya upah yang diterima oleh pekerja kegiatan
ini antara lain adalah: i) faktor tenaga kerja yang terdiri dari jumlah tenaga kerja,
biaya hidup sehari-hari dan ii) faktor kondisi dan manajemen perusahaan yang
terdiri dari likuiditas keuangan perusahaan, peran pengusaha yang bersangkutan
dalam menentukan harga, tingkat efisiensi dan manajemen perusahaan serta
fasilitas yang diberikan oleh perusahaan.
Saputro dkk. (2005). Prestasi Kerja dan Sistem Pengupahan 35
Tabel 8. Skor dan Kriteria Sistem Pengupahan pada Berbagai Sistem Pengupahan
Sistem pengupahan UMPS pada ketiga kegiatan agak baik diterapkan karena
dapat memenuhi KHM.
Sistem pengupahan kesepakatan kerja yang berlaku di lokasi penelitian pada
kegiatan pembuatan jalur tanam, penanaman bibit Meranti dan Waru cukup baik.
Secara nyata upah yang diterima sangat dipengaruhi oleh prestasi kerja. Bila pihak
perusahaan ingin meningkatkan output dan pekerja ingin meningkatkan upah
adalah dengan melakukan upaya peningkatan hasil kerja.
Sistem pengupahan borongan mutlak cukup baik pada kegiatan pembuatan
jalur tanam dan penanaman bibit Meranti, sedangkan kegiatan penanaman bibit
Waru sangat baik. Bila perusahaan akan menerapkan sistem pengupahan borongan
mutlak, perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang rata-rata prestasi kerja. Sistem
upah ini adalah baik bagi perusahaan dan pekerja karena penetapan upah per satu
satuan output adalah berdasarkan upah minimum yang berlaku di perusahaan.
Sistem pengupahan diferensial Taylor pada kegiatan pembuatan jalur tanam
dan penanaman bibit Waru adalah baik, sedang penanaman bibit Meranti agak baik
diterapkan. Sistem pengupahan diferensial Taylor ini memacu pekerja untuk
berprestasi di atas rata-rata prestasi agar mendapat upah penuh (100 %), bila
kurang dari rata-rata prestasi kerja, pekerja hanya dibayar 75 % per satu satuan
output dari upah yang telah disepakati.
Sistem pengupahan Halsey, Rowan dan Gantt pada ketiga kegiatan adalah baik
untuk diterapkan oleh perusahaan. Pada sistem upah Halsey, Rowan dan Gantt
besar upah yang didapatkan adalah berdasarkan prestasi kerja dan waktu kerja,
36 JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005
berbeda dengan sistem upah kesepakatan kerja dan borongan mutlak, yang mana
upah seluruhnya ditentukan oleh hasil kerja.
Sistem pengupahan Bedaux cukup baik diterapkan pada kegiatan pembuatan
jalur tanam dan penanaman bibit Waru, sedang kegiatan penanaman bibit Meranti
agak baik untuk diterapkan pada lokasi penelitian. Pemberian premi akan
meningkatkan motivasi pekerja, sehingga prestasi kerja akan meningkat tetapi
dalam batas-batas tertentu karena semakin banyak hasil output, maka premi yang
diterima semakin menurun. Dengan pemberian premi yang semakin mengecil,
perusahaan dapat menjaga biaya untuk upah yang berlebihan.
Saran
Diperlukan adanya pengawasan dari perusahaan untuk menekan waktu umum
kegiatan penanam bibit Meranti dan Waru. Bantuan fasilitas bagi tenaga borongan
dari perusahaan juga diperlukan dengan harapan dapat meningkatkan prestasi kerja.
Sistem upah yang menguntungkan bagi perusahaan dan bagi pekerja selain dari
Kesepakatan Kerja perlu dikaji untuk digunakan. Disarankan pemberian upah
untuk pembuatan jalur tanam dan penanaman bibit Meranti berdasarkan perbedaan
kelerengan. Sistem Upah Minimum Propinsi Sektoral (UMPS) digunakan
perusahaan sebagai standar upah harian, untuk itu pemerintah perlu memikirkan
besarnya UMPS tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM)
tetapi juga yang dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum (KFM) karena lebih
manusiawi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1998. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia; Faktor, Dampak dan Upaya
Penanggulangannya. Jilid I. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.
Anonim. 1999. Data Luasan Kebakaran Hutan di Propinsi Kalimantan Timur, Samarinda.
Gomez, K.A. dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi
Kedua (Terjemahan). Universitas Indonesia, Jakarta.
Karmini. 2000. Analisis Upah Tenaga Kerja Persemaian dengan Berbagai Sistem
Pengupahan pada HPH PT Bina Wana, Separi Kalimantan Timur. Tesis Magister
Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda.
Siahaya, J. 1996. Hubungan Antara Diameter Pohon dan Limbah yang Dihasilkan di
Tempat Penebangan. Buletin Penelitian Kehutanan 9 (2).
Suma’mur. 1977. Kesehatan dan Keselamatan Kerja dalam Pekerjaan Kehutanan dan
Industri Perkayuan. Lembaga Nasional Higiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja,
Jakarta.
Wignjosoebroto, S. 2000. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu. Teknik Analisis untuk
Peningkatan Produktivitas Kerja. Cetakan kedua. Penerbit Guna Widya, Surabaya.