You are on page 1of 19

AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam

Vol 1 No. 2 Tahun 2021

ANALISIS PERMENDIKBUDRISTEK NOMOR 30 TAHUN 2021 DALAM


UPAYA PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL

Achmad Fikri Oslami


Pengadilan Agama Pangkalan Balai, Sumatera Selatan
fikri.oslami@yahoo.com

Corresponding author, fikri.oslami@yahoo.com

ABSTRACT
The issue of sexual violence in a number of universities is a never-ending
discussion in the public. The preventive measures that have been attempted
seem to still need improvement, a firm attitude and a complete settlement
method. This paper aims to explain the basic concepts of Permendikbud
Number 30 of 2021, the urgency and concrete steps to prevent sexual violence
in universities. This study includes a normative research method. The legal
material used is Permendikbud. Data analysis was carried out qualitatively.
The results of the study show that the Regulation of the Minister of Education,
Culture, Research and Technology number 30 of 2021 is seen as a
progressive step by a number of parties amid concerns about the high level
of sexual violence in universities. This Permendikbud has an important
urgency in changing the paradigm of sexual violence from being private to
being public. Sexual violence is not a taboo subject for victims to hide. The
mandate of the ministerial regulation emphasizes a university policy standard
and a mechanism for handling sexual violence that favors the victim. Victims
should not be ashamed to report it. so that this rule is a breath of fresh air as
a solution to the formation of an ideal framework for prevention and handling
of cases of sexual violence in universities, so that there is a uniform model of
prevention and handling of cases of sexual violence in universities.
Keywords: prevention, sexual violence, college

ABSTRAK

Isu kekerasan seksual di sejumlah perguruan tinggi menjadi pembicaraan


yang tak pernah habis di publik. Langkah-langkah pencegahan yang telah
diupayakan seolah masih butuh peningkatan, sikap tegas dan metode
penyelesaian secara tuntas. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan konsep
dasar permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, urgensi dan Langkah konkrit
pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Kajian ini termasuk
metode penelitian normatif. Bahan hukum yang digunakan adalah
permendikbud. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa adanya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan,
Riset dan Tekhnologi nomor 30 Tahun 2021 dipandang sebagai suatu langkah
yang progresif oleh sejumlah pihak di tengah keresahan akan tingginya
kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi. Permendikbud ini memiliki
urgensi penting dalam mengubah paradigma kekerasan seksual dari bersifat
privasi menjadi publik. Perkara kekerasan seksual bukan hal tabu yang harus
disembunyikan korban. Amanat peraturan menteri itu menekankan sebuah

101
AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam
Vol 1 No. 2 Tahun 2021

pakem kebijakan perguruan tinggi dan mekanisme penanganan kekerasan


seksual yang berpihak kepada korban. Korban tidak perlu malu untuk
melaporkannya. sehingga aturan ini menjadi angin segar sebagai solusi
pembentukan kerangka pencegahan dan penanganan yang ideal terhadap
kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi, sehingga adanya keseragaman
model pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di Perguruan
Tinggi.

Kata kunci: Pencegahan, Kekerasan Seksual, Perguruan Tinggi

1. PENDAHULUAN
Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang dapat terjadi di mana saja. Namun
demikian, beberapa tahun belakangan ini sorotan publik melalui pemberitaan media
massa, tampaknya tertuju pada kekerasan seksual yang terjadi di ranah perguruan tinggi.
Dalam istilah yang lebih populer kekerasan seksual yang terjadi di ranah perguruan tinggi
disebut dengan istilah kekerasan seksual di kampus. (Ariani Hasanah & Vinita Susanti,
2020)
Kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi kian
mencuat. Satu demi satu terungkap kasus yang terjadi di beberapa perguruan tinggi di
Indonesia. (https://www.dw.com/id/kekerasan-seksual-di-perguruan tinggi/a-59838953).
Merujuk pada survei yang dilakukan Kemendikbud pada 2020, sebanyak 77% dosen di
Indonesia mengatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di perguruan tinggi.
Namun, 63% di antaranya tidak melaporkan kejadian itu karena khawatir terhadap stigma
negatif. Selain itu, data Komisi Nasional Perempuan menunjukkan terdapat 27% aduan
kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi, berdasarkan laporan yang dirilis pada
Oktober 2020. (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59265939)
Terciptanya kondisi aman dan nyaman di kampus, tidak hanya ditentukan oleh
persoalan ketersediaan fasilitas fisik. Akan tetapi diperlukan juga kondisi di mana Sivitas
Akademika merasa terlindungi pada saat melakukan kegiatan belajar mengajar maupun
ekstrakurikuler. Salah satu aspek kenyamanan itu adalah jaminan rasa aman tidak
mengalami kekerasan seksual. Lingkungan lembaga pendidikan, baik dari tingkat
Sekolah Dasar maupun sampai ke Pendidikan Tinggi (Universitas, Akademi, Pendidikan
Kedinasan) menempatkan dosen, instruktur, tenaga kependidikan, senior, maupun semua
individu yang menduduki jabatan struktural di dalam lembaga memiliki posisi tawar yang

102
AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam
Vol 1 No. 2 Tahun 2021

lebih kuat daripada mahasiswa atau peserta didik. Pada beberapa kasus, posisi tawar yang
kuat ini alih-alih diterjemahkan menjadi upaya untuk mendorong individu menjadi
panutan yang baik di dalam lembaga dan mempengaruhi mahasiswa atau peserta didik
menjadi berkarakter baik, justru digunakan untuk memaksa mahasiswa atau peserta didik
mengikuti apa yang diinginkan oleh individu tersebut. (https://www.liputan6.com)
Hal tersebut tergambar dengan gamblang pada beberapa penelitian. Di antaranya
dari hasil penelitian yang dilakukan (Ardi & Muis, 2014) pada Universitas Negeri
Surabaya pada tahun 2014. Mereka menemukan bahwa 40 persen dari 304 mahasiswi
pernah mengalami kekerasan seksual pada proses perkuliahan di Perguruan Tinggi.
Penanganan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi cukup kompleks, tidak hanya
terkait dengan aturan mekanisme pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual,
tetapi juga dengan sistem birokrasi dan kualitas sumber daya manusia. Birokrasi yang
kondusif akan mendukung terciptanya lingkungan perguruan tinggi yang ramah gender
dan nir-kekerasan seksual, sebaliknya birokrasi yang berbelit-belit akan menyebabkan
terjadinya pengabaian korban kekerasan seksual atas nama baik perguruan tinggi.
Beberapa kampus meresponnya dengan baik serta merumuskan sejumlah
peraturan dalam rangka melakukan pencegahan dan penanganan terhadap kasus-kasus
kekerasan seksual. Akan tetapi banyak pula kampus yang diam, bahkan meredam isu
kekerasan seksual yang terjadi dengan alasan atas nama baik kampus. Pada kondisi
semacam ini, diperlukan tindakan dan campur tangan pemerintah. Terbitnya Peraturan
Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dipandang sebagai suatu langkah yang
progresif oleh sejumlah pihak di tengah keresahan akan tingginya kekerasan seksual di
lingkup perguruan tinggi. (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59265939)
Dalam aturan Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 ini menjadikan pedoman
bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan
dan penanganan kekerasan seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam
atau diluar kampus, sehingga menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi,
bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan diantara Mahasiswa,
Pendidik, Tenaga Kependidikan dan warga kampus di Perguruan Tingi. Peraturan ini juga
memberikan kepastian hukum bagi pemimpin perguruan tinggi mengambil langkah yang
tegas dalam menindak kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. tujuan utama dari

103
AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam
Vol 1 No. 2 Tahun 2021

Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini adalah supaya ada mekanisme untuk
pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi.
Berdasarkan permasalahan sebagaimana yang telah dideskripsikan di atas, kajian
ini berusaha untuk menganalisis konsep dasar dari Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021,
urgensi dan Langkah-langkah konkrit yang menjadi isu utama dalam kajian
permendikbud yang harus dilakukan oleh perguruan tinggi di Indonesia.

2. KAJIAN PUSTAKA
Pelecehan seksual dapat diartikan sebagai suatu perilaku yang merendahkan atau
menghina seseorang berdasarkan jenis kelamin dari individu tersebut (Ramadyan, 2010).
Perilaku ini kemudian dapat melibatkan pemaksaan dan degradasi seksual, materi atau
bahan yang berbau seksual, komentar atau candaan, atau perilaku lainnya yang dirasakan
oleh seseorang sebagai akibat dari jenis kelamin mereka sehingga mereka di ejek atau
dihina (Reza,2014).
Pelecehan seksual sendiri pada dasarnya tidak hanya pelecehan yang berbau
seksual saja. Berbagai perilaku pelecehan yang terjadi karena korban berasal dari jenis
kelamin tertentu juga merupakan bentuk dari pelecehan seksual (Sulandjari, 2017).
Beberapa ahli berpendapat bahwa pelecehan sosial terjadi ketika korban direndahkan,
diejek, atau dihina sebagai seorang manusia di mata orang lain. Kemudian pelecehan
ilegal merupakan tindak pelecehan yang kemudian dapat mempengaruhi pekerjaan
seseorang, seperti melakukan intervensi dalam pekerjaan seseorang, atau menciptakan
suasana pekerjaan yang mengintimidasi, tidak nyamandan bersifat ofensif di tempat kerja
(Mukhlishotin, 2017).
Pengertian yang luas mengenai pelecehan seksual ini memiliki sifat konsisten, di
manahal ini tidak terbatas kepada perilaku yang hanya berhubungan dengan sifat seksual.
Definisi ini sendiri telah disetujui oleh berbagai ahli, seperti para pencari ilmu, juri dalam
pengadilan sehingga berbagai praktisi (Arif, 2017). Perbuatan pelecehan seksual dapat
mengakibatkan banyak hasil negatif, seperti depresi,gejala PTSD, penurunan kesehatan
mental, perasaan isolasi dan ketidakberdayaan, rasa bersalah dan malu atas diri sendiri,
sehingga insomnia. Dalam sisi pendidikan, banyak para pelajar yang mengalami efek
buruk dari sisi akademik sebagai akibat dari pelecehan seksual seperti berkurangnya
kepuasan akademik, persepsi fakultas sehingga berkurangnya performa dalam belajar
(Suharyono & Digdowiseiso, 2021).

104
AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam
Vol 1 No. 2 Tahun 2021

3. METODOLOGI
Penelitian merupakan jenis penelitian normatif, dilakukan dengan menggunakan
data-data yang diperoleh melalui peraturan perundang-undangan (Mansari & Yuliati, 2021).
peraturan menteri, jurnal,buku atau artikel online yang masih memiliki keterhubungan dan
tema yang sama mengenai penelitian ini seperti pelecehan seksual, kekerasan seksual,
pelanggaran dalam dunia pendidikan tinggi dan sebagainya. Adapun sumber data primer
dalam kajian ini adalah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Tekhnologi nomor
30 tahun 2021, sedangkan sumber data sekunder penulis mengambil beberapa jurnal, buku
maupun artikel online yang berkaitan dengan Pencegahan dan Penanganan kekerasal seksual di
Perguruan Tinggi. Hasil dari data-data yang telah berhasil dikumpulkan ini kemudian
dianalisis sesuai dengan tujuan dari fokus penelitian sebagai pedoman, sehingga
kemudian dapat menghasilkan kesimpulan yang diharapkan (Mansari & Rizkal, 2021).

4. PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Peraturan Menteri tentang Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual
Konsep-konsep yang digunakan adalah jenis kelamin, gender, relasi kuasa,
budaya patriarki, relasi kuasa, kesetaraan gender, dan tindakan afirmasi. Teori yang
digunakan terutama adalah teori analisis hukum berperspektif keadilan gender, teori-teori
dalam konteks kajian psikologi, antropologi, dan HAM. ((Mirza, Nurtjahyo, Shanti,
Wulandari & Noer, 2020)
Jenis kelamin berkaitan dengan kondisi seseorang ketika dilahirkan, apakah
sebagai laki-laki atau perempuan. Sifatnya terberi dan melekat pada tubuh. Ciri-ciri dari
jenis kelamin bersifat biologis. Kepada bayi perempuan dan laki-laki yang sebenarnya
genderless ini oleh warga masyarakat atau komunitas budaya tertentu dilekatkan sejumlah
peran, label, aturan-aturan tertentu yang berbeda. Peran, label, aturan ini merupakan
konstruksi sosial budaya tentang bagaimana laki-laki dan perempuan harus bertindak dan
atau berperan, juga tentang bagaimana relasi ideal antara laki-laki dan perempuan.
Seperangkat peran, label, dan aturan ini merupakan apa yang disebut sebagai gender.
Sebagai konstruksi sosial budaya, gender dapat berubah sesuai perkembangan dalam
masyarakat. Gender dimaknai oleh orang/sekelompok orang. Tidak terberi/ bukan ‘given
sehingga dapat dipertukarkan. misalnya pada suatu masyarakat pekerjaan-pekerjaan yang

105
AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam
Vol 1 No. 2 Tahun 2021

biasa dianggap sebagai pekerjaan perempuan, ternyata pada masyarakat lain lazim juga
dikerjakan oleh laki-laki dan demikian sebaliknya.
Gender adalah konstruksi sosial budaya yang dibuat oleh suatu masyarakat,
berupa konsep, gagasan, nilai, norma yang dilekatkan kepada manusia dengan jenis
kelamin yang berbeda secara biologis itu (perempuan dan laki-laki). Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya konstruksi gender ini sifatnya berubah-menurut waktu, tempat,
kelas, status sosial, dan budaya tertentu karena dikonstruksi oleh masyarakat sesuai
dengan anggapan-anggapan yang berlaku di dalam masyarakat (dan belum tentu
sepenuhnya dapat dikonfirmasi kebenarannya, dapat bersifat common sense). Gender itu
sendiri adalah perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah
dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula.
Dengan demikian karena “merupakan bentukan budaya”, konstruksi gender yang
bertendensi menimbulkan perlakuan berbeda atau diskriminatif dapat diubah melalui
pendidikan dan produk hukum.
Pada kondisi di mana konstruksi gender menimbulkan perlakuan berbeda atau
diskriminasi, didasari oleh hadirnya Budaya Patriarki. Adapun budaya patriarki dapat
ditemukan pada masyarakat yang memiliki tradisi meletakkan laki-laki dalam posisi dan
relasi kuasa yang lebih tinggi daripada perempuan. Konsekuensinya interaksi di dalam
masyarakatnya didominasi oleh laki-laki, atau apabila perempuan pun diberi tempat
untuk berperan maka yang digunakan adalah tetap dengan orientasi nilai dan cara
pandang menggunakan standar laki- laki serta kemungkinan besar mengabaikan
pengetahuan dan pengalaman perempuan. Pada masyarakat dengan dominasi laki-laki
yang kuat maka akan terbentuk nilai-nilai yang memberi hak-hak khusus pada laki-laki.
Nilai-nilai budaya patriarkis ini mengontrol dan mendominasi masyarakat supaya
privilese tersebut dapat tetap terpelihara.
Pada masyarakat dengan kondisi budaya patriarkinya sangat kuat, maka akan
sangat mudah terjadi diskriminasi terhadap perempuan, anak, atau mereka yang berada
pada posisi tawar yang lemah karena status sosial, status ekonomi, dan berbagai aspek
lainnya. Diskriminasi yang bersifat negatif sebagaimana disebut dalam Convention on
Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui Undang-undang No 7 Tahun 1984 serta UU No 39 Tahun 1999,

106
AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam
Vol 1 No. 2 Tahun 2021

hakekatnya merujuk pada serangkaian Tindakan yang meniadakan, mengurangi,


menghapus hak-hak individu/kelompok dengan berbagai dasar.
Tindakan membedakan perlakuan terhadap orang lain dalam rangka meniadakan,
mengurangi, menghapus hak seseorang atau suatu kolektif, dapat terjadi karena persoalan
budaya patriarkis. Konstruksi sosial budaya tentang gender dan budaya patriarki
menyebabkan terjadinya relasi kuasa yang tidak setara, antara laki-laki dan perempuan.
Masyarakat memiliki anggapan bahwa memang sudah sewajarnya posisi laki-laki lebih
tinggi daripada perempuan. Dengan adanya anggapan tersebut maka posisi tawar laki-
laki menjadi lebih tinggi/lebih kuat sedangkan perempuan lebih lemah. Konsekuensinya,
kondisi tersebut potensial menyebabkan subordinasi, diskriminasi bahkan kekerasan.
Pelakunya adalah pihak yang berada dalam posisi lebih kuat, sedangkan korbannya adalah
mereka yang berada pada posisi yang lebih lemah.
Kekerasan seksual, merupakan salah satu bentuk dari diskriminasi. Pembedaan
perlakuan berdasarkan relasi kuasa yang timpang, berpotensi memberi peluang terjadinya
kekerasan seksual kepada pihak yang lebih lemah. Naskah Akademik ini secara khusus
membahas tentang kekerasan seksual yang terjadi di dalam lingkup kampus. Menurut
Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Perempuan (Komnas Perempuan) telah
teridentifikasi 9 (sembilan) bentuk kekerasan seksual.
(https://m.medcom.id/gaya/family/ob33mWXb-9-bentuk-kekerasan-seksual-yang-perlu-
kamu-ketahui). Adapun bentuk-bentuk tersebut mencakup:
a. pelecehan seksual,
b. eksploitasi seksual,
c. pemaksaan kontrasepsi,
d. pemaksaan aborsi,
e. perkosaan,
f. pemaksaan perkawinan,
g. pemaksaan pelacuran,
h. perbudakan seksual, dan
i. penyiksaan seksual
Identifikasi yang dilakukan Komnas Perempuan menjelaskan bahwa
pemerkosaan atau kekerasan seksual tidak terkait persoalan seks atau hasrat semata,
melainkan adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dengan korban. Bentuk

107
AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam
Vol 1 No. 2 Tahun 2021

kekerasan seksual yang kerap terjadi di kampus adalah perkosaan, pelecehan seksual,
eksploitasi seksual, dan penyiksaan seksual. Dalam rangka memulihkan kondisi relasi
kuasa yang timpang sehingga dapat mengurangi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan
dari pihak yang posisi tawarnya kuat kepada pihak yang posisi tawarnya lemah (terutama
karena konstruksi gender), diperlukan adanya suatu proses yang mengubah relasi kuasa
tersebut menjadi setara atau terjadi kondisi kesetaraan gender. Proses menuju kesetaraan
gender di dalam masyarakat memerlukan serangkaian tindakan yang bersifat afirmasi
(Affirmative Action) sebagaimana dimaksud di dalam CEDAW.
Tindakan afirmasi adalah tindakan yang memberikan hak khusus kepada pihak
yang lebih rentan dalam rangka menguatkan kapasitas dari pihak tersebut supaya dapat
memiliki posisi tawar dan relasi kuasa yang setara. Tindakan afirmasi juga disebut sebagai
diskriminasi positif. Tujuannya berbeda dengan diskriminasi negatif yang justru
menghilangkan atau membatasi hak. Pada diskriminasi positif, meskipun sifatnya
sementara, tujuannya adalah dalam rangka menguatkan kapasitas, sehingga orang yang
tadinya berada pada posisi yang lemah mampu untuk melindungi dirinya dan mengakses
keadilan.
Sesuai dengan prinsipnya yang memberikan hak istimewa kepada kelompok
minoritas dan terdiskriminasi, maka untuk konteks Indonesia affirmative action dapat
lakukan pada perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas. Sebab, secara faktual
kelompok tersebut yang selama ini kurang mendapatkan perlindungan melalui sistem
yang ada (Hendra, 2013). Penting pula untuk dipahami bahwa diskriminasi dan relasi
kuasa yang timpang tidak hanya dapat terjadi berdasarkan perbedaan jenis kelamin dan
gender. Akan tetapi di dalam masyarakat dapat terjadi ketimpangan relasi kuasa tersebut
berdasarkan kondisi sosial, budaya, ekonomi, politik, dan juga karena kondisi fisik maupun
mental seseorang. Tidak dapat dipungkiri bahwa diskriminasi negatif dapat terjadi kepada
penyandang disabilitas mental maupun fisik, karena keterbatasannya itu (Rizkal &
Mansari, 2019). Diskriminasi juga dapat terjadi kepada warga masyarakat yang berasal
dari kelompok miskin, yang posisi tawarnya lebih lemah dibandingkan dengan kelompok
menengah dan atas yang memiliki akses terhadap berbagai hal lebih luas.
Dengan demikian, dalam upaya untuk menciptakan relasi kuasa yang setara dalam
rangka mendorong tercapainya kondisi kesetaraan gender di dalam masyarakat (dan
menghapuskan tindakan diskriminasi) diperlukan adanya perspektif GESI (Gender

108
AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam
Vol 1 No. 2 Tahun 2021

Equality and Social Inclusion). Perspektif GESI ini merupakan cara pandang di mana
kondisi adil dan setara bagi masyarakat dapat tercapai melalui upaya mendorong
kesetaraan gender dan inklusi sosial. Caranya adalah melalui pembangunan di dalam
masyarakat dengan mengakomodir isu-isu lintas sektor kesehatan, pemberdayaan
ekonomi, pertanian dan sektor lainnya. (Cahyono, 2017)

B. Urgensi Pembentukan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang


Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan
Tinggi

Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja. Baik pada ruang privat maupun
publik. Termasuk dapat juga terjadi pada lingkungan kampus perguruan tinggi.
Kekerasan seksual yang terjadi di kampus pun bentuknya beragam, meliputi perilaku fisik
maupun non-fisik (termasuk juga pelecehan seksual luar dan dalam jaringan atau daring).
Dengan demikian, dalam rangka menciptakan kehidupan kampus yang nyaman dan aman
bagi Civitas Akademika untuk melaksanakan kegiatannya, perlu ada tindakan untuk
menciptakan ruang yang aman tersebut.
Perguruan tinggi di Indonesia tidak bebas dari ancaman kekerasan seksual.
Meskipun data/statistik mengenai angka kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi
tidak tersedia, namun pemberitaan di media massa menunjukkan bahwa kasus kekerasan
seksual di perguruan tinggi di Indonesia masih terus bermunculan. Berdasarkan survey
terhadap 76 pengelola perguruan tinggi (negeri maupun swasta) di Indonesia, 75%
responden menyatakan di kampusnya terjadi kasus kekerasan seksual. Hasil survei
tersebut mengkonfirmasi pengamatan dan pemberitaan-pemberitaan tentang adanya kasus
kekerasan seksual di dunia pendidikan, khususnya di perguruan-perguruan tinggi di
Indonesia. Kasus-kasus kekerasan seksual sangat sulit untuk diketahui/diungkap.
(Newburn, 2007)
Penyebab tingginya angka gelap kasus kejahatan/penyimpangan perilaku adalah
tidak adanya laporan kejadian, yang terutama disebabkan oleh keengganan korban untuk
melapor. Salah satu jenis kejahatan/penyimpangan perilaku dengan angka gelap tertinggi
adalah kekerasan seksual. Dalam kasus-kasus kekerasan seksual, keengganan korban
untuk melapor atau mengungkap peristiwa yang menimpa dirinya dapat disebabkan oleh
berbagai factor (Williams, 2000). Penyebab pertama adalah korban kekerasan seksual
merasa malu atas perlakuan yang menimpa dirinya. Penyebab lainnya adalah ketiadaan

109
AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam
Vol 1 No. 2 Tahun 2021

aturan/mekanisme yang handal, sehingga korban tidak tahu secara pasti apa yang harus
dilakukan, kemana ia harus lapor, dan prosedur apa saja yang harus ditempuh.
Penyebab berikutnya adalah ketidakpercayaan korban pada sistem (bahwa sistem
yang ada akan mampu menyelesaikan permasalahannya atau memberikan penanganan
yang memadai) (Bahri & Mansari, 2021). Faktor lain yang dapat menyebabkan korban
kekerasan seksual tidak melaporkan kasusnya adalah korban tidak menyadari bahwa ia
sebenarnya adalah korban kekerasan seksual atau korban menganggap hal tersebut bukan
hal yang serius (trivial) sehingga tidak perlu dipermasalahkan. Penyebab penting lainnya
adalah korban takut atau kuatir akan resiko atau konsekuensi dari pelaporan yang
dilakukan atau terungkapnya kasus.
Terdapat berbagai risiko yang umumnya dikuatirkan korban kekerasan seksual
yang dapat terjadi sebagai akibat dari pelaporan/pengungkapan kasus yang menimpanya.
Risiko pertama yang dikuatirkan korban adalah orang tidak percaya atau memilih untuk
tidak percaya, mengingat posisi dominan pelaku (dosen, senior, orang
terhormat/terpandang dll) ataupun untuk alasan lain. Risiko berikutnya adalah risiko
dipermalukan (secondary victimisation), karena dengan mengungkap kasus berarti
korban harus menceritakan peristiwa yang menimpanya secara detail dan jelas yang
tentunya membuat korban merasa risih atau malu. Risiko lain adalah risiko mendapatkan
stigma, karena dengan terungkapnya kasus maka penyebaran informasi seringkali tidak
dapat dibendung. Selanjutnya risiko untuk berhadapan lagi dengan pelaku kekerasan
seksual juga merupakan hal umum yang dipikirkan oleh korban. Risiko penting lainnya
yang dipikirkan korban kekerasan seksual adalah kemungkinan korban tidak mendapat
perlakuan yang adil mengingat posisi dominan pelaku serta adanya kehendak lembaga
maupun kolektif dalam rangka menjaga nama baik institusi bahkan pelaku.
Dalam kasus kekerasan seksual, umumnya pelaku memiliki posisi dominan di
hadapan korban. Sebaliknya, korban berada dalam posis rentan (vulnerable) di hadapan
pelakunya. Hasil survei menunjukkan bahwa profil pelaku kekerasan seksual di kampus
perguruan tinggi sebagian besar adalah dosen, diikuti oleh mahasiswa, kemudian tenaga
kependidikan. Sebaliknya, dari survei tersebut diketahui bahwa korban sebagian besar
adalah mahasiswa, dan terdapat sebagian kecil dosen serta tenaga kependidikan. Dari
profil pelaku-korban di atas, nyata bahwa terdapat ketidaksetaraan posisi-relasi pelaku
dan korban. Dari perspektif kriminologi, diketahui terdapat sejumlah faktor yang

110
AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam
Vol 1 No. 2 Tahun 2021

berpengaruh terhadap terjadinya kekerasan seksual, yakni: adanya relasi kuasa (pelaku-
korban) dalam masyarakat dengan budaya patriarki; adanya peluang (opportunity); serta
ketiadaan aturan, mekanisme, reaksi atau respons yang memadai (lemahnya kontrol
sosial). (White & Haines, 2001)
Namun demikian, diakui bahwa pada kekerasan seksual adanya relasi yang tidak
seimbang, yakni posisi dominan pelaku dan sebaliknya, posisi rentan korban dalam
masyarakat dengan budaya patriarki merupakan faktor determinan yang signifikan.
Dengan demikian kekerasan seksual dalam berbagai wujudnya tidak lagi dapat dipandang
semata-mata sebagai masalah agresivitas seksual melainkan dipandang sebagai ekspresi
dari hubungan kekuasaan atau dominasi. (Mirza, Nurtjahyo, Shanti, Wulandari & Noer,
2020)
Faktor lain yang berpengaruh terhadap terjadinya kekerasan seksual di perguruan
tinggi adalah adanya kesempatan atau peluang (opportunity), khususnya yang timbul dari
posisi yang tidak seimbang antara pelaku dengan korban. Pelaku dalam
posisi/kedudukannya, dan dengan kekuasaan yang ada padanya, memiliki kesempatan
atau peluang sekaligus merasa aman untuk melakukan kekerasan seksual pada korban.
Relasi dosen-mahasiswa, atasan- bawahan, senior-junior kerap kali memberi peluang
untuk terjadinya berbagai bentuk kekerasan seksual (fisik maupun non-fisik) yang
berulang. Dimungkinkannya interaksi dosen-mahasiswa, atasan-bawahan, senior-junior
di kampus yang terjadi di luar pengawasan publik (tanpa adanya kontrol sosial), menjadi
peluang bagi terjadinya kekerasan seksual. Dengan demikian, penting bagi perguruan
tinggi untuk menciptakan suasana pendidikan yang tidak memberikan peluang bagi
penyalahgunaan posisi dominan-rentan. Faktor berikutnya yang berpengaruh terhadap
terjadinya kekerasan seksual di perguruan tinggi adalah ketiadaan aturan atau kebijakan
atau mekanisme yang jelas dan memadai untuk penanganannya (termasuk ketiadaan
sanksi yang tegas).

C. Langkah-langkah Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di


Lingkungan Perguruan Tinggi

Pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi bertujuan untuk mencegah


terjadinya perilaku yang tidak dikehendaki (prevensi umum). Dengan demikian
perguruan tinggi perlu membuat aturan/kebijakan/ prosedur tetap untuk penanganan

111
AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam
Vol 1 No. 2 Tahun 2021

kasus-kasus kekerasan seksual, yang meliputi prosedur penanganan, prosedur pemulihan


korban, serta sanksi bagi pelaku. Disamping itu, perguruan tinggi harus menyediakan
organ/unit/lembaga dengan sumber daya yang terlatih (well- trained) agar korban
mendapat penanganan yang memadai dan tidak mengalami perlakuan yang dapat semakin
merugikannya (misalnya merasa tidak dipercaya atau diragukan keterangannya, merasa
dipermalukan, merasa dipersalahkan, atau diminta untuk berkompromi demi menjaga
nama baik institusi atau pelaku).
Pencegahan kekerasan seksual dapat dilakukan oleh lembaga dan individu yang
bernaung di bawah lembaga pendidikan. Pemahaman yang baik terhadap kekerasan
seksual merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran kritis civitas akademika
untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan dan mencegah terjadinya kekerasan
seksual serta melakukan penanganan terhadap kasus dengan baik. (Rusyidi, Bintari &
wibowo, 2016)
Pada Peraturan Menteri Pendidikan , Kebudayaan, Riset dan Tekhnologi nomor
30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan
Perguruan Tinggi telah diatur pada Bab II, dimana pencegahan tersebut dilakukan secara
bertingkat di masing-masing bagian yaitu:
1. Pencegahan oleh Perguruan Tinggi
Pada Bagian kesatu Peraturan menteri ini termuat dalam pasal 6, disebutkan ada
3 sarana pencegahan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi yang meliputi :
a. Pembelajaran;
b. Penguatan Tata Kelola; dan
c. Penguatan Budaya Komunitas Mahasiswa, Pendidik, Dan Tenaga Kependidikan.
Pencegahan melalui pembelajaran yang dilakukan oleh Pemimpin Perguruan
Tinggi dengan mewajibkan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan untuk
mempelajari modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan
oleh Kementerian. Maka disini peran kementrian untuk membuat aturan turunan dari
Permendibudristek ini yaitu modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang
akan diterapkan ke seluruh perguruan tinggi di Indonesia, sehingga mempunyai satu
pemahaman yang sama antar perguruan tinggi dalam memahami permasalahan kekerasan
seksual yang ada di lingkungan kampus.

112
AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam
Vol 1 No. 2 Tahun 2021

Selanjutnya pada tataran kebijakan yang mendukung Pencegahan dan Penanganan


Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi adanya penguatan tata kelola penanganan apabila
terjadi kasus-kasus tersebut di Perguruan Tinggi, beberapa langkah dalam bidang tata
kelola yaitu:
a. membentuk Satuan Tugas;
b. menyusun pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual;
c. membatasi pertemuan antara Mahasiswa dengan Pendidik dan/atau Tenaga
Kependidikan di luar jam operasional kampus dan/atau luar area kampus;
d. menyediakan layanan pelaporan Kekerasan Seksual;
e. melatih Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus terkait
upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual;
f. melakukan sosialisasi secara berkala terkait pedoman Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual kepada Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga
Kampus;
g. memasang tanda informasi yang berisi:
1. pencantuman layanan aduan Kekerasan Seksual;
2. peringatan bahwa kampus Perguruan Tinggi tidak menoleransi Kekerasan
Seksual;
3. menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas untuk
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual;
4. melakukan kerja sama dengan instansi terkait untuk Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual.
Bentuk Pencegahan melalui penguatan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik,
dan Tenaga Kependidikan pada Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 ini dalam
bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual dilakukan pada kegiatan-kegiatan kampus yaitu, pengenalan
kehidupan kampus bagi Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan, organisasi
kemahasiswaan, jaringan komunikasi informal Mahasiswa, Pendidik dan Tenaga
Kependidikan.
Dari bentuk-bentuk pencegahan yang ada di Permendibukdristek nomor 30 tahun
2021 ini penulis melihat bagaimana peraturan ini mengajak seluruh civitas akademik

113
AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam
Vol 1 No. 2 Tahun 2021

yang terlibat di Perguruan Tinggi untuk sama-sama mempunyai satu pemahaman yang
integral terhadap pencegahan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi.

2. Pencegahan oleh Pendidik dan Tenaga Kependidikan.


Pada Bagian kedua Peraturan menteri ini termuat dalam pasal 7, mengatur model
pencegahan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi oleh Pendidik dan Tenaga
Kependidikan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Membatasi pertemuan dengan Mahasiswa secara individu baik diluar area kampus,
diluar jam operasional kampus maupun untuk kepentingan lain selain proses
pembelajaran, tanpa persetujuan kepala/ketua program studi atau ketua jurusan.
b. Berperan aktif dalam Pencegahan Kekerasan Seksual.
c. Apabila Pendidik yang bersangkutan merupakan kepala/ketua program studi atau
ketua jurusan maka persetujuan harus diberikan oleh atasan kepala/ketua program
studi atau ketua jurusan yang bersangkutan.

3. Pencegahan kekerasan seksual oleh Mahasiswa


Pada Bagian ketiga Peraturan menteri ini termuat dalam pasal 8, mengatur model
pencegahan kekerasan seksual oleh mahasiswa yang bentuk pencegahannya juga sama
dengan apa yang diatur pada Pasal 7 peraturan ini.

4. Langkah-langkah penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi


Adapun langkah-langkah penanganan kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan
Tinggi pada Peraturan Menteri ini juga menurut penulis sudah cukup komprehensif yang
diatur pada Bab III Pasal 10 yang menyatakan bahwa Perguruan Tinggi wajib melakukan
penanganan kekerasan seksual melalui :
a. Pendampingan;
b. Perlindungan;
c. Pengenaan sanksi administratif; dan
d. Pemulihan korban
Masing-masing penanganan ini juga telah diatur secara jelas dalam pasal perpasal
sehingga penanganan kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi ini dapat
terimplementasi dengan baik. Sedangkan model pengembangan kedepan dengan
hadirnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Tekhnologi No 30 tahun

114
AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam
Vol 1 No. 2 Tahun 2021

2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Kampus adalah
sebagai berikut: (Mirza, Nurtjahyo, Shanti, Wulandari & Noer, 2020)
Untuk mencegah praktik kekerasan seksual di perguruan tinggi, maka perlu
Langkah konkrit yang harus dilakukan, yaitu: Pertama, perlu ada konsep-konsep penting:
bentuk kekerasan seksual, pelaku, korban, terlapor, pelapor, unit pelayanan terpadu,
pemegang otoritas, sifat sanksi yang dapat dijatuhkan baik oleh kampus maupun apabila
dibutuhkan, sanksi hukum dengan diatur mekanisme pemindahan berkas kasus dan
tanggungjawab penanganan kasus secara seksama dan mempertimbangkan hak pelapor
dengan tanpa melanggar hak terlapor sebagaimana diatur dalam hukum acara. Kemudian
perlu diatur pula terkait tindakan pemulihan, waktu, locus, dan mengapa persetujuan
korban terkait dengan penanganan kasus menjadi kunci atau “kekhususan” kasus
kekerasan seksual sebab korban kekerasan seksual harus diberi penguatan untuk dapat
melaporkan kasusnya. Kedua, perlu ada alur pelaporan penting diperjelas dan
disederhanakan. Dengan demikian korban dan pelapor tidak takut untuk melapor dan
tidak perlu mengulang ceritanya berkali- kali. Selain kejelasan alur, penting juga untuk
terdapat kejelasan siapa pemegang otoritas pada tiap tahapan dan wewenangnya untuk
menerima laporan dan menangani. Dengan demikian memang perlu ada SOP pada tingkat
Universitas dan peraturan payung pada tingkat Kementerian.
Ketiga, diperlukan juga kehadiran suatu Unit Pelayanan Terpadu dalam
penyediaan layanan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Selain
itu, Unit Pelayanan Terpadu harus bisa berkoordinasi dengan Unit Layanan
Disabilitas sebab anggota sivitas akademika dengan disabilitas cenderung lebih
nyaman melapor ke layanan yang langsung mengerti dan menyasar pada kebutuhan
kelompok atau individu dengan disabilitas. Keempat, sanksi yang jelas dan terukur
dalam bentuk panduan lengkap buat perguruan tinggi. Hal ini diperlukan supaya tidak
ada tumpang tindih mekanisme dan kewenangan. Kelima, kehadiran Surat Keputusan
Rektor pendukung Peraturan Menteri. Selain itu, Surat Keputusan Dekan tiap fakultas
yang menjelaskan SOP penanggulangan kekerasan seksual juga perlu diedarkan.
Keenam, masuknya pendidikan anti-kekerasan seksual dalam kurikulum dan
materi pembekalan mahasiswa baru. Penataran untuk tenaga pendidikan maupun
pekerja kontrak (individu outsourced) yang bekerja di kampus juga harus
menyelenggarakan pendidikan tersebut. Materi pendidikan anti-kekerasan seksual

115
AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam
Vol 1 No. 2 Tahun 2021

tersebut juga harus disampaikan dan dibuat dengan bentuk serta isi yang bisa
dijangkau oleh para anggota sivitas akademika dengan disabilitas—terutama
mahasiswa, dosen, tenaga pendidikan, dan pekerja tuli.
Ketujuh, perguruan tinggi perlu mengadakan mekanisme yang
mempertimbangkan kebutuhan korban kekerasan seksual untuk dapat pulih dari
trauma (trauma-healing) yang beragam. Dalam hal ini, perguruan tinggi harus
memastikan hak cuti kuliah atau kerja korban tidak hilang, dan korban memperoleh
waktu dan bimbingan akademik khusus untuk mengejar ketertinggalan akademiknya.
Terakhir dan tidak kalah penting adalah, dalam pencegahan dan penanganan kasus
kekerasan seksual di kampus, harus ada pelibatan perwakilan-perwakilan mahasiswa
dalam pembuatan UPT termasuk juga dalam penyusunan mekanisme atau SOP
Kekerasan Seksual. Para pihak yang perlu terlibat tersebut meliputi:

a. Wakil Rektor dan Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan,


b. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM),
c. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM),
d. Kelompok studi feminis/gender/seksualitas dengan memperhatikan
penguasaan perspektif kesetaraan gender dan keberpihakan pada korban,
e. Dosen dengan kualifikasi yang sama seperti pada kelompok studi,
f. Tenaga kependidikan dengan kualifikasi yang sama seperti pada kelompok studi,
dan
g. Dosen, tenaga kependidikan, dan perwakilan mahasiswa dengan disabilitas.
Pada intinya dari model-model pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di
perguruan tinggi, menurut penulis semua civitas akademika harus mempunyai peran
bersama dan saling mendukung dalam menanggulangi permasalahan pelecehan seksual
ini yang semakin hari semakin tinggi jumlah kasusnya di Indonesia, apabila semua pihak
civitas akademika telah mempunyai satu visi, maka proses pembelajaran di perguruan
tinggi akan terasa nyaman bagi semua pihak tanpa ada perasaan takut untuk datang ke
kampus sehingga penerapan Tridharma Perguruan Tinggi juga akan tercapai.

5. KESIMPULAN
Perumusan aturan dan mekanisme pencegahan kekerasan seksual di perguruan
tinggi penting harus melibatkan semua aktor dalam sivitas akademika ke dalam posisi

116
AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam
Vol 1 No. 2 Tahun 2021

yang setara. Hal tersebut penting dalam rangka membentuk kebijakan anti kekerasan
seksual yang tangguh dan mengakomodir kondisi sosio-kultural yang sistemik. Hal ini
merupakan landasan antropologis terhadap dibentuknya Permendikbudristek No 30 tahun
2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Kampus.
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 hadir sebagai langkah awal untuk
menanggapi keresahan mahasiswa, dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat
tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi, Permendikbudristek
ini juga mengatur langkah-langkah yang penting untuk mendapatkan model pencegahan
dan penanganan kekerasan seksual. Di samping itu juga membantu pimpinan perguruan
tinggi dalam mengambil tindakan lebih lanjut untuk mencegah berulangnya kembali
kekerasan seksual yang menimpa civitas academika.
Model pencegahan yang melibatkan semua unsur yang ada di perguruan tinggi
serta penanganan dalam bentuk pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi
administratif dan pemulihan korban dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021
menjadi langkah-langkah yang solutif terhadap kasus kekerasan seksual di Perguruan
Tinggi.

REFEENSI
Ardi, N. M. S., & Muis, T. (2014). Perilaku Seksual Remaja Mahasiswa Fakultas
Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Mahasiswa Bimbingan
Konseling Unesa, Vol 4 (3))
Arif, H. (2017). Rekonstruksi Hukum Tentang Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Tindak
Pidana Pelecehan Seksual (Kajian Analisis Yuridis-Sosiologis Perppu No. 1
Tahun 2016 Dalam Perspektif Kriminologi Hukum). Khazanah, Jurnal Studi
Islam dan Humaniora, 14(1), 110-133.
Ariani Hasanah dan Vinita Susanti. (2020). Diskusi Keadilan Restoratif dalam Konteks
Kekerasan Seksual di Kampus. Deviance: Jurnal Kriminologi Vol 4 no 1 Juni
Bahri, S. (2021). Model Pengawasan Anak Dalam Upaya Pencegahan Pelecehan Seksual
di Lingkungan Pesantren. Legalite: Jurnal Perundang Undangan dan Hukum
Pidana Islam, 6(2), 108-109.
Binahayati Rusyidi, Antik Bintari, Hery wibowo. (2015) Pengalaman Dan Pengetahuan
Tentang Pelecehan Seksual: Studi Awal Di Kalangan Mahasiswa Perguruan
Tinggi, Social Work Jurnal, volume: 9, Nomor: 1
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women 1979.
Convention on the Rights of the Child 1989.

117
AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam
Vol 1 No. 2 Tahun 2021

Eko Cahyono et al. (2017) Keadilan Gender dan Inklusi Sosial. Jakarta: Knowledge
Sector Initiative.
Hendri Sayuti. (2003). Hakikat Affirmative Action dalam Hukum Indonesia (Ikhtiar
Pemberdayaan yang Terpinggirkan), Jurnal Menara, Vol. 12 No. 1( Januari –
Juni).
Katherine S. Williams. (2000). Textbook on Criminology, Oxford University Press.
Mansari, M., & Yuliati, Y. (2021). Kepastian Hukum Pengasuhan Anak Pasca Perceraian
Akibat Penolakan Gugatan Rekonvensi. Al-Ahkam: Jurnal Syariah dan
Peradilan Islam, 1(1), 1-18.
Mansari, M., & Melayu, H. A. (2018). Pembatalan Hukuman Cambuk Bagi Pelaku
Jarimah Pencabulan Anak Dalam Putusan Nomor 07/Jn/2016/Ms.
Aceh/CANING SENTENCE REVERSAL FOR JARIMAH CRIMINAL IN
DECISION NUMBER 07/JN/2016/MS. Aceh. Jurnal Hukum dan
Peradilan, 7(3), 425-440.
Mansari, M., & Rizkal, R. (2021). Peranan Hakim dalam Upaya Pencegahan Perkawinan
Anak: Antara Kemaslahatandan Kemudharatan. El-USRAH: Jurnal Hukum
Keluarga, 4(2), 328-356.
Mirza Satria Buana et al. (2020). Naskah Akademik Pendukung Urgensi Draft Peraturan
Menteri tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di
Lingkungan Perguruan Tinggi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Mukhlishotin, M. N. (2017). Cyberbullying perspektif Hukum Pidana Islam. Al-Jinayah:
Jurnal Hukum Pidana Islam, 3(2), 370-402.
Ramadyan, Y. (2010). Pelecehan Seksual (dilihat dari Kacamata Hukum Islam dan
KUHP). Retrieved from
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4602/1/YAYAH%2
0RAM ADYAN-FSH.pdf
Reza, H. (2014). Peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam Mengatasi
Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Rizkal, R., & Mansari, M. (2019). Pemenuhan Ganti Kerugian Anak Sebagai Korban
Pemerkosaan Dalam Kasus Jinayat Aceh. Gender Equality: International
Journal of Child and Gender Studies, 5(2), 33-46.
Suharyono, S., & Digdowiseiso, K. (2021). Education and gender wage gap: Evidence
from Indonesia. Accounting, 7(1), 33-40.
Sulandjari, R. (2017). Literasi Media Sebagai Pengantisipasi Pelecehan Seksual Pada
Anak dan Remaja (Studi Kasus di Kelurahan Pudakpayung Kecamatan
Banyumanik Kotamadia Semarang). Majalah Ilmiah Inspiratif, 2(3).
Rob White and Fiona Haines. (2001). Crime and Criminology: An Introduction. Oxford
University Press.
Universal Declaration of Human Rights 1948.
UNESCO Convention against Discrimination in Education 1960.
Undang-Undang Dasar 1945

118
AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam
Vol 1 No. 2 Tahun 2021

Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang


No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi No 44 tahun 2015 tentang
Standar Nasional Pendidikan Tinggi
Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi No 50 tahun 2018 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi No
44 tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 3 tahun 2020 tentang Standar
Nasional PendidikanTinggi
Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Tekhnologi No 30 tahun 2021
tentang Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Kampus
Tim Newburn, Criminology, Willan Publishing, 2007
https://www.dw.com/id/kekerasan-seksual-di-perguruan tinggi/a-59838953
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59265939
https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4176128/6-kasus-kekerasan-seksual-di-
lingkungan-kampus-jangan-dibiarkan
https://m.medcom.id/gaya/family/ob33mWXb-9-bentuk-kekerasan-seksual-yang-perlu-
kamu-ketahui
https://elearning.menlhk.go.id/pluginfile.php/854/mod_resource/content/1/analisis%20g
ender/pengertian_gender.html
https://www.its.ac.id/news/2020/04/22/belenggu-budaya-patriarki-terhadap-kesetaraan-
gender-di-indonesia/
https://www.lawschool.cornell.edu/research/JLPP/upload/Baker-final.pdf

119

You might also like