You are on page 1of 25

Kevin Neil McVey & Cut Memi

KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING


PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL


STANDING PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS
PUTUSAN NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Kevin Neil McVey


(Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara)
(knmcvey@gmail.com)

Dr. Stanislaus Atalim S.H., M.H.


(Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara. Meraih Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Doktor
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Parahyangan)
(st_atalim@yahoo.com)

Abstract

A legal concept of trust, or also known as ‘wali amanat’ in Indonesian legal terms, is not a
really well-known concept amongst the legal practitioner and jurist in the Indonesian court.
The concept has been a topic of hot debate between lawyers and judges on whether the concept
is applicable in the realm of the Indonesian European-Continental law system. The problem
arises from a case of debt restructuring, in the commercial court decision No: 121/Pdt.sus-
PKPU/2018/PN.Jkt.Pst. The decision carries that a bond-holder could file an application for
debt restructuring (PKPU) when they see a case of default on the bond issuer. The bond-holders
are supposed to be bound to the trust indenture, and the indenture already stipulated in its term
on who has the legal power and authority to do so. The stipulation turns out to be the complete
opposite of what’s reflected in the court decision, making the epicenter of the problem revolves
on whether the underling bond-holders has the capability to file a debt restructuring
application. This essay aims to analyze the decision and determines who has the authority and
legal standing to file a debt restructuring application in the case when a trust indenture exists.

Keywords: Trust, Wali Amanat, Debt Restructuring, PKPU, Trust Indenture

I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Permasalahan hukum yang ada di dalam putusan Peradilan Niaga
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 121/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Jkt.Pst,
adalah terkait dengan kewenangan seorang kreditor untuk melakukan

1
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

permohonan PKPU. Seorang kreditor tentu saja dapat memohon PKPU


terhadap debitornya apabila debitor tersebut tidak melakukan kewajibannya,
namun dalam hal ini kreditor yang terdapat pada Putusan Nomor: 121/Pdt.Sus-
PKPU/2018/PN.Jkt.Pst terikat dengan sebuah Perjanjian Wali Amanat/trust
indenture yang menjadi bagian dari proses penerbitan surat utang.
Mekanisme penerbitan surat utang tidak hanya melibatkan kreditor dan
debitor, namun juga turut melibatkan banyak pihak di dalam prosesnya. Salah
satu pihak yang terlibat di dalam proses penerbitan surat utang ini adalah pihak
wali amanat/trustee. Wali amanat turut menjadi pihak dalam hubungan hukum
antara kreditor dan debitor karena adanya Perjanjian Wali Amanat yang
mengatur demikian. PWA melahirkan tugas pokok, tanggung jawab dan
wewenang bagi wali amanat, dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga
perwakilan para pemegang efek bersifat utang.
Selain dengan PWA, kewenangan wali amanat juga diperkuat dengan
adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara spesifik
mengenai peran dan tugas wali amanat dalam penerbitan efek bersifat utang.
Peraturan yang menjadi dasar hukum utama mengenai wali amanat terdapat di
dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM).
UUPM beserta peraturan pelaksana lainnya yang bersifat teknis dikeluarkan
oleh pemerintah untuk memberikan ruang bagi wali amanat dalam menjalankan
tugasnya. Semua tugas pokok dan kewenangan yang diatribusikan oleh undang-
undang dan perjanjian kepada wali amanat, adalah semata-mata untuk
mencapai efisiensi dalam proses pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak
yang terlibat dalam PWA.
Dengan adanya trustee dan trust indenture dalam sebuah hubungan utang-
piutang antara kreditor-debitor, maka hal ini menimbulkan kekhususan di
dalam hubungan tersebut yang berbeda dengan hubungan kreditor-debitor pada
umumnya. Kekhususan tersebut adalah terkait dengan pengaturan mengenai

2
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum yang terkait dengan objek


perjanjian, terutama kewenangan untuk mengajukan permohonan Dalam
sebuah hubungan utang-piutang biasa, kreditor memiliki kewenangan untuk
mengajukan permohonan PKPU secara bebas. Hal itu disebabkan karena tidak
ada pengaturan lain yang mengatur sebaliknya. Namun dalam hal adanya
trustee/wali amanat dalam mekanisme penerbitan surat utang, keadaan itu dapat
menjadi sangat berbeda. Karena isi dari PWA mengatur mengenai siapakah
yang memiliki kewenangan untuk melakukan permohonan PKPU apabila sang
kreditor terbukti wanprestasi.
Maka dari itu, timbul sebuah pokok permasalahan yang kemudian menjadi
garis besar pembahasan jurnal ini. Rumusan masalah tersebut adalah
bagaimana kedudukan Perjanjian Wali Amanat terhadap legal standing
pemegang efek bersifat utang dalam putusan Nomor: 121/Pdt.Sus-
PKPU/2018/PN.Jkt.Pst. Kedudukan PWA menjadi tinjauan yang utama dalam
penulisan jurnal ini, karena kedudukan PWA tersebut akan menjadi faktor
utama dalam menentukan siapakah yang sesungguhnya berhak untuk
melakukan permohonan PKPU. Terutama dalam kondisi debitor dan kreditor
terikat dalam sebuah Perjanjian Wali Amanat.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang Penulis sampaikan di atas, maka perumusan
masalah yang timbul adalah sebagai berikut:
Bagaimana kedudukan perjanjian wali amanat terhadap legal standing
pemegang efek bersifat utang dalam putusan Nomor: 121/Pdt.Sus-
PKPU/2018/PN.Jkt.Pst ?

II. Pembahasan

3
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

Contoh kasus yang ditinjau dalam penulisan jurnal ini adalah permohonan
PKPU Nomor: 121/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt.Pst yang diajukan ke
Pengadilan Niaga yang terletak di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Permohonan ini diajukan oleh PT. Sinar Mas Asset Management (SAM) dan
PT. Asuransi Simas Jiwa (ASJ) selaku kreditor yang mendalilkan bahwa
mereka memiliki tagihan yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih terhadap PT.
Tiga Pilar Sejahtera (TPS). Utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih itu
berbentuk surat utang obligasi dan surat utang sukuk ijarah yang diterbitkan
oleh TPS selaku debitor dalam seri surat utang TPS Food I/2013. Kedua jenis
surat utang yang diterbitkan tersebut menjadi landasan hak untuk menagih
piutang terhadap TPS.
Dalam kasus ini, penerbitan surat utang itu tidak hanya melibatkan kreditor
dan debitor sebagai para pihak, namun juga melibatkan pihak lain yang di mana
salah satunya adalah wali amanat. Peran wali amanat dalam penerbitan surat
utang ini diemban oleh PT. Bank Mega Tbk. (Bank Mega), sebagai bank
komersial yang ditunjuk untuk melakukan tugas perwakilan kreditor melalui
Perjanjian Wali Amanat (PWA). PWA tersebut dibuat oleh Bank Mega dan
TPS selaku emiten sebagai pihak awal dalam perjanjian, karena para kreditor
pemegang surat utang belum ada pada saat pembuatan perjanjian. Tugas dan
kewenangan yang dimiliki oleh wali amanat tidak hanya semata-mata diatur di
dalam PWA, namun juga diatur di dalam peraturan perundang-undangan terkait
yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor KEP-412/BL/2010 tentang Ketentuan Umum dan Kontrak
Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang.
SAM dan ASJ selaku kreditor mengajukan permohonan PKPU dengan
dasar bahwa kedua surat utang tersebut sudah dalam keadaan cross-default.
Keadaan default tersebut menurut mereka disebabkan oleh kegagalan TPS
dalam melakukan pembayaran kupon obligasi dan sukuk ijarah TPS Food

4
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

I/2013, terhitung sejak tanggal 5 Juli 2018. Maka pada tanggal 14 Agustus
2018, SAM dan ASJ mengajukan permohonan PKPU ke Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat.
Jumlah utang yang menjadi dasar permohonan PKPU berasal dari surat
utang obligasi dan sukuk ijarah TPS Food I/2013. Masing-masing dari kedua
kreditor memiliki nilai tagihan yang berjumlah total Rp. 39.680.000.000,00
(Tiga puluh Sembilan milyar dan enam ratus delapan puluh juta rupiah). SAM
memiliki tagihan senilai Rp. 22.170.000.000,00 (Dua puluh dua milyar serratus
tujuh puluh juta rupiah), dan ASJ memiliki nilai tagihan sejumlah Rp.
17.510.000.000,00 (Tujuh belas milyar lima ratus sepuluh juta rupiah).
Baik SAM dan ASJ, keduanya berdalil bahwa mereka memiliki kedudukan
hukum untuk mengajukan permohonan PKPU (legal standing) karena
keduanya memenuhi syarat sebagai kreditor sesuai dengan apa yang
dirumuskan oleh Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Hal tersebut tertuang dalam
penjelasan Pasal 2 ayat 1 UUKPKPU yang mendefinisikan kreditor sebagai:
“yang dimaksud dengan kreditor dalam ayat ini adalah baik
kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor
preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor
preferen, mereka dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas
kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitor dan
hak miliknya yang didahulukan.”1
Marx Andryan dari kantor hukum Marx & Co selaku kuasa hukum kedua
kreditor, menyatakan bahwa perihal permohonan PKPU mengikuti prosedur
yang telah diatur dalam UUKPKPU sebagai dasar hukum permohonan
kepailitan dan PKPU. Prosedurnya pun mengikuti sistem pembuktian
Pengadilan Niaga yaitu bersifat sederhana/sumir. Apabila sebuah utang sudah

1
Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443), Pasal 2 ayat (1)

5
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

dapat dibuktikan secara sederhana bahwa utang itu ada dan telah jatuh tempo
serta dapat ditagih, maka syarat formil permohonan PKPU pun dapat dipenuhi
sehingga permohonan menjadi sah.
Pada tanggal 13 September 2019, Majelis Hakim yang diketuai oleh Hakim
Bambang Edhy Supriyanto mengabulkan permohonan PKPU SAM dan ASJ.
Putusan yang mengabulkan permohonan kedua kreditor tersebut
mengakibatkan TPS jatuh ke dalam status PKPU Sementara yang berjangka
waktu selama 43 hari terhitung sejak tanggal putusan.
Penulis memiliki pendapat yang lain dengan putusan hakim tersebut,
karena di dalam putusan itu terjadi sebuah penerapan hukum yang tidak
berdasarkan dengan hukum positif yang berlaku. Hukum positif tersebut terdiri
dari peraturan perundang-undangan dan perjanjian. Peraturan perundang-
undangan yang berkorelasi dengan permasalahan ini adalah UU No. 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal (UUPM) dan Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-412/BL/2010 (Kep-
Bapepam) tentang Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek
Bersifat Utang. Sementara perjanjian yang menjadi dasar hukum adalah Akta
Perjanjian Wali Amanat (PWA) yang dibuat di hadapan notaris Hamburg Lie,
S.H., S.E., M.Kn., berkedudukan di Jakarta.
Pertama, peraturan perundang-undangan yang akan dikaji terlebih dahulu
adalah UUPM yang menjadi dasar hukum yang utama. Terkait dengan rumusan
permasalahan, maka Pasal yang berkorelasi adalah Pasal 51 ayat (2) dan Pasal
52. Pasal 51 ayat (2) adalah mengenai fungsi dari wali amanat yang akan
dibahas terlebih dahulu.
Bunyi dari Pasal 51 ayat (2) UUPM adalah:

6
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

“Wali amanat mewakili kepentingan pemegang efek bersifat


utang baik di dalam maupun di luar pengadilan.”2
Pasal 51 ayat (2) dengan jelas mendefinisikan “mewakili kepentingan para
pemegang efek bersifat utang baik di dalam maupun di luar pengadilan”,
sebagai tugas pokok dan tanggung jawab. Apabila “mewakili kepentingan”
merupakan tugas pokok dari seorang wali amanat, maka tidak mungkin hal itu
akan dilimpahkan kepada pihak lain. Karena hal itu akan bertentangan dengan
esensi dan tujuan mengapa peraturan mengenai tugas pokok dan tanggung
jawab itu dibuat pertama kali. Lembaga wali amanat akan kehilangan wibawa
dalam menjalankan fungsinya, apabila ternyata tugas pokok dan kewajiban
tersebut dilimpahkan kepada pihak lain.
Pasal berikutnya adalah Pasal 52 yang menguatkan posisi dari Perjanjian
Wali Amanat sebagai dasar hukum, dalam meninjau legal standing pemegang
efek bersifat utang dalam permohonan PKPU. Pasal 52 berbunyi sebagai
berikut:
“Emiten dan wali amanat wajib membuat kontrak
perwaliamanatan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Bapepam.”3
Bunyi Pasal ini menekankan bahwa pembuatan sebuah Perjanjian Wali
Amanat bukanlah menjadi sebuah hal yang sifatnya pelengkap. Karena di
dalam Pasal tersebut ditekankan dengan sangat jelas bahwa emiten dan wali
amanat diharuskan/berkewajiban untuk membuat kontrak perwaliamanatan.
Sebuah Perjanjian Wali Amanat wajib untuk dibuat oleh para pihak, yang
mencakup pihak wali amanat (yang kelak akan mewakili para kreditor) dengan
pihak emiten (sang penerbit surat utang).

2
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608),
Pasal 51 ayat (2)
3
Ibid., Pasal 52

7
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

Dari segi formil, Perjanjian Wali Amanat terikat dengan Kep-Bapepam


mengenai tata cara formil pembuatan perjanjian tersebut, Namun apabila
ditinjau dari segi materiil, syarat sahnya suatu perjanjian tetaplah berasal dari
syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Kekekuatan mengikat Perjanjian Wali Amanat tersebut juga diatur oleh Pasal
1338 KUHPerdata.
Dalam Pasal 1338 KUHPerdata, dikatakan dalam ayat (1) bahwa:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-
undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”4
Pasal 1338 KUHPer mengatur mengenai sebuah prinsip hukum yang
berlaku universal, yaitu pacta sunt servanda. Asas tersebut memiliki arti bahwa
perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya.
Perjanjian Wali Amanat yang diwajibkan untuk dibuat oleh Pasal 52 UUPM
dalam hal ini memiliki kekuatan yang sama dengan Undang-Undang dan isinya
memiliki kekuatan mengikat sama seperti Undang-Undang.
Pasal 52 UUPM mewajibkan para pihak untuk membuat sebuah Perjanjian
Wali Amanat (PWA). Pasal 52 tersebut juga akan diperkuat dengan asas Pacta
Sunt Servanda yang ada di dalam Pasal 1338 KUHPer, yang mengatakan bahwa
isi dari PWA tersebut berlaku dan isinya mengikat layaknya Undang-Undang
kepada para pihak di dalamnya.
Maka dari itu posisi dan kedudukan Perjanjian Wali Amanat menjadi jelas,
bahwa perjanjian tersebut adalah sebuah kewajiban yang harus dibuat oleh para
pihak (Sesuai dengan amanat Pasal 52 UUPM), memenuhi syarat sahnya
perjanjian (Pasal 1320 KUHPer) dan mengikat para pihak serta berlaku sebagai
undang-undang kepada para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 ayat 1
KUHPer). Kedudukan Perjanjian Wali Amanat dalam hal ini menjadi sumber

4
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/Burgerlijk Wetboek (Staatsblaad No. 23 Tahun
1847), Pasal 1338

8
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

hukum yang utama, dalam konteks adanya lembaga wali amanat di dalam
proses penerbitan surat utang, karena hal tersebut didukung dan bahkan
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
Sumber hukum kedua yang akan digunakan untuk mengkaji rumusan
masaalah adalah Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor: KEP-412/BL/2010 (Kep-Bapepam) tentang Ketentuan
Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang. Kep-Bapepam
tersebut mengatur mengenai tata cara dan pengaturan Perjanjian Wali Amanat
secara formil, khususnya tentang seperti apakah sesungguhnya Perjanjian Wali
Amanat itu harus dibuat. Kep-Bapepam menyebutkan hal-hal apa saja yang
harus ada dalam sebuah Perjanjian Wali Amanat, dan format serta struktur
Perjanjian Wali Amanat secara garis besar.
Terdapat 2 pasal utama di dalam Kep-Bapepam tersebut yang dapat
menjadi tolak ukur kajian utama dalam menganalisis rumusan permasalahan,
yaitu Pasal 1 huruf b angka 1 dan Pasal 4 huruf s angka 2 dari Lampiran Kep-
Bapepam. Kedua Pasal tersebut secara sekilas seperti menjelaskan tentang hal
yang sama, namun apabila ditelisik secara lebih mendalam ternyata keduanya
menjelaskan sesuatu hal dengan konsep yang sama sekali berbeda, dan
perbedaan tersebut akan diuraikan di dalam penulisan jurnal ini.
Pasal pertama yang dapat digunakan untuk meninjau rumusan
permasalahan terdapat dalam Pasal 1 huruf b angka 1 dari Lampiran Kep-
Bapepam yang berbunyi:
“Tugas pokok dan tanggung jawab wali amanat adalah:
1. Mewakili kepentingan para pemegang efek bersifat
utang, baik di dalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan kontrak perwaliamanatan dan
peraturan perundang-undangan”5

5
Indonesia, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-
412/BL/2010 (Kep-Bapepam) tentang Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat
Utang, Pasal 1 huruf b angka 1

9
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

Pasal ini memperkuat fungsi perwakilan dari wali amanat untuk mewakili
kepentingan para kreditor pemegang efek bersifat utang, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya dalam Pasal 51 ayat (2) UUPM. Peraturan Kep-
Bapepam yang bersifat teknis dan berada di bawah Undang-Undang Pasar
Modal ternyata memperkuat isi dari undang-undang dan tersebut dan tidak akan
bertentangan dengannya.
Hal ini sesuai dengan adagium dalam hukum yang berbunyi Lex Superior
Derogate Legi Inferiori, yang berarti bahwa peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi memiliki kekuatan dibanding dengan peraturan perundangan
yang berada di bawahnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan harmonisasi
peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar
Modal pada saat itu (sekarang bernama Otoritas Jasa Keuangan), dalam rangka
pembentukan hierarki perundang-undangan yang bersifat harmoni dan terpadu.
Isi dari peraturan Kep-Bapepam turut berlaku karena tidak bertentangan dengan
peraturan yang ada pada UUPM.
Hal yang menjadi poin menarik dalam Pasal ini adalah mengenai fungsi
perwakilan yang diatur sebagai “tugas pokok dan tanggung jawab” dari sang
wali amanat. Kata kunci di dalam Pasal ini adalah “tugas pokok dan tanggung
jawab”. Tugas pokok apabila ditafsirkan secara gramatikal merupakan “sasaran
utama yang dibebankan kepada organisasi untuk dicapai” 6. Sementara
kewajiban adalah “sesuatu yang diwajibkan atau sesuatu yang harus
dilaksanakan dan merupakan keharusan” 7.
Tugas pokok dan tanggung jawab di dalam Pasal 1 huruf b angka 1 tersebut
merupakan alasan mengapa adanya pembentukan lembaga wali amanat. Tugas
pokok adalah sesuatu yang diamanatkan kepada wali amanat untuk dikerjakan

6
KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring,
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/tugas%20pokok, Diakses tanggal 10 Desember 2019
7
KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kewajiban,
Diakses tanggal 10 Desember 2019

10
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

dan dicapai oleh sang wali amanat tersebut. Sementara kewajiban adalah hal-
hal yang diamanatkan oleh undang-undang atau PWA sebagai sesuatu yang
harus dilaksanakan oleh wali amanat.
Tanpa adanya tugas pokok dan tanggung jawab yang harus diemban, maka
tidak ada alasan untuk membentuk lembaga wali amanat. Suatu tugas pokok
dan tanggung jawab secara khusus dibuat untuk dijalankan oleh wali amanat
dalam melaksanakan proses penerbitan surat utang. Hal ini diatur di dalam
peraturan perundang-undangan yang terkait, seperti Undang-Undang Pasar
Modal dan juga oleh Perjanjian Wali Amanat. Apabila tugas pokok dan
tanggung jawab tersebut tidak diatur atau bahkan dilanggar, pada akhirnya wali
amanat tersebut tidak akan memiliki fungsi karena tidak ada tugas yang harus
dijalankan.
Terkait dengan tugas pokok dan tanggung jawab wali amanat sebagai
lembaga perwakilan, hasil wawancara terhadap Dr. Gunawan Widjaja, S.H.,
M.H., M.KM., MARS., MM. SFarm8., menjelaskan mengenai hal tersebut.
Beliau menjelaskan bahwa ada dua jenis trustee yang dikenal pada konsep trust.
Yaitu trustee dalam bentuk trust ownership dan juga trustee dalam bentuk trust
indenture.
Trust ownership adalah trustee yang menjalankan tugasnya demi
kepentingan beneficiary, namun di waktu yang sama juga turut memiliki benda-
benda yang di bawah penguasaannya. Hak milik dari suatu harta benda tersebut,
berpindah secara sepenuhnya dari sang pemberi trust, yaitu settlor kepada sang
trustee. Hak milik tersebut membuat sang trustee memiliki keleluasaan dan
kewenangan yang sebesar-besarnya untuk mengelola harta benda tersebut demi
kepentingan beneficiary. Beneficiary yang dimaksud adalah para pemegang
efek bersifat utang.

8
Kevin Neil McVey, Wawancara, dengan Dr. Gunawan Widjaja S.H., M.H., M.KM., MARS., MM.
SFarm., (Jakarta: Universitas Tarumanagara, 22 November 2019)

11
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

Sementara dalam trust indenture adalah trustee yang dikenal dalam


penerbitan surat utang, yang dibuat untuk menjadi lembaga perwakilan
kreditor. Trust indenture tidak memiliki harta benda yang ada di bawah
pengurusan/penguasaannya, namun ia tetap memiliki ciri-ciri dari seorang
trustee. Ciri-ciri tersebut adalah ia ditunjuk sebagai pihak yang berhak untuk
mewakili dan mengurus kepentingan dari para beneficiary. Trust indenture lahir
dari perjanjian yang biasanya disebut dengan Indenture, atau lebih spesifiknya
disebut dengan Bond Indenture dalam penerbitan surat utang. Di dalam konsep
hukum Indonesia, Trust Indenture adalah Perjanjian Wali Amanat.
Kedua pasal dari dua sumber hukum yang telah dibahas sebelumnya (Pasal
51 ayat 2 UUPM dan Pasal 1 huruf b angka 1 Kep-Bapepam) menjelaskan
fungsi wali amanat yang sesuai dengan konsep trust indenture. Hal itu
dikarenakan kesamaan antara kedua konsep tersebut yang memiliki tugas utama
untuk mewakili para kreditor pemegang surat utang. Tugas pokok dan tanggung
jawab dari seorang trustee dalam trust indenture adalah mewakili kepentingan
kreditor, dan tugas pokok serta tanggung jawab tersebut telah diakomodasi di
dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 51 ayat 2 UUPM dan Pasal 1 huruf
b angka 1) mengenai wali amanat yang telah dibahas.
Seorang trustee dalam trust indenture pada esensinya memiliki tugas dan
kewenangan sebagai pihak yang mewakili para pemegang efek bersifat utang
dalam proses penerbitan surat utang. Tujuan pembuatan trust indenture adalah
untuk mencapai efisiensi dalam pengurusan hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Karena dalam trust indenture, pengurusan hanya dilakukan oleh satu
pihak yang memiliki kompetensi yang cukup untuk melakukan tugas
perwakilan. Apabila tidak ada pihak wali amanat yang ditunjuk untuk
melakukan tugas perwakilan, maka banyak sekali kesulitan yang akan ditemui
dalam pengurusan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak (pihak emiten
dan kreditor). Maka seorang wali amanat harus ditunjuk untuk melakukan tugas

12
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

dan fungsi perwakilan kreditor, dalam perjanjian trust indenture. Hal itu
ditegaskan dan diatur oleh kedua Pasal yang ada dalam UUPM dan Kep-
Bapepam (Pasal 51 ayat 2 UUPM dan Pasal 1 huruf b angka 1 Kep-Bapepam),
mengenai tugas wali amanat dalam mewakili kepentingan pemegang efek
bersifat utang.
Pasal kedua dari Kep-Bapepam yang digunakan untuk meninjau rumusan
permasalahan adalah Pasal 4 huruf s angka 2. Pasal tersebut berbunyi:
“Wewenang Wali Amanat
1. ...
2. memegang kuasa untuk mewakili pemegang efek
bersifat utang dalam melakukan tindakan hukum yang
berkaitan dengan kepentingan pemegang efek bersifat
utang, termasuk melakukan penuntutan hak-hak pemegang
efek bersifat utang baik di dalam maupun di luar pengadilan
tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari pemegang efek
bersifat utang dimaksud.”9
Dalam Pasal ini dijelaskan mengenai kuasa dan wewenang yang dimiliki
oleh wali amanat dalam melakukan tindakan hukum demi menjalankan tugas
pokok dan kewajiban yang telah diamanatkan kepadanya. Pasal 4 huruf s angka
2 Lampiran Kep-Bapepam dengan jelas menyebutkan bahwa wali amanat
memiliki wewenang untuk memegang kuasa mewakili kepentingan pemegang
efek bersifat utang baik di dalam maupun di luar pengadilan tanpa memerlukan
surat kuasa khusus.
Kata kunci dalam Pasal ini adalah “wewenang”, yang berbeda dengan kata
kunci dalam Pasal 1 huruf b angka 1 yaitu “tugas pokok dan kewajiban”.
Wewenang apabila ditafsirkan secara gramatikal adalah “hak dan kekuasaan
untuk bertindak”10, yang di mana hak tersebut juga dapat ditafsirkan sebagai

9
Indonesia, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-
412/BL/2010 (Kep-Bapepam) tentang Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat
Utang, Pasal 4 huruf s angka 2
10
KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring,
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/wewenang, Diakses tanggal 10 Desember 2019

13
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

“fungsi yang boleh tidak dilaksanakan” 11. Hal ini menegaskan bahwa suatu
tindakan untuk mewakili kepentingan pemegang efek bersifat utang tidak hanya
menjadi tugas pokok dan kewajiban dari wali amanat, namun hal itu juga
menjadi wewenang yang eksklusif dimiliki oleh wali amanat. Wewenang itu
akan membantu wali amanat dalam menjalankan tugas pokok dan
kewajibannya, karena wewenang itu melekat pada diri wali amanat dengan
diatur di dalam peraturan perundang-undangan.
Di dalam Kep-Bapepam tidak diatur mengenai pengecualian terhadap
wewenang tersebut, atau apakah wewenang tersebut dapat dipindahkan kepada
pihak lain selain wali amanat, agar pihak tersebut dapat mempunyai wewenang
untuk melakukan tindakan hukum dalam mewakili kepentingan pemegang efek
bersifat utang. Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa wewenang tersebut
adalah wewenang eksklusif yang hanya dimiliki oleh wali amanat, dan tidak
dapat dimiliki oleh pihak lain. Hal tegas diatur oleh sumber-sumber hukum
terkait, yaitu peraturan perundang-undangan dan juga Perjanjian Wali Amanat.
Sumber hukum yang ketiga adalah Perjanjian Wali Amanat, yang dibuat
oleh para pihak yaitu PT. Tiga Pilar Sejahtera (emiten) dengan PT. Bank Mega,
Tbk. (wali amanat). Perjanjian Wali Amanat ini dibuat karena perintah Undang-
Undang dalam Pasal 52 UUPM dan Pasal 4 Kep-Bapepam yang mewajibkan
para pihak untuk membuat sebuah Perjanjian Wali Amanat.
Kewajiban yang timbul dari Pasal 52 UUPM dan Pasal 4 Kep-Bapepam
tersebut membuat Perjanjian Wali Amanat menjadi sebuah dasar hukum yang
tidak mungkin dikecualikan karena sifatnya yang wajib. Perjanjian Wali
Amanat menjadi sebuah dasar hukum yang sifatnya mandatory dan bukan
complementary. Karena selain peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai peran-peran wali amanat, kewajiban para pihak untuk membuat

11
Ibid.

14
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

sebuah Perjanjian Wali Amanat menjadikannya sebagai salah satu sumber


hukum yang utama.
Dalam kasus yang dibahas dalam penulisan jurnal ini dasar hukum
Perjanjian Wali Amanat (PWA) yang digunakan adalah enam akta PWA yang
dibuat oleh Humberg Lie, S.H., S.E., M.Kn., notaris yang berkedudukan di
Jakarta. Keenam akta tersebut adalah sumber hukum ketiga yang dipakai untuk
meninjau rumusan permasalahan dalam penulisan jurnal ini, keenamnya
mengatur mengenai PWA Obligasi dan Sukuk Ijarah. Keenam akta tersebut
adalah Perjanjian Wali Amanat yang merupakan manifestasi dari kewajiban
yang diperintahkan oleh Pasal 52 UUPM dan Pasal 4 Kep-Bapepam.
Pasal pertama di dalam akta PWA tersebut yang dipakai untuk menjadi
bahan tinjauan rumusan permasalahan adalah Pasal 3.2 (1), yang berbunyi
sebagai berikut:
“3.2 Tugas pokok dan tanggung jawab Wali Amanat adalah:
1. Mewakili kepentingan para pemegang
obligasi/sukuk ijarah, baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan perjanjian perwaliamanatan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara
Republik Indonesia.”
Apabila Pasal ini dilihat secara garis besar, maka isinya kurang lebih sama
dengan apa yang telah diatur dalam Pasal 51 (2) UUPM dan Pasal 1 huruf b
angka 1. Isinya yaitu mengenai tugas pokok dan tanggung jawab wali amanat
dalam mewakili kepentingan para pemegang obligasi/sukuk ijarah baik di
dalam maupun di luar pengadilan. Isi dari PWA ini sesuai dengan isi dari
peraturan perundang-undangan mengenai wali amanat.
Pasal 1337 KUHPer mengatur mengenai ketentuan bahwa sebuah
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
agar dapat dikatakan sebagai sebuah perjanjian yang sah. PWA ini memenuhi
syarat sahnya perjanjian karena isinya tidak bertentangan dengan undang-

15
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

undang, sehingga menjadi perjanjian yang sah dan memiliki kekuatan mengikat
kepada para pihaknya.
Perjanjian Wali Amanat yang dirujuk sebagai salah satu sumber hukum
utama, telah menekankan hal yang sama dengan undang-undang, mengenai
tugas pokok dan tanggung jawab wali amanat untuk mewakili kepentingan
pemegang efek bersifat utang. Maka dari itu, tugas pokok dan tanggung jawab
wali amanat untuk menjadi sebuah lembaga perwakilan telah memiliki fondasi
dasar hukum yang kuat, dengan didukung dua peraturan perundang-undangan
dan juga oleh Perjanjian Wali Amanat.
Pasal yang kedua adalah Pasal 3.5 (2) Akta PWA Obligasi dan Sukuk
Ijarah yang berbunyi sebagai berikut:
“3.5 Wali Amanat berhak dan berwenang untuk:
1. …….
2. Memegang kuasa untuk mewakili pemegang
obligasi/sukuk ijarah dalam melakukan tindakan hukum
yang berkaitan dengan kepentingan pemegang obligasi,
termasuk melakukan penuntutan hak-hak pemegang obligasi
baik di dalam maupun di luar pengadilan tanpa memerlukan
surat kuasa khusus dari pemegang Obligasi dimaksud”
Pasal dalam akta PWA ini juga memiliki isi yang sama dengan Pasal 4
huruf s angka 2 Kep-Bapepam, yang mengatur mengenai kuasa dan wewenang
bagi wali amanat dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai perwakilan.
Apabila Pasal 3.2 (1) PWA telah membahas mengenai tugas pokok wali amanat
untuk mewakili kepentingan para kreditor, maka Pasal 3.5 mengatur mengenai
wewenang yang dimiliki oleh wali amanat, dan hak yang dimilikinya untuk
menjalankan kewenangan tersebut.
Dalam Pasal 3.5 (2), salah satu wewenang yang dimiliki oleh wali amanat
adalah untuk mewakili pemegang obligasi/sukuk ijarah adalah melakukan
tindakan hukum dalam rangka mewakili kepentingan pemegang surat utang.
Hal ini menjadi sebuah kewenangan yang hanya dimiliki oleh wali amanat dan

16
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

dalam hal ini hanya wali amanat sajalah yang berhak untuk menjalankan
kewenangan tersebut sesuai dengan apa yang telah diatur di dalam PWA.
Apabila dikaitkan dengan rumusan permasalahan yang ada, maka akan
dapat disimpulkan bahwa tidak ada pihak lain yang memiliki kewenangan
untuk mewakili kepentingan pemegang efek bersifat utang baik di dalam
maupun di luar pengadilan selain wali amanat. Kewenangan yang berupa kuasa
untuk mewakili serta kewenangan untuk menuntut hak-hak pemegang efek
bersifat utang tidak dimiliki oleh pihak selain wali amanat. Sehingga apabila
ada pihak lain yang mengklaim ia memiliki kewenangan untuk melakukan
tindakan hukum untuk menuntut hak-hak kreditor pemegang efek bersifat utang
(Contohnya adalah pembayaran kupon obligasi), maka pihak tersebut telah
melanggar isi dari undang-undang dan isi dari Perjanjian Wali Amanat.
Tindakan hukum untuk melakukan permohonan PKPU, masuk dalam
kriteria pengaturan Pasal 3.5 (2). Di mana tindakan itu adalah tindakan hukum
yang memerlukan kuasa dari para pemegang efek bersifat utang dan bertujuan
untuk menuntut hak-hak dari pemegang surat utang yang diterbitkan oleh
emiten. Seperti dalam kasus ini, dilakukan oleh PT. Sinarmas Asset
Management (SAM) dan PT. Asuransi Simas Jiwa (ASJ). Keduanya tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan permohonan tersebut karena:
1. Mereka tidak memiliki kuasa dari pemegang efek bersifat utang
lainnya;
2. Kewenangan yang ada di dalam peraturan perundang-undangan
dan Perjanjian Wali Amanat mengatur bahwa kewenangan untuk
mewakili pemegang efek bersifat utang dan melakukan tindakan
hukum di dalam pengadilan hanya dimiliki oleh wali amanat;
3. Perbuatan mereka untuk melakukan tindakan hukum berupa
penuntutan hak pemegang surat utang harus dilakukan oleh pihak
yang berwenang, yaitu wali amanat;

17
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

Dengan melanggar isi dari peraturan-perundang-undangan dan isi dari


perjanjian, hal itu sudah dapat membuktikan bahwa sesungguhnya SAM dan
ASJ tidak memiliki kewenangan untuk mewakili kepentingan para pemegang
efek bersifat utang dan melakukan tindakan hukum untuk menuntut hak-hak
pemegang surat utang. Karena hal itu sudah diamanatkan oleh isi dari undang-
undang dan Perjanjian Wali Amanat, bahwa hanya wali amanat saja yang
memiliki kewenangan demikian, dalam kasus ini wali amanat itu adalah PT.
Bank Mega, Tbk.
Keterikatan SAM dan ASJ kepada Perjanjian Wali Amanat, membuat
mereka tidak memiliki legal standing untuk melakukan tindakan hukum di
dalam pengadilan berupa permohonan PKPU. Karena legal standing itu
merupakan tugas pokok, kewajiban dan wewenang yang dimiliki oleh wali
amanat, dengan persyaratan-persyaratan teknis yang diatur lebih lanjut di dalam
Perjanjian Wali Amanat itu sendiri.
Dalam putusan hakim No. 121/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Jkt.Pst, salah satu
pertimbangan majelis hakim dalam mengabulkan permohonan sang pemohon
adalah karena sang pemohon telah memenuhi syarat-syarat permohonan sesuai
dengan apa yang telah diatur di dalam UUKPKPU. Namun hakim telah lalai
untuk memperhatikan isi dari peraturan perundang-undangan lain yang
mengatur mengenai keadaan kreditor yang memegang surat utang dalam
konteks perdagangan di pasar modal.
Menurut hasil wawancara dengan Dr. Gunawan Widjaja S.H., M.H.,
M.KM., MARS., MM. SFarm12., beliau menjelaskan bahwa dalam proses
penerbitan surat utang, sebuah surat utang diterbitkan dalam bentuk surat utang
besar yang bernama global note. Dalam kasus TPS, global note dari obligasi
sebesar Rp. 600.000.000.000,00 (enam ratus milyar rupiah), dan global note

12
Kevin Neil McVey, Wawancara, dengan Dr. Gunawan Widjaja S.H., M.H., M.KM., MARS., MM.
SFarm., (Jakarta: Universitas Tarumanagara, 22 November 2019)

18
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

dari sukuk ijarah adalah sebesar Rp. 300.000.000.000,00. Membuat total


issuance of global note menjadi sebesar Rp. 900.000.000.000,00 (Sembilan
ratus milyar rupiah).
Global note adalah sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena
dalam perjanjian penerbitan surat utang tersebut, surat utang Rp.
900.000.000.000,00 adalah sebuah kesatuan yang dianggap menjadi satu
kreditor. Pihak yang dimaksud dengan seorang kreditor tersebut adalah wali
amanat sebagai perwakilan dari kreditor, yang belum ada pada pada saat
issuance of global note. Wali amanat pada saat itu membuat perjanjian wali
amanat dengan mewakili para calon kreditor di masa depan dan mengatur
bahwa hanya akan ada satu kreditor (yaitu wali amanat) yang mewakili seluruh
utang (global note) sebesar Rp.900.000.000.000,00.
Argumen hakim hanya dapat dilakukan, apabila ternyata ada modifikasi-
modifikasi terhadap isi teknis dari Perjanjian Wali Amanat tersebut. Bentuk
dari modifikasi itu dengan mencantumkan klausa bahwa “each bond is a
creditor”, maka tiap pemegang surat utang dapat menjadi kreditor yang berdiri
sendiri-sendiri secara mandiri. Klausa-klausa modifikasi ini dapat dicantumkan
dalam Perjanjian Wali Amanat atau perjanjian penerbitan efek bersifat utang.
Hal lain yang dapat dilakukan untuk memodifikasi kedudukan kreditor tersebut
adalah dengan cara pada saat calon kreditor mensubscribe surat utang, ia
menerbitkan perjanjian turunan sehingga ada perjanjian baru yang
menimbulkan keadaan hukum kreditor menjadi seorang kreditor yang berdiri
sendiri. Perjanjian itu berdiri sendiri, sebagai perjanjian accessoir yang
berfungsi untuk memodifikasi kedudukan mereka sebagai kreditor pemegang
surat utang/underlining bond holders.
Apabila kedua modifikasi dalam perjanjian tersebut tidak dilakukan, maka
SAM dan ASJ tidak dapat dikecualikan sebagai kreditor yang berdiri sendiri
dan memiliki hak serta legal standing untuk melakukan permohonan. Biarpun

19
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

UUPKPU mengatur mengenai syarat permohonan secara sederhana, namun


tidak pernah disebutkan di dalam pengaturan UUKPKPU mengenai kreditor
yang terikat dalam suatu hubungan utang-piutang melalui
pembelian/subscribing efek bersifat utang. SAM dan ASJ, masih dianggap
sebagai satu kreditor yang diwakili oleh wali amanat dalam satu issuance of
global note.
Pasal berikutnya di dalam akta PWA yang menjadi tambahan dalam
pembahasan skripsi ini adalah Pasal yang berbunyi:
“9.2 Ketentuan mengenai pernyataan default, yaitu:
Ayat 9.1 huruf a dan b Pasal ini dan keadaan atau kejadian
tersebut berlangsung terus menerus paling lama 14 (empat
belas) hari kerja setelah diterimanya teguran tertulis dari
Wali Amanat sesuai dengan kondisi kelalaian yang
dilakukan, tanpa diperbaiki/dihilangkan keadaan tersebut
atau menghilangkan keadaan tersebut yang dapat disetujui
dan diterima oleh Wali Amanat.”
Dalam pengajuan permohonan kepailitan/PKPU, diwajibkan bahwa
kreditor tersebut telah gagal membayar utang pokok atau cicilannya atau
pembayaran bunga dari utang, utang tersebut harus telah jatuh tempo dan dapat
ditagih sehingga seorang debitor dapat dikatakan gagal bayar/default. Pasal 9.2
PWA Obligasi dan Sukuk Ijarah mengatur secara spesifik mengenai keadaan-
keadaan di mana emiten dapat dikatakan gagal bayar/default. Dikatakan dalam
Pasal tersebut bahwa keadaan lalai/gagal bayar apabila kejadian tersebut
berlangsung terus menerus paling lama empat belas hari setelah kejadian wali
amanat memberikan teguran tertulis kepada emiten bahwa mereka tidak
melaksanakan kewajibannya. Teguran tertulis bukan berasal dari kreditor sang
pemegang surat utang, seperti yang telah dilakukan oleh SAM dan ASJ, namun
harus dari sang wali amanat yang kewenangannya berasal dari Perjanjian Wali
Amanat. Setelah teguran tertulis tersebut dilayangkan kepada sang
emiten/debitor, maka waktu empat belas hari akan diberikan bagi debitor,
sebelum ia dapat dinyatakan default.

20
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

Proses yang harus dilakukan oleh pemegang efek bersifat utang dan wali
amanat sebelum teguran tertulis dapat diberikan kepada emiten, terdapat pada
Pasal 10 akta PWA Obligasi dan Sukuk Ijarah. Pasal tersebut berbunyi:
“Pasal 10
Rapat Umum Pemegang Obligasi/Sukuk Ijarah
h. Mengambil tindakan yang dikuasakan oleh atau atas
nama pemegang obligasi termasuk dalam penentuan potensi
kelalaian yang dapat menyebabkan terjadinya kelalaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Perjanjian
Perwaliamanatan.”
Penentuan potensi kelalaian hanya dapat dilakukan apabila telah melalui
mekanisme pengadaan Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO) dan Rapat
Umum Pemegang Sukuk Ijarah (RUPSI) yang diadakan di antara para
pemegang efek bersifat utang. RUPO dan RUPSI akan mengadakan
pemungutan suara di antara pemegang efek untuk menentukan apakah sang
emiten tersebut telah melakukan gagal bayar kepada para pemegang surat
utangnya. Wali amanat hanya dapat mengambil keputusan apabila ternyata
suara peserta rapat telah memenuhi kuorum pengambilan keputusan sebesar
66%. Apabila ternyata klaim tentang default yang diajukan oleh peserta rapat
tidak memenuhi kuorum sebesar 66%, maka emiten tidak dapat dikatakan telah
melakukan default. Tujuan mengapa dibentuknya suatu persentase suara
minimum dalam mengambil keputusan, agar tindakan hukum yang dilakukan
memang mewakili kepentingan mayoritas dari pemegang efek bersifat utang,
dan tidak hanya kepentingan dari segelintir pemegang surat utang saja.
Dalam hal ini, kedua mekanisme tersebut hanya dapat diadakan oleh wali
amanat. Segala mekanisme mengenai proses penentuan potensi
kelalaian/default di luar mekanisme yang sudah diatur di dalam PWA tidak
dapat digunakan, karena tidak memiliki dasar hukum. Pihak-pihak lain selain
wali amanat juga tidak berhak untuk menyatakan emiten default, karena
kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh wali amanat sesuai dengan
mekanisme yang diatur di dalam PWA.

21
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

SAM dan ASJ tidak menempuh mekanisme apapun yang telah diatur di
dalam Perjanjian Wali Amanat. Sehingga klaim mereka bahwa emiten telah
melakukan default atas pembayaran bunga obligasi dan sukuk ijarah tidak dapat
diterima. Apabila mereka memiliki suatu keluhan terdapat hak mereka yang
tidak diberikan oleh emiten, maka sudah seharusnya SAM dan ASJ mengikuti
mekanisme prosedur yang telah diatur di dalam Perjanjian Wali Amanat dengan
mengusulkan agar diadakan RUPO dan RUPSI untuk mengambil keputusan
tentang hal itu.
Apabila telah diadakan RUPO dan RUPSI, maka baru dapat diputuskan
bahwa emiten benar telah tidak membayarkan sebagian besar bunga kupon
obligasi serta bunga sukuk ijarah. Maka hal itu dapat menjadi dasar bagi wali
amanat untuk memberikan teguran tertulis kepada emiten. Teguran tertulis
tersebut kemudian dapat ditindak lanjuti dengan permohonan PKPU apabila
emiten tidak beritikad baik untuk melaksanakan kewajiban yang seharusnya ia
laksanakan. Karena pernyataan default dari hasil RUPO dan RUPSI tersebut
adalah satu-satunya cara untuk membuktikan di muka pengadilan bahwa sang
emiten tidak melaksanakan kewajibannya, sehingga perlu dilakukan proses
restrukturisasi utang dengan cara PKPU.
Namun semua kewenangan tersebut, baik untuk mengirimkan teguran
tertulis, mengadakan RUPO dan RUPSI, mewakili kepentingan pemegang efek
bersifat utang, menyatakan emiten telah default dan mengajukan permohonan
PKPU adalah wewenang yang hanya dimiliki oleh wali amanat. Wewenang
tersebut tidak hanya timbul karena pengaturan di dalam peraturan perundang-
undangan namun juga berasal dari Perjanjian Wali Amanat, yang merupakan
dasar hukum utama dalam mengatur mengenai kewenangan wali amanat.
Apabila ada pihak lain yang mengajukan semua upaya yang telah disebutkan
tersebut, sudah seharusnya bahwa seluruh perbuatan itu tidak dapat diterima
karena pihak tersebut telah berbuat tanpa kewenangan. Dalam hal permohonan

22
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

PKPU, perbuatan tanpa kewenangan tersebut menyebabkan hilangnya legal


standing untuk mengajukan permohonan.

III. Penutup
Menjawab rumusan masalah, maka dapat disimpulkan bahwa sudah
seharusnya Perjanjian Wali Amanat mempengaruhi legal standing dari
pemegang efek bersifat utang. Legal standing untuk melakukan
permohonan PKPU hanya dimiliki oleh wali amanat, karena hal tersebut
merupakan tugas pokok, tanggung jawab dan kewenangan yang hanya
dimiliki oleh wali amanat berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
PWA. Sumber-sumber hukum tersebut menjelaskan, bahwa undang-undang
dan PWA mengatribusikan tanggung jawab dan kewenangan tersebut
kepada wali amanat dengan tidak memberikan hal tersebut kepada pihak
selain dari sang wali amanat.
Pada kesimpulannya, PT. Sinarmas Asset Management dan PT.
Asuransi Simas Jiwa sesungguhnya tidak memiliki kewenangan untuk
mengajukan permohonan PKPU, karena beberapa hal:
1. Melakukan tindakan hukum di dalam pengadilan bukanlah
tugas pokok dan kewajiban yang mereka miliki dan mereka
tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan hal tersebut;
2. Tidak pernah ada modifikasi yang menyatakan bahwa setiap
kreditor berdiri sendiri (each bond is a creditor), dan tiap
kreditor dapat melakukan tindakan hukum atas surat utang yang
dipegangnya sendiri; dan
3. SAM dan ASJ tidak pernah melakukan prosedur untuk
menyatakan keadaan lalai/default yang diatur di dalam
Perjanjian Wali Amanat, biarpun pada kenyataannya mereka
terikat terhadap perjanjian tersebut.

23
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

Karena ketiga kondisi tersebut tidak pernah ada dalam kasus putusan
Nomor: 121/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Jkt.Pst, maka seharusnya
kewenangan dalam mengajukan permohonan PKPU ke Pengadilan Niaga
harus sesuai dengan apa yang telah diatur di dalam Perjanjian Wali Amanat.
Perjanjian Wali Amanat telah mengatur bahwa kewenangan tersebut hanya
dimiliki oleh wali amanat, dan tidak dapat dimiliki oleh pihak lain selain
wali amanat. Maka dalam kasus ini, PT. Sinarmas Asset Management serta
PT. Asuransi Simas Jiwa tidak memiliki legal standing untuk melakukan
permohonan PKPU, dan legal standing tersebut hanya dimiliki oleh PT.
Bank Mega Tbk sebagai wali amanat.

IV. Daftar Pustaka


A. Peraturan Perundang-undangan:
Indonesia. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor: KEP-412/BL/2010 (Kep-Bapepam) tentang
Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat
Utang (Dokumen vi.c.4, 6 September 2010)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4443)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608)

24
Kevin Neil McVey & Cut Memi
KEDUDUKAN PERJANJIAN WALI AMANAT TERHADAP LEGAL STANDING
PEMEGANG EFEK BERSIFAT UTANG (CONTOH KASUS PUTUSAN
NOMOR: 121/PDT.SUS-PKPU/2018/PN JKT.PST)

Volume 2 Nomor 2, Desember 2019


E-ISSN : 2655-7347

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/Burgerlijke Wetboek


(Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847)

B. Kamus
KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/tugas%20pokok. Diakses
tanggal 10 Desember 2019.
KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kewajiban. Diakses tanggal 10
Desember 2019.
KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/wewenang. Diakses tanggal 10
Desember 2019.

25

You might also like