You are on page 1of 12

Ihdad Bagi Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam (Sebuah Analisis Gender)

IHDAD BAGI PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM


ISLAM (SEBUAH ANALISIS GENDER )

Samsul Arifin, Wismar Ain Marzuki


Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul
Jalan Arjuna Utara No. 9 Kebun Jeruk, Jakarta 11510
samsularifin@gmail.com

Abstract
Woman (wife) has an obligation to implement the waiting period and ihdad, over the death of her
husband, for four months and ten days. During that time, the wife should express his grief with
unadorned, no makeup and does not leave the house. It aims to honor husband's death. When the
prescribed period has expired, there is no prohibition for women to dress themselves, do the
proposal, even hold a ceremony marriage. This study aims to understand ihdad for women in
Compilation of Islamic Law (KHI), using a theori gender analysis. This study also aims to
determine how the Al-Qur’an and the Hadisth set waiting period and ihdad and whether the rule
of Islamic law ihdad in Islamic or customary in Arab society, because 'urf or adat community in
these days, in contrast to the activity of the community at the time of the Qur'an as well as
alSunnah down as the supreme source of law. The method used is library research, the research is
directed and focused to materials research library, which has to do with problems iddah and ihdad.
The results showed that the provisions regarding ihdad in Article 170, Chapter XIX, in accordance
with the provisions of the prescribed period in the Qur'an and Hadith. This is because the
provisions of the mourning period (ihdad), applies not only for women but also for men, although
the shape or manner different. This research also discuss about gender roles associated with Talaq
(divorce) is a provision shari'ah 'that determine expectations on men and women, there is value
manners and legal norms that differentiate the roles of men and women, it means Talaq (divorce) a
period of mourning in KHI unspecified anyone, either eligible male or female.

Keywords: ihdah, KHI, gender

Abstrak
Perempuan (isteri) memiliki kewajiban melaksanakan iddah dan ihdad, karena ditinggal
mati oleh suaminya, selama empat bulan sepuluh hari. Selama masa
itu, isteri hendaknya menyatakan dukanya dengan tidak berhias, tidak bercelak mata
dan tidak keluar rumah. Hal ini bertujuan untuk menghormati kematian suami. Apabila
masa iddah telah habis, maka tidak ada larangan bagi perempuan untuk berhias diri,
melakukan pinangan, bahkan melangsungkan akad nikah. Penelitian ini bertujuan,
untuk memahami ihdad bagi perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), dengan
menggunakan pisau analisis gender. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui
bagaimana al-Qur’an dan Hadits mengatur iddah dan ihdad dan apakah ihdad
merupakan aturan hukum islam dalam islam atau Adat dalam masyarakat Arab, karena
‘urf atau adat masyarakat pada dewasa ini, berbeda dengan aktivitas masyarakat di saat
al-Qur’an serta al- Sunnah turun sebagai sumber hukum tertinggi. Metode penelitian
yang digunakan adalah library research, yaitu penelitian yang diarahkan dan
difokuskan terhadap penelitian bahan-bahan pustaka, yang ada kaitannya dengan
masalah iddah dan ihdad. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan tentang
ihdad dalam pasal 170, BAB XIX, sesuai dengan ketentuan mengenai masa iddah dalam
al-Qur’an dan Hadits. Hal ini karena ketentuan masa berkabung (ihdad), berlaku tidak
hanya bagi perempuan tetapi juga bagi laki-laki, meskipun dengan bentuk atau cara
yang berbeda. Penelitian ini juga membahas tentang peran gender berkaitan dengan
Talaq (bercerai) adalah merupakan ketetapan syari’ yang menentukan harapan-
harapan kepada laki-laki dan perempuan, terdapat nilai tatakrama dan norma hukum

Lex Jurnalica Volume 12 Nomor 3, Desember 2015 212


Ihdad Bagi Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam (Sebuah Analisis Gender)

yang membedakan peran laki-laki dan perempuan, artinya Talaq (bercerai) masa
berkabung dalam KHI terspesifikasi bagi siapapun, baik laik-laki atau perempuan.

Kata kunci: ihdah, KHI, gender

suaminya meninggal dunia. Para ulama


Pendahuluan sepakat bahwa wajib hukumnya
Di era kekinian, ilmu modern telah melaksanakan iddah serta ihdad, bagi
menyatakan bahwa spesialisasi dalam perempuan yang dicerai atau ditinggal
dunia kerja adalah tempat paling baik mati suaminya, yang tujuannya agar
untuk menempatkan profesionalitas dan melihat kondisi perempuan dalam
produktifitas. Agama Islam juga keadaan hamil atau tidak.
menganjurkan umatnya untuk bekerja. Dalam Q.S.2 Ayat (234) ditentukan
Bahkan pahalanya bisa lebih besar dari bahwa Perempuan yang suaminya
pada jihad di jalan Allah SWT. meninggal dunia, iddahnya empat bulan
Dalam rangka mempersiapkan sepuluh hari.7 Kemudian Q.S.33 Ayat (49)
diri untuk menghadapi tantangan Di samping perempuan yang ber-iddah,
zaman, perempuan Islam Indonesia perlu seorang perempuan yang ditinggal
memilih prioritas dan serentetan suaminya juga harus melaksanakan ihdad.
kewajiban dalam Islam, kondisi intelektual Ihdad merupakan suatu kondisi seorang
dan kondisi sosial ekonomi perlu isteri harus menahan diri atau berkabung
mendapatkan prioritas utama agar selama empat bulan sepuluh hari. Selama
seseorang dapat mencapai kualitas standar masa itu, isteri hendaknya menyatakan
terjamin dan terpenuhi hak-haknya dukanya dengan tidak berhias, dengan
dengan baik.3 Sehingga dengan demikian, tidak memakai parfum, tidak bercelak
perempuan Islam Indonesia dapat mata dan tidak boleh keluar rumah. Cara
berperan pada masa kini dan masa ini ditentukan untuk menghormati
mendatang dalam peradaban dunia kematian suami. Apabila masa iddah telah
modern untuk ikut mengisi pembangunan habis, maka tidak ada larangan untuk
nasional dalam rangka pengabdian kepada berhias diri, melakukan pinangan, bahkan
Allah S.W.T. melangsungkan akad nikah.
Tanpa mengurangi eksistensinya, Hal yang mendorong jumhur fuqaha
kiprah perempuan di ranah publik masih untuk mewajibkan ihdad, secara garis besar
menjadi perbincangan. Hal ini tidak bisa didasarkan pada hadits shahih yang
terlepas dari produk-produk warisan diriwayatkan oleh Ummu Salamah r.a.,
kolonial yang menempatkan laki-laki di isteri Nabi S.A.W, sebagai berikut :
atas segalanya dalam setiap permasalahan. ”Telah menceritakan padaku Yahya bin
Kondisi ini didukung pula oleh adat Yahya beliau berkata akan membaca
ketimuran, di mana perempuan selalu dihadapan
tunduk pada aturan-aturan suami. Malik, dari Abdullah bin Abi Bakar, dari
Dalam komunitas pesantren, peran Humaid bin Nafi’ dari Zainab binti Abi
perempuan diatur sedemikian rupa dalam Salamah, dia menberi 3 berita kepada
kajian kitab-kitab klasik (kitab kuning). Humaid, Zainab berkata, aku masuk ke
Sebagai contoh keberadaan perempuan kediaman Ummi Habibah, isteri Nabi
perempuan pekerja) yang ditinggal mati S.A.W, ketika ayahnya yang bernama
oleh suaminya, maka dia wajib Sufyan meninggal dunia, Ummu Habibah
melaksanakan iddah serta memakai wangi-
konsekuensinya, yakni ihdad, iddah wangian berwarna kuning, kemudian
merupakan masa penantian seorang terdapat seorang gadis memakai minyak
perempuan sebelum menikah lagi, setelah dan Ummu Habibah menghalangi untuk
bercerai dari suaminya atau setelah memakainya, kemudian Ummu Habibah

Lex Jurnalica Volume 12 Nomor 3, Desember 2015 213


Ihdad Bagi Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam (Sebuah Analisis Gender)

berkata, demi allah, aku tidak memakai kita berpegang dengan pendapat yang
wangi-wangian pada suatu hajat, tidak mengatakan bahwa berihdad itu wajib
lain ketika aku mendengar Rasulullah hukumnya. Atas dasar hadits tersebut,
bersabda ketika di atas minbar,”tidak boleh beliau juga mengatakan bahwa syarat
seorang perempuan yang beriman ada untuk ber-ihdad adalah iman, sehingga hal
Allah dan hari akhir, yang berihdad atas itu menunjukkan bahwa ihdad juga
kematian seseorang, di atas tiga hari merupakan suatu ibadah. Ihdad
kecuali karena kematian suaminya, dimaksudkan untuk mencegah
selama empat bulan sepuluh hari, pandangan kaum lelaki selama masa iddah
kemudiain Zainab berkata, kemudian aku perempuan, dan demikian pula untuk
berkata kepada Zainab Putri Jakhsyin mencegah perempuan dari memandang
ketika saudara laki-lakinya meninggal kaum lelaki. Hal ini dilakukan dalam
kemudian memakai wangi-wangian, dan rangka menutup jalan kerusakan (sadd al-
mennyentuhnya kemudian berkata demi dzari’ah).
Allah, aku tidak memakai wangi-wangian Membincang tentang ihdad
pada suatu hajat, tidak lain ketika aku perempuan dengan menggunakan analisis
mendengar Rasulullah bersabda ketika di gender setidaknya menjadikan
atas minbar,”tidak boleh seorang mainstream pemikiran seseorang
perempuan yang beriman pada Allah dan terhadap posisi kaum perempuan yang
hari akhir, yang berihdad atas kematian eksis di ranah publik dengan sebuah
seseorang, di atas tiga hari kecuali karena asumsi, apakah figur seorang perempuan
kematian suaminya selama empat bulan akan berubah dari ketentuan terdahulu,
sepuluh hari kemudian Zainab berkata aku yang notabenenya dilatarbelakangi oleh
memdengar Ummu Salamah berkata budaya masyarakat yang tidak begitu
seorang perempuan mendatangi Rasul mempopulerasikan kiprah perempuan
kemudian berkata ya Rasulullah, atau figur seorang perempuan akan
sesungguhnya anak perempuanku berubah dengan munculnya pergeseran
ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan budaya serta kiprah perempuan yang telah
ia mengeluh karena sakit pada kedua di perjuangkan oleh beberapa kalangan.
matanya, bolehkah ia mencelaki kedua Sekaligus pada zaman modern ini,
matanya? Rasulullah menjawab: Tidak perempuan pun pada kenyataannya harus
boleh (2x) atau (3x) yang pada masing- hidup dengan kondisi berbeda, di mana
masingnya beliau menyatakan tidak seorang perempuan banyak mendominasi
boleh. Kemudian beliau berkata: dunia kerja ataupun paling tidak minimal
sesungguhnya iddahnya ialah empat bulan perempuan di era modern banyak yang
sepuluh hari, dan sesungguhnya dahulu eksis di ranah publik untuk dapat
ada seorang diantara kamu yang berihdad memenuhi kebutuhan kesehariannya, baik
selama satu tahun penuh. Humaid keluarga dan saudara, terlebih ketika
berkata aku bertanya pada Zainab, dan perempuan ditinggal mati oleh suaminya
apakah yang dimaksud dari berihdad maka tentu saja bagi perempuan tersebut
selama satu tahun penuh, kemudian Zainab akan mendapatkan
menjawab, bahwa dahulu terdapat seorang tugas ganda dalam keluarganya.
perempuan ketika ditinggal mati Dari sini, telah jelas bahwa
suaminya, dia masuk kerumah kecilnya perempuan, saat sini membutuhkan
dan memakai sandal yang lusuh dan tidak banyak pertimbangan hukum, terutama
memakai wangi-wangian dan tidak pada masa di mana seorang perempuan
memakai apapun hingga melalui satu harus menyelesaikan tugasnya dalam
tahun.” memenuhi kewajiban rumah tangga,
(H.R. Muslim) menjadi tulang punggung keluarga, sebagai
Abu Muhammad mengatakan pengganti suaminya yang telah meninggal
berdasarkan hadits tersebut, maka wajib dunia, sekaligus dalam kondisi perempuan

Lex Jurnalica Volume 12 Nomor 3, Desember 2015 214


Ihdad Bagi Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam (Sebuah Analisis Gender)

tersebut berihdad. Di mana dalam masa beriddahlah di rumah sepupumu,


ihdad seorang perempuan tidak yakni Ibn Ummi Maktum, karena
diperkenankan bersolek dan berhias dia adalah buta matanya,
terlalu berlebihan, sehingga dalam taruhlah pakaianmum di
menyikapi kesenjangan sosial antara laki- rumahnya, dan kalau sudah habis
laki dan perempuan dalam persoalan masa iddahmu, beritahulah aku,
ihdad, maka kaum perempuan yang saat ini Fathimah berkata kemudian
tidak lagi menjadi figur yang aktif pada melamarku beberapa orang, di
wilayah domestik saja, maka diperlukan antaranya Mu’awiyah dan Abu
sekali membincang posisi kaum perempuan alJahm, kemudian Rasul bersabda,
dalam Islam dengan menggunakan analisis sesungguhnya Mu’awiyah adalah
gender. miskin, minim dalam berusaha,
sedangkan Abu al-Jahm adalah
Pembahasan Iddah dan Ihdad laki-laki yang keras terhadap
Para ulama sepakat bahwa iddah itu perempuan (memukul perempuan
wajib hukumnya karena Allah S.W.T. dan yang sejenis dengan hal itu)
berfirman: dan baik bagimu Usamah bin
”Wanita-wanita yang ditalak Zayd”. (H.R
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga Muslim)
kali quru’...” (QS. al-Baqarah: 228) Nabi
S.A.W. bersabda kepada Fatimah binti Berdasarkan ketentuan di atas,
Qais: maka bagi perempuan yang ditinggal mati
“Telah menceritakan kepadaku oleh suaminya, wajib baginya
Ishaq bin melaksanakan iddah serta ihdad, iddah
Mansur menceritakan kepadaku merupakan masa penantian seorang
Abdurrahman dari Sufyan dari Abi perempuan sebelum menikah lagi, setelah
Bakar bin Abi bercerai dari suaminya atau setelah
Jahm berkata, aku mendengarkan suaminya meninggal dunia. Hakikat dari
Fathimah binti Qays berkata iddah tersebut sebagai berikut: “masa yang
suamiku mengutusku yakni Abu harus ditunggu oleh seorang perempuan
Amr, Ibn Hafsh bin Mu’irah Ayyash yang telah bercerai dari suaminya
bin Abi Rabi’ah dengan supaya dapat kawin lagi untuk
mentalakku, mengetahui bersih rahimnya atau untuk
serta melaksanakan perintah Allah”.
mengirimkan lima sho’ kurma Yang dimaksud dengan ihdad
dan lima sho’ gandum, kemudian (masa berkabung) adalah masa di mana
berkata, apakah tidak ada bagiku seseorang harus memiliki rasa, yaitu; 1)
nafkah? mempersiapkan. 2) menata mental. 3)
kecuali menambahkan kesabaran bagi orang yang
benda ini (lima sho’ kurma dan ditinggal. Di mana tiga poin di sini adalah
gandum), dan aku tidak beriddah merupakan ketentuan hukum agar
di seseorang melakukan hal yang sesuai
rumahmu, kemudian Abu Amr dengan (dasar syari’at) dari dasar syari’at
berkata, tidak, Fathimah berkata tersebut antara lain, dengan kompromi,
kemudian mengikat bajuku dan keserasian dan keadilan.
aku menemui Rasullullah,
kemudian Rasul bertanya, berapa
thalaq yang dijatuhkan suamimu? Pandangan Ulama Tentang Ihdad
Aku menjawab, tiga, kemudian Ulama bersepakat terhadap
Rasul bersabda benar, kamu tidak kewajiban ihdad atas seorang perempuan
berhak mendapatkan nafkah pada masa meninggalnya seorang suami,

Lex Jurnalica Volume 12 Nomor 3, Desember 2015 215


Ihdad Bagi Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam (Sebuah Analisis Gender)

yakni dari pernikahan yang sah meskipun (dua orang di antara pengikut Imam Malik).
seorang perempuan belum di dukhul, Tetapi, pendapat keduanya ini juga
adapun dasar dari pernyataan tersebut diriwayatkan oleh keduanya dari Imam
adalah Hadits Nabi Muhammad S.A.W.: Malik, dan orang pengikut Imam
“Menceritakan padaku Muhammad bin Malik juga dikemukakan oleh Imam
al-Mutsanna menceritakan padaku Ja’far, Syafi’i, yakni bahwasanya tidak ada
menceritakan padaku Syu’bah dari Humaid kewajiban ihdad perempuan ahli kitab.
bin Nafi’ berkata aku mendengarkan
Zainab binti Umm Salamah berkata Hikmah Iddah
Hamim (saudara laki-lakinya) Adapun hikmah iddah adalah: 1)
meninggalkan Ummi Habibah, kemudian Untuk mengetahui bersihnya rahim
Umi Habibah memakai wangi-wangian seorang perempuan sehingga tidak
berwarna kuning, kemudian tercampur antara keturunan seseorang dan
mengusapnya dengan dua tangannya, yang lain. 2) Memberi kesempatan kepada
dan Ummi Habibah berkata sesungguhnya suami isteri yang berpisah untuk kembali
aku memakai wangiwangian ini karena aku kepada kehidupan semula jika mereka
mendengarkan Rasulullah S.A.W bersabda menganggap hal tersebut baik. 3)
“Tidak boleh seorang perempuan yang Menjunjung tinggi masalah perkawinan,
beriman kepada Allah dan hari akhir yaitu agar dapat menghimpun orang-
berkabung untuk orang mati kecuali untuk orang yang arif untuk mengkaji
suaminya selama empat bulan sepuluh masalahnya dan memberikan tempo
hari. Dan Ummi Habibah berpikir panjang. Jika tidak diberikan
memberitahukan tentang ibunya dan kesempatan demikian, ia tak ubahnya
tentang Zainab isteri Rasulullah, dan seperti anak-anak kecil bermain, sebentar
tentang seorang perempuan yang lagi dirusaknya. 4) Kebaikan perkawinan
menjadi bagian isteri Rasul.” (HR. Muslim) tidak terwujud sebelum kedua suami
Sebagaimana yang telah disepakati isteri samasama hidup lama dalam ikatan
oleh para Ulama, atas dasar hadits tersebut akadnya.
tidak terdapat masa ihdad bagi laki-laki. Dalam hal ini juga di syari’atkan
Dan atas dasar tersebut menunjukkan beberapa hal tentang ihdad: Menurut
bahwa atas dasar hadits tersebut, maka bagi Imam Taqiyyuddin bin Abi Bakar,
seorang perempuan, tidak terdapat ihdad menyebutkan sebagai berikut: Dalam
yang tertalak raj’iy. Akan tetapi, Imam ihdad seseorang disyari’atkan terhadap
Syafi’y berpendapat bahwa bagi perempuan yang ditinggal mati
perempuan yang tertalak raj’iy sunnah suaminya, adalah karena sebagai
melakukan ihdad jika tidak terdapat konsekuensi logis terhadap ikatan suami
harapan antara suami isteri rujuk kembali. isteri, yang telah dengan sengaja
Imam Malik berpendapat bahwa dibentuk dan untuk beribadah dalam
ihdad diwajibkan atas perempuan rangka melaksanakan legislasi hukum
muslimah dan ahli kitab, baik yang masih yang ditetapkan oleh Allah dengan
kecil maupun sudah dewasa. Mengenai demikian, karena ikatan suami isteri
hamba perempuan yang ditinggal mati oleh adalah sangat suci, maka tidak sah secara
orang tuannya, baik ia sebagai ummul syara’, merusak janji tersebut dengan
walad 50(hamba perempuan yang telah melakukan hal-hal yang menimbulkan
memperoleh anak dari tuannya) atau fitnah dan seorang perempuan ditinggal
bukan, maka menurut Imam Malik, tidak mati suaminya yang kemudian berlebihan
wajib ihdad atasnya. Pendapat ini juga dalam berdandan dan mengenakan
dikemukakan oleh para fuqaha amshar pakaian mewah, sekaligus memakai
(fuqaha negeri-negeri besar). Pendapat wangi-wangian, adalah menujukkan sikap
Imam Malik yang terkenal mengenai ahli tidak baik, karena selain tidak mengikuti
kitab ditentang oleh Ibnu Nafi’ dan Asyhab ketentuan syari’at, di mana diawali

Lex Jurnalica Volume 12 Nomor 3, Desember 2015 216


Ihdad Bagi Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam (Sebuah Analisis Gender)

dengan sebuah kisah yang terwakili oleh g


kisah Ummi Habibah, yang ditinggalkan a
Hamim (saudara laki-lakinya) dan l
kemudian mendengar Rasul S.A.W,
bersabda; “Tidak boleh seorang m
perempuan yang beriman kepada Allah a
dan hari akhir berkabung untuk orang t
mati kecuali untuk suaminya selama i
empat bulan sepuluh hari.” dan juga atas
perempuan yang demikian tidak o
berkabung atau tidak menghormati l
suaminya yang telah meninggal. e
h
Ihdad Perempuan dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) i
Ihdad (berkabung) perempuan yang s
ditinggal mati oleh suami telah diatur t
didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) e
tentang masa berkabung seorang r
perempuan (isteri) yang ditinggal mati i
suaminya, dijelaskan dalam pasal 170, Bab n
XIX, Kompilasi Hukum Islam y
(KHI) tentang ”MASA BERKABUNG”, a
sebagai berikut : ,
a. I
s m
t e
eri yang ditinggal mati oleh l
suami, wajib melaksanakan masa a
berkabung selama masa iddah k
sebagai tanda turut berduka cita u
dan sekaligus menjaga timbulnya k
fitnah. a
b. S n
u
a m
m a
i s
a
y
a b
n e
g r
k
d a
i b
t u
i n
n g
g
m

Lex Jurnalica Volume 12 Nomor 3, Desember 2015 217


Ihdad Bagi Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam (Sebuah Analisis Gender)

e tidak dengan berpijak pada asas kepatutan,


n seorang suami juga mestinya dapat
u menahan diri untuk tidak langsung
r menikah, ketika isterinya baru saja
u meninggal. Hikmahnya tentu saja untuk
t menunjukkan rasa berkabung sekaligus
menjaga timbulnya fitnah.
k Masalah lain yang juga sering
e dikritik adalah menyangkut larangan
p perempuan yang sedang dalam masa
a iddah serta ihdad. Diantara hal yang tidak
t boleh dilakukan adalah larangan keluar
u rumah menurut jumhur ulama fiqih
t selain Madzhab Syafi’i apabila tidak ada
a keperluan mendesak, seperti untuk
n memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-
. hari. Bagi Syafiq Hasyim, larangan ini
menunjukkan bahwa iddah merupakan
suatu bentuk domestifikasi terhadap
Dari sini dapat digambarkan, bahwa kaum perempuan dengan menggunakan
perempuan (isteri) memiliki kewajiban dalil keagamaan. Penantian merupakan
melaksanakan iddah serta ihdad, karena waktu yang menjemukkan bagi
ditinggal mati oleh suaminya selama empat perempuan, karena tidak saja dilarang
bulan sepuluh hari. Hal ini merupakan keluar rumah tetapi juga dilarang berhias
suatu kondisi di mana isteri harus menahan dan mempercantik diri terkhusus bagi
diri atau berkabung selama empat bulan yang ditinggal mati suaminya. Syafiq
sepuluh hari. Selama masa itu, isteri Hasyim memahami ayat tersebut bukan
hendaknya menyatakan dukanya dengan dalam rangka pembatasan gerak
tidak berhias, tidak bercelak mata dan tidak perempuan, tetapi lebih mengacu pada
boleh keluar rumah. Cara ini bertujuan etika, di mana suami dilarang mengusir
hanya untuk menghormati kematian suami. atau mengeluarkan isteri yang dalam masa
Apabila masa iddah telah habis, maka tidak iddah karena hal itu lebih menimbulkan
ada larangan untuk berhias diri, melakukan kemudharatan kepada isterinya.
pinangan, bahkan melangsungkan akad
nikah. Gender dalam Pandangan Al-Qur’an
Dalam konteks isteri yang ditinggal Dalam pandangan al-Qur’an kata
mati oleh suaminya, masa iddah serta ihdad gender tidak disebutkan secara jelas hanya
(berkabung) itu penting dilalui agar tidak saja gender dalam pandangan al-Qur’an
timbul fitnah di masyarakat. Masa ihdad adalah kerap disebut dengan lafadz
sebenarnya adalah wujud dari kesedihan si dzakar, untsa, rijal dan nisa’, sebagaimana
isteri atas musibah yang menimpa dirinya, dalam firman Allah SWT surat an-Nisa’
cukup beralasan di dalam KHI pasal 170, ayat 34, yaitu; ”Kaum laki-laki itu adalah
yang pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena
telah tercantum diatas. Allah Telah melebihkan sebahagian
Kendatipun masa iddah serta mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
ihdad ini dikenakan kepada perempuan, lain (wanita), dan Karena mereka (laki-
tidak berarti suami yang ditinggal mati laki) Telah menafkahkan sebagian dari
isterinya, bebas melakukan pernikahan harta mereka. sebab itu Maka wanita yang
setelah itu. Hukum memang tidak saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
menetapkan berapa lama suami tersebut memelihara diri ketika suaminya tidak
harus menjalani iddahnya, tetapi paling ada, oleh Karena Allah Telah memelihara

Lex Jurnalica Volume 12 Nomor 3, Desember 2015 218


Ihdad Bagi Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam (Sebuah Analisis Gender)

(mereka). Wanita-wanita yang kamu kelebihan atas yang lain, melainkan mereka
khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah saling melengkapi dan bahu-membahu.
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat Perspektif gender dalam al-Qur’an
tidur mereka, dan pukullah mereka. tidak sekedar mengatur keserasian relasi
Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka gender, hubungan laki-laki dan perempuan
janganlah kamu mencaricari jalan untuk dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu al-
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Qur’an juga mengatur keserasian pola relasi
Maha antara mikrokosmos (manusia) dengan
Tinggi lagi Maha besar.” (QS. an-Nisa’: 34) makrokosmos (alam) dan Tuhan. Konsep
Maksudnya : (Laki-laki adalah pemimpin berpasang-pasangan (azwaj) dalam al-
terhadap perempuan, karena Allah telah Qur’an tidak saja menyangkut manusia
melebihkan sebagian laki-laki atas sebagian melainkan juga binatang dan tumbuh-
perempuan), artinya sesungguhnya di tumbuhan. Bahkan kalangan Sufi
antara urusan (kewajiban) laki-laki adalah menganggap makhlukmakhluk
menganyomi, menjaga dan memelihara makrokosmos seperti langit dan bumi dan
perempuan. Konsekuensinya diwajibkan lain sebagainya juga berpasangpasangan.
bagi laki-laki untuk berjihad (bersungguh- Langit diumpamakan dengan suami yang
sungguh dalam hal yang mengayomi dan menyimpan air dan bumi diumpamakan
memberi perhatian kepada perempuan), isteri yang menerima limpahan air yang
karena hal itu merupakan prioritas yang nantinya melahirkan janin atau berbagai
khusus yang harus diberikan kepada tumbuhtumbuhan. Satusatunya yang tidak
perempuan. Dijadikanlah bagian warisan mempunyai pasangan ialah Sang Khaliq
untuk laki-laki lebih dari bagian perempuan Yang Maha Esa.
karena kepada laki-laki diwajibkan Secara umum tampaknya al-
memberikan nafkah, sementara kepada
Qur’an mengakui adanya perbedaan
perempuan tidak dibebankan nafkah.
(distinction) antara laki-laki dan
Menurut Hamka, laki-laki adalah
perempuan, tetapi perbedaan tersebut
pemimpin atas perempuan, karena laki-laki
bukanlah pembedaan (discrimination)
memiliki kelebihan ada pada tenaga dan
yang menguntungkan satu pihak dan
kecerdasan, sehingga laki-laki lebih
merugikan yang lainnya. Perbedaan
bertanggung jawab.
tersebut dimaksudkan untuk mendukung
obsesi al-Qur’an, yaitu terciptanya
Gender dalam Perspektif Islam
hubungan harmonis yang didasari rasa
Menurut golongan konservatif dan
kasih sayang (mawaddah wa rahmah)
budaya, perempuan hanya sebagai ibu
dilingkungan keluarga, sebagai cikal bakal
rumah tangga, mendidik anak dan
terwujudnya komunitas ideal dalam suatu
melayani suami, tidak boleh mempunyai
negeri yang damai penuh ampunan Tuhan
aktivitas di luar rumah, karena hal tersebut
(baldat-un thayibat-un wa rabb-un ghafur).
dalam tugas kaum laki-laki. Padahal sejak
Konsepsi tentang relasi gender
14 abad yang lampau, al-Qur’an telah
dalam Islam mengacu kepada ayatayat
menghapuskan diskrimanasi antara laki-
esensial yang sekaligus menjadi tujuan
laki dan perempuan. Al-Qur’an
umum syari’ah (maqashid alSyari’ah),
memandang sama kedudukan lakilaki dan
seperti mewujudkan keadilan dan
perempuan. Tidak ada perbedaan antara
kebajikan, keamanan dan ketentraman,
laki-laki dan perempuan, kalaupun ada
dan menyeru kepada kebaikan dan
perbedaan, maka itu adalah akibat fungsi
mencegah keburukan. Nilai keadilan,
dan tugastugas utama yang dibebankan
tingkat keamanan, ketentraman, kebaikan
agama kepada masing-masing jenis kelamin
atau keburukan, tentu saja sulit diukur,
melalui ajarannya dalam al-Qur’an dan as-
namun kiranya yang dimaksud di dalam
Sunnah, sehingga perbedaan yang ada tidak
ayat-ayat tersebut ialah nilai-nilai yang
mengakibatkan yang satu merasa memiliki
bersifat universal.

Lex Jurnalica Volume 12 Nomor 3, Desember 2015 219


Ihdad Bagi Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam (Sebuah Analisis Gender)

berkabung dengan cara yang sesuai


Analisis Ketentuan Mengenai Ihdad kepatutan. Sekaligus memberikan pesan
(Masa Berkabung) dan Masa Iddah dalam bahwa bagi seorang yang ditinggalkan,
Pasal 170 ayat (1) dan (2) KHI Sesuai tentunya masa berkabung di atas adalah
Dengan Ketentuan Mengenai Masa Iddah merupakan ihdad bagi laki-laki, di mana
Dalam AlQur’an dan Hadits masa berkabung adalah bertujuan
Mengenai Ihdad (berkabung) nya mempersiapkan, menata mental, serta
perempuan yang ditinggal mati oleh suami menambahkan kesabaran makna kepatutan
dan masa iddah telah diatur dalam ini, adalah belum memiliki kejelasan dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI), tentang masih sangat bersifat umum, yakni apakah
masa berkabung seorang perempuan dari perlakuan, atau dari segi yang lain.
(isteri) yang ditinggal mati suaminya, Oleh karena itu, ulama memberikan
dijelaskan dalam pasal 170 ayat (1) dan penjelasan tentang isi dari makna patut
(2), Bab XIX, Kompilasi Hukum Islam yang penulis kutip dari pandangan ulama
(KHI) tentang ”MASA BERKABUNG”, fiqh, yakni Syaikhu al-Islam Zakariyya al-
sesuai dengan ketentuan mengenai masa Anshary: “Ihdad adalah meninggalkan
iddah dalam Al-Qur’an Surat al-Baqarah mengenakan pakaian yang dirancang,
ayat 234 dan hadits Muslim bin al-Hajjaj untuk berhias, meskipun belum dirapikan
hal 199, sebagai berikut: dan kasar, berdasarkan hadits Nabi yang
diriwayatkan dari Ummi Athiyyah,
a. Isteri yang ditinggal mati oleh
suami, wajib melaksanakan masa sesungguhmya kita dilarang ketika
berkabung selama masa iddah ditinggal mati suami kita, tidak boleh
sebagai tanda turut berduka cita dan seorang perempuan yang beriman kepada
sekaligus menjaga timbulnya fitnah. Allah dan hari akhir berkabung untuk
Dalam menjaga timbulnya fitnah, orang mati kecuali untuk suaminya selama
batasan atau kadar fitnah yang empat bulan sepuluh hari, dengan
dimaksudkan adalah, sebatas se- memakai celak, wangiwangian dan
seorang yang berkabung terhindar dari mengenakan pakaian yang telah dirancang
terjadinya khitbah (meminang) dan meninggalkan dengan hal yang
sebelum masa berkabung usai. disenangi yang digunakan untuk berhias,
seperti permata dan sesuatu yang terbuat
Dalam Teori al-Adah ini, jika suatu dari emas atau perak dan meninggalkan
nash berasal dari adat istiadat atau tradisi memakai wangi-wangian badan ataupun
dan kemudian terdapat tradisi yang baju, meninggalkan mengenakan minyak
kemudian adat berubah maka gugurlah rambut, meninggalkan mengenakan celak
hukum dalam nash tersebut, sebagaimana dengan celak kecuali karena butuh, seperti
dalam konteks ihdad, bahwa dalam KHI sakit mata, maka yang demikian di
secara garis besar adalah menunjukkan perbolehkan, mengenakan celak pada
perempuan (isteri) memiliki kewajiban malam hari, meninggalkan bedakan dan
melaksanakan iddah serta ihdad, karena mewarnai kuku yang tampak, seperti
ditinggal mati oleh suaminya selama empat dengan pacar kuku.” Mengingat
bulan sepuluh hari. pembentukan dari KHI sendiri adalah juga
b. Suami yang ditinggal mati oleh dengan memadukan pandangan Imam dan
isterinya, melakukan masa berkabung Ulama Madzhab, maka ketentuan dalam
menurut Kompilasi Hukum Islam tentang kepatutan
kepatutan seorang perempuan dalam masa
berkabung adalah menunjukkan kondisi di
Pada poin di atas, di mana seorang mana isteri harus menahan diri atau
suami yang ditinggal mati oleh istrinya berkabung selama empat bulan sepuluh
memiliki kewajiban untuk melakukan masa hari. Dan selama masa itu, isteri hendaknya
melakukan masa berkabung dengan tidak

Lex Jurnalica Volume 12 Nomor 3, Desember 2015 220


Ihdad Bagi Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam (Sebuah Analisis Gender)

berhias, tidak bercelak mata dan tidak boleh Daftar Pustaka


keluar rumah. Cara ini bertujuan hanya Abdillah, Abi. Muhammad bin Isma’il bin
untuk menghormati kematian suami. Ibrahim alBukhory. (1981 M/ 1401
Apabila masa iddah telah habis, maka tidak H). Shahih al-Bukhary (Jilid III. Juz
ada larangan untuk berhias diri, melakukan Enam). Beirut, Lebanon: Dar Al-Fikr.
pinangan, bahkan melangsungkan akad
nikah. Abidin, Slamet, Aminuddin. (1999). Fiqih
Munakahat II, Bandung: Pustaka
Kesimpulan Setia.
Ihdad merupakan aturan hukum
Islam karena sudah ditentukan secara Aqiel Siradj, Said. (1999). Islam Kebangsaan
tegas dalam Al-qur’an dan hadits, (Fiqh Demokratik Kaum Santri).
kemudian para ahli merumuskannya Jakarta: Pustaka Ciganjur Fatma
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Press.
tentang masa berkabung seorang
perempuan (isteri) yang ditinggal mati Anwar dan Misbah Musthafa, Syarifuddi.,
oleh suaminya, dijelaskan pasal 170, BAB (1993). Solusi Orang Shalih, (Jilid II).
XIX, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Suarabaya: Bina Iman.
tentang “MASA BERKABUNG”.
Dilihat dari persfektif gender Al-Anshary, Zakariyya. t.t. Fath al-Wahhab.
berkaitan dengan Talaq (bercerai) adalah Juz II. Kediri:
manfaatnya seseorang perempuan dalam Dar al-Ummah.
kondisi ihdad diwajibkan untuk menjaga
diri dari melakukan hal-hal yang mampu Al-Hajjaj, Muslim bin. t.t. Al-Jami’ Al-Sahih.
menimbulkan fitnah. Dalam kehidupan Juz III. Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr.
berelasi dan interaksi dengan yang lain,
terdapat nilai tatakrama dan norma Al-Maktabah al-Syamilah, Mausu’ah al-
hukum yang membedakan peran laki- Fiqhiyyah. (2002).
laki dan perempuan selain jenis, pada Juz II. Maktabah Dar al-Tsaqafah.
masa berkabung ini dalam KHI telah
terdapat mencerminkan kesetaraan Al-Siddieqy, Hasbi. (1980). Pengantar
gender, bahwa bagi laki-laki ataupun Hukum Islam. Jakarta:
perempuan yang ditalaq (bercerai) harus Bulan Bintang.
melakukan masa berkabung.
Dalam teks KHI pasal 170, telah
Al-Salusi, Ali, (guru besar kulliyyah al-
dijelaskan bahwa melakukan masa
Syari’ah wa al-Ushul Universitas
berkabung bagi bagi laki-laki maupun Qatar), al-Maktabah al-Syamilah.
perempuan, dalam teks ini pula dapat (2002). Mausu’ah al-qadzaya
dipahami bahwa antara laki-laki dan al-Fiqhiyyah alMu’asharah. Juz II.
perempuan memiliki nilai atau porsi yang Qatar: Maktabah Dar al-Qur’an.
sama di mata hukum, hanya saja cara atau
kepatutan yang disesuaikan dengan Bengin, Burhan. (2002). Analisis Data
bagiannya masing-masing yang secara garis Penelitian Kualitatif.
besar poin, yang dimaksudkan KHI adalah Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
bagaimana di antara pasangan tersebut
tidak menimbulkan fitnah bagi siapapun,
Chaidrah, Umi. (2003). Resum Tesis Magister
baik Istri
Program Pascasarjana IAIN Sunan
ataupun suami yang ditinggal mati
Ampel. Antologi Kajian Islam (Seri 4).
pasangannya
Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan
Ampel Press.

Lex Jurnalica Volume 12 Nomor 3, Desember 2015 221


Ihdad Bagi Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam (Sebuah Analisis Gender)

Dawud Sulaiman bin al-Ays’ad as-Sajtaini, Lamadhoh, ’Athif. (2007). Fikih Sunnah
Abu. (2003M/1424H). Kitab Sunan Untuk Remaja.
Abi Dawud. Juz I. Jakarta: Cendekia Sentra Musliam.
Beirut. Lebanon: Dar-al-Fikr.
Mufidah Ch. (2003). Paradigma Gender.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Malang: Bayumedia
Agama. Intruksi
Presiden R.I. No 1 Tahun 1991 Mufidah, CH. (2008). Psikologi Keluarga
Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Islam Berwawasan Gender. Malang:
Indonesia. (2000). UIN Press.

Faqih, Mansour. (1996). Menggeser Konsepsi Mufidah, CH. (2009). Pengarusutamaan


Gender dan Transformasi Sosial. Jakarta: Gender pada Basis Keagamaan
Pustaka Pelajar. Pendekatan Islam, Struktural, &
Kontruksi Sosial. Malang: UIN Press.
Forum Kajian Kitab Kuning (FK3). (2003).
Wajah Baru Relasi Suami-Isteri. Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan,
Yogyakarta: LKIS. Amiur. (2004).
Hukum Perdata Islam di Indonesia
Fuad Shalih, Syaikh. (2008). Menjadi Studi Kritis Perkembangan Hukum
Pengantin Sepanjang Masa. Solo: Islam Dari Fikih, UU
Aqwam Media Profetika. No1/1974 Sampai KHI. Jakarta:
Kencana.
Fuad, Mahsun. (2005). Hukum Islam
Indonesia Dari Nalar Parsipatoris Nuruddin, Amin. (1997). Hukum Perdata
Hingga Emansipatoris. Yogyakarta: Islam di Indonesia.
LKIS Pelangi Aksara. Jakarta: Wacana Ilmu.

_______.(2009). Gender dan Islam. Malang: Putry Ali Muhammad, Raihan. (2002).
PSG UIN Maulana Malik Ibrahim. Gender dalam
Perspektif Islam.
Hajar al-Atsqalani, Ibn. t.t. Bulugh al-Maram.
Surabaya: alHidayah. Qaradhawi, Yusuf. (2009). Fiqih Wanita.
Bandung: Jabal.
Hassan, Ahmad. (1991). Tarjamah Bulugh al-
Amaram. Qaradzawi, Yusuf. (1998.) Awamil al-Salah
Bandung: CV. Diponegoro. Wa al-Murunah Fi al-Syar’iyyah Al-
Islamiyah, Terjemah Rifyal Ka’bah,
Ilyas, Yunahar. (2006). Kesetaraan Gender Keluasan dan Keluesan Syari’ah Islam.
Jakarta:
dalam Al-Qur’an.
Minaret.
Yogyakarta: LABDA Press.
Rahman Ghazaly, Abdul. (2003). Fiqh
Jawwad Muhgniyah, Muhammad. (2007).
Munakahat. Jakarta:
Fiqih Lima
Kencana.
Mazhab. Jakarta: Lentera.
Sabiq, Sayyid. (1990). Fikih Sunnah VIII. Terj.
J. Moleong, Lexi. (2002). Metode Penelitian
Moh. Talib.
Kualitatif.
Bandung: al-Ma’arif. Sabiq.
Bandung: Remaja Rosdakarya.

Lex Jurnalica Volume 12 Nomor 3, Desember 2015 222


Ihdad Bagi Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam (Sebuah Analisis Gender)

Shahrur, Muhammad. (2008). Metodogi Fiqih


Sahrani, Sohari & Tihami. (2009). Fikih Islam
Munakahat: Kajian Fikih Nikah Kontemporer. Yoyakarta: Elsaq Press.
Lengkap. Jakarta: Rajawali Press.
Syarifuddin, Amir. (2007). Hukum
Saifullah. (2006). Metodologi Penelitian. Perkawinan Islam di Indonesia Antara
Malang: Buku Panduan Fakultas Fiqh Munakahat dan UndangUndang
Syari’ah, UIN Maliki. Perkawinan. Jakarta: Kencana.
Syihab, Umar. (1996). Hukum Islam dan
Sayyid. (2006). Fiqih Sunnah Jilid 3. Jakarta: Transformasi Pemikiran, (Cetakan 1).
Pena Pundi Aksara. Semarang: Dina Utama.

Soekanto, Soejono. (1986). Pengantar Tahido Yanggo, Huzaemah. (2000).


Penelitian Hukum. Membincang Feminisme Diskursus
Jakarta: UI PRESS. Gender Perspektif Islam. Surabaya:
Risalah Gusti.
Sumbulah, Umi. (2008). Kata Pengantar
dalam Gender dan Demokrasi. Taiqyy Al-din Abi bakar, Imam. (2005).
Malang: Averroes Press. Kifayah al-Akhyar. Beirut Lebanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Yahya dan Fathurrahman, Mukhtar. (1986). Dasar-dasar
Umar, Nasruddin. (2001). Argumen Kesetaraan Jender Pembinaan Hukum Fiqh Islamy.
Bandung: PT. AlPerspektif al-Qur’an. Jakarta: Paramadina. Maarif

Yafie, Ali. (1995). Menggagas Fiqh Sosial. Bandung: Mizan.

Lex Jurnalica Volume 12 Nomor 3, Desember 2015 223

You might also like