You are on page 1of 5

NAMA : SINTA NOPRIANA

NPM : 2002011020

PRODI : HUKUM KELUARGA ISLAM

MK : USHUL FIQH 1

1. Pengertian adat dan urf

Dalam disiplin/literatur ilmu Ushul Fiqh, pengertian adat (al-‘âdah) dan ‘urf mempunyai
peranan yangcukup signifikan. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang diadopsi
ke dalam bahasaIndonesia yang baku. Kata ‘urf berasal dari kata ‘araf yang mempunyai
derivasi kata al-ma‘rûf yang berarti sesuatu yang dikenal/diketahui. Sedangkan kata adat
berasal dari kata ‘âd yang mempunyai derivasi kata al-‘âdah yang berarti sesuatu yang diulang-
ulang (kebiasaan). Dalam pengertian lain ‘urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh
manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau
kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligusdisebut adat. Sedangkan
menurut ahli Syara`‘urf itu sendiri bermakna adat dengan kata lain‘urf dan adat itu tidak ada
perbedaan.‘Urf  tentang perbuatan manusia misalnya, seperti jual beli yang dilakukan
berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan sighat. Untuk ‘urf yang bersifat
ucapan atau perkataan,misalnya saling pengertian terhadap pengertian al-walad, yang lafaz
tersebut mutlak berarti anak laki-laki dan bukan anak wanita.

2. Dasar hukum penggunaan urf

Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqih di Universitas
Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal
banyak menggunakan ‘Urf sebagai landasan hokum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan
malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya,
pada prinspnya mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai
landasan pembentukan hokum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan
pendapat diantara mazhab-mazhab tersebut, sehingga ‘Urf dimasukkan kedalam kelompok
dalil-dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama.1

‘Urf mereka terima sebagai landasan hokum dengan beberapa alasan , antara lain :

1. Surat al-a’raf ayat 199:

Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf 199)2

Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama
Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat.
Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu
yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
1
ibid
2
Op.cit
Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau
tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam
bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyrakat. Tetapi
secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat
kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung (al-mudarabah).
Praktik seperti ini telah berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan
ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan
landasan hokum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.3

3.kaidah fiqqiyah pokok tentang urf

‘Urf Dan Kebiasaan Dijadikan Pedoman Pada Setiap Hukum Dalam Syariat Yang
Batasannya Tidak Ditentukan Secara Tegas Kaidah ini mencakup berbagai aspek dalam
syariat, baik muamalat, penunaikan hak, dan yang lain. Karena penentuan hukum suatu
perkara dalam syariat dilakukan dengan dua tahapan, yaitu :
1. Mengetahui batasan dan rincian perkara yang akan dihukumi
2. Penentuan hukum terhadap perkara tersebut sesuai ketentuan syar’i.
Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah menentukan hukum sesuatu secara
jelas, baik wajib, sunat, haram, makruh, ataupun mubah, juga telah dijelaskan batasan dan
rinciannya, maka kewajiban kita adalah berpegangan dengan rincian dari Allah Azza wa Jalla
sebagai penentu syariat ini. Misalnya, dalam perintah shalat, Allah Azza wa Jalla telah
menjelaskan batasan-batasan dan rincian-rinciannya.
Oleh karena itu, kita wajib berpegang dengan perincian ini. Begitu juga dengan amalan-
amalan lain, seperti zakat, puasa, dan haji, Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya n telah
menjelaskannya secara detail. Sedangkan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
telah mensyariatkan sesuatu, sementara batasan dan penjelasan detailnya tidak disebutkan
secara tegas, maka dalam masalah seperti ini, al-‘urf (adat) dan kebiasan yang telah populer
di tengah-tengah masyarakat bisa dijadikan pedoman untuk menentukan batasan dan rincian
perkara tersebut.
Dalam mengembalikan batasan suatu perkara kepada adat kebiasaan tersebut, terkadang
Allah Azza wa Jalla menyebutkannya secara langsung.
Misalnya, firman Allah Azza wa Jalla tentang perintah kepada para suami untuk
mempergauli isteri dengan baik :
ِ ‫َاشرُوه َُّن بِ ْال َم ْعر‬
‫ُوف‬ ِ ‫َوع‬
Dan bergaullah dengan mereka dengan cara ma’ruf. [an-Nisâ’/4 : 19]

4. Macam-macam urf

Dilihat dari segi sumbernya, 'urf dapat digolongkan menjadi dua macam.
1) 'Urf Qauli, yaitu kebiasaan yang berupa ucapan. Seperti kata "‫ "لحْ م‬yang berarti
daging. Pengertian daging bisa mencakup semua daging, termasuk daging ikan, sapi,
kambing, dan sebagainya. Namun dalam adat kebiasaan, kata daging tidak berlaku
untuk ikan. Oleh karena itu, jika ada orang bersumpah, "Demi Allah, saya tidak akan
makan daging." tapi kemudian ia makan ikan maka menurut adat ia tidak melanggar
sumpah.

3
ibid
2) 'Urf amaly, yaitu kebiasaan yang berupa perbuatan. Seperti, transakasi antara penjual
dan pembeli tanpa menggunakan akad. Dilihat dari ruang lingkup penggunaannya,
'urf juga dibagi menjadi dua macam.
1). 'Urf Am (Umum), yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana saja hampir di
seluruh penjuru dunia tanpa memandang negara, bangsa, dan agama. Contohnya,
menganggukkan kepala pertanda setuju dan menggelengkan kepala pertanda menolak,
mengibarkan bendera setengah tiang menandakan duka cita untuk kematian orang yang
dianggap terhormat.
2). 'Urf khas (Khusus), yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang di tempat
tertentu atau pada waktu tertentu dan tidak berlaku di sembarang waktu dan tempat.
Umpamanya adat menarik garis keturunan melalui garis ibu atau perempuan (matriliniel) di
Minangkabau atau melalui bapak (patrilineal) di kalangan suku Batak. Bagi masyarakat
umum, penggunaan kata budak dianggap menghina, karena kata itu berarti hamba sahaya.
Tapi bagi masyarakat tertentu, kata budak biasa digunakan untuk memanggil anak-anak.

5. syarat-syarat urf dapat ditetapkan sebagai sumber hukum

Abdul Karim Zaidan menyebutkan beberapa persyaratan bagi al-‘urf yang bisa dijadikan
landasan hukum, yaitu:

1. Al-‘Urf itu harus termasuk al-‘urf yang sahih dalam arti tidak bertentangan dengan ajaran
al-Qur’an dan sunah Rasulullah saw.

2. Al-‘Urf itu harus bersifat umum dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas
penduduk negeri itu.4

3. Al-‘Urf telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya
al-‘urf itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.5

4. Al-‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu
transaksi.6

5. Al-‘Urf tidak berlaku dalam masalah ibadah mahdah.7

6. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemaslahatan termasuk di


dalamnya tidak member kesempitan dan kesulitan.8

7. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak al-‘urf
tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah sepakat untuk tidak terikat dengan
kebiasaan yang berlaku umun, maka yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan al-‘urf.
Misalnya, adat yang berlaku di masyarakat, istri belum boleh dibawa oleh suaminya pindah
dari rumah orang tuanya sebelum melunasi maharnya, namun ketika berakad kedua belah
pihak telah sepakat bahwa sang istri sudah boleh dibawa oleh suaminya tanpa ada persyaratan

4
Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqih (Cet. III; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 156.

5
Sidi Nazar, op. cit., h. 238.

6
Nasrun Haroen, op. cit., h. 144.
7
H. A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh (Cet. I; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), h. 187.
8
ibid
lebih dahulu melunasi maharnya. Dalam masalah ini, yang dianggap berlaku adalah
kesepakatan bukan adat yang berlaku.9

8. Adat atau al-‘urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat, seperti kebiasaan istri
yang ditinggal mati suaminya dibakar hidup-hidup bersama pembakaran jenazah suaminya.
Meski kebiasaan itu dinilai baik dari segi rasa agama suatu kelompok, namun tidak dapat
diterima oleh akal sehat.10

6. Mentakhsis dan mentasqyid nas umum dengan urf menurut ulama

Di antara syarat-syarat „urf di atas yang perlu mendapatkan perhatian adalah


syarat keempat, yakni bahwa „urf itu tidak bertentangan/berlawanan dengan nash. Untuk
menentukan berlawanan atau tidaknya, perlu pengkajian yang mendalam. Hal
ini antara lain dapat dilihat ketika berhadapan dengan adat kebiasan yang ada di Jawa tentang
kewarisan misalnya. Adat kebiasaan di Jawa tentang hukum kewarisan menentukan bahwa
hibah orang tua kepada anak merupakan pewarisan yang dilakukan pada waktu orang tua
masih hidup dan anak yang pernah menerima pemberian orang tua, tidak menerima warisan
dari harta peninggalan orang tuanya,kecuali menurut perhitungan, dia menerima tidak lebih
dari yang mestinya ia terima sebagai bagian kewarisan. Apabila ketentuan adat kebiasaan ini
dihadapkan dengan hukum waris Islam, yang membedakan antara hibah dan warisan,
sepintas lalu, adat kebiasaan tersebut bertentangan dengan hukum Islam. Akan tetapi,apabila
masalah ini diteliti secara cermat, ternyata Nabi SAW sendiri memerintahkan agar para orang
tua berlaku adil dalam memberi hibah kepada anak-anaknya.11

7. kehujjahan urf

Para ulama berpendapat bahwa 'urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan
mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan.

Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk


Madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber
hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’.

Imam Safi’i terkenal dengan Qoul Qadim dan Qoul Jadid-nya, karena melihat praktek yang
brelaku pada masyarakat Bagdad dan Mesir yang berlainan. Sedangkan 'urf yang fasid tidak
dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syarat nash maupun ketentuan
umum nash.

8. Relefan urf dalam ijtihad masa kini dan datang

Pada waktu yang sama, umat Islam diingatkan oieh orientasi modernitas seperti dijelaskan
sebelumnya, yang cenderung menganut instrumental logic dan bukan substan tive logic.
Instrumental logic cenderung membawa umat kearah berpikir positifistik,materi siistik, dan
pragmatik, yakni satu pola hidup yang cenderung memikirkan kepentingan sesaat. Sementara
substantive logic cenderung membawa umat kearah kehidupan yang lebih bermakna dengan
orientasi kehidupan masa datang dan jangka panjang (akhirat) tanpa melupakan kehidupan

9
Satria Efendi M. Zein, op. cit., h. 157.
10
Amir Syarifuddin, op. cit., h. 376.
11
Ahmad Azhar Basyir, Masalah Kedudukan Anak Laki-Laki dan Perempuan dalam Hukum Kewarisan Islam, (Yogyakarta:
Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1988), 53.
saat ini dandi sini (dunia). Dalam konteks aplikasi ijtihad, kedua model logika ini meiahirkan
perdebatan serlus menyangkut tank menarik antara al-why yang dipandang absolut dan tetap
dengan a-'aqi atau al-ra'y yang dipandang nisbi dan relatif, dan secara metodologis terefieksi
dalam dua model pendekatan: normatif dan empiris. Pendekatan normatif-fliosofis-deduktif
{Hahiyyah, theocentris, theological transcenden talism) cenderung didominasi oieh
Aristotalian logic yang bercirikan dichotomous logic atau inpairs of dichotomies, yang
kemudian dikenal dengan prinsip etemalistic-absolutistic-spiritu-alistic-logic. Dengan model
logika demikian maka proses ijtihad cenderung mendekati masaiah secara hitam-pulih, benar-
salah, haiai- haram dan yang semacamnya, atau secara ringkas berpoia pikir diadik (halal-
haram) atau paling mungkin juga secara trladik (halal-haram-syubhat). Dengan pola
demikian, maka ijtihad bisa dilihat sebagai kaku, sempit, dan menolak nuansa-nuansa yang
berada di luar dua/tiga kutub ekstrem tersebut. Secara metaforik, Muhammad Syahrur
memandang para mujtahid yang berpikir demikian bagaikan parapemain sepakboia yang
bermain padadan hanya di atas garis batasiapangan dengan tidak memanfaatkan lapangan
yang berada diantara garis batas yang justru amat luas

You might also like