Professional Documents
Culture Documents
Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perkosaan Dengan Sarana: Penal Dalam Rangka Melindungi Perempuan
Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perkosaan Dengan Sarana: Penal Dalam Rangka Melindungi Perempuan
Abstract
Rape is one of the criminal acts regulated in the Criminal Code as stated in Article 285. When viewed from
the formulation, the crime of rape stipulated in the provision is included in the type of formal crime. Article 285
of the Criminal Code has set limits on the meaning of rape and its elements but is not given an explanation
of the meaning of each of these elements. Therefore, the granting of the meaning of each element of criminal
acts of rape is seen in the doctrine and practice of criminal justice that has occurred so far. In its development,
handling effort to criminal acts of rape by means of penal (criminal law) experienced a shift in the form of
expanding the meaning of elements of “violence or threat of violence” as can be seen in the decision number:
410/Pid.B/2014/PNBgl. This element is not only classically interpreted, but also includes the persuasion
accompanied by false promises. In the context of the protection of women, the decision should be appreciated
and should be used as a reference by the judge in handling the same case even though it was not followed by
the High Court and the Supreme Court. The expansion of the meaning of “violence or threat” as an element of
criminal acts of rape can also be used as input for reforming criminal law in Indonesia.
Abstrak
Perkosaan merupakan salah satu tindak pidana yang diatur dalam KUHP sebagaimana dicantumkan dalam
Pasal 285. Apabila dilihat dari perumusannya, maka tindak pidana perkosaan yang diatur dalam ketentuan
itu termasuk ke dalam jenis tindak pidana formil. Pasal 285 KUHP telah memberikan batasan pengertian
tindak perkosaan dan unsur-unsurnya, namun tidak diberikan penjelasan mengenai makna dari masing-
masing unsur tersebut. Oleh karena itu, pemberian makna masing-masing unsur tindak pidana perkosaan
dilihat pada doktrin dan praktik peradilan pidana yang terjadi selama ini. Dalam perkembangannya, upaya
penanggulangan tindak pidana perkosaan dengan sarana penal (hukum pidana) mengalami pergeseran
berupa perluasan makna unsur “kekerasan atau ancaman kekerasan” sebagaimana dapat dilihat dalam
putusan nomor: 410/Pid.B/2014/PN.Bgl. Unsur itu tidak hanya dimaknai secara klasik, namun termasuk
juga didalamnya bujuk rayu yang disertai janji-janji palsu. Dalam rangka perlindungan perempuan, putusan
itu patut diapresiasi dan seyogyanya dijadikan rujukan oleh hakim dalam menangani perkara yang sama
walaupun tidak diikuti oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Perluasan makna “kekerasan atau
ancaman” sebagai salah satu unsur tindak pidana perkosaan juga dapat dijadikan sebagai bahan masukan
pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
321
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 15 No.4 - Desember 2018 : 321-329
1 Sudarto mengemukakan bahwa kejahatan (rechtsdelicten) adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan,
terlepas apakah perbuatan itu dicancam dalam suatu undang-undang atau tidak. Sudarto, 2013, Hukum pidana I,
Semarang: Penerbit Yayasan Sudarto, hal. 94.
2 Istilah kejahatan mengenai kesopanan digunakan oleh Wirjono Prodjodikoro. Lihat Wirjono Prodjodikoro, 2010,
Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, hal. 111.
3 Istilah kejahatan terhadap kesopanan digunakan oleh R. Soesiolo. Lihat R. Soesilo, 1995, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, hal. 204.
4 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2009, Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan,
Jakarta: SInar Grafika, hal. 1.
5 Wirjono Prodjodikoro, op.cit, hal. 112.
322
Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perkosaan ... (Ramiyanto Waliadin
323
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 15 No.4 - Desember 2018 : 321-329
sebaiknya, kualifikasi tindak pidana dari Pasal 285 dilakukan di dalam perkawinan mungkin dianggap
KUHP harus perkosaan untuk bersetubuh. 10
bukan cabul sehingga diperbolehkan seperti hal
Lebih lanjut Wirjono Prodjodikoro juga bersetubuh. Apabila demikian, maka perumusan
mengemukakan bahwa perkosaan yang dimaksud Pasal 289 KUHP sebenarnya kurang tepat.13
dalam Pasal 285 KUHP mirip dengan tindak pidana Menurut P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang,
yang diatur oleh Pasal 289 KUHP dengan kualifikasi
11
tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal
penyerangan kesusilaan dengan perbuatan (feitelijke 285 KUHP hanya mempunyai unsur-unsur objektif
aanranding der eerbaarheid). Menurut komentar sebagai berikut:14
para penulis Belanda, perbuatan yang dipaksakan 1) Barangsiapa;
2) Dengan kekerasan atau;
dalam Pasal 289 KUHP (perbuatan cabul) merupakan
3) Dengan ancaman akan memakai
pengertian umum yang meliputi perbuatan bersetubuh kekerasan;
dari Pasal 285 sebagai pengertian khusus. Perbedaan 4) Memaksa;
lain dari kedua tindak pidana tersebut adalah sebagai 5) Seorang wanita (perempuan);
6) Mengadakan hubungan kelamin di
berikut:12
luar perkawinan;
1) Perkosaan untuk bersetubuh hanya
7) Dengan dirinya.
dapat dilakukan oleh seorang laki-
laki terhadap seorang perempuan, Walaupun dalam rumusannya, undang-undang
sedangkan perkosaan untuk cabul tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur
dapat juga dilakukan oleh seorang kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan
perempuan terhadap seorang laki-laki;
perbuatan yang dilarang di dalam Pasal 285 KUHP,
2) Perkosaan untuk bersetubuh hanya
dapat dilakukan di luar perkawinan tetapi dengan dicantumkannya unsur memaksa di
sehingga seorang suami boleh dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam
saja memperkosa istrinya untuk Pasal 285 KUHP, kiranya sudah jelas bahwa tindak
bersetubuh, sedangkan perkosaan
pidana perkosaan seperti yang dimaksudkan dalam
untuk cabul dapat juga dilakukan
di dalam perkawinan sehingga tidak Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja.
boleh seorang suami memaksa Oleh karena itu, unsur kesengajaan tersebut harus
istrinya untuk cabul atau seorang istri dibuktikan oleh penuntut umum maupun hakim di
memaksa istrinya untuk cabul.
sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili
Perbedaan yang kedua tidak begitu logis
perkara pelaku yang oleh penuntut umum telah
karena justru pengertian cabul lebih luas daripada
didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal
bersetubuh. Dengan demikian, seorang suami
285 KUHP.15
tidak boleh memaksa istrinya, misalnya memegang
Untuk dapat menyatakan seseorang terdakwa
kemaluan suami, namun boleh memaksa istrinya
yang didakwa melanggar larangan yang diatur dalam
untuk bersetubuh. Hal itu juga sesuai dengan
Pasal 285 KUHP terbukti mempunyai kesengajaan
pendapat Noyon-Langemeyer bahwa ada perbuatan
melakukan tindak pidana perkosaan, di sidang
yang hanya merupakan perbuatan cabul apabila
pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara
dilakukan di luar perkawinan, dan tidak apabila
terdakwa, baik penuntut umum maupun hakim harus
dilakukan di dalam perkawinan. Jadi, dalam contoh
dapat membuktikan tentang:16
tersebut, perbuatan yang dipaksakan karena
324
Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perkosaan ... (Ramiyanto Waliadin
325
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 15 No.4 - Desember 2018 : 321-329
gewekt, dat daardoor werkelijk een orang yang menerima kekerasan terpaksa menerima
min of meer ernstige inbreuk wiordt segala sesuatu yang akan diperbuat terhadap dirinya
gemaakt op zijn persoonlijke vrijheid
(walaupun bertentangan dengan kehendaknya), atau
(Bahwa ancaman itu harus diucapkan
dalam suatu keadaan yang demikian melakukan perbuatan sesuai atau sama dengan
rupa, sehingga dapat menimbulkan kehendak orang yang menggunakan kekerasan yang
kesan pada orang yang diancam, bertentangan dengan kehendaknya sendiri. Sifat
bahwa yang diancamkan itu benar-
kekerasan itu sendiri adalah abstrak, maksudnya
benar akan dapat merugikan
kebebasan pribadinya); wujud konkret dari kekerasan bermacam-macam
2) Dat des daders wil is gericht op het dan tidak terbatas, misalnya memukul dengan kayu,
teweengbrengen van die indruk menempeleng, menendang, menusuk dengan pisau,
(Bahwa maksud pelaku memang telah
dan lain sebagainya.22
ditujukan untuk menimbulkan kesan
seperti itu). Selanjutnya Adami Chazawi berpendapat bahwa
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang yang dimaksud dengan ancaman kekerasan adalah
mengemukakan bahwa arrest-arrest Hoge Raad ancaman kekerasan fsik yang ditujukan pada
tersebut belum memberikan penjelasan tentang apa orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan
yang dimaksud dengan ancaman dengan kekerasan fisik, dimana perbuatan fsik tersebut dapat berupa
atau ancaman akan memakai kekerasan karena perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik
arrest-arrest itu hanya menjelaskan tentang cara yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan,
ancaman harus diucapkan. Kekerasan merupakan yang akan dan mungkin segera dilakukan atau
perbuatan atau tindakan yang dilakukan dengan diwujudkan jika ancaman itu tidak membuahkan
memakai tenaga badan yang sifatnya tidak terlalu hasil seperti yang diinginkan pelaku.23
ringan (kuat), namun dapat juga dilakukan dengan Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa
memakai sebuah alat (tanpa tenaga badan), seperti unsur “kekerasan” dalam Pasal 285 KUHP dimaknai
menembak dengan sepucuk senjata api, menjerat sebagai perbuatan (tindakan) yang dilakukan baik
leher dengan seutas tali, menusuk dengan sebihlah dengan menggunakan tenaga badan maupun
pisau, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, yang menggunakan alat, seperti pistol, pisau, tali, dan lain
dimaksud dengan ancaman kekerasan adalah sebagainya. Kemudian unsur “ancaman kekerasan”
suatu ancaman, yang apabila yang diancam tidak dalam Pasal 285 KUHP dimaknai sebagai perbuatan
bersedia memenuhi keinginan pelaku untuk mengancam akan menggunakan kekerasan itu apabila
mengadakan hubungan kelamin dengannya, maka seorang perempuan tidak mau menurut kehendak
ia akan melakukan sesuatu yang dapat merugikan pelaku untuk bersetubuh dengannya. Kekerasan baru
kebebasan, kesehatan, keselamatan nyawa orang dilakukan oleh pelaku, apabila ancamannya tidak
kekerasan dalam pengertian Pasal 285 KUHP dapat Kekerasan itu bersifat abstrak, sehingga dalam
didefnisikan sebagai suatu cara atau upaya berbuat praktik bentuknya berbeda-beda.
(sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain Berdasarkan penelitian terhadap beberapa
yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan putusan pengadilan terkait tindak pidana perkosaan,
menggunakan kekuatan badan yang besar yang maka ditemukan bentuk-bentuk kekerasan dan
mengakibatkan orang lain itu menjadi tidak berdaya ancaman kekerasan yang digunakan oleh pelaku
secara fisik. Dalam keadaan yang tidak berdaya itulah, yang dapat dilihat pada tabel berikut:24
21 Ibid.
22 Adami Chazawi, 2007, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: RajaGrafndo Persada, hal. 65.
23 Ibid .
24 Anugerah Rizki Akbari, et.al., 2016, Reformasi Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan, Depok: Masyarakat Pemantau
Peradilan Indonesia dan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia atas dukungan Australia Indonesia
Partnership for Justice, hal. 36-38.
326
Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perkosaan ... (Ramiyanto Waliadin
unsur “kekerasan atau ancaman kekerasan” dalam putusan pengadilan tinggi tersebut dikuatkan oleh
Pasal 285 KUHP diperluas maknanya yang dapat Mahkamah Agung melalui putusannya Nomor: 786
PN.Bgl. Unsur itu oleh majelis hakim tidak hanya Menurut penulis, putusan Pengadilan Tinggi
dimaknai secara klasik, namun termasuk di dalamnya Bengkulu Nomor: 12/Pid.B/2015/PT.Bgl yang
perbuatan bujuk rayu yang disertai janji-janji palsu dikuatkan oleh putusan Nomor: 786 K/Pid/2015
agar korban (seorang perempuan) mau bersetubuh kurang tepat karena unsur “memaksa” diliputi oleh
dan menyerahkan keperawanannya. Bujuk rayu unsur “kekerasan atau ancaman kekerasan”. Oleh
dan janji-janji palsu dapat menyebabkan korban karena itu, untuk menyatakan korban terpaksa
menjadi tidak berdaya untuk menolak keinginan disetubuhi oleh pelaku harus diuraikan terlebih
pelaku, sehingga mau tidak mau (terpaksa) korban dahulu mengenai bentuk kekerasan atau ancaman
menuruti kehendak atau keinginan pelaku untuk kekerasan. Dalam konteks tindak pidana perkosaan
bersetubuh di luar perkawinan. yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, paksaan baru
Erik Saut H. Hutahean mengemukakan bahwa ada apabila didahului kekerasan atau ancaman
perbuatan melakukan hubungan seksual dengan kekerasan. Tanpa kekerasan atau ancaman
perempuan yang bukan istrinya dapat mengarahkan kekerasan, maka persetubuhan yang terjadi tidak
sebuah tindakan hubungan seksual sebelum menikah dapat dikategorikan sebagai tindak perkosaan karena
jika didukung oleh adanya fakta bahwa korban Pendapat penulis tersebut juga sesuai dengan
memberikan penolakan terhadap ajakan dari pendapat Lamintang dan Theo Lamintang bahwa
pelaku (sexual refuse). Selanjutnya korban dibujuk, perbuatan memaksa dapat dilakukan dengan
apabila hubungan seksual terjadi dan tidak dapat perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan.
Perbuatan membuat seorang perempuan menjadi
327
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 15 No.4 - Desember 2018 : 321-329
terpaksa bersedia mengadakan hubungan kelamin, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Hal itu
harus dimasukkan dalam pengertian memaksa selaras dengan tujuan pembentuk undang-undang
seorang perempuan mengadakan hubungan kelamin, mengatur tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285
walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang KUHP, yaitu untuk melindungi kaum perempuan
dikenakan oleh perempuan itu adalah perempuan sebagai korban tindak perkosaan. Dengan adanya
itu sendiri. Dalam hal ini kiranya sudah jelas bahwa perluasan makna “kekerasan atau ancaman
keterpaksaan perempuan tersebut harus merupakan kekerasan” sebagai salah unsur tindak pidana
akibat dari dipakainya kekerasan akan dipakainya perkosaan yang ditentukan Pasal 285 KUHP, maka
ancaman akan memakai kekerasan oleh pelaku atau perempuan yang mendapat perlindungan cakupannya
oleh salah seorang dari para pelaku. 26
Hal itu juga lebih luas.
didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar Pertanyaannya adalah “Berapa kali persetubuhan
putusan pengadilan membuktikan unsur “dengan yang terjadi akibat bujuk rayu dan janji-janji palsu,
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa sehingga pelakunya dapat dikenakan ketentuan
seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar tindak pidana perkosaan yang dimaksud dalam
perkawinan” secara keseluruhan. 27
Pasal 285 KUHP?”. Penulis berpendapat bahwa
Berdasarkan uraian di atas, maka dapatlah persetubuhan yang terjadi akibat bujuk rayu yang
dipahami bahwa upaya penanggulangan tindak disertai janji-janji palsu harus terjadi yang pertama
pidana perkosaan dengan sarana penal telah kalinya. Apabila persetubuhan akibat bujuk rayu yang
mengalami pergeseran berupa perluasan makna disertai janji-janji palsu terjadi lebih dari 1 (satu) kali,
unsur“kekerasan atau ancaman kekerasan” yang maka tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
ditentukan dalam Pasal 285 KUHP. Unsur itu tidak perkosaan sehingga tidak dapat diterapkan Pasal 285
hanya dipahami dalam maknanya yang klasik, yaitu KUHP. Persetubuhan tersebut yang terjadi lebih dari 1
perbuatan dengan menggunakan tenaga badan (fisik) (satu) kali, maka berarti bukanlah atas dasar paksaan
dan alat atau ancaman menggunakan kekerasan yang didahului kekerasan atau ancaman kekerasan.
tersebut, namun termasuk juga di dalamnya Dengan kata lain, apabila persetubuhan tersebut
perbuatan bujuk rayu yang disertai janji-janji palsu. sudah dilakukan berulang kali, maka menjadi hilang
Bujuk rayu dapat dikategorikan sebagai membujuk sifat memaksa dari pelaku dalam upaya mengajak
dan pengucapan janji-janji palsu dapat dikategorikan korban bersetubuh. Oleh karena itu, seseorang yang
sebagai kebohongan. Bujuk rayu yang disertai janji- telah berulang kali menyetubuhi perempuan tanpa
janji palsu dapat juga menjadi alat untuk memaksa adanya paksaan, tidak dapat dikategorikan sebagai
perempuan untuk bersetubuh. Dengan kata lain, pelaku tindak pidana perkosaan sehingga tidak dapat
perempuan yang dibujuk rayu yang disertai janji- dikenakan sanksi yang dimaksud Pasal 285 KUHP.
janji palsu oleh kekasih (pacar) dapat menjadi tidak
C. Penutup
berdaya, sehingga mau tidak mau (terpaksa) menuruti
kehendak pelaku untuk bersetubuh. Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat
Dalam rangka melindungi perempuan, perluasan disimpulkan bahwa pengaturan tindak pidana
makna “kekerasan atau ancaman kekerasan” sebagai perkosaan dicantumkan dalam Pasal 285 KUHP.
salah satu unsur tindak pidana perkosaan yang Apabila dilihat dari perumusannya, maka termasuk
dimaksud Pasal 285 KUHP patut untuk diapresiasi ke dalam jenis tindak pidana formil karena lebih
dan seyogyanya menjadi rujukan aparat penegak menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang.
hukum pidana (terutama hakim) ketika menghadapi Pasal 285 KUHP telah jelas mengategorikan tindak
kasus perkosaan yang serupa walaupun tidak diikuti pidana perkosaan. Walaupun demikian, pembentuk
25 Erik Saut H Hutahaean, Bersetubuh dengan Pacar : Perkosaan sebagai Pembuktian Sayang, Makalah disampaikan
dalam Seminar Asean 2nd Psychology & Humanity, Psychology Forum UMM, 19-20 February 2016, hal. 139.
26 Lamintang dan Theo Lamintang, op.cit, hal. 100-101.
27 Anugerah Rizki Akbari, et.al., op.cit, hal. 42.
328
Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perkosaan ... (Ramiyanto Waliadin
peradilan pidana yang terjadi selama ini. Seiring Akbari, Anugerah Rizki, et.al. 2016. Reformasi
dengan perkembangannya, upaya penanggulangan Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan. Depok:
tindak pidana perkosaan dengan sarana penal Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia dan
mengalami pergeseran, yang mana unsur “kekerasan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
atau ancaman kekerasan” dalam Pasal 285 KUHP Indonesia atas dukungan Australia Indonesia
diperluas maknanya yang dapat dilihat dalam Partnership for Justice.
putusan Nomor: 410/Pid.B/2014/PN.Bgl.
Chazawi, Adami. 2007. Tindak Pidana Mengenai
Makna unsur “kekerasan atau ancaman
Kesopanan Jakarta: RajaGrafndo Persada.
kekerasan” tersebut tidak hanya dipahami secara
klasik, namun termasuk juga di dalamnya bujuk Hamzah, Jur. Andi. 2009. Delik-Delik Tertentu (Speciale
rayu yang disertai janji-janji palsu (membujuk dan Delicten) Di dalam KUHP. Jakarta: Sinar Grafika.
kebohongan). Konsekuensinya adalah Pasal 285 Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang. 2009.
KUHP tidak hanya diterapkan kepada pelaku yang Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma
memaksa perempuan agar bersetubuh dengannya di Kepatutan. Jakarta: Sinar Grafika.
luar perkawinan dengan kekerasan atau ancaman
Prodjodikoro, Wirjono. 2010. Tindak-Tindak Pidana
kekerasan, dalam arti penggunaan kekuatan badan
Tertentu Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
(fisik) dan alat, namun dapat juga terjadi dengan
bujuk rayu yang disertai janji-janji palsu. Dalam Soesilo, R. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
rangka melindungi perempuan, maka perluasan (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap
makna “kekerasan atau ancaman kekerasan” Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
sebagai salah satu unsur tindak perkosaan dalam
Sudarto. 2013. Hukum pidana I. Semarang: Penerbit
putusan Nomor: 410/Pid.B/2014/PN.Bgl patut
Yayasan Sudarto.
diapresiasi dan seyogyanya dijadikan rujukan
oleh hakim-hakim selanjutnya untuk menangani Artikel
perkara yang sama, walaupun tidak diikuti oleh Erik Saut H Hutahaean, Bersetubuh dengan Pacar:
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Dengan Perkosaan sebagai Pembuktian Sayang,
adanya perluasan tersebut, maka perempuan yang Makalah disampaikan dalam Seminar Asean
mendapat perlindungan cakupannya lebih luas. Hal 2nd Psychology & Humanity, Psychology Forum
itu juga dapat dijadikan sebagai masukan dalam UMM, 19-20 February 2016.
upaya pembaharuan hukum pidana (KUHP) untuk
Peraturan Perundang-Undangan
masa yang akan datang. Walaupun demikian, patut
untuk dicatat bahwa persetubuhan akibat bujuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
rayu yang disertai janji-janji palsu harus baru terjadi Putusan Pengadilan
pertama kalinya. Persetubuhan akibat bujuk rayu
Putusan Pengadilan Negeri Bengkulu Nomor: 410/
yang disertai janji-janji palsu yang terjadi lebih dari
Pid.B/2014/PN.Bgl.
1 (satu) kali, tidak dapat dikategorikan tindak pidana
perkosaan karena tidak ada unsur paksaan. Putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu Nomor: 12/
Pid/2015/PT.Bgl.
329