Professional Documents
Culture Documents
Kelompok 7 Fikih MAKALAH
Kelompok 7 Fikih MAKALAH
MAKALAH
WALI DAN SAKSI PERNIKAHAN
Disusun Oleh:
SILMA RAHMAINA
2014120359
AULIA ULFAH
2014120331
MUHAMMAD RIDAN IHSANI
2014120230
As’salamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kesempatan
pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ Wali Dan Saksi Pernikahan” tepat waktu.
Makalah “Wali Dan Saksi Pernikahan” disusun guna memenuhi tugas dari Bapak
Rafik Patrajaya, M pada Mata Kuliah “Wali Dan Saksi Pernikahan”. Selain itu, kami juga
berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.
Kami menyadar makalah ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun, akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan............................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Wali…….......................................................................... 2
B. Macam Macam Wali Dan Urututannya…......................................... 3
C. Syarat Syarat Wali………………..................................................... 4
D. Saksi Dalam Akad Nikah……………................................................6
E. Syarat Syarat Saksi…………………………......................................7
F. Pengaruh, fungsi dan tanggung jawab saksi....................................... 9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................ 10
B. Saran………………………………………………………………...10
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah dibumi ini. Maka keberadaannya
dibumi sangat dibutuhkan agar kelangsungan hidup manusia tetap lestari. Oleh karena itu,
manusia dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu dari segi apapun. Selain untuk
menghindari perzinaan, nikah juga merupakan sunnatullah. Dalam masalah pernikahan ini,
tentunya ada ketentuan-ketentuan tersendiri.
Agama Islam juga telah mengatur tentang tata cara pernikahan, di antaranya adalah
masalah sighot akad nikah, wali nikah, dan mahar (maskawin). Hal ini mempunyai maksud
agar nantinya tujuan dari pernikahan yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah,
warahmah dapat tercapai tanpa suatu halangan apapun.
Selanjutnya makalah ini dibuat juga, untuk memberikan informasi baik bagi pembaca
maupun bagi pemakalah sendiri, juga menjadi sebuah tambahan pengetahuan yang lebih
dalam lagi mengenai wali dan saksi dalam nikah serta hal-hal yang berkaitan dengannya.
B. Rumusan masalah
C. TUJUAN PENULISAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wali
Akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh
mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Wali dengan bentuk
jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata
“wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk
mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan
pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan
pengantin pria). Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka
tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam
pernikahan adalah orang yang mangakadkan nikah itu menjadi sah. Nikah yang tanpa wali
adalah tidak sah. Wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu hukum yang harus dipenuhi
bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin
pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya
kepada orang lain.1
Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali
dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain. Yang
bertindak sebagai wali adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Seorang wali dalam suatu akad nikah sangat diperlukan, karena akad nikah tidak sah kecuali
dengan seorang wali (dari pihak perempuan).2
1. Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan
berhak menjadi wali.
Pertama: wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada
kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan
dikawinkannya.
Kedua: wali jauh (wali ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan
kakek, juga selain dari anak dan cucu. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:
2. Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali
dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila calon mempelai
wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh
Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
3. Wali Muhakkam
C. Syarat-Syarat Wali
1. Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim.
2. Sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau orang gila
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan
dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka
pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:
3
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, cet. 2 (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hal. 25
َّ َأ ِبى ه َُري َْر َة َقا َل الَ ُت َزوِّ ُج ْال َمرْ َأةُ ْال َمرْ َأ َة َوالَ ُت َزوِّ ُج ْال َمرْ َأةُ َن ْف َس َها َو
الزا ِن َي ُة الَّتِى ُت ْن ِك ُح
هاَ َن ْف َس َها ِب َغي ِْر ِإ ْذ ِن َولِ ِّي
Artinya: ”Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak
bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya
sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’
7298).
4. Orang merdeka.
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat,
tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat
munkar.4
Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang
dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya
dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
Artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan
kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn Hanbal).
Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam arti
selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan selama wali nasab
yang lebih dekat masih ada maka wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali.
Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarib, Bila
wali qarib tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, islam, merdeka, berpikiran baik dan adil,
maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut urutan di atas.
4
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, jilid. 2 (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), hal.82
D. Saksi Dalam Akad Nikah
Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu
peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah adalah orang yang memberitahukan
keterangan dan mempertanggungjawabkan secara apa adanya.5
Rasulullah sendiri dalam berbagai riwayat hadits walaupn dengan redaksi berbeda-
beda menyatakan urgensi adanya saksi nikah, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits:
Bahkan dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan Turmudzi dinyatakan bahwa
pelacur-pelacur (al-baghaya) adalah perempuan-perempuan yang menikahkan dirinya sendiri
tanpa dihadiri dengan saksi (bayyinah).
Menurut Malikiyah saksi tidak dibutuhkan kehadirannya pada saat aqad, namun saksi
akan diharuskan kehadirannya setelah aqad sebelum suami mencampuri isterinya. Malikiyah
justru mengutamakan i’lan nikah dari pada kesaksian itu sendiri, karena dalam i’lan sudah
mencakum kesaksian. Meski demikian mereka tetap menghadirkan dua orang saksi sebagai
wujud pengamalan mereka terhadap hadis tersebut. Hal ini didasarkan pada pandangan
Malikiyah, yang benar-benar mengedepankan praktek ahli Madinah yang pada waktu itu
mengamalkan hadis-hadis yang berkaitan dengan i’lan.
5
Djaaman Nur, Fiqh Munakahah. . . , hal. 61
Dalam peraturan perundangan yaitu pada KUHP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang
pengertian saksi yaitu: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengertahuannya itu”
Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah, sehingga setiap
pernikahan harus dihadiri dua orang saksi (ps. 24 KHI). Karena itu kehadiran saksi dalam
akad nikah mutlak diperlukan, bila saksi tidak hadir/tidak ada maka akibat hukumnya adalah
pernikahan tersebut dianggap tidak sah. UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 26 (1)
menyatakan dengan sangat tegas: “Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai
Pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para
keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri”.
E. Syarat-syarat saksi
Akad pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum
dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.
Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan, harus memenuhi syarat sebagai berikut:6
1) Islam
Dua orang saksi itu harus muslim, menurut kesepakatan para ulama. Namun menurut
Hanafiyah, ahli kitabpun boleh menjadi saksi seperti kasus, seorang muslim kawin dengan wanita
kitabiyah.
2) Baligh
Anak-anak tidak dapat menjadi saksi, walaupun sudah mumaiyyis (menjelang baligh), karena
kesaksiannya menerima dan menghormati pernikahan itu belum pantas. Kedua syarat tersebut
diatas dispakati oleh fukaha dan kedua syarat itu dapat dijadikan satu, yaitu kedua saksi harus
mukallaf.
6
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.3 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009),
hal. 83
3) Berakal
Saksi harus mendengar dan memahami ucapan ijab qabul, antara wali dan calon pengantin
laki-laki.
5) Laki-Laki
Laki-laki merupakan persyaratan saksi dalam akad nikah. Demikian pendapat jumhur ulama
selain Hanafiyah.
Hanafi dan Hambali dalam riwayat yang termasyur: kesaksian seorang wanita saja dapat
diterima.
Maliki dan Hambali dalam riwayat lainnya mengatakan: kesaksian dengan dua orang wanita dapat
diterima.
7) Adil
Saksi harus orang yang adil walaupun kita hanya dapat melihat lahiriyahnya saja. Demikian
pendapat para jumhur ulama. Selain hanafiyah.
8) Melihat
Syafiiyah berpendapat saksi harus orang yang dapat melihat. Sedangkan jumhur ulama,
dapat menerima kesaksian orang yang buta asal dia dapat mendengar dengan baik iajd qabul itu dan
dapat membedakan suaa wali dan calon pengantin laki-laki.
Saksi adalah sebagai penentu dan pemisah antara halal dan haram. Perbuatan halal
biasanya dilakukan secara terbuka dan terang-terangan, karena tidak ada keraguan.sedangkan
perbuatan haram biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Logikanya, sebuah pernikahan yang dilandasi oleh cinta-kasih dan disetujui oleh
kedua belah pihak, tidak perlu disembunyikan. Bila tidak ada saksi pada saat akad nikah,
maka akan ada kesan nikah itu dalam keadaaan terpaksa atau ada sebab-sebab lainyang
dipandang negatif oleh masyarakat. Oleh karena itu, disunatkan mengadakan resepsi
perkawinan (walimatul ‘ursy)7
BAB III
PENUTUP
7
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, ( Jakarta: Grafindo Persada, 1997 ), hal. 153
A. Kesimpulan
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
a. Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan
berhak menjadi wali.
b. Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali
dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila calon mempelai
wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
c. Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk
bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
d. Adapun syarat pada dua orang saksi, antara lain: Islam, baligh, berakal, laki-laki,
mendengar dan memahami ucapam ijab qabul adil, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Adapun syarat pada dua orang saksi, antara lain: Islam, baligh, berakal, laki-laki,
mendengar dan memahami ucapam ijab qabul adil, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut
kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak,
sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu.
Juga supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah
pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek), seperti kumpul kebo.
Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu. Saksi menjadi
syarat sah akad nikah.
B. Saran
Dari penulisan makalah ini, penulis menyadari akan banyaknya kekurangan. Maka dari itu,
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Demi kesempurnaan makalah ini
kedepannya
10
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqih, jilid. 2, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995.
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta: Grafindo Persada, 1997.
Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993).
Ramulyo, M. Idris, Hukum Perkawinan Islam, cet. 2, Jakarta: Bumi Aksara, 1999.
Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: Toha Putra, 1978
Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.3, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2009.
11