You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Quran dan Hadis merupakan dua sumber pokok dalam Islam yang tidak bisa dipisahkan
satu sama lainya, apabila meyakini bahwa al-Quran sebagai sumber, maka mengharuskan
untuk meyakini hadis sebagai sumber pokok yang kedua, pengingkaran terhadap hadis
merupakan pertentangan terhadap pesan-pesan Alquran sebagaimana tercantum dalam QS.
Al-Nisa: 4/59 dan dan QS. AlMaidah: 3/92.1 Meskipun keduanya berkedudukan sebagai
sumber ajaran Islam, fungsi utama hadis adalah untuk menjelaskan al-Quran. Hal ini karena
al-Quran sebagai sumber pertama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum, global
atau mutlak. Oleh karena itulah, Imam Aḥmad bin Ḥanbal pernah menegaskan bahwa
seseorang tidak mungkin bisa memahami al-Quran secara keseluruhan tanpa melalui hadis.2
Sementara Musṭafā al-Sibāī mengatakan, al-Quran tidak mungkin dipahami secara utuh
dengan tanpa merujuk kepada sunnah Rasulullah, karena Nabi saw. diutus agar ia
menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepadanya dari Tuhannya.3
Di antara bentuk penjelasan hadis terhadap al-Quran adalah bayān tafsīr, yaitu menafsirkan
al-Quran yang mewujud dalam 3 fungsi, yaitu membuat rincian-rincian atas apa yang
disebutkan dalam al-Quran secara ringkas (tafṣīl almujmal), memberikan batasan terhadap
hal-hal yang disebutkan al-Quran dengan tanpa batasan (taqyīd al-muṭlaq) dan menentukan
pengecualian atau hukum khusus terhadap hukum-hukum yang dinyatakan di dalam al-
Quran secara umum (takhṣīṣ al-‘āmm).4 Ketiga fungsi ini menunjukkan betapa pentingnya
hadis bagi umat Islam. Tanpa hadis, seorang muslim mungkin tak bisa melaksanakan ajaran
agamanya dengan baik dan sempurna, karena dari hadislah penjelasan tentang maksud
ayat-ayat al-Quran dapat diketahui.
Namun demikian, perlu diketahui bahwa berbeda dengan al-Quran, yang semua ayat-
ayatnya bersifat pasti kebenarannya, hadis Nabi saw. tidak demikian adanya. Kenyataan
bahwa hadis Nabi saw. tidak terkodifikasi dengan baik di masa Nabi saw. dan bahwa
periwayatannya melibatkan beberapa orang periwayat
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits
B. Hadits Mardud
Secara bahasa mardud artinya ialah yang ditolak, yang tidak diterima.Secara istilah,
Hadits mardud adalah hadits yang tidak kuat kebenaran pembawa beritanya.Ini terjadi
karena hilangnya satu atau lebih syarat-syarat diterimanya hadits, seperti yang telah
dibahas pada topik hadits shahih.

Hadits mardud terbagi menjadi:

• Disebabkan gugur pada sanadnya, atau sanadnya tidak sambung;

•Disebabkan cacat pada perawi.

Berikut ini adalah pembagian hadits mardud berdasarkan gugurnya pada sanad:

1.      Hadits Mu’allaq

Hadits mu’allaq adalah hadits yang dibuang permulaan sanadnya (yakni rawi yang
menyampaikan hadits kepada penulis kitab), baik seorang maupun lebih, dengan berurutan
meskipin sampai akhir sanad.

Pemotongan mata rantai rawi hadits banyak sekalli dilakukan oleh para muhaditsin, terutama
dalam kitab-kitab yang mereka susun.Sebenarnya meringkas haits hukumnya boleh asal
ringkasan tersebut tidak menjadikan hadits cacat sehingga terjadi pertentangan dengan hadits
sebelumnya dan hadits setelahnya. Para imam juga banyak meringkas hadits guna dijadikan
landasan hukum.8

a.      Bentuk Hadits mu’allaq

• Jika dibuang (dihilangkan) seluruh sanadnya, kemudian dikatakan – misalnya : Rasulullah


saw bersabda begini dan begini.

• Bentuk lainnya adalah jika dibuang seluruh sanadnya kecuali sahabat, atau kecuali sahabat
dan tabi’in.

b.      Hukum Hadits Mu’allaq

Hukum hadits mu’allaq itu mardud (tertolak), sebagaimana hadits munqathi, karena
hilangnya salah satu syarat diterimanya suatu hadits yaitu sanadnya harus bersambung serta
karena tidak diketahuinya identitas rawi yang tidak disebutkan, kecuali apabila terdapat
dalam kitab yang dipastikan keshahihannya, seperti shahih al-Bukhari dan shahih Muslim.9
Makalah Ulumul Hadits Kelompok I Prodi Ekis, hlm.10
8-9 

c.       Contoh Hadits Mu’allaq

1). Hadits yang dikeluarkan oleh Bukhori dalam nagian pendahuluan topic mengenai paha:

Artinya: “Dan berkata Abu Musa: Nabi saw. telah menutup kedua lututnya tatkala Utsman
masuk”

Analisis:Ini hadits mu’allaq, karena Bukhori telah membuang seluruh sanadnya kecuali
sahabat, yaitu Abu Musa al-Asy’ari.

2).

Artinya: Berkata Abu Isa dan sesungguhnya telah diriwayatkan dari nabi saw. Beliau
bersabda: “barang siapa shalat sesudah maghrib dua puluh rakaat. Allah akan mendirikan
baginya sebuah rumah di surga. (HR. Turmudzi)

Analisis: Turmidzi tidak bertemu dan tidak sezaman dengan Aisyah. Jadi tentu antara kedua-
duanya itu ada beberapa orang rowi lagi. Karena tidak disebut rawi-rwinya, maka dinamakan
ia gugur, seolah-olah hadits itu tergantung. Karena itulah dinamakan mu’allaq.
2.      Hadits Mursal

Hadits mursal menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata arsala, yang berarti
melepaskan.Jadi seakan-akan lepas dari ikatan sanad, dan tidak terikat dengan rawi yang
sudah dikenal.

Menurut istilah, hadits mursal adalah hadits yang gugur pada akhir sanad setelah tabi’in.jadi,
hadits mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in dari Rasulullah saw.

a.      Bentuk Hadits Mursal

Gambarannya adalah bahwa seorang tabi’in mengatakan: Rasulullah saw bersabda begini-
begini, atau dilakukannya suatu perbuatan dengan kehadiran beliau begini-begini. Bentuk
seperti ini mursal menurut para pakarr hadits.

b.      Hukum Hadits Mursal

Pada dasarnya hadits mursal itu dho’if dan mardud, karena hilangnya salah satu syarat dari
syarat-syarat diterimanya suatu hadits, yaitu sanadnya harus bersambung.Hal itu disebabkan
tidak diketahuinya keadaan rawi yang dibuang.Lagi pula memiliki kemungkinan bahwa yang
dibuang itu adalah sahabat.Dalam kondisi seperti ini haditsnya menjadi dho’if.

Meskipun demikian, para ulama hadits dan yang selain mereka berbeda pendapat mengenai
hukum hadits mursal dan penggunaanya sebagai hujjah.Hadits ini termasuk hadits yang
terputus, yang diperselisihkan tempat terputusnya pada akhir sanad.Sebab pada umumnya
gugurnya sanadd itu pada sahabat, sementara itu seluruh sahabat adalah adil, tidak rusak
(keadilannya) meski keadaan merreka tidak diketahui. Secara umum pendapat para ulama
mengenai hadits mursal bermuara pada tiga pendapat:

1). Termasuk hadits dho’if mardud; ini menurut jumhur ulama hadits dan sebagian besar dari
ulama ushul dan fuqaha. Alasan mereka Karena tidak diketahuinya keadaan rawi yang
dibuang (hilang) karena mungkin saja rawi yang dibuang itu bukan sahabat.

2). Termasuk hadits shahih dan bisa dijadikan argument; ini pendapat tiga imam yang
masyhur, yaitu Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, serta sekelompok ulama. Dengan syarat
hadits mursal itu berasal dari orang yang tsiqah.Alasan mereka adalah bahwa tabi’in itu
adalah tsiqah. Mustahil mereka mengatakan: Rasulullah telah bersabda…., kecuali ia
mendengarnya dari orang yang tsiqah pula.

3). Bisa diterima dengan beberapa persyaratan; maksudnya, sah asal memenuhi beberapa
persyaratan. Ini menurut pendapat Syafi’I dan beberapa ahli ilmu.

Syaratnya ada empat; tiga menyangkut rawi hadits mursal dan satunya pada hadits
mursalnya.

a.       Hendaknya pembawa hadits mursal itu dari kalangan tabi’in senior.

b.      Jika orang yang menyampaikannya disebut tsiqah.

c.       Jika bersekutu dengan orang yang hafidz lagi terpercaya, dan mereka tidak
menyelisihinya.

d.      Jika tiga syarat yang bergabung tersebut mengandung salah satu perkara berikut:

1).  Jika hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur lain sebagai tempat sandaran.

2).  Jika hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur lain secara mursal, yang diketahui dari
selain rawi hadits mursal yang pertama.

3). Jika sesuai dengan perkataan sahabat.

4).  Jika memfatwakan sesuatu dengan kebanyakan ahli ilmu.

Apabila syarat-syarat itu terpenuhi, maka jelaslah keshahihan tempat keluarnya hadits mursal
maupun yang bertentangan dengannya.Keduanya sama-sama shahih.Seandainya yang
bertentangan itu shahih dari satu jalur, maka yang didahulukan adalah yang memiliki
beberapa jalur, itupun jika tidak bisa dikompromikan diantara keduanya.

c.       Contoh Hadits Mursal

1). Hadits yang dikeluarkan Muslim dalam kitab shahihnya, bab tentang jual beli, yang
berkata:

Artinya: Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Rafi’, telah menuturkan kepada kami
Hujain, telah menuturkan kepada kami Al-Laitsi, dari ‘Uqail dari Ibnu Syihab, dari Sa’id bin
Musayyab bahwa Rasulullah saw telah melarang (jual beli) muzabanah.

Analisis: Sa’id bin Musayyab merupakan tabi’in senior, yang telah meriwayatkan hadits ini
dari nabi saw tanpa menyebutkan perantara antara dirinya dan nabi saw. Hadits ini gugur
sanadnya dibagian akhir setelah tabi’in.Minimal, gugurnya sanad adalah pada sahabat, namun
bisa saja terjadi pada sahabat bersama-sama dengan selain sahabat, seperti dengan tabi’in.

2).

Artinya: dari Malik dari Abdillah bin Abi Bakr bin Hazm, bahwa dalam surat yang
Rasulullah tulis kepada Amr bin Hazm (tersebut): “bahwa tidak menyentuh Al-Qur’an
melainkan orang yang bersih”.

Analisis: Abdullah bin Abu Bakr ini seorang tabi’in, sedang seorang tabi’intidak semasa dan
tidak bertemu dengan nabi saw. jadi mestinya Abdullah menerima riwayat itu dari seorang
lain atau sahabi. Karena ia tidak menyebut nama shahabi atau nama orang yang
mengkhabarkan kepadanya itu, tetapi ia langsungkan kepada Rasulullah saw, maka yang
begini dinamakan mursal.

3.      Hadits Mu’dhal
Kata mu’dhal berasal dari kata a’dhalahu yakni’memayahkan’.Menurut istilah muhaditsin,
hadits mu’dhal adalah hadits yang pada mata rantai sanadnya gugur dua orang rawi atau lebih
disatu tempat, baik pada awal sanad, tengah sanad, maupun di akhir sanad.

Hukum hadits mu’dhal:

Hadits mu’dhal adalah hadits yang dihukumi dhaif sesuai dengan sepakatnya ulama karena
banyak rawi yang terputus.

Kriteria Hadits Mu’dhal ialah:

a.       Sanad yang gugur (terputus) lebih dari satu orang.

b.      Keterputusan secara berturut-turut.

c.       Sebagian ulama menambahkan kriteria; tempat keterputusan ditengah sanad bukan di


awal dan di akhir.

Jadi, hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang periwayatannya atau lebih secara
berturut-turut, baik gugurnya diantara sahabat dengan tabi’in, antara tabi’in dengan tabi al-
tabi’in, atau dua orang sesuadah mereka.

Cara mengetahui hadits mu’dhal:

Menurut sebagian ulama, hadits disebut juga mu’dhal apabila yang digugurkan dari sanad
adalah nabi dan sahabat, sama halnya jika yang digugurkan adalah sahabat tabi’in. Shubi al-
Shalih, misalnya tidak mempersyaratkan periwayat yang gugur di tengah sanad, boleh saja di
awal atau di akhir.Ia hanya menyatakan hadits mu’dhal ialah hadits yang digugurkan dua
orang atau lebih dari sanadnya secara berturut-turut. Menurutnya, hadits mu’dhal ini lebih
ruwet dan tidak jelas dibandingkan dengan hadits munqathi’ dan karenanya hadits ini disebut
mu’dhal yang berarti sulit dipahami dan membingungkan.Hanya saja ulama hadits
menyebutkan bahwa keterputusan itu ditengah sanad, yaitu antara sahabat dan tabi’in, antara
tabi’in dengan tabi al-tabi’in atau dua orang sebelumnya dua orang atau lebih secara berturut-
turut.
Contoh Hadits Mu’dhal:

1). Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari Abu Hurairah sebagai berikut:

“Telah sampai padaku dari Abu Hurairah: sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: bagi
budak belikan makanan dan pakaiannya.”

2). Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’I dari Ibnu Juraijj sebagai berikut:

“Kata Asy-Syafi’i: Telah mengabarkan kepada kami Da’id bin Salim “ Dari Ibnu Juraijj:
Sesungguhnya nabi saw: Apabila melihat baitullah beliau mengangkat kedua tangannya dan
beliau berkata allahuma zid hadzal baita tasyrifan wa ta’dhiiman wa maha batan…”(HR. Asy
Syafi’I dalam musnadnya (Nailul Authar V, 42))

Analisis: Dalam memberikan syarah terhadap hadits tersebut, Imam Asy Syaukani berkata:

“Hadits Ibnu Juraijj adalah mu’dhal antara Ibnu Juraijj dan nabi, dan di dalam sanadnya ada
Sa’ied bin Salim al-Qadah yang diperselisihkan.”

Ibnu Juraijj termasuk tabi’ut tabi’in.ia dengan nabi pasti ada perantaranya, yakni tabi’I dan
sahabat.
4.      Hadits Munqothi’

Menurut bahasa, munqathi’ berarti terputus, lawan dari kata muttasil yaitu bersambung.

Dalam istilah, hadits munqathi’ ada beberapa pendapat, yaitu sebagai berikut:

a.       Pendapat mayoritas ulama muhaditsin: Hadits yang digugurkan dari sanadnya seorang
perawi atau lebih sebelum sahabat tidak berturut-turut.

b.      Pendapat fuqoha, ushuliyyun dan segolongan ulama muhaditsin, diantaranya al-Kathib


al-Baghdadi dan Ibnu Abdul Barr: Segala hadits yang tidak bersambung sanadnya dimana
saja terputusnya.

c.       Pendapat al-Manzhumah al-Baiquniyyah menyatakan: Setiap hafits yang tidak


bersambung sanadnya ssebagaimana keadaannya adalah termasuk hadits munqathi’.

d.      Pendapat ahli hadits muta’akhirin menjadikan istilah tersebut sebagai suatu bagian
khusus. Yaitu, Hadits munqathi’ ialah hadits yang gugur salah seorang rawinya sebelum
sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada
setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad.
Dengan beberapa istilah yang dikemukakan oleh beberapa ulama tersebut, jadi dapat
disimpulkan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang sanadnya terputus artinya seorang
perawi tidak bertemu langsung dengan pembawa berita, baik di awal, di tengah, atau di akhir
sanad.Maka masuk di dalamya hadits mursal, mu’allaq dan mu’dhal.

Cara Mengetahui Munqathi’ dan Kehujjahannya:

Terputusnya sanad dapat diketahui karena tidak adanya pertemuan antara perawi dan orang
yang menyampaikan periwayatan karena tidak hidup semasa atau karena tidak pernah
bertemu antara keduanya.Untuk mengetahui hal tersebut adalah tahun kelahiran dan wafat
mereka.

Hukum Hadits Munqathi’:

Hadits munqathi tergolong mardud menurut kesepakatan para ulama, karena tidak diketahui
sifat-sifat perawi yang digugurkan, bagaimana kejujuran dan kedhabitannya.

Contoh Hadits Munqathi’:

1). Hadits riayat Abu Daud


“Meriwayatkan hadits kepada kami Syuja’ bin Makhlad, katanya: meriwayatkan hadits
kepada kami Husyaim, katanya: Meriwayatkan hadits kepada kami Yunus bin Ubaid dari al-
Hasan, ia berkata: sesungguhnya Umar bin Khaththab mengumpulkan manuisa kepada Ubay
bin Ka’b, maka ia (Ubay) mengimani shalat selama dua puluh hari dan dia tidak memimpin
doa kunut kecuali pada separuh bulan (Ramadhan) yang kedua..”

Analisis:Hadits tersebut munqathi’. Al-Hasan al-Basri dilahirkan pada tahun 21 H,


sedangkan Umar bin Khaththab wafat pada akhir tahun 23 H. atau pada awal muharam tahun
24 H, maka bagaimana mungkin al-Hasan mendengar hadits dari Umar bin Khaththab.

You might also like